1. Biologi Fusarium oxysporum f.sp capsici - Penggunaan Jamur Endofit Dari Terong Belanda (Solanum betacea) untuk Mengendalikan Fusarium oxysporum f.sp.capsici dan Alternari solani Secara In Vitro

TINJAUAN PUSTAKA

1. Biologi Fusarium oxysporum f.sp capsici

  Menurut Agrios (1996), penyakit layu Fusarium dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Fungi Divisio : Mycota Sub divisio : Deuteromycotina Class : Deuteromycetes Ordo : Moniliales Family : Tuberculariaceae Genus : Fusarium Spesies : Fusarium oxysporum

  Fusarium sp. menghasilkan 3 jenis spora. Mikrokonidia tidak berwarna,

  bersel tunggal, berbentuk bulat dengan panjang 6- 15 μm dan berdiameter 3-5 μm. Makrokonidia berbentuk bulan sabit, tidak berwarna, mempunyai 3-5 sekat, masing-masing panjangnya 30-

  50 μm dan berdiameter 2-5 μm. Klamidospora halus, berbentuk bola, bersel tunggal yang menghasilkan miselium yang tua dan rata- rata berdiameter 10 μm. Ketiga jenis spora tersebut merupakan patogen tular tanah yang akan menginfeksi tanaman. Setelah mengadakan infeksi, tanaman akan mati kemudian jamur dan spora tersebut akan tetap berada di dalam tanah dimana jamur dapat bertahan pada jangka waktu yang tidak terbatas (Sinaga, 2011).

  Di alam cendawan ini membentuk konidium pada suatu badan buah yang disebut sporodokium, yang dibentuk pada permukaan tangkai atau daun sakit pada tingkat yang telah lanjut. Konidiofor bercabang-cabang rata-rata mempunyai panjang 70μm. Cabang-cabang samping biasanya bersel satu, panjangnya sampai 14 μm. Konidium terbentuk pada ujung cabang utama atau cabang samping. (Djaenuddin, 2011).

  Koloni pada media OA (Oat Agar) atau PDA (25 ˚C) mencapai diameter 3,5

  • 5,0 cm. Miselia aerial tampak jarang atau banyak seperti kapas, kemudian menjadi seperti beludru, berwarna putih atau salem dan biasanya agak keunguan yang tampak lebih kuat dekat permukaan medium. Sporodokia terbentuk hanya pada beberapa strain. Sebaliknya koloni berwarna kekuningan hingga keunguan. Konidiofor dapat bercabang dapat tidak, dan membawa monofialid (Kirnando, 2011).

  A B C Gambar 1. F. oxysporum

  (a.. Mikrokonidia, b. Makrokonidia, c. klamidospora (1000x))

  Fusarium spp. dapat bertahan di dalam tanah dari lingkungan yang tidak

  menguntungkan dengan cara membentuk klamidiospora. Klamidiospora bersel tunggal yang memiliki dinding tebal, zat warna pada dinding tubuhnya dan lemak yang merupankan cadangan makanannya. Klamidiospora berkembang langsung dari sel hifa atau dari untaian konidia yang perkecambahannya tidak terjadi (Pohan, 2003).

  Gejala Serangan

  Patogen menyerang jaringan empulur batang melalui akar yang luka atau terinfeksi. Batang yang terserang akan kehilangan banyak cairan dan berubah warna menjadi kecokelatan, pada batang kadang-kadang terbentuk akar adventif. Kadang-kadang lapisan luar batang palsu terbelah dari permukaan tanah (Semangun, 1994). Cendawan ini menyerang jaringan pembuluh batang sehingga menyebabkan daun-daunnya menguning. Dengan melubangi batang tanaman yang daunnya tampak menguning layu, akan terlihat jaringan seperti sarang laba-laba yang mengering dan berwarna cokelat. Akibatnya, tanaman sukar berbunga dan apabila mampu berbunga sukar membentuk buah yang normal (Djaenuddin, 2011).

