BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pestisida - Potensi Bakteri Penghasil Biosurfaktan dari Air Laut Belawan Sumatera Utara dalam Mendegradasi Herbisida Berbahan Aktif Glifosat pada Tanah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pestisida

  Pestisida adalah substansi yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan berbagai hama. Kata pestisida berasal dari kata pest yang berarti hama dan cida yang berarti pembunuh. Jadi, secara sederhana pestisida diartikan sebagai pembunuh hama yaitu tungau, tumbuhan pengganggu, penyakit tanaman yang disebabkan oleh fungi, bakteri, virus, nematoda, siput, tikus, burung dan hewan lain yang dianggap merugikan (Prijanto, 2009). Menurut Afriyanto (2008), Pestisida mencakup bahan-bahan racun yang digunakan untuk membunuh jasad hidup yang mengganggu tumbuhan, ternak dan sebagainya yang diusahakan manusia untuk kesejahteraan hidupnya.

  Meskipun secara konseptual penggunaan pestisida diposisikan sebagai alternatif terakhir dalam pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) serta dukungan dengan piranti peraturan yang mengikat, namun kenyataan di lapangan menunjukkan pestisida sering merupakan pilihan utama dan paling umum dilakukan petani. Penggunaan pestisida dalam mengatasi organisme pengganggu tanaman telah membudaya dikalangan petani. Hal ini ditunjukkan oleh tingginya trend data sebelum tahun 1970 jumlah penggunaan pestisida untuk tanaman pangan masih dibawah 100 ton, maka pada tahun 1970 sudah mencapai 2000 ton yang kemudian terus meningkat cepat dan pada tahun 1987 jumlah pestisida yang disubsidi oleh pemerintah sebesar 80% dari harga pestisida maka penggunaannya meningkat pesat mencapai 18.700 ton. Sehingga secara tidak sengaja pemerintah telah menciptakan iklim budaya yang mengagungkan pestisida (pestisidaisme) sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam sistem pertanian yang telah diusahakan oleh petani. Kondisi ini telah menjadi suatu tradisi dan bertahan hingga saat ini pada kalangan petani dalam menjalankan sistem usahataninya (Sulistiyono, 2004).

  Penggunaan pestisida biasanya dilakukan dengan bahan lain. Misalnya dicampur minyak dan air untuk melarutkannya, juga ada yang menggunakan bubuk untuk mempermudah dalam pengenceran atau penyebaran dan penyemprotannya. Bubuk yang dicampur sebagai pengencer umumnya dalam formulasi dust, atraktan (misalnya bahan feromon) untuk pengumpan, juga bahan yang bersifat sinergis lainnya untuk penambah daya racun (Afriyanto, 2008).

2.2 Pencemaran Pestisida

  Pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) pada umumnya dilakukan dengan menggunakan pestisida kimia sintetik yang seringkali menimbulkan dampak yang negatif. Meskipun telah berjasa dalam meningkatkan produksi pangan dan sandang, penggunaan pestisida juga mengancam keberlanjutan sistem produksi (kasus resistensi, resurgensi, dan ledakan hama kedua), lingkungan, keamanan pangan (residu pada produk), dan resiko kesehatan masyarakat (Hartati, 2012).

  Penggunaan pestisida yang tidak terkendali akan menimbulkan bermacam- macam masalah kesehatan dan pencemaran lingkungan. Penggunaan pestisida yang dipengaruhi oleh daya racun, volume dan tingkat pemajanan secara signifikan mempengaruhi dampak kesehatan. Semakin tinggi daya racun pestisida yang digunakan semakin banyak tanda gejala keracunan yang dialami petani (Yuantari, 2009).

  Cemaran pestisida yang terjadi pada lahan pertanian umumnya akibat penggunaanya yang kurang terkontrol. Faktor peningkatan cemaran muncul karena pemakaian pestisida yang secara terus-menerus dan mengabaikan kepatuhan dalam penggunaan dosis, serta pemakaian pestisida yang penggunaannya diluar pengawasan resmi (Rahmansyah & Sulistinah, 2009).

  Residu pestisida menimbulkan efek yang bersifat tidak langsung terhadap konsumen, namun dalam jangka panjang dapat menyebabkan gangguan kesehatan diantaranya berupa gangguan pada syaraf dan metabolisme enzim. Residu pestisida yang terbawa bersama makanan akan terakumulasi pada jaringan tubuh yang mengandung lemak. Akumulasi residu pestisida ini pada manusia dapat merusak fungsi hati, ginjal, sistem syaraf, menurunkan kekebalan tubuh, menimbulkan cacat bawaan, alergi dan kanker (Munarso et al., 2009).

