Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Nias Di Sibolga

KEARIFAN LOKAL
PEMBENTUK KARAKTER MASYARAKAT NIAS
Ketut Wiradnyana
Balai Arkeologi Medan
Pendahuluan
Pulau Nias merupakan salah satu pulau yang penduduknya memiliki proses pembentukan
budaya yang sangat panjang. Berbagai bentuk kebudayaan dengan unsur-unsurnya
merupakan hasil dari proses budaya masa prasejarah yang memberikan pengaruh bagi
kebudayaan Nias. Adapun budaya masa prasejarah yang bukti-buktinya terekam dari hasil
penelitian di antaranya adalah budaya Paleolitik1, Mesolitik2, Neolitik3 (Megalitik4) dan
budaya Dongson5 (perunggu). Masing masing budaya tersebut cenderung dibawa oleh
kelompok manusia dengan ras yang berbeda, tentu pembauran manusia dan budaya sangat
mungkin pernah berlangsung di wilayah ini. Sehingga bentuk budaya yang ada merupakan
hasil pembauran yang telah disepakati sebagai sebuah budaya yang dapat diterima seluruh
masyarakatnya.
Adanya pembauran manusia dan budaya tentu juga telah ada pembauran tata nilai yang
dilandasai dengan kesepakatan bersama, sehingga nilai-nilai tersebut dapat diterima oleh
semua warga masyarakat dan berlaku lama. Kalau diamati budaya materi masyarakat Nias
sekarang ini maka cenderung lebih dominan akar budayanya mencirikan masa Neolitik
dengan budaya Megalitiknya. Berkembangnya budaya Neolitik tersebut diindikasikan adanya
migrasi terakhir yang membawa budaya itu dengan aspek teknologi, mata pencaharian hidup

dan religi yang lebih maju dan kompleks dibandingkan dengan budaya sebelumnya. Folklor
masyarakat juga menggambarkan proses migrasi terakhir yang dilengkapi dengan informasi
adanya religi, struktur dalam masyarakat, organisasi sosial, penggunaan logam dan telah
dikenalnya padi (lihat Mendrofa,1981; Wiradnyana, 2010:164189).
Dengan panjangnya periode hegemoni manusia di wilayah Pulau Nias ini, maka berbagai
nilai sosial tentu juga telah berlangsung dari sejak adanya manusia pada masa prasejarah
hingga masa sekarang. Nilai-nilai yang disepakati dan masih sesuai dengan kondisi di masa
sekarang tersebut merupakan kearifan lokal. Kearifan tersebut merupakan salah satu landasan
bagi masyarakat dalam beraktivitas agar masyarakat menjadi lebih teratur dalam
kehidupannya. Keteraturan tersebut tidak hanya menyangkut hubungan antarmanusia tetapi
juga hubungan manusia dengan lingkungan. Beberapa nilai-nilai yang ada pada masyarakat
1

Pembabakan masa dalam arkeologi yang didasarkan atas aspek teknologi peralatan batu yang sangat
sederhana dan aspek ekonominya dikaitkan dengan aktiitas berburu dan mengumpulkan makanan yang
masih sederhana.
2
Pembabakan masa dalam arkeologi yang lebih maju dibandingkan masa Paleolitk.
3
Pembabakan masa dalam arkeologi yang didasarkan atas aspek teknologi peralatan batu yang telah diupam.

Adapun bentuk peralatan batunya diantaranya adalah kapak lonjong dan kapak persegi. Pembabakan ini
sering juga dikaitkan dengan kelompok pengusung budaya Austronesia dengan aspek budaya diantaranya
adalah pertanian, pelayaran dan penggunaan gerabah. Di Indonesia perkembangan budaya ini bermula
sekitar 3500 tahun yang lalu
4
Merupakan salah satu kebudayaan yang berkembang di masa Neolitk, aspek budaya yang menonjol adalah
religi yang berkaitan dengan pemujaan terhadap leluhur termasuk didalamnya aspek Animisme/Dinamisme
yang disertai pendirian monumen dalam kaitannya dengan religi dan sosial
5
Salah satu kebudayaan yang berkembang pada masa perunggu-besi yang juga nama daerah di Vietnam
bagian utara. Adapun salah satu ciri budaya ini adalah penggunaan bahan logam (perunggu) dengan berbgai
bentuk dan pola hiasnya.

1

masa prasejarah kiranya dapat berkaitan erat dengan nilai-nilai masyarakat masa sekarang,
oleh karena itu beberapa bagian dari kearifan masa prasejarah dapat dijadikan landasan awal
bagi pengenalan kearifan masa selanjutnya.
Adapun aspek-aspek kearifan yang dapat dicontoh diantaranya upaya adaptasi terhadap
lingkungan melalui berbagai cara hidup dan pemanfaatan berbagai bahan baku

dilingkungannya, serta aspek arsitektur yang diperlukan dalam menyikapi lingkungan.
Karakter masyarakat yang adaptif tersebut itu sangat jelas terekam dalam budaya dimasa
selanjutanya yaitu dalam bentuk tradisi perubahan nilai-nilai yang tidak hanya terkait dengan
aspek lingkungan semata tetapi juga aspek sosial yaitu perubahan sosial. Upaya
penghormatan terhadap sesama melalui berbagai aspek simbol dan upaya melengkapi aspek
religi yang dianggap sesuai dengan konsep yang telah ada. Hal tersebut menggambarkan
bahwa kearifan lokal masyarakat Nias tidak hanya dalam aspek budaya materi semata tetapi
juga dalam tataran konsep.
Didalam proses pembentukan budaya Nias hingga menjadi budaya seperti sekarang ini tentu
juga membentuk karakter masyarakatnya. Pembentukan karakter dari masa ke masa yang
didasarkan atas berbagai nilai-nilai, merupakan kearifan lokal. Keseluruhan proses tersebut
dapat diketahui melalui berbagai aktivitas masyarakatnya. Aktivitas masyarakat tentu
mengalami banyak permasalahan, sehingga dalam upaya keberlangsungan kehidupan
masyarakatnya memunculkan berbagai kearifan. Adapun permasalahan yang akan diuraikan
berkaitan dengan hal tersebut adalah bagaimana bentuk kearifan pada masa prasejarah hingga
ke masa kemudian ?. Upaya itu akan diawali dengan aspek matapencaharian yang pada
akhirnya berkaitan dengan unsur kebudayaan lainnya, dengan ruang lingkup dari
pembahasannya meliputi data arkeologis dari sejak masa Mesolitik, Neolitik (Megalitik)
hinga ke masa sekarang pada masyarakat Nias di Pulau Nias, Provinsi Sumatera Utara.
Diharapkan dari uraian aktivitas tersebut akan dapat diketahui bentuk kearifan yang masih

