BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Konsep Tentang Bantuan Hukum 1. Pengertian Bantuan Hukum Dan Teori akses pada keadilan (access to justice) - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Bantuan Hukum bagi Masyara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A. Konsep Tentang Bantuan Hukum

1. Pengertian Bantuan Hukum Dan Teori akses pada keadilan (access to justice)

Adnan Buyung Nasution, memberikan pengertian tentang bantuan hukum sebagai berikut: “Bantuan hukum pada hakikatnya adalah sebuah program yang tidak hanya

merupakan aksi kultural, akan tetapi juga aksi struktural yang diarahkan pada perubahan tatanan masyarakat yang tidak adil menuju tatanan masyarakat yang lebih mampu memberikan nafas yang nyaman bagi golongan mayoritas. Oleh karena itu, bantuan hukum bukanlah masalah yang sederhana. Ia merupakan tin- dakan pembebasan masyarakat dari belenggu struktur politik ekonomi dan sosial yang sarat

dengan penindasan.” 1 Todung Mulya Lubis menyatakan bahwa bantuan hukum tidak untuk menghindarkan

diri dari tujuan menata kembali masyarakat dari kepincangan struktural yang tajam dengan menciptakan pusat-pusat kekuatan (power resources) dan sekaligus mengadakan redistribusi kekuasaan untuk melaksanakan partisipasi dari bawah.

Hal penting yang harus diingat di sini adalah agar kepada rakyat miskin mayoritas yang berada di pinggiran harus dikembalikan hak-hak dasar mereka akan sumber-sumber daya politik, ekonomi, teknologi, informasi dan sebagainya agar mereka bisa menentukan

masyarakat bagaimana yang mereka kehendaki. 2

Dengan mengutip pendapat dari K. Smith dan D.J.Keenan, Santoso Poedjosoebroto berpendapat bahwa bantuan hukum atau legal aid diartikan sebagai :

Frans Hendra Winarta, Op.cit., hlm. 22. 2 Lihat dalam Pranoto, 2011, Implementasi Bantuan Hukum oleh Advokat terhadap Tersangka dan Terdakwa

“bantuan hukum (baik yang berbentuk pemberian nasihat hukum, maupun yang berupa yang menjadi kuasa dari pada seorang yang berperkara) yang diberikan

kepada orangyang tidak mampu ekonominya, sehingga ia tidak dapat membayar biaya (honorarium) kepada seorang pembela atau pengacara.” 3

Pendapat diatas dikutip untuk mendapatkan suatu gambaran umum mengenai bantuan hukum, yang mungkin secara relatif terbatas ruang lingkupnya. Jaksa Agung Republik Indonesia ternyata juga mempunyai pendapat yang lebih sempit lagi ruang lingkupnya, oleh karena memberikan pengertian, sebagai berikut :

“Yang dimaksud dengan bantuan hukum adalah pembelaan yang diperoleh seorang terdakwa dari seorang penasihat Hukum, sewaktu perkaranya diperiksa dalam pemeriksaan pendahuluan atau dalam proses pemeriksaan perkaranya dimuka

pengadilan.” 4

Pada waktu itu Kepala Kepolisian Republik Indonesia, memberikan batas pengertian yang agak luas, sebagai berikut : “Pemberian bantuan hukum sebagai pendidikan klinis, sebenarnya tidak hanya

terbatas untuk jurusan-jurusan pidana dan perdata untuk akhirnya tampil di depan pengadilan, tetapi juga untuk jurusan-jurusan lain seperti jurusan tata negara, hukum administrasi pemerintahan, hukum internasional dan lain-lainnya yang memungkinkan memberikan bantuan hukum diluar pengadilan misalnya memberikan bantuan hukum kepada seseorang yang tersangkut dalam soal-soal perumahan di kantor Perumahan (KPU); bantuan hukum kepada seseoarang dalam urusan kewarganegaraan di imigrasi atau departemen Kehakiman; bantuan hukum kepada seseorang yang menyangkut dalam urusan internasional di Departemen luar negeri; bahkan memberikan bimbingan dan penyuluhan di bidang hukum termasuk sasaran

bantuan hukum dan lain sebainya.” 5

Pengertian Bantuan Hukum yang dimaksud dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 yaitu: Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum. Meskipun tidak didapat pengertian yang pasti mengenai apa yang dimaksud bantuan

hukum, namun secara umum menurut Undang - Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang

Santoso Poedjosoebroto 1976: 61 4 Jaksa Agung RI 1976: 72

5 Prof.Dr.Soerjono Soekanto,S.H.,M.A. 1983. Bantuan hukum suatu tinjauan sosio yuridis. Ghalia Indonesia:

Bantuan Hukum arti bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada penerima Bantuan Hukum. Bantuan ini memberikan jasa untuk :

- Memberikan nasehat hukum - Bertindak sebagai pendamping dan pembela seorang yang dituduh atau didakwa

melakukan kejahatan dalam perkara pidana. Sebagai pembela atau penasehat hukum harus memberikan pengarahan – pengarahan dan penjelasan – penjelasan tentang

duduk persoalannya. 6

Pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dari setiap individu atau warga negara, wajib diberikan oleh negara sebagai konsekuensi penetapannya sebagai negara hukum (rechtsstaat). Penetapan sebagai negara hukum ini diikuti dengan pernyataan lain bahwa setiap warga negara memiliki persamaan kedudukan di hadapan hukum (prinsip equality before the law ) yang tertuang dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Melalui prinsip ini, negara tidak boleh melakukan diskriminasi dengan alasan apapun kepada setiap orang atau warga negara. Prinsip ini mudah dipelajari, didiskusikan atau dikaji secara akademis, akan tetapi tidak mudah dalam praktiknya. Bahkan Amerika Serikat yang seringkali dianggap sebagai negara yang paling menjunjung- tinggi hak asasi manusia, masih sering

melanggar prinsip ini. 7 Melalui prinsip ini, seseorang berhak untuk diperlakukan sama, termasuk bagi rakyat

miskin yang sedang bermasalah dengan hukum. Jika orang kaya mampu membayar seorang advokat untuk mendampinginya dalam proses peradilan, 8 orang miskin pun

memiliki hak yang sama untuk didampingi oleh seorang advokat dalam kerangka bantuan

6 Diakses dari http://www.library.upnvj.ac.id , pada tanggal 10 Maret 2012. 7 Deborah L. Rhode, 2004, Access to Justice, Oxford University Press, New York, hlm. 3. 8 Baca mengenai pernyataan klasik dari Galanter mengenai orang-orang kaya yang mampu membayar mahal

pada advokat dalam menyelesaikan perkaranya pada Marc Galanter, “Why the “Haves” Come Out Ahead: pada advokat dalam menyelesaikan perkaranya pada Marc Galanter, “Why the “Haves” Come Out Ahead:

“dipelihara” tidak hanya diberi kebutuhan sandang dan pangan, akan tetapi juga akses pada keadilan berupa pemberian bantuan hukum. Dengan kata lain, prinsip equality before

the law selain mengandung arti persamaan kedudukan di muka hukum, oleh Rhode diartikan pula sebagai persamaan akses terhadap sistem hukum dan keadilan. 9

Hak memperoleh pembelaan dari seorang advokat (access to legal counsel) adalah hak asasi setiap orang dan merupakan salah satu unsur untuk memperoleh keadilan bagi semua orang. Oleh karena itu, tidak seorang pun dalam negara hukum yang boleh diabaikan haknya untuk memperoleh pembelaan dari seorang advokat. Pembelaan dilakukan tanpa memperhatikan latar belakang individu yang bersangkutan, seperti agama, keturunan, ras,

etnis, keyakinan politik, strata sosial ekonomi, warna kulit dan gender. 10 Hak untuk mendapatkan bantuan hukum, sebenarnya hanya merupakan salah satu dari

akses terhadap keadilan. Akses terhadap keadilan berarti “diperlakukan secara adil berdasarkan hukum, dan apabila tidak diperlakukan adil maka seseorang tidak akan

mendapatkan “redress” yang layak. Konsep atas akses terhadap keadilan tidak hanya berarti akses terhadap advokat atau pengadilan, namun juga berarti akses terhadap

Ombudsman 11 , dan lembaga- lembaga “keadilan” yang lain. Mengatasi permasalahan akses terhadap keadilan harus dilakukan secara menyeluruh dengan tujuan mencapai keadilan

sosial dan tidak hanya membatasi diri pada akses terhadap pengadilan saja. 12

Deborah L. Rhode, Op.cit., hlm. 5. 10 Frans Hendra Winarta, 2009, Pro Bono Publico, Hak Konstitusional Fakir Miskin untuk Memperoleh Bantuan

Hukum , Gramedia, Jakarta, hlm. 1-2.

11 Adrian W. Bedner dan Val Jacqueline, “Sebuah Kerangka Analisis untuk Penelitian Empiris dalam Bidang Akses terhadap Keadilan”, dalam Adrian W. Bedner (Ed.), 2012, Kajian Sosio Legal: Seri Unsur-Unsur Penyusun Bangunan Negara Hukum , Edisi I, Pustaka Larasan, Bali.

12 Roderick A. MacDonald, “Access to Justice and Law Reform”, 10 Windsor YB Access Just 287, 1990, hlm.

Rankin membedakan akses terhadap keadilan sebagai konsepsi formal dan substantif. Konsepsi formal merujuk akses te rhadap keadilan sebagai “kemampuan setiap orang untuk mendapatkan akses yang layak dan efektif terhadap pengadilan serta tribunal yang lain dan kesempatan untuk mendapatkan pelayanan jasa hukum dari profesional yang berkualitas. Dalam artian ini akses terhadap keadilan lebih berfokus kepada kondisi yang berkaitan dengan pengadilan, prosedur pengadilan, biaya perkara, serta ketersediaan

pengacara. 13 Konsepsi substantif lebih berfokus kepada kemam- puan seorang untuk dapat memperoleh keadilan substantif atau yang merujuk kepada hasil substantif dari keadilan

hukum. Konsep ini sebenarnya lebih menantang konsep akses terhadap keadilan agar juga diartikan sebagai kemampuan setiap orang untuk dapat mengakses hukum. 14

Akses keadilan dalam segi formal dan substantif bukan untuk diperdebatkan, akan tetapi keduanya dapat saling melengkapi. Konsep substantif akan mencari akses tambahan pada proses hukum formal dengan langkah-langkah yang lebih komprehensif dengan tujuan agar sistem hukum lebih responsif terhadap kebutuhan hukum negara.

Konsep akses terhadap keadilan di Indonesia, berfokus pada dua tujuan dasar dari keberadaan sistem hukum, yaitu sistem hukum seharusnya dapat diakses oleh semua orang dari berbagai kalangan; dan sistem hukum seharusnya dapat menghasilkan ketentuan atau keputusan yang adil bagi semua kalangan, baik secara individual maupun kelompok. Ide dasar yang hendak diutamakan dalam konsep ini adalah untuk mencapai keadilan sosial (social justice) bagi warga negara dari semua kalangan. Dalam konteks keindonesiaan, akses terhadap keadilan diartikan sebagai keadaan dan proses di mana negara menjamin terpenuhinya hak-hak dasar berdasarkan UUD 1945 dan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia, dan menjamin akses bagi setiap warga negara agar dapat memiliki

Micah B. Rankin, “Access to Justice and the Institutional Limit of Independent Courts”, 30 Windsor Y.B. Access Just 101, 2012, hlm. 101-138.

14 William E. Conklin, “Whither Justice – The Common Problematic of Five Model of Access to Justice”, 19 14 William E. Conklin, “Whither Justice – The Common Problematic of Five Model of Access to Justice”, 19

memperbaiki kualitas kehidupannya sendiri. 15 Negara melalui alat perlengkapannya berupaya mewujudkan tanggung jawabnya dalam

pemenuhan akses terhadap keadilan bagi rakyat miskin. Sebagai sebuah upaya, hal tersebut patut diapresiasi, meski dalam beberapa hal patut untuk dikritisi. Upaya untuk mewujudkan access to justice ini dalam implementasinya meliputi tiga hal, yaitu: Pertama, hak untuk memperoleh manfaat dan menggunakan institusi peradilan; Kedua, adanya jaminan ketersediaan sarana pemenuhan hak bagi masyarakat miskin untuk mencapai keadilan; dan Ketiga, adanya metode dan prosedur yang efektif untuk memperluas akses

masyarakat terhadap keadilan. 16 Upaya telah dilakukan, akan tetapi apa yang tersurat dalam dokumen seringkali berada di awang-awang, karena dalam dunia praktik, tak sedikit

rakyat miskin yang masih susah memperoleh akses memperoleh keadilan, sehingga sampai sekarang istilah yang mengatakan bahwa pedang hukum lebih tajam ke bawah (orang miskin, tidak mampu atau tak berpunya) masih terus hidup dalam benak masyarakat.

