Tenaga Honorer Berakhir Di Sini

Tenaga Honorer Berakhir di Tahun 2014
Oleh : Asep Arofah Permana

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB)
sejak awal bulan Februari 2014 telah mengumumkan kelulusan hasil tes tenaga
honorer Kategori 2 (K2) dari beberapa Kementerian, Lembaga, dan Pemerintah
Daerah. Namun hingga tulisan ini dibuat, kelulusan bagi 3.971 peserta tes tenaga
honorer K2 Kementerian Pekerjaan Umum (PU) belum diumumkan. Berdasarkan
hasil konsultasi dengan pihak berwenang di Kementerian PAN-RB, dapat
dipastikan bahwa, tidak semua peserta tes dinyatakan lulus dan dapat menjadi
Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Lalu bagaimana dengan tenaga honorer yang
tidak lulus? Adakah solusi yang ditawarkan oleh Kementerian PAN-RB selaku
kementerian yang memiliki kewenangan kebijakan pengelolaan sdm aparatur
nasional?
Jika kita sedikit kembali ke belakang, dapat difahami bahwa keberadaan tenaga
honorer di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) berawal dari
keberadaan proyek-proyek besar yang tersebar di berbagai daerah, sementara
pegawai yang tersedia saat itu sangat terbatas. Namun karena tuntutan target
pekerjaan, proyek-proyek tersebut membutuhkan banyak tenaga, sebagian untuk
administrasi dan lebih banyak untuk mendukung tugas lapangan. Selama proyek
tersebut berlangsung, sebagian dari mereka, sesuai formasi yang tersedia ada

yang kemudian diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), namun sebagian
besar dari mereka tetap menjadi tenaga honorer.
Keberadaan tenaga honorer harusnya berahir ketika suatu proyek selesai. Sebab
prinsip keberadaan sebuah proyek adalah ”ada awal dan ahir”, sehingga dalam
waktu tertentu proyek tersebut pasti akan berahir, dan tenaga honorer pun
seharusnya ada batas waktunya, namun kenyataannya tidak demikian, tenaga
honorer tersebut tetap ada dalam jangka waktu lama dan kecenderungannya
semakin bertambah, hingga pada ahirnya menjadi beban yang harus diselesaikan.
Permasalahan tenaga honorer tersebut, sudah terasa mulai tahun 1985, yaitu
dengan terbitnya Surat Kepala Biro Kepegawaian atas nama Sekretaris Jenderal
Departemen PU Nomor KP.02.01-SP.4/974, tanggall 26 September 1985 tentang
larangan mengangkat pegawai harian kecuali seijin Menteri PU atas Usulan
Pimpinan Unit Organisasi (Eselon I). Sejak terbitnya surat tersebut hingga tahun
2005, permasalahan tenaga honorer tidak kunjung terselesaikan, yang awalnya
hanya masalah jumlah, kemuadian berkembang ke permasalahan persebaran dan
kompetensi yang tidak sesuai dengan kebutuhan organisasi.
Persoalan serupa ternyata bukan hanya dialami Kementerian PU saja, namun
terjadi hampir pada seluruh Kementerian dan Lembaga serta Pemerintah Daerah
secara nasional. Untuk menyelesaikan persoalan tenaga honorer tersebut,
Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 48 Tahun 2005. PP

tersebut mengatur tetntang Pedoman Pengengkatan Tenaga Honorer menjadi
Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), yaitu pada tanggal 1 Januari 2006 telah
memenuhi persyaratan sebagai berikut : (i) Berusia minimal 19 tahun dan
maksimal 46 tahun; (ii) telah bekerja minimal 1 (satu) tahun; (iii) honornya dibayar
dari APBN/APBD; (iv) bekerja pada instansi pemerintah; dan (v) sampai saat ini
masih bekerja secara terus menerus tanpa terputus.
Mengacu pada peraturan tersebut, Kementerian PU menginventarisir seluruh
tenaga honorer yang ada, namun selain persyaratan tersebut di atas, Kementerian
PU menambahkan persyaratan lain, yaitu hanya mereka yang bekerja sebelum
1

tahun 2000 saja yang dapat diusulkan kepada Kementerian PAN dan BKN.
Ketentuan tambahan ini ditetapkan berdasarkan surat edaran Menteri PU bahwa
sejak tahun 2000 tidak boleh mengangkat tenaga honorer. Dengan ketentuan
tersebut, Kementerian PU menetapkan sebanyak 10.882 yang diajukan untuk
diangkat menjadi CPNS. Proses selanjutnya adalah melakukan tes tertulis dan
secara bertahap dilakukan pemberkasan dan pengangkatan menjadi CPNS secara
bertahap hingga ahir tahun 2009.
Selesaikah persoalan tenga honorer? Ternyata belum juga. Persoalan tenaga
honorer yang bekerja di atas tahun 2000 masih tetap menuntut untuk diangkat,

