REFLEKSI PASTORAL LITURGI TENTANG LITURG

Dismas Valens Salettia, Semester IV Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Seminari
Pineleng, MK: Pastoral Liturgi; Drs. Paulus Laurensius Pitoy, Lic.Lit.,
REFLEKSI PASTORAL LITURGI TENTANG
LITURGI SEBAGAI SUMBER DAN PUNCAK (FONS ET CULMEN)
Dalam Sacrosanctum Concilium (SC) (Konstitusi Tentang Liturgi Suci), terutama
dalam Artikel 10, dikatakan dengan jelas bahwa:
“Liturgi itu puncak yang dituju kegiatan Gereja, dan serta merta sumber segala dayakekuatannya… Jadi dari Liturgi, terutama dari Ekaristi, bagaikan dari sumber,
mengalirlah rahmat kepada kita, dan dengan hasil guna yang amat besar diperoleh
pengudusan manusia dan permuliaan Allah dalam Kristus, tujuan semua karya
Gereja lainnya.”
Seluruh kegiatan Gereja berpuncak pada kegiatan Liturgi, dan dari situlah sumber segala
daya-kekuatan dialirkan. Di sanalah Rahmat Ilahi dapat dirasakan dan tercurah dalam diri
setiap orang beriman. Manusia dikuduskan dan Allah dimuliakan dalam Kristus. Dan, misteri
Ekaristi dalam Konsili Vatikan II dipandang sebagai pusat liturgi (Bdk. SC 6). “Sebab
melalui liturgilah, terutama dalam kurban ilahi Ekaristi, „terlaksanalah karya penebusan kita‟
(Bdk. SC 2). Dan, dalam keikutsertaan penuh dan aktif seluruh umat kudus dalam perayaan
liturgi yang sama, terutama dalam Ekaristi, penampilan Gereja yang istimewa ditampakkan
(Bdk. SC 41).1 Dalam pada itu ada beberapa unsur penting dari penegasan itu bahwa liturgi
dikatakan sebagai;
1. Salah satu karya perutusan Gereja yang luas
2. Suatu karya perutusan gereja yang tak terpisahkan dengan perutusan Gereja lainnya.

3. Karya perutusan Gereja mendapat kekuatan dari Liturgi
4. Maka liturgi jangan hanya secara kuantitatif mendapat bagian besar, tetapi juga secara
kuantitatif dipersiapkan dan dirayakan secara sungguh-sungguh.
Data
Pengalaman saya terjun di medan pastoral, mulai dari katakese, pastoral week-end,
dan menjalani Tahun Orientasi Pastoral di Paroki Bunda Maria Penolong Abadi Morowali
ada banyak hal yang saya alami dan temukan di medan liturgi, khususnya perayaan ekaristi
menjadi sebuah kegiatan utama dari para pastor sekarang ini. Saya menemukan alasannya
dari pembicaraan saya dengan beberapa imam mereka mengatakan bahwa tugas itu hanya
bisa dilakukan oleh imam. Namun demikian misa yang terjadi bagi saya sendiri terasa kurang
hikmat karena kesannya seperti kurang dipersiapkan apalagi jika itu adalah misa yang dibuat
di rumah untuk syukuran semacam ulang tahun. Kalaupun ada perayaan meriah dalam paroki
seperti Ziarah Paroki, Natal dan paskah bersama paroki biasanya pastor langsung
1

E. Martasudjita., Spiritualitas Liturgi. (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 14.

memberikan mandat kepada panitia atau seksi liturgi yang tidak lagi diawasi secara mendetail
oleh pastor paroki. Jadi ada kesan bahwa perayaan ekaristi yang terjadi di tempat saya
pastoral sering kali kurang dipersiapkan dengan berbagai macam alasan, seperti misalnya