2. Sejarah Bantuan Hukum Di Indonesia

Bantuan hukum telah dilaksanakan oleh masyarakat Barat sejak zaman Romawi dimana pada waktu itu bantuan hukum didasarkan pada nilai-nilai moral dan lebih dianggap sebagai suatu pekerjaan yang mulia, khususnya untuk menolong orang-orang tanpa mengharapkan dan/atau menerima imbalan atau honorarium. Setelah meletusnya Revolusi Perancis, bantuan hukum kemudian mulai menjadi bagian dari kegiatan hukum

Bappenas, 2009, Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan, Jakarta, hlm. 5. 16 Wahyu Widiana, “Access to Justice for the Poor: The Badilag Experience”, Makalah, pada IACA Asia- Bappenas, 2009, Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan, Jakarta, hlm. 5. 16 Wahyu Widiana, “Access to Justice for the Poor: The Badilag Experience”, Makalah, pada IACA Asia-

Di Indonesia, bantuan hukum sebagai suatu legal institution (lembaga hukum) semula tidak dikenal dalam sistem hukum tradisional. Bantuan hukum baru dikenal di Indonesia sejak masuknya atau diberlakukannya sistem hukum Barat di Indonesia. Bermula pada tahun 1848 ketika di negeri Belanda terjadi perubahan besar dalam sejarah hukumnya. Berdasarkan asas konkordansi, dengan Firman Raja tanggal 16 Mei 1848 No. 1, perundang-undangan baru di negeri Belanda tersebut juga diberlakukan di Indonesia, antara lain peraturan tentang susunan kehakiman dan kebijaksanaan peradilan (Reglement of de Regterlijke Organisaticen het beleid der Justitie ), yang lazim disingkat dengan

R.O. 18 Dalam peraturan hukum inilah diatur untuk pertama kalinya “Lembaga Advokat” sehingga dapat diperkirakan bahwa bantuan hukum dalam arti yang formal baru mulai di

Indonesia sekitar pada waktu-waktu tersebut. 19 Pada masa itu, penduduk Indonesia dibedakan atas 3 golongan berdasarkan Pasal 163

Ayat (1) Indische Staatsregeling (IS), yaitu:

1. Golongan Eropa. Yang termasuk golongan ini adalah orang Belanda, semua orang yang bukan Belanda tetapi berasal dari Eropa, orang Jepang, dan anak sah dari golongan Eropa yang diakui undang-undang.

2. Golongan Timur Asing.

17 Bambang Sunggonodan Aries Harianto. 2009. Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusi. CV. Mandar Maju: Bandung. Hal. 11.

18 Abdurrahman. 1983. Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia. Cendana Press: Jakarta.Hal. 40. 19 Frans Hendra Winata. 2000. Bantuan Hukum – Suatu Hak Asasi ManusiaBukan Belas Kasihan. PT. Elex

Yang termasuk dalam golongan Timur Asing adalah golongan yang bukan termasuk dalam golongan Eropa maupun golongan Bumiputera.

3. Golongan Bumiputera. Yang termasuk golongan ini adalah orang-orang Indonesia asli (pribumi).

Adanya penggolongan terhadap penduduk Indonesia pada masa itu menyebabkan adanya perbedaan antara golongan yang satu dengan golongan yang lain dalam banyak bidang kehidupan, seperti bidang ekonomi, sosial, dan politik kolonial, dimana dalam semua bidang tersebut golongan Bumiputera menempati derajat yang lebih rendah daripada golongan Eropa dan Timur Asing. Perbedaan-perbedaan tersebut juga berimplikasi pada dikotomi sistem peradilan di Indonesia. Pada masa kolonial Hindia Belanda, dikenal adanya 2 (dua) sistem peradilan. Pertama, peradilan untuk orang-orang Eropa dan Timur Asing yang dipersamakan dengan itu adalah Residentiegerecht untuk tingkat pertama, Raad van Justitie untuk tingkat banding, dan Mahkamah Agung (Hogerechtshof). Kedua, peradilan untuk orang-orang Indonesia dan yang dipersamakan, yang meliputi Districtgerecht, Regentschapsgerecht, dan Landraad.

Demikian pula dengan hukum acara yang mengatur masing-masing sistem peradilan tersebut berbeda untuk acara pidana maupun acara perdata. Peradilan Eropa dan Timur Asing berlaku Reglement op de Rechtsvordering (Rv) untuk acara perdatanya dan Reglement op de Strafvoerdering (Sv) untuk acara pidananya. Kemudian bagi Peradilan Indonesia berlaku Herziene Inlandsch Reglement (HIR), baik untuk acara perdata maupun acara pidananya.

Apabila diperbandingkan, HIR memuat ketentuan perlindungan terhadap kekuasaan pemerintah yang jauh lebih sedikit daripada kitab undang-undang untuk orang Eropa. Sebagai contoh, bagi orang-orang Eropa dikenal kewajiban legal representation by a Apabila diperbandingkan, HIR memuat ketentuan perlindungan terhadap kekuasaan pemerintah yang jauh lebih sedikit daripada kitab undang-undang untuk orang Eropa. Sebagai contoh, bagi orang-orang Eropa dikenal kewajiban legal representation by a

advokat atau pembela lain yang bersedia. 20 Berdasarkan hal tersebut, dapat kita ketahui bahwa bagi orang-orang Indonesia pada masa itu kebutuhan akan bantuan hukum belum

dirasakan sehingga profesi lawyer yang berasal dari kalangan Bumiputera tidak berkembang. Kebanyakan hakim dan semua notaris serta para advokat adalah orang

Belanda. 21

Bantuan hukum baru dikenal setelah hadirnya para advokat Bumiputera pada tahun 1910 yang memperoleh gelar meester in de rechten dari Belanda. Awalnya, pemerintah kolonial tidak mengizinkan pendirian sekolah tinggi hukum di Indonesia karena ada kekhawatiran apabila Penduduk Hindia Belanda belajar hukum, mereka akan memahami demokrasi, hak asasi manusia, serta negara hukum, dan pada akhirnya akan menuntut kemerdekaan. Orang Indonesia yang ingin menempuh pendidikan hukum harus mempelajarinya di Belanda seperti di Universitas Utrecht dan Universitas Leiden. Barulah pada tahun 1924, Belanda mendirikan Reschtschooge school di Batavia yang kemudian dikenal sebagai Fakultas Hukum Universitas Indonesia.Tamatan sekolah hukum di

Frans Hendra Winata, Bantuan Hukum – Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan., Op. cit., Hal. 21. 21 Frans Hendra Winata. 2000. Pro Bono Publico: Hak Konstitusional Fakir Miskin Untuk Memperoleh Bantuan

Belanda, antara lain Mr. Sartono, Mr. Sastro Moeljono, Mr. Besar Mertokoesoemo, dan Mr. Ali Sastroamidjoyo. 22

