Peluang Dan Tantangan Penulisan Ilmiah B

1

PELUANG DAN TANTANGAN PENULISAN
ILMIAH BIDANG PERPUSTAKAAN DAN
INFORMASI DI INDONESIA
Iswanda Fauzan S.1 | iswanda.fauzan@outlook.com | http:oejankindro.tk

“I have always imagined that paradise will be a kind of library”
- Jorge Luis Borges, Poema de los Dones from El Hacedor, 1960

____________________

Mukadimah
Disadari atau tidak, hakekat ilmu perpustakaan dan informasi pada dasarnya berawal
dari adanya sebuah tulisan. Anda bisa membayangkan jika tidak ada tulisan, mungkin
tidak ada bidang ilmu perpustakaan dan informasi. Alasannya, definisi yang diberikan
oleh para ahli dan organisasi di bidang ilmu perpustakaan selalu mencantumkan kata
„terekam‟ (recorded) dalam isitilah-istilah terkait kepustakawanan. Hal ini menunjukkan
bahwa peran tulisan dalam eksistensi perpustakaan selalu berjalan selaras dengan
perkembangan karya terekam, baik tercetak dan tidak tercetak (multimedia). Saat ini
sudah berkembang pula media elektronik dan dukungan teknologi informasi dan

komunikasi di perpustakaan – yang memaksakan tantangan-tantangan baru bagi dunia
perpustakaan.
Keadaan tersebut juga secara langsung berdampak pada eksistensi profesi pustakawan,
baik yang bekerja di perpustakaan, institusi pendidikan (baca:pengajar), dan peneliti di
bidang perpustakaan dan informasi. Definisi pustakawan menurut International
Encyclopedia of Information and Library Science tahun 1997 dapat dikategorikan
menjadi tiga, yaitu; (1) Tradisional, pada term ini, pustakawan berperan sebagai kurator
koleksi (buku) dan sumber/material informasi lainnya untuk selanjutnya disebarluaskan
kepada pengguna; (2) Modern, pustakawan berperan sebagai menejer dari sekumpulan
sumber informasi terseleksi dan melalui proses menejemen koleksi, pengorganisasian
informasi, kebijakan akses, dan menyebarluaskan informasi tersebut kepada pengguna
secara luas (lokal atau jarak jauh); (3) Modern Lanjutan, pustakawan saat ini juga
berperan sebagai mediator aksesibilitas informasi dari berbagai tipe pengguna. Hal ini
kemudian memunculkan kegiatan referensi (Chowdhury et.al., 2008:3).
Gorman (2008) menjelaskan beberapa aktivitas pustakawan abad 21 meliputi kegiatan:
seleksi, akuisisi, organisasi dan akses, preservasi dan konservasi, layanan dan
pendidikan pengguna, dan menejemen. Namun demikian, Gorman menambahkan bahwa
seorang pustakawan harus meningkatkan kualifikasi dengan menempuh pendidikan dan
mencari pengalaman guna mendukung pekerjaannya (Gorman, 2008:13-14). Pendapatpendapat tersebut mengindikasikan bahwa pustakawan di Abad 21 perlu terus
mengembangkan diri guna mengimbangi perkembangan zaman, baik melalui kegiatan

penelitian, kegiatan organisasi, dan penerbitan buku-buku bidang perpustakaan dan
informasi. Berdasarkan perkembangan definisi tersebut, fungsi pustakwan saat ini akan
1

Peneliti Bidang Ilmu Perpustakaan dan Informasi
* Disampaikan pada Stadium Generale Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi, UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta. Kamis, 3 April 2014.

2
cenderung bersifat edukatif dan aplikatif. Artinya, pustakawan harus menunjukkan
eksistensi diri sebagai profesional – jika pustakawan ingin „dianggap‟ sebagai profesi –
sehingga mampu memberikan sumbangsih untuk ilmu pengetahuan, khususnya di
bidang ilmu perpustakaan dan informasi, serta mampu meningkatkan kualitas layanan
perpustakaan. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan
produktifitas penulisan karya ilmiah di bidang ilmu perpustakaan dan informasi.
Pada hakekatnya, penulisan ilmiah memiliki beberapa parameter untuk bisa dikatakan
„ilmiah‟. Karya ilmiah dapat berupa skripsi, thesis, laporan penelitian, makalah, kertas
kerja, resensi, esai, dan artikel ilmiah. Ragam bentuk karya ilmiah tersebut memiliki
ciri-ciri khusus sehingga disebut karya ilmiah yang dikenal dengan ABCEL, yaitu;
accurate, brief, clear, ethical, dan logical. Perbadaan tulisan ilmiah dan non-ilmiah yang

paling krusial adalah adanya peer review sebelum tulisan tersebut dikonsumsi publik.
Secara garis besar, anatomi tulisan ilmiah terdiri dari 10 bagian, yaitu: judul, kredit,
abstrak, kata kunci, pendahuluan, metode, hasil (penyajian data dan pembahasan),
simpulan, persantunan (acknowledgement), dan daftar referensi/rujukan.
Tulisan ini tidak membahas secara detail teknis penulisan ilmiah. Pembahasan pada
tulisan ini hanya difokuskan pada hal-hal subtantif tentang peluang dan tantangan
penulisan ilmiah bidang ilmu perpustakaan dan informasi. Untuk pedoman tentang teknis
penulisan ilmiah, di Indonesia sudah banyak lembaga pendidikan dan lembaga
pemerintahan yang mengulasnya –sebagian besar diadaptasi dari UNESCO Publications
Guidelines 2010, misalnya Peraturan Dirjen Dikti No. 29/DIKTI/Kep/2011 tentang
Pedoman Akreditasi Terbitan Berkala Ilmiah.