rumah yang saling berjauhan sehingga jarang ada koordinasi, tidak ada waktu karena
berbagai macam kesibukan, tetapi juga bisa disebabkan oleh kurangny insiatif dari pastor
paroki, dewan pastoral paroki dan stasi untuk serius melihat liturgi sebagai sumber dan
puncak kehidupan orang beriman Kristiani.
Satu hal lagi yang menonjol bahwa ada kesan pastor-pastor menjadi tukang beking
misa. Jadi sang pastor kebanyakan tinggal di pastoran dan menunggu panggilan untuk
membuat misa. Oleh karena itu pada umumnya pastor tersebut menunggu hari minggu untuk
misa. Padahal liturgi (juga perayaan ekaristi) adalah bagian dari karya perutusan Gereja yang
luas dalam arti tugas seorang imam bukan hanya membuat misa saja pada hari minggu tetapi
juga ada karya perutusan Gereja yang lain yang perlu juga diperhatikan. Ada juga pastor yang
hanya mengurus kegiatan lainnya dan kurang menaruh perhatian pada bidang liturgi. Pastor
tersebut hanya sibuk dengan hal-hal seperti pembangunan gedung Gereja. Sehingga kadang
kala dalam kesibukannya itu ia membuat misa tanpa lagu (dengan istilah misa diam) supaya
waktu untuk misa tidak terlalu lama. Akhirnya kegiatan liturgi, baik dalam merayakan
maupun melakukan pembinaan dan pendidikan liturgi menjadi prioritas yang kesekian. Pada
akhirnya saya melihat bahwa liturgi dijalani sebagai sesuatu yang biasa saja atau sudah
menjadi tradisi. Dalam pada itu pembinaan dan pendampingan liturgi ini menjadi perlu bukan
pertama-tama supaya liturgi itu sesuai dengan hukum atau aturan yang berlaku tetapi
terutama supaya umat dapat menimba semangat liturgi dalam mewujudkan perutusan Gereja
yang lainnya karena liturgi menjadi salah satu karya perutusan Gereja yang luas dan tak

terpisahkan dengan perutusan Gereja lainnya.2
Dalam pada itu ada satu potensi yang menarik dari umat di Morowali adalah umat
bisa begitu menghayati liturgi ketika liturgi itu dihubungan dengan budaya setempat mereka.
Dalam hal ini inkulturasi tidak hanya terjadi dalam bidang liturgi praktis, tetapi juga dalam
karya perutusan Gereja yan lain seperti pewartaan, kesaksian, diakonia dan perkumpulan.
Dengan menemukan kearifan lokal dari adat setempat mereka maka mereka akan lebih
mudah dalam mengerti dan menghati iman mereka, saya mengambil contoh inkulturasi dalam
liturgi bisa nampak dalam tari-tarian, inkulturasi dalam pewartaan seperti misalnya dengan
menggunakan bahasa mereka, inkulturasi dalam diakonia seperti misalnya dengan

2

E. Martasudjita., Spiritualitas Liturgi, hlm. 15-16.

menghubungkan tradisi gotong royong mereka, inkulturasi dalam koinonia memanfaatkan
tradisi meraka tentang pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan juga tentang
tingkatan umur mereka. .
Refleksi
Liturgi, khususnya Perayaan Ekaristi dan perayaan-perayaan lain adalah sumber
karena memberikan kekuatan kepada kita dalam karya perutusan Gereja. Sekaligus menjadi

puncak karena karena seluruh perutusan gereja mencapai kepenuhannya dalam Liturgi.
Dalam pada itu semua usaha-usaha kerasulan mempunyai tujuan ini:
supaya semua orang melalui iman dan baptis menjadi putera-putera Allah,
berhimpun menjadi satu, meluhurkan Allah ditengah Gereja, ikut serta dalam Korban
dan menyantap perjamuan Tuhan. Dilain pihak Liturgi sendiri mendorong Umat
beriman, supaya sesudah dipuaskan “dengan Sakramen-sakramen Paska menjadi
sehati-sejiwa dalam kasih.” Liturgi berdoa supaya “mereka mengamalkan dalam
hidup sehari-hari apa yang mereka peroleh dalam iman.” Adapun pembaharuan
perjanjian Tuhan dengan manusia dalam Ekaristi menarik dan mengobarkan Umat
beriman dalam cinta kasih Kristus yang membara. (SC 10)
Jadi liturgi seharusnya dipandang sebagai prioritas utama seorang imam, artinya kalau
liturgi itu dipandang sebagai sesuatu yang penting maka perlu ada usaha yang maksimal,
termasuk juga untuk memperhatikan persiapannya dan melaksanakannya dengan khidmat.
Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah menyanyi (bukan misa diam) karena nyanyian itu
juga adalah sebuah doa. Dalam pada itu salah satu hal penting dalam liturgi adalah liturgi
adalah pemuliaan Allah sehingga adalah layak dan pantas untuk mempersembahkan yang
terbaik dari manusia. Liturgi juga seharusnya memberikan buah, yaitu buah mengasihi
sesama dalam tindakan nyata dari sang imam dalam karya perutusan Gereja yang lain.3
Hal itu juga diteguhkan oleh Lumen Gentium 11 (Konstitusi Dogmatis Tentang
Gereja) yang mengatakan bahwa,

