BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pestisida 2.1.1 Pengertian Pestisida - Hubungan Pemakaian Alat Pelindung Diri dengan Gejala Keracunan Pada Penyemprot Pestisida di Perkebunan Kelapa Sawit Tanjung Garbus Pagar Merbau Tahun 2015

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pestisida

2.1.1 Pengertian Pestisida

  Pestisida berasal dari kata pest, yang berarti hama dan sida yang berasal dari kata caedo berarti pembunuh. Pestisida dapat diartikan secara sederhana sebagai pembunuh hama. USEPA dalam Soemirat menyatakan pestisida sebagai zat atau campuran zat yang digunakan untuk mencegah memusnahkan, menolak, atau memusuhi hama dalam bentuk hewan, tanaman, dan mikroorganisme pengganggu. Pestisida adalah racun yang sengaja dibuat oleh manusia untuk membunuh organisme pengganggu tanaman dan insekta penyebar penyakit (Soemirat, 2003).

  Berdasarkan SK Menteri Nomor 434.1/Kpts/TP.207/7/2001, tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Pestisida, yang dimaksud dengan pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk:

  a. memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit yang merusak tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian; b. memberantas rerumputan;

  c. mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan;

  d. mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman tidak termasuk pupuk; e. memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan piaraan dan ternak; f. memberantas atau mencegah hama-hama air;

  g. memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam rumah tangga, bangunan dan dalam alat-alat pengangkutan; dan/atau h. memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah atau air.

  Pengertian pestisida sangat luas dan mencakup produk-produk yang digunakan di bidang pengelolaan tanaman (pertanian, perkebunan, kehutanan); peternakan; kesehatan hewan; perikanan; penyimpanan hasil pertanian; pengawetan hasil hutan; kesehatan masyarakat (termasuk pengendalian vektor penyakit); bangunan (khusus pengendalian rayap); pestisida rumah tangga; fumigasi; serta pestisida industri. Secara khusus, pestisida yang digunakan di bidang pengelolaan tanaman disebut produk perlindungan tanaman (crop

  

protection products, crop protection agents ) atau pestisida pertanian. Penyebutan

  ini dimaksudkan untuk membedakan jenis pestisida tersebut dengan pestisida yang digunakan pada bidang lain (Djojosumarto, 2008).

2.1.2 Klasifikasi Pestisida

  Pestisida dapat dikalsifikasikan berdasarkan organisme target dan cara kerjanya, yaitu : a. Insektisida Insektisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang bisa mematikan semua jenis serangga. Serangga menyerang tanaman untuk memperoleh makanan dengan berbagai cara, sesuai tipe mulutnya, seperti :

  1. Menggigit dan mengunyah, misalnya jengkerik, ulat, dan belalang. Dengan tipe mulut seperti ini, serangga dapat menggigit dan mengunyah baggian luar tanaman, menggugurkan daun tanaman, dan memakan buah.

  2. Menusuk dan menghisap cairan tanaman, misalnya aphis, wereng, kutu perisai, kutu daun, kupu-kupu penusuk buah, dan thrips.

  3. Menghisap, misalnya kupu-kupu dan ngengat. Binatang ini tidak merugikan jika hanya sebatas menghisap nektar atau madu dari bunga. Akan tetapi, kebanyakan pada tingkat dewasa dapat menjadi hama yang serius.

  4. Mengunyah dan menjilat. Serangga ini umumnya tidak merugikan manusia, justru memberi keuntungan, misalnya lebah.

  5. Memarut dan menghisap, misalnya thrips atau tungau, Jaringan tanaman diparutnya dengan paruh sehingga keluar cairan unuk dihisapnya. Jaringan yang terserang oleh hama ini cenderung bewarna putih kemudian mengarat.

  Menurut Djojosumarto (2008), insektisida dapat dibedakan menjadi tiga berdasarkan “cara kerja” atau gerakannya pada tanaman setelah diaplikasikan, yaitu :

  1. Insektisida sistemik Insektisida sistemik diserap oleh organ-organ tanaman, baik lewat akar, batang atau daun. Selanjutnya insektisida sistemik tersebut mengikuti gerakan cairan tanaman dan ditransportasikan ke bagian-bagian tanaman lainnya, baik ke atas (akropetal) atau ke bawah (basipetal), termasuk ke tunas yang baru tumbuh. Contoh insektisida sistemik adalah furatiokarb, fosfamidon, isolan, karbofuran, dan monokrotofos.

  2. Insektisida nonsistemik Insektisida nonsistemik setelah diaplikasikan (misalnya disemprotkan) pada tanaman sasaran tidak diserap oleh jaringan tanaman, tetapi hanya menempel di bagian luar tanaman. Bagian terbesar insektisida yang dijual di pasaran Indonesia dewasa ini adalah insektisida nonsistemik. Contohnya,

  dioksikarb, diazinon, diklorvos, profenofos, dan quinalvos.

  3. Insektisida sistemik lokal Insektisida sistemik lokal adalah kelompok insektisida yang dapat diserap oleh jaringan tanaman (umumnya daun), tetapi tidak ditranslokasikan ke bagian tanaman lainnya. Termasuk kategori ini adalah insektisida yang berdaya kerja

  

translaminar atau insektisida yang mempunyai daya penetrasi ke dalam

  jaringan tanaman. Beberapa contoh diantaranya adalah dimetan, furatiokarb, pyrolan, dan profenovos.

  Cara masuk insektisida ke dalam tubuh serangga sasaran dibedakan menjadi tiga kelompok insektisida sebagai berikut :

  1. Racun lambung (Stomach poison) Racun lambung (stomach poison) adalah insektisida-insektisida yang membunuh serangga sasaran bila insektisida tersebut masuk ke dalam organ pencernaan serangga dan diserap oleh dinding saluran pencernaan. Selanjutnya, insektisida tersebut dibawa oleh cairan tubuh serangga ke tempat sasaran yang mematikan (misalnya ke susunan syaraf serangga). Oleh karena itu, serangga harus terlebih dahulu memakan tanaman yang sudah disemprot dengan insektisida dalam jumlah yang cukup untuk membunuhnya.

  2. Racun kontak Racun kontak adalah insektisida yang masuk ke dalam tubuh serangga lewat kulit (bersinggungan langsung). Serangga hama akan mati bila bersinggungan (kontak langsung) dengan insektisida tersebut. Kebanyakan racun kontak berperan sebagai racun perut. Beberapa insektisida yang kuat sifat racun kontaknya antara lain diklorfos dan pirimifos metil.

