PAPER KONTROL diri wanita yang
Desain PID Controller dengan Matlab
Sistem Kontrol PID ( Proportional–Integral–Derivative controller )
merupakan kontroler untuk menentukan presisi suatu sistem instrumentasi dengan
karakteristik adanya umpan balik pada sistem tesebut ( Feed back ).
Sistem kontrol PID terdiri dari tiga buah cara pengaturan yaitu kontrol P
(Proportional), D (Derivative) dan I (Integral), dengan masing-masing memiliki
kelebihan dan kekurangan. Dalam implementasinya masing-masing cara dapat
bekerja sendiri maupun gabungan diantaranya. Dalam perancangan sistem kontrol
PID yang perlu dilakukan adalah mengatur parameter P, I atau D agar tanggapan
sinyal keluaran system terhadap masukan tertentu sebagaimana yang diinginkan.
1. Kontrol Proporsional Kontrol P jika G(s) = kp, dengan k adalah
konstanta. Jika u = G(s) • e maka u = Kp • e dengan Kp adalah
Konstanta Proporsional. Kp berlaku sebagai Gain (penguat) saja tanpa
memberikan efek dinamik kepada kinerja kontroler. Penggunaan
kontrol P memiliki berbagai keterbatasan karena sifat kontrol yang
tidak dinamik ini. Walaupun demikian dalam aplikasi-aplikasi dasar
yang sederhana kontrol P ini cukup mampu untuk memperbaiki respon
transien khususnya rise time dan settling time.
2.
Kontrol Integratif Jika G(s) adalah kontrol I maka u dapat dinyatakan
sebagai u(t) = [integrale (t) dT] Ki dengan Ki adalah konstanta
Integral, dan dari persamaan diatas, G(s) dapat dinyatakan sebagai u =
Kd.[deltae / deltat] Jika e(T) mendekati konstan (bukan nol) maka u(t)
akan menjadi sangat besar sehingga diharapkan dapat memperbaiki
error. Jika e(T) mendekati nol maka efek kontrol I ini semakin kecil.
Kontrol I dapat memperbaiki sekaligus menghilangkan respon steadystate, namun pemilihan Ki yang tidak tepat dapat menyebabkan respon
transien yang tinggi sehingga dapat menyebabkan ketidakstabilan
sistem. Pemilihan Ki yang sangat tinggi justru dapat menyebabkan
output berosilasi karena menambah orde sistem.
3. Kontrol Derivatif Sinyal kontrol u yang dihasilkan oleh kontrol D
dapat dinyatakan sebagai G(s) = s.Kd Dari persamaan di atas, nampak
bahwa sifat dari kontrol D ini dalam konteks "kecepatan" atau rate dari
error. Dengan sifat ini ia dapat digunakan untuk memperbaiki respon
transien dengan memprediksi error yang akan terjadi. Kontrol
Derivative hanya berubah saat ada perubahan error sehingga saat error
statis kontrol ini tidak akan bereaksi, hal ini pula yang menyebabkan
kontroler Derivative tidak dapat dipakai sendiri.
Untuk mendapatkan aksi kontrol yang baik diperlukan langkah coba-coba
dengan kombinasi antara P, I dan D sampai ditemukan nilai Kp, Ki dan Kd seperti
yang diiginkan.
1. Memahami cara kerja system
2. Mencari model sistem dinamik dalam persamaan differensial
3. Mendapatkan fungsi alih sistem dengan Transformasi Laplace
4. Memberikan aksi pengontrolan dengan menentukan konstanta Kp, Ki
dan Kd
5. Menggabungkan fungsi alih yang sudah didapatkan dengan jenis aksi
pengontrolan
6. Menguji sistem dengan sinyal masukan fungsi langkah, fungsi undak
dan impuls ke dalam fungsi alih yang baru
7. Melakukan Transformasi Laplace balik untuk mendapatkan fungsi
dalam kawasan waktu
8. Menggambar tanggapan sistem dalam kawasan waktu
Respon sistem atau tanggapan sistem adalah perubahan perilaku output
terhadap perubahan sinyal input. Respon sistem berupa kurva ini akan menjadi
dasar
untuk
menganalisa
persamaan/model
karakteristik
system
selain
menggunakan
matematika. Bentuk kurva respon sistem dapat dilihat
setelah mendapatkan sinyal input. Sinyal input yang diberikan untuk mengetahui
karakteristis system disebut sinyal test. Ada 3 tipe input sinyal test yang
digunakan untuk menganalisa system dari bentuk kurva response:
1. Impulse signal, sinyal kejut sesaat
2. Step signal, sinyal input tetap DC secara mendadak
3. Ramp signal, sinyal yang berubah mendadak (sin, cos).
Respon Peralihan (transient response) Ketika input sebuah sistem
berubah secara tiba-tiba, keluaran atau output membutuhkan waktu untuk
merespon perubahan itu. Bentuk respon transient atau peralihan bisa
digambarkan seperti berikut:
Bentuk sinyal respond transient ada 3:
1. Underdamped response, output melesat naik untuk mencapai input
kemudian turun dari nilai yang kemudian berhenti pada kisaran
nilai input. Respon ini memiliki efek osilasi
2. Critically damped response, output tidak melewati nilai input tapi
butuh waktu lama untuk mencapai target akhirnya.
3. Overdamped response, respon yang dapat mencapai nilai input
dengan cepat dan tidak melewati batas input.
Fasa peralihan
ini kemudian
akan berhenti pada nilai dikisaran
input/target dimana selisih nilai akhir dengan target disebut steady state error.Jika
dengan input atau gangguan yang diberikan pada fasa transient kemudian tercapai
output steady state maka dikatakan sistem ini stabil. Jika sistem tidak stabil,
output akan meningkat terus tanpa batas sampai sistem merusak diri sendiri atau
terdapat rangkaian pengaman yang memutus sistem.