  Tingkat residu pestisida dilingkungan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti suhu lingkungan, kelarutannya dalam air, serta penyerapan oleh koloid dan bahan organik tanah. Stabilitas pestisida di lingkungan dihitung dengan waktu degradasi setengah umur jangka waktu yang diperlukan untuk degradasi senyawa kimia hingga tinggal separuhnya (DT50) (Yuantari, 2009).

  Menurut Supriyadi et al. (2001), mengingat dampak yang diakibatkan oleh pestisida cukup serius, diperlukan upaya untuk mengurangi ketergantungan dan penggunaannya di lapangan. Alasan kuat yang mendasari pengurangan tersebut adalah: (i) keprihatinan akan kontaminasi pestisida pada lingkungan, (ii) kebutuhan untuk pengembangan sistem produksi yang akrab lingkungan, (iii) residu pestisida pada produk pertanian dan lingkungan, (iv) keselamatan pengguna pestisida, dan (v) dampak pestisida pada ekosistem pertanian.

2.3 Bioremediasi

  Pengertian dari bioremediasi sendiri adalah proses penguraian limbah (pencemar) menggunakan agen biologi (mikroba) yang dilakukan dalam kondisi terkendali (controlled condition). Proses bioremediasi dapat terjadi secara alamiah oleh mikroba yang terdapat pada lingkungan tercemar (intrinsict bioremediation). Meskipun demikian, sering kali dilakukan beberapa hal untuk mempercepat proses tersebut. Contohnya dengan menambahkan mikroba (exogenous microbe), nutrien, donor dan atau akseptor elektron (Sarwoko, 2005).

  Bioremediasi adalah suatu teknik yang menggunakan makhluk hidup untuk meminimalisir atau mengurangi kerusakan lingkungan yang dihasilkan dari akumulasi senyawa-senyawa toksik dan limbah berbahaya lainnya. Penggunaan bakteri untuk degradasi dan detoksifikasi sejumlah senyawa toksik, seperti pestisida adalah cara yang efektif untuk mengurangi kontaminasi senyawa pencemar. Isolasi bakteri indigenous yang dapat memetabolisme pestisida merupakan detoksifikasi secara in situ. Metodologi bioremediasi untuk menghilangkan senyawa-senyawa xenobiotik seperti pestisida di tanah memiliki beberapa manfaat karena ramah lingkungan dan telah berhasil diaplikasikan di banyak negara (Nawaz et al., 2012).

2.4 Biodegradasi Glifosat

  Glifosat (N-(phosphonomethyl) glycine) adalah herbisida sistemik non-selektif yang diaplikasikan langsung kepada daun tanaman. Kemampuan glifosat sebagai herbisida diketahui pada tahun 1971. Glifosat tersusun atas asam, garam monoamonium, garam diamonium, potasium, sodium, dan trimetilsulfonium atau garam trimesium (Tomlin, 2006).

  

Gambar 1. Struktur Glifosat (Tu et al., 2002)

  Glifosat bekerja membunuh gulma dengan cara menghambat aktivitas enzim 5-enolpyruvylshikimate-3-phosphate synthase (EPSPS) yang terdapat dalam kloroplas tanaman, yang diperlukan untuk pembentukan asam amino aromatik tirosin, triptofan dan fenilalanin. Asam amino ini sangat diperlukan untuk menghubungkan metabolisme primer dan sekunder dalam tanaman (Carlisle & Trevors, 1988). Glifosat juga daapat bertindak sebagai inhibitor kompetitif dari

  phosphoenolpyruvate (PEP) yang merupakan salah satu prekursor untuk sintesis asam amino aromatik yang dapat mempengaruhi proses biokimia lainnya.

  Walaupun efek ini dianggap sebagai efek sekunder, tetapi bisa saja hal ini merupakan peran glifosat dalam membunuh tanaman (Tu et al., 2002).

  Waktu paruh glifosat bervariasi tergantung dengan lingkungannya. Di air berkisar dari beberapa hari sampai 97 hari (Tomlin, 2006). Sedangkan di tanah cukup persisten dengan kisaran 2 sampai 197 hari (Giesey, 2007). Di tanah, glifosat tahan terhadap degradasi kimia dan stabil terhadap sinar matahari. Relatif tidak bergerak di dalam tanah karena adsorpsi yang kuat terhadap partikel tanah.