  3. Racun pernapasan Racun pernapasan adalah insektisida yang bekerja lewat saluran pernapasan. Serangga hama akan mati bila menghirup insektisida dalam jumlah yang cukup. Kebanyakan racun napas berupa gas, atau bila wujud asalnya padat atau cair, yang segera berubah atau menghasilkan gas dan diaplikasikan sebagai fumigansian misalnya metil bromida.

  Menurut Wudianto (2007), insektisida dapat dibagi berdasarkan cara kerja untuk membunuh hama serangga, yaitu :

  1. Insektisida peracun fisik akan menyebabkan dehidrasi yaitu keluarnya cairan tubuh dari dalam tubuh serangga.

  2. Insektisida peracun protoplasma dapat mengendapkan protein dalam tubuh serangga.

  3. Insektisida peracun pernapasan dapat menghambat aktivitas enzim pernapasan. b. Fungisida Fungisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun dan bisa digunakan untuk memberantas dan mencegah fungi/cendawan. Cendawan ini merusak tanaman dengan berbagai cara. Misalnya sporanya masuk ke dalam bagian tanaman lalu mengadakan pembelahan dengan cara pembesaran sel yang tidak teratur sehingga menimbulkan bisul-bisul. Pertumbuhan yang tidak teratur ini mengakibatkan sistem kerja pengangkut air menjadi terganggu. (Wudianto, 2007)

  Fungisida umumnya dibagi menurut cara kerjanya di dalam tubuh tanaman sasaran yang diaplikasikan, yakni fungisida non sistemik, sistemik, sistemik lokal.

  Pada fungisida, terutama fungisida sistemik dan non sistemik, pembagian ini erat hubungannya dengan sifat dasn aktivitas fungisida terhadap sasarannya.

  1. Fungisida non sistemik (fungisida kontak, fungisida residual protektif) Fungisida non sistemik tidak dapat diserap oleh jaringan tanaman.

  Fungisida non sistemik hanya membentuk lapisan penghalang dipermukaan tanaman (umumnya daun) tempat fungisida disemprotkan. Fungisida ini mencegah infeksi cendawan dengan menghambat perkecambahan spora atau

  

miselia jamur yang menempel dipermukaan (daun) tanaman. Karena itu,

  fungisida kontak berfungsi sebagai protektan dan hanya efektif digunakan sebelum tanaman terinfeksi oleh penyakit (protektif, preventif). Konsekuensi lain dari fungsinya sebagai protektan, fungisida non sistemik harus sering diaplikasikan agar tanaman secara terus menerus terlindungi dari infeksi baru.

  Contoh fungisida kontak adalah kaptan, maneb, zineb, ziram, kaptafol, dan probineb.

  2. Fungisida Sistemik Fungisida sistemik diabsorbsi oleh organ-organ tanaman dan ditranslokasikan ke bagian tanaman lainnya lewat aliran cairan tanaman.

  Kebanyakan fungisida sistemik didistribusikan ke atas, yakni dari akar ke daun (akropetal). Beberapa fungisida sistemik juga dapat bergerak ke bawah, yakni dari daun ke akar (basipetal). Contoh fungisida sistemik adalah benomil,

  difenokonazol, karbendazim, metalaksil, propikonazol, dan triadimefon.

  3. Fungisida sistemik lokal Fungisida sistemik lokal diabsorbsi oleh jaringan tanaman, tetapi tidak ditransformasikan ke bagian tanaman yang lain, contohnya simoksamil.

  Fungisida mengendalikan atau mematikan cendawan dengan beberapa cara antara lain dengan merusak dinding sel, mengganggu pembelahan sel, mempengaruhi permeabilitas, membran sel, dan menghambat kerja enzim tertentu yang menghambat proses metabolisme cendawan.

  c. Herbisida Herbisida adalah pestisida yang digunakan untuk mengendalikan gulma atau tumbuhan pengganggu yang tidak di kehendaki. Karena herbisida aktif terhadap tumbuhan, maka herbisida bersifat fitotoksik. Dalam ilmu gulma, tumbuhan pengganggu sering di kelompokkan menjadi beberapa kelompok sebagai berikut:

  1. Gulma dari kelompok rumput (grasses, grass weeds ), yaknik semua gulma yang termaksud dalam familiar Gramineae (poaceae). Contoh gulma kelompok rumput adalah alang-alang (imperata cylindrica), rumput jajagoan/tuton (Echinochloa crusgalli, E. Colona), rumput paitan (paspalum

  conjugatum), dan rumput gerinting ( Digitaria.sp )

  2. Gulma dari kelompok teki (sedges), yakni semua gulma yang masuk kedalam familia teki-tekian (Cyperaceacae), misalnya teki (Cyperus rotundus), dan udelan (Cyperus Kyllingia).

  3. Gulma berdaun lebar, yakni semua gulma yang tidak termasuk ke dalam kelompok rumput ataupun teki. Contoh gulma berdaun lebar adalah Ageratum

  sp. , Boeraria sp., Mikania sp., Monochoria sp., dan Eupatorium sp.

  4. Gulma pakisan (fern) ialah gulma yang berasal dari keluarga pakisan. Misalnya pakis kadal (Dryopteris arius) dan pakis kinca (Neprolepsis biserata).

  Pergerakan herbisida masuk ke dalam tubuh tanaman dengan dua cara kerja, yaitu :

  1. Herbisida selektif, walaupun diaplikasikan pada tumbuhan tetapi hanya mematikan gulma dan relatif tidak mengganggu tanaman yang dibudidayakan.

  Contohnya herbisida yang aktif untuk mengendalikan gulma dari kelompok rumput, misalnya alaklor, butaklor, dan ametrin. Herbisida yang aktif untuk mengendalikan gulma berdaun lebar, misalnya parakuat , 2,4 D MCPA.

  2. Herbisida nonselektif ialah herbisida yang diberikan lewat tanah atau daun yang dapat mematikan hampir semua jenis tumbuhan (termasuk tumbuhan pokok), misalnya glifosat, glufosinat, dan paraquat.

  Herbisida juga dikelompokkan menurut bidang sasarannya, kemana herbisida tersebut diaplikasikan, yakni sebagai berikut:

  1. Herbisida tanah (soil acting herbicides), yakni herbisida yang aktif di tanah dan bekerja dengan menghambat perkecambahan gulma. Contoh herbisida tanah adalah herbisida kelompok urea (diuron, linuron, metabromuron), triazin (atrazin, ametrin), karbamat (asulam, tibenkarb), dan urasil.

