Karakteristik Fisikokimia Pati Umbi Keladi Sebaring (Alocasia macrorhiza) yang Dimodifikasi dengan Metode Asetilasi dan Aplikasinya pada Produk Mi Kering

  

TINJAUAN PUSTAKA

Keladi Sebaring

  Tanaman keladi sebaring ( Alocasia macrorrhiza ) merupakan salah satu spesies tumbuhan famili Araceae yang berasal dari Asia Tenggara. Batang keladi sebaring tidak boleh dimakan, namun batang ini telah dipergunakan sebagaiepang. Batang keladi harus dimasak dalam waktu yang lama supaya dapat menghilangkan hablur-hablur(Wikipedia, 2013).

  Gambar 1. Pohon Keladi Sebaring ( Alocasia macrorrhiza ) Tanaman keladi sebaring adalah sejenisa kecil dan tumbuh di sepanjang tangkai yang tegak, dengan bungadi bagian bawah. Sebagian bunga-bunganya dilindungi oleh satu struktur seperti tudung yang disebut "spate". Keladi merupakan umbi yang berbentuk silinder atau lonjong sampai agak bulat. Kulit keladi berwarna kemerahan, bertekstur kasar dan terdapat bekas- bekas pertumbuhan akar. Sedangkan warna dagingnya putih keruh (Wikipedia, 2013).

  Kandungan Kimia Keladi

  Pemanfaatan keladi sebagai bahan pangan disebabkan memiliki komponen makronutrien dan mikronutrien yang mencukupi nilai gizi. Kandungan kimia dalam keladi dipengaruhi oleh varietas, iklim, kesuburan tanah, dan umur panen (Lingga, et al., 1990). Keladi mengandung karbohidrat yang cukup tinggi, rendah lemak dan serat yang cukup baik untuk memperlancar kerja pencernaan. Kandungan vitamin yang terdapat dalam umbi keladi adalah vitamin C dan vitamin B . Komponen kimia keladi dapat dilihat pada Tabel 1.

  1 Tabel 1. Komponen kimia umbi keladi

  Komponen Kadar Energi (kal)

  120,00 Karbohidrat (g)

  28,20 Protein (g)

  1,50 Lemak (g)

  0,30 Serat (g)

  0,70 Abu (g)

  0,80 Kalsium (mg)

  31,00 Fosfor (mg)

  67,00 Zat besi (mg)

  0,70 Karoten (mg)

  0,00 Vitamin B1 (mg)

  0,05 Vitamin C (mg)

  2,00 Air (g)

  69,20 Bahan yang dapat dimakan (%) 85,00

  Sumber : Lingga, et al., 1990

  Dalam bentuk tepung keladi memiliki komposisi nutrisi yang lebih baik daripada beras. Perbandingan kandungan gizi antara tepung keladi dan tepung beras dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Perbandingan komposisi kimia tepung keladi dan tepung beras Komponen (g) Keladi Beras

  Kadar Air 10,20 9,06 Karbohidrat Total 72,15 78,45 Protein 12,25 10,50 Lemak 0,50 1,01 Kadar Abu 4,15 0,78 Pati 67,17 67,42 Amilosa 2,25 9,32 Amilopektin 64,92 58,10

  Sumber : Syamsir, 2012

  Kendala pada umbi keladi adalah kandungan yang ada di dalam umbi keladi yaitu adanya kristal kalsium oksalat yang dapat menyebabkan rasa gatal di mulut. Banyak upaya untuk mereduksi kadar kalsium oksalat pada umbi keladi, supaya tidak menimbulkan gatal pada saat dikonsumsi. Kristal kalsium oksalat dapat dikurangi bahkan dapat dihilangkan dengan perendaman dalam larutan garam, pengukusan, perebusan, penggorengan, pemanggangan, dan kombinasi perlakuan. Jumlah oksalat yang diijinkan sehingga layak untuk dikonsumsi adalah sebesar 71 mg/100g (Dedeh dan Sackey, 2004).

  Senyawa Oksalat

  Keladi mengandung asam oksalat yang mempengaruhi penyerapan kalsium dalam saluran pencernaan, yaitu dengan pembentukan ikatan-ikatan kalsium yang tidak dapat larut air. Kalsium oksalat berbentuk kristal yang menyerupai jarum. Keberadaan asam oksalat diduga dapat mengganggu penyerapan kalsium. Asam oksalat bersifat larut dalam air, sementara kalsium oksalat tidak larut dalam air tetapi larut dalam asam kuat (Koswara, 2013).