  

Gambar 2. Jalur degradasi glifosat (Schuette, 1998)

  Jalur utama degradasi glifosat oleh bakteri tanah menghasilkan

  aminomethyl Phosphonic Acid (AMPA)dan asam glioksilat. Kedua produk ini

  selanjutnya terdegradasi menjadi karbondioksida (Roberts, 1998). Bakteri mendegradasi glifosat melalui dua cara yaitu melalui produksi glisina atau AMPA. Bakteri memutus ikatan C-P dari glifosaat menghasilkan fosfonat dan sarkosin. Fosfonat digunakan bakteri sebagai sumber fosfor bagi kehidupannya sedangkan sarkosin digunakan bakteri sebagai sumber karbon dan menghasilkan produk AMPA (Liawati, 2001). Degradasi AMPA umumnya lebih lambat dibandingkan dengan glifosat kemungkinan karena AMPA dapat menyerap ke partikel tanah lebih kuat dan/atau kurang memungkinkan untuk menembus dinding sel atau membran mikroorganisme tanah (USDA, 1984).

2.5 Surfaktan dan Biosurfaktan

  Surfaktan merupakan suatu molekul yang sekaligus memiliki gugus hidrofilik dan gugus lipofilik sehingga dapat mempersatukan campuran yang terdiri dari air dan minyak. Surfaktan adalah bahan aktif permukaan. Aktifitas surfaktan diperoleh karena sifat ganda dari molekulnya. Molekul surfaktan memiliki bagian polar yang suka akan air (hidrofilik) dan bagian non polar yang suka akan minyak/lemak (lipofilik). Bagian polar molekul surfaktan dapat bermuatan positif, negatif atau netral. Sifat rangkap ini yang menyebabkan surfaktan dapat diadsorbsi pada antar muka udara-air, minyak-air dan zat padat-air, membentuk lapisan tunggal dimana gugus hidrofilik berada pada fase air dan rantai hidrokarbon ke udara, dalam kontak dengan zat padat ataupun terendam dalam fase minyak. Umumnya bagian non polar (lipofilik) adalah merupakan rantai alkil yang panjang, sementara bagian yang polar (hidrofilik) mengandung gugus hidroksil (Jatmika, 1998).

  Menurut Moroi (1992), berdasarkan sifat-sifat gugus hidrofilik yaitu gugus yang bersifat polar, surfaktan dikelompokkan sebagai berikut : 1) Surfaktan ionik Surfaktan ionik adalah surfaktan yang bagian hidrofiliknya bermuatan. Surfaktan ionik dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu : a. Anionik yaitu bagian hidrofiliknya mempunyai muatan negatif. Contoh : sabun (RCOO-Na+)

  b. Kationik yaitu bagian hidrofiliknya mempunyai muatan positif. Contoh: garam ammonium rantai panjang R+NH3Clc.

  c. Amfoterik yaitu bagian hidrofiliknya bermuatan positif dan negatif. 2) Surfaktan non ionik Surfaktan non ionik merupakan surfaktan yang bagian hidrofiliknya tidak bermuatan atau netral.

  Surfaktan dapat diproduksi secara sintetis dan dapat juga diproduksi secara alami oleh tumbuhan, hewan dan banyak jenis mikroorganisme (Zhang & Miller, 1992). Kebutuhan akan surfaktan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya proses-proses yang membutuhkan senyawa aktif permukaan. Surfaktan banyak dibutuhkan antara lain dalam proses bioremediasi, industri petrokimia, dan dalam meningkatkan perolehan minyak bumi Enhanced Oil

  Recovery (EOR) (Zajic & Akit, 1983).

  Penerapan bioteknologi pada sintesis surfaktan akhir-akhir ini mendapat perhatian yang besar. Bioteknologi dapat didefinisikan sebagai pemanfaatan jasad hidup dan proses biologis/kimia dalam suatu proses metabolisme untuk menghasilkan produk bernilai ekonomis lebih tinggi. Sejalan dengan definisi di atas serta didukung dengan jumlah minyak nabati sebagai pemasok bahan baku biosurfaktan maka penerapan bioteknologi pada sintesis biosurfaktan ini berpotensi besar untuk diaplikasikan. Biosurfaktan mempunyai sifat yang mirip seperti surfaktan sintetik, akan tetapi biosurfaktan lebih rendah tingkat toksisitasnya, mudah terurai secara biologi, lebih efektif pada suhu, pH dan kadar garam yang berlebihan, dan lebih mudah disintesis. Di samping itu, sifat aktif permukaan yang dimilikinya berbeda dengan surfaktan yang disintesis secara kimia (Ciccyliona & Nawfa, 2012).

  Biosurfaktan adalah surfaktan yang dihasilkan oleh mikroorganisme tertentu ketika ditumbuhkan dalam media dan kondisi tertentu. Banyak organisme menghasilkan biosurfaktan saat tumbuh dalam media yang terdiri dari sumber karbon. Biosurfaktan terdiri dari lemak kompleks atau sederhana atau turunannya (Kosaric et al., 1987). Menurut Kosaric (2001), penggunaan biosurfaktan lebih banyak diminati dibandingkan surfaktan sintetis karena mempunyai beberapa kelebihan, yaitu sifatnya yang ramah lingkungan yaitu biodegradable (dapat terdegradasi secara alami) dan tidak toksik (beracun). Biosurfaktan dapat diproduksi dari bahan dasar organik yang melimpah yaitu karbohidrat, lemak, dan protein.