  2. Herbisida yang aktif pada gulma yang tumbuh. Herbisida jenis ini dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu : a. Herbisida kontak, yakni herbisida yang membunuh jaringan gulma yang terkena langsung oleh herbisida tersebut. Herbisida ini tidak ditranslokasikan di dalam jaringan gulma ke bagian lainnya. Oleh karena itu, herbisida ini umumnya hanya mengendalikan bagian gulma yang berada di atas tanah.

  Contoh herbisida kontak ini adalah propanil paraquat, dan diquat.

  b. Herbisida yang ditranslokasikan ke seluruh bagian gulma (sistemik) yang disebut pula translocated herbicides. Karena sifatnya yang sistemik, herbisida ini mampu membunuh jaringan gulma yang berada dibawah tanah (rimpang, umbi). Contoh herbisida ini adalah metil metsulfuron, 2,4 D, dan glifosat.

  d. Bakterisida Bakterisida mengandung bahan aktif yang bisa membunuh bakteri. Ukuran bakteri sangan kecil yaitu sekitar 0,15-6 mikron sehingga mudah masuk ke dalam tanaman inang melalui luka, stomata, pori air, kelenjar madu, dan lentisel. Didalam tanaman, enzim bakteri akan memecah sel sehingga menimbulkan lubang pada bermacam-macam jaringan atau memecah tepung menjadi gula dan menyederhanakan senyawa nitrogen yang komplek umtuk memperoleh tenaga agar bertahan hidup. Bakteri ini juga menghasilkan zat racun dan zat lain yang merugikan tanaman, bahkan menghasilkan zat yang bisa merangsang sel-sel inang membelah secara tidak normal. Di dalam tanaman, bakteri ini akan bereaksi menimbulkan penyakit sesuai tipenya. Bakteri bisa menyebar melalui biji, buah, umbi, serangga, burung, siput, ulat, manusia, dan pupuk kandang.

  Bakterisida biasanya bekerja dengan cara sistemik karena bakteri melakukan perusakan dalam tubuh inang. Perendaman bibit dalam larutan bakterisida merupakan salah satu cara aplikasi untuk mengendalikan

  Pseudomonas solanacearum yang bisa mengakibatkan layu pada tanaman famili Solanaceae . Contoh bakterisida yaitu Agrymicin dan Agrept.

  e. Nematisida Nematoda yang bentuknya seperti cacing kecil panjangnya lebih dari 1 cm walaupun pada umumnya panjangnya kurang dari 200 sampai 1000 milimikron.

  Hidup pada lapisan tanah bagian atas. Nematoda yang berperan sebagai hama dibedakan menjadi :

  1. Nematoda semi-endoparasit yang memasukkan kepalanya dalam akar tanaman tetapi bagian badannya di luar akar.

  2. Nematoda ektoparasit yang hidup di luar akar tanaman namun dengan stiletnya mampu menghisap cairan akar tanaman.

  3. Nematoda endoparasit merupakan nematoda yang hidup sepenuhnya di dalam akar tanaman.

  Adanya serangan nematoda pada akar bisa ditandai dengan adanya gejala yang tampak pada akar ataupun bagian tanaman diatas permukaan tanah. Akar yang terisi nematoda endoparasit atau semi-endoparasit akan bereaksi dengan membentuk tumor atau bisul yang cukup besar seperti bonggol. Luka bekas serangan nematoda dapat terjangkiti cendawan atau bakteri sehingga menimbulkan penyakit sekunder. Dengan akar yang tidak sehat, distribusi unsur hara menjadi tersendat mengakibatkan pertumbuhan tanaman terhambat, kerdil, klorosis dan sering kali diikuti layu daun gugur, atau ujung tanaman mati. Akibat lainnya titik tumbuh mengalami kelainan sehingga daun kerinting, membengkok, berbelit, atau batang bertumor.

  Racun yang dapat mengendalikan nematoda ini disebut nematisida. Umumnya nematisida berbentuk butiran yang penggunaannya bisa dengan cara ditaburkan atau dibenamkan dalam tanah. Walaupun demikian, ada pula yang berbentuk larutan dalam air yang penggunaannya dengan cara disiramkan.

  f. Akarisida Akarisida atau sering juga disebut dengan mitisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang digunakan untuk membunuh tungau, caplak, dan laba-laba. Bagian tanaman yang diserang adalah daun, batang, dan buah. Bagian tanaman yang diserang oleh tungau akan mengalami perubahan warna, bentuk, timbul bisul-bisul atau buah rontok sebelum waktunya. Contoh akarisida yaitu Kelthene MF dan Trithion 4 E. g. Rodentisida Rodentisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang digunakan untuk mematikan berbagai jenis binatang pengerat misalnya tikus.

  Tikus sering menyerang tanaman pangan, hortikultura, dan tanaman perkebunan dalam waktu yang singkat dengan tingkat kerugian yang cukup besar. Rodentisida yang efektif biasanya dalam bentuk umpan beracun. Contohnya Diphacin 110, Kleret RMB, Racumin, Ratikus RB, Ratilan, Ratak dan Gisorin.

2.1.3 Toksisitas Pestisida

  Toksisitas adalah kemampuan suatu bahan kimia untuk merusak suatu jaringan, organ, atau sistem tubuh. Dalam kondisi tertentu setiap zat kimia dapat menjadi toksik terhadap makhluk hidup. Misalnya, zat kimia yang sangat toksik dengan dosis yang sangat kecilpun akan menimbulkan kerusakan jaringan pada makhluk hidup, sebaliknya, zat kimia yang kurang toksik tidak akan menimbulkan gangguan walaupun makhluk hidup terpajan dengan dosis yang besar. (Harianto, 2009).

  Toksisitas (toxicity) atau daya racun pestisida adalah sifat bawaan pestisida yang menggambarkan potensi pestisida untuk menimbulkan kematian langsung (atau bahaya lainnya) pada hewan tingkat tinggi, termasuk manusia. Toksisitas dibedakan menjadi toksisitas akut, toksisitas kronik dan toksisitas sub- kronik. Toksisitas akut merupakan pengaruh yang merugikan yang timbul segera setelah pemaparan dengan dosis tunggal suatu bahan kimia atau pemberian dosis ganda dalam waktu kurang dari 24 jam. Toksisitas akut dinyatakan dalam angka LD , yaitu dosis yang bisa mematikan (lethal dose) 50% dari binatang uji

  50

  (umumnya tikus) yang dihitung dalam mg/kg. LD

  50 merupakan indikator daya

  racun yang utama, di samping indikator lain. Dibedakan antara LD

  50 oral (lewat

  mulut) dan LD

  50 dermal (lewat kulit). LD 50 oral adalah potensi kematian yang

  terjadi pada hewan uji jika senyawa kimia tersebut termakan, sedangkn LD

  50

  dermal adalah potensi kematian jika hewan uji kontak langsung lewat kulit dengan racun tersebut.

