Opini Tata Ruang Di Kebun Sawit

CAP BURUK PERKEBUNAN SAWIT BERAWAL DAN BERAKHIR
DI PENATAAN RUANG
JEFRI GIDEON SARAGIH (KETUA DEPARTEMEN KAMPANYE SAWIT WATCH)
Pernah Dimuat di Insist Press, edisi Desember 2011

“Ia memiliki harumnya bunga violet, rasa minyak zaitun dan warna yang memberi nuansa
saffron pada makanan tetapi lebih menarik” (Ca’da Mosto, petualang abad 15 tentang penemuan
minyak kelapa sawit)
Pendahuluan
Tanaman kelapa sawit (Elais Quineensis Jacg) adalah pohon palma kuno liar berasal dari Afrika
Barat. Menurut sejarah, sejak 5.000 tahun yang lalu tanaman ini telah diekstraksi untuk
mengambil minyaknya untuk bahan memasak makanan oleh manusia. Selain itu minyak sawit
juga digunakan sebagai penghangat tubuh apabila musim dingin tiba dan bahan obat-obatan.
Semua itu dibuktikan dari penemuan arkeologi berupa guci tanah liat yang mengandung sisa
residu minyak sawit pada sebuah makam kuno di Mesir.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama sejak Revolusi Industri di Eropa pada abad
ke-19, membuat minyak sawit semakin dibutuhkan terutama untuk minyak pelumas pelbagai
jenis mesin-mesin pabrik dan tranportasi. Demi memenuhi kebutuhan pasar yang semakin
meningkat, mobilisasi orang dalam bentuk perbudakan untuk dijadikan buruh di kebun sawit
pun terjadi. Umumnya para budak diambil dari afrika dan dipaksa bekerja di perkebunan di
benua Amerika dan Asia.

Di Indonesia sendiri, tanaman sawit pertama sekali masuk tahun 1848 dibawa oleh pegawai
pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Jumlahnya sangat sedikit karena hanya dijadikan sebagai
tanaman hias di halaman istana gubernur jenderal Belanda di Bogor. Saat itu pemerintah kolonial
belum mengetahui banyak manfaat lain dari tanaman sawit. Namun di ujung abad 18 akibat
dorongan revolusi industri, pemerintah kolonial mulai melirik tanaman sawit untuk dijadikan
komoditi andalan. Hal itu dimulai dengan membangun perkebunan sawit skala besar di beberapa
daerah di Hindia Belanda. Inilah yang menjadi cikal-bakal industri sawit Asia Tengga, terutama
di Indonesia dan Malaysia.
Alasan pembukaan kebun sawit di Indonesia oleh pemerintah kolonial adalah:
1. Indonesia merupakan koloni Belanda yang memiliki ketersediaan tanah yang luas.
2. Beriklim tropis, letaknya persis di garis khatulistiwa, yang sangat cocok bagi
pertumbuhan tanaman sawit,

3. Ketersediaan sarana dan prasana transportasi, termasuk cikal-bakal pelabuhan di Belawan
dan Jakarta.
4. Disamping itu tentu saja buruh murah dan tenaga kerja paksa (rodi) bisa dimobilisasi
untuk pembukaan, perawatan dan pemanenan kebun sawit dari daerah dan pulau-pulau
lain yang berdekatan dengan Sumatra Timur.
Kelapa Sawit sendiri akan tumbuh subur pada ketinggian 10 – 500 meter di atas permukaan air.
Hidup diantara suhu udara 24 – 28 derajat Celsius. Mesti mendapat curah hujan yang merata

sepanjang tahun 2.000 – 3.000 mm. Memerlukan sinar matahari 5 – 7 jam perhari sepanjang
tahun. Kemiringan tanah 16 – 30 derajat. Semua syarat-syarat di atas sesuai dengan iklim
Indonesia yang terletak persis di 6 derajat Lintang Utara sampai 11 derajat Lintang Selatan dan
sejajar garis khatulistiwa di 96 derajat sampai 141 derajat Bujur Timur.
Produk Derivatif Minyak Sawit
Seiring dengan kemajuan zaman, perasan tandan buah segar (TBS) kelapa sawit kini diolah
untuk menghasilkan pelbagai jenis barang yang mencukupi kebutuhan hidup manusia. Secara
garis besar, kelapa sawit menghasilkan dua jenis minyak – minyak kelapa sawit dari daging buah
mesocarp dan minyak inti sawit dari biji atau kernel-. Minyak kelapa sawit digunakan terutama
untuk produk makanan, minyak goreng, shortening, margarine, pengganti lemak susu dan
pengganti mentega coklat/cocoa butter.
Minyak inti sawit atau palm kernel oil lebih banyak digunakan dalam industri oleochemical
untuk membuat sabun, deterjen, produk perawatan tubuh dan kosmetik. Terlebih, kajian nutrisi
telah menemukan bahwa minyak kelapa sawit merupakan salah satu sumber alami terkaya dan
terampuh Vitamin E dan sekarang sedang dibuat dalam bentuk kapsul dan dipasarkan sebagai
produk suplemen diet.
Selain itu, produktifitas tanaman sawit untuk menghasilkan tandan buah segar (fresh fruit
bunches) jauh lebih tinggi (bisa mencapai 10 kali) dibandingkan produktifitas vegetables oil
yang lain, seperti minyak bunga matahari atau jarak.
Penemuan terbaru manfaat minyak sawit adalah biofuels (bahan bakar nabati/BBN). BBN dari

minyak sawit didapat setelah minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO) dicampurkan dengan
fossil fuels (bahan bakar minyak/ BBM) jenis solar lalu diekstraksi dengan memakai teknologi
tertentu untuk menghasilkan biodiesel. Penemuan baru berupa biodiesel ini didasari dari fakta
semakin langka dan mahalnya BBM akibat pertambahan konsumsi yang sejalan dengan
pertumbuhan penduduk bumi.
Selain itu penggunaan BBM, berdasarkan penemuan ilmiah, sangat berdampak terdapat
perubahan iklim dan pemasanan global. Pelepasan emisi dari gas buang motor/ mesin yang
menggunakan fossil fuels kebanyakan akan tertahan di atmosfer hingga menjadi selubung gelap
yang menjadi gas rumah kaca/GRK (green house gasses). Dalam jumlah normal, GRK

