Konsekuensi Yuridis Suatu Produk Hukum y
Konsekuensi Yuridis Suatu Produk Hukum yang Tidak Memiliki Sifat
Berlaku Secara Sosiologis
Oleh : Cahya R. Mahendrani
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tujuan negara Republik Indonesia terdapat di dalam pembukaan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea ke-4. Di
dalam alinea ke-4 tersebut dinyatakan bahwa pemerintah Indonesia wajib
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut serta
melaksanakan ketertiban dunia, dan mewujudkan perdamaian abadi serta keadilan
sosial. Dalam rangka mewujudkan tujuan-tujuan tersebut, pemerintah Indonesia
memerlukan produk hukum yang baik.
Di dalam hukum tata pemerintahan, banyak terdapat produk hukum yang
diciptakan oleh aparat pemerintah. Sayangnya, baik produk hukum yang berupa
peraturan (regeling) maupun keputusan (beschikking) seringkali
tidak
bersandarkan pada syarat-syarat pembentukan produk hukum yang baik. Hal
tersebut dapat berakibat suatu produk hukum tidak berjalan dengan sebagaimana
mestinya. Seolah-olah produk hukum tersebut dibuat dengan “asal-asalan”,
sehingga banyak masyarakat yang tidak mematuhi produk hukum tersebut karena
tidak memenuhi rasa keadilan dan kesadaran yang ada di masyarakat.
Hukum itu bergerak dinamis mengikuti perkembangan masyarakatnya.
Cara membuat produk hukum yang baik adalah yang bersifat populis artinya
1"
"
berpihak kepada kepentingan rakyat. Suatu produk hukum yang baik akan
memiliki daya ikat dan kepatuhan masyarakat terhadap produk hukum itu sangat
tinggi dan tahan lama. Menurut Jeremy Bentham dalam bukunya yang berjudul
“Legal Theory” dikatakan bahwa produk hukum yang baik itu mempunyai sifat
berlaku secara filosofis, sosiologis dan yuridis. Bersifat filosofis artinya produk
hukum itu mencerminkan filosofis suatu bangsa atau negara tersebut. Bersifat
sosiologis ialah produk hukum itu harus menyesuaikan dengan keadaan
masyarakat dimana hukum itu berlaku. Bersifat yuridis ialah produk hukum itu
tidak bertentangan dengan produk hukum yang lebih tinggi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat ditarik permasalahan
dengan rumusan sebagai berikut :
•
Bagaimana konsekuensi yuridis (akibat hukum) apabila suatu produk
hukum tidak memiliki sifat berlaku secara sosiologis?
2"
"
BAB II
PEMBAHASAN
A. Produk Hukum yang Dihasilkan oleh Aparat Pemerintah
Produk hukum yang lahir atau diciptakan oleh pemerintah sebagai aparat
yang berwewenang jumlahnya sangat banyak. Berdasarkan teori politik hukum,
produk hukum yang dapat dihasilkan oleh aparat berwenang dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu regelling (Peraturan Perundang-undangan) dan beschikking
(Keputusan Tata Usaha Negara). Regelling (Peraturan Perundang-undangan)
adalah produk hukum tertulis yang substansinya (isi materinya) memiliki daya
ikat terhadap sebagian atau seluruh penduduk wilayah negara. Tugasnya mengatur
hal-hal yang bersifat umum, dan peraturan itu ditujukan pada hal-hal yang
abstrak.1 Beschikking (Keputusan Tata Usaha Negara) adalah penetapan tertulis
(biasanya berbentuk Surat Keputusan) yang dibuat oleh pejabat tata usaha negara
yang mendasarkan diri kepada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
bersifat konkrit, individual, dan final. Beschikking merupakan perbuatan hukum
public yang bersegi satu atau perbuatan sephak dari pemerintah dan bukan
merupakan hasil persetujuan dua belah pihak.2
Di Indonesia dalam membuat suatu produk hukum, para pejabat tata
usaha negara juga harus berpedoman pada asas-asas umum pemerintahan yang
baik (AUPB). Setiap negara mempunyai AUPB yang rumusannya berbeda-beda.
Menurut Prof. Muchsan, di Indonesia terdapat lima asas yaitu3 :
1. Asas kepastian hukum
2. Asas permainan yang layak/patut
3. Asas kecermatan
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
1"SF.
Marbun dan Moh. Mahfud MD, 2009, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty,
Yogyakarta, Hlm. 94.
2
Ibid, Hlm. 75.
3"Muchsan, 2014, Materi Perkuliahan Politik Hukum, Magister Hukum Bisnis dan Kenegaraan,
Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta."
3"
"
4. Asas keseimbangan / Asas Keadilan
5. Asas ketetapan dalam mengambil/menetapkan sasaran
Di dalam pemerintahan yang paling berperan dalam memutar atau
menjalankan roda pemerintahan yang paling dominan berbentuk keputusan. Yang
berbentuk keputusan lebih banyak menajalankan fungsi pemerintahan. Keputusan
syarat pertama harus sah, untuk sahnya suatu keputusan harus terpenuhi 2
kelompok persyaratan yaitu4 :
1. Persyaratan yang bersifat material, yakni persyaratan yang berkaitan
dengan isi atau substansi materi yang terdiri dari :
a. alat negara yang membuat praturan/ketetapan harus berkuasa
b. dalam kehendak alat negara yang membuat ketetapan tidak
boleh ada kekurangan yuridis
c. ketetapan harus berdasarkan suatu keadaan (situasi) tertentu
d. ketetapan harus dapat dilakukan dan tanpa melanggar peraturanperaturan lain, menurut isi dan tujuan sesuai dengan peraturan
yang menjadi dasar ketetapan itu.