  Jika dinyatakan bahwa angka LD

  50 oral dari fenvalerat (suatu insektisida)

  adalah 451 mg/kg berat badan, hal tersebut menunjukkan bahwa dari sekelompok tikus yang masing-masing diberi makan 451 miligram fenvalerat untuk setiap kg berat badan tikus, maka 50 % dari tikus-tikus tersebut akan mati. Sementara angka LD

  

50 oral kaptan (suatu fungisida) adalah 9.000 mg/kg berat badan menunjukkan

hewan uji mati jika masing-masing diberi 9.000 mg kaptan per kg berat badan.

  Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa fenvarelat lebih beracun dibandingkan kaptan. Jadi, semakin kecil angka LD

  50 maka pestisida akan semakin toksik atau beracun.

  Toksisitas kronik adalah pengaruh merugikan akibat pemberian takaran harian berulang dari pestisida, bahan kimia, atau bahan lainnya atau pemaparan dengan bahan-bahan tersebut yang berlangsung cukup lama (biasanya lebih dari 50 % rentang hidup). Sementara toksisitas sukronik mirip dengan toksisitas kronik, tetapi untuk rentang waktu yang lebih pendek, sekitar 10% dari rentang hidupnya, atau untuk hewan percobaan dengan pemaparan selama 3 bulan (Djojosumarto, 2008).

Tabel 2.1 Klasifikasi tingkat bahaya pestisida menurut WHO

  LD

  50 untuk tikus (mg kg berat badan)

  Kelas Bahaya Melalui mulut (Oral) Melalui kulit (dermal) Padat Cair Padat Cair

  IA Sangat berbahaya (extremely hazardous) < 5 <20 <10 <40

  IB Berbahaya (highly hazardous) 5-50 20-100 10-100 40-400

  II Cukup berbahaya (moderately hazardous) 50-500 200-2000 100-1000 400-4000

  III Agak berbahaya (slightly hazardous) > 500 > 2000 >1000 >4000 WHO dalam Djojosumarto, 2008.

  Parameter lain yang juga digunakan untuk menilai daya racun pestisida adlah LC

  50 untuk toksisitas konsentrasi pestisida. Parameter ini berarti konsentrasi

  yang mematikan adalah 50% binatang uji (misal ikan). Fumigan sering dinilai dari konsentrasi gas yang mematikan di setiap meter kubik udara.

  Daya racun atau toksisitas pestisida terhadap tubuh dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan, seperti toksisitas terhadap susunan saraf.

  Insektisida organoklorin merangsang sistem saraf dan menyebabkan parestesia, peka terhadap perangsangan, dan kejang-kejang. Insektisida organofosfat dan

  karbamat dapat menghambat asetilkolinesterase sehingga menyebabkan tremor, inkordinasi, dan kejang-kejang (Nugroho,1995).

2.1.4 Risiko Penggunaan Pestisida

  Pestisida pada umumnya adalah bahan kimia atau campuran bahan kimia serta bahan-bahan lain yang digunakan untuk mengendalikan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Senyawa pestisida tersebut bersifat bioaktif yang artinya pestisida dengan satu atau beberapa cara mempengaruhi kehidupan, misalnya menghentikan pertumbuhan, membunuh hama/penyakit, menekan hama/ penyakit, membunuh/menekan gulma, mengusir hama, mempengaruhi/mengatur pertumbuhan tanaman, mengeringkan/ merontokkan daun dan sebagainya (Djojosumarto, 2000).

  Meskipun sebelum diproduksi secara komersial telah menjalani pengujian yang sangat ketat perihal syarat-syarat keselamatannya, namun karena bersifat bioaktif, maka pestisida tetap merupakan racun. Setiap racun selalu mengandung risiko dalam penggunaannya, baik risiko bagi manusia maupun bagi lingkungan.

  Keseluruhan risiko penggunaan pestisida di bidang pertanian dapat diringkas sebagai berikut : a. Risiko bagi keselamatan pengguna

  Risiko bagi keselamatan pengguna adalah kontaminasi pestisida secara langsung yang dapat mengakibatkan keracunan, baik akut maupun kronis.

  Keracunan akut dapat menimbulkan gejala sakit kepala, pusing, mual, muntah dan sebagainya. Beberapa pestisida dapat menimbulkan iritasi kulit, bahkan dapat menimbulkan kebutaan.

  Keracunan pestisida yang akut berat dapat menyebabkan penderita tidak sadarkan diri, kejang-kejang, bahkan meninggal dunia. Keracunan kronis lebih sulit dideteksi karena tidak segera terasa, tetapi dalam jangka panjang dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Akibat yang ditimbulkan oleh keracunan kronis tidak selalu mudah diprediksi.

  Beberapa gangguan kesehatan yang sering dihubungkan dengan pestisida, meskipun tidak mudah dibuktikan dengan pasti dan meyakinkan adalah kanker, gangguan syaraf, fungsi hati dan ginjal, gangguan pernapasan, keguguran, cacat pada bayi dan sebagainya.

  b. Risiko bagi konsumen Risiko bagi konsumen adalah keracunan residu (sisa-sisa) pestisida yang terdapat dalam produk pertanian. Risiko bagi konsumen dapat berupa keracunan langsung karena memakan produk pertanian yang tercemar pestisida atau lewat rantai makanan. Meskipun bukan tidak mungkin konsumen menderita keracunan akut, tetapi risiko bagi konsumen umumnya dalam bentuk keracunan kronis, tidak segera terasa, dan dalam jangka panjang mungkin menyebabkan gangguan kesehatan.

  c. Risiko bagi lingkungan Risiko penggunaan pestisida terhadap lingkungan dapat digolongkan menjadi tiga kelompok sebagai berikut:

  1. Risiko bagi orang, hewan atau tumbuhan yang berada di tempat, atau disekitar tempat pestisida digunakan. Drift pestisida misalnya, dapat diterbangkan angin dan mengenai orang yang berada disekitar penyemprotan. Pestisida dapat meracuni hewan ternak yang masuk ke kebun yang sudah disemprot pestisida.