  Biosurfaktan sebagian besar diproduksi oleh mikroorganisme seperti bakteri, ragi (khamir) dan kapang secara biotransformasi sel. Beberapa mikroorganisme dapat menghasilkan surfaktan pada saat tumbuh pada berbagai substrat yang berbeda, mulai dari karbohidrat sampai hidrokarbon. Perubahan substrat seringkali mengubah juga struktur kimia dari produk sehingga akan mengubah sifat surfaktan yang dihasilkan. Pengetahuan mengenai surfaktan akan sangat berguna dalam merancang produk dengan sifat yang sesuai dengan aplikasi yang diinginkan. Beberapa mikroorganisme juga ada yang menghasilkan enzim dan dapat digunakan sebagai katalis pada proses hidrolisis, alkoholisis, kondensasi, asilasi atau esterifikasi. Proses ini digunakan dalam pembuatan berbagai jenis produk surfaktan termasuk monogliserida, fosfolipida dan surfaktan asam amino (Herawan et al., 1996).

  Biosurfaktan dapat dihasilkan oleh mikroorganisme prokariot maupun eukariot. Bakteri penghasil biosurfaktan antara lain Pseudomonas aeruginosa, P.

  fluorescens, Bacillus cereus, B. thuringiensis, B. sphaericus. Biosurfaktan ini

  dihasilkan pada permukaan sel mikroorganisme atau diekskresikan ke lingkungan yang dapat membantu melepaskan senyawa hidrokarbon dalam senyawa organik dan meningkatkan konsentrasi senyawa hidrokarbon dalam air melalui pelarutan ataupun emulsifikasi (Banat, 1995). Mikroorganisme dapat memproduksi biosurfaktan ketika ditumbuhkan pada substrat yang tidak larut (seperti hidrokarbon, minyak, dan lilin) atau pada substrat yang larut (karbohidrat) (Carillo et al., 1996). Beberapa mikroorganisme menghasilkan biosurfaktan hanya ketika ditumbuhkan pada hidrokarbon, sementara yang lainnya membutuhkan substrat yang larut dalam air seperti karbohidrat dan asam amino untuk membentuk suatu biosurfaktan. Selain itu minyak, lemak dan asam lemak juga digunakan sebagai substrat untuk menghasilkan suatu biosurfaktan (Ghazali & Ahmad, 1997).

Dokumen yang terkait

Pengaruh Disiplin Kerja, Pendidikan dan Pelatihan Terhadap Kinerja Pegawai Pada PT PLN (Persero) Unit Induk Pembangunan Jaringan Sumatera I

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu - Pengaruh Disiplin Kerja, Pendidikan dan Pelatihan Terhadap Kinerja Pegawai Pada PT PLN (Persero) Unit Induk Pembangunan Jaringan Sumatera I

0 1 19

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pengaruh Disiplin Kerja, Pendidikan dan Pelatihan Terhadap Kinerja Pegawai Pada PT PLN (Persero) Unit Induk Pembangunan Jaringan Sumatera I

0 0 8

BAB II PENGATURAN HUKUM POSITIF TERHADAP TINDAK PIDANA PERJUDIAN DI INDONESIA A. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana - Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Perjudian di Wilayah Kota Sibolga (Studi pada Polres Sibolg

1 1 25

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Perjudian di Wilayah Kota Sibolga (Studi pada Polres Sibolga)

0 0 23

BAB II TINJAUAN MUSIK GITAR TUNGGAL 2.1 Sejarah Instrumen Gitar Dan Perkembangannya - Analisis Musikal Lagu Etnik Pada Gitar Tunggal: Studi Kasus Pada Karya-Karya Jubing Kristianto

0 1 86

BAB II SEJARAH KOMISI PEMILIHAN UMUM 2.1 Sejarah Terbentuknya KPU di Indonesia - Kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) Dalam Proses Verifikasi Calon Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Pada Pemilu Legislatif Tahun 2014(Studi Kasus : KPU Sumatera Utara)

0 0 13

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) Dalam Proses Verifikasi Calon Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Pada Pemilu Legislatif Tahun 2014(Studi Kasus : KPU Sumatera Utara)

0 1 17

Kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) Dalam Proses Verifikasi Calon Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Pada Pemilu Legislatif Tahun 2014(Studi Kasus : KPU Sumatera Utara)

0 3 14

Potensi Bakteri Penghasil Biosurfaktan dari Air Laut Belawan Sumatera Utara dalam Mendegradasi Herbisida Berbahan Aktif Glifosat pada Tanah

0 3 5