Mengapa Harus Menulis?
Catatan mengenai publikasi ilmiah dan non-ilmiah bidang ilmu perpustakaan dan
informasi tidak seburuk yang dibayangkan. Sekitar satu setengah dekade yang lalu,
penelitian yang dilakukan Purnomowati dan Yuliastuti (2000) menunjukkan bahwa
terdapat 84 judul jurnal bidang ilmu perpustakaan dan informasi yang memiliki ISSN.
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa sebanyak 39 judul majalah (46,43%) masih
terbit, 32 judul (38,10%) tidak diketahui statusnya, 10 judul (11,9%) sudah tidak terbit,
dan 3 majalah (3,57%) berganti judul. Sebanyak 43,59% jurnal diterbitkan oleh

Perguruan Tinggi, 46,15% diterbitkan oleh lembaga departemen/non-departemen, dan
10,26% diterbitkan organisasi profesi. Hingga tahun 2001, tidak ada jurnal bidang ilmu
perpustakaan yang mendapatkan akreditasi oleh Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi
(DIKTI). Bahkan hingga pertengahan tahun 1999, belum ada satupun terbitan ilmiah di
bidang ilmu perpustakaan dan informasi. Penulis sempat melakukan penelusuran untuk
membuktikan temuan tersebut melalui SK DIKTI tahun 2011-2013 mengenai hasil
akreditasi terbitan berkala ilmiah, hasilnya pun hampir sama, tidak ada satupun jurnal
bidang ilmu perpustakaan dan informasi yang terakreditasi. Namun demikian, hasil
temuan ini masih perlu dikoreksi dan diselidiki lebih lanjut.
Informasi tambahan mengenai hasil studi tersebut pernah ditulis oleh Purnomowati
(2001) dan Maria Ginting (2003). Purnomowati menyoroti standar tampilan majalah
bidang ilmu perpustakaan dan informasi yang sebagian besar tidak sesuai dengan
Standar Nasional Indonesia (SNI) 19-1950-1990 tentang standar nasional untuk
penyajian terbitan berkala (Purnomowati, 2001:29). Sedangkan informasi tambahan dari
Ginting merupakan koreksi atas temuan Purnomowati & Yuliastuti (2001). Ginting
menyebutkan bahwa terdapat 105 terbitan bidang ilmu perpustakaan dan informasi.

3
Data ini merupakan penambahan dari hasil temuan Purnomowati dan Yuliastuti (2000)
yang meliputi; 5 terbitan berganti judul (sebelumnya tercatat 3 judul), 12 terbitan

berseri (selain majalah), dan 7 terbitan yang baru terbit (Ginting, 2003:16).
Untuk terbitan buku, selama 53 tahun (1952-2005) pendidikan ilmu perpustakaan dan
informasi di Indonesia, hanya terdapat 237 buku di bidang ilmu perpustakaan dan
informasi. Jadi, selama kurun waktu tersebut, hanya terdapat 4-5 buku bidang ilmu
perpustakaan dan informasi per tahun. Selain itu, Sebagian besar buku yang terbit
hanya mengangkat isu-isu umum tentang perpustakaan dan bersifat pengulangan
tentang manual teknis perpustakaan. Hanya ada satu buku selama periode tersebut
yang membahas isu teoritis dan menggunakan perspektif multidisiplin yang ditulis Putu
Laxman Pendit tahun 2003 dengan judul Penelitian Ilmu Perpustakaan dan Informasi:
Suatu Pengantar Diskusi Epistemologis dan Metodologi. Baru pada tahun 2009 dua buku
serupa diterbitkan (Laksmi, 2006:576). Data lain mengenai terbitan buku bidang
perpustakaan dan informasi menyebutkan sebanyak 89 buku diterbitkan periode 19912001. Rata-rata terbitan buku pertahunnya –pada periode tersebut- berjumlah 8 sampai
9 buku. Sebanyak 8% atau 8 judul buku tersebut merupakan karya Prof. Sulistyo
Basuki, 30% (27 buku) merupakan karya kolaborasi dan termasuk karya terjemahan,
dan 12 pustakawan yang menulis lebih dari dua judul buku pada periode tersebut
(Marzuki, 2002).
Berdasarkan data-data tentang publikasi bidang ilmu perpustakaan dan informasi di
atas, setidaknya akan muncul dua pertanyaan dikalangan pustakawan; mengapa hal itu
bisa terjadi? dan bagaimana upaya untuk memperbaiki hal tersebut? Jawaban tentang
hal tersebut sebenarnya sudah didiskusikan oleh tokoh-tokoh kepustakawanan Indonesia

sejak dahulu, misalnya; Tjitropranoto (1995) Penelitian dan Sumber Daya Manusia di
Bidang Perpustakaan; Mien Rifai (1997) Peran Pustakawan Indonesia dalam
Meningkatkan Nilai Tambah Hasil Penelitian di Abad ke XXI: Sebuah Harapan;
Hernandono (2005) Meretas Kebuntuhan Kepustakawanan Indonesia dilihat dari sisi
Sumber Daya Tenaga Perpustakaan; Harmaini (2006) Fungsional Pustakawan dan
Pemberdayaannya di Badan Litbang ESDM; Laksmi & Wijayanti (2012) Indonesian
Library and Information Science Research as the Social Construction Process, dan tentu
masih banyak pemikiran lainnya yang belum bisa Penulis cantumkan.
Tahun 2006 yang lalu, tepatnya pada Asia-Pasific Conference on Library and Information
Education & Practice di Nanyang Technology University, Taemin Kim Park menyajikan
sebuah makalah yang mungkin menyentak delegasi Indonesia yang hadir –diantaranya
Prof. Sulistyo Basuki, Dr. Laksmi, Luki Wijayanti, SIP., dan Pungki Purnomo, MLIS. Pada
kesempatan tersebut Park menyampaikan makalah berjudul Authorship from the Asia
and Pasific Region in Top Library and Information Science Journals. Sebanyak 1.273
artikel yang diterbitkan di 20 jurnal terkemuka2 bidang ilmu perpustakaan dan informasi
periode 1967-2005, tidak ada satupun kontributor dari Indonesia. Di kawasan ASEAN,
Indonesia sejajar dengan Vietnam dan berada di bawah Filipina (9 artikel), Thailand (16
artikel), Malaysia (17 artikel), dan sebanyak 127 artikel oleh Singapore. (Park, 2006:
557). Produktifitas penulisan ilmiah bidang perpustakaan di Indonesia sejak tahun 1985
hingga 2004, berdasarkan studi Sasmita & Nugraeni (2005), hanya berjumlah 122 judul.