relefan hingga masa sekarang. adapun metode yang digunakan dalam upaya menjadikan
sebuah informasi dari objek arkeologis dari berbagai masa tersebut diawali dengan
mendeskripsi objek arkeologis yang ditemukan untuk kemudian diinterpretasikan baik dalam
konteks nilai-nilai, lingkungan, religi dan lainnya.
Kearifan lokal, dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya
untuk bertindak dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai yang disepakati bersama. Nilai-nilai
pada masyarakat Nias juga telah disepakati bersama antara kelompok warga bahkan
antarmasyarakat di lingkungan oraganisasi sosialnya. Oleh karena itu kearifan yang
mengadung nilai-nilai luhur tersebut merupakan perwujudan simbol di dalam masyarakat.
Simbol digunakan sebagai perwakilan dan komunikasi yang ditentukan oleh orang-orang
yang menggunakannya, orang-orang tersebut memberi arti, menciptakan dan mengubah
obyek tersebut di dalam interaksi. Simbol sosial tersebut dapat terwujud dalam bentuk obyek
fisik (benda-benda kasat mata), kata-kata (untuk mewakili obyek fisik, perasaan, ide-ide dan
nilai-nilai) serta tindakan (yang dilakukan orang untuk memberi arti dalam komunikasi
dengan orang lain)”. (Charoon dalam Soeprapto 2002). Lebih jauh Soeprapto (2002)
mengutip teori fungsional bahwa setiap kelompok dalam masyarakat akan melaksanakan
tugas tertentu dan secara kontinyu, karena ini merupakan cermin dari apa yang disebut
sebagai fungsional tersebut. Sebuah prilaku atau tindakan sosial akan bisa dibenarkan karena
hal tersebut dalam masyarakat dinilai sebagai fungsional. Suatu pola prilaku bisa muncul dan
sekaligus bisa hilang dan berubah sesuai dengan perkembangan sosial yang terjadi dan sesuai

dengan kebutuhan apa yang diinginkan dalam masyarakat tertentu (Soeprapto 2002).

2

Sehubungan dengan uraian tersebut maka perubahan/perkembangan nilai-nilai yang ada pada
masyarakat Nias disebabkan oleh perubahan sosial yang telah berlangsung di masyarakat.
Selain itu juga perubahan lingkungan dan unsur-unsur kebudayaan sangat memegang peran
penting dalam berubahnya nilai-nilai sehingga kearifan yang telah dimiliki sangat mungkin
juga tidak sesuai dengan nilai-nilai pada masa selanjutnya. Kondisi tersebut membentuk
karakter masyarakat Nias dan sekaligus menjadi corak perilaku masyarakat secara umum.
Wilayah dan Budaya Masyarakat Nias
Pulau Nias merupakan salah satu pulau yang terdapat di pantai barat Pulau Sumatera. Pulau
ini masuk ke dalam wilayah administratif Provinsi Sumatera Utara. Suku bangsa Nias
memiliki budaya khas yang berkaitan dengan tradisi megalitik. Pola perkampungan yang
cenderung berada pada areal perbukitan yang didatarkan, secara umum terdiri dari dua baris
rumah tempat tinggal yang saling berhadapan. Berbagai tinggalan dari tradisi Megalitik yang
berbahan batu diletakkan di depan rumah adat, sebagai simbol status sosial penghuninya.
Simbol status sosial juga ditunjukkan dari besar kecilnya rumah adat, atau tinggi rendahnya
bangunan megalitik serta raya tidaknya pola hias baik yang ada rumah adat ataupun
bangunan megalitik. Di dalam rumah adat biasanya diletakkan berbagai arca perwujudan

leluhur, pahatan berbagai perhiasan ataupun alat-alat musik yang dimiliki.
Wilayah budaya dari terminologi budaya yang didasarkan pada teknologi mengindikasikan
adanya sebaran-sebaran budaya pada wilayah dan waktu tertentu. Sebaran budaya dalam satu
wilayah menggambarkan aktivitas yang berlangsung dengan ciri budaya yang sama atau
hampir sama. Secara umum wilayah budaya di Pulau Nias dapat dibagi menjadi dua yaitu:
wilayah budaya Nias bagian utara dan wilayah budaya Nias bagian selatan. Sedangkan
pembabakan budaya dapat membantu menggambarkan proses budaya yang terjadi dalam
wilayah itu sendiri. Pertanggalan yang telah dilakukan dan tinggalan budaya yang telah
dihasilkan pada situs-situs terpilih di Pulau Nias mengasumsikan proses kehidupan manusia
masa lalu di Pulau Nias dari masa Paleolitik yaitu sebelum 12.000 BP hingga ke masa
sekarang.
Keletakan Kabupaten Nias di daerah Katulistiwa menyebabkan memiliki curah hujan yang
cukup tinggi. Akibat banyaknya curah hujan mengakibatkan kondisi alamnya sangat lembab
dan basah. Seringnya banjir bandang mengakibatkan juga sering berpidahnya aliran sungai
yang diakibatkan juga oleh struktur batuan dan tanah yang labil.
Tanah di Pulau Nias kurang subur namun masih mampu menghidupi berbagai anekaragam
hayati, yang merupakan tumbuhan domestik hasil budidaya masyarakat secara turun temurun,
di antaranya padi (Oryza sativa) jagung (Zea mays), ketela rambat (Convolvulus batatas)
yang dibudidayakan di sawah atau ladang. Selain itu berbagai tanaman lainnya juga
diusahakan. Berbagai jenis hewan hidup di pulau ini, di antaranya jenis-jenis ikan (Pisces),

baik dari laut, tambak maupun kolam air tawar, babi (Sus sp.), kerbau (Bovidae), dan
kambing (Capra sp.). Di samping itu di wilayah tertentu masih dapat dijumpai hewan-hewan
liar di antaranya rusa (Cervidae), berbagai jenis burung (Aves), termasuk burung beo Nias
dan babi hutan (Sus sacrofa).
Geografis Nias yang berbukit-bukit menyebabkan mata pencaharian penduduk terbagi atas
dua yaitu penduduk yang tinggal di pesisir pantai akan bergerak dalam bidang perikanan
yaitu sebagai nelayan dan penduduk yang berada di pedalaman akan mengusahakan pertanian
dan perladangan sebagai mata pencaharian. Penduduk yang di pesisir di samping sebagai
3

nelayan juga mereka mengusahakan perkembangbiakan ikan melalui tambak. Penduduk yang
bertani biasanya hanya menanam padi untuk kebutuhan keluarganya saja (subsistensi) adapun
selain pertanian mereka juga bergerak dalam bidang perkebunan yaitu perkebunan karet,
nilam, cengkeh dan tanaman muda lainnya. Mata pencaharian yang lainnya adalah beternak
yaitu beternak babi dan ayam. Berburu pada saat sekarang sudah sangat jarang dilakukan
mengingat hutan di Nias sudah semakin habis begitu juga dengan binatang buruan, seperti
babi hutan, kancil, dan rusa sudah dapat dikatakan langka di daerah ini.
Data Arkeologis dan Etnografis
Di Pulau Nias, budaya tertua yang didasarkan atas aspek morfologi dan teknologi kapak batu,
diidentifikasi sebagai kapak genggam dari pembabakan budaya Paleolitik. Mengingat data