2. Persyaratan yang bersifat formil, yakni persyaratan yang berkaitan
dengan instansi dan bentuk yang terdiri dari :
a. syarat-syarat yang ditentukan berhubungan dengan persiapan
dibuatnya peraturan dan berhubungan dengan cara dibuatnya
peraturan harus dipenuhi
b. peraturan harus diberi bentuk yang ditentukan
c. syarat-syarat-syarat yang ditentukan berhubungan dengan
dilakukannya peraturan harus dipenuhi
d. jangka waktu yang ditentukan : antara timbulnya hal-hal yang
menyebabkan
dibuatnya
ketetapan
dan
diumumkannya
peraturan itu.
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
4"E
Utrecht, 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Fakultas Hukum dan
Pengetahuan Masyarakat, Universitas Negeri Padjadjaran, Bandung, Hlm. 84."
4"
"
B. Pembuatan Produk Hukum yang Baik
Produk hukum dikatakan baik apabila berpihak kepada kepentingan
rakyat. Di Indonesia digunakan 3 teori untuk membuat produk hukum yang
berpihak kepada rakyat. Rakyat dalam hal ini adalah rakyat secara keseluruhan
tidak ada penggolongan di dalamnya. Teori tersebut adalah5 :
1. Teori Materiil
Teori ini dikemukakan oleh seorang sarjana yang berasal dari
Amerika Latin, Leopold Pospisil. Di dalam bukunya yang berjudul
“Anthropological of Law”, Hukum dapat dilihat dari sisi antropologi
(bentuk atau tipe manusia). Teori tersebut terdiri dari tiga kerangka
berpikir, yaitu :
1. Hukum di dunia itu hanya dapat dikelompokkan menjadi 2
kelompok hukum :
a. Authoritarian Law atau Hukum yang Dibuat oleh Penguasa
b. Common Law atau Hukum yang hidup di tengah-tengah
masyarakat atau hukum yang tidak tertulis, adat dan
konvensi
2. Kedua kelompok hukum tersebut memiliki kelebihan dan
kekurangan, namun kelebihan dan kekurangan tersebut
berbanding terbalik, seperti yang dibandingkan dibawah ini:
a. Kelebihan dari hukum yang dibuat oleh penguasa atau
hukum tertulis (authoritarian law) adalah memiliki
kepastian hukum (legal security high) dan daya paksa
yang tinggi artinya setiap lahir peraturan pasti mengikat.
Sedangkan kekurangannya adalah bersifat statis, tidak
dapat mengikuti perkembangan zaman dan obyektifitas
keadilannya sulit terwujud padahal salah satu tujuan
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
5"Ibid.!
5"
"
hukum ialah keadilan sebab hukum yang digunakan
melalui kaca mata penguasa.
b. Kelebihan dari hukum yang hidup dalam masyarakat atau
hukum yang tidak tertulis (common law) adalah bersifat
dinamis (mengikuti perkembangan masyarakat) dan
obyektifitas keadilannya mudah terwujud karena hukum
berasal dari masyarakat dan melalui kaca mata
masyarakat. Sedangkan kekurangannya adalah memiliki
kepastian hukum serta daya paksa yang rendah, sewaktuwaktu peraturan tersebut dapat ditinggalkan masyarakat.
2. Teori Formil (Formielle Theorie)
Teori ini dikemukakan oleh Rick Dickerson di dalam bukunya
yang berjudul “Legal Drafting Theory”. Teori ini menjelaskan, suatu
produk hukum dikatakan baik apabila memiliki 3 syarat berikut dan
bersifat komulatif (ketiganya harus ada) :
a. Tuntas mengatur permasalahannya. Artinya di dalam
membuat suau produk hukum tersebut harus tuntas
permasalahannya dan menyeluruh sehingga dapat bertahan
dalam
jangka
waktu
yang
lama
seperti
KUHP,
KUHPerdata.
b. Sedikit mungkin mengatur tentang delegasi undang-undang
(delegatie van wetgieving). Maksudnya diusahakan sedikit
mungkin jangan memberikan delegasi wewenangnya
sendiri seperti pajak kendaraan bermotor diatur di dalam
perda tarif pajak kendaraan bermotor akan diatur lebih
lanjut dalam aturan Bupati.
c. Jangan sampai memuat ketentuan yang bersifat elastis.
Maksudnya dalam membuat produk hukum hindari pasal
karet, pasal yang tidak jelas pengaturannya.
6"
"
3. Teori Filsafati (Philosopische Theorie)
Teori ini dikemukakan oleh Jeremy Bentham di dalam bukunya
yang berjudul “Legal Theory”. Teori ini menjelaskan, suatu produk
hukum dikatakan baik apabila memiliki 3 ciri berikut dan bersifat
komulatif (ketiganya harus ada) :
a. Berlaku secara filosofis
Produk hukum harus mencerminkan falsafah hidup suatu
bangsa di mana hukum itu hidup. Misal bangsa Indonesia
falsafah hidup bangsa Indonesia adalah Pancasila. Di
mana manusia pasti berhubungan dengan manusia lain.