Artinya, setiap tahun hanya ada 6 artikel yang diterbitkan. Selain itu, pada periode yang
sama, tercatat 105 laporan penelitian dimana 29 penelitian bersifat kolaboratif
(Hernandono, 2005:5).

2

Berdasarkan pengkategorian ISI (Institute for Scientific Information) Journal Citation Reports.

4
Sampai di sini, kegiatan menulis di kalangan akademisi dan praktisi perpustakaan dan
informasi harus bin wajib ditingkatkan. Penulis „tidak berani‟ menyajikan perbandingan
data tulisan, terbitan, atau penulis di bidang ilmu perpustakaan dan informasi Indonesia
dengan negara-negara lain di Asia, Eropa, dan Amerika. Ketidakberanian tersebut
didasari rasa optimisme yang sangat tinggi bahwa lima tahun lagi data-data tersebut
akan menampilkan tulisan, terbitan, dan penulis Indonesia bidang ilmu perpustakaan
dan informasi.

Kebiasaan Mengulang
Kebiasaan mengulang yang dimaksud adalah kebiasaan pengulangan topik penelitian
yang dilakukan oleh akademisi, baik mahasiswa dan pengajar di lingkungan perguruan

tinggi penyelenggara program studi ilmu perpustakaan dan informasi. Pendapat ini,
menurut hemat Penulis, tidak terlalu berlebihan dan tidak bermaksud merendahkan.
Keadaan demikian juga dialami beberapa disiplin ilmu lain yang ada di Indonesia.
Seringkali – bahkan hampir seluruh – topik tugas akhir mahasiswa program studi ilmu
perpustakaan dan informasi hanya membahas „kulit luar‟ ilmu perpustakaan dan
informasi. Misalnya; layanan perpustakaan, minat baca, pengembangan koleksi,
kepuasan pengguna, dan temu-kembali informasi. Studi yang dilakukan Risha Setyowati
(2012) menunjukkan bahwa kecenderungan topik skripsi mahasiswa S1 bidang ilmu
perpustakaan di Indonesia kurun waktu 2009-2011 terkerucut pada tiga topik utama,
yaitu; library services (11,3%), the information societies (11%), dan properties, needs,
quality, and value of information3 (8,85%). Padahal, merujuk pada Taksonomi bidang
ilmu informasi Hawkins (2003), terdapat 11 topik/subjek utama yang memiliki subsubjek –jika dijumlah keseluruhan- sebanyak 55 sbujek. Selain itu, Hawkins (2001)
pernah menawarkan peta ilmu informasi (information science map) dan memberikan
batasan antara subjek bidang ilmu perpustakaan dengan ilmu informasi4.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, kenyataan bahwa pengulangan topik dalam
penulisan ilmiah di kalangan mahasiswa ilmu perpustakaan dan informasi memang
masih rentan terjadi. Keadaan ini setidaknya disebabkan oleh tiga faktor; (1)
terbatasnya sumber rujukan tentang topik-topik lain di bidang ilmu perpustakaan dan
informasi, (2) keengganan atau kurangnya rasa percaya diri mahasiswa menulis topiktopik baru, atau (3) dorongan dan bimbingan dari pengajar atau dosen yang masih
kurang. Menurut hemat Penulis, faktor terakhir harus segera mendapat perhatian ekstra

keras dari seluruh pihak yang berkepentingan di bidang ilmu perpustakaan dan
informasi.
Pengalaman dan catatan beberapa penelitian yang pernah dilakukan sering
menempatkan kepentingan administratif profesi/jabatan sebagai pondasi untuk menulis
di kalangan akademisi dan praktisi bidang perpustakaan (Grafik 1). Hasil survei Laksmi
& Wijayanti (2012) menyatakan bahwa 64% penelitian bidang perpustakaan dan
informasi dilakukan atas dasar administratif (kelulusan, kenaikan jabatan, dan seminar).
Selanjutnya 15% atas kepentingan institusi dan akademis, 14% ikut-ikutan kolega, 3%
karena ada peluang dan lain-lain, 1% abstain (Laksmi & Wijayanti, 2012: 280).
3

Istilah diambil dari Information Science Taxonomy yang dikemukakan oleh Hawkins, Larson, dan Caton tahun
2003 dalam artikel yang berjudul Information Science Abstract: Tracking the Literature of Information
Science. Part 2: A New Taxonomy for Information Science.
4
Donald T. Hawkins. (2001). Information Science Abstract: Tracking the Literature of Information Science. Part
1: Definition and Map.

5


1%
3% 3%
Kepentingan Administratif

14%

Kepentinagan Institusi & Akademis
Ikut-ikutan Kolega
Ada Peluang

15%
64%

Lainnya
Abstain

Grafik 1. Alasan Akademisi dan Praktisi Bidang LIS Melakukan Peneltian
Sumber: Laksmi & Wijayanti (2012)

Hingga saat ini, kebiasaan melakukan penelitian atau menulis untuk dengan motivasi

kepentingan administratif memang masih banyak. Meskipun demikian, motivasi tersebut
tidak seluruhnya salah mengingat sistem yang mengharuskan seperti itu. Pendapat
Penulis di atas rasanya tidak berlebihan. Studi Maesaroh dan Genoni tahun 2009
menjelaskan perbandingan antara kecenderungan-kecenderungan pustakawan Indonesia
dalam hal Continuing Professional Development (CPD) dibandingkan dengan pustakawan
Australia.
Tabel 1. Continuing Professional Development (CPD)
Pustakawan Indonesia (%)
Fungsi / Aktivitas

Indonesia

Australia

Participation in professional organisations

23.0

8.2

17.2

13.8

Attending formal conferences, workshops
and training events
Participating in informal workplace learning

30.1

7.7

21.1

9.1

34.4

10.6

29.7

14.1

Research and publishing in the field of
Librarianship

11.8

4.3

4.0

1.8

Managing training and staff development

12.7

4.6

18.0

18.1

Sumber: Maesaroh & Genoni (2009).

