Peluang dan Tantangan Pengelolaan Sumber

Peluang dan Tantangan Pengelolaan Sumber Daya Alam Nagari1
Oleh

Nurul Firmansyah

1
Latar Belakang
Lebih kurang 14 tahun terakhir terjadi perubahan besar pada tatanan hukum, politik dan sosial paska
berakhirnya rezim Orde Baru. Perubahan hukum dimulai sejak amandemen UUD 1945 yang terjadi dalam
empat (4) putaran perubahan, yaitu; (1) perubahan pertama pada tahun 1999 berhubungan dengan
pembatasan kewenangan Presiden dan memperkuat kekuasaan DPR RI sebagai lembaga legislatif, (2)
perubahan kedua pada tahun 2000 berhubungan dengan masalah wilayah Negara, Pembagian kekuasaan
Pemerintah Daerah, penyempurnaan perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR RI, dan
ketentuan terperinci tentang Hak Asasi Manusia (HAM), (3) perubahan ketiga pada tahun 2001
berhubungan dengan Asas-asas landasan bernegara, kelembagaan Negara, dan hubungan antar lembaga
Negara, serta ketentuan tentang Pemilihan Umum, terakhir; (4) perubahan keempat pada tahun 2002
berhubungan dengan kelembagaan Negara dan hubungan antar lembaga Negara, penghapusan DPA,
tentang pendidikan dan kebudayaan, tentang perekonomian dan kesejahteraan sosial, serta aturan
peralihan dan tambahan, Asshiddiqie (2009). Perubahan UUD 1945 tersebut adalah bagian dari
Pembaruan Hukum di Indonesia yang diiringi dengan perubahan perundang-undangannya, baik pada level
nasional sampai dengan daerah. Sayangnya, pada konteks pembaruan hukum sumber daya alam dan

pengakuan hak-hak masyarakat adat ternyata belum bergerak seperti yang kita inginkan. Perubahan
konstitusi yang mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat2 dalam pengelolaan sumber daya
alam ternyata dihambat oleh rezim perundang-undangannya yang sektoral dan pengakuan setengah hati
hak masyarakat adat serta sentralisme pengelolaan sumber daya alam.
Disisi lain, Perubahan sistem politik sentralistik ke desentralisasi mempengaruhi pengakuan hak
masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam. Desentralisasi adalah kritik terhadap sentralisasi
yang mematikan potensi-potensi daerah dan kesatuan-kesatuan masyarakat adat dalam pengelolaan

Makalah disampaikan pada Musyawarah Adat : ―Aplikasi Manajemen Suku dan Pemberdayaan Hukum Adat dalam Hukum Nasional,‖ di Kota
Solok, 17-18 Maret 2012. Musyawarah Adat ini yang dilaksanakan oleh Organisasi Perantau Solok Saiyo Sekato atas dukungan Pemerintah
Daerah Kabupaten Solok dan Pemerintah Kabupaten Solok Selatan, dan organisasi kemasyarakatan lain.
2
Pasal signifikan dalam amandemen UUD 1945 terhadap hak-hak masyarakat adat terlihat di Pasal 18 B ayat (2)—hasil Perubahan UUD 1945
yang kedua, tahun 2000—yang menjelaskan penghormatan terhadap hak-hak tradisional masyarakat adat dan pasal 28 I ayat (3) yang
menjelaskan Hak Asasi Manusia atas masyarakat adat. Walaupun terdapat persyaratan-persyaratan dalam pasal ini terhadap hak masyarakat
adat, paling tidak ada hak-hak konstitusional masyarakat adat. Untuk lebih jelas lihat Kurniawarman (2007) Kajian Hukum Peluang dan
Kendala Bagi Kebijakan Daerah Dalam Penguatan Tenurial Adat dalam Nasib Tenurial Adat Atas Kawasan Hutan : Tumpang Tindih Klaim Adat
Dan Negara Pada Aras Lokal di Sumatera Barat, HuMa dan Qbar, Jakarta.
1


1|

sumber daya alam. Celakanya, aras perubahan desentralisasi terhadap pengelolaan sumber daya alam
belum signifikan. Berbagai sektor seperti kehutanan, pertambangan, dan sumber daya alam lainnya masih
dalam dominasi sektor-sektor di pemerintahan pusat (departemen-departemen). Hal tersebut melahirkan
jurang pemisah (gap) antara masyarakat adat dan pemerintah daerah dengan pemerintah, seperti terlihat
dalam hal ; pertama; gap antara penguatan hak masyarakat adat melalui kebijakan daerah (Perda)
terbentur dengan kebijakan-kebijakan nasional, misalnya pengakuan hak ulayat oleh Perda Propinsi
Sumatera Barat no.6/2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya (kemudian disebut ; Perda Tanah
Ulayat) di kawasan hutan tidak efektif dilaksanakan. Kedua, mahalnya biaya dan sumber daya masyarakat
adat untuk mengakses sumber daya alam di kawasan hutan melalui skema-skema kebijakan kehutanan,
seperti hutan desa, hutan kemasyarakatan dan lain-lain.
Propinsi Sumatera Barat mengambil momentum desentralisasi dengan melahirkan dua kebijakan penting
tentang keberadaan nagari yang mempunyai hak-hak tradisional (hak ulayat). Yaitu; Perda Propinsi
Sumatera Barat no.2 tahun 2007 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari (Kemudian disebut ; Perda
Nagari) dan Perda Tanah Ulayat. Dua perda ini mencoba mengintegrasikan sistem pemerintahan adat
dengan sistem pemerintahan modern3 dan mencoba memulihkan kembali hak-hak tradisionalnya,
termasuk hak ulayat.
Selain peluang, desentralisasi juga melahirkan tantangan baru bagi gerakan pembaruan hukum, yaitu
kecenderungan kepentingan elit politik dan pemerintahan terhadap masyarakat adat. Pemekaran nagari