  Tanaman yang terserang tidak akan mampu berbuah atau buahnya tidak terisi. Lamanya waktu antara saat terjadinya infeksi penyakit sampai munculnya gejala penyakit berlangsung kurang lebih 2 bulan. Buah mengering dan tidak merunduk. Namun anakan tampak normal meskipun telah tercemar. Gejala yang paling khas adalah gejala dalam terjadi pada pangkal batang. Bila pangkal batang dibelah membujur tampak garis-garis berwarna cokelat atau merah. Gejala sangat bervariasi tergantung pada keadaan tanaman, dan lingkungan, dan biasanya serangan tampak pada tanaman berumur 5-10 bulan (Semangun, 2000) Jamur Fusarium yang berada dalam pembuluh menyebabkan kelayuan.

  Terdapat beberapa teori, yaitu teori penyumbatan, teori toksin, dan teori enzim. Semula orang berpendapat bahwa jamur dalam pembuluh kayu mengganggu pengangkutan air. Jamur menyerang jaringan pembuluh tanaman dan menyebabkan pelayuan daun dengan cara menghambat jaringan angkut xilem dan menghambat perpindahan air (Beckman, 1987).

  Gambar 2. Gejala Layu Fusarium Pada Tanaman Cabai

  Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

  Cendawan F. oxysporum sangat sesuai pada tanah dengan kisaran pH 4,5-6,0 tumbuh baik pada biakan murni dengan kisaran pH 3,6-8,4 sedangkan untuk pensporaan, pH optimum sekitar 5,0. Pensporaan yang terjadi pada tanah dengan pH di bawah 7,0 adalah 5-20 kali lebih besar dibandingkan dengan tanah yang mempunyai pH di atas 7. Pada pH di bawah 7, pensporaan terjadi secara melimpah pada semua jenis tanah, tetapi tidak akan terjadi pada pH di bawah 3,6 atau di atas 8,8. Suhu optimum untuk pertumbuhan cendawan F. oxysporum adalah

  20 C dan 30

  C, maksimum pada 37 C sedangkan optimum untuk pensporaan adalah 20 - 25 C (Djaenuddin, 2011).

  Pengendalian

  Cara pengendalian penyakit layu fusarium adalah dengan penanaman jenis tanaman yang tahan. Beberapa usaha untuk mengendalikan penyakit dengan fungisida tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tetapi diberitakan bahwa pencelupan akar benomyl 1.000 ppm memberikan hasil yang baik. Usaha untuk mengendalikan penyakit dengan meningkatkan suhu tanah dengan mulsa plastik memberikan banyak harapan, namun masih memerlukan banyak penelitian untuk dapat dianjurkan dalam praktek (Sinaga, 2011).

  Beberapa ahli telah mengisolasi dan meneliti endofit dari berbagai tanaman. Dari sekitar 300.000 jenis tanaman yang tersebar di muka bumi, masing- masing tanaman mengandung satu atau lebih mikroorganisme endofit yang terdiri dari bakteri dan fungi. Bakteri atau fungi tersebut dapat menghasilkan senyawa metabolit yang dapat berfungsi sebagai antibiotika (antifungi/antibakteri), antivirus, antikanker, antidiabetes, antimalaria, antioksidan, antiimunopressif, antiserangga, zat pengatur tumbuh, dan penghasil enzim-enzim hidrolitik seperti amilase, selulase, xilanase, ligninase, dan kitinase (Zinniel dkk, 2002).

2. Biologi Alternari solani

  A. solani merupakan jamur tidak sempurna (imperfect) tanpa tahap

  seksual. Miselium terdiri dari septa, bercabang, hifa berwarna coklat muda yang lama kelamaan menjadi lebih gelap. Sel sel mengandung 0-14 inti sedangkan sel terminal memiliki 14-36 inti. Konidiosfor berukuran 50-90 x 9 µ m dan berwarna gelap. Konidia berukuran 120-296 x 12-20 µ m, berparuh , muriform,, berwarna gelap dan tunggal (Raziq dan Ishtiaq, 2010). a b

  Gambar 3. A. solani (a.

  

Hifa, b. Konidia)

  Gejala Serangan

  Gejala pertama biasanya muncul pada daun tua berupa bercak kecil, bentuknya tidak beraturan, berwarna coklat gelap. Bercak-bercak konsentrik sering terbentuk sehingga memberikan gejala yang khas. Biasanya terbentuk daerah klorotik (kuning) di sekitar bercak yang merupakan batas dari bagian yang normal.