Data tersebut hanya mencantumkan fungsi dan aktivitas yang sesuai/mengindikasikan
CPD. Analisis yang dikemukakan Maesaroh & Genoni terhadap aktivitas „Research and
Publishing‟ adalah sebagai berikut;
It is worth noting in particular that Indonesian respondents indicated a
considerably higher level of participation in “Research and publishing” that did
the Australians. This may be explained by the practice of using small research
projects as a promotional test in Indonesia, although they rarely result in formal
publication. (Maesaroh & Genoni, 2009:17).
Hal ini menunjukkan bahwa kebiasaan mengulang dan keberadaan sistem mengenai
penulisan karya ilmiah di bidang perpustakaan dan informasi masih perlu diperbaiki.
Terutama professional development activities (PDA) pustakawan. Dari 778 responden
penelitian Maesaroh & Genoni, dalam kurun waktu lima tahun, tercatat hanya 13.2%

6
(107) professional reading activity, 12.7% publication or preseantation of paper, 9.7%
conference attendance, dan 5.2% a personal study project yang dilakukan oleh
pustakawan Indonesia. Catatan Penulis, aktivitas pengembangan profesional pustakawan
–disamping motivasi administratif- juga perlu diimbangi dengan peningkatan
kompetensi, inovasi, dan kreatifitas. Akan terdengar lucu jika orang mengembargemborkan prinsip pembelajaran sepanjang hayat (life long learning) tapi dengan
„terbuka‟ menunjukkan hal tersebut tidak mampu diterapkan dalam kehidupan dan
lingkungannya sendiri.

Banyak Peluang Terbuang
Sub-judul di atas mungkin terkesan mendiskreditkan peluang menulis bidang
perpustakaan. Namun, keadaan ini selalu dihadapi beberapa penulis ataupun peneliti
bidang perpustakaan di beberapa negara. Penulis sempat berdiskusi melalui surel email
dengan seorang pustakawati bernama Mara Thacker dari University of Illinois, UrbanaChampaign beberapa waktu yang lalu. Pustakawan tersebut mengaku mengalami hal
yang sama, yaitu sering membuang peluang untuk menulis. Alasannya, budaya menulis
di sana sudah sangat maju untuk kalangan akademisi di bidang perpustakaan dan
informasi. Dengan demikian, pustakawan yang bekerja di perpustakaan seolah tidak
berkesempatan menulis karena akademisi memiliki kemampuan yang lebih memadahi
tentang penulisan. Ia juga mengakui bahwa profesi pustakawan di sana masih kurang
mendapat perhatian. Namun demikan, Mara menyadari organisasi profesi pustakawan di
Amerika sudah mapan dan kompeten di bidangnya masing-masing. Bidang masingmasing yang dimaksud adalah divisi-divisi yang berada dibawah American Library
Association (ALA). Saat ini ALA memiliki 11 divisi, 29 afiliasi profesi, dan puluhan chapter
di bebeberapa negara bagian.
Kisah di atas bertolak belakang dengan kondisi organisasi profesi pustakawan di
Indonesia, yaitu Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI). Sejak berdiri pada 1973 melalui
Kongres Pustakawan se-Indonesia di Ciawi, IPI sebenarnya sudah memiliki 5 bidang dan
tiga komisi untuk membantu melaksanakan program IPI. Terdapat dua komisi IPI yang
sangat relevan dengan topik tulisan ini, yaitu Komisi Penerbitan dan Komisi Penelitian
dan Pengembangan. Hingga saat ini, derap langkah kedua komisi tersebut belum
menunjukkan hasil positif untuk perkembangan ilmu perpustakaan dan informasi di
Indonesia. Hal ini diakui oleh beberapa akademisi di bidang ilmu perpustakaan dan
informasi. Supriyatno (2006) menyebutkan peluang memperbaiki kepustakawanan
Indonesia sering kandas setelah kongres IPI dilaksankan. Meskipun demikian,
Supriyatno mensyukuri adanya penyelenggaraan kongres IPI yang rutin dan tertib dari
wakt ke waktu (Supriyanto, 2006:329). Laksmi & Wijayanti (2012) menyebutkan bahwa
perhatian IPI lebih banyak terfokus pada praktisi perpustakaan, termasuk fungsi,
kompetensi, dan hal teknis lainnya. Sedangkan perhatian untuk penelitian bidang ilmu
perpustakaan sangat kurang (Laksmi & Wijayanti, 2012: 278). Hal ini dapat menjadi
salah satu sebab aktivitas penulisan ilmiah di bidang ilmu perpustakaan dan informasi
masih belum maksimal.
Peluang yang terbuang tersebut bisa jadi disebabkan oleh „kesalahan fatal‟ yang
dilakukan para pekerja informasi itu sendiri. Setidaknya ada dua faktor yang
menyebabkan iklim penulisan bidang perpustakaan dan informasi di Indonesia belum
maksimal. Pertama, faktor internal pendidikan kepustakawanan yang masih rentan