berfungsi sebagai penghangat suhu namun bila berlebihan ia akan menyebabkan pemanasan
global serta perubahan iklim.
Penemuan baru baru ini mengakibatkan permintaan yang cukup tinggi terhadap minyak sawit
sebagai bahan baku (feed stock) biodiesel, terutama untuk Negara-negara Uni Eropa. Bahkan
sejak Juli 2011, beberapa perusahaan penerbangan, KLM Royal Dutch Airlines dan Lufthansa
Jerman, sudah menggunakan bahan bakar nabati (campuran avtur dan crude palm oil) dalam
penerbangannya ke pelbagai Negara di dunia. Hal lain yang patut dicatat dari BBN ini adalah dia
digolongkan sebagai bahan bakar terbarukan (renewable energy) dan ramah lingkungan.
Selain minyaknya, setiap bagian dari kelapa sawit dapat dipergunakan. Residu biji sawit
digunakan dalam pakan ternak. Kulit atau shell, setelah dipecahkan dan diambil biji intinya,

digunakan sebagai bahan baker dalam banyak pembakar industri dan untuk memproduksi
activated charcoal. Daun palem, furniture dan bahkan tikar serat untuk melawan erosi dan
desertification (proses perubahan menjadi gurun pasir/tandus).
Minyak Sawit Komoditi Primadona Dunia
Berdasarkan data OIL WORLD 2006 – 2010, demand pasar menunjukkan tren peningkatan
secara pesat terhadap komoditi minyak sawit mentah. Hal ini membuat negara-negara produsen
ketiban untung -termasuk Indonesia yang saat ini berada diurutan pertama penghasil minyak
sawit dunia- memperluas kebun sawitnya. Patut dicatat bahwa produksi minyak sawit mentah
Indonesia dan Malaysia mencapai 85% dari total produksi dunia sejumlah 40 juta ton.
Meski bulan Agustus sampai November 2008 harga minyak sawit mentah (crude palm oil/ cpo)
dunia mengalami penurunan tajam hingga 300 dolar AS per ton, namun sepanjang lima tahun
terakhir sejak 2005, harga minyak sawit dunia relatif stabil berada di level 700 – 1.200 dolar
Amerika per ton.
Hingga akhir tahun 2010, Indonesia berhasil mencatatkan diri sebagai negara penghasil minyak
sawit mentah terbesar di dunia dengan total produksi mencapai 21,3 juta ton. Dari jumlah itu,
hampir 6 juta ton dipakai untuk konsumsi domestik sedangkan diekspor ke beberapa negara
Eropa, China, India dan lain-lain. Bahkan menurut majalah Info Sawit edisi akhir tahun 2010,
bisnis CPO Indonesia menghasilkan keuntungan hingga 9,11 miliar dolar Amerika.
Petaka Dibalik Kemilau Minyak Sawit
Meski diakui minyak sawit memiliki beberapa keunggulan dibanding jenis minyak nabati

lainnya, seperti bebas rekayasa genetika, produktifitas per hektarnya 10 kali lebih banyak
dibanding kacang kedelai, rapeseed atau sunflower, kelapa sawit memproduksi lebih dari 34%
(minyak kelapa sawit dan minyak inti sawit) dari 8 minyak nabati utama dengan menggunakan
lahan yang lebih sempit dibanding tanaman penghasil minyak, namun ada banyak persoalan
yang muncul dibalik semua keunggulan tadi.

Secara global keberadaan kebun sawit sering dituding melakukan deforestasi, pengeringan lahan
gambut, pembakaran lahan yang mengakibatkan kabut asap dan perubahan iklim serta
pemanasan global serta penghilangan keanekaragamanhayati yang seharusnya dilindung.
Tudingan ini tidak dapat ditolak begitu saja karena berangkat dari penemuan lapangan yang
otentik.
Selain itu, di tempatnya berada pun, perkebunan sawit juga dicap jelek karena melakukan
perampas lahan dan kriminasilisasi terhadap kelompok rentan (masyarakat adat/lokal, petani dan
buruh) ketika memperjuangkan hak-haknya. Cap jelek ini juga tak bisa disebut sebagai kasus
semata, sebab terjadi sangat massif di seluruh perkebunan sawit. Ini merupakan pola atau modus
perusahaan sawit untuk mendapatkan lahan milik masyarakat adat dan meraih keuntungan besar
dari pengelolaan kebunnya.
Menurut hemat penulis, setiap tahun masalah besar yang muncul dibalik gemericik keuntungan
bisnis sawit tadi semakin membesar dan mengeras. Apabila tidak segera diselesaikan bisa
dipastikan ia akan menjadi faktor kuat untuk menghancurkan bisnis sawit itu sendiri bahkan akan

berimplikasi kuat terhadap ketahanan negeri ini.
Dari hasil pengamatan, penemuan lapangan dan analisis mendalam, penulis sangat berkeyakinan
bahwa semua persoalan yang terjadi di perkenan kelapa sawit itu bersumber dari perencanaan
ruang yang silang-sengketa dan penegakan Undang Undang (UU) payung serta pembuatan
peraturan teknis terkait perkebunan sawit sendiri yang lemah dan karu-marut.
Adakah jalan keluar yang bisa dilakukan untuk menyelesikan semua persoalan-persoalan
tersebut? Tulisan ini coba mengurai persoalan mendasar di atas sambil menawarkan sebuah
solusi alternative demi keberlanjutan perkebunan sawit.
Sejarah Ekspansi Kebun Sawit di Indonesia
A.Perkebunan Sawit Masa Pemerintahan Kolonial (1875–1945)
Menurut Kartodirdjo & Suryo (1991), sejarah perkebunan di negara berkembang, termasuk
Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari masuknya kolonialisme, kapitalisme dan modernisasi. Di
negara-negara berkembang, perkebunan hadir sebagai perpanjangan dari perkembangan
kapitalisme agraris barat yang diperkenalkan melalui sistem perekonomian kolonial. Sistem
perkebunan yang dibawa oleh pemerintah kolonial adalah sistem perkebunan Eropa, yang
berbeda dengan sistem kebun (garden system1) yang ada di Negara-negara lain pada masa prakolonial”.