Sensitifitas sistem adalah perbandingan antara persentase perubahan
output dengan persentase perubahan input. Perubahan pada input bisa normal
atau ada gangguan dimana parameter proses akan berubah seiring dengan usia,
lingkungan, kesalahan kalibrasi dsb. Pada sistem siklus tertutup tidak terlalu
sensitif terhadap hal ini karena adanya proses monitoring balik/feedback.
Kondisi sebaliknya terjadi pada sistem siklus terbuka. Pemilihan sistem siklus
terbuka harus memperhatikan spesifikasi beban dan kapasitas sistem.
Klasifikasi Respon Sistem Berdasarkan sinyal bentuk sinyal uji yang
digunakan, karakteristik respon sistem dapat diklasifikasikan atas dua macam,
yaitu:
a. Karakteristik
Respon
Waktu
(Time
Respons),
adalah
karakteristik respon yang spesifikasi performansinya didasarkan
pada
pengamatan
bentuk
respon
output
sistem
terhadap
berubahnya waktu. Secara umum spesifikasi performansi respon
waktu dapat dibagi atas dua tahapan pengamatan, yaitu;
Spesifikasi Respon Transient, adalah spesifikasi respon
sistem yang diamati mulai saat terjadinya perubahan sinyal
input/gangguan/beban sampai
respon
masuk
dalam
keadaan steady state. Tolak ukur yang digunakan untuk
mengukur kualitas respon transient ini antara lain; rise
time, delay time, peak time, settling time, dan %overshoot.
Spesifikasi Respon Steady State, adalah spesifikasi
respon sistem yang diamati mulai saat respon masuk dalam
keadaan steady state sampai waktu tak terbatas (dalam
praktek waktu pengamatan dilakukan saat TS t 5TS).
Tolok ukur yang digunakan untuk mengukur kualitas
respon steady state ini antara lain; %eror steady state baik
untuk eror posisi, eror kecepatan maupun eror percepatan
b. Karakteristik
Respon
Frekuensi
(Frequency
Respons)
karakter resppon frekuensi adalah karakteristik respon yang
spesifikasi performansinya didasarkan pengamatan magnitude dan
sudut fase dari penguatan/gain (output/input) sistem untuk
masukan sinyal sinus (A sin t). Tolak ukur yang digunakan untuk
mengukur kualitas respon frekuensi ini antara lain;
Frequency Gain Cross Over,
Frequency Phase Cross Over,
Frequency Cut-Off (filter),
Frequency Band-Width (filter),
Gain Margin,
Phase Margin,
Slew-Rate Gain dan lain-lain.
c. Karakteristik Respon Waktu Sistem Orde I dan Sistem Orde II
Respon output sistem orde I dan orde II, untuk masukan fungsi
Impulsa, step, ramp dan kuadratik memiliki bentuk yang khas
sehingga mudah diukur kualitas responnya (menggunakan tolok
ukur yang ada). Pada sistem orde tinggi umumnya memiliki
bentuk respon yang kompleks atau tidak memiliki bentuk respon
yang khas, sehingga ukuran kualitas sulit ditentukan. Meskipun
demikian, untuk sistem orde tinggi yang ada dalam praktek (sistem
yang ada di industri), umumnya memiliki respon menyerupai atau
dapat didekati dengan respon orde I dan II. Untuk sistem yang
demikian dapatlah dipandang sebagai sistem orde I atau II,
sehingga ukuran kualitas sistem dapat diukur dengan tolok ukur
yang ada.
Absolut Optical Encoder
Absolute optical encoder adalah suatu alat yang mengkonversi gerakan
linier atau rotasi ke dalam suatu urutan pulsa digital. Encoder digunakan untuk
merasakan posisi, percepatan dan akselerasi. Prinsip optical memberikan
ketahanan terhadap gangguan elektris dan magnetis, yang memberikan
keuntungan untuk menempatkan encoder tersebut sebagai sensor umpan balik
secara langsung dekat dengan alat penggerak. Biasanya, mereka dipilih sebagai
sensor umpan balik untuk sistem servo yang menuntut untuk ketelitian tingkat
tinggi, tetapi absolut optical encoder juga dapat digunakan sebagai sensor untuk
aplikasi biaya yang sangat rendah.
Optical Rotary Encoder menghasilkan data posisi sudut secara langsung
dalam bentuk digital. Ada dua tipe dari optical rotary encoder, yaitu Incremental
dan Absolute Shaft Encoder. Incremental Shaft Encoder adalah encoder yang
outputnya berupa pulsa untuk setiap perubahan putaran, sedangkan pada Absolute
Shaft Encoder memungkinkan kita menentukan posisi sebenarnya dari shaft setiap
waktu.
Kelebihan absolute encoder dibandingkan incremental encoder adalah
kemampuan dalam menentukan posisi absolut.
Absolut Optical Encoder menggunakan sebuah glass disk yang diberi
tanda dengan suatu pola track/jalur yang konsentris (terpusat). Pancaran cahaya
yang terpisah dikirimkan melalui setiap track ke masing-masing photosensor.
Setiap photosensor menghasilkan 1 bit pada output digital.
Lingkaran dengan sudut 0o sampai 360o pada encoder dibagi dalam n
bagian yang sama besar, yang setiap bagiannya menentukan angka desimal.
Dengan demikian, satu bagian dapat mempunyai sudut sebesar α, dimana
besarnya adalah :
α =
360
n
o
Dimana n = Jumlah angka desimal yang dihasilkan.
Dengan menggunakan beberapa pasang fotodioda dan led, maka dapat
dibaca posisi sudut dengan ketelitian sebesar α.
Keuntungan encoder tipe ini adalah outputnya dalam bentuk digital dan
selalu memberikan posisi absolut. Ini berbeda dengan Incremental Encoder yang
hanya memberikan posisi relatif. Kelemahan Absolut Optical Encoder adalah
harganya yang relatif mahal karena membutuhkan banyak photocells dan
kelurusan dalam penyusunannya harus tepat. Jika tidak, encoder tersebut sekalikali akan menghasilkan data yang salah.