7
terhadap serangan teknologi informasi dan komunikasi5, serta „kuman‟ pengulangan
seperti dijelaskan di atas. Artinya, proses transfer ilmu pengetahuan mengenai
perpustakaan dan informasi seperti terkurung pada hal-hal teknis semata, misalnya:
pengatalogan, klasifikasi, temu-kembali, pengindeksan, dan hal teknis lainnya. Hal ini
menyebabkan keluasan proses pendidikan kepustakawanan menjadi sempit dan
terkesan seolah-olah untuk „memenuhi permintaan pasar‟. Akibatnya, cakupan
pengetahuan dan kemampuan penelitian yang dimiliki lulusannya pun belum mampu
bersaing di kancah internasional.
Kedua, faktor eksternal yang mencakup bidang ilmu lain dan pustakawan asing. Bidang
ilmu lain yang dimaksud adalah ilmu-ilmu yang memiliki kedekatan dengan
perpustakaan dan informasi, misalnya: ilmu komputer dan informasi, ilmu psikologi, ilmu
komunikasi, ilmu antopologi, dan ilmu arsitektur. Selama kuliah, Penulis sering
menemukan artikel, skripsi atau thesis tentang perpustakaan dan informasi yang ditulis
oleh mahasiswa dari luar disiplin ilmu perpustakaan. Hal ini menjadi sebuah hal yang
patut dibanggakan dan juga direnungkan, bukan?
Mengenai pustakawan asing, istilah ini digunakan terhadap pemikiran-pemikiran yang
dibawa oleh pakar-pakar bidang perpustakaan dan informasi dari negara-negara lain.
Pendidikan perpustakaan dan informasi hadir di Indonesia sejak tahun 1948. Pada tahun
1990, tercatat sebanyak 27 perguruan tinggi penyelenggara pendidikan perpustakaan
dan informasi. Saat ini, Indonesia memiliki 33 perguruan tinggi penyelenggarakan
pendidikan perpustakaan dan informasi, baik Diploma, Sarjana, dan Pasca-Sarjana (lima
S2 dan satu S3). Berdasarkan jumlah tersebut, sebanyak 10 program studi
diselenggarakann oleh perguruan tinggi Islam, baik negeri maupun swasta, yaitu:
1. Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga – Yogyakarta (D3/S1/S2).
2. Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah – Jakarta (S1).
3. Universitas Islam Nusantara – Bandung (S1/D3).
4. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol-Padang (D3).
5. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry – Aceh (D3/S1).
6. Universitas Lampung (UNILA) – Lampung (D3)
7. Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin – Makasar (S1)
8. Universitas Muhammadiyah Mataram (D3).
9. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Antasari – Banjarmasin (D3)
10. UIN Sunan Ampel6 – Surabaya (S1).
Berdasarkan jumlah tersebut, secara porposional dan masuk akal, seharusnya sudah
banyak hasil pemikiran orisinal bidang perpustakaan yang diekstrak dari intisari lokal
dan diakui di dunia internasional. Kenyataannya, akar kepustakawanan Indonesia masih
belum digali lebih mendalam. Hal ini bisa dibuktikan dari beberapa kurikulum pendidikan
perpustakaan dan informasi di Indonesia yang sebagian besar masih „berkiblat‟ pada
Universitas Indonesia7 dengan modifikasi dan penyesuaian. Keadaan ini tentu harus
menjadi catatan tersendiri bagi penyelenggara pendidikan perpustakaan dan informasi.
Khusus penyelenggara pendidikan ilmu perpustakaan dan informasi dari kalangan
perguruan tinggi Islam di Indonesia. Peluang yang sering terbuang lebih cenderung
bersifat fundamental dan filosofis. Kenapa? Karena belum banyak akademisi yang
5

Simak ulasan Maesaroh & Genoni dalam Education and Continuing Professional Development for Indonesian
Academic Librarians: A Survei tahun 2009, hal. 15-17.
6
Sedang dalam proses pendirian dan sudah membuka pendaftaran mahasiswa baru TA 2014/2015.
7
Labibah Zain & John E. Leide (2001).

8
dengan tekun mendalami kepustakawanan Islam. Padahal, bibit-bibit kajian tentang hal
ini sudah banyak dicanangkan oleh beberapa akademisi, misalnya: Drs. Suali Fuad,
Sohibul Anshor, M.Hum., Dr. Zulfikar Zen, Nurdin Laugu, Siti Maryam, Ceria Isa
Ningtyas, Pungki Purnomo, MLIS., dan lain-lain. Peluang untuk menjadi ahli di bidang
kepustakawanan Islam di Indonesia sangat luas. Artinya, perlu ada sebuah kodifikasi
ulang tentang sistem dan paradigma tentang kepustakawanan di lingkungan perguruan
tinggi Islam untuk ilmu perpustakaan dan informasi.

Tantangan Terbesar: Lingkungan
Beberapa artikel mengenai publikasi ilmiah – bukan hanya di bidang Ilmu Perpustakaan
dan informasi – menekankan perhatian terhadap dukungan pemerintah dalam hal
penelitian masih kurang maksimal. Pendapat tersebut memang sangat relevan jika kita
membandingkan anggaran penelitian dan pengembangan (research and development)
dari negara-negara lain, khusunya negara yang sebagian penduduknya beragama Islam.
Isu ini sempat di bahas oleh Prof. Zaleha Kamaruddin dalam International Conference on
Islamic Leader di Kuala Lumpur Malaysia, September 2012. Jika melihat Grafik 2,
Indonesia sejak tahun 1998 hingga tahun 2007 „pelit‟ dalam hal investasi untuk
penelitian dan pengembangan.