Semakin banyak berhubungan dengan orang lain, maka
kebebasannya akan semakin berkurang. Produk hukum
Indonesia harus mencerminkan Pancasila.
b. Berlaku secara sosiologis
Mencerminkan
kesadaran
hukum
masyarakat
serta
menyesuaikan dengan keadaan masyarakat dimana hukum
itu berlaku.
c. Berlaku secara yuridis
Hukum diibaratkan sebagai pedang bertajam dua (tajam di
kedua sisinya). Tajam dua yang dimaksudkan, yaitu adil
dan benar. Adil adalah keseimbangan antara hak dan
kewajiban. Benar adalah kecocokan antara peraturan dan
perbuatan. Adil belum tentu benar, benar belum tentu adil,
apabila adil dan benar bertemu, maka disebut dengan
damai. Adil dan benar itu berbeda, oleh karena itu
keduanya harus harmonis. Hukum yang baik adalah
hukum yang benar dalam keadilan, dan adil dalam
kebenaran.
7"
"
Apabila suatu produk hukum yang diciptakan mengacu kepada tiga
metode pembuatan produk hukum di atas, maka produk hukum tersebut dapat
memenuhi segala kebutuhan masyarakat. Produk hukum tersebut berjalan baik
dan lancar. Dengan demikian, tujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan
makmur dapat terwujud.
C. Konsekuensi Yuridis Suatu Produk Hukum yang Tidak Memiliki Sifat
Berlaku Secara Sosiologis
Menurut Leopold Pospisil produk hukum yang baik adalah produk
hukum yang materinya sebanyak mungkin diambil dari common law (masyarakat)
tetapi wadahnya diberi bentuk authoritarian law. Menurut philosopische theorie
yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham yang berpendapat bahwa suatu hukum
dapat berlaku lama dan dipatuhi oleh masyarakat jika memiliki sifat filosofis,
sosiologis dan yuridis.6
Kekuatan berlaku sosiologis merupakan berlakunya suatu produk hukum
dalam kenyataannya di masyarakat.7 Di dalam berlakunya suatu produk hukum di
dalam masyarakat terdapat dua macam teori. Teori yang pertama adalah teori
kekuatan (machtstheorie). Menurut teori ini, hukum mempunyai kekuatan berlaku
sosiologis apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa. Produk hukum tersebut
dipaksakan oleh pemerintah, terlepas dari diterima ataupun tidak oleh
masyarakat.8 Teori kedua adalah teori pengakuan (anerkennungstheorie), teori ini
mengemukakan bahwa hukum mempunyai kekuatan berlaku sosiologis apabila
dierima dan diakui oleh masyarakat.9
Suatu produk hukum dikatakan memiliki sifat berlaku sosiologis apabila
ketentuan-ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum, kesadaran hukum
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
6"Muchsan,
7
2014, Materi Perkuliahan Politik Hukum, Op., Cit.!
Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum (Sebuah Pengantar), Liberty, Yogyakarta, Hlm.
95.
8"Ibid.!
9
Ibid.
8"
"
masyarakat, tata nilai, dan hukum yang hidup di dalam masyarakat.10 Hal ini
menjadi penting agar nantinya produk hukum yang dibuat akan dipatuhi oleh
masyarakat dan dapat bertahan lama.
Menurut Prof Muchsan, di dalam pembuatan suatu perda yang
seharusnya dilakukan terlebih dahulu adalah mensurvei kondisi di lapangan
mengenai masyarakat di lokasi tersebut.11 Hal tersebut dilakukan agar aspirasi dari
masyarakat dapat terserap dan mengetahui apa yang sebenarnya diinginkan
masyarakat. Jika produk hukum itu berasal dari masyarakat maka dengan
sendirinya masyarakat akan mematuhinya. Kebanyakan produk hukum yang ada
saat ini hanyalah berlaku secara yuridis, tetapi tidak berlaku secara filosofis dan
sosiologis. Ketidaktaatan asas dan keterbatasan kapasitas daerah dalam
penyusunan produk hukum tersebut dalam banyak hal menghambat pencapaian
tujuan otonomi daerah. Dalam hal ini, keterlibatan masyarakat akan sangat
menentukan aspek keberlakuan hukum secara efektif. Tujuan pemerintah akan
sulit terwujud apabila masyarakat tidak ikut serta berpartisipasi.
Roscoe Pound mengemukakan bahwa hukum sebagai suatu unsur yang
hidup dalam masyarakat harus senantiasa memajukan kepentingan umum. 12
Kalimat “hukum sebagai suatu unsur yang hidup dalam masyarakat” menandakan
konsistensi Pound dengan pandangan ahli-ahli sebelumnya seperti Erlich maupun
Duguit. Artinya hukum harus dilahirkan dari konstruksi hukum masyarakat yang
dilegalisasi oleh penguasa. Hukum harus berasal dari konkretisasi nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat. Kemajuan pandangan Pound adalah pada penekanan arti
dan fungsi pembentukan hukum. 13 Di sinilah awal mula dari fungsi hukum
sebagai alat perubahan sosial yang terkenal itu.