Gambar 1
Kondisi error pada
kode Binary
Gambar 2
Gambar 3
Absolut Optical Encoder
dengan kode Binary
Absolut Optical Encoder
dengan kode Gray
Gambar 1 dapat menjelaskan hal ini. Kesalahan terjadi ketika lebih
dari satu bit berubah dalam satu waktu, seperti dari sektor 7 (0111) ke sektor 8
(1000). Pada gambar photosensor tidak tepat pada satu garis lurus. Dalam hal
ini, sensor B1 di luar garis (tidak lurus) dan perubahan dari 1 ke 0 sebelum
yang lainnya. Hal ini menyebabkan error sesaat pada output. Jika komputer
meminta data selama waktu transisi ini, maka akan didapat data yang salah.
Salah satu solusinya adalah dengan menggunakan kode Grey pada disk
sebagai ganti kode Binary. Dengan kode Grey hanya 1 bit yang berubah antara
dua
sektor,
sehingga
memungkinkan
penghematan
waktu
dalam
memprosesnya. Jika photocells tidak lurus, maka kesalahan yang terjadi
adalah perubahan output yang terlambat atau lebih cepat. Dengan kata lain,
kesalahan yang terjadi tidak pernah lebih dari satu nilai LSB dengan
menggunakan kode Grey.
Thermocouple
Thermocouple terdiri atas dua kawat (A dan B) yang terbuat dari bahan
yang berbeda. Kedua ujung masing-masing kawat disatukan (dililitkan atau
disolder) pada dua titik, dimana salah satu titik disebut sebagai titik panas dan titik
yang lainnya disebut sebagai titik dingin atau titik referensi yang dipertahankan
pada suatu temperatur yang konstan. Bila antara kedua titik atau junction tersebut
terdapat perbedaan temperatur, maka akan timbul e.m.f
UT yang akan menghasilkan arus pada rangkaian. Dan bila titik referensi
ditutup oleh alat ukur atau instrumen pencatat, maka penunjukan alat ukur akan
sebanding dengan selisih temperatur antara kedua junction tersebut.
Efek thermoelektrik yang diakibatkan oleh potensial-potensial kontak pada
titik–titik junction ini dikenal dengan efek Seebeck dan sebagai akibat dari efek
Seebeck ini, maka akan timbul e.m.f termal sebesar UT dengan persamaan sebagai
berikut :
U T = K AB (T M − T E )
Dengan KAB adalah tetapan sensitivitas termal dari pasangan kawat
tersebut, TB adalah temperatur referensi dan TM adalah temperatur yang diukur.
Dengan melakukan beberapa pengukuran UT maka harga KAB dapat diketahui.
Thermocouple seringkali digunakan sebagai elemen perasa pada sensor
termal. Prinsip dasarnya adalah bahwa dua buah bahan logam yang berlainan
selalu mempunyai hubungan potensial antara keduanya. Hubungan ini berubah
sesuai dengan perubahan temperatur. Hubungan potensial tidak dapat diukur
untuk sebuah junction saja, tetapi ketika dua buah junction pada sebuah sirkuit
memiliki temperatur yang berbeda, maka sejumlah tegangan sebesar beberapa
milivolt (mV) dapat dideteksi.
Tegangan ini akan bernilai nol jika junction-junction tadi memiliki
temperatur yang sama. Tegangan akan naik jika temperatur junction relatif
terhadap yang lainnya berubah sampai tercapai titik puncak.
Karakteristik thermocouple akan menunjuk ke arah yang berlawanan
ketika sudah melewati titik transisinya. Artinya, thermocouple hanya berfungsi
pada temperatur yang terbatas. Ketika temperaturnya lebih tinggi dari titik
baliknya, karakteristiknya menjadi berbalik arah. Untuk lebih jelasnya perhatikan
gambar berikut ini :
Beberapa tipe thermocouple :
Type K (Chromel(Ni-Cr alloy)/ Alumel(Ni-Al alloy))
Bekerja pada range skala −200 °C to +1200 °C dengan sensitivitas
41 µV/°C.
Type E (Chromel/ Constantan (Cu-Ni alloy))
Memiliki output yang besar yaitu 68 µV/°C.
Type J (Iron / Constantan)
Bekerja pada range skala −40 to +750 °C dan memiliki sensitivitas
~52 µV/°C
Type N (Nicrosil (Ni-Cr-Si alloy) / Nisil (Ni-Si alloy)
Bekerja dengan temperatur dibawah 1200 °C, dan memiliki sensitivitas
39 µV/°C pada 900°C.
PENGGUNAAN ON/OFF, TIMER, DAN COUNTER PLC
Programmable Logic Controllers (PLC) adalah komputer elektronik yang
mudah digunakan (user friendly) yang memiliki fungsi kendali untuk berbagai
tipe dan tingkat kesulitan yang beraneka ragam. Definisi Programmable Logic
Controller menurut Capiel (1982) adalah :sistem elektronik yang beroperasi secara
dijital dan didisain untuk pemakaian di lingkungan industri, dimana sistem ini
menggunakan memori yang dapat diprogram untuk penyimpanan secara internal
instruksi-instruksi yang mengimplementasikan fungsi-fungsi spesifik seperti
logika, urutan, perwaktuan, pencacahan dan operasi aritmatik untuk mengontrol
mesin atau proses melalui modul-modul I/O digital maupun analog.
Berdasarkan namanya konsep PLC adalah sebagai berikut :
1. Programmable, menunjukkan kemampuan dalam hal memori untuk
menyimpan program yang telah dibuat yang dengan mudah diubah-ubah
fungsi atau kegunaannya.
2. Logic, menunjukkan kemampuan dalam memproses input secara aritmatik
dan
logic
(ALU),
yakni
melakukan
operasi
membandingkan,
menjumlahkan, mengalikan, membagi, mengurangi, negasi, AND, OR,
dan lain sebagainya.