adalah salah satu contoh kepentingan elit tersebut. Pemekaran nagari mempunyai motif politik yang
kental, yaitu; memperbanyak Daerah Pemilihan (Dapil) demi kepentingan elit-elit partai politik—
pengaruh sistem politik liberal dalam artian luas—dan meraup dana alokasi anggaran dari pemerintah
pusat ke pemerintah daerah dengan alasan jumlah penambahan pemerintahan terendah (desa). Motif
tersebut tidak begitu jauh berbeda dengan motif “desanisasi” di masa Orde Baru waluapun aktor, proses
dan polanya yang berubah dari kekuatan pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Makalah ini mencoba menjabarkan proses pembaruan hukum pengelolaan SDA yang memuat tantangan
dan peluang bagi penguatan dan pengakuan hak-hak nagari pada rentang waktu satu dekade terakhir.
Selain itu, makalah ini juga merefleksikan kembali pengalaman-pengalaman advokasi hak nagari dalam
pengelolaan SDA (hak ulayat), khususnya pengalaman penulis dan penggiat hak masyarakat adat lainnya
di Sumatera Barat sebagai bahan pembelajaran bersama. Metode penulisan makalah menggunakan

3

Integrasi sistem pemerintahan adat dengan system pemerintahan modern telah terjadi sejak zaman colonial belanda sampai dengan
pemerintahan Orde Baru. Di masa pemerintahan Orde Baru, sistem pemerintahan nagari dipisah dengan sistem pemerintahan modern dengan di
lahirkannya desa-desa administratif di sumtera Barat yang kemudian dicoba dipulihkan kembali melalui sistem pemerintahan Nagari di Masa
reformasi.
2|


pendekatan deskriptif analitik dengan menjelaskan secara analitis; pengalaman – pengalaman advokasi,
hasil-hasil penelitian dan data sekunder dari referensi kepustakaan yang relevan.
2
Pengakuan Hak Nagari Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam

Perda Nagari dan Perda Tanah Ulayat adalah pilar kebijakan daerah di Sumatera Barat untuk meletakkan
dasar-dasar pengakuan masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam. Dua perda ini
mempertegas kembali nagari sebagai subjek hak ulayat, dan tanah ulayat sebagai objek hak ulayat dan
hak ulayat sebagai hubungan hukum antara subjek dan objek tersebut. Upaya pengakuan hak masyarakat
adat (nagari) dalam dua kebijakan daerah ini kemudian berdinamika dengan sistem hukum nasional, yaitu
rezim pengaturan otonomi daerah, rezim pengaturan sumber daya alam, dan rezim pengaturan peradilan
serta kondisi sosiologis masyarakat adat.
Perda nagari menyebutkan bahwa nagari mempunyai dua fungsi yaitu sebagai satuan pemerintahan
administratif (terendah) dan kesatuan masyarakat adat. Nagari melekat padanya kewenangan administratif
pemerintahan terendah sekaligus melekat padanya identitas nagari sebagai kesatuan masyarakat adat. Hal
tersebut adalah respon pemisahan pemerintahan adat (yang diwakili oleh KAN) yang bersifat informal
dengan pemerintahan administratif (yang diwakili kepala desa) yang bersifat formal di masa orde baru
yang memecah – mecah nagari menjadi desa-desa administratif. Nagari pada waktu itu tidak sanggup
menghadapi tindakan-tindakan administratif yang berakibat pada perampasan tanah ulayat, misalnya
penetapan kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di Nagari kambang kabupaten pesisir selatan

yang tidak mengikutsertakan KAN (para ninik mamak) dalam proses penetapan ini. Di masa itu,
Departemen Kehutanan hanya melibatkan pemerintah-pemerintah desa yang berada di wilayah nagari
kambang, hal serupa juga yang terjadi di nagari Guguk Malalo kabupaten Tanah Datar dalam kasus
penetapan kawasan hutan lindung dan cagar alam Bukit Barisan 1 dan kasus-kasus lain yang serupa.
Upaya mengintegrasikan nagari atas fungsi administratif dan fungsi adat dalam Perda Nagari adalah
semangat utama mengembalikan nagari setelah di pecah-pecah sistem pemerintahan desa atau dikenal
dengan semangat “kambali Ka Nagari.” Hal ini berakibat pada penyatuan kembali desa-desa itu dalam
nagari. Desa – desa tersebut kemudian berubah menjadi jorong atau Korong dalam nagari (sub-nagari /
dusun). Perda nagari memang dapat menstimulus penyatuan desa-desa ke nagari, namun belum mampu
melebur sistem adat yang berbasis Ninik Mamak dengan sistem pemerintahan modern (pemerintah
nagari) karena perda nagari masih memisahkan pemerintah nagari yang dikepalai oleh wali nagari yang
direkrut melalui pemilihan langsung dengan KAN yang merupakan konsersium ninik mamak yang
3|

direkrut melalui mekanisme adat. Kondisi diatas tentunya tidak menghilangkan dikotomi pemerintahan
formal (pemerintahan nagari) dengan pemerintahan non formal (KAN) dalam nagari, sehingga
melahirkan tumpang tindih pengurusan sumber daya alam di nagari. Dalam perda nagari disebutkan
bahwa; ulayat nagari adalah bagian dari kekayaan nagari dan pengelolaannya oleh pemerintah nagari
yang terlebih dahulu mesti berkonsultasi dengan KAN. Sedangkan perda tanah ulayat menyebutkan
bahwa tanah ulayat nagari dikuasai oleh Ninik mamak di nagari yang tergabung dalam KAN dan