“dengan ikut serta dalam kurban Ekaristi, sumber dan puncak seluruh hidup
kristiani, mereka mempersembahkan Anak Domba Ilahi dan diri sendiri bersama
dengan-Nya kepada Allah; demikianlah semua menjalankan peranannya sendiri
dalam perayaan liturgis, baik dalam persembahan maupun dalam komuni suci, bukan
dengan campur baur, melainkan masing-masing dengan caranya sendiri. Kemudian,
sesudah memperoleh kekuatan dari tubuh Kristus dalam perjamuan suci, mereka
secara konkret menampilkan kesatuan Umat Allah, yang oleh sakramen mahaluhur
itu dilambangkan dengan tepat dan diwujudkan secara mengagumkan.”
Maka jelaslah bahwa liturgi tidak dapat hanya dipahami sebagai suatu tata aturan
baku yang hanya berbicara mengenai peribadatan dan hanya menunjukkan apa yang boleh

3

E. Martasudjita. Spiritualitas Liturgi. hlm. 20.

dan apa yang tidak boleh dilakukan. Jika begitu, maka kita dapat jatuh pada hal-hal “fisik”
belaka (aturan) tanpa melihat kedalamannya. Liturgi begitu kaya dan telah menjadi “Puncak
dan Sumber Kehidupan Gereja”.4 Maka liturgi, khususnya perayaan Ekaristi pertama-tama
bukan lagi soal aturan atau hukum petunjuk, tetapi peristiwa. Liturgi itu peristiwa, di mana
Allah datang untuk menjumpai kita dan kita menyambut-Nya pula dengan puji-syukur dan

permohonan. Di sanalah puncak dan sumber kekuatan dapat kita peroleh. Tuhan datang untuk
menawarkan persahabatan, agar kita hidup bersama Allah dalam segala situasi, untung dan
malang, suka ataupun duka. Dalam Ekaristi, kita merayakan secara istimewa persahabatan
dan hidup bersama dengan Tuhan. Itulah sebabnya, Perayaan Ekaristi merupakan puncak dan
pusat segala macam liturgi. Gereja menghidupi, mengajarkan dan mempertahankan
sepanjang sejarahnya: bahwa Ekaristi Kudus itu sumber dan puncak seluruh perayaan liturgi
dan bahkan seluruh hidup kristiani (bdk. LG 11).5
Kesimpulan dan Strategi Pastoral
Setiap orang Kristiani diharapkan menyadari akan betapa pentingnya memiliki iman
yang benar, karena iman yang benar menjadi dasar bagi penghayatan hidupnya sebagai
seorang Kristiani, bagaimana dia dapat bersikap dan bertindak sebagai seorang Kristiani yang
baik. Masalah utama yang saya lihat dari pelbagai macam permasalahan di atas adalah
kurangnya pemahaman akan liturgi menjadikan orang kurang terlibat dan berpartisipasi
dalam liturgi dan akhirnya kurang dapat memetik dan menikmati rahmat pengudusan yang
diperlukan untuk menghayati hidup harian kita dalam Tuhan. Pengetahuan akan membantu
kita agar kita dapat dengan sungguh-sungguh berpartisipasi dengan hati, jiwa, dan fisik.6
Dalam kenyataannya banyak sekali umat Gereja kita yang merasa bahwa mereka ke
Gereja hanya sekedar untuk menjalankan kewajiban, mereka hanya berpartisipasi secara fisik
saja dan tidak melibatkan hati dan jiwanya. Padahal dalam berbagai perayaan ini, kita dapat
menerima banyak sekali kekuatan dan rahmat yang akan memampukan kita untuk menjalani

kehidupan sehari-hari. Akhirnya pendidikan liturgi menjadi suatu keharusan yang tidak
pernah boleh diabaikan oleh para gembala (maupun para petugas pastoral non tertahbis) baik
sebagai jawaban atas seruan konsili maupun aktualisasi tugas mereka sebagai pembagi
rahmat misteri penyelamatan Allah sekaligus juga sebagai aktualisasi imamat umum kaum
beriman.7
44

E. Martasudjita, Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi . (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 1.
Yosef Lalu, Gereja Katolik Memberi Kesksian Tentang Makna Hidup (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 57.
6
Ibid., hlm 12-14.
7
E. Martasudjita, Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, hlm. 3-4.