Dari pandangan Pound tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur normatif
dan empirik dalam suatu peraturan hukum harus ada, keduanya adalah sama-sama
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
10
Soimin, 2010, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Negara di Indonesia, UII Press,
Yogyakarta, Hlm. 36.
11"Muchsan, 2014, Materi Perkuliahan Politik Hukum, Op., Cit."
12
Alvin S. Johnson, 2004, Sosiologi Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, Hlm. 2.
13
Ibid.
9"
"
perlunya. Artinya, hukum yang pada dasarnya adalah gejala-gejala dan nilai-nilai
yang dalam masyarakat sebagai suatu pengalaman diwujudkan dalam suatu
norma-norma hukum melalui tangan para ahli-ahli hukum sebagai hasil rasio yang
kemudian dilegalisasi atau diberlakukan sebagai hukum oleh negara. Nilai-nilai
keadilan masyarakat harus senantiasa selaras dengan cita-cita keadilan negara
yang diwujudnyatakan dalam suatu produk hukum.
Pandangan Pound merupakan bagaimana suatu produk hukum tersebut
harus memiliki sifat sosiologis. Di dalam sosiologi hukum, hukum memiliki
fungsi sebagai sarana social control, yaitu upaya untuk mewujudkan kondisi
seimbang di dalam masyarakat. 14 Fungsi tersebut bertujuan terciptanya suatu
keadaan yang serasi antara stabilitas dan perubahan di dalam masyarakat. Selain
itu hukum juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai sarana social engineering, yaitu
sebagai sarana pembaharuan dalam masyarakat.15
Konsekuensi yuridis berlakunya suatu produk hukum yang tidak
memiliki sifat sosiologis adalah produk hukum itu tidak dapat bertahan lama dan
daya ikat kepada masyarakat sangat lemah. Dilihat dari efektivitas hukum,
menjadi tidak efektif. Hal tersebut menjadikan suatu produk hukum berlakunya di
masyarakat rendah. Produk hukum tersebut dapat dipermasalahkan atau diajukan
permohonkan untuk diuji materii ke pengadilan tata usaha negara atau Mahkamah
Agung untuk tidak berlaku lagi/produk hukum tersebut dibatalkan dan di lakukan
review terhadap produk hukum tersebut.
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
14
B.R. Rijkschroeff, 2001, Sosiologi, Hukum, dan Sosiologi Hukum, Mandar Maju, Bandung,
Hlm. 252.
15"Alvin S. Johnson, 2004, Sosiologi Hukum, Op., Cit, Hlm. 7."
10"
"
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Untuk membuat suatu produk hukum yang baik menurut Leopold
Pospisil adalah di mana materinya sebanyak mungkin diambil dari common law
(masyarakat) tetapi wadahnya di beri bentuk oleh authoritarian law. Menurut
formielle theorie yang dikemukakan oleh
Rick Dickerson yang berpendapat
dalam
baik
membuat
produk
hukum
yang
haruslah
tuntas
mengatur
permasalahannya, sedikit mungkin memuat ketentuan delegasi perundangundangan, jangan sampai memuat ketentuan yang bersifat elastis. Philosopische
thoerie yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham berpendapat bahwa suatu hukum
dapat berlaku lama dan dipatuhi oleh masyarakat apabila memiliki sifat filosofis,
sosiologis dan yuridis. Produk hukum yang diciptakan harus sesuai dengan hukum
yang hidup di dalam masyarakat. Hal tersebut bertujuan agar produk hukum
tersebut ditaati oleh masyarakat karena masyarakat merasa memiliki dan hidup di
dalamnya.
Konsekuensi yuridis berlakunya suatu produk hukum yang tidak
memiliki sifat sosiologis adalah produk hukum itu tidak dapat bertahan lama dan
daya ikat kepada masyarakat sangat lemah. Dilihat dari efektivitas hukum,
menjadi tidak efektif. Hal tersebut menjadikan suatu produk hukum berlakunya di
masyarakat rendah. Produk hukum tersebut dapat dipermasalahkan atau diajukan
permohonkan untuk diuji materii ke pengadilan tata usaha negara atau Mahkamah
Agung untuk tidak berlaku lagi/produk hukum tersebut dibatalkan dan di lakukan
review terhadap produk hukum tersebut.
11"
"
DAFTAR PUSTAKA
Johnson, Alvin S., 2004, Sosiologi Hukum, Rineka Cipta, Jakarta.
Marbun, SF. dan Moh. Mahfud MD, 2009, Pokok-pokok Hukum Administrasi
Negara, Liberty, Yogyakarta.
Mertokusumo, Sudikno, 2007, Mengenal Hukum (Sebuah Pengantar), Liberty,
Yogyakarta.
Muchsan, 2014, Materi Perkuliahan Politik Hukum, Magister Hukum Bisnis dan
Kenegaraan, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Rijkschroeff, B.R., 2001, Sosiologi, Hukum, dan Sosiologi Hukum, Mandar Maju,
Bandung.
Soimin, 2010, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Negara di
Indonesia, UII Press, Yogyakarta.