Pada masa penjajahan bangsa Jepang, tidak terlihat adanya kemajuan dari pemberian bantuan hukum. Keadaan yang sama kira-kira juga terjadi pada seputar tahun-tahun awal setelah bangsa Indonesia menyatakan proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945 karena seluruh bangsa sedang mengkonsentrasikan dirinya untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan bangsa. Demikian pula setelah pengakuan kedaulatan Rakyat Indonesia pada

tahun 1950 keadaan yang demikian relatif tidak berubah. 23

Dalam bukunya Aspek-Aspek Bantuan hukum di Indonesia, Abdurrahman mengutip pendapat Adnan Buyung Nasution sebagai berikut:

“Setelah Indonesia mencapai pengakuan kemerdekaannya pada tahun 1950, maka sampai dengan pertengahan tahun 1959 (yaitu saat Soekarno mengambil oper

kekuasaan dengan mengganti konstitusi), keadaan tersebut di atas tidak banyak berubah. Memang pluralisme hukum di bidang peradilan dihapuskan sehingga hanya ada 1 (satu) sistem peradilan untuk seluruh penduduk (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung). Demikian pula hanya berlaku 1 (satu) hukum acara bagi seluruh penduduk. Akan tetapi sayang sekali yang dipilih sebagai warisan dari sistem peradilan dan perundang-undangan kolonial adalah justru yang bukan lebih maju melainkan yang lebih miskin, yaitu peradilannya bukan Raad van Justitie melainkan Landraad. Hukum acaranya bukan Rechtsvordering melainkan HIR.

“Hal ini membawa akibat bahwa banyak ketentuan-ketentuan hukum yang menjamin bantuan hukum yang berlaku bagi orang Eropa tidak ikut diwarisi ke dalam

perundang-undangan yang berlaku setelah kemerdekaan. Dengan kata lain, yang berlaku sejak tahun 1950 sampai saat ini adalah sistem peradilan dan peraturan hukum acara dari zaman kolonial khusus bagi Bangsa Indonesia yang sangat miskin

menjamin ketentuan- 24 ketentuan mengenai bantuan hukum.” Pada periode sesudahnya, yang ditandai dengan besarnya kekuasaan dan pengaruh

Soekarno (hingga tahun 1965), bantuan hukum dan profesi advokat mengalami kemerosotan yang luar biasa bersamaan dengan melumpuhnya sendi-sendi negara hukum.

Ibid , Hal. 9. 23 Bambang Sunggonodan Aries Harianto.Op.cit., hlm. 14.

Adnan Buyung Nasution, sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman, menyatakan alasannya sebagai berikut:

“Pada masa itu, peradilan tidak lagi bebas tetapi sudah dicampuri dan dipengaruhi secara sadar oleh eksekutif. Hakim-hakim berorientasi kepada pemerintah karena tekanan yang dalam praktek dimanifestasikan dalam bentuk setiap putusan yang dimusyawarahkan dulu dengan kejaksaan. Akibatnya tidak ada lagi kebebasan dan impartiality sehingga dengan sendirinya wibawa pengadilan jatuh dan harapan serta kepercayaan pada bantuan hukum hilang. Pada saat itu orang berperkara tidak melihat gunanya bantuan hukum dan juga tidak melihat gunanya profesi advokat yang memang sudah tidak berperan lagi. Orang lebih suka meminta pertolongan kepada jaksa dan hakim itu sendiri, atau jika ada jalan lain, kepada orang kuat lainnya. Pada saat itu pula banyak advokat meninggalkan profesinya.

“Campur tangan kekuasaan eksekutif pada pengadilan mencapai puncaknya dengan diundangkannya Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Undang-Undang tersebut dimuat ketentuan-ketentuan yang bertentangan secara diametral dengan asas-asas negara hukum atau rule of law yang mengakui pengadilan bebas sebagai unsur esensial dan memastikan. Sejak itu boleh dikatakan peranan para advokat menjadi lumpuh dan bantuan hukum menjadi tidak ada artinya sama sekali. Periode ini kiranya merupakan

periode pahit bagi sejarah bantuan hukum di Indonesia. 25

Sejalan dengan perkembangan bantuan hukum, berkembanglah suatu ide untuk mendirikan semacam biro konsultasi hukum sebagaimana yang pernah didirikan di Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshoge school) Jakarta pada tahun 1940 oleh Prof. Zeylemaker, seorang Guru Besar Hukum Dagang dan Hukum Acara Perdata, yang melakukan kegiatannya berupa pemberian nasihat hukum kepada rakyat yang tidak mampu, di samping juga untuk memajukan kegiatan klinik hukum. Diawali pada tahun 1954, didirikan Biro Tjandra Naya yang dipimpin oleh Prof. Ting Swan Tiong yang mana pada waktu itu lebih mengutamakan konsultasi hukum bagi orang-orang Cina. Selanjutnya, atas usulan Prof. Ting Swan Tiong yang disetujui olehProf. Sujono Hadibroto (Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia), pada tanggal 2 Mei 1963 didirikan Biro Konsultasi Hukum di Universitas Indonesia dengan Prof. Ting Swan Tiong sebagai ketuanya. Kemudian pada tahun 1968, biro ini berganti nama menjadi Lembaga

Konsultasi Hukum, dan pada tahun 1974, menjadi Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH). Kemudian pada tahun 1967, Biro Konsultasi Hukum juga didirikan di

Fakultas Hukum Universitas Padjajaran. 26

Bersamaan dengan itu, berkembang pula ide untuk mendirikan suatu organisasi atau perkumpulan bagi para advokat, pada awalnya perkumpulan-perkumpulan advokat yang ada belum dalam bentuk satu wadah kesatuan organisasi advokat nasional. Dimulai sekitar tahun 1959-1960 dimana para advokat yang berasal dari Jawa Tengah berkumpul di Semarang dan sepakat untuk mendirikan organisasi advokat yang dinamakan BALIE di Jawa Tengah. Selanjutnya, perkumpulan advokat berkembang dan bermunculan di daerah- daerah lain, seperti Balai Advokat di Jakarta, Bandung, Medan, dan Surabaya. Usaha pembentukan wadah kesatuan yang sesungguhnya bagi advokat sudah lama direncanakan sejak Kongres I PERSAHI (Persatuan Sarjana Hukum Indonesia) pada tahun 1961 di Yogyakarta dimana pada waktu itu hadir para ahli hukum dan advokat sebagai peserta kongres. Lalu bertepatan dengan saat berlangsungnya Seminar Hukum Nasional I pada tanggal 14 Maret 1963 di Jakarta, tokoh-tokoh advokat sebanyak 14 orang mencetuskan berdirinya suatu organisasiadvokat yang kemudian dikenal dengan nama Persatuan Advokat Indonesia (PAI) dengan ketuanya Mr. Loekman Wiriadinata yang bertugas menyelenggarakan dan mempersiapkan suatu kongres nasional para advokat Indonesia.