3. Controller, menunjukkan kemampuan dalam mengontrol dan mengatur
proses
sehingga
menghasilkan
output
yang
diinginkan.
PLC ini dirancang untuk menggantikan suatu rangkaian relay sequensial
dalam suatu sistem kontrol. Selain dapat diprogram, alat ini juga dapat
dikendalikan, dan dioperasikan oleh orang yang tidak memiliki
pengetahuan di bidang pengoperasian komputer secara khusus. PLC ini
memiliki bahasa pemrograman yang mudah dipahami dan dapat
dioperasikan bila program yang telah dibuat dengan menggunakan
software yang sesuai dengan jenis PLC yang digunakan sudah
dimasukkan.Alat ini bekerja berdasarkan input-input yang ada dan
tergantung dari keadaan pada suatu waktu tertentu yang kemudian akan
meng-ON atau meng-OFF kan output-output. 1 menunjukkan bahwa
keadaan yang diharapkan terpenuhi sedangkan 0 berarti keadaan yang
diharapkan tidak terpenuhi. PLC juga dapat diterapkan untuk pengendalian
sistem yang memiliki output banyak.
Fungsi dan kegunaan PLC sangat luas. Dalam prakteknya PLC dapat
dibagi secara umum dan secara khusus.
Secara umum fungsi PLC adalah sebagai berikut:
1. Sekuensial Control. PLC memproses input sinyal biner menjadi
output yang digunakan untuk keperluan pemrosesan teknik secara
berurutan (sekuensial), disini PLC menjaga agar semua step atau
langkah dalam proses sekuensial berlangsung dalam urutan yang
tepat.
2. Monitoring Plant. PLC secara terus menerus memonitor status
suatu sistem (misalnya temperatur, tekanan, tingkat ketinggian) dan
mengambil tindakan yang diperlukan sehubungan dengan proses
yang dikontrol (misalnya nilai sudah melebihi batas) atau
menampilkan pesan tersebut pada operator.
Sedangkan fungsi PLC secara khusus adalah dapat memberikan input ke
CNC (Computerized Numerical Control). Beberapa PLC dapat memberikan input
ke CNC untuk kepentingan pemrosesan lebih lanjut. CNC bila dibandingkan
dengan PLC mempunyai ketelitian yang lebih tinggi dan lebih mahal harganya.
CNC biasanya dipakai untuk proses finishing, membentuk benda kerja, moulding
dan sebagainya.
Prinsip kerja sebuah PLC adalah menerima sinyal masukan proses yang
dikendalikan lalu melakukan serangkaian instruksi logika terhadap sinyal
masukan tersebut sesuai dengan program yang tersimpan dalam memori lalu
menghasilkan sinyal keluaran untuk mengendalikan aktuator atau peralatan
lainnya.
PLC (Programmable Logic Controller) sebagai piranti elektronika digital
yang menggunakan memori yang bisa diprogram sebagai penyimpan internal dari
sekumpul-an instruksi dengan mengimplementasikan fungsi-fungsi tertentu,
seperti logika, sekuensial, pewaktuan, perhitungan, dan aritmetika, untuk
mengendalikan berbagai jenis mesin ataupun proses melalui modul I/O digital
dan atau analog.
Elemen-elemen dasar sebuah PLC ditunjukkan pada gambar
Dalam system PLC terdapat 4 komponen bagian utama, keempat
komponen bagian utama tersebut:
1. Central Processing Unit (CPU)
2. Monitor/programmer
3. Module I/O PLC
4. Power Supply
Didalam pemrograman PLC dikenal bermacam metode pemrograman,
salah satunya ladder diagram. Suatu Ladder diagram tersusun dari beberapa
symbol inputan dan keluaran yang memiliki alamat-alamat tertentu, symbol
tersebut antara lain:
Normally open (NO), keadaan input-an (dapat berupa saklar, puss button,
sensor,dll) yang normalnya pada posisi OFF, dan akan ON bila relay telah
ter-energies
-----| |-----
Normally open (NO)
Normally close (NC), keadaan input-an yang normalnya pada posisi ON,
dan akan OFF bila relay telah terenergies
-----|/|-----
Normally close(NC)
Output, keluaran dapat berupa relay, lampu, Buzzer, motor, pneumatic, dll
--------( )-|
output
Timer, pewaktu (delay) yang dapat diatur pada PLC memiliki teknologi
solid state sehingga mempunyai kecermatan dan kecepatan yang lebih baik
dibandingkan dengan relay konvensional
-----|-----------|
|TIM
|
Timer
|
|
|-----------|
|address
|
|
|
|-----------|
|value
|
|
|
|-----------|
Counter (pencacah), counter PLC dapat sebagai pencacah naik maupun
pencacah turun dimana tergantung pada nilai yang dimasukkan dalam
fungsi counter tersebut. Untuk pencacah naik (up-conter), pencacah
dimulai dari 0 dan kemudian ditambah 1 pada masing-masing pulsa on
dari masukan pencacah. Ketika nilai setting-nya telah tercapai, maka
keluaran
akan
ter-energize.
Pengaktifan
masukan
reset
akan
mengakibatkan pencacah akan kembali ke nilai awal yaitu 0 dan juga akan
mereset keluaran pencacah. Pada pengoperasian pencacah turun (downcounter) dimulai dari nilai setting-nya dan ketika telah mencapai nilai 0
maka akan mengaktifkan keluaran pencacah
-----|-----------|
|CNT
|
Counter
|
|
|-----------|
-----|address
|
|
|
|-----------|
|Value
|
|
|
|-----------|
PAPER PRAKTIKUM
DASAR SISTEM KONTROL
DISUSUN OLEH :
FA H R U L H I D AYAT Z E E N
BP :
1310952011
L A B O R ATO R I U M KO N T R O L
J U RU S A N T E K N I K E L E K T R O
FA K U LTA S T E K N I K
U N I V E R S I TA S A N D A L A S
PA D A N G
2015
Sistem Kontrol PID ( Proportional–Integral–Derivative controller )
merupakan kontroler untuk menentukan presisi suatu sistem instrumentasi dengan
karakteristik adanya umpan balik pada sistem tesebut ( Feed back ).
