Biologi Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae)

TINJAUAN PUSTAKA Biologi Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae)

  Di lapangan siklus hidup kumbang tanduk, terutama masa larva di dalam batang yang membusuk sangat bervariasi mengikuti keadaan iklim. Akan tetapi, pada umumnya terdapat dua generasi tiap tahun. Masa telur 10-18 hari, masa larva (tiga instar) 63-180 hari, prapupa 6-12 hari, pupa 16-27 hari, masa istirahat imago 11-29 hari (Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 1996).

  Gambar 1. Telur O. rhinoceros Sumber:

  Telur berwarna putih, lonjong 3 mm, dengan bagian terlebar 2 mm. Semakin lama telur semakin membulat, besarnya bertambah dan warnanya menjadi lebih kelam (Gambar 1). Telur akan menetas setelah 12 hari (BPTP Yogyakarta, 2005).

  Stadia larva O. rhinoceros terdiri atas 3 instar. Masa larva instar satu 14- 19 hari, larva instar dua 15-22 hari, dan larva instar tiga 51-73 hari. Sebelum menjadi pupa, larva mengalami masa prapupa selama 10-15 hari (Bedford, 1976).

  Larva berwarna putih bersih, semakin tua warna berubah semakin kekuningan dengan panjang 75-100 mm. larva mempunyai 3 pasang tungkai pada toraks, kepala berwarna cokelat tua (Gambar 2). Ujung abdomen membesar dan terdapat susunan bulu yang khas. Umur larva berkisar 99 hingga 121 hari (BPTP Yogyakarta, 2005).

  Gambar 2. Larva O. rhinoceros Sumber: http:// maria.fremlin.de

  Pupa berada dalam kokon yang dibuatnya dari sisa-sisa media hidupnya. Pupa berwarna coklat, panjang 45-50 mm, masa pupa 19-27 hari, dan kumbang yang baru jadi berlindung dalam kokon 14-28 hari (Gambar 3) (Lubis dkk, 1992).

  Gambar 3. Pupa O. rhinoceros Sumber: http:// insectforums.asiat-world.com

  Kumbang berwarna hitam, bagian bawah badan coklat kemerah-merahan, panjang kurang lebih 40 mm. kumbang jantan mempunyai cula lebih panjang daripada betina. Umur kumbang 4-4,5 bulan, dan kumbang betina mulai bertelur 20-62 hari setelah keluar dari kokon. Seekor betina mampu bertelur 35-70 butir a b

  Gambar 4. a. Imago jantan O. rhinoceros, b. imago betina O. rhinoceros Sumber:

  Imago aktif pada malam hari dan terbang ke tanaman dari tempat pembiakannya atau pindah dari satu tanaman ke tanaman lain kebanyakan antara pukul 7-8 malam. Mereka menggerek lobang setinggi pangkal pelepah dan terus ke titik tumbuh dan tinggal dalam lubang makanan untuk beberapa hari sambil melakukan penetrasi ke dalam batang sejauh 2-5 cm/hari. Jika makanan tersedia, imago pindah hanya ke pohon yang di dekatnya (Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 1996).

  Gejala serangan O. rhinoceros

  Kumbang tanduk atau kumbang badak O. rhinoceros adalah salah satu jenis hama yang paling merugikan di perkebunan kelapa sawit, yang juga merupakan hama utama kelapa nyiur. Kumbang ini meletakkan telurnya pada tunggul-tunggul karet, kelapa, dan kelapa sawit yang telah dipotong, dan bahan- bahan organik lain. Oryctes dewasa memakan pangkal daun muda. Daun sangat muda yang masih berbentuk tombak dimakan dari bagian atas ke bawah membentuk terowongan dan setelah daun berkembang, terlihat bentuk daun yang tidak beraturan dengan ciri-ciri khas dan mudah dikenali. Pada kelapa sawit muda, tunas ujung dapat diserang dan dapat mengakibatkan matinya tanaman

  Kumbang ini menggerek jaringan pucuk melalui salah satu ketiak pelepah. Setelah masuk merusak pelepah daun yang belum terbuka (bila daunnya muncul, bentuknya seperti digunting menyerupai kipas) (Gambar 5). Seekor kumbang mampu tinggal 1 minggu dan merusak 4 pelepah. Pada tanaman <2 tahun sangat berbahaya karena dapat merusak titik tumbuh (Tim Pengembangan Materi LPP, 2007).

  Gambar 5. Gejala serangan O. rinocheros Sumber: Foto sendiri Karakteristik M. anisopliae

  M. anisopliae adalah salah satu cendawan entomopatogen yang termasuk

  dalam divisi Deuteromycotina: Hyphomycetes. Cendawan ini biasa disebut dengan green muscardine fungus dan tersebar luas di seluruh dunia (Prayogo dkk, 2005).