Grafik 2. Anggaran Belanja Bidang Penelitian dan Pengembangan NegaraNegara Muslim Dunia Per Kapita.
Sumber: Prof. Dato’ Sri Dr. Zaleha Kamaruddin (2012)

Grafik di atas juga menjelaskan bahwa negara tetangga sudah mulai menaruh perhatian
serius pada bidang Penelitian dan Riset hampir dua dekade yang lalu. Sayangnya
pemerintah Indonesia belum memiliki pandangan yang sama waktu itu. Saat ini sudah
banyak inisiatif-inisiatif pemerintah untuk meingkatkan produktifitas penulisan karya
ilmiah, dan hal itu patut diapresiasi. Sayangnya, „khilaf‟ masa lalu pemerintah tersebut
belum banyak mengubah paradigma mahasiswa, dosen, dan praktisi di bidang ilmu
perpustakaan dan informasi. Penulis sempat mampir di kantor EFEO (École Française
D’Extréme-Orient) Jakarta, yaitu lembaga pemerintah Prancis untuk kajian Asia. Di sana
Penulis bertemu salah seorang koordinator berkebangsaan Belanda, dan beliau bercerita
mengenai watak peneliti dan penulis Indonesia yang kurang adaptif dan kooperatif.
Adaptif dalam hal ini lebih tertarik pada „yang datang‟ daripada „yang dimiliki‟.

9
Sedangkan kooperatif dapat diartikan subjektifitas pada peneliti dari luar negeri –
khusunya Eropa dan Amerika- lebih tinggi dari kepercayaan dirinya. Hal ini kemudian
menimbulkan prasangka yang kurang baik untuk proses penelitian dan perkembangan
ilmu pengetahuan.
Tantangan selanjutnya datang dari ketersediaan lembaga penelitian di Indonesia,
khususnya di bidang ilmu perpustakaan dan informasi. Di Indonesia, lembaga yang
benar-benar fokus dalam kepustakawanan Islam sudah ada, yaitu Pusat Perpustakaan
Islam Indonesia. Pada mulanya Pusat Perpustakaan Islam Indonesia (PPII) dirintis oleh
Pusat Dakwah Islam Indonesia (PDII) sebagai tindak lanjut dari rekomendasi Seminar
Nasional Dakwah pada tahun 1969, bahwa di lingkungan Masjid Istiqlal perlu adanya
perpustakaan Islam dalam rangka memenuhi kebutuhan sumber-sumber informasi Islam
bagi para ulama dan msyarakat Islam pada umumnya. Visi PPII adalah “Mewujudkan
Perpustakaan Islam modern dengan koleksi berkualitas, sistem pengolahan yang
mutkhir dan sumberdaya manusia yang profesional” dengan salah satu misinya untuk
“Membangun ketenagaan perpustakaan Islam”. Namun demikian, perkembangan terkini
tentang visi dan misi tersebut memang kurang menggembirakan (Iswanda, 2012:324).
Beberapa negara, baik mayoritas penduduknya beragama Islam atau tidak, dewasa ini
telah memiliki pusat penelitian kepustakawanan berbasis Islam 8. Misalnya tetangga
dekat kita, Malaysia, sudah mencanangkan perpustakaan penelitian Islam pada tahun
1974 dengan nama Perpustakaan Penyelidikan Islam (Islamic Research Library) yang
terletak di Jl. Duta, Kompleks Pejabat Kerajaan, Kuala Lumpur, Malaysia. Sedangkan
Singapore punya Muslim Missionary Society Singapore Library (Jamiyah Library) yang
didirikan pada 1979 dan berlokasi di PKM Building, Lorong 108-Changi, Singapore. Lalu
pada tahun 1980 didirikan Islamic Library Association Library di Farralone Ave, Cagona
Park, California. Hal tentu akan memberikan banyak peluang bagi pustakawanpustakawan muda Islam untuk berkiprah di dunia internasional. Jumlah mayoritas
penduduk Indonesia yang beragama Islam dan kekayaan latar belakang sejarah Islam
merupakan modal besar yang tidak selayaknya dihamburkan.
Tantangan yang paling besar dalam penulisan ilmiah bidang ilmu perpustakaan dan
informasi, menurut hemat penulis, datang dari lingkungan institusi di mana bibit-bibit
kepustakawanan lahir (perguruan tinggi, PNRI, museum, ANRI, PDII-LIPI, dan Yayasan
perpustakaan). Tidak banyak institusi bidang perpustakaan dan informasi menekankan
pentingnya penelitian dan penulisan, terutama institusi penyelenggara pendidikan
perpustakaan dan informasi. Hal ini dialami Penulis ketika menempuh pendidikan di
Universitas Indonesia. Seringkali Penulis menemukan „kebuntuhan berpikir‟ ketika
dihadapkan pada diskusi-diskusi kelas. Hal ini disebabkan kemutakhiran referensi yang
digunakan pengajar berbeda dari apa yang sudah berkembang di masyarakat.
Analoginya, akademisi bidang perpustakaan dan informasi di Indonesia tidak „berlari‟
bersama praktisinya. Laksmi & Wijayanti (2012) menempatkan change our mindset
sebagai rekomendasi pertama perbaikan iklim penulisan ilmiah bidang perpustakaan dan
informasi. Pertanyaannya, apakah kita menunggu ada peristiwa besar yang mengganti
cara berpikir kita, atau mengganti sendiri cara berpikir kita? Jawabannya sudah jelas di
dalam Al-Qur‟an surah Ar-Ra‟d ayat 11, bukan?

8

Library Catalog & Listing – Islamic Library. http://islamic-libraries.webs.com/librarycatalogslistings.htm

10
Dari Kebiasaan Mengulang ke Membuka Peluang
Kiranya perubahan pola pikir (mindset) merupakan hal dasar yang harus disadari dan
dibenahi untuk bisa membuka peluang akademisi dan praktisi bidang ilmu perpustakaan
dan informasi untuk move on. Masa lalu atau kebiasaan mengulang mungkin masih
menjadi hal sulit dihilangkan. Namun demikian, tidak selamanya mengulang itu buruk.
Pengulangan adalah cara yang baik untuk tetap menjaga konsistensi dan benang merah
perkembangan ilmu pengetahuan. Berdasarkan fakta dan data tentang kondisi penulisan
bidang ilmu perpustakaan dan informasi di atas, Penulis menawarkan konsep sederhana
guna meningkatkan/mengembangkan produktifitas publikasi ilmiah bidang perpustakaan
(Grafik 3). Pengembangan publikasi di bidang ilmu perpustakaan dan informasi, menurut
hemat penulis, dapat dilakukan dengan inklusifisasi pandangan terhadap objek maupun
subjek penelitian. Caranya adalah dengan „meminjam‟ objek atau subjek penelitian
bidang ilmu lain untuk selanjutnya dikaji melalui perspektif bidang ilmu perpustakaan
dan informasi. Misalnya; (1) Persepsi sosial perpustakaan dan pustakawan dengan
pendekatan psikologi sosial, (2) preferensi desain ruangan perpustakaan dengan
pendekatan arsitektur, (3) Kajian sejarah sistem penyitiran buku-buku Islam khusus
Kitab Kuning, (4) Masyarakat ekonomi modern dilihat dari perspektif kebebasan
informasi, dan lain sebagainya.