pemanfaatannya oleh pemerintah nagari. Artinya dua perda ini menjelaskan pemerintah nagari dengan
KAN bekerjasama dalam pengelolaan ulayat nagari. Kerjasama dua lembaga ini tidak selalu berjalan
lancar, banyak ketegangan-ketegangan yang terjadi dalam praktek antara pemerintah nagari dengan KAN,
misalnya konflik pemerintah nagari dengan KAN dalam pemanfaatan sarang burung wallet di nagari
simarasok kabupaten Agam.
Pembentukan nagari-nagari paska pemberlakuan perda nagari juga menyisakan persoalan-persoalan
serius, yaitu tentang batas nagari. Persoalan batas nagari muncul akibat perbedaan tafsir tentang batas
nagari dari dua komunitas nagari yang berkonflik. Selama ini, batas-batas nagari dijelaskan secara
imaginer melalui pepatah-pepatah adat dan batas alam. Akibat perubahan waktu, penafsiran pepatah-

pepatah tersebut menjadi multi tafsir diantara dua komunitas yang berkonflik tersebut dan juga di
perparah lagi dengan perubahan batas alam dan penentuan batas-batas administratif, seperti batas desadesa, batas kecamatan dan batas kawasan hutan yang tidak didasari oleh batas-batas imaginer tersebut.
Akibatnya, batas fisik administratif nagari belum tentu sama dengan batas imaginer nagari secara adat,
sehingga melahirkan konflik horizontal yang melibatkan antar nagari, seperti konflik nagari saniang bakamuara pingai, konflik nagari sumpur-bunga tanjung dan lain-lain.
Selain konflik horizontal antar nagari, konflik-konflik vertikal antara masyarakat adat dengan Negara dan
atau pemilik modal marak terjadi. Konflik ini paling banyak pada sektor perkebunan, kehutanan dan
pertambangan. konflik di sektor perkebunan marak pada perkebunan-perkebunan kelapa sawit skala
besar, terutama di wilayah daratan rendah seperti kabupaten Pasaman barat, Dhamasraya, Pesisir Selatan,
Agam dan Solok Selatan. Konflik ini muncul akibat pemerintah dan penguasa “memplintir” perjanjian
siliah jariah4 yang konversi hak ulayat ke tanah Negara dengan penetapan Hak Guna Usaha (HGU). Hal


serupa juga terjadi pada sektor pertambangan, yaitu perjanjian siliah jariah merubah status tanah ulayat
menjadi tanah Negara melalui penetapan kuasa pertambangan dan izin-izin pertambangan skala kecil.
Pada sektor kehutanan, konflik muncul akibat penetapan sepihak kawasan hutan dan kemudian

4
Perjanjian siliah jariah adalah perjanjian berdasarkan hukum adat antara masyarakat adat dengan pihak di luar masyarakat adat (pihak ketiga)
tentang pemanfaatan tanah. Dalam hukum adat, pihak ketiga mesti memberikan uang jariah sebagai bentuk rekognisi pihak ketiga terhadap
hukum adat namun oleh pemerintah dan pengusaha uang tersebut dianggap sebagai ganti rugi yang menjadi dasar konversi hak ulayat ke tanah
Negara .

4|

dibebankan HPH-HPH kepada perusahaan-perusahaan. Konflik HPH PT. AMT dengan nagari-nagari di
solok selatan adalah salah satu contohnya. Penetapan kawasan hutan produksi secara sepihak dan
pemberian konsesi HPH kepada PT. AMT dilakukan diluar kendali masyarakat adat.
Masyarakat adat pada konflik-konflik diatas umumnya menuntut pengembalian tanah-tanah ulayat
mereka paska pemanfaatan oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Selain pengembalian tanah, masyarakat
adat juga menuntut bagi hasil pemanfaatan tanah-tanah yang sedang dikelola oleh perusahaan-perusahaan
ini. Hal ini menunjukkan bahwa konflik vertikal seputar tanah ulayat berupa konflik penguasaan dan

konflik pengelolaan dan pemanfaatan. Negosiasi-negosiasi terus dilakukan masyarakat adat terhadap
perusahaan, ada yang berhasil ada yang gagal. Keberhasilan negosiasi itu biasanya melingkupi persoalan
bagi hasil (pemanfaatan) berupa pemberian-pemberian insentif-insentif kepada masyarakat adat Nagari
Lubuk Kilangan dari PT. Semen Padang, nagari-nagari selingkat HPH AMT dan lain-lain. Di sisi lain,
terdapat juga kisah kegagalan masyarakat adat dalam menuntut hak-haknya seperti kasus masyarakat
adat nagari Tiku kabupaten Agam dengan PT. Minang Agro, kasus PT. Anam koto, kasus ulayat imbang
langik di pasaman barat yang dipatahkan kekuatan masyarakat adat dengan cara kriminalisasi terhadap
tokoh-tokohnya.
Sebenarnya, Perda tanah ulayat telah mengatur mekanisme-mekanisme pemanfaatan tanah ulayat yang
terdiri dari tiga mekanisme, yaitu : pertama, pemanfaatan oleh anggota masyarakat adat (nagari) melalui
mekanisme internal nagari berdasarkan hukum adat yang berlaku pada masing-masing nagari tersebut,
kedua, mekanisme pemanfaatan tanah ulayat untuk kepentingan umum yang mengacu pada perpress

no.36/2005 yang diperbarui dengan perpress 65/2005, dan ketiga, mekanisme pemanfaatan tanah ulayat
oleh pihak ketiga (investasi) melalui mekanisme perjanjian kerjasama atas dasar kesepakatan kedua belah
pihak dan disarankan dalam bentuk bagi hasil dan penyertaan modal (tanah ulayat dianggap sebagai
bagian dari modal (saham) perusahaan). Perda ini juga menyebutkan bahwa, pada tanah-tanah yang telah
dimanfaatkan untuk investasi akan dikembalikan “kebentuk semula ”. Bentuk semula menjadi bias makna
bagi tanah-tanah yang dibebankan HGU, apakah kembali ke bentuk tanah Negara berdasarkan UUPA
atau tanah ulayat berdasarkan perjanjian kesepakatan “silih jariah.”