  Rasa gatal yang tertinggal di mulut setelah memakan keladi disebabkan oleh suatu zat kimia yang disebut kalsium oksalat (CaC

  2 O 4 ). Rasa gatal yang merangsang rongga mulut dan

  kulit disebabkan oleh adanya kristal-kristal kecil berbentuk jarum halus yang tersusun dari kalsium oksalat, yang disebut raphide. Raphide tersebut terkurung dalam kapsul yang dikelilingi lendir. Kapsul-kapsul ini terletak di suatu area di antara dua vakuola. Ujung dari kapsul menyembul ke dalam perbatasan vakuola-vakuola pada dinding sel. Vakuola-vakuola berisi air sehingga bila diberi perlakuan mekanis maka air akan masuk ke dalam kapsul melalui dinding sel. Tekanan air terhadap dinding sel akan meningkat sehingga kristal kalsium oksalat yang berbentuk jarum terdesak ke luar. Cara untuk menghilangkan rasa gatal umbi keladi adalah dengan pemasakan, pengeringan, dan pemasakan asam nitrit misalnya asam klorida encer. Rasa gatal pada keladi dapat dihilangkan dengan perendaman menggunakan larutan garam dapur (Chotimah dan Fajarini, 2013).

  Pencucian dan perendaman dengan air berfungsi untuk menghilangkan zat-zat pengotor dalam keladi. Penurunan kadar oksalat terjadi karena reaksi antara natrium klorida (NaCl) dan kalsium oksalat (CaC

  2 O 4 ). Garam (NaCl) dilarutkan dalam air terurai menjadi

  ion-ion Na dan Cl . Ion-ion tersebut bersifat seperti magnet. Ion Na menarik ion-ion yang

  • bermuatan negatif dan Ion Cl menarik ion-ion yang bermuatan positif. Sedangkan kalsium

  2+ + 2- 2-

  oksalat (CaC

  2 O 4 ) dalam air terurai menjadi ion-ion Ca dan C

  2 O 4 . Na mengikat ion C

  2 O

  4

  • 2+

  membentuk natrium oksalat (Na C O ). Ion Cl mengikat Ca membentuk endapan putih

  2

  2

  4

  kalsium diklorida (CaCl

  2 ) yang mudah larut dalam air. Reaksinya adalah :

  CaC

  2 O 4 + 2 NaCl Na

  2 C

  2 O 4 + CaCl

  2 Bentuk Dan Ukuran ganula Pati Pati terdapat dalam bentuk ganula. Ganula pati berwarna putih, mengilap, tidak

berbau, dan tidak berasa. Ganula tersusun oleh dua komponen polosakarida utama, yaitu

amilosa dan amilopektin. Setiap sumber pati memiliki jumlah amilosa dan amilopektin yang

berbeda-beda. Kandungan amilosa umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan amilopektin.

  

Kekuatan gel atau film pati ditentukan oleh kandungan amilosa karena struktur amilosa yang

linier lebih mudah berikatan dengan sesamanya melalui ikatan hidrogen. Sementara

amilopektin dengan struktur besar membentuk ikatan hidrogen yang relatif lemah

  

memberikan struktur gel pati dan film kurang kompak dan tidak cocok digunakan sebagai

gelling agent atau film forming akan tetapi digunakan sebagai pengental. Ganula pati

memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi, tergantung sumbernya. Ganula pati ada yang

berbentuk bulat, oval, elips terpotong (trancuted), poliginal, dan lain-lain (Nurulnuni, 2013).

  Ukuran diameter ganula pati juga bervariasi dengan kisaran 2-100 µm. Ukuran ganula

berperan penting dalam proses pengolahan, berkaitan dengan suhu gelatinisasi atau

kebutuhan energi yang diperlukan (Radley, 1976). Struktur pati yang rapat mempunyai daya

ikat air yang lebih tinggi, selain itu terjadi pemutusan ikatan hidrogen pada rantai linier dan

berkurangnya daerah amorf yang mudah dimasuki air. Struktur fisik pati pada ganula pati,

mempengaruhi sifat pati ketika digunakan dalam produk-produk pangan. Pati dengan ukuran

ganula kecil memiliki suhu gelatinisasi yang tinggi karena cenderung memiliki ikatan antar

molekul yang lebih kuat, akibatnya kebutuhan energi untuk proses gelatinisasi menjadi lebih

tinggi. Suhu gelatinisasi tidak hanya dipengaruhi oleh ukuran, tetapi lebih dipengaruhi oleh

struktur ganula pati tersebut. Ukuran ganula pati pada serealia (seperti pada beras) relatif

lebih kecil dibandingkan dengan pati dari umbi-umbian dan kacang-kacangan. Perbedaan

struktur berbagai sumber pati ini mengakibatkan sifat gelatinisasinya juga beragam (Radley,

1976).