Sistem kontrol PID terdiri dari tiga buah cara pengaturan yaitu kontrol P
(Proportional), D (Derivative) dan I (Integral), dengan masing-masing memiliki
kelebihan dan kekurangan. Dalam implementasinya masing-masing cara dapat
bekerja sendiri maupun gabungan diantaranya. Dalam perancangan sistem kontrol
PID yang perlu dilakukan adalah mengatur parameter P, I atau D agar tanggapan
sinyal keluaran system terhadap masukan tertentu sebagaimana yang diinginkan.
1. Kontrol Proporsional Kontrol P jika G(s) = kp, dengan k adalah
konstanta. Jika u = G(s) • e maka u = Kp • e dengan Kp adalah
Konstanta Proporsional. Kp berlaku sebagai Gain (penguat) saja tanpa
memberikan efek dinamik kepada kinerja kontroler. Penggunaan
kontrol P memiliki berbagai keterbatasan karena sifat kontrol yang
tidak dinamik ini. Walaupun demikian dalam aplikasi-aplikasi dasar
yang sederhana kontrol P ini cukup mampu untuk memperbaiki respon
transien khususnya rise time dan settling time.
2.
Kontrol Integratif Jika G(s) adalah kontrol I maka u dapat dinyatakan
sebagai u(t) = [integrale (t) dT] Ki dengan Ki adalah konstanta
Integral, dan dari persamaan diatas, G(s) dapat dinyatakan sebagai u =
Kd.[deltae / deltat] Jika e(T) mendekati konstan (bukan nol) maka u(t)
akan menjadi sangat besar sehingga diharapkan dapat memperbaiki
error. Jika e(T) mendekati nol maka efek kontrol I ini semakin kecil.
Kontrol I dapat memperbaiki sekaligus menghilangkan respon steadystate, namun pemilihan Ki yang tidak tepat dapat menyebabkan respon
transien yang tinggi sehingga dapat menyebabkan ketidakstabilan
sistem. Pemilihan Ki yang sangat tinggi justru dapat menyebabkan
output berosilasi karena menambah orde sistem.
3. Kontrol Derivatif Sinyal kontrol u yang dihasilkan oleh kontrol D
dapat dinyatakan sebagai G(s) = s.Kd Dari persamaan di atas, nampak
bahwa sifat dari kontrol D ini dalam konteks "kecepatan" atau rate dari
error. Dengan sifat ini ia dapat digunakan untuk memperbaiki respon
transien dengan memprediksi error yang akan terjadi. Kontrol
Derivative hanya berubah saat ada perubahan error sehingga saat error
statis kontrol ini tidak akan bereaksi, hal ini pula yang menyebabkan
kontroler Derivative tidak dapat dipakai sendiri.
Untuk mendapatkan aksi kontrol yang baik diperlukan langkah coba-coba
dengan kombinasi antara P, I dan D sampai ditemukan nilai Kp, Ki dan Kd seperti
yang diiginkan.
1. Memahami cara kerja system
2. Mencari model sistem dinamik dalam persamaan differensial
3. Mendapatkan fungsi alih sistem dengan Transformasi Laplace
4. Memberikan aksi pengontrolan dengan menentukan konstanta Kp, Ki
dan Kd
5. Menggabungkan fungsi alih yang sudah didapatkan dengan jenis aksi
pengontrolan
6. Menguji sistem dengan sinyal masukan fungsi langkah, fungsi undak
dan impuls ke dalam fungsi alih yang baru
7. Melakukan Transformasi Laplace balik untuk mendapatkan fungsi
dalam kawasan waktu
8. Menggambar tanggapan sistem dalam kawasan waktu
Respon sistem atau tanggapan sistem adalah perubahan perilaku output
terhadap perubahan sinyal input. Respon sistem berupa kurva ini akan menjadi
dasar
untuk
menganalisa
persamaan/model
karakteristik
system
selain
menggunakan
matematika. Bentuk kurva respon sistem dapat dilihat
setelah mendapatkan sinyal input. Sinyal input yang diberikan untuk mengetahui
karakteristis system disebut sinyal test. Ada 3 tipe input sinyal test yang
digunakan untuk menganalisa system dari bentuk kurva response:
1. Impulse signal, sinyal kejut sesaat
2. Step signal, sinyal input tetap DC secara mendadak
3. Ramp signal, sinyal yang berubah mendadak (sin, cos).
Respon Peralihan (transient response) Ketika input sebuah sistem
berubah secara tiba-tiba, keluaran atau output membutuhkan waktu untuk
merespon perubahan itu. Bentuk respon transient atau peralihan bisa
digambarkan seperti berikut:
Bentuk sinyal respond transient ada 3:
1. Underdamped response, output melesat naik untuk mencapai input
kemudian turun dari nilai yang kemudian berhenti pada kisaran
nilai input. Respon ini memiliki efek osilasi
2. Critically damped response, output tidak melewati nilai input tapi
butuh waktu lama untuk mencapai target akhirnya.
3. Overdamped response, respon yang dapat mencapai nilai input
dengan cepat dan tidak melewati batas input.
Fasa peralihan
ini kemudian
akan berhenti pada nilai dikisaran
input/target dimana selisih nilai akhir dengan target disebut steady state error.Jika
dengan input atau gangguan yang diberikan pada fasa transient kemudian tercapai
output steady state maka dikatakan sistem ini stabil. Jika sistem tidak stabil,
output akan meningkat terus tanpa batas sampai sistem merusak diri sendiri atau
terdapat rangkaian pengaman yang memutus sistem.