Grafik 3. Konsep Pengembangan Publikasi LIS di Indonesia

11
Konsep ini tersinspirasi dari telur ayam, dimana kuning telur merupakan inti, putih telur
sebagai perantara, dan cangkang telur adalah penampakan wujud kepada semua orang.
Kita harus menyadari bahwa ilmu perpustakaan dan informasi bersifat edukatif dan
aplikatif. Inti pengembangan publikasi ilmiah bidang perpustakaan di Indonesia terdiri
dari empat unsur: akademisi, praktisi, institusi, dan penerbit. Namun demikian, keempat
inti tersebut tidak akan mampu menembus belantara aspek kehidupan masyarakat
tanpa kolaborasi yang kuat. Jika sudah berkolaborasi dengan baik, bukan tidak mungkin
kajian-kajian, laporan penelitian, artikel ilmiah, dan tulisan lain bidang perpustakaan
akan dikonsumsi juga oleh masyarakat luas. Tentu hal ini membutuhkan perubahan pola
pikir dalam hal penulisan seperti diungkapkan pada paragraf di atas. Penjelasan lebih
detail tentang konsep di atas akan diutarakan pada kesempatan lain.
Konsep pengembangan publikasi di atas akan lebih maksimal jika akademisi dan praktisi
mengkaji lebih dalam akar kepustakawanan Indonesia, yaitu khazanah lokal tentang
kepustakawanan yang ada di Indonesia. Kajian ini dapat memanfaatkan pendekatan
studi lokal (local studies), baik dari sudut pandang kesejarahan, tradisi, antropologi, dan
budaya yang di Indonesia. Alasannya, semakin dangkal pengkajian, akan berdampak
pada semakin jauhnya jarak dengan perkembangan ilmu perpustakaan dan informasi
dunia, dan Kepustakawanan Indonesia akan semakian jauh tertinggal. Di sisi lain, proses
pengkajian akar kepustakawanan Indonesia memiliki hubungan dengan perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi yang mewabah di bidang perpustakaan. Tentu hal ini
harus mendapat perhatian, baik dari kalangan akademisi dan praktisi. Untuk
menemukan akar kepustakawanan Indonesia, Penulis menawarkan kurva keseimbangan
antara akademisi dan praktisi di bidang perpustakaan dan informasi.

Grafik 4. Kurva Keseimbangan Akademisi dan Praktisi Bidang
Perpustakaan dan Informasi

Berdasarkan grafik tersebut, akar kepustakawanan –yang merupakan modal dasar
penulisan bidang kepustakawanan di Indonesia- hanya bisa dicapai jika akademisi dan
praktisi berjalan beriringan. Semakin tinggi produktifitas akademisi dan praktisi menulis
dan mempublikasikan karya ilmiah, maka semakin besar pula akar kepustakawanan

12
yang akan tergali. Sedangkan jika salah satunya terhambat, akar kepustakawanan juga
akan semakin sulit digali dan dipelajari.
Proses penggalian akar kepustakawanan seperti dijelaskan tersebut juga harus
diimbangi dengan proses „daur ulang‟ di bidang ilmu perpustakaan dan informasi di
Indonesia. Termasuk fokus keahlian yang ditawarkan oleh penyelenggara pendidikan
perpustakaan dan informasi. Misalnya, program studi perpustakaan UIN Jakarta yang
fokus pada kajian-kajian penulisan ilmiah perpustakaan dan informasi Islam, Universitas
Padjadjaran dengan kajian komunikasi di bidang perpustakaan, Universitas Indonesia
dengan fokus konstruksi sosial dan kebudayaan di bidang perpustakaan, Universitas
Airlangga dengan fokus politik pemerintahan di bidang perpustakaan, dan banyak
lainnya. Dengan demikian, proses transfer dan perkembangan ilmu di bidang
perpustakaan dan informasi akan berkembang pesat –karena lebih komprehensif,
aplikatif, dan edukatif. Sehingga pada akhirnya ilmu perpustakaan dan informasi
disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain yang sudah lebih dahulu ngetop di Indonesia. Tentu
hal ini juga harus diimbangi oleh praktisi-praktisi bidang perpustakaan dan informasi.