Utrecht, E, 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Fakultas
Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, Universitas Negeri Padjadjaran,
Bandung.
12"
"
Berlaku Secara Sosiologis
Oleh : Cahya R. Mahendrani
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tujuan negara Republik Indonesia terdapat di dalam pembukaan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea ke-4. Di
dalam alinea ke-4 tersebut dinyatakan bahwa pemerintah Indonesia wajib
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut serta
melaksanakan ketertiban dunia, dan mewujudkan perdamaian abadi serta keadilan
sosial. Dalam rangka mewujudkan tujuan-tujuan tersebut, pemerintah Indonesia
memerlukan produk hukum yang baik.
Di dalam hukum tata pemerintahan, banyak terdapat produk hukum yang
diciptakan oleh aparat pemerintah. Sayangnya, baik produk hukum yang berupa
peraturan (regeling) maupun keputusan (beschikking) seringkali
tidak
bersandarkan pada syarat-syarat pembentukan produk hukum yang baik. Hal
tersebut dapat berakibat suatu produk hukum tidak berjalan dengan sebagaimana
mestinya. Seolah-olah produk hukum tersebut dibuat dengan “asal-asalan”,
sehingga banyak masyarakat yang tidak mematuhi produk hukum tersebut karena
tidak memenuhi rasa keadilan dan kesadaran yang ada di masyarakat.
Hukum itu bergerak dinamis mengikuti perkembangan masyarakatnya.
Cara membuat produk hukum yang baik adalah yang bersifat populis artinya
1"
"
berpihak kepada kepentingan rakyat. Suatu produk hukum yang baik akan
memiliki daya ikat dan kepatuhan masyarakat terhadap produk hukum itu sangat
tinggi dan tahan lama. Menurut Jeremy Bentham dalam bukunya yang berjudul
“Legal Theory” dikatakan bahwa produk hukum yang baik itu mempunyai sifat
berlaku secara filosofis, sosiologis dan yuridis. Bersifat filosofis artinya produk
hukum itu mencerminkan filosofis suatu bangsa atau negara tersebut. Bersifat
sosiologis ialah produk hukum itu harus menyesuaikan dengan keadaan
masyarakat dimana hukum itu berlaku. Bersifat yuridis ialah produk hukum itu
tidak bertentangan dengan produk hukum yang lebih tinggi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat ditarik permasalahan
dengan rumusan sebagai berikut :
•
Bagaimana konsekuensi yuridis (akibat hukum) apabila suatu produk
hukum tidak memiliki sifat berlaku secara sosiologis?
2"
"
BAB II
PEMBAHASAN
A. Produk Hukum yang Dihasilkan oleh Aparat Pemerintah
Produk hukum yang lahir atau diciptakan oleh pemerintah sebagai aparat
yang berwewenang jumlahnya sangat banyak. Berdasarkan teori politik hukum,
produk hukum yang dapat dihasilkan oleh aparat berwenang dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu regelling (Peraturan Perundang-undangan) dan beschikking
(Keputusan Tata Usaha Negara). Regelling (Peraturan Perundang-undangan)
adalah produk hukum tertulis yang substansinya (isi materinya) memiliki daya
ikat terhadap sebagian atau seluruh penduduk wilayah negara. Tugasnya mengatur
hal-hal yang bersifat umum, dan peraturan itu ditujukan pada hal-hal yang
abstrak.1 Beschikking (Keputusan Tata Usaha Negara) adalah penetapan tertulis
(biasanya berbentuk Surat Keputusan) yang dibuat oleh pejabat tata usaha negara
yang mendasarkan diri kepada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
bersifat konkrit, individual, dan final. Beschikking merupakan perbuatan hukum
public yang bersegi satu atau perbuatan sephak dari pemerintah dan bukan
merupakan hasil persetujuan dua belah pihak.2
Di Indonesia dalam membuat suatu produk hukum, para pejabat tata
usaha negara juga harus berpedoman pada asas-asas umum pemerintahan yang
baik (AUPB). Setiap negara mempunyai AUPB yang rumusannya berbeda-beda.
Menurut Prof. Muchsan, di Indonesia terdapat lima asas yaitu3 :
1. Asas kepastian hukum
2. Asas permainan yang layak/patut
3. Asas kecermatan
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
1"SF.
Marbun dan Moh. Mahfud MD, 2009, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty,
Yogyakarta, Hlm. 94.
2
Ibid, Hlm. 75.
3"Muchsan, 2014, Materi Perkuliahan Politik Hukum, Magister Hukum Bisnis dan Kenegaraan,
Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta."
3"
"
4. Asas keseimbangan / Asas Keadilan
5. Asas ketetapan dalam mengambil/menetapkan sasaran
Di dalam pemerintahan yang paling berperan dalam memutar atau
menjalankan roda pemerintahan yang paling dominan berbentuk keputusan. Yang
berbentuk keputusan lebih banyak menajalankan fungsi pemerintahan. Keputusan
syarat pertama harus sah, untuk sahnya suatu keputusan harus terpenuhi 2
kelompok persyaratan yaitu4 :
1. Persyaratan yang bersifat material, yakni persyaratan yang berkaitan
dengan isi atau substansi materi yang terdiri dari :
a. alat negara yang membuat praturan/ketetapan harus berkuasa
b. dalam kehendak alat negara yang membuat ketetapan tidak
boleh ada kekurangan yuridis
c. ketetapan harus berdasarkan suatu keadaan (situasi) tertentu
d. ketetapan harus dapat dilakukan dan tanpa melanggar peraturanperaturan lain, menurut isi dan tujuan sesuai dengan peraturan
yang menjadi dasar ketetapan itu.