masa Paleolitik masih sangat terbatas dan belum dilakukan penelitian intensif yang disertai
dengan carbon dating6 sehingga menyulitkan untuk mengetahui kapan masa Paleolitik di
Pulau Nias mulai berlangsung. Dari perbandingan dengan morfologi dan teknologi kapak
batu di Togi Ndrawa maka budaya Paleolitik di Muzoi dipastikan lebih tua dari 12.000 BP.
Pada masa Mesolitik, keberadaan aktivitas manusia di pesisir timur Pulau Sumatera sangat
intensif berlangsung termasuk ke Pulau Nias. Gua Togi Ndrawa dengan berbagai
tinggalannya membuktikan bahwa kelompok pendukung budaya Hoabinh 7 pernah
beraktivitas cukup intensif di wilayah ini yaitu dari 12170 ± 400 BP hingga 850 ± 90 BP.
Kelompok manusia yang pendukung budaya Hoabinh ini umumnya memiliki ras
Australomelanesoid. Mereka mengeksploitasi biota marin sebagai bahan pangan utama.
Berburu juga dilakukan pada areal di sekitar lokasi hunian.
Data masa Neolitik dalam kaitannya dengan keberadaan kapak lonjong dan kapak persegi
belum ditemukan di wilayah ini. Namun masih dalam babakan yang sama dimungkinkan
telah ada migrasi yang membawa budaya Dong Son dan juga Megalitik. Keberadaan migrasi
yang terjadi di Pulau Nias juga diindikasikan dari folklor yang berkembang di masyarakat
bahwa nenek moyang yang datang di Pulau Nias menggunakan perahu. Ini mengasumsikan
bahwa migrasi pernah terjadi pada saat Pulau Nias sudah berpisah dengan Pulau Sumatera
yang berarti bahwa migrasi berlangsung pada saat masyarakat sudah mengenal transportasi
air. Hal tersebut tentu terjadi setelah masa-masa Neolitik, yang masyarakatnya sudah
memiliki budaya yang lebih maju, bercocok tanam serta kemungkinan sudah mengenal religi

yang lebih kompleks.
Folklor asal-usul masyarakat Nias yang menyebutkan bahwa leluhur pertama turun di
Boronadu, Sifalago Gomo untuk kemudian menyebar diantaranya ke Tundrumbaho dan
wilayah di Utara Nias diantaranya ke Hili Gowe. Folklor dimaksud sesuai dengan hasil
analisa karbon di Boronadu yang ditarikhan 576 ± 30 BP dan adanya keramik Anammese
yang memiliki masa sekitar abad ke- 14 – 16 M serta hasil carbon dating pada situs Megalitik
di Tundrumbaho, Gomo yang memiliki masa sekitar 340 ± 120 BP serta carbon dating pada
situs Megalitik Hili Gowe, Mandrehe berkisar 260 ± 120 BP. Hasil analisa dimaksud
menunjukkan adanya migrasi di pedalaman Pulau Nias (Boronadu) sekitar abad ke- 14.

6

7

Salah satu teknik untuk mengetahui umur dari karbon yang terdapat pada biota ataupun sisa pembakaran,
yang nantnya dijadikan dasar untuk pentarikhan budaya dimana sampel itu ditemukan.
Salah satu industri kapak batu yang awalnya banyak berkembang di Vietnam Utara. Dicirikan dengan
penggunaan kerakal dengan pangkasan di seluruh sisinya dan sisi lainnya cenderung utuh. Alat batu ini
memiliki tajaman bifasial atau monofasial melalui peretusan di seluruh sisi yang dipangakas tersebut.


4

Tata letak pemukiman masyarakat Nias Selatan adalah linear atau garis lurus yang bertemu
silang tegak lurus. Pola tersebut membentuk ruang luar memanjang yang diapit deretan
rumah-rumah adat dalam susunan yang berderet rapat. Permukaannya selalu didirikan pada
suatu lahan dengan profil permukaan datar di suatu puncak bukit. Pola tata letak tersebut
membentuk lansekap seperti halnya pola pemukiman di wilayah perairan sungai dengan alur
lalu lintas perahu di bagian tengahnya. Selain itu sistem bangunan dan perumahannya yang
berderet menampilkan langgam arsitektur yang menggambarkan suatu bentuk dari perahu.
Bentuk atap rumah adat Nias Selatan memiliki kemiripan dengan bentuk layar kapal-kapal
kuno dengan hiasan kepala naga (lasara) di bagian depannya (Joedodibroto 2008,197).
Masyarakat Nias umumnya mengenal sistem struktur sosial yaitu kelompok bangsawan
(si’ulu, si’ ila, salawa) dan kelompok masyarakat biasa (sato). Ada juga melihat struktur
sosial masyarakat atas tiga bagian yaitu kelompok bangsawan (si’ulu, si’ila, salawa),
kelompok masyarakat biasa (sato) dan kelompok budak (sawuyu, harakana)8. Masyarakat
Nias dalam melaksanakan sistem pemerintahan tradisionalnya membagi masyarakat atas
empat bagian yaitu kelompok bangsawan (si’ulu, salawa), kelompok bangsawan, penasehat
(si’ila), kelompok masyarakat biasa (sato) dan kelompok budak (sawuyu, harakana).
Sedangkan dalam kegiatan religi masyarakat Nias memiliki empat struktur pelapisan
masyarakat yaitu: siulu (bangsawan), ere (pemuka agama), Ono mbanua/sato (rakyat biasa)

dan Sawuyu (budak).
Kelompok kekerabatan yang terkecil yang disebut keluarga batih di Nias paling tidak ada dua
penyebutannya. Keluarga batih di Nias bagian Utara disebut fanganbaton sedangkan di
Selatan disebut gagambato. Dalam masyarakat Nias kelompok yang terpenting adalah
Sambun mohelo atau sambua faono (keluarga luas) yaitu keluarga batih senior beserta
keluarga batih putera-puteranya yang tinggal bersama di dalam satu rumah, dan merupakan
satu kesatuan ekonomis. Keluarga luas ini boleh berpisah jika keluarga anaknya dapat
membangun sendiri rumah yang tentunya dibarengi dengan pesta adat 9. Kelompok
kekerabatan yang lebih besar yang merupakan gabungan dari beberapa keluarga luas dari satu
leluhur disebut Mado. Seperti halnya marga pada masyarakat Batak, Mado di Nias juga
memiliki cabang-cabang.
Dalam masyarakat Nias kelompok organisasi sosial yang terkecil disebut gana. Kelompok
organisasi tradisional ini terdiri dari beberapa keluarga batih dari satu marga atau dapat juga
dari beberapa marga yang di dalam desa itu tidak cukup banyak anggotanya dalam
membentuk gana tersebut. Dalam kelompok gana itu terdapat seorang pemimpin yang tugas
fungsinya sangat jelas pada upacara adat saja. Kumpulan dari pada beberapa gana disebut
nafolu. Seperti halnya gana, nafolu juga dipimpin oleh seseorang yang tugas fungsinya
sangat jelas hanya pada upacara adat saja. Kumpulan dari beberapa nafolu disebut banua,
yang dapat diidentikkan dengan desa dengan pemimpinnya disebut salawa (di utara) dan
siulu (di Selatan). Selain pejabat tersebut di desa juga ada pejabat lain yang di sebut si’ ila
yang diangkat oleh rakyat dan tidak didapatkan secara turun temurun. Si’ ila ini dalam sebuah
kampung jumlahnya bisa banyak dan pemimpin si’ ila disebut balo si’ ila. Di Selatan
pemimpin banua yang disebut siulu memiliki pemimpin lagi yang disebut balo siulu.
Sedangkan kumpulan dari beberapa banua disebut öri (negeri) yang dipimpin oleh tuhenöri
(Wiradnyana 2010, 162).
8