  2. Bagi lingkungan umum, pestisida dapat menyebabkan pencemaran lingkungan (tanah, udara dan air) dengan segala akibatnya, misalnya kematian hewan nontarget, penyederhanaan rantai makanan alami, penyederhanaan keanekaragaman hayati, dan sebagainya.

2.1.5 Gejala Keracunan Pestisida

  Menurut Prijanto dalam Raflo (2010), mekanisme keracunan pestisida yaitu racun pestisida masuk kedalam tubuh melalui pernapasan, tertelan melalui mulut maupun diserap oleh tubuh. Gejala keracunan akan berkembang selama pemaparan atau 12 jam kontak. Pestisida yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami perubahan secara hidrolisa di dalam hati dan jaringan-jaringan lain. Hasil dari perubahan/pembentukan ini mempunyai toksisitas rendah dan akan keluar melalui urin.

  Adapun gejala keracunan pestisida, yaitu :

  a. Gejala awal Gejala awal akan timbul adalah mual/rasa penuh di perut, muntah, rasa lemas, sakit kepala dan gangguan penglihatan.

  b. Gejala Lanjutan Gejala lanjutan yang ditimbulkan adalah keluar ludah yang berlebihan, pengeluaran lendir dari hidung (terutama pada keracunan melalui hidung), kejang usus dan diare, keringat berlebihan, air mata yang berlebihan, kelemahan yang disertai sesak nafas, akhirnya kelumpuhan otot rangka.

  c. Gejala Sentral Gelaja sentral yang ditimbulkan adalah sukar bicara, kebingungan, hilangnya reflek, kejang dan koma. Apabila tidak segera di beri pertolongan berakibat kematian dikarenakan kelumpuhan otot pernafasan.

  Pestisida dapat menimbulkan keracunan yang bersifat akut dengan gejala (keluhan) sebagai berikut : leher seperti tercekik, pusing, badan terasa sangat lemah, sempoyongan, pupil atau celah iris mata menyempit, pandangan kabur, tremor, terkadang kejang pada otot, gelisah dan menurunnya kesadaran, mual, muntah, kejang pada perut, mencret, mengeluakan keringat yang berlebihan, sesak dan rasa penuh di dada, pilek, batuk yang disertai dahak, mengeluarkan air liur berlebihan. Sebab baru biasanya terjadi 12 jam setelah keracunan, denyut jantung menjadi lambat dan ketidakmampuan mengendalikan buang air kecil maupun besar.

  Menurut Schulze dan Gallo dalam Raini (2007), berikut gejala dan tanda keracunan berdasarkan bahan aktif pestisida : a.

  Insektisida

  1. Organoklorin Cara kerja bahan aktif racun ini dengan mempengaruhi syaraf pusat.

  Gejala keracunan muncul 20 menit- 12 jam dengan gejala dan tanda keracunan yaitu mual, muntah, gelisah, pusing, lemah, rasa geli atau menusuk pada kulit, kejang otot, hilang kordinasi, dan tidak sadar.

  2. Organoposfat dan Karbamat Menurut Suma’mur (2009), pestisida yang mengandung bahan aktif golongan organoposfat dan karbamat dapat menghambat enzim kolinesterase sistem saraf. Pengaruh dari inhibisi demikian menyebabkan tertimbunnya asetilkolin pada jaringan saraf sehingga timbul pengaruh kolinergis. Cara kerja semua jenis pestisida organofosfat dan karbamat sama yaitu menghambat penyaluran impuls saraf dengan cara mengikat kolinesterase, sehingga tidak terjadi hidrolisis asetilkolin.

  Gejala keracunan yang ditimbulkan oleh organoposfat dan karbamat berupa lelah, sakit kepala, pusing, hilang selera makan, mual, kejang perut, diare, penglihatan kabur, keluar air mata, keringat, air liur berlebih, tremor, pupil, mengecil, denyut jantung lambat, kejang otot (kedutan), tidak sanggup berjalan, rasa tidak nyaman dan sesak, buang air besar dan kecil tidak terkontrol, inkontinensi, tidak sadar dan kejang-kejang. Gejala keracunan karbamat cepat muncul namun cepat hilang jika dibandingkan dengan organoposfat.

Tabel 2.2 Gejala Klinis untuk Setiap Tingkatan keracunan Dan Prognosisnya

  Aktivitas Kolinesterase (%)

  Tingkatan Keracunan

  Gejala Klinis Prognosis 50-75 Ringan

  Lemah, sakit kepala, pening, mau muntah, berliur banyak, mata berair, miosis, detak jantung cepat.

  Sadar dalam waktu 1-3 hari 25-50 Sedang

  Lelah mendadak, penglihatan, berliur banyak , berkeringat, muntah diare, sukar bernafas, hipertonia, tremor pada tangan dan kepala, miosis, nyeri dada, sianosis pada membran mucosa

  Sadar dalam waktu 1-2 Minggu

  0-25 Berat Tremor mendadak, kejang - kejang, otot tidak dapat digerakkan, intensif sianosis, pembengkakan paru, koma.

  Kematian karena gagal pernapasan dan gagal jantung Munaf, 1997.

  3. Piretroid sintetik Bahan aktif ini dapat menimbulkan gejala keracunan berupa iritasi kulit : pedih, rasa terbakar, gatal-gatal, rasa geli, mati rasa, inkordinasi, tremor, salivasi, muntah, diare, iritasi pada pendengaran dan perasa. Jarang terjadi keracunan karena kecepatan absorbsi melalui kulit rendah dan piretroid cepat hilang.

  4. Piretroid derivat tanaman : piretrum dan piretrin Pada umumnya efek muncul 1-2 jam setelah paparan dan hilang dalam 24 jam. Gejala keracunan berupa alergi, iritasi kulit dan asma. Piretrin lebih ringan daripada piretrum tetapi bersifat iritasi pada orang yang peka.

  5. Insektisida anorganik asam borat dan borat Gejala keracunan yang ditimbulkan adalah iritasi kulit : kulit kemerahan, pengelupasan, gatal-gatal, iritasi saluran pernafasan dan sesak nafas.

  6. Insektisida mikroba Gejala keracunan yang ditimbulkan adalah radang saluran pencernaan.

  7. DEET repellent Gejala keracunan yang ditimbulkan yaitu iritasi kulit : kulit kemerahan, melepuh hingga nyeri, iritasi mata, pusing dan perubahan emosi.

  b.