5

Perayaan liturgi yang baik akan mendukung terwujudnya keterlibatan, dimana
masing-masing warga Gereja ikut serta ambil bagian untuk kerja bakti dalam liturgi, sesuai
dengan peran dan fungsi masing-masing. Dengan kata lain, perayaan liturgi itu sendiri
mewujudkan Gereja. Oleh karena itu kesimpulan pastoral yang baik dari permasalahan ini

adalah perlu adanya usaha untuk membangun kesadaran dan kepedulian bagi para imam
bahwa merayakan liturgi, khususnya ekaristi dengan benar maka dia akan mengalami
pertumbuhan Spiritualitas Kristiani yang bergerak ke arah „persatuan yang semakin erat
dengan Kristus‟ (KGK 2014). Ia akan memberikan suatu kehidupan yang memberikan kita
kekuatan untuk mencapai kesempurnaan kasih, yaitu „mengasihi Tuhan dan mengasihi
sesama.‟8
Langkah konkrit yang bisa dibuat adalah mengkondisikan liturgi benar-benar menjadi
sebuah perayaan kehidupan di dalam umat seperti misalnya pengurus wilayah rohani/ stasi
atau kelompok kategorial hendaknya melakukan koordinasi untuk mempersiapan perayaan
liturgi dengan sebaik-baiknya, seperti mempersiapkan peralatan liturgi seperti peralatan
misa/ibadat/doa, buku-buku dan panduan, koor, petugas, tema-tema liturgi yang dirayakan,
pelatihan-pelatihan liturgi (kerjasama dengan tim liturgi paroki) dan lain-lainnya. Pengurus
wilayah rohani/ stasi atau kelompok kategorial hendaknya mengkoordinasi pelaksanaan
perayaan liturgi lingkungan misalnya memimpin doa persiapan, pengecekan peralatan, buku
dan panduan, petugas, dan lain sejenisnya. Pengurus wilayah rohani/ stasi atau kelompok
kategorial hendaknya perlu untuk mengevaluasi setiap kegiatan liturgi lingkungan agar dapat
dikembangkan lebih baik lagi untuk semakin mengarah pada sasaran dan tujuan perayan
liturgi tersebut, yaitu tercapainya keterlibatan seluruh umat dan tercapainya iman yang
mendalam.9
Oleh karena itu strategi pastoral yang perlu dibuat adalah memberikan pendampingan

dan pembinaan umat dalam hal liturgi. Pembinaan dan pendampingan ini tidak hanya dalam
seminari atau penegasan tetapi terutama sang imam mampu menjadikan liturgi, khususnya
ekaristi dengan khidmat supaya menjadi suatu keyakinan dalam umat tentang betapa mulia
dan bermaknanya liturgi (ekaristi) untuk umat beriman. Pembinaan dan pendampingan liturgi
juga bisa dilaksanakan dengan pemberdayaan kaum awam sebagai pimpinan dan katekis di
paroki dan stasi.10

8

Yosef Lalu, Gereja Katolik Memberi Kesksian Tentang Makna Hidup, hlm 90.
E. Martasudjita, Spiritualitas Liturgi, hlm. 3-4.
10
E. Martasudjita, Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi , hlm. 20-22.
9

Di antaranya yang utama ialah pendidikan kateketis, yang menyinari dan meneguhkan
iman, menyediakan santapan bagi hidup menurut semangat Kristus, mengantar
kepada partisipasi yang sadar dan aktif dalam misteri Liturgi, dan menggairahkan
kegiatan merasul (GE 4).
Dalam pada itu hal itu isi pendampingan telah diatur dalam Pedoman Umum Katakese, yaitu:

" ..., bersama dengan memrgukan pengetahuan tentang arti liturgi dan sakramensakramen, harus juga mendidik para murid Kristus untuk doa, ucapan syukur, tobat,
berdoa dengan penuh kepercayaan, untuk semangat menjemaat, untuk mengerti
dengan tepat arti Credo ... karena semua ini perlu bagi hidup liturgis (PUK 85).
" ... pembinaan liturgis ... harus menjelaskan apa itu liturgi Kristen, dan apa itu
sakramen. Katekese harus juga memberikan pengalaman tentang macam-macam
perayaa» yang berbeda, dan harus membuat simbol-simbol, gerak-gerak, dan
sebagaitrya yang dikenal dan dicintai" (PUK 87).
Selain itu ada juga
Arti dan makna liturgi Kristen, sakramen-sakramen atau perayaan liturgi lainnya,
simbol-simbol dan gerakan liturgi, dan sebagainya. Selain itu katekese juga
diharapkan membentuk dalam diri umat beriman sikap-sikap yang dituntut dan
diperlukan oleh setiap perayaan liturgi, misalnya doa, ucapan syukur dan pujian,
tobat, berdoa dengan penuh kepercayaan, semangat menjemaat, dan sejenisnya,
Pengalaman saya telah menunjukkan bahwa terkadang pembinaan dan pendampingan
liturgi membutuhkan kesabaran dan keteguhan hati, terutama ketika berhadapan dengan umat
yang pendidikannya rendah dan kurang. Oleh karena itu pendidikan liturgi perlu dibangun
sejak dini. Kecintaan dan kepedulian terhadap liturgi dan juga sarana dan prasarana liturgi
perlu ditumbuhkan sejak masih muda. Saya melakukanya itu di Asrama Katolik St Theresia
Beteleme. Setiap malam sesudah doa malam kami melakukan latihan bacaan bersama. Setiap
sabtu sore kami melaksanakan latihan misdinar dan malamnya kami mengadakan latihan

koor bersama. Setiap hari mereka satu per satu ditunjuk bergantian menjadi kostor. Dengan
pendidikan dan pembinaan sejak dini seperti itu saya melihat sudah ada banyak perubahan
yang terjadi dalam diri mereka. Kecintaan mereka terhadap liturgi memberikan rasa bangga
dalam diri mereka menjadi seorang katolik.
Dalam kesadaran, kecintaan, kepedulian dan kebanggan terhadap liturgi maka bisa
ada potensi dibangun semangat liturgis atau semangat kasih dalam kehidupan nyata dengan
juga memperhatikan dan melaksanakan karya perutusan Gereja yang lain, yaitu kerygma,
martyria, diakonia dan koinonia.11 Kerygma yang baik bisa muncul dalam liturgi dalam
khotbah, tetapi terutama pewartaan itu bisa mucnul dalam usaha menjadikan liturgi menjadi

11

E Martasudjita ., Gereja yang Melayani dengan Rendah Hati bersama Mgr. Ignatius Suharyo, (Yogyakarta:
Kanisius, 2013), hlm. 48-49

kreatif (dengan mengindahkan kaidah-kaidah yang tetap perlu dalam Gereja katolik) dimana
mulai dibangun kerja sama antara liturgi dan katakese. Dalam hal martyria praktis liturgi bisa
menjadi puncak kesaksian dimana rasa khidmat dan khusuk dalam liturgi akan memberikan
pesan yang kuat untuk umat tetapi juga untuk siapa saja yang menyaksikan merayakan liturgi
yang sungguh dipersiapkan. Dalam hal diakonia liturgi menjadi puncak dimana dalam liturgi
kita bisa mendoakan kaum tertindas dan marginal, tetapi juga perayaan-perayaan liturgi
dapan menunjukkan pelayanan yang benar, seperti misalnya dalam pemberian sakramen
orang sakit. Akhirnya dalam hal koinonia liturgi bisa menjadi sumber dan puncak karena
dalam perayaan liturgi ada kesatuan dan kebersamaan dalam umat. Perayaan liturgi bisa
menjadi momen dimana umat bisa berkumpul dan bekerja sama.12
Daftar Pustaka
Martasudjita E. Spiritualitas Liturgi, Yogyakarta: Kanisius, 2002.
-----------------. Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi. Yogyakarta: Kanisius,
2011.
-----------------. Gereja yang Melayani dengan Rendah Hati bersama Mgr. Ignatius Suharyo,
Yogyakarta: Kanisius, 2013.
Lalu, Yosef. Gereja Katolik Memberi Kesksian Tentang Makna Hidup, Yogyakarta:
Kanisius, 2005.

12

Ibid., hlm 55-57.