9

Hampir semua penulis buku tentang Nias membagi struktur masyarakat Nias menjadi 3 bagian yaitu,
kelompok bangsawan, masyarakat biasa, dan budak.
Pesta adat pada pembangunan rumah tidak hanya berkaitan dengan aspek religi, tetapi juga aspek sosial
lain, diantaranya aspek ekonomi yaitu sistem pajak yang diterapkan oleh penguasa bagi orang yang akan
memanfaatkan lahannya untuk tempat tinggal diantaranya.

5

Kepercayaan masyarakat Nias tradisional meyakini bahwa kematian tidak merubah status
sosial pada waktu si mati masih hidup. Artinya kalau si mati itu memiliki kedudukan tinggi
dalam masyarakat seperti golongan si’ulu maka di alam sana dianggap masih berkedudukan
sebagai si’ulu atau sebaliknya jika yang meninggal itu adalah masyarakat biasa (sawuyu)
maka di alam sana si mati tidak akan berubah statusnya. Kematian dianggap sebagai salah
satu proses untuk menuju dan hidup di alam lain, sehingga segala prosesi kematian yang
dilakukan di alam nyata ketika masih hidup akan mempengaruhi juga kehidupan di alam lain.
Dengan keyakinan seperti itu maka prosesi kematian bagi seseorang juga akan sangat
penting, terlebih bagi kelompok bangsawan. Kelompok bangsawan akan tidak mau
menurunkan/diturunkan statusnya (bila perlu dinaikkan lagi), sehingga berbagai prosesi
kematian dibuat lebih megah dan dianggap mampu memberikan kehidupan yang lebih baik
dari aspek ekonomi dan juga sosial dan religi di alam sana bagi si mati. Berbagai prosesi
yang berkaitan dengan aspek ekonomi dan yang berakibat positip bagi kehidupan di alam lain
diantaranya melalui kurban babi dan bekal kuburnya. Sedangkan aspek sosial dalam prosesi
kematian yang berakibat terhadap kehidupan di alam lain yaitu, perlakuan terhadap si mati
dengan memberikan wadah kubur dan juga prosesi penguburan skunder. Untuk aspek religi
yaitu, akan didapatkan dari prosesi yang telah dilakukan selama masih hidup dan juga pada
waktu tokoh itu mati dengan berbagai kurban dan sarana maka dianggap sebagai bekal yang
cukup bagi si mati untuk berada di lapisan langit tertentu. Ketiga aspek tersebut sejalan
dengan uraian Malinowski bahwa kebudayaan itu harus dapat memenuhi kebutuhan biologis
dan psikologis (Syam 2006, 31).
Mengingat hal tersebut maka bagi golongan bangsawan akan melakukan prosesi kematian
dengan sebaik-baiknya dan semegah-megahnya sehingga si mati statusnya tidak berubah
bahkan kalau dimungkinkan lebih meningkat lagi. Hal ini sebagai upaya untuk meningkatkan
status sosial dan menempatkan roh si mati berada pada lapisan langit yang paling tinggi
melebihi status sosial ketika si mati masih hidup. Salah satu upaya dimaksud yaitu, dengan
menempatkan jasad si mati ke dalam wadah kubur yang berbentuk perahu. Bagi masyarakat
biasa hal itu tidak dapat dilakukan karena prosesi dimaksud memerlukan kurban babi yang
cukup banyak selain menyiapkan berbagai keperluan/bahan wadah kubur. Selain itu aturan
adat yang mengaturnya, diantaranya berbagai prosesi disesuaikan dengan status sosial si mati
di masyarakat kecuali mendapatkan persetujuan dari bangsawan tertinggi (balo si’ulu) di
kampungnya.10
Strategi Adaptasi Masa Mesolitik
1.
Strategi Pemenuhan Bahan Makanan
Hasil penelitian di Gua Togi Ndrawa mengidentifikasi moluska dari kelas Pelecypoda dan
Gastropoda yang merupakan bahan makanan. Bahan makanan yang dikonsumsi dalam upaya
melangsungkan hidupnya dipilih bahan makanan yang melimpah di sekitar situs yang
tentunya mudah didapat. Berbagai jenis moluska dimungkinkan hidup di sekitar situs,
mengingat keletakan situs yang dekat dengan laut dan muara sungai sehingga menghasilkan
lingkungan manggrove yang ideal bagi habitat berbagai jenis moluska (lihat Wissema 1947).
Dalam strategi adaptasi dengan lingkungan manusia penghuni Gua Togi Ndrawa tidak hanya
memanfaatkan moluska yang hidup di air payau saja akan tetapi juga moluska yang hidup di
air tawar/darat dan laut namun intensitasnya sangat sedikit. Adanya variasi moluska dari
berbagai habitat mengasumsikan bahwa mereka telah mengenal sumber makanan di
10

Teori fungsional yang dikemukakan oleh Emile Durkheim sesuai dengan aturan yang dijalankan oleh
masyarakat yang tentunya telah mendapatkan legalitas atas aturan yang diberlakukan bahwa masing-masing
kelompok memiliki fungsi dan juga hak tertentu yang mengikutinya.