Sensitifitas sistem adalah perbandingan antara persentase perubahan
output dengan persentase perubahan input. Perubahan pada input bisa normal
atau ada gangguan dimana parameter proses akan berubah seiring dengan usia,
lingkungan, kesalahan kalibrasi dsb. Pada sistem siklus tertutup tidak terlalu
sensitif terhadap hal ini karena adanya proses monitoring balik/feedback.
Kondisi sebaliknya terjadi pada sistem siklus terbuka. Pemilihan sistem siklus
terbuka harus memperhatikan spesifikasi beban dan kapasitas sistem.
Klasifikasi Respon Sistem Berdasarkan sinyal bentuk sinyal uji yang
digunakan, karakteristik respon sistem dapat diklasifikasikan atas dua macam,
yaitu:
a. Karakteristik
Respon
Waktu
(Time
Respons),
adalah
karakteristik respon yang spesifikasi performansinya didasarkan
pada
pengamatan
bentuk
respon
output
sistem
terhadap
berubahnya waktu. Secara umum spesifikasi performansi respon
waktu dapat dibagi atas dua tahapan pengamatan, yaitu;
Spesifikasi Respon Transient, adalah spesifikasi respon
sistem yang diamati mulai saat terjadinya perubahan sinyal
input/gangguan/beban sampai
respon
masuk
dalam
keadaan steady state. Tolak ukur yang digunakan untuk
mengukur kualitas respon transient ini antara lain; rise
time, delay time, peak time, settling time, dan %overshoot.
Spesifikasi Respon Steady State, adalah spesifikasi
respon sistem yang diamati mulai saat respon masuk dalam
keadaan steady state sampai waktu tak terbatas (dalam
praktek waktu pengamatan dilakukan saat TS t 5TS).
Tolok ukur yang digunakan untuk mengukur kualitas
respon steady state ini antara lain; %eror steady state baik
untuk eror posisi, eror kecepatan maupun eror percepatan
b. Karakteristik
Respon
Frekuensi
(Frequency
Respons)
karakter resppon frekuensi adalah karakteristik respon yang
spesifikasi performansinya didasarkan pengamatan magnitude dan
sudut fase dari penguatan/gain (output/input) sistem untuk
masukan sinyal sinus (A sin t). Tolak ukur yang digunakan untuk
mengukur kualitas respon frekuensi ini antara lain;
Frequency Gain Cross Over,
Frequency Phase Cross Over,
Frequency Cut-Off (filter),
Frequency Band-Width (filter),
Gain Margin,
Phase Margin,
Slew-Rate Gain dan lain-lain.
c. Karakteristik Respon Waktu Sistem Orde I dan Sistem Orde II
Respon output sistem orde I dan orde II, untuk masukan fungsi
Impulsa, step, ramp dan kuadratik memiliki bentuk yang khas
sehingga mudah diukur kualitas responnya (menggunakan tolok
ukur yang ada). Pada sistem orde tinggi umumnya memiliki
bentuk respon yang kompleks atau tidak memiliki bentuk respon
yang khas, sehingga ukuran kualitas sulit ditentukan. Meskipun
demikian, untuk sistem orde tinggi yang ada dalam praktek (sistem
yang ada di industri), umumnya memiliki respon menyerupai atau
dapat didekati dengan respon orde I dan II. Untuk sistem yang
demikian dapatlah dipandang sebagai sistem orde I atau II,
sehingga ukuran kualitas sistem dapat diukur dengan tolok ukur
yang ada.
Absolut Optical Encoder
Absolute optical encoder adalah suatu alat yang mengkonversi gerakan
linier atau rotasi ke dalam suatu urutan pulsa digital. Encoder digunakan untuk
merasakan posisi, percepatan dan akselerasi. Prinsip optical memberikan
ketahanan terhadap gangguan elektris dan magnetis, yang memberikan
keuntungan untuk menempatkan encoder tersebut sebagai sensor umpan balik
secara langsung dekat dengan alat penggerak. Biasanya, mereka dipilih sebagai
sensor umpan balik untuk sistem servo yang menuntut untuk ketelitian tingkat
tinggi, tetapi absolut optical encoder juga dapat digunakan sebagai sensor untuk
aplikasi biaya yang sangat rendah.
Optical Rotary Encoder menghasilkan data posisi sudut secara langsung
dalam bentuk digital. Ada dua tipe dari optical rotary encoder, yaitu Incremental
dan Absolute Shaft Encoder. Incremental Shaft Encoder adalah encoder yang
outputnya berupa pulsa untuk setiap perubahan putaran, sedangkan pada Absolute
Shaft Encoder memungkinkan kita menentukan posisi sebenarnya dari shaft setiap
waktu.
Kelebihan absolute encoder dibandingkan incremental encoder adalah
kemampuan dalam menentukan posisi absolut.
Absolut Optical Encoder menggunakan sebuah glass disk yang diberi
tanda dengan suatu pola track/jalur yang konsentris (terpusat). Pancaran cahaya
yang terpisah dikirimkan melalui setiap track ke masing-masing photosensor.
Setiap photosensor menghasilkan 1 bit pada output digital.
Lingkaran dengan sudut 0o sampai 360o pada encoder dibagi dalam n
bagian yang sama besar, yang setiap bagiannya menentukan angka desimal.
Dengan demikian, satu bagian dapat mempunyai sudut sebesar α, dimana
besarnya adalah :
α =
360
n
o
Dimana n = Jumlah angka desimal yang dihasilkan.
Dengan menggunakan beberapa pasang fotodioda dan led, maka dapat
dibaca posisi sudut dengan ketelitian sebesar α.
Keuntungan encoder tipe ini adalah outputnya dalam bentuk digital dan
selalu memberikan posisi absolut. Ini berbeda dengan Incremental Encoder yang
hanya memberikan posisi relatif. Kelemahan Absolut Optical Encoder adalah
harganya yang relatif mahal karena membutuhkan banyak photocells dan
kelurusan dalam penyusunannya harus tepat. Jika tidak, encoder tersebut sekalikali akan menghasilkan data yang salah.