  Jamur M. anispliae banyak ditemukan di dalam tanah, bersifat saprofit dan umumnya dijumpai pada berbagai stadia serangga yang terinfeksi, tumbuh pada suhu 65-85 F ( 18 - 29

  C) dengan kelembaban 30-90%. Jamur ini mempunyai koloni berwarna hijau. Konidiofor dapat mencapai panjang 75 µm, bertumpuk- tumpuk diselubungi oleh konidia yang berbentuk apikal berukuran 6- 9,5 µm x 1,5- 3,9 µm. Bercabang-cabang, berkelompok membentuk massa yang padat dan longgar. Jamur ini dapat membunuh serangga, tungau dan caplak (Barnet, 1969 dalam Ahmad, 2008).

  Larva yang diinfeksi M. anisopliae dicirikan ketika ada perubahan warna menjadi kecoklatan atau hitam pada kutikula serangga. Infeksi selanjutnya terjadi ketika serangga yang mati menjadi lebih keras dan akhirnya ditutupi oleh hifa dari jamur yang kemudian berubah menjadi hijau sesuai dengan spora yang menjadi dewasa (Moslim dkk, 2007).

  Faktor yang mempengaruhi M. anisopliae

  Pada umumnya suhu optimum cendawan entomopatogen untuk perkembangan dan pertumbuhannya, daya menyebabkan penyakit dan bertahan

  o o

  hidup di alam adalah 0-30

  C. Umumnya temperatur di atas 35 C menghambat pertumbuhan dan perkembangan dari jamur entomopatogen. Konidia

  o M. anisopliae mempunyai titik kematian pada suhu 40 C selama 15 menit. Di o

  bawah 4 C, sel-sel cendawan biasanya bertahan hidup, namun jarang berkembang. Jamur entomopatogen pada umumnya dapat menoleransi kisaran yang luas dari konsentrasi ion hidrogen antara pH 5-10, dengan pH optimum sekitar 7 (McCoy dkk, 1992).

  Keberhasilan perbanyakan massal jamur M. anisopliae pengembangan metode-metode produksi massal spora-spora infektif telah membuat perkembangan penggunaan jamur M. anisopliae sebagai bioinsektisida yang komersial. Jamur M. anisopliae dapat berkembang pada skala besar pada semi- solid fermentasi, sama dengan yang digunakan pada produksi

  Bacillus thuringiensis dan dapat diformulasikan dalam bentuk tepung. Spora skala kecil. M. anisopliae sangat peka pada suhu yang ekstrim. Viabilitas spora akan menurun jika terjadi peningkatan suhu dan virulensi akan menurun pada suhu yang rendah (Cloyd, 2012).

  o

  Temperatur optimum untuk pertumbuhan M. anisopliae berkisar 22-27 C. Konidia akan membentuk kecambah pada kelembaban di atas 90%. Konidia akan berkecambah dengan baik bila kelembaban udara sangat tinggi hingga 100%.

  Patogenitas M. anisopliae akan menurun apabila kelembaban udara di bawah 86% (Prayogo dkk, 2005).

  Keefektifan cendawan entomopatogen dipengaruhi oleh waktu aplikasi. Setelah diaplikasi, cendawan entomopatogen membutuhkan kelembaban yang tinggi untuk tumbuh dan berkembang. Kelembaban udara yang tinggi dibutuhkan pada saat pembentukan tabung kecambah (germ tube), sebelum terjadi penetrasi di dalam tubuh serangga. Cendawan entomopatogen sangat rentan terhadap sinar matahari, khususnya sinar ultraviolet. Oleh karena itu, aplikasi cendawan pada musim kemarau perlu dihindari dan sebaiknya aplikasi dilakukan pada saat kelembaban tinggi (Prayogo dkk, 2005).

  Mekanisme infeksi M. anisopliae

  Konidia M. anisopliae akan berkecambah pada kutikula inang ketika menginfeksi serangga, dan melakukan penetrasi dengan senyawa hidrolisis (peptidase dan kitinase), lalu dengan bantuan tekanan mekanis, enzim tersebut menghancurkan kulit dengan cara lisis. Setelah jamur masuk, konidianya dengan cepat memperbanyak diri sehingga blatospora segera meliputi tubuh inang. Kematian inang disebabkan oleh kolonisasi miselia yang ekstensif sehingga Desikasi cadaver digunakan sebagai nutrisi dan air oleh hifa. Hifa memecah kutikula setelah serangga mati. Konidia bebas berkembang secara pasif atau aktif untuk meneruskan siklus infeksi (Wikardi, 2000 dalam Ahmad, 2008).

  Mekanisme infeksi M. anisopliae dikelompokkan dalam 4 tahap, yaitu: 1. Inokulasi, yaitu kontak antara propagul cendawan dengan tubuh serangga.

  Propagul M. anisopliae berupa konidia karena merupakan cendawan yang berkembangbiak secara tidak sempurna.

  3. Penetrasi dan invasi. Dalam melakukan penetrasi menembus integumen, cendawan membentuk tabung kecambah (appresorium). Dalam hal ini titik penetrasi sangat dipengaruhi oleh konfigurasi morfologi integumen. Penembusan dilakukan secara mekanis atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim dan toksin.