2. Persyaratan yang bersifat formil, yakni persyaratan yang berkaitan
dengan instansi dan bentuk yang terdiri dari :
a. syarat-syarat yang ditentukan berhubungan dengan persiapan
dibuatnya peraturan dan berhubungan dengan cara dibuatnya
peraturan harus dipenuhi
b. peraturan harus diberi bentuk yang ditentukan
c. syarat-syarat-syarat yang ditentukan berhubungan dengan
dilakukannya peraturan harus dipenuhi
d. jangka waktu yang ditentukan : antara timbulnya hal-hal yang
menyebabkan
dibuatnya
ketetapan
dan
diumumkannya
peraturan itu.
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
4"E
Utrecht, 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Fakultas Hukum dan
Pengetahuan Masyarakat, Universitas Negeri Padjadjaran, Bandung, Hlm. 84."
4"
"
B. Pembuatan Produk Hukum yang Baik
Produk hukum dikatakan baik apabila berpihak kepada kepentingan
rakyat. Di Indonesia digunakan 3 teori untuk membuat produk hukum yang
berpihak kepada rakyat. Rakyat dalam hal ini adalah rakyat secara keseluruhan
tidak ada penggolongan di dalamnya. Teori tersebut adalah5 :
1. Teori Materiil
Teori ini dikemukakan oleh seorang sarjana yang berasal dari
Amerika Latin, Leopold Pospisil. Di dalam bukunya yang berjudul
“Anthropological of Law”, Hukum dapat dilihat dari sisi antropologi
(bentuk atau tipe manusia). Teori tersebut terdiri dari tiga kerangka
berpikir, yaitu :
1. Hukum di dunia itu hanya dapat dikelompokkan menjadi 2
kelompok hukum :
a. Authoritarian Law atau Hukum yang Dibuat oleh Penguasa
b. Common Law atau Hukum yang hidup di tengah-tengah
masyarakat atau hukum yang tidak tertulis, adat dan
konvensi
2. Kedua kelompok hukum tersebut memiliki kelebihan dan
kekurangan, namun kelebihan dan kekurangan tersebut
berbanding terbalik, seperti yang dibandingkan dibawah ini:
a. Kelebihan dari hukum yang dibuat oleh penguasa atau
hukum tertulis (authoritarian law) adalah memiliki
kepastian hukum (legal security high) dan daya paksa
yang tinggi artinya setiap lahir peraturan pasti mengikat.
Sedangkan kekurangannya adalah bersifat statis, tidak
dapat mengikuti perkembangan zaman dan obyektifitas
keadilannya sulit terwujud padahal salah satu tujuan
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
5"Ibid.!
5"
"
hukum ialah keadilan sebab hukum yang digunakan
melalui kaca mata penguasa.
b. Kelebihan dari hukum yang hidup dalam masyarakat atau
hukum yang tidak tertulis (common law) adalah bersifat
dinamis (mengikuti perkembangan masyarakat) dan
obyektifitas keadilannya mudah terwujud karena hukum
berasal dari masyarakat dan melalui kaca mata
masyarakat. Sedangkan kekurangannya adalah memiliki
kepastian hukum serta daya paksa yang rendah, sewaktuwaktu peraturan tersebut dapat ditinggalkan masyarakat.
2. Teori Formil (Formielle Theorie)
Teori ini dikemukakan oleh Rick Dickerson di dalam bukunya
yang berjudul “Legal Drafting Theory”. Teori ini menjelaskan, suatu
produk hukum dikatakan baik apabila memiliki 3 syarat berikut dan
bersifat komulatif (ketiganya harus ada) :
a. Tuntas mengatur permasalahannya. Artinya di dalam
membuat suau produk hukum tersebut harus tuntas
permasalahannya dan menyeluruh sehingga dapat bertahan
dalam
jangka
waktu
yang
lama
seperti
KUHP,
KUHPerdata.
b. Sedikit mungkin mengatur tentang delegasi undang-undang
(delegatie van wetgieving). Maksudnya diusahakan sedikit
mungkin jangan memberikan delegasi wewenangnya
sendiri seperti pajak kendaraan bermotor diatur di dalam
perda tarif pajak kendaraan bermotor akan diatur lebih
lanjut dalam aturan Bupati.
c. Jangan sampai memuat ketentuan yang bersifat elastis.
Maksudnya dalam membuat produk hukum hindari pasal
karet, pasal yang tidak jelas pengaturannya.
6"
"
3. Teori Filsafati (Philosopische Theorie)
Teori ini dikemukakan oleh Jeremy Bentham di dalam bukunya
yang berjudul “Legal Theory”. Teori ini menjelaskan, suatu produk
hukum dikatakan baik apabila memiliki 3 ciri berikut dan bersifat
komulatif (ketiganya harus ada) :
a. Berlaku secara filosofis
Produk hukum harus mencerminkan falsafah hidup suatu
bangsa di mana hukum itu hidup. Misal bangsa Indonesia
falsafah hidup bangsa Indonesia adalah Pancasila. Di
mana manusia pasti berhubungan dengan manusia lain.