Gambar 1
Kondisi error pada
kode Binary
Gambar 2
Gambar 3
Absolut Optical Encoder
dengan kode Binary
Absolut Optical Encoder
dengan kode Gray
Gambar 1 dapat menjelaskan hal ini. Kesalahan terjadi ketika lebih
dari satu bit berubah dalam satu waktu, seperti dari sektor 7 (0111) ke sektor 8
(1000). Pada gambar photosensor tidak tepat pada satu garis lurus. Dalam hal
ini, sensor B1 di luar garis (tidak lurus) dan perubahan dari 1 ke 0 sebelum
yang lainnya. Hal ini menyebabkan error sesaat pada output. Jika komputer
meminta data selama waktu transisi ini, maka akan didapat data yang salah.
Salah satu solusinya adalah dengan menggunakan kode Grey pada disk
sebagai ganti kode Binary. Dengan kode Grey hanya 1 bit yang berubah antara
dua
sektor,
sehingga
memungkinkan
penghematan
waktu
dalam
memprosesnya. Jika photocells tidak lurus, maka kesalahan yang terjadi
adalah perubahan output yang terlambat atau lebih cepat. Dengan kata lain,
kesalahan yang terjadi tidak pernah lebih dari satu nilai LSB dengan
menggunakan kode Grey.
Thermocouple
Thermocouple terdiri atas dua kawat (A dan B) yang terbuat dari bahan
yang berbeda. Kedua ujung masing-masing kawat disatukan (dililitkan atau
disolder) pada dua titik, dimana salah satu titik disebut sebagai titik panas dan titik
yang lainnya disebut sebagai titik dingin atau titik referensi yang dipertahankan
pada suatu temperatur yang konstan. Bila antara kedua titik atau junction tersebut
terdapat perbedaan temperatur, maka akan timbul e.m.f
UT yang akan menghasilkan arus pada rangkaian. Dan bila titik referensi
ditutup oleh alat ukur atau instrumen pencatat, maka penunjukan alat ukur akan
sebanding dengan selisih temperatur antara kedua junction tersebut.
Efek thermoelektrik yang diakibatkan oleh potensial-potensial kontak pada
titik–titik junction ini dikenal dengan efek Seebeck dan sebagai akibat dari efek
Seebeck ini, maka akan timbul e.m.f termal sebesar UT dengan persamaan sebagai
berikut :
U T = K AB (T M − T E )
Dengan KAB adalah tetapan sensitivitas termal dari pasangan kawat
tersebut, TB adalah temperatur referensi dan TM adalah temperatur yang diukur.
Dengan melakukan beberapa pengukuran UT maka harga KAB dapat diketahui.
Thermocouple seringkali digunakan sebagai elemen perasa pada sensor
termal. Prinsip dasarnya adalah bahwa dua buah bahan logam yang berlainan
selalu mempunyai hubungan potensial antara keduanya. Hubungan ini berubah
sesuai dengan perubahan temperatur. Hubungan potensial tidak dapat diukur
untuk sebuah junction saja, tetapi ketika dua buah junction pada sebuah sirkuit
memiliki temperatur yang berbeda, maka sejumlah tegangan sebesar beberapa
milivolt (mV) dapat dideteksi.
Tegangan ini akan bernilai nol jika junction-junction tadi memiliki
temperatur yang sama. Tegangan akan naik jika temperatur junction relatif
terhadap yang lainnya berubah sampai tercapai titik puncak.
Karakteristik thermocouple akan menunjuk ke arah yang berlawanan
ketika sudah melewati titik transisinya. Artinya, thermocouple hanya berfungsi
pada temperatur yang terbatas. Ketika temperaturnya lebih tinggi dari titik
baliknya, karakteristiknya menjadi berbalik arah. Untuk lebih jelasnya perhatikan
gambar berikut ini :
Beberapa tipe thermocouple :
Type K (Chromel(Ni-Cr alloy)/ Alumel(Ni-Al alloy))
Bekerja pada range skala −200 °C to +1200 °C dengan sensitivitas
41 µV/°C.
Type E (Chromel/ Constantan (Cu-Ni alloy))
Memiliki output yang besar yaitu 68 µV/°C.
Type J (Iron / Constantan)
Bekerja pada range skala −40 to +750 °C dan memiliki sensitivitas
~52 µV/°C
Type N (Nicrosil (Ni-Cr-Si alloy) / Nisil (Ni-Si alloy)
Bekerja dengan temperatur dibawah 1200 °C, dan memiliki sensitivitas
39 µV/°C pada 900°C.
PENGGUNAAN ON/OFF, TIMER, DAN COUNTER PLC
Programmable Logic Controllers (PLC) adalah komputer elektronik yang
mudah digunakan (user friendly) yang memiliki fungsi kendali untuk berbagai
tipe dan tingkat kesulitan yang beraneka ragam. Definisi Programmable Logic
Controller menurut Capiel (1982) adalah :sistem elektronik yang beroperasi secara
dijital dan didisain untuk pemakaian di lingkungan industri, dimana sistem ini
menggunakan memori yang dapat diprogram untuk penyimpanan secara internal
instruksi-instruksi yang mengimplementasikan fungsi-fungsi spesifik seperti
logika, urutan, perwaktuan, pencacahan dan operasi aritmatik untuk mengontrol
mesin atau proses melalui modul-modul I/O digital maupun analog.
Berdasarkan namanya konsep PLC adalah sebagai berikut :
1. Programmable, menunjukkan kemampuan dalam hal memori untuk
menyimpan program yang telah dibuat yang dengan mudah diubah-ubah
fungsi atau kegunaannya.
2. Logic, menunjukkan kemampuan dalam memproses input secara aritmatik
dan
logic
(ALU),
yakni
melakukan
operasi
membandingkan,
menjumlahkan, mengalikan, membagi, mengurangi, negasi, AND, OR,
dan lain sebagainya.