Klausul “kembali kebentuk semula” pada tanah-tanah bekas investasi menujukkan upaya memulihkan
hak ulayat pada tanah-tanah yang telah dimanfaatkan sebelum Perda ini lahir, paling tidak itu yang
disebutkan oleh pembuat kebijakan ini dalam berbagai pertemuan-pertemuan.5 Walaupun multitafsir,
klausul ini dapat menjadi alat pemulihan hak ulayat apabila dijelaskan secara konkrit pada perda-perda di

5
Dalam berbagai kesempatan pertemuan, baik seminar dan FGD, ketua Pansus Raperda Tanah Ulayat; Erizal Effendi menyebutkan bahwa tafsir
kembali kebentuk semula adalah kembali ketanah ulayat, kenapa tidak disebutkan kembali ketanah ulayat karena untuk menghindari executive
review dari pemerintah pusat.

5|

tingkat kabupaten / kota. Perda-perda ditingkat kabupaten atau kota mempunyai daya operasional yang
kuat untuk pemulihan hak ulayat paska pemanfaatan untuk investasi tesebut.
Selain itu, perda tanah ulayat juga mengatur mekanisme penyelesaian konflik, yaitu konflik internal
dalam nagari dan antar nagari. Mekanisme yang digunakan adalah mekanisme adat. Itu berarti perda TUP
hanya mengatur konflik yang bersifat horizontal sedangkan vertikal tidak diatur. Hal itu berkonsekuensi
pada upaya penyelesaian konflik bersifat horizontal merupakan tanggung jawab pemerintah daerah
melalui perangkat-perangkatnya, sedangkan konflik vertikal secara eksplisit diserahkan kepada peradilan
formal (Pengadilan Negeri). Penyelesaian konflik melalui peradilan tidak banyak menguntungkan

masyarakat adat karena sifat pembuktian yang formalistis di pengadilan, sedangkan kasus-kasus vertikal
terutama pada kasus-kasus perkebunan berstatus HGU mempunyai karakter yang unik dan tidak cukup
dengan hanya pada pembuktian formil. Oleh sebab itu, pilihan-pilihan penyelesaian konflik banyak
menggunakan cara negosiasi dan mediasi antara masyarakat adat dengan perusahaan karena alasan
fleksibelitas dan pendekatan win-win solution, baik itu yang difasilitasi oleh Pemerintah Daerah, lawyer
ataupun NGO/LSM.
Untuk penyelesaian konflik horizontal, Perda Tanah Ulayat memandatkan gubernur untuk menyusun
Peraturan Gubernur. Peraturan Gubenur ini penting, terutama untuk menghadapi konflik-konflik batas
nagari secara operasional, namun sayang sampai saat ini peraturan gubernur tersebut belum juga
dilahirkan.
Pada sisi lain, konflik kehutanan adalah konflik yang rumit karena dominasi pemerintah pusat dan
ketidakpastian tenurial masyarakat adat yang besar pada kawasan hutan. Walaupun perda nagari dan
perda tanah ulayat menyebutkan pengakuan hutan adat (hutan yang berada di tanah ulayat) namun
tentunya menjadi persoalan bila berhadapan dengan UUK yang mensyaratkan pengakuan terlebih dahulu
masyarakat adat melalui Perda yang mekanismen pengakuan tersebut sedang digodok dalam PP
pengukuhan hutan adat. Artinya hutan adat diakui oleh UUK apabila telah diatur dalam PP dan kemudian
disahkan (dikukuhkan) masyarakat hukum adat itu dalam Perda. Apakah perda tanah ulayat dan perda
nagari bisa dianggap sebagai bentuk pengukuhan masyarakat adat ? tentunya menjadi perdebatan hukum.
Secara praktis, departemen kehutanan, dinas kehutanan dan lembaga-lembaga vertikal kehutanan
menganggap bahwa perda nagari dan perda tanah ulayat mengatur hak ulayat diluar kawasan hutan. Hal

ini berarti bahwa pengelolaan hutan oleh masyarakat nagari terhadap kawasan hutan mesti melalui skema
– skema perizinan pemanfaatan dalam kebijakan kehutanan, seperti skema Hutan Kemasyarakatan
(HKM), Skema Hutan Desa dan lain-lain. Ekspressi penguatan penguasaan Departemen Kehutanan
terhadap kawasan hutan terlihat dari kriminalisasi masyarakat nagari yang mengelola lahan dikawasan