  Apabila bercak-bercak tasi dalam jumlah yang banyak maka daun tampak kuning kemudian daun-daun layu dan gugur. (Winarni, 1984).

  Patogen dapat menyerang bibit dan tanaman muda. Pada bibit, bercak gelap terbentuk pada daun hipokotil, batang dan daun. Hipokotil dapat mati dan batang yang terserang akan terkulai (Setiawati dkk, 2001).

  Gambar 4. Gejala Serangan A. solani

  Faktor-faktor yang Mempengaruhi infeksi oleh A. solani paling cepat dibawah 28-30 C dengan kondisi basah.

  Patogen bertahan antara tanaman di sisa-sisa tanaman dan benih. Spora yang berada di musim sebelumnya didalam tanah, biji atau inang solanaceae dapat berkecambah dan menembus daun langsung atau masuk dari goresan. Setelah infeksi awal, bercak dapat terlihat dalam waktu dua atau tiga hari ( Pasche dkk, 2004).

  Cahaya dan suhu sangat mempengaruhi dalam pertumbuhan jamur, termasuk pembentukan struktur reproduksi. Dalam sporulasi A. solani menyukai inkubasi dibawah lampu neon ( C atau selama 16

  λ = 380 -775 ηm) pada suhu 25 jam penyinaran pada 20 C. Namun spectrum cahaya fluorescent mengandung panjang gelombang penghambatan, kususnya panjang gelombang biru

  (Rodrigues dkk, 2010).

  Pengendalian

  Langkah-langkah sanitasi yang baik dapat menjaga spora untuk tidak menginfeksi tanaman berikutnya. Pada akhir musim tanam semua sampah tomat harus d buang, kompos (jika tumpukan cukup panas untuk membunuh spora) atau digarap ke dalam tanah. Rotasi tanaman merupakan cara lain untuk membantu mengurangi penyakit pada penanaman tomat. Semua sayuran memiliki maslah penyakit yang sama. Sebuah rotasi minimal tiga tahun dianggap penting untuk membantu mengurangi populasi jamur tular tanah (Wyenandt, 2005).

  Pengendalian penyakit tanaman dapat dilakukan dengan menggunakan agens hayati. Agens hayati mikroba lebih aman digunakan karena sedikit kemungkinan merugikan lingkungan dan mempunyai prospek yang baik, sehingga menjadi pilihan alternatif daripada penggunaan pestisida (Kobayashi dkk, 2002).

  Jamur Endofit

  Endofit merupakan mikroorganisme yang berasosiasi dengan jaringan tanaman sehat yang bersifat netral atau menguntungkan. Hampir setiap tanaman tingkat tinggi memiliki beberapa mikroorganisme endofit yang mampu menghasilkan senyawa biologi atau metabolit sekunder. Bahan aktif yang dihasilkan mikroorganisme endofit ini diperkirakan memiliki kemampuan yang sama dengan bahan aktif yang dihasilkan oleh tanaman induknya. Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengisolasi mikroorganisme endofit pada beberapa tanaman, misalnya pada tanaman obat dan tanaman budidaya seperti padi (Lingga, 2009).

  Hampir semua tanaman berpembuluh memiliki endofit. Fungi endofit hidup dalam jaringan tanaman dan membantu tanaman dalam fiksasi Nitrogen (N2). Sementara itu asosiasi fungi endofit dengan tumbuhan inangnyadigolongkan menjadi dua kelompok, yaitu mutualisme konstitutif dan induktif. Mutualisme konstitutif merupakan asosiasi yang relatif erat hubungannya antara fungi endofit dengan tanaman inang terutama rumput-rumputan. Pada kelompok ini fungi endofit menginfeksi ovula (benih) inang, dan penyebarannya melalui benih serta organ penyerbukan inang. Mutualisme induktif merupakan asosiasi antara mikroorganisme endofit dengan tumbuhan inang yang penyebarannya terjadi secara bebas melalui udara dan air. Jenis ini hanya berasosiasi dalam bagian vegetatif inang dan sering berada dalam keadaan tidak aktif dalam periode cukup lama dan membentuk biomassa yang kecil (Siadari, 2010).