Semakin banyak berhubungan dengan orang lain, maka
kebebasannya akan semakin berkurang. Produk hukum
Indonesia harus mencerminkan Pancasila.
b. Berlaku secara sosiologis
Mencerminkan
kesadaran
hukum
masyarakat
serta
menyesuaikan dengan keadaan masyarakat dimana hukum
itu berlaku.
c. Berlaku secara yuridis
Hukum diibaratkan sebagai pedang bertajam dua (tajam di
kedua sisinya). Tajam dua yang dimaksudkan, yaitu adil
dan benar. Adil adalah keseimbangan antara hak dan
kewajiban. Benar adalah kecocokan antara peraturan dan
perbuatan. Adil belum tentu benar, benar belum tentu adil,
apabila adil dan benar bertemu, maka disebut dengan
damai. Adil dan benar itu berbeda, oleh karena itu
keduanya harus harmonis. Hukum yang baik adalah
hukum yang benar dalam keadilan, dan adil dalam
kebenaran.
7"
"
Apabila suatu produk hukum yang diciptakan mengacu kepada tiga
metode pembuatan produk hukum di atas, maka produk hukum tersebut dapat
memenuhi segala kebutuhan masyarakat. Produk hukum tersebut berjalan baik
dan lancar. Dengan demikian, tujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan
makmur dapat terwujud.
C. Konsekuensi Yuridis Suatu Produk Hukum yang Tidak Memiliki Sifat
Berlaku Secara Sosiologis
Menurut Leopold Pospisil produk hukum yang baik adalah produk
hukum yang materinya sebanyak mungkin diambil dari common law (masyarakat)
tetapi wadahnya diberi bentuk authoritarian law. Menurut philosopische theorie
yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham yang berpendapat bahwa suatu hukum
dapat berlaku lama dan dipatuhi oleh masyarakat jika memiliki sifat filosofis,
sosiologis dan yuridis.6
Kekuatan berlaku sosiologis merupakan berlakunya suatu produk hukum
dalam kenyataannya di masyarakat.7 Di dalam berlakunya suatu produk hukum di
dalam masyarakat terdapat dua macam teori. Teori yang pertama adalah teori
kekuatan (machtstheorie). Menurut teori ini, hukum mempunyai kekuatan berlaku
sosiologis apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa. Produk hukum tersebut
dipaksakan oleh pemerintah, terlepas dari diterima ataupun tidak oleh
masyarakat.8 Teori kedua adalah teori pengakuan (anerkennungstheorie), teori ini
mengemukakan bahwa hukum mempunyai kekuatan berlaku sosiologis apabila
dierima dan diakui oleh masyarakat.9
Suatu produk hukum dikatakan memiliki sifat berlaku sosiologis apabila
ketentuan-ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum, kesadaran hukum
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
6"Muchsan,
7
2014, Materi Perkuliahan Politik Hukum, Op., Cit.!
Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum (Sebuah Pengantar), Liberty, Yogyakarta, Hlm.
95.
8"Ibid.!
9
Ibid.
8"
"
masyarakat, tata nilai, dan hukum yang hidup di dalam masyarakat.10 Hal ini
menjadi penting agar nantinya produk hukum yang dibuat akan dipatuhi oleh
masyarakat dan dapat bertahan lama.
Menurut Prof Muchsan, di dalam pembuatan suatu perda yang
seharusnya dilakukan terlebih dahulu adalah mensurvei kondisi di lapangan
mengenai masyarakat di lokasi tersebut.11 Hal tersebut dilakukan agar aspirasi dari
masyarakat dapat terserap dan mengetahui apa yang sebenarnya diinginkan
masyarakat. Jika produk hukum itu berasal dari masyarakat maka dengan
sendirinya masyarakat akan mematuhinya. Kebanyakan produk hukum yang ada
saat ini hanyalah berlaku secara yuridis, tetapi tidak berlaku secara filosofis dan
sosiologis. Ketidaktaatan asas dan keterbatasan kapasitas daerah dalam
penyusunan produk hukum tersebut dalam banyak hal menghambat pencapaian
tujuan otonomi daerah. Dalam hal ini, keterlibatan masyarakat akan sangat
menentukan aspek keberlakuan hukum secara efektif. Tujuan pemerintah akan
sulit terwujud apabila masyarakat tidak ikut serta berpartisipasi.
Roscoe Pound mengemukakan bahwa hukum sebagai suatu unsur yang
hidup dalam masyarakat harus senantiasa memajukan kepentingan umum. 12
Kalimat “hukum sebagai suatu unsur yang hidup dalam masyarakat” menandakan
konsistensi Pound dengan pandangan ahli-ahli sebelumnya seperti Erlich maupun
Duguit. Artinya hukum harus dilahirkan dari konstruksi hukum masyarakat yang
dilegalisasi oleh penguasa. Hukum harus berasal dari konkretisasi nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat. Kemajuan pandangan Pound adalah pada penekanan arti
dan fungsi pembentukan hukum. 13 Di sinilah awal mula dari fungsi hukum
sebagai alat perubahan sosial yang terkenal itu.