Berdirinya PAI tersebut mendapat perhatian dari Pemerintah Republik Indonesia pada masa itu yang kemudian mengundang para pengurus PAI untukikut berperan serta dalam penyusunan rancangan undang-undang yang berhubungan dengan lembaga pengadilan dan pelaksanaan peradilan Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 29 Agustus 1964 diselenggarakan Kongres I / Musyawarah Advokat yang berlangsung di Hotel Danau Solo yang dihadiri oleh perwakilan-perwakilan advokat se-Indonesia dan kemudian pada Berdirinya PAI tersebut mendapat perhatian dari Pemerintah Republik Indonesia pada masa itu yang kemudian mengundang para pengurus PAI untukikut berperan serta dalam penyusunan rancangan undang-undang yang berhubungan dengan lembaga pengadilan dan pelaksanaan peradilan Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 29 Agustus 1964 diselenggarakan Kongres I / Musyawarah Advokat yang berlangsung di Hotel Danau Solo yang dihadiri oleh perwakilan-perwakilan advokat se-Indonesia dan kemudian pada

Salah satu proyek PERADIN adalah pendirian suatu Lembaga Bantuan Hukum. Hal ini terealisasi dengan didirikannya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Jakarta pada

tanggal 26 Oktober 1970 di bawah pimpinan Adnan Buyung Nasution. 28

Delapan bulan setelah berdirinya LBH di Jakarta, pengembangan LBH di daerah lainnya meningkat, yakni dengan lahirnya Lembaga-Lembaga Bantuan Hukum di Medan, Yogyakarta, Solo, dan Palembang. Di samping itu, beberapa kota lainnya di daerah-daerah juga mengirimkan utusannya ke LBH di Jakarta untuk meninjau dan mempelajari segala sesuatu mengenai LBH di Jakarta dengan maksud hendak mendirikan Lembaga Bantuan Hukum di daerahnya.

Selama periode ini, keberadaan bantuan hukum sangat terasa karena adanya tanggung jawab profesional para ahli hukum. Yang penting di sini adalah adanya keinginan untuk menyumbangkan keahlian profesional kepada rakyat miskin yang buta hukum. Pada masa ini kegiatan bantuan hukum lebih banyak diarahkan kepada penanganan perkara (pidana, perdata, subversi) dan sebagainya di pengadilan, dan juga di luar pengadilan (nasihat dan konsultasi).

Memasuki tahun 1974-1976, mulai dirasakan adanya keterbatasan-keterbatasan, baik yang sifatnya intern maupun ekstern, misalnya keterbatasan tenaga, dana, dan organisasi, serta kesadaran hukum yang rendah di kalangan rakyat, termasuk para pejabat. Karena itu mulai dirasakan bahwa tidak akan mungkin efektif kegiatan bantuan hukum itu apabila tanpa mengajak pihak lain untuk berperan serta. Di sinilah muncul gagasan penerangan hukum, penataran hukum, dan diskusi hukum. Di sini pula bermulanya kegiatan tambahan

28 – Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, Op. cit., Hal. 26 .

bantuanhukum dari penanganan perkara menjadi penanganan perkara plus penerangan dan penataran hukum (non-litigasi). 29

Selama era Orde Baru, masalah bantuan hukum tumbuh dan berkembang dengan pesat. Misalnya saja, sejak tahun 1978, banyak bermunculan Lembaga Bantuan Hukum dengan menggunakan berbagai nama. Ada Lembaga Bantuan Hukum yang sifatnya independen, ada Lembaga Bantuan Hukum yang dibentuk oleh suatu organisasi politik atau suatu organisasi massa, ada pula yang dikaitkan dengan lembaga pendidikan, dan lain

sebagainya. 30 Pada tahun 1979 terdapat tidak kurang dari 57 Lembaga Bantuan Hukum yang terlibat dalam program pelayanan hukum kepada masyarakat miskin dan buta

hukum. 31

Pada masa ini, terjadi perpecahan dalam tubuh PERADIN sehingga banyak bermunculan organisasi advokat yang baru, seperti misalnya Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat disebutkan dalam Pasal 32 Ayat (4) perintah untuk membentuk suatu organisasi advokat yang bersifat single bar association (wadah tunggal) dalam jangka waktu 2 tahun setelah berlakunya Undang- Undang tersebut. Berdasarkan perintah tersebut, dibentuklah Persatuan Advokat Indonesia (PERADI). PERADI inilah yang sampai saat ini bertindak sebagai wadah tunggal organisasi advokat Indonesia.

T. Mulyalubis. 1986. Bantuan Hukum Dan Kemiskinan Struktural. LP3ES: Jakarta. Hal. 71 30 Abdurrahman, Op. cit., Hal. 52.

Selama era reformasi, banyak usaha yang telah dilakukan untuk membentuk suatu undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai bantuan hukum. Namun kebanyakan ketentuan tentang bantuan hukum diatur dalam suatu undang-undang yang tidak secara khusus mengatur mengenai bantuan hukum, seperti Undang-Undang Nomor

14 Tahun 1970 jo. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, KUHAP, dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Merealisasikan kegiatan bantuan hukum selama belum adanya undang-undang yang secara tegas mengatur mengenai bantuan hukum, dikeluarkanlah Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum, selanjutnya disebut SEMA, yang pada dasarnya melaksanakan amanat Pasal 56 dan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan SEMA ini memerintahkan setiap Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, dan Pengadilan TUN di Indonesia untuk segera membentuk Pos Bantuan Hukum, selanjutnya disebut Posbakum, guna memberikan bantuan hukum kepada masyarakat yang tidak

mampu secara ekonomis. 32

Usaha untuk membentuk suatu undang-undang khusus mengenai bantuan hukum membuahkan hasil dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Dengan lahirnya Undang-Undang tersebut, pemberian bantuan hukum di Indonesia mencapai suatu ketegasan melalui tatanan prosedural yang tegas dan pasti yang diatur dalam Undang-Undang tersebut sehingga lebih menjamin kepastian hukum bagi perlindungan hak-hak masyarakat miskin guna memperoleh keadilan dan persamaan di muka hukum.

3. Jenis - Jenis Bantuan Hukum

Dalam artikel yang berjudul Legal Aid – Modern Themes and Variations, Cappelleti dan Gordley mengembangkan jenis bantuan hukum berikut ini : 33

1. Bantuan hukum yuridis-individual: bantuan hukum merupakan hak yang diberikan kepada warga masyarakat untuk melindungi kepentingan-kepentingan individual;

2. Bantuan hukum kesejahteraan: bantuan hukum merupakan hak akan kesejahteraan yang menjadi bagian dari kerangka perlindungan sosial yang diberikan oleh welfare state.