6|

hutan, baik itu untuk membuka lahan pertanian, agroforestri maupun pemanfaatan kayu. Misalnya, kasus
kriminalisasi beberapa orang anggota masyarakat nagari ampiak parak kabupaten pesisir selatan yang
membuka lahan pertanian berdasarkan surat izin pemangku adat (surat pelacoan) di kawasan TNKS.
Akhirnya, dinamika pengakuan hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam di sumatera
barat di pengaruhi oleh dua hal, yaitu; pertama, pengakuan masyarakat adat melalui proses legislasi
(perda nagari dan perda tanah ulayat) yang berada pada kutub rezim pengaturan Pemerintah Daerah yang
mencoba melindungi pemanfaatan tanah untuk investasi dengan mengakui hak ulayat dan mekanisme
pemanfaatannya. Pengakuan ini masih mempunyai kelemahan bagi tanah-tanah yang telah dibebankan
HGU dan kawasan hutan karena kebijakan ini vis a vis dengan rezim pengaturan sumber daya alam yang
sentralistik, baik itu pengaturan HGU dalam UUPA dan kawasan hutan dalam UUK. Kedua, dinamika
pengakuan hak masyarakat adat melalui proses administratif, yaitu proses – proses administrasi
pemanfaatan tanah yang tidak transparan dan tanggung gugat, seperti penetapan kawasan hutan dan
penetapan HGU dan HPH (IUPPHK) yang berdampak pada pengabaian hak ulayat. Ketiga, dinamika
pengakuan hak ulayat dalam proses judicial yang masih menganut paham formalisme hukum di lembaga
peradilan sehingga kasus-kasus yang bersifat vertikal belum menguntungkan terhadap pengakuan hak-hak
masyarakat adat, sehingga, alternatif penyelesaian konflik seperti negosiasi dan mediasi menjadi cara
alternatif penyelesaian konflik vertikal ini. Di sisi lain, dalam konteks konflik horizontal, pemerintah
daerah mengakui mekanisme adat dalam penyelesaian konflik internal nagari dan mengikat pemda untuk
menyelesaikan konflik antar nagari seperti yang dimandatkan oleh perda tanah ulayat walaupun secara
operasional perlu Peraturan Gubernur.
3
Dinamika Politik Daerah
Vandergeest dan Wittayapak (2010) menyebutkan bahwa desentralisasi pengelolaan sumber daya alam
adalah bentuk demokratisasi pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat lokal dan atau masyarakat
adat—―nagari‖. Mereka menyebutkan bahwa desentralisasi pengelolaan sumber daya alam beroperasi
pada dua arena, yaitu :
1. Arena administratif, atau desentralisasi administratif yang mengutamakan transfer kekuasaan
pengambilan keputusan dari pemerintah pusat ke birokrasi daerah, yang pertanggungjawaban
pemerintah daerah tersebut kepada pemerintah pusat atau lazim juga disebut dengan dekonsentrasi.
2. Desentralisasi politik yang berjalan ketika kekuasaan and sumber daya dirubah kepada autoritas yang
mewakili atau pertanggung jawaban pemerintahan daerah kepada masyarakat lokal.

7|

Bila dilihat, desentralisasi pengelolaan sumber daya alam di sumatera barat dan Indonesia pada umumnya
masih menganut desentralisasi administratif sehingga pertanggung jawaban pengelolaan sumber daya
alam lebih pada pertanggungjawaban administratif, sehingga kontrol pemerintah pusat begitu besar.
Kondisi tersebut diperkuat lagi dengan peran partai politik yang tidak mengakar pada konstituennya di
daerah namun mengakar pada elit-elit politik nasional dan daerah. Kondisi ini mempersulit upaya
pengakuan dan penguatan hak – hak nagari dalam pengelolaan sumber daya alam.
1) Fenomena Pemekaran Nagari

Fenomena pemekaran nagari adalah contoh kasus, Sejak Tahun 2008, terdapat 91 Penambahan
Nagari akibat pemekaran, yaitu dari 554 Nagari menjadi 645 Nagari. Kabupaten pesisir selatan adalah
daerah yang paling produktif dalam pemekaran nagari, yaitu dari 76 menjadi 106 Nagari, disamping
daerah-daerah lain, seperti solok selatan, padang pariaman dan kabupaten Pasaman. Dari berbagai
pemberitaan media, terlihat bahwa alasan-alasan pemekaran nagari dilandasi oleh tiga hal, yaitu;
pertama, alasan administratif pemerintahan terendah, seperti akses pelayanan publik pemerintah

nagari terhadap masyarakat nagari. Kedua, alasan politis, seperti pemekaran nagari-nagari untuk
memenuhi syarat pemekaran kabupaten (khususnya di Pesisir Selatan), dan memperbanyak Daerah
Pemilihan (Dapil), ketiga, alasan, budgeting (anggaran daerah), yaitu pemekaran-pemekaran nagari
ini bertujuan memperbesar anggaran belanja daerah untuk pembangunan nagari (pemerintahan
terendah).
Berbagai alasan diatas seperti mengulang lagi alasan “pemaksaan” sistem pemerintahan desa di masa
orde baru, walaupun motif, proses dan aktornya berbeda. Dimasa orde baru, pemberlakukan sistem
pemerintahan desa secara politis untuk mempermudah cengkeraman pemerintah pusat yang otoriter
pada masyarakat pedesaan di nagari dengan penyeragaman satuan pemerintah desa. Upaya
penyeragaman tersebut adalah politik hukum untuk melumpuhkan kekuatan demokratis masyarakat
nagari yang hidup dan berakar pada budaya-budaya lokal (adat), baik secara politik maupun ekonomi
yang kemudian digantikan oleh sistem formal pedesaan. Hal itu juga berlaku bagi nagari-nagari di
sumatera barat, yaitu pemekaran nagari menjadi desa-desa sehingga melahirkan dikotomi sistem
pemerintahan formal (pemerintah desa) dengan sistem pemerintahan informal (Pemerintahan Adat /
KAN). Dikotomi tersebut tentunya menguntungkan sistem pemerintahan formal karena didukung
penuh oleh pemerintahan orde baru diwaktu itu, baik secara politis maupun ekonomis (alokasi
anggaran).
Fenomena hari ini tidak jauh berbeda dengan masa orde baru, yaitu lemahnya nagari dalam
mempertahankan identitasnya dalam pusaran perubahan politik-ekonomi hari ini. Desentralisasi yang