1 Garden system menunjukkan sebuah perkebunan rumah tangga untuk melengkapi kebutuhan

pokoknya, terutama pertanian pangan. Modal usaha ini relatif kecil, penggunaan lahan tidak

terlalu luas, sumber tenaga kerja berpusat pada anggota keluarga, kurang berorientasi kepada
pasar, dan lebih fokus untuk melayani kebutuhan subsisten. Berbanding terbalik dengan system
perkebunan Eropa.

Untuk perkebunan sawit sendiri, seperti yang telah dituliskan di atas, pertama kali masuk ke
Indonesia tahun 1848. Awalnya hanya empat pohon yang ditanam sebagai penghias istana
gubernur jenderal Hindia Belanda. Penanamannya dilakukan di Kebun Raya Bogor. Dua pohon
sawit tadi berasal dari Hortus Botanicus Amsterdam dan dua lagi dibawa dari Mauritus. Patut
diduga bahwa kelapa sawit yang ada di Indonesia semuanya berasal dari Afrika tetapi tiba di sini
melalui jalan yang berbeda.
Namun kemajuan teknologi dari hasil revolusi indutri di Eropa membuat pemerintah kolonial
memperbanyak menanam sawit karena laku di pasar dunia. Penanaman sawit dalam jumlah besar
pun dilakukan pemerintah di Banyumas dan Palembang pada tahun 1875. Merasa berhasil
mengembangkannya, pemerintah kemudian membangun perkebunan kelapa sawit di wilayah
Deli (Sumatra Utara). Pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit skala besar oleh swasta di
Indonesia dilakukan pertama kali oleh Adrian Hallet tahun 1911 di Sungai Liput (Pantai Timur
Aceh) dan Pulo Raja (Asahan). Pada tahun yang sama, K.L.T. Schadt menanam juga kelapa
sawit di Sungai Itam Ulu (Deli). Tahun 1914 luasan perkebunan kelapa sawit mencapai 3.250
Ha.
Sejarah ekspansi sawit dalam bentuk perkebunan skala besar itu pantas disebut sebagai Era Baru,

ditandai dengan kedatangan buruh kontrak yang tidak digaji atau yang dibayar sangat murah.
Kebanyakan buruh yang bekerja di perkebunan sawit di Pulau Sumatra itu didatangkan dari
pulau Jawa yang memang sudah mulai dilanda ledakan penduduk. Berangkat dari sejarah itu,
mesti diakui bahwa pengembang kebun sawitt skala besar memang bersifat eksploitatif dan
menindas.
B. Perkebunan Sawit Masa Sukarno (1945-1967)
Penghisapan di perkebunan sawit pada masa kolonial tadi, segera terhenti ketika Indonesia
merdeka. Masa ini banyak rakyat Indonesia secara spontan menduduki perkebunan sawit eks
Belanda dan asing yang ada di sekitar tempat tinggalnya. Puncaknya adalah tahun 1957, ketika
Presiden Sukarno menyerukan nasionalisasi seluruh aset perusahaan asing yang ada di Indonesia
dan diberikan kepada rakyat, termasuk perusahaan perkebunan sawit. Tak berhenti di situ,
kebijakan Pemerintahan Soekarno yang populis dilanjutkan dengan rencana land reform dengan
diterbitkannya Undang-Undang Pokok Agraria No 5 tahun 1960, dimana salah satu obyek dari
land reform adalah lahan-lahan perkebunan skala besar. Tapi amat disayangkan agenda land
reform belum sempat dilakukan, Pemerintahan Soekarno sudah langsung jatuh.
C. Perkebunan Sawit Masa Suharto (1967-1998)
Ketika Suharto naik ke tampuk kekuasaan tahun 1966, masalah kepemilikan kebun sawit yang
sebelumnya dikelola rakyat kembali digugat. Pada masa ini, perwira-perwira militer aktif banyak
menduduki posisi-posisi penting di perusahaan sawit dan mulai bekerja sama dengan pengusaha
(lokal maupun asing) memaksa warga yang dulu mengokupasi kebun sawit eks perusahaan asing

segera menyerahkan lahan itu kembali kepada pemerintah. Apabila rakyat menolak maka
stempel pemberontak (baca: antek-antek Partai Komunis Indonesia) akan segera diberikan.
Segala hak pun layak disita meski tanpa pembuktian dari tuduhan yang disematkan tadi.
Merasa diintimidasi dan dipaksa, banyak rakyat yang tergusur dari lahan kelolanya sejak
republik ini merdeka sampai jatuhnya Bung Karno. Sebagian kebun yang diambil kembali dari

rakyat itu kemudian diberikan pengelolaannya kepada perusahaan perkebunan milik Negara,
sedangkan sebagian lagi dijual kepada pihak asing dengan dasar hukum Undang-Undang tentang
Penanaman Modal Asing tahun 1967.
D. Perkebunan Sawit Era Reformasi (1998-sekarang)
Satire masih terus terjadi meski Suharto tidak lagi berkuasa di zaman reformasi. Di masa ini,
arus investasi swasta nasional maupun asing di sektor perkebunan sawit semakin terbuka lebar.
Hal ini disebabkan oleh krisis moneter yang dialami Indonesia cukup akut sehingga
membutuhkan suntikan dana segar untuk menggerakkan roda perekonomiannya .
Masuknya modal asing secara besar-besaran diawali dari kebangkrutan perusahaan Salim Grup
yang memaksanya mesti menjual 23 anak perusahaan yang bergerak di perkebunan sawit di
Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi seluas 256 ribu ha dengan nilai Rp 3 triliun ke perusahaan
sawit Malaysia, Sime Darby. Langkah ini kemudian diikuti oleh banyak perusahaan asing dengan
cara juga membeli kebun sawit perusahaan-perusahaan swasta nasional yang bangkrut serta
mengajukan ijin guna pembukaan kebun sawit baru. Sebut saja misalnya perusahaan asal AS,