6

lingkungannya dan sekaligus menjalankan strategi adaptasi akan pemanfaatan bahan
makanan di lingkungannya.
Dalam pola pengkonsumsian moluska menunjukkan bahwa moluska yang hidup dan
berkembang pada musimnya menjadi bahan makanan yang utama. Hal tersebut tampak dari
lapisan moluska pada kotak ekskavasi, yang memiliki kecenderungan bahwa pada masingmasing lapisan moluska selalu didominasi oleh salah satu jenis moluska. Begitu juga
kuantitas moluska yang tampak pada satu lapisan budaya menunjukkan adanya variasi
moluska tertentu yang dominan, sedangkan pada lapisan di bawahnya jenis moluska lain
yang dominan. Ekskavasi di Gua Togi Ndrawa memperlihatkan moluska Telecopium
telescopium dan Neritidae selalu dominan dibandingkan dengan moluska yang lain. Kalau
Neritidae tidak dominan maka Thiaridae atau Arcticidae yang dominan. Adanya kelompok
moluska yang dominan pada setiap lapisan tertentu menunjukkan bahwa jenis moluska
tertentu tidak selalu tersedia pada lingkungannya (keberadaannya berkala), sehingga untuk
memenuhi kebutuhan akan makanan mereka memanfaatkan moluska dari jenis yang lain.
Pemanfaatan jenis moluska yang lain dapat saja dari lingkungan sejenis (mangrove) atau
dapat juga dari lingkungan lainnya yaitu pantai dan darat.
Strategi adaptasi dalam pemenuhan bahan makanan juga dilakukan dengan perburuan di
sekitar situs. Hal tersebut tampak pada berbagai jenis tulang binatang yang ditemukan dari
penggalian seperti Suidae (babi), Boaidae (ular), Vanaridae (biawak) dan Testudinidae
(bulus, kura-kura), Chanidae (ikan), Scilla serrata (kepiting) yang diindikasikan sebagai
hewan yang dikonsumsi selain moluska. Adanya variasi pada ekofak (moluska dan tulang
binatang) di Gua Togi Ndrawa tidak terlepas dari terbatasnya bahan makanan yang dihasilkan
lingkungannya yang diantaranya diakibatkan oleh kondisi alam (musim).
Pengambilan/pengumpulan kerang dilakukan juga dengan mempertimbangkan kondisi
pasang surut air mengingat pada saat pasang surut (bulan mati) keberadaan kerang dari famili
Arcticidae akan mudah didapatkan karena famili tersebut pada umumnya hidup di pasir
pantai yang dangkal. Sebaliknya pada bulan purnama tentunya pengkonsumsian moluska dari
famili yang lainnya seperti Thiaridae yang cenderung dikumpulkan. Thiaridae pada saat
pasang naik akan lebih mudah didapatkan pada tumbuhan bakau, karena hewan ini akan naik
ke batang-batang pohon menghindari terendam air pasang. Kemampuan membuat keputusankeputusan dalam upaya memenuhi kebutuhan akan makanan dengan memodifikasi jenis
makanan yang selama ini menjadi makanan utamanya melalui berbagai kondisi yang
dihadapi tentunya merupakan bagian dari strategi adaptasinya. Strategi adaptasi yang
dilakukan kelompok manusia masa itu jelas memberikan pembelajaran akan upaya untuk
mengekploitasi lingkungan dengan pengetahuan yang seimbang terhadap kondisi alam.
Bahwa kehidupan itu hendakanya disikapi dengan menyiapkan seperangkat strategi dalam
memahami kondisi alam sehingga kehidupan berlangsung terus seperti yang diharapkan.
Bahwa ada kesadaran yang muncul berkaitan dengan terbatasnya salah satu jenis bahan
pangan sehingga diperlukan upaya-upaya lain untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Pemahaman tersebut menjadikan adanya pengetahuan mengenai siklus ketersediaan bahan
pangan dan sekaligus menguatkan penyadaran adanya siklus dalam kehidupan.
2.

Strategi Pemenuhan Peralatan Hidup

Peralatan hidup sehari-hari yang dapat dikumpulkan dari Gua Togi Ndrawa diantaranya dapat
dibedakan atas dua: peralatan berbahan anorganik dan berbahan organik. Peralatan berbahan

7

anorganik teridentikasi sebagai batu dan peralatan berbahan organik diantaranya tulang,
tanduk dan cangkang moluska.
Peralatan berbahan batu pada umumnya berbahan batuan karts dan sebagian kecil andesit
dengan karakteristik peralatan berupa alat serpih, pipisan, pemukul dan kapak genggam. Alat
serpih merupakan peralatan yang paling banyak ditemukan pada situs Togi Ndrawa.
Sedangkan peralatan berbahan tulang dan tanduk sangat sedikit ditemukan dan teridentifikasi
sebagai lancipan dan sudip. Untuk peralatan berbahan cangkang kerang memanfaatkan
cangkang Articidae dengan melalui peretusan kasar dan halus, selain itu ditemukan juga
peralatan dari cangkang Tridacnidae.
Dengan melimpahnya bahan makanan terutama moluska maka peralatan yang diperlukan
bagi kelangsungan hidup tentunya disesuaikan dengan kebutuhan. Untuk mengolah bahan
makanan berupa moluska tentunya tidak banyak memerlukan peralatan-peralatan yang masif.
Sehingga bahan peralatan hidup dicari dari sekitar hunian. Didalam perjalanan hidupnya,
berbagai pengalaman yang dihadapi tentu menghasilkan pengetahuan praktis untuk
memanfaatkan bahan peralatan hidup sehari-hari. Mereka memanfaatkan bahan peralatan
yang telah tersedia di sekitarnya. Bahan peralatan tersebut pada umumnya dari batuan karts
yang melimpah di sekitar gua. Bahan batuan lain juga ditemukan namun tidak banyak
jumlahnya. Dengan adanya berbagai bahan batuan tersebut jelas mereka memiliki
pengetahuan akan karakter batuan yang sesuai dengan peralatan yang diperlukan untuk
memenuhi fungsinya. Pemilihan batuan karts tentunya melalui keputusan yang sekaligus
merupakan strategi adaptasi manusia pendukungnya. Pengetahuan akan karakter batuan
merupakan pengetahuan yang didapatkan dari kehidupan sehari-hari. Keberadaan peralatan
dengan berbagai karakter yang dihasilkan dari sampah makanan menunjukkan daya
kreatifitas yang tinggi kelompok manusia masa itu. Perkembangan pengetahuan kelompok
manusia masa itu tampaknya dimulai dari pemahaman akan lingkungannya dan keinginan
yang kuat untuk memudahkan kehidupannya.
Kearifan Masa Neolitik dan Masa Setelahnya
Dalam salah satu folklor lisan asal usul leluhur masyarakat Nias disebutkan bahwa pada
awalnya ada sekelompok manusia yang terdampar di Muara Susua, kemudian kelompok
manusia tersebut menyusuri sungai itu ke arah hulu dan bertempat tinggalah mereka di
Boronadu, Gomo. Sebelum tinggal di Hulu sungai tersebut dimungkinkan kelompok manusia
itu pernah menetap di pesisir dalam beberapa kurun waktu. Pada waktu menetap di pesisir
pantai, kemungkinan telah dilakukan upaya pertanian, namun upaya tersebut kemungkinan
tidak berhasil. Ketidakberhasilan itu berkaitan dengan kondisi pesisir yang cenderung terjal
dan berkarang, selain tidak cukup lahan untuk bercocok tanam serta lapisan humus yang tipis.
Kondisi alam yang sering hujan sehingga kerap terjadi banjir bandang dan perubahan alur
sungai merupakan kondisi alam yang juga menghambat keberhasilan pertanian. Selain itu
adanya penghuni yang lebih awal bertempat tinggal di Pulau Nias, sehingga kepindahan
merupakan upaya untuk menghindari konflik. Oleh karena itu maka imigran terakhir di Nias
Selatan berpindah ke arah hulu sungai Susua yaitu memilih bertempat tinggal di pedalaman.
Dengan berpindahnya kelompok orang ke hulu sungai, tentu cara hidup sebagai nelayan
ditinggalkan dan difokuskan pada cara hidup dengan berburu dan bertani. Perubahan cara
hidup menjadi petani dan pemburu dimungkinkan karena mereka juga adalah petani dan
pemburu serta telah membawa berbagai bibit pertanian dalam perjalanan dari daerah asal.
Perpindahan lokasi hunian menjadikan ketergantungan pada mata pencaharian hidup sebagai
pemburu dan petani/peladang.
8

