BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Variabel Keuangan dan Non Keuangan terhadap Underpricing pada Saham Perusahaan yang Melakukan Initial Public Offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia (Periode Januari 2007 sampai dengan Juni 2012)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Mengingat tajamnya kompetisi dan luasnya skala persaingan dewasa ini yang didukung oleh kemajuan teknologi dan komunikasi, go public merupakan jalan terbaik untuk mempertahankan kelangsungan perusahaan bahkan meningkatkan skala perusahaan untuk dapat menang dalam persaingan.

  Pengelolaan yang profesional ditunjang dengan modal yang memadai disertai dengan strategi yang yang tepat merupakan sesuatu yang mutlak harus dilakukan.

  Hal inilah yang mendorong timbulnya banyak sekali perusahaan-perusahaan yang melakukan go public saat ini. Adanya beberapa kelemahan bila perusahaan dikelola sendiri, baik dari segi kemampuan mengelola maupun dari segi permodalan mulai memberikan kesadaran kepada pemilik bahwa sudah seharusnya melibatkan pihak lain dalam mengembangkan usahanya.

  Go public mempunyai arti perusahaan yang menjual saham biasa atau

  saham preferen atau obligasi yang merupakan modal perusahaan (ekuitas dan utang jangka panjang) untuk pertama kalinya kepada masyarakat luas. Bagi perusahaan yang menjual saham kepada masyarakat berarti mendapat pilihan lain dalam mendapatkan modal guna meningkatkan omset perusahaan. Dana dari hasil penawaran umum tersebut biasanya digunakan untuk melakukan ekspansi, memperbaiki struktur modal atau melakukan divestasi. Bila tidak go public, permodalan perusahaan hanya bersumber dari perbankan yaitu dari kredit, dimana struktur modal perusahaan lebih banyak menggunakan utang. Karena bunga kredit harus selalu dibayar oleh perusahaan secara rutin (tidak bisa ditunda) dan sering suku bunga kredit sangat tinggi, berarti perusahaan mendapat modal dengan biaya yang mahal. Sebaliknya, jika go public maka perusahaan bisa memobilisasi dana tanpa batas dari masyarakat dan perusahaan akan dikelola secara profesional sehingga akan bertahan dalam jangka waktu yang sangat lama. Bagi investor, membeli saham perusahaan yang melakukan penawaran umum akan memberikan alternatif lain dalam memperoleh penghasilan. Dengan membeli saham atau obligasi, pemodal akan mendapat penghasilan dari sumber lain yaitu dividen,

  capital gain dan bunga obligasi (Widoatmodjo, 2009).

  Dalam proses go public, sebelum diperdagangkan di pasar sekunder, saham terlebih dahulu dijual di pasar primer atau sering disebut pasar perdana.

  Penawaran saham secara perdana ke publik melalui pasar perdana ini dikenal dengan istilah initial public offering (IPO). Harga saham yang akan dijual perusahaan pada pasar perdana ditentukan oleh kesepakatan antara emiten (perusahaan penerbit) dengan underwriter (penjamin emisi), sedangkan harga saham yang dijual pada pasar sekunder ditentukan oleh mekanisme pasar, yaitu permintaan dan penawaran (Kristiantari, 2012).

  Penentuan harga saham pada saat IPO merupakan faktor penting, baik bagi emiten maupun underwriter karena berkaitan dengan jumlah dana yang akan diperoleh emiten dan risiko yang akan ditanggung oleh underwriter. Jumlah dana yang diterima emiten adalah perkalian antara jumlah saham yang ditawarkan dengan harga per saham, sehingga semakin tinggi harga per saham maka dana yang diterima akan semakin besar. Hal ini mengakibatkan emiten seringkali menentukan harga saham yang dijual pada pasar perdana dengan membuka penawaran harga yang tinggi, karena menginginkan pemasukan dana semaksimal mungkin. Sedangkan underwriter sebagai penjamin emisi berusaha untuk meminimalkan risiko agar tidak mengalami kerugian akibat tidak terjualnya saham-saham yang ditawarkan, terutama dalam tipe penjaminan full commitment karena dalam tipe penjaminan ini pihak underwriter akan membeli saham yang tidak laku terjual (Ang, 1997 dalam Handayani 2008). Upaya yang dilakukan

  underwriter untuk mencegah tidak terjualnya saham-saham emiten adalah dengan melakukan negosiasi dengan emiten agar harga saham tersebut tidak terlalu tinggi.