Cargill, kini memiliki lahan cukup luas di Pulau Sumatra dan Kalimantan. Juga Wilmar
International, terdaftar di bursa efek Singapore, yang memiliki kebun sawit cukup luas di
Sumatra dan Kalimantan.
Dampak Perluasan Kebun Sawit
Menurut data Sawit Watch, sejak tahun 1998 sampai sekarang, sedikitnya 500-800 ribu ha hutan,
lahan gambut dan lahan kelola masyarakat dikonversi menjadi perkebunan sawit. Perluasan
kebun sawit dengan alasan pertumbuhan ekonomi, pembukaan lapangan kerja serta pengentasan
kemiskinan tentu saja memberikan dampak negative terhadap keberlanjutan sosial dan
lingkungan di Indonesia karena tidak direncanakan dan diawasi dengan baik oleh pemerintah.

Kecepatan dan percepatan perluasan kebun sawit yang tak terencana dan terkontrol tadi
mengakibatkan dua hal, yaitu:
A. Persoalan Sosial
Dampak sosial yang muncul dan paling signifikan akibat perluasan kebun sawit tadi adalah
konflik lahan antara perusahaan dengan masyarakat adat/ lokal, petani dan buruh perkebunan

sawit. Tak jarang konflik itu berujung pada kekerasan yang berakibat pada kekerasan,
kriminalisasi bahkan kematian.
Di semester pertama tahun 2011 ini saja, Sawit Watch mencatat ada 5 orang meninggal akibat
konflik lahan di kebun sawit dan sedikitnya 25 orang masyarakat dikenai tindak pidana. Hingga

ujung tahun 2010 lalu total konflik yang terjadi mencapai 663 komunitas di seluruh Indonesia.

Konflik sosial yang terjadi di kebun sawit ini, memunculkan kelompok-kelompok rentan dan
persoalan yang melilitnya, yaitu:
1. Masyarakat Adat/ Penduduk Lokal;
a. kerap tergusur dari wilayah tinggal dan kelolanya (hutan, rawa gambut dan kebun
pertanian).
b. Sebagian kecil dari kelompok ini mendapat kompensasi pergantian tanam-tumbuh di
lahannya, selebihnya tergusur paksa.
c. Ini bisa terjadi karena ketiadaan alas hak lahan (sertifikat atau pengakuan tertulis
lainnya) yang dimiliki atas lahan tersebut.
d. Dan tentu saja karena ketidakmampuan dan ketidakmauan pemerintah memberikan
pengakuan legal terhadap hak penguasaan dan kelola lahan terhadap masyarakat adat/
lokal.
2. Petani Plasma;
a. Penyerahan kebun sawit kemitraan kepada petani tidak tepat waktu/ sesuai janji.
Biasanya petani yang berasal dari masyarakat adat/ lokal dijanjikan akan menjadi
mitra perusahaan apabila mau menyerahkan lahannya, dengan pembagian 10 : 2.
Artinya bila si penduduk memberikan lahan 10 ha maka dia akan mendapatkan kebun
sawit kemitraan 2 ha dalam bentuk hutang yang pembayarannya dicicil berdasarkan
hasil panen tandan buah segar dari kebun tadi. Agar bisa mendapatkan lahan dengan
cepat, perusahaan membuat perjanjian bahwa konversi kebun sawit ke petani akan
diberikan paling lama 4 tahun setelah tanggal penyerahan lahan. Namun realitas yang
terjadi, kebun dikonversi ke petani rata-rata setelah 6-7 tahun.
b. Selain itu kwalitas Kebun Plasma yang buruk dan tidak sesuai ukuran, Jumlah utang
dan bunga kredit yang dibebankan terlalu tinggi dan tidak transparan,
c. Penyediaan bibit, pupuk, pestisida dan alat-alat kerja lainnya dimonopoli oleh
perusahaan induk,

d. Penentuan harga TBS secara sepihak oleh perusahaan induk,
e. Contract Farming lewat pola kemitraan antara petani dan perusahaan dalam system
pengelolaan satu manajemen (PSM). Artinya, petani hanya perlu menyerahkan lahan
dan proses pengelolaannya kepada perusahaan dan setiap akhir bulan akan
mendapatkan uang dari hasil produksi kebunnya.

3. Buruh;
a. sebanyak 65% buruh yang bekerja di kebun sawit berstatus buruh harian lepas (BHL)
yang Gaji Rp 24.500 – 27.000 /hari selama 7 jam kerja, maksimal kerja 15 hari dalam
sebulan,
b. Tidak ada jaminan/asuransi kesehatan,
c. Alat kerja disediakan sendiri,
d. Rentan terhadap pelecehan sexual,
e. Rentan terhadap keracunanan bahan kimia & kecelakaan kerja.
B.Degradasi Lingkungan
Dampak negatif ekspansi perkebunan sawit terhadap keberlanjutan lingkungan sering dituduhkan
banyak pihak secara global terhadap Indonesia melakukan:
1. Deforestasi:
a. Setiap tahun sejak 1998, Sawit Watch mencatat ada konversi wilayah hutan dan
gambut (areal konservasi) seluas 400 ribu.
b. Konversi hutan dan gambut itu sering dilakukan dengan cara membakar yang
menyebabkan kabut asap, terutama di Riau dan Kalimantan Tengah.