8|

diharapkan meninggalkan sistem politik yang sentralistik-seragam ternyata belum mampu merubah
fundamen-fundamen politik lokal. Ternyata, Desentralisasi hanya mentransfer kekuasaan politikekonomi dari elit pusat ke daerah, sehingga wajar bila pemekaran nagari untuk memenuhi kebutuhan
pemekaran kabupaten, anggaran pemerintahan daerah dan alasan-alasan politis dan administratif
lainnya, sehingga terjadi formalisasi nagari, yaitu nagari hanya dipandang sebagai satuan
administratif belaka.
Nagari sendiri bukanlah hasil ciptaan sistem pemerintahan formal, tetapi lahir dan berkembang
seiring dengan perkembangan masyarakat adat minangkabau. Berbagai literatur menyebutkan bahwa
nagari adalah ―republic kecil‖ yang “semi-autonom” (Kurniawarman) atau “subkultur” (Nusyirwan
effendi) dengan sistem adatnya sendiri-sendiri (adat salingka nagari) dalam bingkai budaya alam
minangkabau. Artinya, nagari memiliki identitas budaya tradisional berupa hukum adat, sistem
penguasaan ulayat, sistem kekerabatan, dan bahkan sistem politik-pemerintahan itu sendiri yang
kemudian berinteraksi dengan sistem politik-pemerintahan formal. Persoalan muncul dari interaksi
tersebut, yaitu seberapa besar sistem politik-pemerintahan formal mempengaruhi keberlangsungan
identitas nagari. Alasan-alasan politis, administratif dan ekonomis yang di usung masih dalam bingkai
logika pemerintahan formal yang mempengaruhi nagari, dalam konteks ini bahwa alasan kuat
pemekaran nagari untuk memperbanyak Daerah Pemilihan (Dapil) adalah untuk memperkuat sistem
politik kepartaian, bukan memperkuat sistem politik nagari dalam interaksinya dengan sistem
pemerintahan formal, terutama dalam hal pengambilan keputusan di daerah, baik itu soal kebijakan
maupun anggaran.
2) Dampak Pemekaran Nagari

Posisi nagari yang lemah diatas melahirkan ancaman-ancaman serius bagi nagari sebagai kesatuan
masyarakat adat yang mempunyai identitas budaya sendiri. Seperti yang disebutkan diatas,
formalisasi nagari dalam sistem pemerintahan administratif ternyata belum mempengaruhi sistem
pemerintahan modern, seperti yang terkandung dalam semangat “kambali ka nagari”. “Kambali ka
nagari” adalah kerinduan masyarakat adat minangkabau untuk memulihkan identitas nagari dalam
bingkai Negara Republik Indonesia dengan upaya menghilangkan dikotomi pemerintahan formalinformal yang mengakibatkan kehancuran nagari dimasa orde baru. Seperti yang disebut diatas,
penghancuran nagari tersebut berakibat buruk pada fundamen-fundamen budaya nagari seperti,
melunturnya hukum adat, hilangnya hak ulayat oleh paksaan hukum Negara, dan tentunya
memudarnya identitas nagari sebagai ―Republik kecil.‖

9|

Pemekaran nagari memperkuat lagi dikotomi formal-informal diatas, nagari dipecah lagi antara
sistem pemerintahan adat (KAN) dengan sistem pemerintahan administrasi (Pemerintahan Nagari)
sehingga sulit mengkonsilidasikan diri dari ancaman-ancaman perubahan hukum, ekonomi dan
politik. Misalnya soal pengelolaan ulayat nagari; apakah diurus oleh pemerintah nagari atau KAN dan
apabila diurus oleh KAN, sejauh mana KAN dapat mengelola dan mengontrol anggaran negara dan
hal-hal lain yang bersifat administratif dalam pengelolaan ulayat nagari. Kondisi tersebut menyulitkan
upaya maksimalisasi pengelolaan ulayat nagari untuk kesejahteraan masyarakat di nagari karena
kontrol administratif berada ditangan pemerintahan nagari.
Model desentralisasi administratif tersebut mempermudah akumulasi sumber daya alam oleh elit-elit
politik lokal. Tren hari ini menunjukkan begitu masifnya pertambangan-pertambangan skala kecil
yang dikeluarkan Pemerintah Daerah. Pertambangan skala kecil tersebut muncul karena penyebaran
deposit sumber daya tambang yang tersebar merata di hampir seluruh wilayah kabupaten-kabupaten
di sumatera barat. Akumulasi tambang-tambang ini berakibat pada kerusakan sumber daya alam yang
serius terutama diwilayah-wilayah hulu DAS, seperti DAS Batanghari, Rokan, dan tentunya juga
membaranya konflik tenurial. Pemekaran nagari yang marak hari ini memperlemah kontrol nagari
terhadap pemanfaatan ekstraksi sumber daya alam oleh pemerintah daerah dan pemilik modal.
Tren pemekaran nagari juga mempengaruhi proses negosiasi-negosiasi masyarakat adat (nagari) bagi
tanah-tanah yang telah dimanfaatkan oleh pemilik modal. Contohnya adalah pemekaran nagari di
kabupaten solok selatan mempengaruhi klaim adat atas HPH yang dikelola oleh PT. AMT, dan klaimklaim masyarakat terbagi menjadi dua klaim yaitu klaim adat oleh KAN dan klaim masyarakat lokal
oleh pemerintah nagari.
Akhirnya, desentralisasi pengelolaan sumber daya alam di sumatera barat masih pada aras desentralisasi
administratif sehingga kontra produktif dengan penguatan dan pengakuan masyarakat adat dalam
pengelolaan sumber daya alam (atau dalam konteks lebih luas; demokratisasi PSDA). Tentunya, tren
politik lokal ini juga menjadi pertimbangan reflektif bagi kita semua masyarakat adat dalam menyusun
strategi penguatan hukum adat kedepan.
4
Tantangan Dan Peluang Pengelolaan Sumber Daya Alam Nagari
Tantangan pembaruan hukum untuk memperkuat nagari dalam Pengelolaan SDA di sumatera barat
terbagi atas dua hal, yaitu ; tantangan objektif hukum dan politik daerah dan tantangan internal nagari