  Apabila harga saham pada pasar perdana (IPO) lebih rendah dibandingkan dengan harga saham pada pasar sekunder pada hari pertama, maka akan terjadi

  underpricing . Sebaliknya, apabila harga saat IPO lebih tinggi dibandingkan

  dengan harga saham pada pasar sekunder pada hari pertama, maka fenomena ini disebut overpricing (Darmadji, 2001). Penelitian yang dilakukan oleh Aggrawal (1994) dalam Trisnaningsih (2005) menyimpulkan bahwa fenomena underpricing sering terjadi pada saat IPO.

  Menurut Beatty (1989) dalam Kristiantari (2012), kondisi underpricing menimbulkan dampak yang berbeda bagi perusahaan dan investor. Perusahaan akan tidak diuntungkan apabila terjadi underpricing, karena dana yang diperoleh dari go public tidak maksimum. Sedangkan bila terjadi overpricing, maka investor yang akan merugi, karena mereka tidak menerima initial return yaitu keuntungan yang diperoleh pemegang saham karena perbedaan harga saham yang dibeli di pasar perdana saat IPO dengan harga jual di hari pertama di pasar sekunder.

  Meskipun dalam berbagai literatur disebutkan bahwa tujuan utama perusahaan adalah meningkatkan nilai perusahaan melalui peningkatan kemakmuran pemilik atau para pemegang saham, tetapi yang terjadi adalah manajer perusahaan sering mempunyai tujuan yang berbeda yang mungkin bertentangan dengan tujuan utama tersebut. Hal ini menyebabkan timbul konflik kepentingan antara para manajer dan para pemegang saham perusahaan (agency

  problem ) karena manajemen mempunyai informasi mengenai perusahaan yang

  tidak dimiliki oleh pemegang saham (asimetri informasi) dan mempergunakannya untuk meningkatkan utilitasnya, padahal setiap pemakai bukan hanya manajemen membutuhkan informasi untuk pengambilan keputusan ekonomi (Darmadji, 2001).

  Asimetri informasi menjadi suatu penjelasan mengenai fenomena

  underpricing . Apabila tidak terjadi asimetri informasi antara emiten dan investor,

  maka harga penawaran saham akan sama dengan harga pasar sehingga tidak terjadi underpricing. Untuk mengurangi adanya asimetri informasi maka dilakukan penerbitan prospektus oleh perusahaan. Prospektus menjadi sangat penting keberadaannya jika perusahaan baru pertama kali menjual surat berharga kepada masyarakat sebab hanya dari sinilah masyarakat dapat memperoleh informasi tentang perusahaan tersebut.

  Informasi mengenai perusahaan yang akan melakukan IPO sangat penting dimiliki oleh para pihak yang akan menentukan harga saham pada saat IPO yaitu pihak emiten dan pihak underwriter. Ketidaksamaan informasi yang dimiliki oleh para pihak inilah yang dapat mengakibatkan perbedaan harga sehingga memungkinkan terjadinya underpricing. Asimetri informasi selalu terjadi, baik pada pasar perdana maupun pasar sekunder. Hal inilah yang menyebabkan masih banyaknya perusahaan go public yang mengalami underpricing sampai saat ini.

  Berikut ini adalah ilustrasi fenomena underpricing pada perusahaan non keuangan yang IPO di Bursa Efek Indonesia Periode Januari 2007 sampai dengan Juni 2012:

Tabel 1.1 Fenomena Underpricing Tahun 2007-2012 Kode Emiten Nama Perusahaan Tanggal

  IPO

Harga

Perdana

  

(Rp.)