c. Hilangnya keanekaragamanhayati: Hingga 2007, ada beberapa jenis spesis flora dan
fauna yang telah punah. Misalnya saja: terdapat 140 jenis burung, 63 jenis mamalia,
dan 21 jenis reptile yang telah punah. Selain itu, Badak Sumatra hingga tahun 2007
hanya tersisa 300 ekor. Sedangkan badak Jawa kurang dari 60 ekor. Gajah Sumatra
diperkirakan hanya tersisa 2400-2800, sedangkan gajah Kalimantan 60-100 ekor saja.
Diperkirakan dalam 15 tahun ke depan bila tidak diperhatikan dengan baik, maka
35% dari jumlah gajah tadi akan punah. Bila keadaan seperti ini masih terus berlanjut,
dipastikan dalam 30 tahun ke depan gajah sudah tidak akan ada lagi di Indonesia.
Tingkat kepunahan orang utan diperkirakan 1-1.5 % per tahun di Sumatra. Dan 1.52.0% per tahun di Kalimantan. Saat ini jumlah orang utan di Sumatra sebanyak 6,667
dan di Kalimantan terdapat 54,567. Di Kalimantang Tengah terdapat 1.500 ekor orang
utan mati di daerah kebun sawit tahun 2006 lalu. (Bambang H.S, 2009).
d. Bencana banjir dan tanah longsor setiap tahun akibat konversi wilayah konservasi
menjadi perkebunan sawit, terutama di Pulau Sumatra dan Kalimantan.

2. Degradasi Sumberdaya Air
Daerah tangkapan dan pinggiran sungai juga dikonversi jadi kebun sawit akibatnya saat
musim hujan serung terjadi banjir dan saat musim kemarau sering terjadi kekeringan.
Pencemaran air sungai oleh limbah dan bahan-bahan kimia perkebun sawit. Juga 45o
sumber air utama saat ini sedang dalam keadaan kritis. Dan 60 sungai sebagai sumber air
masyarakat mesti segera direhabilitasi. Di Kalimantan Tengah setidaknya 6 sumber air
masyarakat rusak permanen akibat perkebunan sawit (sajarwan, 2008). Penguasaan
sumber daya air yang terdapat di perkebunan oleh perusahaan bisa mencapai 95 tahun
(usia HGU berdasarkan UU PenanamanModal no 25 tahun 2007)

3. Kesuburan Lahan; penurunan tingkat kesuburan tanah akibat penggunaan bahan-bahan
kimia perkebunan seperti pupuk, pestisida dan herbisida.
Tabel Penggunan dan Jumlah Bahan-Bahan Kimia Beracun di Kebun Sawit

C.Pemanasan Global
Akibat konversi hutan dan lahan gambut serta pembakaran terhadapnya, juga penggunaan zat-zar
kimia beracun serta penggunaan bahan bakar fosil untuk transportasi dan pabrik di kebun sawit,
menjadikan sektor ini diangap memberikan sumbangan signifikan terhadap perubahan iklim dan
pemanasan global.
Teori perubahan iklim dan pemanasan global menyebutkan bahwa energi dari matahari dalam
bentuk panas dan cahaya yang terus-menerus menyinari bumi. Biasanya panas dan cahaya tadi
dikembalikan ke angkasa, tetapi sebagian lain terperangkap oleh molekul-molekul gas rumah
kaca (GRK), seperti Karbon dioksida (CO2), Methana (CH4), Nitrogen Oksida (N2O),
Hydrofluorocarbons(HFCS), Perfluorocarbons(PFCs) dan Sulphur hexafluoride(SF6). Gas
rumah kaca ini terdapat dan menempel di lapisan atmosfer bumi. Sebenarnya dalam jumlah
normal, molekul gas rumah kaca itu berfungsi untuk menyelimuti bumi agar suhu tetap hangat
sehingga bisa dihuni manusia.
Namun sejak revolusi industri yang menghasilkan perkembangan pesat teknologi mekanikal,
disebutkan suhu bumi mengalami peningkatan rata-rata meningkat 0,74% derajat celscius per
tahun. Selain karena proses alam, peningkatan suhu bumi tadi sangat dipengaruhi oleh aktifitas
manusia. Terutama dari penggunaan bahan bakar fosil (misalnya minyak bumi dan batubara)
juga akibat penebangan hutan dan konversi lahan untuk perkebunan dan pertambangan skala
besar.

Sebelum revolusi industri, kandungan CO2 dan GRK lain diatmosfer mencapai 280 ppm (part
per million), namun kini telah meningkat pesat menjadi 380 ppm. Diperkirakan dari aktifitas
manusia saat ini (eksplorasi tambang, membuka hutan jadi perkebunan skala besar dll) pada
2050 tingkat emisi karbon diperkirakan mencapai 750 ppm (part per million)
Masih berdasarkan penelitian ahli iklim, dikatakan pemanasan global dan perubahan iklim non
alam disebabkan oleh dua hal yaitu: Emisi Energi dan Emisi Non energi (lihat slide di bawah ini)
.
Tabel Pelepasan Gas Rumah Kaca di Perkebunan Sawit

Emisi terbesar dari sektor non energi terjadi karena penggunaan lahan, perubahan peruntukan
lahan, hutan atau sering disebut dengan LULUCF (landuse, landuse change, forestry).
Berdasarkan hitungan di atas, Indonesia dikategorikan sebagai penyumbang emisi terbesar
terhadap perubahan iklim dan pemanasan global karena sangat massif mengonversi lahan dan
hutannya, menjadi perkebunan sawit skala besar (lihat slide urutan Negara penyumbang emisi
dunia berdasarkan LULUCF di bawah ini)

Sumber Konflik: Benturan Kepentingan Penguasaan dan Pengelolaan Keruangan
Apabila dirunut secara teliti, ada 3 penyebab konflik ruang di Indonesia, yaitu:

1. Ketiadaan peta Rencana Tata Ruang Wilayah secara berjenjang dan lengkap,
terperbaharui serta mengikat secara hukum dari tingkat kabupaten hingga nasional untuk
dijadikan acuan pembangunan.
2. Benturan kepentingan internal pemerintah yang bersifat sektoral dan berjenjang untuk
menguasai ruang demi kepentingan politik dan ekonomi tiap-tiap sektor dan tingkatan
tadi.
Sedangkan bila dihitung emisi gabungan (Emisi Energi dan Emisi Non Energi) yang dilakukan
oleh para ahli, disebutkan Indonesia menghasilkan 3,014 miliar ton emisi GRK dari sektor
energi, pertanian dan sampah sebesar 451 juta ton. Sementara emisi dari hutan (konversi hutan
menjadi perkebunan skala besar, misalnya perkebunan kelapa sawit) dan perubahan fungsi lahan
(seperti pembukaan lahan gambut) diperkirakan mencapai 2,563 miliar ton. Akibatnya Indonesia
pun diletakkan pada nomor urut ke-3 sebagai negeri emiter terbesar di dunia setelah China
(6,005 miliar ton) dan Amerika Serikat (5,017 miliar ton)
Ekspansi perkebunan sawit dalam jumlah besar yang tanpa perencanaan dan pengawasan itu,
berakibat pada munculnya persoalan sosial, degradasi lingkungan dan penyebab perubahan iklim
dan pemanasan global. Bisnis sawit Indonesia pun dalam sorotan tajam dengan semua cap
buruknya.
Moratorium Hutan dan Gambut Langkah Momen Pembenahan
Setelah dihantam banyak pihak terkait persoalan sosial, lingkungan dan pemanasan global yang
muncul akibat penggunaan lahan, perubahan peruntukan lahan, hutan, pemerintah Indonesia pun
mulai merespons tuntutan tadi dengan melakukan perbaikan terkait tuduhan tadi. Khusus di
sektor sawit, tekanan banyak pihak terhadap pengelolaan kebun yang amburadul bahkan sampai
mendapatkan sanksi berupa pemutusan kontrak oleh pembelinya.
Menghadapi semua tekanan itu, Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhono (SBY),
pada tahun 2009 di Pittsburg, Amerika Serikat, mengumumkan komitmen Indonesia menurunkan
emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26%. Bila mendapat dukungan dari negara-negara lain,
angka penurunan tadi masih bisa ditingkatkan hingga 41%.
Demi mewujudkan tekad itu, pemerintahan SBY membuat serangkaian kebijakan dan program
pengurangan emisi. Setidaknya ada satu hal yang dijanjikan pasca pernyataan komitmen
tersebukat, yaitu: rencana penerbitan Instruksi Presiden (Inpres) tentang moratorium pembukaan
hutan dan gambut selama dua tahun.
Merasa komitmen pemerintah Indonesia benar-benar akan dilakukan, pemerintah Norwegia
sepakat mendukung komitmen penurunan emisi tersebut dengan memberikan bantuan uang
sebesar satu miliar dolar berdasarkan prinsip pay-for-perfomance. Pada bulan Mei 2010,
pemerintah kedua negara sepakat menandatangani Letter of Intent (LoI) terkait penurunan emisi
Indonesia dari penggunaan lahan, perubahan peruntukan lahan, hutan.
Setahun pasca penandatanganan LoI, Presiden SBY menerbitkan Inpres No.10 Tahun 2011
tentang Moratorium (Penundaan) Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan

Alam Primer dan Lahan Gambut, pada bulan Mei 2011. Dalam instruksi itu disebutkan soal
moratorium izin baru konsesi hutan primer dan lahan gambut selama dua tahun, kecuali di sektor
minyak dan gas, geothermal, padi dan tebu. Juga disebutkan, terbitnya satu peta indikatif hutan
Indonesia.
Dengan penghentian sementara perizinan selama itu, banyak ahli memperkirakan Indonesia
setidaknya menyelamatkan 64 juta ha sisa hutannya. Selain itu banyak pihak juga optimis bahwa
dalam kurun waktu 2 tahun, pemerintah akan memiliki waktu yang cukup untuk memperbaiki
sistem pengelolaan hutan.
Secara implisit Instruksi Presiden itu jelas mensyaratkan penghentian ekspansi perkebunan
kelapa sawit selama dua tahun. Merasa dirugikan, Inpres tersebut langsung diprotes Gabungan
Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). Bagi penulis, moratorium ini merupakan awal
positif dan harus dijadikan moment bagi perbaikan mekanisme dan manajemen perkebunan
sawit. Juga merupakan waktu yang tepat bagi penegakan hukum terkait penyelanggaraan
perkebunan sawit.
Solusi Sawit Bermula dari Penataan Ruang,
Saat-saat ini adalah momen yang tepat untuk membenahi persoalan sosial dan lingkungan juga
pemanasan global di perkebunan sawit. Dalam segala kekurangannya, Inpres No.10 Tahun 2011
tentang Moratorium (Penundaan) Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan
Alam Primer dan Lahan Gambut yang baru saja ditandatangani Presiden SBY, sepatutnya diikuti
oleh:
1.Pelaksanaan UU No.27 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Karena dianggap memiliki banyak kelemahan, UU No. 24 Tahun 1992, direvisi untuk lebih
lengkap dan tajam termasuk memuat sanksi bagi para pihak yang melanggar peraturan hukum
tersebut. Di dalam UU No. 27 Tahun 2007 itu disebutkan beberapa hal pokok soal perencanaan
dan pengaturan wilayah demi penentuan arah pembangunan Indonesia yang memperhatikan
pertambahan penduduk dan daya dukung alam. Salah satu bagian penting yang tertulis dalam UU
tersebut adalah penyediaan ruang konservasi (lindung) di setiap wilayah yang besarannya
mencapai 30% dari luas suatu kawasan itu. Artinya harus segera dibuat rencana tata ruang
wilayah secara nasional sebagai rencana induk (master plan). UU inilah yang seharusnya
menjadi UU payung bagi penyelesaian semua konflik keruangan dan juga dasar dari
pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Apabila rencana tata ruang wilayah nasional ini tidak segara dibuat, bisa dipastikan di masa
depan akan terjadi banyak benturan yang berujun pada konflik menahun, berupa:
a.Pertumbuhan penduduk vs Ketersediaan Pangan.
Tingkat kelahiran yang masih tergolong tinggi dan faktor migrasi penduduk dari wilayah
lain ke suatu wilayah tertentu dipastikan akan menyebabkanketidakseimbangan
ketersediaan pangan dan kebutuhan orang yang mengonsumsinya.
b.Pengangguran vs lapangan pekerjaan.