10 |

(masyarakat adat). Tantangan objektif hukum dan politik daerah—sebenarnya telah di jelaskan dalam sub
topik sebelumnya— terkait penguatan dan pengakuan hak-hak nagari, yaitu :
1. Masih adanya dikotomi pemerintahan formal (pemerintahan nagari) dengan pemerintahan informal
(KAN) dalam tubuh nagari melahirkan kerentanan nagari atas dinamika perubahan hukum dan
politik, misalnya pemekaran pemerintahan nagari berakibat pada pengulangan kembali sistem
pemerintahan desa yang merusak tatanan nagari di masa orde baru dalam wujud, proses dan cara yang
baru di masa reformasi ini. Selain itu, dikotomi ini juga berakibat pada tumpang tindih penguasaan
ulayat nagari antara KAN dengan Pemerintah Nagari sehingga melahirkan ketegangan-ketegangan
diantara kedua instutusi ini di nagari.

2. Perda tanah ulayat yang mencoba menguatkan hak ulayat dalam pengelolaan sumber daya alam masih
terbentur oleh sentralisasi dan sektoralisasi kebijakan sumber daya alam, terutama kehutanan. selain
itu perda tanah ulayat belum diiringi dengan kebijakan-kebijakan operasional (perda kabupaten dan
peraturan gubernur) sehingga semangat pengembalian tanah ulayat paska HGU menjadi terkendala.

3. Lembaga judicial masih menganut pendekatan formalistik dalam penyelesaian konflik sumber daya
alam yang berhubungan dengan hak ulayat yang bersifat vertikal. Hal tersebut berpengaruh pada
aksestibilitas pencari keadilan dari kelompok masyarakat adat.

4. Lemahnya akuntabilitas lembaga-lembaga publik dalam pengelolaan sumber daya alam
mempengaruhi eksistensi hak ulayat dan penyelesaian konflik sumber daya alam. Seperti
akuntabilitas tindakan-tindakan administratif dalam penetapan kawasan hutan, penetapan HGU dan
lain-lain.

5. Desentralisasi administratif yang dianut dalam sistem pemerintahan daerah belum mampu
membangun akuntabilitas pemerintah daerah dengan masyarakat adat, termasuk didalamnya dalam
pengelolaan sumber daya alam sehingga keterlibatan nagari dalam pengambilan keputusan-keputusan
dalam pengelolaan sumber daya alam didaerah lemah.

6. Desentralisasi melahirkan tren politik lokal yang mengutamakan kepentingan elit daerah dan partai
politik dalam pengelolaan sumber daya alam yang mengancam eksistensi hak ulayat (hukum rakyat).
Hal tersebut berakibat pada lahirnya kebijakan-kebijakan pemerintah daerah yang kontraproduktif
dalam penguatan hukum adat, seperti kebijakan pemekaran nagari untuk kepentingan penambahan

11 |

anggaran daerah dan pemekaran kabupaten, izin-izin pemanfaatan sumber daya alam ekstraktif yang
merusak lingkungan.
Dalam setiap tantangan pasti terdapat peluang. Adapun peluang hukum yang bisa dikembangkan adalah :
1. Perda nagari dapat menjadi alat memperkuat hak ulayat dan hukum adat dalam pengelolaan sumber
daya alam dengan melakukan pengorganisasian nagari sebagai kesatuan masyarakat adat sekaligus
bagian dari sistem pemerintah administrasi dengan membangun konsensus antara KAN dan
Pemerintah nagari dalam pengelolaan sumber daya alam di nagari—termasuk didalamnya penguatan
manajemen suku ini.

2. Perda tanah ulayat dapat menjadi alat negosiasi untuk pengembalian tanah ulayat (kembali ke bentuk
semula) paska HGU dengan mendorong operasionalisasi pasal pengembalian tersebut dalam
peraturan daerah ditingkat kabupaten.

3. Perda tanah ulayat dapat mengikat pemerintah daerah untuk menjalankan upaya penyelesaian konflik
horizontal (terutama batas nagari) dengan mendorong lahirnya peraturan operasional tentang
penyelesaian konflik ulayat.

4. Penyelesaian konflik yang bersifat vertikal dapat didorong mekanisme alternatif penyelesaian
sengketa seperti negosiasi dan mediasi, baik itu terhadap kelompok pemilik modal maupun
pemerintah.
5. Dalam konteks konflik kehutanan, perlu adanya alternatif pengelolaan kolaboratif masyarakat adat –
pemerintah melalui skema-skema kebijakan kehutanan, seperti hutan desa dan Hkm. Paling tidak,
skema-skema tersebut membuka akses nagari dalam pengelolaan hutan yang kemudian diperkuat
dengan konsolidasi elemen-elemen nagari dalam pengelolaan hutan.