selain itu, para tenaga honorer yang pada tanggal 1 Januari usianya telah
mencapai 46 tahun juga menuntut agar bisa diangkat juga. Atas beberapa
persoalan tersebut, beberapa pihak menuntut dilakukannya pendataan ulang bagi
tenaga honorer yang tertinggal, hingga akhirnya Kementerian PAN-RB
menerbitkan Surat Edaran Kementerian PAN-RB Nomor SE 05 Tahun 2010,
tanggal 28 Juni 2010 tentang Pendataan Kembali Tenaga Honorer yang Tertinggal
dan belum diangkat sesuai PP 48 Tahun 2005.
Mengacu pada SE tersebut, Kementerian PU mendata kembali tenaga honorer
yang tertinggal total 5.923 pegawai dengan komposisi tenaga honorer Kategori I
(K1) sebanyak 5.375 pegawai dan tenaga honorer Kategori II (K2) sebanyak 548
pegawai. Setelah melalui tahapan verifikasi dan validasi oleh Tim Verval yang
terdiri dari BKN dan BPKP di beberapa daerah tersebar dan hasilnya diumumkan
oleh BKN pada tanggal 31 Agustus 2010. Sebanyak 4.125 pegawai dinyatakan
Memenuhi Syarat (MS) dan sisanya sebanyak 1.483 pegawai dinyatakan Tidak
Memenuhi Kriteria (TMS). Beberapa alasan TMS menurut beberapa informasi
yang disampaikan adalah sebagai berikut: (i) Sumber pembiayaan non
APBN/APBD; (ii) Pembayaran gaji tidak terus menerus, ada yang dalam setahun
tidak dibayar 1 bulan, dua bulan, atau lebih dari 2 bulan; (iii) Data keuangan/SPJ
palsu/fiktif; (iv) Pembayaran honornya di-SPJ-kan pada sumber lain; (v) Bekerja di
instansi swasta; (vi) Tidak terdapat dalam database BKN yang diperiksa BPKP;

(vii) Berkas keuangan tidak lengkap selama 5 tahun; (viii) Tidak dapat menjalankan
tugas/meninggal dunia; (ix) Telah lolos menjadi PNS melalui jalur umum; (x) Tidak
dapat diyakini pembayaran 2005 – 2010; dan (xi) Tidak bekerja lagi sebagai
tenaga honorer.
Setelah diumumkan, terdapat banyak sanggahan dari masyarakat dan dari
pegawai yang TMS. Menanggapi berbagai sanggahan tersebut, selanjutnya BPKP
melakukan QA terhadap hasil Verifikasi dan Validasi TH Kategori I, dan hasilnya
sebanyak 3.132 pegawai dinyatakan MS namun perlu ditindaklanjuti dengan Audit
Tujuan Tertentu (ATT). Surat permintaan ATT disampaikan kepada Kementerian
PU oleh Penanggung Jawab II Tim Pelaksanaan ATT Kementerian PAN & RB
melalui surat nomor 69/INSP.PAN-RB/4/2013, tanggal 24 April 2013.
Pelaksanaan ATT TH Kategori-1 mulai dilaksanakan pada tanggal 13 Mei 2013
dan berahir tanggal 13 Juli 2013. Data yang digunakan dalam pelaksanaan ATT
berupa dokumen keuangan dan administrasi TH Kategori I, terutama dokumendokumen tahun 2005 yang asli. Untuk memperkuat hasil ATT, pada tanggal 23-26
Juli 2013 dilakasanakan field audit ke beberapa unit kerja Kementerian PU yang
ada di Banda Aceh, Bandung, Yogyakarta, Solo, Mataram, Makasar dan Jayapura.
Hasil ahir dari pelaksanaan ATT adalah seanyak 1.080 masuk tenaga honorer K1
otoritas untuk dilakukan proses penetapan dan pemberkasan. Sisanya sebanyak
1.735 masuk dalam tenaga honorer K2 yang harus mengikuti seleksi sesame
tenaga honorer. Namun setelah dijumlahkan dengan proses tahap sebelumnya


tenaga honorer K2 menjadi 4.498 pegawai sebagimana disajikan dalan gambar
proses Pengangkatan Calon PNS dari Tenaga Honorer.