Harga Sekunder (Rp.)

  Initial Return (%)

  BISI Bisi International Tbk 28-05-07 200 340 70,00 TRIL Triwira Insanlestari Tbk. 28-01-08 400 680 70,00

  MFMI Multifiling Mitra Indonesia Tbk. 29-12-10 200 340 70,00 PDES Destinasi Tirta Nusantara Tbk 08-07-08 200 340 70,00 GREN Evergreen Invesco Tbk 09-07-10 105 178 69,52 BEST

  Bekasi Fajar Industrial Estate Tbk 10-04-12 170 285 67,65 SRAJ Sejahteraraya Anugerahjaya Tbk 11-04-11 120 200 66,67

  HOME Hotel Mandarine Regency Tbk 17-07-08 110 183 66,36 ADRO Adaro Energy Tbk 16-07-08 1.100 1.730 57,27 BCIP Bumi Citra Permai Tbk 11-12-09 110 173 57,27 Sumiolah

  Berdasarkan Tabel 1.1 dapat dilihat besarnya nilai underpricing yang terjadi pada beberapa perusahaan non keuangan yang terpilih dalam sampel.

  Perusahaan-perusahaan tersebut merupakan sebagian dari jumlah sampel yang memiliki underpricing lebih tinggi dibandingkan perusahaan-perusahaan yang lain. Hal ini dapat dilihat pada perusahaan Bisi International Tbk, Triwira Insanlestari Tbk, Multifiling Mitra Indonesia Tbk dan Destinasi Tirta Nusantara

  Tbk dimana selisih harga saham di pasar primer jauh lebih rendah dibandingkan harga saham di pasar sekunder dengan initial return sebesar 70%, lalu disusul oleh perusahaan Evergreen Invesco Tbk dengan initial return sebesar 69,52%, selanjutnya Bekasi Fajar Industrial Estate Tbk dengan initial return sebesar 67,65%. Hal-hal yang menyebabkan terjadinya perbedaan harga saham yang cukup jauh ini menarik untuk diteliti. Bermula dari fenomena underpricing yang ekstrem tersebut dan juga adanya ketidakkonsistenan hasil para peneliti terdahulu sehingga dilakukan penelitian tentang faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi underpricing. Dimana nilai underpricing yang secara teori dapat diminimalisir, akan tetapi kenyataannya masih banyak perusahaan non-keuangan yang mengalami underpricing.

  Adapun alasan penelitian ini memilih sektor non-keuangan adalah karena perusahan-perusahaan keuangan merupakan perusahaan yang banyak menghadapi berbagai regulasi yang diterbitkan oleh berbagai lembaga yang mengatur sektor keuangan, tentu hal ini akan mengakibatkan minimnya tingkat resiko atas

  underpricing . Monitoring yang dilakukan diharapkan dapat memperkecil

  ketidakpastian perusahaan keuangan dibandingkan dengan perusahaan non- keuangan (Ernyan dan Husnan, 2002) sehingga diharapkan underpricing pada industri keuangan akan lebih kecil dibandingkan sektor yang lain. Selain itu, jumlah perusahaan keuangan yang melakukan Initial Public Offering (IPO) pada periode penelitian merupakan minoritas dari jumlah keseluruhan yang terdapat dalam populasi sehingga tidak dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya terjadi di sektor tersebut.

  Berbagai penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi

  underpricing telah banyak dilakukan dan hasilnya sering mengalami

  inkonsistensi. Berikut ini adalah penjelasan mengenai variabel yang digunakan oleh beberapa peneliti mengenai underpricing.