Bagi kelompok masyarakat tradisional, setiap ada perubahan sosial yang mendasar
merupakan tahapan dalam kehidupan yang memerlukan prosesi religi. Maka di dalam
perubahan unsur mata pencaharian hidup juga dilakukan prosesi upacara yang diantaranya di
ikuti dengan pembuatan symbol-simbol. Perubahan mata pencaharian hidup dari sebagai
pemburu, nelayan dan petani menjadi pemburu dan petani/peladang memunculkan symbolsimbol nelayan di dalam berbagai benda budaya masyarakat. Simbol dimaksud dapat berupa
bentuk fisik ataupun tata nilai dan digunakan sebagai perwakilan dan komunikasi yang
ditentukan oleh masyarakat yang menggunakannya. Masyarakat itu memberi arti,
menciptakan dan mengubah obyek tersebut didalam interaksi. Adapun bentuk-bentuk unsur
budaya yang berubah dan disimbolkan diantaranya adalah bentuk perahu, aktivitas
memancing dan juga penyelaman di laut serta bentuk ikan 11. Bentuk lainnya yaitu dibuat
dalam kaitannya dengan berbagai aspek yang menyangkut perairan seperti pola
perkampungan dan juga binatang mitos (lasara). Bentuk-bentuk simbol dimaksud merupakan
hasil dari kesepakatan seluruh masyarakat karena simbol merupakan hasil dari interaksi
masyarakat bahwa mereka mengenal unsur kehidupan dimaksud sebagai unsur kebudayaan
yang saling terkait antar unsur kebudayaan lainnya (Geertz 1995,33).
Mata pencaharian hidup merupakan salah satu unsur kebudayaan yang ada pada setiap
kebudayaan kelompok masyarakat. Mata pencaharian hidup sebagai nelayan merupakan satu
keterampilan yang tidak semua orang mampu untuk melaksanakannya. Dengan demikian
mata pencaharian sebagai nelayan merupakan suatu keterampilan yang memiliki nilai sosial
tinggi di masyarakat atau paling tidak memiliki nilai sosial yang setara dengan mata
pencaharian sebagai petani. Tukang besi pada masa perundagian memiliki status yang
berbeda dengan masyarakat biasa. Artinya ada status khusus (lebih tinggi) dibandingkan
masyarakat biasa. Kondisi ini mengindikasikan bahwa sebagai nelayan merupakan status
khusus dalam masyarakat Nias bagian selatan, sehingga mata pencaharian hidup sebagai
nelayan dianggap memiliki keterampilan yang lebih selain sebagai pemburu. Orang yang
memiliki ketarampilan sebagai nelayan dan juga sekaligus sebagai petani tentu memiliki
status yang tinggi dimasyarakat dibandingkan sebagai pemburu atau hanya memiliki satu
keterampilan dalam mata pencaharian hidup. Sehingga penggambaran akan aspek-aspek yang
berkaitan dengan nelayan pada masyarakat petani itu memberikan nilai lebih di masyarakat.
Secara umum hal tersebut menguraikan adanya pola makna yang telah berlangsung sebelum
masyarakat berpindah dari pesisir ke pegunungan. Pola makna tersebut tetap
doioperasionalkan dalam masyarakat sekalipun lingkungan tempat tinggal dan mata
pencaharian hidup telah berubah. Upaya mempertahankan pola makna dimaksud merupakan
bentuk kearifan masyarakat dalam upaya mempertahankan kebudayaan yang ada. Tersirat
bahwa ada kearifan yang ditunjukkan bahwa nilai-nilai yang telah ada untuk tetap
dilestarikan sekalipun kondisi masyarakat telah berubah
1.
Kearifan Dalam Arsitektur
Kondisi geografis Pulau Nias yang berada pada jalur patahan, sehingga menjadikan areal ini
sering mendapatkan gempa. Tampaknya kondisi pulau seperti itu disikapi dengan pembuatan
arsitektur yang khas yang kiranya mampu memberikan ketahanan jika terjadi gempa. Selain
itu juga arsitektur di Pulau Nias menggambarkan aspek sosial dan religi masyarakatnya.
Sehingga arsitektur rumah tinggal pada masyarakat Nias merupakan penggambaran aspek
lingkungan, manusia dan religinya. Adapun aspek yang mencirikan akan adanya kearifan
11

Bentuk simbol yang dipahat sepert yang diuraikan itu dapat dilihat pada bangunan megalitk yang berbahan
batu maupun kayu di Desa Bawomataluo, Nias Selatan.

9

dalam menyikapi gempa diantaranya adalah keberadaan tiang–tiang penyangga yang disusun
untuk menopang beban yang berat dicerminkan lewat ukuran tiang yang cukup besar dan
lewat persilangan-persilangan balok-balok yang dirancang vertikal, horisontal dan diagonal.
Arsitektur dengan tiang penyangga seperti itu kiranya memberi arti positif bagi
perkembangan arsitektur moderen dan juga dalam upaya mendapatkan pondasi rumah yang
kokoh. Keberadaan rumah di Nias bagian selatan yang cenderung tingggi dan besar dibuat
berhimpitan seperti sebuah gerbong kereta juga merupakan upaya untuk mendapatkan
kekuatan yang lebih dalam menghadapi goncangan. Selain itu rumah juga merupakan simbol
yang menggambarkan adanya struktur dalam masyarakat dan juga dalam kosmologi.
Sehingga rumah adat dalam masyarakat Nias juga berstruktur yang terkait dengan struktur
sosial di masyarakat. Mengingat rumah adat itu juga menyimbolkan aspek religi (kosmologi)
maka fungsi rumah juga digunakan dalam prosesi religi.
Migrasi yang berlangsung pada babakan budaya Neolitik di Nias bagian selatan dan pada
masa itu di Nias bagian utara telah ada kelompok manusia yang memiliki budaya yang
berbeda dengan yang datang di Nias bagian selatan, maka arsitekturnyapun menjadikan
kedua wilayah budaya ini berbeda. Namun beberapa aspek yanga ada, seperti kesamaan pada
pemanfaatan tiang-tiang penyangga yang besar diindikasikan sebagai bentuk percampuran
konstruksi dan adanya struktur pemanfaatan ruang yang berkaitan struktur sosial.
2.
Kearifan Dalam Religi
Folklor asal usul masyarakat Nias juga menggambarkan adanya migrasi dari Nias bagian
selatan ke Nias bagian utara. Hal itu juga menggambarkan adanya pengaruh yang kuat
budaya dari Nias bagian selatan ke Nias bagian utara. Kondisi ini juga dibuktikan dari
informasi sebagian besar masyarakat di Nias bagian utara yang kerap menyebut asal-usulnya
dari Gomo. Adanya migrasi tersebut juga diikuti dengan aspek religi. Namun konsep religi
yang muncul antara Nias bagian selatan dengan Nias bagian utara berbeda, seperti
penempatan adu zatua di Nias bagian selatan yaitu di dalam rumah sedangkan pemujaan
leluhur bagi sebagian masyarakat Nias bagian utara yaitu di luar rumah. Perbedaan itu
merupakan upaya dalam mempertahankan prosesi yang dilakukan, namun konsep dasar
seperti halnya pemujaan terhadap leluhur/orang tua masih tetap sama. Atau dapat dikatakan
adanya variasi dalam pemujaan leluhur dalam religi lama.
Folklor (hoho) tentang alam sebagai bentuk budaya lisan masyarakat Nias (Selatan)
menyebutkan bahwa, alam ini terbagi atas 9 (sembilan) lapisan. Masyarakat Nias bagian
selatan mengimplementasikannya dalam bentuk susunan atap rumah adat (omo hada) yang
ditemukan hanya pada rumah adat bangsawan tertinggi dan telah melakukan seluruh tahapan
prosesi upacara owasa/faulu (upacara meningkatkan status sosial). Hal itu memberi
pengertian bahwa wujud budaya hasil karya manusia adalah merupakan simbol dari alam
lain, atau konsep-konsep yang ada dalam alam lain diwujudkan kedalam bentuk nyata berupa
simbol-simbol dalam alam nyata. Pada masyarakat Nias bagian utara lapisan langit itu dibagi
menjadi 3 (tiga) yaitu lapisan atas untuk roh suci, lapisan tengah untuk manusia dan lapisan
bawah untuk binatang. Adanya perbedaan konsep tersebut jelas menunjukkan adanya
kekuatan masyarakat Nias bagian utara dalam memegang konsep kosmologi dalam religi
yang berbeda dengan masyarakt Nias bagian selatan. Namun aspek leluhur sebagai sebuah
sentral pemujaan yang juga menjadi milik masyarakat Austronesia dan pra Austronesia
berjalan seperti biasanya. Untuk kearifan yang dilakukan masyarakat Nias bagian utara dalam
menyikapi gempuran budaya yang datang dari selatan yaitu banyak terlihat dari prosesi yang
berkaitan dengan kehidupan sosial, seperti pendirian menhir, upacara faulu dan lainnya.
3.
Kearifan Dalam Aspek Hukum
10