6. Dalam konteks tren politik lokal, perlu adanya pendidikan-pendidikan hukum adat dan negara yang
lebih intens di nagari-nagari untuk mencegah implikasi negatif dari politisasi nagari untuk
kepentingan kelompok elit di daerah. Selain itu, memperbesar interaksi nagari-nagari dalam konteks
penguatan hukum rakyat perlu dilakukan, terutama bagi pengambil kebijakan di daerah.

12 |

5
Kesimpulan
Dari penjabaran diatas, maka kita dapat dimabil kesimpulan sebagai berikut ;
1. Pembaruan hukum di sumatera barat dalam penguatan dan pengakuan hak ulayat dan hak-hak
masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya di topang oleh dua kebijakan daerah, yaitu perda
nagari dan perda tanah ulayat. Kedua perda ini menjadi semacam fundamen mempertegas interaksi
antara nagari sebagai subjek hak dan ulayat sebagai objek hak dan hak ulayat sebagai hubungan
hukumnya dalam pengelolaan sumber daya alam oleh nagari.
2. Perda nagari masih meninggalkan persoalan dikotomi antara pemerintahan formil administratif
dengan pemerintahan informal adat yang mengakibatkan kerentanan nagari dalam dinamika politik
dan hukum di sumatera barat.
3. Perda tanah ulayat belum efektif bekerja akibat belum lahirnya kebijakan-kebijakan operasional,
khususnya di tingkat kabupaten.
4. Desentraliasi pengelolaan sumber daya alam masih pada desentraliasi administratif bukan
desentaralisasi politik sehingga memperlemah hubungan rakyat (masyarakat adat) dengan pemerintah
daerah dalam pengambilan keputusan didaerah. Hal tersebut menyebabkan kepentingan politik elit di
dalam pengambilan keputusan (kebijakan) di daerah lebih kental.
5. Kebijakan kehutanan masih sentralistik sehingga efektifitas perda tanah ulayat dan perda tanah nagari
belum efektif dikawasan hutan.

6
Rekomendasi
Dari kesimpulan diatas, maka kita dapat merekomendasikan hal-hal dibawah ini untuk memperkuat hak
nagari dalam pengelolaan SDA, yaitu :
1. Kaji ulang Perda Nagari berdasarkan semangat “kembali ka nagari” dengan menyatukan fungsi
administratif pemerintah daerah dengan fungsi pemerintahan adat.
2. Memperkuat perda tanah ulayat dengan memproduksi peraturan operasionalnya, baik itu peraturan
gubernur dan Perda Kabupaten/kota.
3. Membangun pengelolaan kolaborasi antara Departemen kehutanan, Pemerintah Daerah dan Nagari
untuk mengelola SDA di kawasan hutan, baik melalui skema-skema hutan desa, hutan
kemasyarakatan dan skema-skema kolaboratif lainnya.

13 |

4. Membangun mekanisme penyelesaian konflik pengelolaan SDA (hak ulayat) secara bersama antara
pemerintah daerah, nagari, LKAMM, penggiat masyarakat adat, baik untuk konflik yang bersifat
vertikal dan atau horizontal melalui kebijakan daerah—propinsi atau kabupaten/kota—berdasarkan
prinsip-prinsip nilai kearifan lokal.
5. Moratorium pemekaran nagari—kalaupun ada kebutuhan pemekaran nagari sebaiknya juga diiringi
dengan pemekaran secara adat.
6. Konsolidasi dan komunikasi yang intensif perlu dilakukan antara masyarakat adat (nagari), penggiat
hak masayarakat adat—LSM / NGO, Akademisi, praktisi, LKAMM dan perantau dengan pengambil
kebijakan di daerah dan pengambil kebijakan nasional, termasuk yang telah terjadi dalam
musyawarah adat ini untuk memperkuat (memproduksi) kebijakan-kebijakan hukum pro masyarakat
adat.

Referensi
Afrizal, 2007, The Nagari Community, Business and The State : The Origin and the Process of
Contemporary Agrarian Protest in West Sumatera, Indonesia, Sawit Watch and Forest Peoples

Programme, Bogor.
Asshiddiqie, Jimly, 2009, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, PT Buana Ilmu Populer kelompok
Gramedia, Jakarta
Firmansyah, Nurul dan Yance Arizona, 2008, Pemanfaatan Tanpa Jaminan Perlindungan; Kajian atas
Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No.6/2008 tentang Tanah Ulayat dan
Pemanfaatannya, HuMa dan Qbar, Jakarta

Kurniawarman (ed), 2007, Nasib Tenurial Adat Atas Kawasan Hutan : Tumpang Tindih Klaim Adat dan
Negara pada Aras Lokal Di Sumatera Barat, HuMa dan Qbar, Jakarta.Jakarta.

Kurniawarman, 2005, Hak Ulayat Nagari Atas Tanah Di Sumatera Barat : Jejak dan Agenda Untuk Era
Desentralisasi, Yayasan Kemala, World Resource Institute dan Qbar, Jakarta.

Putra, Yerri. S (ed), 2007, Minangkabau Di Persimpangan Generasi, Fakultas Sastra Universitas Andalas
Padang
Simarmata, Rikardo, 2006, Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat Di Indonesia , RIPP / UNDP,
Bangkok.

14 |

Webb, Edward L and Ganesh P. Shivakoti, 2007, Decentralization, Forest and Rural Communities;
Policy Outcomes In South And Southeast Asia , Sage Publications.

Wittayapak, Chusak and Peter Vandergeest (ed), 2005, The Politics of Decentralization Natural Resource
Management In Asia, Mekong Press, Chiang May.

15 |

Dokumen yang terkait

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24