  Pengukuran profitabilitas perusahaan dapat dilihat melalui Return on Asset (ROA) emiten tersebut. ROA merupakan rasio untuk mengukur kemampuan perusahaan memperoleh laba dengan aset yang dimilikinya. Investor dapat mempergunakan rasio ini sebagai bahan pertimbangan apakah emiten dalam operasinya nanti dapat memperoleh laba. Dengan kemampuan emiten yang tinggi untuk menghasilkan laba atas asetnya maka akan terlihat bahwa resiko yang akan dihadapi investor akan kecil. Ini berarti bahwa perusahaan dapat memanfaatkan seluruh asetnya dalam memperoleh laba sehingga underpricing yang diharapkan akan rendah. Penelitian yang dilakukan Yoga (2009) menemukan bahwa variabel ROA berpengaruh signifikan negatif terhadap underpricing. Adapun penelitian dari Trisnaningsih (2005) menunjukkan hasil yang berbeda, penelitan ini menyatakan bahwa ROA tidak berpengaruh terhadap underpricing.

  Debt to Equity Rasio (DER) merupakan rasio yang mengukur kemampuan

  perusahaan dalam memenuhi seluruh kewajibannya yang ditunjukkan oleh beberapa bagian modal sendiri yang digunakan untuk membayar hutang. Semakin tinggi DER semakin tinggi pula resiko perusahaan. Para investor akan mempertimbangkan rasio ini sebelum membeli saham perdana perusahaan, akibatnya tingkat ketidakpastian harga saham akan semakin besar dan

  underpricing semakin tinggi. Adapun hasil penelitian ini inkonsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2008) yang menyatakan bahwa variabel Debt to Equty Ratio tidak berpengaruh signifikan terhadap initial return

  (underpricing).

  Besaran perusahaan digunakan sebagai proksi atas ketidakpastian terhadap keadaan perusahaan di masa datang. Karena perusahaan besar lebih banyak mendapat informasi sehingga ketidakpastian investor akan kondisi perusahaan bisa diketahui. Hasil penelitian Suyatmin dan Sujadi (2006) menemukan bahwa ukuran perusahaan tidak terbukti secara signifikan mempengaruhi underpricing dengan arah negatif. Sedangkan penelitian Yolana dan Martani (2005) menemukan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap underpricing.

  Variabel earning per share merupakan proxy dari laba per lembar saham perusahaan yang diharapkan dapat memberikan gambaran bagi investor mengenai bagian keuntungan yang dapat diperoleh dalam suatu periode tertentu dengan memiliki suatu saham. Informasi mengenai kemampuan perusahaan dalam menghasilkan pendapatan dapat membantu investor untuk menilai kemampuan perusahaan dalam menghasilkan arus kas yang baik di masa mendatang. Hasil empiris menunjukkan bahwa semakin tinggi EPS, semakin tinggi pula harga saham. Hasil penelitian Ardiansyah (2004) dan Handayani (2008), EPS berpengaruh negatif dan signifikan terhadap underpricing. Penelitian ini inkonsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Suyatmin dan Sujadi (2006) yang menyatakan bahwa EPS tidak berpengaruh terhadap underpricing (initial return).

  Proceeds menunjukkan besarnya ukuran penawaran saat IPO. Melalui IPO

  diharapkan akan menyebabkan membaiknya prospek perusahaan yang terjadi karena ekspansi atau investasi yang dilakukan atas hasil IPO. Diduga proceeds berhubungan positif dengan harga pasar saham karena semakin tinggi proceeds, semakin rendah ketidakpastian yang berarti semakin tinggi harga saham. Dengan demikian, semakin tinggi proceeds, maka initial returns semakin kecil (Ardiansyah, 2004 dalam Suyatmin dan Sujadi, 2006). Dimana hasil penelitian Suyatmin dan Sujadi secara serempak menunjukkan bahwa ukuran penawaran saham berpengaruh tidak signifikan terhadap underpricing, sedangkan secara parsial proceeds memiliki pengaruh terhadap underpricing.

  Perusahaan dengan umur operasi yang lama kemungkinan akan menyediakan publikasi informasi perusahaan lebih luas dan lebih banyak bila dibandingkan dengan perusahaan yang baru saja berdiri. Informasi ini akan bermanfaat untuk investor dalam mengurangi tingkat ketidakpastian perusahaan.