Dari pandangan Pound tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur normatif
dan empirik dalam suatu peraturan hukum harus ada, keduanya adalah sama-sama
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
10
Soimin, 2010, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Negara di Indonesia, UII Press,
Yogyakarta, Hlm. 36.
11"Muchsan, 2014, Materi Perkuliahan Politik Hukum, Op., Cit."
12
Alvin S. Johnson, 2004, Sosiologi Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, Hlm. 2.
13
Ibid.
9"
"
perlunya. Artinya, hukum yang pada dasarnya adalah gejala-gejala dan nilai-nilai
yang dalam masyarakat sebagai suatu pengalaman diwujudkan dalam suatu
norma-norma hukum melalui tangan para ahli-ahli hukum sebagai hasil rasio yang
kemudian dilegalisasi atau diberlakukan sebagai hukum oleh negara. Nilai-nilai
keadilan masyarakat harus senantiasa selaras dengan cita-cita keadilan negara
yang diwujudnyatakan dalam suatu produk hukum.
Pandangan Pound merupakan bagaimana suatu produk hukum tersebut
harus memiliki sifat sosiologis. Di dalam sosiologi hukum, hukum memiliki
fungsi sebagai sarana social control, yaitu upaya untuk mewujudkan kondisi
seimbang di dalam masyarakat. 14 Fungsi tersebut bertujuan terciptanya suatu
keadaan yang serasi antara stabilitas dan perubahan di dalam masyarakat. Selain
itu hukum juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai sarana social engineering, yaitu
sebagai sarana pembaharuan dalam masyarakat.15
Konsekuensi yuridis berlakunya suatu produk hukum yang tidak
memiliki sifat sosiologis adalah produk hukum itu tidak dapat bertahan lama dan
daya ikat kepada masyarakat sangat lemah. Dilihat dari efektivitas hukum,
menjadi tidak efektif. Hal tersebut menjadikan suatu produk hukum berlakunya di
masyarakat rendah. Produk hukum tersebut dapat dipermasalahkan atau diajukan
permohonkan untuk diuji materii ke pengadilan tata usaha negara atau Mahkamah
Agung untuk tidak berlaku lagi/produk hukum tersebut dibatalkan dan di lakukan
review terhadap produk hukum tersebut.
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
14
B.R. Rijkschroeff, 2001, Sosiologi, Hukum, dan Sosiologi Hukum, Mandar Maju, Bandung,
Hlm. 252.
15"Alvin S. Johnson, 2004, Sosiologi Hukum, Op., Cit, Hlm. 7."
10"
"
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Untuk membuat suatu produk hukum yang baik menurut Leopold
Pospisil adalah di mana materinya sebanyak mungkin diambil dari common law
(masyarakat) tetapi wadahnya di beri bentuk oleh authoritarian law. Menurut
formielle theorie yang dikemukakan oleh
Rick Dickerson yang berpendapat
dalam
baik
membuat
produk
hukum
yang
haruslah
tuntas
mengatur
permasalahannya, sedikit mungkin memuat ketentuan delegasi perundangundangan, jangan sampai memuat ketentuan yang bersifat elastis. Philosopische
thoerie yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham berpendapat bahwa suatu hukum
dapat berlaku lama dan dipatuhi oleh masyarakat apabila memiliki sifat filosofis,
sosiologis dan yuridis. Produk hukum yang diciptakan harus sesuai dengan hukum
yang hidup di dalam masyarakat. Hal tersebut bertujuan agar produk hukum
tersebut ditaati oleh masyarakat karena masyarakat merasa memiliki dan hidup di
dalamnya.
Konsekuensi yuridis berlakunya suatu produk hukum yang tidak
memiliki sifat sosiologis adalah produk hukum itu tidak dapat bertahan lama dan
daya ikat kepada masyarakat sangat lemah. Dilihat dari efektivitas hukum,
menjadi tidak efektif. Hal tersebut menjadikan suatu produk hukum berlakunya di
masyarakat rendah. Produk hukum tersebut dapat dipermasalahkan atau diajukan
permohonkan untuk diuji materii ke pengadilan tata usaha negara atau Mahkamah
Agung untuk tidak berlaku lagi/produk hukum tersebut dibatalkan dan di lakukan
review terhadap produk hukum tersebut.
11"
"
DAFTAR PUSTAKA
Johnson, Alvin S., 2004, Sosiologi Hukum, Rineka Cipta, Jakarta.
Marbun, SF. dan Moh. Mahfud MD, 2009, Pokok-pokok Hukum Administrasi
Negara, Liberty, Yogyakarta.
Mertokusumo, Sudikno, 2007, Mengenal Hukum (Sebuah Pengantar), Liberty,
Yogyakarta.
Muchsan, 2014, Materi Perkuliahan Politik Hukum, Magister Hukum Bisnis dan
Kenegaraan, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Rijkschroeff, B.R., 2001, Sosiologi, Hukum, dan Sosiologi Hukum, Mandar Maju,
Bandung.
Soimin, 2010, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Negara di
Indonesia, UII Press, Yogyakarta.
Utrecht, E, 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Fakultas
Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, Universitas Negeri Padjadjaran,
Bandung.
12"
"