  Herbisida

  1. Herbisida dipridil (parakuat diklorida) Gejala keracunan yang ditimbulkan berupa batuk, sakit kepala, hidung berdarah, kulit kemerahan, kerusakan kuku, mual, muntah, dan penglihatan kabur.

  Gejala keracunan akan tampak saat penyemprotan berlangsung hingga 24 jam setelah penyemprotan selesai.

  2. Dikuat Gejala keracunan yang muncul berupa gangguan lensa mata dan dinding saluran usus, gelisah, dan mengurangi sensivitas terhadap rangsangan. Lebih ringan daripada parakuat.

  3. Asam fosfonik asiklat atau organofosfat

  Glifosat merupakan salah satu bahan aktif golongan organofosfat. Paparan glifosat dapat terjadi melalui inhalasi atau terhirup, kontak dengan kulit, kontak

  dengan mata, dan tertelan. Gejala yang ditimbulkan yaitu iritasi mata, iritasi kulit, batuk, diare, mual, sakit tenggorokan, muntah, sakit kepala, dan sesak nafas, dan gejala seperti flu.

  4. Klorfenoksi herbisida Gejala keracunan yang ditimbulkan adalah iritasi tingkat sedang pada kulit dan membran mukosa, rasa terbakar pada hidung, sinus dan dada, batuk, pusing, iritasi perut, muntah, perut dan dada sakit, diare, bingung, dan tidak sadar. Kontak dalam jangka lama akan menghilangkan pigmen kulit.

  5. Herbisida arsenik : ansar dan motar Pertumbuhan berlebih pada epidermis, pengelupasan kulit, produksi cairan berlebih pada muka, kelopak mata dan pergelangan kaki, garis putih pada kuku, rambut rontok, bercak merah pada membran mukosa. Kerusakan saluran pencernaan yaitu radang mulut dan kerongkongan, perut terasa nyeri terbakar, haus, muntah, dan diare berdarah. Kerusakan sistem saraf pusat yaitu pusing, sakit kepala, lemah, kejang otot, suhu tubuh turun, lamban, mengigau, koma, dan kejang-kejang. Gejala mulai muncul 1-3 jam sejak paparan.

  6. Herbisida sulfonilurea

  Metil metsulfuron merupakan herbisida golongan sulfonilurea. Gejala

  keracunan yang ditimbulkan yaitu nyeri tenggorokan, mata pedih, sakit kepala, hidung berdarah, dan gatal. c.

  Fungisida

  1. Pengawet kayu Kreosot (coal tar) Gejala keracunan yang ditimbulkan berupa iritasi kulit hingga dermatitis, iritasi mata dan saluran pernafasan, sakit kepala, pusing, mual, muntah, timbul bercak biru-kehijauan pada kulit.

  2. Pentaklorofenol Gejala keracunan yang ditimbulkan yaitu iritasi kulit, mata dan saluran pernafasan, menimbulkan rasa kaku pada hidung, tenggorokan gatal, keluar air mata, berjerawat, demam, sakit kepala, mual, berkeringat banyak, hilangnya koordinasi, kejang-kejang, sulit bernafas, gelisah, eksitasi dan bingung, haus hebat dan kolaps.

  3. Arsenik Berdampak pada sistem saraf pusat, jantung dan hati. Gejala muncul 1 sampai beberapa jam setelah paparan. Gejala keracunan yang ditimbulkan yaitu mual, sakit kepala, diare nyeri perut, pusing, kejang otot, dan mengigau.

  d.

  Rodentisida

  1. Kumarin Kercunan kronis ditandai dengan gejala sakit kepala menetap, sakit perut, salivasi, demam, iritasi saluran pernafasan atas, perdarahan pada hidung, gusi, kencing berdarah, feses berlendir, timbul bercak biru kehitaman hijau kecoklatan pada kulit.

  2. Indadion Gejala keracunan yang ditimbulkan yaitu kerusakan saraf, jantung, dan sistem sirkulasi, hemoragi.

  3. Seng sulfat Gejala keracunan yang ditimbulkan yaitu diare, nyeri perut, mual, muntah, sesak, tereksitasi, rasa dingin, hilang kesadaran, edema paru, iritasi hebat, kerusakan paru-paru, hati, ginjal, dan sistem saraf pusat.

  4. Stirkhin Gejala keracunan yang ditimbulkan yaitu kerusakan sistem saraf dalam 20-30 menit : kejang-kejang hebat dan kesulitan bernafas.

  e. Fumigan

  1. Sulfur florida Gejala keracunan yang ditimbulkan adalah depresi, sempoyongan, gagap, mual, muntah, nyeri lambung, gelisah, mati rasa, kedutan, kejang-kejang, nyeri dan rasa dingin di kulit, kelumpuhan pernafasan.

  2. Fosfin Gejala keracunan yang ditimbulkan adalah rasa dingin, nyeri dada, diare, muntah, batuk, dada sesak, sukar bernafas. lemas, haus dan gelisah, nyeri lambung, hilangnya koordinasi, kulit kebiruan, nyeri tungkai, perbesaran pupil, timbul cairan pada paru-paru, pingsan, kejang-kejang, koma dan kematian.

  3. Halokarbon Gejala keracunan yang ditimbulkan adalah kulit kemarahan, melepuh dan pecah-pecah menimbulkan kulit kasar dan luka, nyeri perut, lemah, gagap, bingung, tremor, dan kejang-kejang seperti epilepsi.

  Menurut Djojosumarto (2008), Keracunan pestisida dapat menimbulkan salah satu atau beberapa gejala sekaligus. Misalnya, lesu dan lekas lelah, sakit kepala, pusing, pandangan kabur, perut mual, muntah-muntah, otot terasa pegal, badan terasa gemetar, kejang-kejang, mengeluarkan air liur berlebihan, dan pingsan.

  Gejala-gejala diatas bukan gejala khas keracunan pestisida. Banyak penyakit atau kelainan tubuh lainnya yang dapat menimbulkan salah satu atau beberapa gejala tersebut di atas. Akan tetapi, apabila seseorang yang semula sehat melakukan penyemprotan (atau aplikasi lainnya), kemudian merasakan gejala tersebut, maka patut diduga bahwa gejala tersebut disebabkan oleh keracunan.