  Dengan demikian calon investor tidak perlu mengeluarkan biaya yang lebih banyak untuk memperoleh informasi tentang perusahaan yang melakukan IPO tersebut. Jadi perusahaan yang telah lama berdiri mempunyai underpricing yang lebih rendah daripada perusahaan yang baru berdiri.

  Underwriter yakni pihak yang menjembatani kepentingan emiten dan

  investor diduga memiliki pengaruh yang tinggi terhadap tinggi rendahnya

  underpricing . Hal ini disebabkan karena underwriter bertanggung jawab atas

  terjualnya efek. Underwriter dinilai oleh investor berdasarkan kemampuan untuk memberikan penawaran dengan initial return yang tinggi terhadap investor. Jika

  underwriter gagal maka akan mempengaruhi reputasinya di mata investor dan

  menghambat perusahaan penjamin emisi untuk memperoleh kesempatan transaksi di masa datang. Menurut penelitian Suyatmin dan Sujadi (2006) membuktikan bahwa reputasi underwriter berpengaruh negatif dan signifikan terhadap

  underpricing . Sedangkan penelitian Yasa (2008) membuktikan bahwa reputasi underwriter berpengaruh positif dan signifikan terhadap underpricing.

  Auditor berfungsi sebagai salah satu yang memiliki peranan penting dalam melakukan pemeriksaan terhadap laporan keuangan perusahaan. Laporan keuangan penting bagi investor sebagai pertimbangan investasi mereka. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suyatmin dan Sujadi (2006) membuktikan variabel reputasi auditor berpengaruh positif dan signifikan terhadap underpricing. Sedang penelitian Ardiansyah (2004) menghasilkan bahwa variabel reputasi auditor berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap

  underpricing .

  Dua variabel baru merupakan variabel yang menggambarkan kondisi makro perekonomian. Variabel ini dipilih karena dalam melakukan keputusan untuk mendapatkan dana melalui penerbitan saham bagi sebuah perusahaan atau melakukan investasi bagi seorang investor sangat memperhatikan kondisi perekonomian yang terjadi guna mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang mungkin terjadi. Dua variabel tersebut adalah tingkat suku bunga bank dan inflasi.

  Tingkat suku bunga sangat mempengaruhi keputusan investor dalam melakukan investasi. Tingkat suku bunga ini berpengaruh terhadap pemilihan seorang investor untuk memilih berinvestasi dengan membeli saham, deposito atau yang lainnya dalam memanfaatkan dana yang mereka miliki untuk menghasilkan keuntungan sesuai dengan harapan mereka. Sehingga tingkat suku bunga merupakan salah satu elemen yang digunakan oleh investor dalam memprediksikan prospek perusahaan di masa depan (Aprilianti : 2008).

  Inflasi juga mempengaruhi investor dalam melakukan investasi. Inflasi digunakan seorang investor untuk menilai prospek sebuah perusahaan dimasa yang akan datang. Investor akan menganalisis industri-industri apa yang akan memberikan hasil yang paling baik. Inflasi ini sebagai salah satu indikasi yang nantinya digunakan investor untuk melihat apakah sebuah perusahaan terpengaruh terhadap inflasi dalam kinerjanya dan sebagai alat untuk melihat bagaimana sebuah perusahaan mempertahankan usahanya dalam berbagai kondisi perekonomian yang ditunjukkan oleh inflasi. Penilaian-penilaian yang berbeda oleh para investor dapat menyebabkan underpricing (Aprilianti : 2008).

  Dari beberapa penelitian tersebut, terdapat ketidakkonsistenan hasil penelitian sehingga masih perlu dilakukan penelitian kembali terhadap faktor- faktor yang mempengaruhi underpricing. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai variabel-variabel keuangan dan non keuangan apa saja yang dapat mempengaruhi underpricing saham, khususnya pada perusahaan yang melakukan penawaran umum perdana (IPO) di Bursa Efek Indonesia.