Tingkat pengangguran yang semakin meningkat sepanjang tahun 2008 akibat krisis
global membuat banyak tenaga kerja kembali ke kampung asal mengadu nasib dengan
bertani/kebun sekedarnya. Kepulangan para pekerja ini diyakini memunculkan benturan,
baik dengan perusahaan atau dengan pengelola kawasan konservasi, karena kelompok
buruh ini juga membutuhkan lahan garapan setelah terkenan PHK (Pemutusan Hubungan
Kerja).
c. Pemenuhan kebutuhan dasar vs krisis air dan energy.
Penyempitan areal pertanian akibat konversi lahan menjadi perkebunan monokultur skala
besar menyebabkan sumber Air untuk kebutuhan hidup rumah tangga dan energy
mengalami penurunan kualitas dan kuantitas.
d.Kebutuhan lahan antara masyarakat vs dunia usaha.
Kebijakan pemerintah yang terus memacu pertumbuhan ekonomi makro dengan
memberikan kemudahan-kemudahan bagi dunia bisnis untuk berinvestasi menyebabkan
sebagian besar lahan-lahan produktif dikuasai dunia bisnis (Perkebunan, HTI, Migas).
e. Perambahan besar-besaran terhadap kawasan konservasi atau lindung
Dampak langsung penyempitan lahan kelola masyarakat menyebabkan kawasan-kawasan
konservasi atau lindung menjadi terancam karena menjadi sasaran ekspansi
pertanian/perkebunan masyarakat juga dunia industry. Selain konflik antar manusia,
konflik dengan satwa juga semakin tinggi dan rentan terhadap bencana alam.
Menurut hemat penulis, untuk mengantisipasi potensi konflik besar di atas, setidaknya ada
beberapa kementerian yang mesti duduk bersama membangun sinegisitas dalam pembuatan tata
ruang wilayah nasional tersebut. Tentu saja dibutuhkan niat, kerja keras dan yang kuat antar dan
inter kementerian tadi dalam pembuatan tata ruang nasional.
Sampai saat ini masih terdapat pekerjaan rumah yang berat untuk menyatupadukan antar dan
inter kementerian di negara ini. (Lihat Tabel di Bawah ini)
Tabel Konflik Internal Pemerintah dalam Penataan Ruang (Koordinator P4W-IPB, Dr. Ernan
Rustiadi)
Kelompok
Kepentingan
(Instansi
Pemerintah)
Kehutanan

UU / PP Yang Kepentingan
digunakan
Objektif / Umum

Kemen PU

UU 26/2007
PP 26/2008
PP 15/2010
UU 5/1960

BPN

UU 41/1999
PP 10/2010

Pelestarian Hutan

Subjektif

Kewenangan eksklusif
pengelolaan
Kawasan
Hutan
Koordinasi Penataan Kemudahan
Ruang
pengembangan
infrastrukutur jalan (tol)
Reforma Agraria
Mempertahankan

PP 11/2010
Bappenas

UU 25/2004

PEMDA

UU 32/2004

KLH

UU 32/2009

Pertanian

UU 41/2009

ESDM

Kewenangan
terpusat
hak guna tanah
Koordinasi
Sist Superioritas kebijakan
Perenc Nasional
sistem
perencanaan
nasional, termasuk yg
berdimensi spasial
Pembangunan
 Otonomi lebih luas
Daerah
tata
kelola
SDA
daerah
 Meningkatkan PAD
Pembangunan
Kewenangan
Berwawasan
perencanaan
&
Lingkungan
pengendalian yang lebih
luas dalam pengel SDA,
Lingkungan & wilayah
Ketahanan Pangan
 Mencegah alih fungsi
lahan sawah
 perlindungan
usaha
agribisnis
(perkebunan)
Pembangunan
 Akses penambangan
Energi & SD devisa
di kawasan lindung
Nasional
 Hak eksklusif kawasan
tambang

Khusus di sektor perkebunan sawit, penulis sangat berkeyakinan bahwa pembuatan dan
penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang dimulai dari tingkat wilayah dan
pemerintahan terendah sampai tertinggi, terutama bupati, akan membuat aparat pemerintah
(khususnya yang berkordinasi dibawah kementerian dalam negeri) akan lebih berhati-hati dalam
memberikan ijin lokasi kepada dunia usaha di wilayah kekuasaannya. Apabila yang bersangkutan
melakukan pelanggaran terhadap tata ruang tersebut, maka dia bisa dikenakan sanksi pidana dan
perdata. (lihat tabel perijinan di bawah ini yang membuat sektor sawit ekspansi secara
kebablasan)

Selama ini ketiadaan peta tata ruang Kabupaten, Provinsi dan Nasional menyebabkan mutu, cara
pemanfaatan dan pengendalian ruang yang tersambung dengan daya dukung keruangan itu
sendiri membuat pola pembangunan dan pengelolaan negeri ini karut-marut. Selain itu, benturan
kepentingan sektoral di internal pemerintah menyebabkan kaburnya substansi pengendalian
pembangunan. Juga tak terselesaikannya berbagai masalah- masalah yang di seputar keruangan.
Setelah menyelesaikan pembuatan perencanaan tata ruang wilayah nasional di atas, tugas
lanjutan bagi pemerintah adalah segera membuat peraturan teknis terkait pelaksanaan dan
pengawasan jalannya UU tersebut, sebagaimana yang telah diamanatkannya. Hall ini sangat
penting dan mendesak demi menghindari multitafsir dan kebingungan di masyarakat soal hak
dan kewajibaan berkenaan dengan penataan ruang.
Penerapan Kajian Lingkungan Hidup Strategis
Setelah membuat dan melakukan sinergisitas terkait Penataan Ruang, hal strategis yang harus
segera dilakukan pemerintah adalah menerapkan pelaksanaan UU No.32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU baru ini dinilai banyak pihak sudah cukup
lengkap dengan segala prasyarat lingkungan terhadap model pembangunan dan pengembangan
atas satu kawasan berikut sanksi hukumnya dan partisipatif disbanding peraturan hukum yang
telah dinyatakan tidak berlaku yaitu UU no. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
Di pengantar UU No. 32 Tahun 2009 ini disebutkan bahwa hal yang dipertimbangkan sehingga
peraturan hukum ini mesti segera diimplementasikan adalah:











Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga Negara
Indonesia
Pembangunan ekonomi nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan;
Semangat otonomi daerah telah membawa perubahan hubungan dan kewenangan antara
Pemerintah dan pemerintah daerah, termasuk di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan
perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya sehingga perlu dilakukan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguhsungguh dan konsisten
oleh semua pemangku kepentingan;
Pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim sehingga
memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup karena itu perlu dilakukan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
agar lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap
orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari
perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem,

demi pencapaian banyak hal di atas, UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup jelas-jelas mensyaratkan dilakukan Kajian Lingkungan Hidup
Strategis (KLHS) yang sangat mendukung dan bertalian erat dengan UU No.27 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang.
Hal itu dapat dilihat dari bunyi pasal 15 ayat 1 UU No.32 Tahun 2009 yang berisi:
“Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membuat KLHS untuk memastikan bahwa prinsip
pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu
wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program”
Sementara itu disebutkan (pasal 16 UU No. 32 tahun 2009) KLHS mensyaratkan beberapa kajian
yang harus dilakukan:
a. kapasitas daya dukung dan daya tamping lingkungan hidup untuk pembangunan;
b. perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup;
c. kinerja layanan/jasa ekosistem;
d. efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;
e. tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim; dan
f. tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.
KLHS untuk perkebunan sawit sendiri, sebenarnya sudah digagas dan direkomendasikan oleh
beberapa kementerian terkait yang dikoordinasikan oleh Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional kepada kementerian pertanian. Secara kebetulan penulis juga terlibat secara aktif dalam
pembuatan KLHS Perkebunan Sawit sejak Agustus 2010 sampai Januari 2011.
Proses pembuatan KLHS Perkebunan Sawit diawali dengan membahas isu-isu kunci di
perkebunan sawit dan merekomendasikan hal-hal penting, diantaranya:

1. Kawasan Hutan:
a. Percepatan penyelesaian Perda RTRW semua tingkatan
b. Mempercepat sertifikasi lahan perkebunan rakyat
b.Percepatan penentuan kawasan hutan dan padu serasi antara TGHK (tata guna hutan
kesepakatan) dengan RTRW semua tingkatan
2. Kebijakan Penerapan Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan:
a. pengakuan dan perlindungan terhadap areal bernilai konservasi tinggi.
b. Kebijakan pengawasan dan implementasi GAP (good agriculture practice)
c. perundangan tata ruang, kehutanan, dan lingkungan hidup
3. Perkebunan Kelapa Sawit dalam bingkai pembangunan berkelanjutan:
a. Memanfaatkan lahan-lahan marginal/terlantar yang telah disepakati dan disahkan oleh
peraturan hukum
b. Menyusun RTRW dan pemanfaatan lahan sesuai RTRW
c. Penyelesaian Sosialisasi tata batas lahan
d. Analisis mengenai dampak lingkungan dan sertifikat AMDAL.
Penutup
Dari uraian panjang soal perkebunan kelapa sawit sampai rekomendasi KLHS di atas, didapati
bahwa akar persoalan sekaligus solusi dari pelbagai persoalan yang muncul di perkebunan sawit
adalah penataan ruang secara nasional yang mempertimbangkan pertumbuhan penduduk dan
daya dukung alam. Tentu saja demi keberlanjutan sosial dan lingkungan.

Daftar Pusaka:
Marcus Colchester, Norman Jiwan, Andiko, Martua Sirait, Asep Yunan Firdaus, A. Surambo, Herbert Pane,
2006, Tanah Terjanji, Sawit Watch, World Agroforestry Center, HuMa, Forest People Programme.
Serge Marty, 2009, Hilangnya Tempat Berpijak, Sawit Watch, Life Mosaic, Friend of The Eart EWNI.
Norman Jiwan, Ahmad Surambo, Jefri G Saragih, Editor: Prof. Bambang Hero Sahardjo, Pembangunan Kebun
Kelapa Sawit Berbasis Gas Rumah Kaca: Tinjauan Kritis, 2009, Sawit Watch.
Marcus Colchester, Patrick Anderson, Norman Jiwan, Andiko and Su Mei Toh, 2009, HCV and the RSPO:
report of an independent investigation into the effectiveness of the application of High Conservation Value
zoning in palm oil development in Indonesia. Forest Peoples Programme, HuMA, SawitWatch and Wils Asia,
Moreton-in-Marsh.
Milieudefensie, Lembaga Gemawan and KONTAK Rakyat Borneo, 2007, Policy, Practice, Pride and Prejudice:
review of legal, environmental and social practices of oil palm plantation companies of the Wilmar Group in
Sambas District, West Kalimantan (Indonesia), Milieudefensie (Friends of the Earth Netherlands), Amsterdam.
Forest People Programme with Profundo, HSBC and the Palm Oil Sector in South East Asia: towards
accountability, 2008, Forest People Programme with Profundo
Factsheet RSPO November 2004

Undang Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, 2007, Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia
Undang Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, 2009, Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis, 2010, Bapenas
Presentasi Ahmad Zazali, 2009, Scale Up
Presentasi Fitriansyah, 2007, WWF Indonesia
Dokumen Seminar Pembangunan Ekonomi Rendah Emisi: Mau Kemana?, 2011, Kemitraan dan Yayasan
Perspektif Baru
Buletin Tandan Sawit Edisi 1 – 4 Tahun 2010, 2010, Perkumpulan Sawit Watch
Perlbagai Artikel Soal Perkebunan Sawit yang dimuat di website Sawit Watch, 2011, www.sawitwatch.or.id
Dokumen Seminar International Conference on Forest Tenure, Governance and Enterprise: Experience and
Opportunity for Asia in a Changing Context, 2011, ITTO, Kemenhut, Right Resources