2.1.6 Cara Masuk Pestisida Ke Tubuh Manusia

  Menurut Djojosumarto (2000), pestisida dapat masuk kedalam tubuh manusia melalui berbagai cara yakni: kontaminasi memalui kulit (dermal

  

contamination ), terhisap masuk kedalam saluran pernapasan (inhalation) dan

masuk melalui saluran pencernaan makanan lewat mulut (oral).

  a. Kontaminasi melalui kulit (dermal contamination) Pestisida yang menempel di permukaan kulit bisa meresap masuk ke dalam tubuh dan menimbulkan keracunan. Kejadian kontaminasi lewat kulit merupakan kontaminasi yang paling sering terjadi, meskipun tidak seluruhnya berakhir dengan keracunan akut. Lebih dari 90% kasus keracunan diseluruh dunia disebabkan oleh kontaminasi lewat kulit. Tingkat kontaminasi bahaya lewat kulit dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut: 1.

  Toksitas dermal (dermal LD 50) pestisida yang bersangkutan maka makin rendah angka LD 50 makin berbahaya.

  2. Konsentrasi pestisida yang menempel pada kulit, yaitu semakin pekat pestisida maka semakin besar bahayanya.

  3. Formulasi pestisida misalnya formulasi EC dan ULV atau formulasi cair lebih mudah diserap kulit dari pada formulasi butiran.

  4. Jenis atau bagian kulit yang terpapar yaitu mata misalnya mudah sekali meresapkan pestisida. Kulit punggung tangan lebih mudah meresapkan pestisida dari pada kulit telapak tangan.

  5. Luas kulit yang terpapar pestisida yaitu makin luas kulit yang terpapar makin besar risikonya.

  6. Lamanya kulit terpapar pestisida yaitu makin lama kulit terpapar makin besar risikonya

  7. Kondisi fisik yang bersangkutan. Semakin lemah kondisi fisik seseorang, maka semakin tinggi risiko keracunannya.

  Dalam penggunaanya atau aplikasi pestisida, pekerjaan-pekerjaan yang menimbulkan risiko kontaminasi lewat kulit adalah:

  1. Penyemprotan dan aplikasi lainnya, termasuk pemaparan langsung oleh droplet atau drift pestisidanya dan menyeka wajah dengan tangan, lengan baju atau sarung tangan yang terkontaminasi pestisida.

  2. Pencampuran pestisida 3. Mencuci alat-alat pestisida.

  b. Terhisap masuk ke dalam saluran pernapasan (inhalation) Keracunan pestisida karena partikel pestisida terhisap lewat hidung merupakan yang terbanyak kedua sesudah kontaminasi kulit. Gas dan partikel semprotan yang sangat halus (misalnya, kabut asap dari fogging) dapat masuk kedalam paru-paru, sedangkan partikel yang lebih besar akan menempel di selaput lendir hidung atau di kerongkongan. Bahaya penghirupan pestisida lewat saluran pernapasan juga dipengaruhi oleh LD 50 pestisida yang terhirup dan ukuran partikel dan bentuk fisik pestisida.

  Pestisida berbentuk gas yang masuk ke dalam paru-paru dan sangat berbahaya. Partikel atau droplet yang berukuran kurang dari 10 mikron dapat mencapai paru-paru, namun droplet yang berukuran lebih dari 50 mikron mungkin tidak mencapai paru-paru, tetapi dapat menimbulkan gangguan pada selaput lendir hidung dan kerongkongan. Gas beracun yang terhisap ditentukan oleh:

  1. Konsentrasi gas di dalam ruangan atau di udara

  2. Lamanya paparan

  3. Kondisi fisik seseorang (pengguna) Pekerjaan-pekerjaan yang menyebabkan terjadinya kontaminasi lewat saluran pernapasan adalah

  1. Bekerja dengan pestisida (menimbang, mencampur dan sebagainya) di ruangan tertutup atau yang ventilasinya buruk.

  2. Aplikasi pestisida berbentuk gas atau yang akan membentuk gas (misalnya fumigasi), aerosol serta fogging, terutama aplikasi di dalam ruangan; aplikasi pestisida berbentuk tepung (misalnya tepung hembus) mempunyai risiko tinggi.

  3. Mencampur pestisida berbentuk tepung (debu terhisap pernapasan)

  c. Masuk kedalam saluran pencernaan makanan melalui mulut (oral) Peristiwa keracunan lewat mulut sebenarnya tidak sering terjadi dibandingkan dengan kontaminasi kulit. Karacunan lewat mulut dapat terjadi karena beberapa hal sebagai berikut: 1. Kasus bunuh diri.

  2. Makan, minum, dan merokok ketika bekerja dengan pestisida.

  3. Menyeka keringat di wajah dengan tangan, lengan baju, atau sarung tangan yang terkontaminasi pestisida.

  4. Drift (butiran halus) pestisida terbawa angin masuk ke mulut.

  5. Meniup kepala penyembur (nozzle) yang tersumbat dengan mulut, pembersihan nozzle dilakukan dengan bantuan pipa kecil.

  6. Makanan dan minuman terkontaminasi pestisida, misalnya diangkut atau disimpan dekat pestisida yang bocor atau disimpan dalam bekas wadah atau kemasan pestisida.

  7. Kecelakaan khusus, misalnya pestisida disimpan dalam bekas wadah makanan atau disimpan tanpa label sehingga salah ambil.

2.1.7 Metode Aplikasi Pestisida

  Pestisida diaplikasikan dengan berbagai cara. Cara-cara mengaplikasikan pestisida diantaranya adalah sebagai berikut : a. Penyemprotan (Spraying)

  Penyemprotan (spraying) adalah penyemprotan pestisida yang paling banyak dipakai oleh para petani. Diperkirakan, 75% penggunaan pestisida dilakukan dengan cara disemprotkan, baik penyemprotan di darat (ground

  

spraying) maupun penyemprotan diudara (aerial spraying). Dalam penyemprotan,

  larutan pestisida (pestisida ditambah air) dipecah oleh noozle (cerat, sprayer) atau

  

atomizer yang terdapat dalam bentuk penyemprot (sprayer) menjadi butiran

  semprot atau droplet. Bentuk sediaan (formulasi) pestisida yang diaplikasikan dengan cara disemprotkan. Sedangkan untuk penyemprotan dengan volume ultra rendah (ultra low volume) digunakan formulasi ULV. Teknik penyemprotan ini termasuk pula pengkabutan (mist blowing).