Mengacu pada data tersebut di atas, jelas tampak bahwa tenaga honorer yang
harus diselesaikan sebanyak 4.498 pegawai, namun saat tulisan ini dibuat, belum
ada kebijakan yang mengatur secara nyata bagi tenaga honorer K2 yang tidak
lulus. Peluang menjadi pegawai pemerintah tetap terbuka, sebab selain PNS,
pegawai negeri juga dapat didukuki oleh Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian
Kerja (PPPK) yang diatur dalam Undang-undang Nomor 05 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara (ASN). Namun demikan, PPPK tidak otomatis menjadi solusi
bagi tenaga honorer K2 yang tidak lulus. Hal ini ditegaskan oleh Deputi SDM
Aparatur Kementerian PAN-RB, Setiawan Wangsaatmaja dalam situs resmi
Kementerian PAN-RB, bahwa: “PPPK bukan merupakan tenaga honorer versi
baru, karena sebenarnya sejak tahun 2005 pemerintah sudah melarang
pengangkatan tenaga honorer. Demikian halnya dengan tenaga honorer K2 yang
tidak lulus tes, maka status mereka tidak bisa serta merta menjadi PPPK. Dalam
UU ASN, PPPK merupakan pegawai profesional”.
Jika demikian, dapat dipastikan bahwa penyelesaian tenaga honorer K2 dan
tenaga non-PNS lainnya akan menjadi tanggung jawab kementerian dan lembaga

masing-masing. Demikian halnya di lingkungan Kementerian PU, bagi tenaga
honorer K2 yang tidak lulus tes serta tenaga non-PNS lainnya yang masih bekerja
di Kementerian PU menjadi tidak jelas statusnya. Hal ini perlu mendapat perhatian
yang serius, sebab akan sangat menentukan bagi organisasi dalam mengelola
SDM ke depan, serta adanya kepastian status bagi pegawai yang bersangkutan.
Langkah penyelesaian pertama yang harus dilakukan adalah memfasilitasi agar
tenaga honorer dan pegawai non-PNS lainnya dapat menjadi PPPK, yaitu sebagai
pegawai ASN yang diangkat dengan perjanjian kerja oleh Pejabat Pembina
Kepegawaian sesuai dengan kebutuhan Instansi Pemerintah dan ketentuan
Undang-Undang. Proses penerimaannya diawali dengan pengajuan kebutuhan
kepada Kementerian PAN-RB, dilanjutkan proses pengadaan calon PPPK melalui
tahapan pengumuman lowongan, pelamaran, seleksi, pengumuman hasil seleksi,

dan pengangkatan menjadi PPPK yang ditetapkan dengan Keputusan Pejabat
Pembina Kepegawaian. Ketentuan lebih lanjut, masih harus menunggu aturan
pelaksanaannya, baik melalui perturan pemerintah maupun peraturan presiden.
Melalui langkah ini, diharapkan dapat mengisi kebutuhan tenaga profesional yang
tidak terisi oleh PNS sekaligus dapat menyelesaikan sebagian permasalahan
tenaga non-PNS yang masih tersisa. Kedudukan PPPK sama dengan PNS,
mereka adalah sebagai unsur aparatur Negara yang bersama-sama PNS

melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh pimpinan Instansi Pemerintah dan
harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik.
Dengan demikian, PPPK sebagai unsur ASN harus berfungsi sebagai pelaksana
kebijakan publik, pelayan publik, serta perekat dan pemersatu bangsa. PPPK
berhak memperoleh gaji, tunjangan, cuti, perlindungan, dan pengembangan
kompetensi. Bedanya dengan PNS adalah mereka tidak mendapat fasilitas serta
jaminan pensiun dan jaminan hari tua. Sehingga mengelola PPPK pun harus
dilakukan langkah-langkah manajemen PPPK yang meliputi penetapan kebutuhan,
pengadaan, penilaian kinerja, gaji dan tunjangan, pengembangan kompetensi,
pemberian penghargaan, disiplin, pemutusan hubungan perjanjian kerja, dan
perlindungan.
Langkah berikutnya adalah mengidentifikasi jenis jabatan yang dapat diisi oleh
tenaga outsourcing, menghitung jumlah kebutuhan, merumuskan mekanisme
pelaksanaan perekrutan dan menetapkan pihak yang berwenang, serta melakukan
proses pengadaan tenaga outsourcing sesuai kebutuhan organisasi. Langkah ini
diharapkan, dapat memberi peluang bagi tenaga non-PNS lainnya yang belum
dapat mengisi formasi PNS maupun PPPK.
Sangat disadari, bahwa kedua langkah tersebut belum tentu dapat menampung
seluruh tenaga non-PNS yang telah bekerja di Kementerian PU. Untuk itu masingmasing unit kerja yang masih mempekerjakan tenaga non-PNS dan belum jelas
statusnya, diharapkan dapat menyampaikan kebijakan pemerintah terkait

permasalahan tenaga honorer dan tenaga non-PNS ini kepada mereka.
Penjelasan secara tepat dan bijaksana perlu segera disampaikan, agar mereka
dapat segera mengambil langkah-langkah berikutnya bagi masa depan mereka.
Ini adalah suatu ahir penyelesaian yang kurang mengenakkan bagi beberapa
pihak. Namun memang harus dilakukan untuk mengahiri perjalanan panjang
pengelolaan tenaga honorer dan tenga non-PNS lainnya agar kita bisa menata
SDM Kementerian PU ke depan dengan lebih baik. Semoga! (asrofer)