  Pengaturan dan susunan molekul amilosa dan amilopektin dalam ganula pati bersifat

khas untuk setiap sumber pati sehingga akan menentukan bentuk dan ukuran ganula. Struktur

amilosa yang cenderung lurus sebagian besar berada pada bagian amorphous dari ganula pati

dan sebagian kecil menyusun bagian kristalin pati. Sementara itu, molekul amilopektin

berperan sebagai komponen utama penyusun bagian kristalin pati. Perbedaan antara amilosa

dan amilopektin terletak pada pembentukan percabangan pada struktur linearnya, ukuran

derajat polimerisasi, ukuran molekul dan pengaturan posisi pada ganula pati dan akan

mempengaruhi sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati. Semakin besar kandungan

  

amilopektin maka pati akan lebih basah, lengket dan cenderung sedikit menyerap air.

Sebaliknya, jika kandungan amilosa tinggi, pati bersifat kering, kurang lengket dan mudah

menyerap air (higoskopis).. Adanya perbedaan karakteristik ganula pati akan sangat

berpengaruh pada sifat fisik, sifat kimia dan sifat fungsional pati. Viskositas, ketahanan

terhadap pengadukan, gelatinisasi, pembentukan tekstur, kelarutan pengental, kestabilan

gel,cold swelling dan retrogadasi dipengaruhi oleh rasio amilosa dan amilopektin serta ukuran

ganula pati (Radley, 1976).

  Pati Pati terbentuk lebih dari 500 molekul monosakarida. Merupakan polimer dari

glukosa. Pati terdapat dalam umbi-umbian sebagai cadangan makanan pada

tumbuhan. Jika dilarutkan dalam air panas, pati dapat dipisahkan menjadi dua fraksi

utama, yaitu amilosa dan amilopektin. Perbedaan terletak pada bentuk rantai dan

jumlah monomernya. Dalam bentuk aslinya secara alami pati merupakan butiran-butiran

  kecil yang disebut ganula. Bentuk dan ukuran ganula merupakan karakteristik setiap jenis

  a pati, karena itu digunakan untuk identifikasi (Koswara, 2009 ).

Amilosa adalah polimer linier dari α-D-glukosa yang dihubungkan dengan ikatan 1,4- α. Dalam satu molekul amilosa terdapat 250 satuan glukosa atau lebih

  n

Gambar 2. Struktur Amilosa (Anonimous, 2009)

  

Pada umumnya molekul amilopektin relatif lebih besar dari amilosa. Strukturnya

bercabang. Rantai utama mengandung α-D-glukosa yang dihubungkan oleh ikatan 1,4'-

α. Tiap molekul glukosa pada titik percabangan dihubungkan oleh ikatan 1,6'-α.

  Gambar 3 . Struktur Amilopektin (Anonimous, 2009) Pati memegang peranan penting dalam industri pengolahan pangan secara luas juga dipergunakan dalam industri seperti lem, kertas, glukosa, permen, tekstil, dekstrosa, sirup glukosa, dan produk lainnya. Pati dapat memberikan tekstur, kekentalan dan meningkatkan palatabilitas dari berbagai makanan. Perubahan kimia dari pati ini dapat menambah kestabilan terhadap keadaan pH yang ekstrim dan pemanasan (retorting), kestabilan dari bentul sol dan gel dari siklus cair-beku (freeze-thaw cyclus), kepekatan dalam media bergula dan kemampuan bergabung dengan bahan makanan yang lain (Buckle, et al., 2009).

  Pati merupakan simpanan karbohidrat dalam tumbuh-tumbuhan dan merupakan karbohidrat utama yang dikonsumsi manusia di seluruh dunia. Komposisi amilosa dan amilopektin dalam setiap molekul pati suatu bahan pangan relatif berbeda. Amilopektin pada umumnya terdapat dalam jumlah lebih relatif besar. Sebagian besar pati mengandung antara

  15% dan 35% amilosa. Rantai-rantai amilosa dan amilopektin tersusun dalam bentuk semi kristal yang menyebabkan tidak larut dalam air dan memperlambat proses pencernaannya oleh amilase pankreas. Bila dipanaskan dengan air, struktur kristal rusak dan rantai polisakarida akan mengambil posisi acak. Hal ini yang menyebabkannya mengembang dan memadat (gelatinisasi). Cabang-cabang yang terletak pada bagian amilopektin yang terutama sebagai penyebab terbentuknya gel yang cukup stabil. Proses pemasakan pati dapat menyebabkan terbentuknya gel, melunakkan, dan memecah sel, sehingga mempermudah proses pencernaan. Dalam proses pencernaan semua bentuk pati dihidrolisa menjadi glukosa (Almatsier, 2004).