Refleksi, Rekomendasi, dan Penutup
Harus diakui dan wajib menjadi bahan rengungan bahwa iklim penulisan ilmiah bidang
ilmu informasi dan perpustakaan di Indonesia masih lemah. Sudah menjadi tanggung
jawab bersama di kalangan akademisi dan praktisi untuk bahu-membahu, gotong
royong, dan berkolaborasi untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas tulisan ilmiah di
bidang ilmu perpustakaan dan informasi. Guna mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan
perubahan-perubahan berikut:
1. Perubahan pola pikir (mindset); dengan mengubah pola pikir akan kebutuhan
tulisan-tulisan ilmiah sebagai salah satu penopang utama perkembangan ilmu
perpustakaan dan informasi di Indonesia.
2. Pengkajian ulang/perbaikan kurikulum pendidikan kepustakawanan; hal ini perlu
dilakukan untuk meningkatkan minat calon-calon pustakawan terhadap penulisan
ilmiah.
3. Pembentukan lembaga-lembaga riset bidang perpustakaan; adanya lembaga riset
akan secara langsung mendorong publikasi tulisan ilmiah bidang perpustakaan.
Selain itu, lembaga riset akan memiliki peran sebagai pembina tentang penulisan
ilmiah bidang perpustakaan dan informasi.
4. Penyediaan sistem pendaan riset bidang perpustakaan; hal ini akan bermanfaat
untuk mendorong peneliti melakukan lebih banyak riset. Hingga saat ini
keterbasan dana masih menjadi masalah klasik peneliti di Indonesia.
5. Memperbanyak kuantitas dan meningkatkan kualitas terbitan; semakin banyak
wadah publikasi ilmiah bidang ilmu perpustakaan dan informasi akan
memudahkan peningkatan kualitas terbitan atau tulisan.
6. Kolaborasi antar-penulis dan antar-lembaga yang memiliki kepentingan dalam
bidang perpustakaan dan informasi; kolaborasi tersebut dapat menjadi modal
sosial dalam pelaksanaan perubahan 1-5 di atas. Dengan kata lain, „puzzle‟
kepustakawanan di Indonesia sudah waktunya disusun dan disatukan kembali.
Tulisan singkat ini masih mengulas kulit luar tentang peluang dan tantangan penulisan
ilmiah di bidang ilmu perpustakaan dan informasi. Perlu adanya sebuah studi dan diskusi
lanjutan untuk benar-benar mengetahui besaran peluang dan tantangan tersebut.

13
Daftar Referensi

Chowdhury, GG, Paul F, Burton, David McMenemy, dan Alan Poutler. (2008).
Librarianship: an Introduction. London: Facet Publishing.
Farida, I. & Purnomo, P. (2006). Library and Information Education at Islamic
Universities in Indonesia: Obstacles and Opportunities. Proceedings of the AsiaPasific Conference on Library and Information Education and Practice 2006 – ALIEP 2006, Nanyang Technological University, Singapore (pp. 353-357).
Gorman, M. (2000). Our Enduring Values: Librarianship in the 21st Century. American
Library Association
Ginting, Maria. (2003). Terbitan Berseri Indonesia Bidang Ilmu Perpustakaan dan
Informasi. BACA, vol. 27, No.1 April 2003: 15-19.
Hernandono. (2005). Meretas Kebuntuhan Kepustakawanan Indonesia dilihat dari sisi
Sumber Daya Tenaga Perpustakaan. Makalah Orasi Ilmiah dan Pengukuhan
Pustakawan Utama. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia: Jakarta.
Hawkins, Donald T. (2001). Information Science Abstract: Tracking the Literature of
Information Science. Part 1: Definition and Map. Journal of the American Society
for Information Science and Technology, 52 (1): 44-53.
Hawkins, Donald T., Larson, Signe E. & Caton, Bari Q. (2003). Information Science
Abstract: Tracking the Literature of Information Science. Part 2: New Taxonomy of
Information Science. Journal of the American Society for Information Science and
Technology, 54 (8): 771-781.
Indonesia. Peraturan Dirjen Dikti No. 29/DIKTI/Kep/2011 tentang Pedoman Akreditasi
Terbitan Berkala Ilmiah.
Iswanda-Fauzan. (2012). Center of Islamic Library: The Gateway to Increasing Islamic
Literacy. Proceeding of International Conference on Islamic Leader 2012, Royal
Chulan Hotel, Kuala Lumpur, Malaysia.
Kamaruddin, Zaleha. (2012). Prospect for Muslim Scolars in Research, Innovation, and
Creativity. Proceeding of International Conference on Islamic Leader 2012, Royal
Chulan Hotel, Kuala Lumpur, Malaysia.
Laksmi. (2006). The Development of the Library and Information Science Through
Publication of Books, 1952-2005. Proceedings of the Asia-Pasific Conference on
Library and Information Education and Practice 2006 – A-LIEP 2006, Nanyang
Technological University, Singapore (pp. 574-580)
Laksmi & Luki Wijayanti. (2012). Indonesian Library and Information Science Research
as the Social Construction Process dalam Library and Information Science: Trends
and Research. Howard House: Emerald Pltd.
Maesaroh, Imas and Genoni, Paul. (2009). Education And Continuing Professional
Development For Indonesian Academic Librarians: A Survey. Library Management.
30 (8/9).
Marazuki, Rusli. (2002). Buku Ajar Bidang Ilmu Perpustakaan Indonesia. Jakarta:
Yayasan Memajukan Jasa Informasi (YASMIN).

14
Park, Taemin Kim. (2006). Authorship from the Asia and Pasific Region in Top Library
and Information Science Journals. Proceedings of the Asia-Pasific Conference on
Library and Information Education and Practice 2006 – A-LIEP 2006, Nanyang
Technological University, Singapore (pp. 555-566).
Purnomowati, Sri & Yuliastuti, Rini. (2000). Inventarisasi Majalah Indonesia Bidang Ilmu
Perpustakaan dan Informasi. Marsela, 2 (2): 13-16.
Purnomowati, Sri. (2001). Kondisi Majalah Indonesia Bidang Ilmu Perpustakaan dan
Informasi di Awal Abad 21. BACA. Vol. 26 (1-2): 27-31.
Setyowati, Risha. (2012). Kecenderungan Topik Skripsi Mahasiswa S1 Bidang Ilmu
Perpustakaan di Indonesia Periode 2009-2011. Skripsi. Universitas Airlangga,
Surabaya.
Supriyatno. (2006). Meningkatkan Eksistensi IPI dalam Pengembangan Profesionalisme
Pustakawan dalam Aksentuasi Perpustakaan dan Pustakawan. Jakarta: Sagung
Seto.
Zain, Labibah & Leide, John E. (2001). Pendidikan Perpustakaan dan Kajian Informasi di
Indonesia. Artikel tersedia di http://eprints.rclis.org/9419/1/artikel_labibah.pdf (25
Maret 2014).