Folklor asal usul masyarakat Nias merupakan salah satu sumber hukum seluruh
masyarakatnya. Sehingga beberapa bagian dari folklor tersebut dijadikan patokan dalam
prosesi yang sangat penting baik itu dalam kaitannya dengan aspek sosial maupun religi.
Berbagai peraturan yang ada pada masyarakat tampaknya merupakan salah satu hukum yang
tidak hanya mendapatkan sangsi sosial juga sangsi religi jika melanggarnya.
Dalam upaya melegalkan aspek-aspek tertentu (khususnya hukum adat) maka ada dua cara
yang dilakukan masyarakat Nias yaitu melalui folklor itu sendiri dan juga melalui rangkaian
upacara. Untuk itu juga disusunlah berbagai perangkat/lembaga yang dapat menjalankan
seluruh fungsi ketetapan-ketetapan yang diturunkan yaitu dengan membuat sistem lembaga
menjadi dua bagian yaitu, lembaga yang berkaitan dengan pemerintahan dan lembaga yang
berkaitan dengan adat. Artinya aspek-aspek pemerintahan akan berbeda dengan aspek adat.
Sehingga penyusunan aturannyapun akan berbeda, dimana sistem pemerintahan akan disusun
di rumah raja (omo hada) sedangkan sistem dan pusat menjalankan adat disusun di Balai
Adat.
Konsep hukum yang dimiliki masyarakat Nias merupakan konsep hukum yang sudah cukup
lama diterapkan. Ada keinginan masyarakat Nias untuk hidup dengan teratur yang sesuai
dengan norma dan nilai yang berkembang di masyarakat. Kearifan lain yang tampak pada
masyarakat Nias dalam aspek hukum diantaranya dengan adanya prosesi fondrako yaitu
pembaharuan aspek-aspek hukum. Konsep semacam ini merupakan kearifan yang sangat luar
biasa adaptifnya. Konsep ini sangat mungkin muncul dari cara hidup masyarakatnya yang
sangat adaptif dari sejak masa Mesolitik. Beberapa konsep strategi dalam kehidupan juga
tampaknya berlangsung terus dengan bentuk lain (berkembang). Untuk aspek organisasi
sosial yang dibedakan atas dua tersebut tampaknya keteraturan yang diinginkan melalui
keberada hukum juga diikuti dengan adanya organisasi sosial sebagai sebuah lembaga sangat
jelas fungsinya.
4.
Kearifan Dalam Teknologi dan Seni
Secara umum, alat musik yang dikenal masyarakat ada yang berbahan logam, kulit binatang,
kayu, bambu, atau dapat juga campuran berbagai bahan tersebut. Dari segi ukuran ada yang
berukuran besar hingga memiliki diameter lebih dari satu meter dan ada juga yang berukuran
kecil. Berbagai alat musik tersebut digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat sakral
dan profan.
Fo’ere merupakan salah satu alat musik masyarakat Nias. Memiliki bentuk yang dapat dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu bidang atas, tengah dan bawah. Bidang atas lebih lebar
dibandingkan dengan bidang bawah. Bidang atas tersebut digunakan sebagai bidang pukul,
sedangkan tengah merupakan bidang yang sarat pahatan dengan berbagai pola hias termasuk
pola hias kedok muka manusia. Adapun bidang bawah berbentuk memanjang dengan sedikit
hiasan. Pola hias yang ada pada fo’ere jika dibandingkan dengan pola hias yang terdapat pada
moko ataupun nekara maka ketiga benda budaya tersebut selain memiliki fungsi yang sama
sebagai alat musik juga memiliki pola hias yang serupa. Sekalipun bahan yang digunakan
pada ketiga benda budaya tersebut berbeda. Beberapa pola hias yang memiliki persamaan
antara ketiga benda budaya tersebut di antaranya adalah penggunaan pahatan muka manusia
yang merupakan ciri umum pahatan dari tradisi prasejarah/Megalitik. Selain itu juga ada
pahatan bulu burung dan hiasan tumpal (segitiga berjajar). Pada bagian kaki dari moko atau
nekara sering dipahatkan pola hias segitiga berjajar yang berlawanan, begitu juga dengan
fo’ere yang ada di Nias juga memiliki hiasan yang sama pada kakinya. Bentuk fo’ere yang
memiliki persamaan dengan bentuk nekara produksi lokal, dan pola hias yang ada padanya
11