Konsep tersebut berbeda dengan konsep yang dikemukakan oleh Schuyt, Groenendijk, dan Sloot, yang membedakan 5 (lima) jenis bantuan hukum, antara lain: 34

1. Bantuan hukum preventif: pemberian keterangan dan penyuluhan hukum kepada masyarakat sehingga mereka mengerti hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara;

2. Bantuan hukum diagnostik: pemberian nasihat-nasihat hukum atau dikenal dengan konsultasi hukum.

3. Bantuan hukum pengendalian konflik: mengatasi secara aktif masalah-masalah hukum konkrit yang terjadi di masyarakat;

4. Bantuan hukum pembentukan hukum: untuk memancing yurisprudensi yang lebih tegas, tepat, jelas, dan benar;

5. Bantuan hukum pembaruan hukum: untuk mengadakan pembaruan hukum, baik melalui hakim maupun pembentuk undang-undang (dalam arti materil). Kedua jenis konsep bantuan hukum tersebut berkembang sesuai kebutuhan dan tujuan masyarakat.

Mulyana W. Kusumah, “Arti Penting Bantuan Hukum Struktural” dalam Abdul Hakim dan Mulyana W.

4. Prinsip – Prinsip Bantuan Hukum

Implementasi UU bantuan hukum harus berdasarkan pada prinsip-prinsip yang secara internasional telah diakui, yaitu; prinsip kepentingan keadilan, prinsip tidak mampu, prinsip hak untuk memilih pengacara/pemberi bantuan hukum, prinsip negara memberikan akses bantuan hukum di setiap pemeriksaan, dan prinsip hak bantuan hukum yang

efektif. 35

a. Prinsip Kepentingan Keadilan

Prinsip ini secara jelas termaktub dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Prinsip ini banyak diadopsi dan dipraktikan diberbagai negara sebagai jalan utama bagi penguatan akses bagi masyarakat marjinal. Bahkan secara jelas prinsip ini juga menjadi argumentasi dalam penjelasan Undang-Undang No. 16 Tahun 2012 tentang Bantuan Hukum.

Kepentingan keadilan dalam kasus tertentu ditentukan oleh pemikiran yang serius tentang tindak pidana yang dituduhkan kepada tersangka dan hukuman apa saja yang akan diterimanya. Prinsip ini selalu membutuhkan penasihat untuk tersangka dalam kasus dengan ancaman hukuman mati. Tersangka untuk kasus dengan ancaman hukuman mati berhak memilih perwakilan hukumnya dalam setiap proses pemeriksaan kasusnya. Tersangka dengan ancaman hukuman mati dapat membandingkan antara perwakilan hukum pilihannya dengan yang ditunjuk oleh pengadilan. Selain itu, narapidana mati berhak untuk menunjuk penasehat untuk permohonan post-conviction judicial relief, permohonan grasi, keringanan hukuman, amnesti atau pengampunan. Dengan prinsip ini, bantuan hukum dapat diterapkan terhadap kasuskasus mental disability seperti pengujian apakah penahanan tersangka/

terdakwa dapat dilanjutkan atau tidak (detention review). Dalam proses detention review tersangka atau terdakwa berhak untuk didampingi oleh advokat. Bantuan hukum dapat diterapkan untuk kasuskasus kejahatan ringan, ketika kepentingan keadilan memungkinkan yaitu tersangka-terdakwa tidak bisa melakukan pembelaan sendiri dan juga lebih kondisi ekonomi dari tersangka/terdakwa yang merupakan unemployee serta karena kompleksitas kasus sehingga membutuhkan penasehat hukum yang berkualitas. Bantuan hukum dapat diterapkan terhadap kasus- kasus terorisme dan akses terdapat bantuan hukum tidak boleh dihambat sejak saat tersangka atau terdakwa ditahan. Bahkan ketika negara dalam keadilan darurat, bantuan hukum tidak boleh ditangguhkan. Tersangka tidak dapat meniadakan penasihat hukum atas dasar ia telah diberi kesempatan untuk membela dirinya sendiri tetapi tidak menghendaki untuk membela dirinya.

b. Prinsip Tidak Mampu

Prinsip ‟tidak mampu‟ juga sudah menjadi pandangan umum dari prinsip pemberian bantuan hukum. Bantuan hukum diberikan kepada kelompok masyarakat

yang karena faktor ekonomi tidak dapat menyediakan advokat untuk membela kepentingannya. Seorang terdakwa/tersangka harus tidak mampu secara financial

membayar advokat. Namum dalam hal „tidak mampu membayar‟ tidak dapat hanya diartikan sebagai miskin tetapi juga dapat diartikan apakah seseorang dari

penghasilannya mampu menyisihkan dana untuk membayar jasa seorang pengacara. Sehingga penting merumuskan standar dari kelompok yang berhak menerima bantuan hukum.

c. Prinsip Hak untuk Memilih Pengacara/Pemberi Bantuan Hukum

Prinsip ini menentukan, negara harus menjamin bahwa tersangka/ terdakwa mempunyai hak untuk memilih advokatnya dan tidak dipaksa untuk menerima Prinsip ini menentukan, negara harus menjamin bahwa tersangka/ terdakwa mempunyai hak untuk memilih advokatnya dan tidak dipaksa untuk menerima

d. Prinsip Negara Memberikan Akses Bantuan Hukum di Setiap Pemeriksaan

Negara harus menjamin bahwa akses atas bantuan hukum di setiap tingkat pemeriksaan. Sistem pemeriksaan yang tertutup seperti kasus-kasus kejahatan terhadap negara memungkinkan tidak adanya akses atas bantuan hukum. Di dalam kondisi ini akses terhadap bantuan hukum harus tetap dijamin. Tersangka atau terdakwa berhak untuk berkomunikasi dengan advokat, dan berhak atas akses ke pengadilan untuk menggugat atas tindakan-tindakan kekerasan oleh petugas penjara (ill-treatment). Prinsip ini akan dapat menghindari terjadinya abuse of power dalam penanganan perkara seperti penggunaan cara-cara kekerasan, ataupun bahkan rekayasa kasus.

e. Prinsip Hak Bantuan Hukum yang Efektif

Saat pengadilan menyediakan bantuan hukum, maka pengacara yang ditunjuk harus memenuhi kualifikasi untuk mewakili dan membela tersangka. Seorang pengacara yang ditunjuk oleh pengadilan untuk mewakili dan membela tersangka harus mendapatkan pelatihan yang diperlukan dan mempunyai pengalaman atas segala hal yang berhubungan dengan kasus tersebut. Walaupun bantuan hukum disediakan oleh pengadilan, pengacara harus dibebaskan untuk melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan profesionalitasnya dan kemandirian sikap yang bebas dari pengaruh negara atau pengadilan. Bagi bantuan hukum yang disediakan oleh pengadilan, pengacara harus benar-benar dapat mengadvokasi tersangka. Pengacara Saat pengadilan menyediakan bantuan hukum, maka pengacara yang ditunjuk harus memenuhi kualifikasi untuk mewakili dan membela tersangka. Seorang pengacara yang ditunjuk oleh pengadilan untuk mewakili dan membela tersangka harus mendapatkan pelatihan yang diperlukan dan mempunyai pengalaman atas segala hal yang berhubungan dengan kasus tersebut. Walaupun bantuan hukum disediakan oleh pengadilan, pengacara harus dibebaskan untuk melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan profesionalitasnya dan kemandirian sikap yang bebas dari pengaruh negara atau pengadilan. Bagi bantuan hukum yang disediakan oleh pengadilan, pengacara harus benar-benar dapat mengadvokasi tersangka. Pengacara