  4. Dekstruksi pada titik penetrasi dan terbentuknya blastospora yang kemudian beredar ke haemolimf dan membentuk hifa sekunder untuk menyerang jaringan lainnya. Enam senyawa enzim dikeluarkan oleh

  

M. anisopliae yaitu lipase, kitinase, amylase, proteinase, pospatase, dan

  esterase. Pada waktu serangga mati, fase perkembangan saprofit cendawan dimulai dengan penyerangan jaringan dan berakhir dengan pembentukan organ reproduksi. Pada umunya semua jaringan dan cairan tubuh serangga habis digunakan oleh cendawan, sehingga serangga mati dengan tubuh yang mengeras seperti mumi.

  Bahan tambahan formulasi M. anisopliae Jagung

  Selain sebagai sumber karbohidrat, jagung juga merupakan sumber protein yang penting dalam menu masyarakat Indonesia. Kandungan gizi utama jagung adalah pati (72-73%), dengan nisbah amilosa dan amilopektin 25-30% : 70-75%, namun pada jagung pulut (waxy maize) 0-7% : 93-100%. Kadar gula sederhana jagung (glukosa, fruktosa, dan sukrosa) berkisar antara 1-3%. Protein jagung (8- 11%) terdiri atas lima fraksi, yaitu: albumin, globulin, prolamin, glutelin, dan nitrogen nonprotein (Suarni dan Widowati, 2012).

  Tepung jagung memiliki fungsi yang sangat beragam, dapat digunakan sebagai bahan baku berbagai produk pangan dan relatif mudah diterima masyarakat, karena telah terbiasa menggunakan bahan tepung, seperti halnya tepung beras dan terigu. Kandungan nutrisi biji jagung mengalami penurunan setelah diolah menjadi bahan setengah jadi (Richana dan Suarni, 2012).

  Komposisi kimia tepung jagung adalah 11,57% air, 0,41% abu, 1,42% lemak, 5,07% protein, 73,38% pati, 0,37% gula reduksi (Richana dkk, 2010)

  Beras

  Beras mengandung beberapa nutrisi penting seperti vitamin B dan vitamin

  E, protein, dan mineral, khususnya potassium yang membantu tubuh mereduski racun. Beras dapat berperan sebagai sumber vitamin dan mineral yang baik, meskipun kontribusi sumber mikronutrisi tergantung kepada pengonsumsian kulit ari pada beras dan endosperma. Setiap 100 gram beras, mengandung 383 kkal, lemak 3,6 gram, protein 7,3 gram, karbohidrat 78 gram, serat 0,4 gram, tiamin

  Minyak jagung

  Minyak jagung relatif stabil karena kandungan asam linolenatnya sangat kecil (0,4%) dan mengandung antioksidan alami yang tinggi. Mutu minyak jagung cukup tinggi karena distribusi asam lemaknya yang berimbang, terutama oleat dan linoleat (Suarni dan Widowati, 2012).

  Minyak jagung mengandung total lemak 22%, vitamin E 15%, kolesterol 0%, sodium 0%, lemak saturated 9%. Minyak jagung tidak banyak mengandung vitamin A, vitamin C dan kalsium (Corn Refiners Association, 2006).

  Minyak kelapa

  Minyak kelapa dapat berupa minyak tanpa warna sampai berwarna kuning

  o

  kecoklatan, dengan titik larut 23-26

  C. Gliserida pada minyak kelapa merupakan campuran satu, dua, atau tuga jenis asam lemak. Meskipun minyak kelapa diketahui sebagai triglyceride atau lemak, tetapi minyak kelapa juga mengandung sedikit mono dan diglycerida, dan glyserol yang tinggi (13,5%-15%. Glyserol merupakan karbohidrat dengan komposisi kimia yang sama dengan gula sederhana. Ini menunjukkan bahwa minyak kelapa mengandung sedikit lemak, yang nyatanya menghasilkan lemak lebih sedikit dari jumlah lemak yang dihasilkan oleh minyak lain (Rethinam, 2002).

  Minyak bunga matahari

  Ada dua tipe minyak bunga matahari, yaitu polyunsaturated dan

  

monounsaturated . Polyunsaturated merupakan minyak bunga matahari tradisional

  yang dibuat dari biji bunga matahari. Jenis ini kaya akan lemak polyunsaturated dan miskin akan kolesterol darah. Sedangkan minyak bunga matahari sehingga kandungan lemak monounsaturatednya lebih tinggi dari tanaman bunga matahari tradisional. Minyak ini mengandung lemak jenuh lebih rendah dari minyak bunga matahari tradisional (Australian Oilseed Federation, 2005).

  Kandungan pada minyak bunga matahari dalam setiap 100 gram antara lain protein 0 gr, lemak 100 gr, karbohidrat 0 gr, dan energy 3700 KJ (Australian Oilseed Federation, 2005).