3. Controller, menunjukkan kemampuan dalam mengontrol dan mengatur
proses
sehingga
menghasilkan
output
yang
diinginkan.
PLC ini dirancang untuk menggantikan suatu rangkaian relay sequensial
dalam suatu sistem kontrol. Selain dapat diprogram, alat ini juga dapat
dikendalikan, dan dioperasikan oleh orang yang tidak memiliki
pengetahuan di bidang pengoperasian komputer secara khusus. PLC ini
memiliki bahasa pemrograman yang mudah dipahami dan dapat
dioperasikan bila program yang telah dibuat dengan menggunakan
software yang sesuai dengan jenis PLC yang digunakan sudah
dimasukkan.Alat ini bekerja berdasarkan input-input yang ada dan
tergantung dari keadaan pada suatu waktu tertentu yang kemudian akan
meng-ON atau meng-OFF kan output-output. 1 menunjukkan bahwa
keadaan yang diharapkan terpenuhi sedangkan 0 berarti keadaan yang
diharapkan tidak terpenuhi. PLC juga dapat diterapkan untuk pengendalian
sistem yang memiliki output banyak.
Fungsi dan kegunaan PLC sangat luas. Dalam prakteknya PLC dapat
dibagi secara umum dan secara khusus.
Secara umum fungsi PLC adalah sebagai berikut:
1. Sekuensial Control. PLC memproses input sinyal biner menjadi
output yang digunakan untuk keperluan pemrosesan teknik secara
berurutan (sekuensial), disini PLC menjaga agar semua step atau
langkah dalam proses sekuensial berlangsung dalam urutan yang
tepat.
2. Monitoring Plant. PLC secara terus menerus memonitor status
suatu sistem (misalnya temperatur, tekanan, tingkat ketinggian) dan
mengambil tindakan yang diperlukan sehubungan dengan proses
yang dikontrol (misalnya nilai sudah melebihi batas) atau
menampilkan pesan tersebut pada operator.
Sedangkan fungsi PLC secara khusus adalah dapat memberikan input ke
CNC (Computerized Numerical Control). Beberapa PLC dapat memberikan input
ke CNC untuk kepentingan pemrosesan lebih lanjut. CNC bila dibandingkan
dengan PLC mempunyai ketelitian yang lebih tinggi dan lebih mahal harganya.
CNC biasanya dipakai untuk proses finishing, membentuk benda kerja, moulding
dan sebagainya.
Prinsip kerja sebuah PLC adalah menerima sinyal masukan proses yang
dikendalikan lalu melakukan serangkaian instruksi logika terhadap sinyal
masukan tersebut sesuai dengan program yang tersimpan dalam memori lalu
menghasilkan sinyal keluaran untuk mengendalikan aktuator atau peralatan
lainnya.
PLC (Programmable Logic Controller) sebagai piranti elektronika digital
yang menggunakan memori yang bisa diprogram sebagai penyimpan internal dari
sekumpul-an instruksi dengan mengimplementasikan fungsi-fungsi tertentu,
seperti logika, sekuensial, pewaktuan, perhitungan, dan aritmetika, untuk
mengendalikan berbagai jenis mesin ataupun proses melalui modul I/O digital
dan atau analog.
Elemen-elemen dasar sebuah PLC ditunjukkan pada gambar
Dalam system PLC terdapat 4 komponen bagian utama, keempat
komponen bagian utama tersebut:
1. Central Processing Unit (CPU)
2. Monitor/programmer
3. Module I/O PLC
4. Power Supply
Didalam pemrograman PLC dikenal bermacam metode pemrograman,
salah satunya ladder diagram. Suatu Ladder diagram tersusun dari beberapa
symbol inputan dan keluaran yang memiliki alamat-alamat tertentu, symbol
tersebut antara lain:
Normally open (NO), keadaan input-an (dapat berupa saklar, puss button,
sensor,dll) yang normalnya pada posisi OFF, dan akan ON bila relay telah
ter-energies
-----| |-----
Normally open (NO)
Normally close (NC), keadaan input-an yang normalnya pada posisi ON,
dan akan OFF bila relay telah terenergies
-----|/|-----
Normally close(NC)
Output, keluaran dapat berupa relay, lampu, Buzzer, motor, pneumatic, dll
--------( )-|
output
Timer, pewaktu (delay) yang dapat diatur pada PLC memiliki teknologi
solid state sehingga mempunyai kecermatan dan kecepatan yang lebih baik
dibandingkan dengan relay konvensional
-----|-----------|
|TIM
|
Timer
|
|
|-----------|
|address
|
|
|
|-----------|
|value
|
|
|
|-----------|
Counter (pencacah), counter PLC dapat sebagai pencacah naik maupun
pencacah turun dimana tergantung pada nilai yang dimasukkan dalam
fungsi counter tersebut. Untuk pencacah naik (up-conter), pencacah
dimulai dari 0 dan kemudian ditambah 1 pada masing-masing pulsa on
dari masukan pencacah. Ketika nilai setting-nya telah tercapai, maka
keluaran
akan
ter-energize.
Pengaktifan
masukan
reset
akan
mengakibatkan pencacah akan kembali ke nilai awal yaitu 0 dan juga akan
mereset keluaran pencacah. Pada pengoperasian pencacah turun (downcounter) dimulai dari nilai setting-nya dan ketika telah mencapai nilai 0
maka akan mengaktifkan keluaran pencacah
-----|-----------|
|CNT
|
Counter
|
|
|-----------|
-----|address
|
|
|
|-----------|
|Value
|
|
|
|-----------|
PAPER PRAKTIKUM
DASAR SISTEM KONTROL
DISUSUN OLEH :
FA H R U L H I D AYAT Z E E N
BP :
1310952011
L A B O R ATO R I U M KO N T R O L
J U RU S A N T E K N I K E L E K T R O
FA K U LTA S T E K N I K
U N I V E R S I TA S A N D A L A S
PA D A N G
2015