B. Hasil Penelitian

1. Undang – Undang Yang Mengatur Bantuan Hukum

Peraturan yang mengatur tentang bantuan hukum sebagai jaminan keadilan dalam melindungi hak-hak masyarakat miskin atau tidak mampu di Indonesia saat ini adalah:

a. Undang-Undang Republik Indonesia No 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum Secara garis besar UUBH mengatur tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma- cuma kepada Penerima Bantuan Hukum yang didalamnya adalah orang atau kelompok orang miskin yang menghadapi masalah hukum Pemberi Bantuan Hukum yang telah memenuhi syarat UUBH ini berhak merekrut Advokat, paralegal, Dosen, dan mahasiswa Fakultas Hukum dalam melakukan pelayanan bantuan hukum yang meliputi nonlitigasi dan litigasi Setelah UUBH diundangkan, Pemerintah melalui Kemenkumham mengundangkan Permenkumham No 3 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Verifikasi dan Akreditasi LBH atau Orkemas yang memberikan bantuan hukum kepada orang atau kelompok orang miskin Hal ini dibuat sebagai pelaksana ketentuan Pasal 7 ayat (4) UUBH Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2013 merupakan turunan dari UUBH yang dibuat pemerintah guna keperluan pelaksanaan Pasal 15 ayat (5) dan Pasal 18 UUBH, PP No 42 Tahun 2013 diundangkan pada 23 Mei 2013 Menteri sebagai penyelenggara bantuan hukum dalam tahun yang sama mengeluarkan Permenkumham No 22 Tahun 2013 Tentang Peraturan Pelaksanaan PP No 42 Tahun 2013 Permenkumham No 22 Tahun 2013 ini diundangkan dimana pembuatannya a. Undang-Undang Republik Indonesia No 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum Secara garis besar UUBH mengatur tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma- cuma kepada Penerima Bantuan Hukum yang didalamnya adalah orang atau kelompok orang miskin yang menghadapi masalah hukum Pemberi Bantuan Hukum yang telah memenuhi syarat UUBH ini berhak merekrut Advokat, paralegal, Dosen, dan mahasiswa Fakultas Hukum dalam melakukan pelayanan bantuan hukum yang meliputi nonlitigasi dan litigasi Setelah UUBH diundangkan, Pemerintah melalui Kemenkumham mengundangkan Permenkumham No 3 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Verifikasi dan Akreditasi LBH atau Orkemas yang memberikan bantuan hukum kepada orang atau kelompok orang miskin Hal ini dibuat sebagai pelaksana ketentuan Pasal 7 ayat (4) UUBH Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2013 merupakan turunan dari UUBH yang dibuat pemerintah guna keperluan pelaksanaan Pasal 15 ayat (5) dan Pasal 18 UUBH, PP No 42 Tahun 2013 diundangkan pada 23 Mei 2013 Menteri sebagai penyelenggara bantuan hukum dalam tahun yang sama mengeluarkan Permenkumham No 22 Tahun 2013 Tentang Peraturan Pelaksanaan PP No 42 Tahun 2013 Permenkumham No 22 Tahun 2013 ini diundangkan dimana pembuatannya

Pada Pasal 5 UU No. 16 Tahun 2011, yang dimaksud dengan orang miskin atau kelompok orang miskin, yaitu yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri seperti: hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan.

b. Undang-Undang Republik Indonesia No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman Bantuan hukum dalam Undang- Undang Kekuasaan Kehakiman terdapat pada Bab XI dalam Pasal 56 dan 57 Pasal 56 ayat (1) menjelaskan bahwa hak dari seseorang yang tersangkut dalam suatu perkara untuk mendapatkan bantuan hukum dari Pemberi Bantuan Hukum, sesuai dengan sifat dan hakekat dari suatu negara hukum yang menempatkan supremasi hukum diatas segalanya yang berfungsi sebagai pelindung dan pengayom terhadap semua warga masyarakat disamping adanya jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia Selanjutnya Pasal 56 ayat (2) menjelaskan negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu Pasal 57 ayat (1) menjelaskan bahwa pada setiap pengadilan negeri dibentuk Pos Bantuan Hukum untuk pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum sebagai landasannya UUBH jo Undang-Undang No 12

Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Contenant On Civil And Political Rights (Konvenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik).

c. Undang-Undang Republik Indonesia No 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum Kebutuhan hukum masyarakat dari sisi bantuan hukum sangat penting untuk mencapai peradilan yang merdeka dan adil, maka dari itu Undang-Undang Peradilan Umum pada Pasal 68B yang menjelaskan bahwa bantuan hukum berhak diperoleh oleh siapa saja yang tersangkut perkara hukum, dan biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu ditanggung oleh negara Kemudian Pasal 68C menyebutkan pembentukan Pos Bantuan Hukum yang memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma bagi siapa saja yang tidak mampu yang sedang tersangkut perkara hukum sampai putusannya

inkrah. 36

d. Undang-Undang Republik Indonesia No 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

Bantuan hukum dalam Undang-Undang No 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama termuat dalam Pasal 60B yang menjelaskan bahwa bantuan hukum berhak diperoleh setiap orang yang tersangkut perkara hukum, bantuan hukum bagi pencari keadilan yang tidak mampu biayanya ditanggung oleh negara dengan syarat melampirkan bukti tidak mampu Selanjutnya dalam Pasal 60C yang menjelaskan Pos Bantuan Hukum dibentuk di tiap pengadilan agama untuk pelayanan bantuan hukum pada semua tingkat peradilan bagi pencari keadilan yang tidak mampu hingga memperoleh putusan inkrah.

e. Undang-Undang Republik Indonesia No 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata

Usaha Negara

Bantuan hukum dalam peradilan tata usaha negara termuat dalam Undang- Undang No 51 Tahun 2009 pada Pasal 57 yang menjelaskan hak untuk didampingi dan diwakili oleh kuasa Kemudian mangacu pada Undang-Undang No 5 Tahun 1986 Pasal 60 menjelaskan bersengketa dengan cuma-cuma dengan syarat bukti tidak mampu Selanjutnya Pasal 61 menjelaskan kewajiban pengadilan dalam menetapkan permohonan berperkara secara cuma-Cuma.