merupakan sebagian dari ciri khas benda budaya Dong Son yang difungsikan sebagai alat
musik.
Fo’ere digunakan sebagai alat musik pukul untuk mengiringi upacara yang berkaitan dengan
religi lama. Fo’ere hanya digunakan oleh para ere (dukun), sehingga fo’ere memiliki tempat
yang sangat sakral bagi masyarakat Nias (alat musik fo’ere sering disamakan dengan alat
musik fondrahi). Alat musik ini dapat dimainkan secara solo (tanpa alat yang lainnya) atau
dapat juga dimainkan bersamaan dengan gong atau alat musik yang lainnya (ansamble).
Suara yang ditabuh ere pada fo’ere tersebut merupakan suara yang dipercaya dapat
memberikan kekuatan, menunjukkan jalan atau mengarahkan kekuatan supranatural ere
kepada tujuan tertentu.
Mengingat Budaya Nias tidak mengenal teknologi logam hingga masa sejarah maka benda
budaya yang merupakan nekara/moko tersebut yang dalam budaya masyarakat itu dibuat
dengan menggunakan bahan dari kayu. Berbagai pola hias yang ada padanya baik bentuk dan
peletakannya juga sama, yaitu seperti pola hias yang terdapat dalam nekara ataupun moko
yaitu pahatan kedok muka manusia, disusun pada bagian atas benda budaya tersebut.
Keberadaan fo’ere yang berbahan kayu tersebut jelas menunjukkan kearifan masyarakat Nias
dalam menyikapi ketiadaan bijih logam di wilayahnya. Kondisi ini juga mencerminkan
betapa gigihnya masyarakat Nias dalam mempertahankan budayanya. Begitu juga dengan
teknologi yang dimiliki pada aspek peleburan logam yang dibawa kelompok migrasi tersebut
kemudian dimodifikasi dengan teknik yang berbeda sehingga berbagai ritus tetap masih dapat
berlangsung.
Penutup
Dalam upaya keberlangsungan hidup, kelompok manusia masa Mesolitik mengembangkan
pengetahuan dan memanfaatkan lingkungan alam sekitarnya, baik dalam kaitannya dengan
pemenuhan bahan pangan dan peralatan. Variasi bahan pangan dan peralatan yang dihasilkan
menunjukkan adanya kreativitas yang tinggi yang dimiliki kelompok manusia masa itu.
Didalam keberlangsungan hidupnya dipahami akan adanya siklus yang terjadi pada
lingkungan, sehingga diperlukan strategi adaptasi agar kehidupan dapat terus berlangsung.
Pada masa selanjutnya (Neolitik), strategi kehidupan tampak melalui penyiapan arsitektur
yang tangguh dalam menyikapi kondisi alam yang kerap dilanda gempa. Strategi selanjutnya
dalam menyikapi lingkungan baik alam dan manusianya dengan merubah cara hidup dari
sebagai nelayan, petani dan pemburu, menjadi hanya sebagai petani dan pemburu. Adanya
perubahan tersebut akan merubah berbagai pola makna yang ada pada masyarakat, untuk itu
dalam upaya menyikapi berbagai perubahan tersebut maka, berbagai aspek seperti simbolsimbol dengan berbagai pola maknanya dibangun dan dioperasikan dalam kaitannya dengan
religi. Hal itu dilakukan agar budaya materi dan juga konsep yang ada sebelum perubahan
tetap terjaga. Dengan itu diharapkan masyarakat akan tetap stabil.
di Pulau Nias, ketika adanya kontak antara kelompok manusia dari selatan dan utara juga
diindikasikan terjadi pembauran budaya, namun beberapa aspek dari masing-masing budaya
masih tetap terjaga. Konsep pembauran seperti itu tentu memerlukan pemahaman yang baik
akan masing-masing kebudayaan kelompoknya. Bahwa norma dan nilai yang ada tidak
berubah, sedangkan aspek lainnya masih dapat diterima sebagai sebuah budaya yang baru.
Selain itu masyarakat Nias pada umumnya memiliki kesadaran akan adanya perubahanperubahan dalam kehidupan baik itu menyangkut lingkungan alam, norma dan nilai sehingga
12

diperlukan seperangkat hukum yang juga adaktif. Konsep ini dimungkinkan berakar dari
pemahaman strategi adaptasi yang dimiliki pada masa Mesolitik. Keberadaan hukum yang
disertai dengan sangsi merupakan bentuk hukum yang cukup lengkap. Keberadaan organisasi
sosial yang berfungsi dalam kaitannya dengan pemerintahan dan adat sangat menunjang
keberlangsungan sebuah masyarakat yang teratur. Keberadan konsep tersebut dalam konteks
pembabakan budaya Neolitik merupakan sesuatu yang sangat luar biasa. Kelebihan tersebut
semakin mantap dengan adanya upaya untuk selalu memperbaharui hukum tersebut.
Sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat Nias sudah sejak lama tertata dalam hukum
sehingga sudah sangat teratur hidupnya.
Kesadaran akan potensi lingkungan yang berbeda dengan harapannya tidak menyurutkan
untuk tetap berkarya dan meneruskan budayanya, seperti halnya ketiadaan logam yang
disikapi dengan bahan kayu pada fo’ere sebagai sarana prosesi religi merupakan aspek
kearifan yang juga sangat penting untuk disebarluaskan.
Berbagai kearifan yang ada pada masyarakat Nias merupakan modal sosial yang sangat
penting untuk ditanamkan pada seluruh masyarakat terutama pada generasi muda. Kearifan
yang diungkapkan tersebut di atas merupakan hasil dari adaptasi masyarakat Nias terhadap
lingkungan, manusia dan kebudayaan, sehingga dapat dikatakan bahwa karakter dari
masyarakat Nias adalah adaptif. Karakter yang adaptif tersebut juga merupakan bentuk
jatidiri masyarakat Nias. beberapa kearifan tersebut sangat mungkin dapat disebarluaskan
pada masyarakat umum (di luar masyarakat Nias) mengingat memiliki nilai-nilai yang
bersifat universal.
Daftar Pustaka
Bellwood, Peter, 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Geertz, Clifford, 1995. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius
Danandjaja. James. 2002. Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-Lain. Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti
Hammerle, P. Johannes, 2004. Asal Usul Masyarakat Nias: Suatu Interpretasi. Gunung
Sitoli: Yayasan Pusaka Nias
Joedodibroto, Rijadi, 2008. “Mengenal Arsitektur Nias” dalam Nias Dari Masa Lalu Ke
Masa Depan. Jakarta: BPPI, hal.184 -- 263
Koentjaraningrat.1997. Pengantar Antropologi II. Jakarta: Rineka Cipta
Ritzeer, George dan Douglas J. Goodman, 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana
Soeprapto, Riyadi, 2002. Interaksionisme Simbolik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wiradnyana, Ketut. 2010. “Perubahan Makna Perahu Sebagai Simbol Pada Tradisi Megalitik
di Nias Selatan (Kearifan Lokal Masyarakt Nias Selatan)” dalam Kearifan Lokal
Dalam Arkeologi. Medan:74-95
Wiradnyana, Ketut. 2010. Legitimasi Kekuasaan Pada Budaya Nias, Paduan Penelitian
Arkeologi dan Antropologi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Wiradnyana, Ketut. 2011. Prasejarah Sumatera Bagian Utara Kontribusinya pada
Kebudayaan Kini. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Wissema, Gustaaf Gerard, 1947. Young Tertiary and Quaternary Gastropoda from The
Island of Nias, (malay Archipelago). Leiden: N.V.drukkeerij en Uitgevers-Mij y/h

13