  Beberapa ahli telah mengisolasi dan meneliti endofit dari berbagai tanaman diantaranya; tanaman obat (Tan dan Zou, 2001), tanaman perkebunan (Zinniel dkk, 2002), dan tanaman-tanaman hutan (Strobel, 2002; Suryanarayanan dkk, 2003). Dari sekitar 300.000 jenis tanaman yang tersebar di muka bumi, masing-masing tanaman mengandung satu atau lebih mikroorganisme endofit yang terdiri dari bakteri dan fungi (Strobel dan Daisy, 2003). Bakteri atau fungi tersebut dapat menghasilkan senyawa metabolit yang dapat berfungsi sebagai antibiotika (antifungi/antibakteri), antivirus, antikanker, antidiabetes, antimalaria, antioksidan, antiimunopressif, antiserangga, zat pengatur tumbuh dan penghasil enzim-enzim hidrolitik seperti amilase, selulase, xilanase, ligninase, kitinase (Maysarah, 2009).

  Penelitian Brunner dan Petrini (1992) yang melakukan seleksi pada lebih dari 80 spora fungi endofit, hasilnya menunjukkan bahwa 75 % fungi endofit mampu menghasilkan antibiotika. Fungi endofit Xylotropik, suatu kelompok fungi yang berasosiasi dengan tumbuhan berkayu, juga merupakan penghasil metabolit sekunder. Fungi endofit juga mampu menghasilkan siklosporin A, yang berpotensi sebagai antifungal dan bahan imunosupresif (Haniah, 2008).

  Mekanisme antagonisme jamur endofit dapat menekan perkembangan patogen sehingga tanaman menjadi tahan karena antibiosis. Petrini (1993) melaporkan bahwa jamur endofit menghasilkan alkaloid dan mikotoksin sehingga memungkinkan digunakan untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit. Menurut Dahlam dkk (1991), Brunner dan Petrini (1992), jamur endofit menghasilkan senyawa aktif biologis secara invitro antara lain alkaloid, paxillin, lolitrems dan tetranone steroid. Selain itu menurut (Photita 2003), jamur endofit antagonis mempunyai aktivitas tinggi dalam menghasilkan enzim yang dapat digunakan untuk mengendalikan patogen (Sudantha dan Abadi, 2011).

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Desinfektan - Efektivitas Desinfektan Pine Oil Terhadap Jumlah Angka Kuman Pada Lantai Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Deli Medan 2013

1 1 30

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Efektivitas Desinfektan Pine Oil Terhadap Jumlah Angka Kuman Pada Lantai Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Deli Medan 2013

0 2 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. KANKER PARU - Kadar Carcinoembryonic Antigen (CEA) pada penderita kanker paru yang mendapat kemoterapi di RSUP H. Adam Malik Medan

1 3 33

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG - Kadar Carcinoembryonic Antigen (CEA) pada penderita kanker paru yang mendapat kemoterapi di RSUP H. Adam Malik Medan

0 0 8

d. Tamat Sarjana (S2) PangkatGolongan - Pengaruh Motivasi Dan Kemampuan Pegawai Terhadap Kualitas Pelayanan Publik Pada Dinas Pendapatan Kabupten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara

0 0 28

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian - Pengaruh Motivasi Dan Kemampuan Pegawai Terhadap Kualitas Pelayanan Publik Pada Dinas Pendapatan Kabupten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara

0 0 58

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Uraian Teoritis - Pengaruh Motivasi Dan Kemampuan Pegawai Terhadap Kualitas Pelayanan Publik Pada Dinas Pendapatan Kabupten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara

0 0 31

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pengaruh Motivasi Dan Kemampuan Pegawai Terhadap Kualitas Pelayanan Publik Pada Dinas Pendapatan Kabupten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara

0 0 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sales Promotion Girl 2.1.1. Definisi - Keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada Sales Promotion Girl (SPG) Pengguna Sepatu Hak Tinggi di Suzuya Medan Plaza pada Tahun 2015

0 0 18

Penggunaan Jamur Endofit Dari Terong Belanda (Solanum betacea) untuk Mengendalikan Fusarium oxysporum f.sp.capsici dan Alternari solani Secara In Vitro

0 0 45