  Menurut Wudianto (2007), alat yang digunakan dalam aplikasi pestisida tergantung formulasi yang digunakan. Pestisida yang berbentuk butiran (granula) untuk menyebarkan tidak membutuhkan alat khusus, cukup dengan ember atau alat lainnya yang bisa digunakan untuk menampung pestisida tersebut dan sarung tangan agar tangan tidak berhubungan langsung dengan pestisida. Pestisida berwujud cairan Emulsible Concentrate (EC) atau bentuk tepung yang dilarutkan

  Wettable Powder (WP) atau Soluble Powder (SP) dan Soluble Liquid (SL)

  memerlukan alat penyemprot untuk menyebarkan. Sedangkan pestisida yang berbentuk tepung hembus bisa digunakan alat penghembus. Pestisida berbentuk fumigan dapat diaplikasikan dengan alat penyuntik pohon kelapa untuk jenis insektisida yang digunakan memberantas penggerek batang.

  Alat penyemprot yang biasa digunakan yaitu alat semprot gendong (Knapsack Solo), pengabut bermotor tipe gendong (Power Mist Blower and

  Duster ), mesin penyemprot tekanan tinggi (High Pressure Power Sprayer), dan

  jenis penyemprot lainnya. Penggunaan alat penyemprot ini disesuaikan dengan kebutuhan terutama yang berkaitan dengan luas areal pertanian sehingga pemakaian pestisida menjadi efektif.

  Sewaktu mempersiapkan pestisida yang akan disemprotkan, pilihlah tempat yang sirkulasi udaranya lancar. Di tempat tertutup, pestisida yang berdaya racun tinggi terlebih yang mudah menguap, dapat mengakibatkan keracunan melalui pernapasan. Langkah-langkah dalam mempersiapkan pestisida adalah sebagai berikut :

  1. Buka kemasan dengan hati-hati agar pestisida tidak berhamburan atau memercik mengenai bagian tubuh.

  2. Tuang pestisida ke dalam gelas ukur, timbangan, atau alat ukur lainnya.

  3. Masukkan dalam ember khusus tempat pencampuran pestisida yang sudah di isi air terlebih dahulu. Jumlah air disesuaikan dengan konsentrasi formulasi yang dianjurkan. Usahakan jangan mencampur pestisida di dalam tangki penyemprot, karena tidak dapat dipastikan apakah pestisida dan air telah tercampur sempurna atau belum. Campuran yang tidak sempurna akan mengurangi keefektifannya.

  4. Aduk dengan kayu sampai merata

  5. Masukkan cairan ke dalam tangki penyemprot.

  Waktu yang baik untuk penyemprotan adalah pada waktu terjadinya aliran udara naik (thermik) yaitu pada pukul 08.00-11.00 WIB atau sore hari pada pukul 15.00-18.00 WIB. Penyemprotan terlalu pagi atau terlalu sore akan mengakibatkan pestisida yang menempel pada bagian tanaman akan terlalu lama mengering dan mengakibatkan tanaman yang disemprot keracunan. Selain itu, penyemprotan yang terlalu pagi biasanya daun masih berembun sehingga pestisida yang disemprotkan tidak bisa merata ke seluruh permukaan daun. Sedangkan penyemprotan yang dilakukan saat matahari terik akan mengakibatkan pestisida mudah menguap dan mengurai oleh sinar matahari (Djojosumarto, 2008).

  b. Pengasapan (Fogging) Pengasapan (fogging) adalah penyemprotan pestisida dengan volume ultra rendah dengan menggunakan ukuran droplet yang sangat halus. Perbedaan dengan cara penyemprotan biasa adalah pada fogging (thermal fogging, hot fog) campuran pestisida dan solvent (umumnya minyak) dipanaskan sehingga menjadi semacam kabut asap (fog) yang sangat halus. Fogging banyak dilakukan untuk mengendalikan hama gudang, hama tanaman perkebunan dan pengendalian vector penyakit di lingkungan.

  c. Penghembusan (Dusting) Penghembusan (dusting) adalah aplikasi produk pestisida yang di formulasi sebagai tepung hembus dengan menggunakan alat penghembus

  (duster). d. Penaburan Pestisida Butiran (Granule Distibution, Broadcasting) Penaburan pestisida butiran (granule distribution, broadcasting) adalah penaburan pestisida butiran yang merupakan khas untuk mengaplikasikan pestisida berbentuk butiran. Penaburan dapat dilakukan dengan tangan atau mesin penabur (granule broadcaster).

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teoritis 2.1.1. Signalling Theory - Analisis Pengaruh Informasi Laporan Arus Kas Terhadap Harga Saham Pada Perusahaan Perbankan Yang Terdaftar Di BEI Tahun 2009-2011

0 0 13

KATA PENGANTAR - Analisis Pengaruh Informasi Laporan Arus Kas Terhadap Harga Saham Pada Perusahaan Perbankan Yang Terdaftar Di BEI Tahun 2009-2011

0 0 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian dan Tujuan Laporan Keuangan 2.1.1. Pengertian Laporan Keuangan - Pengaruh Debt to Asset Ratio, Current Ratio dan Cash Ratio terhadap Return on Asset pada Perusahaan Real Estate yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 25

KATA PENGANTAR - Pengaruh Debt to Asset Ratio, Current Ratio dan Cash Ratio terhadap Return on Asset pada Perusahaan Real Estate yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2011 - 2013

0 0 13

BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN SIMALUNGUN II.1. Letak Geografis dan Sejarah Kabupaten Simalungun II.1.1. Geografis - Studi Kelayakan Pemekaran Daerah(Studi Kasus Penolakan Usulan Kabupaten Simalunguan Hataran Sebagai Pemekaran Dari Kabupaten Simalungun)

1 1 24

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komposit - Pembuatan dan karakterisasi beton kedap suara dari serat tandan kosong kelapa sawit semen pc dan pasir

0 2 15

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pembuatan dan karakterisasi beton kedap suara dari serat tandan kosong kelapa sawit semen pc dan pasir

0 0 6

BAB II DASAR TEORI 5.1 Tinjauan Ringkas Organisasi - Perancangan Sistem Verifikasi Keanggotaan Dengan Kartu Cerdas Nirkontak Berbasis Arduino Mega 2560

0 0 13

KATA PENGANTAR - Perancangan Sistem Verifikasi Keanggotaan Dengan Kartu Cerdas Nirkontak Berbasis Arduino Mega 2560

0 2 14

I. Identitas Pekerja penyemprot - Hubungan Pemakaian Alat Pelindung Diri dengan Gejala Keracunan Pada Penyemprot Pestisida di Perkebunan Kelapa Sawit Tanjung Garbus Pagar Merbau Tahun 2015

0 0 22