f. Undang-Undang Republik Indonesia No 18 Tahun 2003 Tentang Advokat Bantuan hukum cuma-cuma dalam Undang-Undang Advokat terdapat pada Pasal

1 ayat (9) yang menjelaskan pengertian bantuan hukum Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu Kemudian diatur pada Pasal 22 yang menjelaskan Advokat berkewajiban memberikan bantuan hukum kepada pencari keadilan yang tidak mampu.

g. Undang-Undang Republik Indonesia No 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana Bantuan hukum KUHAP diatur dalam Bab VI Pasal 54 yang menjelaskan tersangka/ terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari penasihat hukum untuk kepentingan pembelaan Kemudian Pasal 56 menjelaskan tersangka atau terdakwa yang diancam pidana mati atau pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi tidak mampu yang diancam pidana lima tahun atau lebih wajib mendapat penasihat hukum Bantuan hukum kepada tersangka diberikan atau dapat diminta sejak dalam penangkapan atau penahanan pada semua tingkat pemeriksaan, baik pada tingkat penyidikan meupun pada tingkat pemeriksaan pengadilan Pada pemeriksaan tingkat penyidik, maka tersangka didampingi oleh penasihat hukum, yang boleh hadir dalam pemeriksaan yang sedang berjalan, hanya bersikap pasif, artinya ia hanya Undang Hukum Acara Pidana Bantuan hukum KUHAP diatur dalam Bab VI Pasal 54 yang menjelaskan tersangka/ terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari penasihat hukum untuk kepentingan pembelaan Kemudian Pasal 56 menjelaskan tersangka atau terdakwa yang diancam pidana mati atau pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi tidak mampu yang diancam pidana lima tahun atau lebih wajib mendapat penasihat hukum Bantuan hukum kepada tersangka diberikan atau dapat diminta sejak dalam penangkapan atau penahanan pada semua tingkat pemeriksaan, baik pada tingkat penyidikan meupun pada tingkat pemeriksaan pengadilan Pada pemeriksaan tingkat penyidik, maka tersangka didampingi oleh penasihat hukum, yang boleh hadir dalam pemeriksaan yang sedang berjalan, hanya bersikap pasif, artinya ia hanya

C. Analisis

Pada sub bahasan kali ini, penulis akan mambahas dan memberikan analisis serta jawaban atas rumusan masalah yang menjadi perhatian pada penelitian ini. Adapun rumusan masalah yang ditanyakan ataupun yang menjadi kasus ialah :

1. Bagaimana sistim bantuan hukum di indonesia.

a. Pihak yang terlibat dalam bantuan hukum :

1) Pemerintah pusat

Pemberian Bantuan Hukum kepada Penerima Bantuan Hukum diselenggarakan oleh Menteri yang menyelenggaran urusan Pemerintahan di Bidang hak asasi manusia, yaitu Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Dalam hal pemberian bantuan hukum sebagaiman tercantum dalam Undang- undang Nomor 16 tahun 2011 tentang bantuan hukum Tugas dan wewenang Kementerian Hukum dan HAM RI dalam mengimplementasikan Undang-undang tentang bantuan hukum adalah:

- Memiliki tugas menyusun dan menetapkan kebijkan penyelenggaraan Bantuan Hukum; - Menyusun dan menetapkan standar bantuan hukum berdasarkan asas-asas pemberian bantuan hukum; - Menyusun rencana anggaran bantuan hukum; - Mengelola anggaran bantuan hukum secara efektif, efisien, transparan dan

akuntabel;

- Menyusun dan menyampaikan laporan penyelenggaraan bantuan hukum kepada dewan Perwakilan Rakyat pada setiap tahun anggaran. 38

2) Pemerintah daerah

Penyelenggaraan pemberian bantuan hukum kepada warga negara (termasuk di daerah) adalah upaya untuk memenuhi dan sekaligus sebagai implementasi negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (acces to justice) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law). Pemberian jaminan dan perlindungan tersebut merupakan salah satu dasar pertimbangan penyelenggaraan bantuan hukum di daerah. Dasar pemikiran jaminan dan perlindungan acces to justice dan equality before the law ini merupakan konsekuensi logis dari adanya pengakuan bahwa Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana disebutkan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945, dan salah satu ciri dari negara hukum adalah adanya pengakuan, perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, termasuk acces to justice dan equality before the law .

Konsep negara hukum sendiri menurut Dicey10 mengandung 3 (tiga) unsur yaitu : “(1) Hak asasi manusia dijamin lewat undang-undang; (2) Persamaan di muka hukum (equality before the law); dan (3) Supremasi aturan hukum”. Sedangkan menurut Immanuel Kant dan Julius F. Stahl11, negara hukum mengandung 4 (empat) unsur, yaitu: “(1) Adanya pengakuan HAM; (2) Adanya pemisahan kekuasaan untuk menjamin hak-hak tersebut; (3) Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur); dan (4) Adanya peradilan tata usaha negara”.

38

Dokumen yang terkait

BAB II GOODWILL SEBAGAI DASAR PERLINDUNGAN MEREK TERKENAL - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ratio Legis Perlindungan Merek Terkenal

0 0 15

BAB III PERLINDUNGAN MEREK TERKENAL MERUPAKAN UPAYA UNTUK MELINDUNGI KONSUMEN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ratio Legis Perlindungan Merek Terkenal

0 0 11

BAB IV BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM SEBAGAI LANGKAH MEWUJUDKAN PERSAINGAN USAHA SEHAT - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ratio Legis Perlindungan Merek Terkenal

0 0 11

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertimbangan Hakim dalam Memutus Bagian Waris Anak Laki-Laki dan Anak Perempuan di Pengadilan Agama

0 1 11

BAB II HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertimbangan Hakim dalam Memutus Bagian Waris Anak Laki-Laki dan Anak Perempuan di Pengadilan Agama

0 2 46

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi Kasus tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Secara Sepihak oleh Pengusaha dalam Putusan PHI Tingkat I Nomor 05/PDT.SUS-PHI/2016/PN.PBR dan Putusa

0 0 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1. Tinjauan Pustaka 1.1.1. Perselisihan Hubungan Industrial - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi Kasus tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Secara Sepihak oleh P

0 0 56

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Implementasi Hak Narapidana Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kota Ternate

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Implementasi Hak Narapidana Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kota Ternate

0 0 62

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Bantuan Hukum bagi Masyarakat Tidak Mampu di Indonesia dalam Sistem Hukum di Indonesia

0 0 13