  Berdasarkan fenomena yang dijelaskan tersebut, dimana terdapat perbedaan hasil penelitian para peneliti terdahulu dan adanya perbedaan fenomena yang terjadi antara teori dengan hasil penelitian terdahulu, maka dilakukan penelitian ini dengan mengambil judul

  “Pengaruh Variabel Keuangan dan Non Keuangan Terhadap Underpricing pada Saham Perusahaan yang Melakukan Initial Public Offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia (Periode Januari 2007 sampai dengan Juni 2012)”.

  1.2 Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : “Apakah variabel keuangan yang terdiri dari return on asset (ROA), debt

  to equity ratio (DER), besaran perusahaan (size), earning per share (EPS), ukuran

  penawaran saham (proceeds) dan variabel non keuangan yang terdiri dari umur perusahaan, reputasi underwriter, reputasi auditor, inflasi, dan suku bunga berpengaruh terhadap underpricing pada saham perusahaan yang melakukan

  Initial Public Offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia?”.

  1.3 Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh variabel keuangan yang terdiri dari return on asset (ROA), debt to

  equity ratio (DER), besaran perusahaan (size), earning per share (EPS), ukuran

  penawaran saham (proceeds) dan variabel non keuangan yang terdiri dari umur perusahaan, reputasi underwriter, reputasi auditor, inflasi, dan suku bunga terhadap underpricing pada saham perusahaan yang melakukan Initial Public Offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia.

1.4 Manfaat Penelitian

  Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

  a. Bagi Peneliti

  Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan peneliti mengenai underpricing pada saham perusahaan yang melakukan Initial

  Public Offering di Bursa Efek Indonesia.

  b. Bagi Perusahaan

  Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam penetapan harga saham ketika memutuskan untuk melakukan penawaran umum perdana (IPO).

  c. Bagi Penelitian Selanjutnya

  Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan menjadi bahan referensi tambahan dalam penelitian yang berkaitan dengan pasar modal dan khususnya yang berhubungan dengan IPO.

  d. Bagi Investor

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai tambahan informasi dan bahan pertimbangan bagi investor dalam membuat keputusan investasi di pasar modal.

Dokumen yang terkait

Pengaruh Variabel Keuangan dan Non Keuangan terhadap Underpricing pada Saham Perusahaan yang Melakukan Initial Public Offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia (Periode Januari 2007 sampai dengan Juni 2012)

4 40 139

Analisis Pengaruh Return on Asset (ROA), Earning per Share (EPS), Financial Leverage, dan Proceed Terhadap Initial Return Pada Perusahaan Non Keuangan Yang Melakukan Initial Public Offering (IPO) yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 57 118

Analisis Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Earnings Management pada Perusahaan yang Melakukan Initial Public Offering di Bursa Efek Indonesia

0 25 53

Analisis Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Earnings Management pada Perusahaan yang Melakukan Initial Public Offering di Bursa Efek Indonesia

1 33 59

Pengaruh Konsentrasi Kepemilikan Saham dan Asimetri Informasi terhadap Underpricing Saham pada Saat Initial public Offering (IPO) Di Bursa Efek Indonesia Periode 2010-2013

7 68 59

Pengaruh Faktor Keuangan dan Non Keuangan Terhadap Nilai Underpricing pada Perusahaan yang Melakukan Initial Public Offering (Studi Pada Perusahaan yang Listing di Bursa Efek Indonesia Tahun 2009-2012).

0 0 13

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Modal Intelektual terhadap Kinerja Keuangan Pada Perusahaan Perbankan Terbuka di Bursa Efek Indonesia

0 0 11

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Perputaran Total Aktiva dan Leverage terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan Barang Konsumsi di Bursa Efek Indonesia

0 0 8

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi TimelinessPelaporan Keuangan pada Perusahaan Go Public Sektor Industri Barang Konsumsi yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI)

0 0 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Initial Public Offering - Pengaruh Variabel Keuangan dan Non Keuangan terhadap Underpricing pada Saham Perusahaan yang Melakukan Initial Public Offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia (Periode Januari 2007 sampai dengan Juni 201

0 0 37