  Dalam keadaan murni, ganula pati berwarna putih, mengkilat, tidak berbau, dan tidak berasa. Secara mikroskopik terlihat bahwa ganula pati dibentuk oleh molekul-molekul yang membentuk lapisan tipis. Ganula pati bervariasi dalam bentuk dan ukuran yaitu ada yang berbentuk bulat, oval, bahkan tak beraturan demikian juga ukurannya tergantung sumber patinya (Koswara, 2006).

  Pati alami mempunyai beberapa kekurangan pada karakteristiknya yaitu membutuhkan waktu yang lama dalam pemasakan (sehingga membutuhkan energi tinggi), pasta yang terbentuk keras dan tidak bening, terlalu lengket dan tidak tahan perlakuan dengan asam. Dengan berbagai kekurangan, maka dikembangkan berbagai modifikasi terhadap tepung yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pasar (industri) baik dalam skala nasional maupun internasional. Industri pengguna pati menginginkan pati yang mempunyai kekentalan yang stabil baik pada suhu tinggi maupun rendah, mempunyai ketahanan baik terhadap perlakuan mekanis, dan daya pengentalannya tahan pada kondisi asam dan suhu tinggi. Sifat-sifat lainnya pada pati termodifikasi adalah kecerahannya lebih tinggi (pati lebih putih), kekentalan lebih tinggi, gel yang terbentuk lebih jernih, tekstur gel yang dibentuk lebih lembek, kekuatan regang rendah, ganula pati lebih mudah pecah, waktu dan suhu gelatinisasi yang lebih rendah, serta waktu dan suhu ganula pati untuk pecah lebih rendah

  a (Koswara, 2009 ).

  Pati Resisten

  Pati resistan memiliki sifat fisiologis yang unik sehingga sering direkomendasikan penggunaannya dibandingkan dengan serat yang lainnya. Pati resistan dapat digunakan untuk meningkatkan serat pangan dengan sedikit perubahan dari penampakan dan sifatpangan (Vindhya, 2012).

  Pati resisten adalah senyawa yang unik, karena walaupun termasuk dalam kategori

pati, namun dianalisa sebagai serat pangan. Serat pangan yang selama ini dikenal akan efek

fisiologisnya tidak mampu menarik konsumen untuk menkonsumsinya, hal ini dibuktikan

dengan rendahnya konsumsi serat pangan di Amerika, di mana jumlah yang

direkomendasikan sekitar 20-35 g/hari, nammun jumlah serat pangan yang dikonsumsi hanya

berkisar antara 12-17 g/hari. Hal ini disebabkan oleh daya terima konsumen terhadap kualitas

organoleptik serat pangan rendah (teksturnya yang kasar dan dry mouthfeel), walaupun serat

pangan diklaim mempunyai efek yang baik bagi kesehatan dengan menghambat pertumbuhan

sel-sel kanker (Vindhya, 2012).

  Pati resisten terdapat dalam berbagai bentuk dan berbagai tingkatan stabilitas. Pati

teretrogadasi adalah yang paling stabil terhadap panas. Pati teretrogadasi, khususnya amilosa

adalah jenis pati resisten yang paling stabil (Haralampu, 2000 ). Hal ini berhubungan denga

rantai amilosa yang lurus yang mudah teretrogadasi dan ketika rantai amilosa bergabung

kembali (retrogadasi), akan membentuk sebuah polimer yang kompak dan sulit untuk

dihidrolisis oleh enzim pencernaan (Colonna, 1992).

  Pati Modifikasi

  Untuk mendapatkan sifat-sifat pati yang diinginkan dapat dilakukan dengan modifikasi pati. Sifat-sifat yang diinginkan dari pati adalah pati yaitu memiliki viskositas yang stabil pada suhu tinggi dan rendah, daya tahan terhadap “shear” mekanis yang baik serta daya pengental yang tahan terhadap kondisi asam dan suhu sterilisasi (Wirakartakusuma, et

  al ., 1989).

  Pati modifikasi adalah pati yang gugus hidroksilnya telah diubah melalui suatu reaksi kimia (esterifikasi, eterifikasi atau oksidasi) atau dengan mengubah struktur asalnya (Fleche,

  a

  1985). Koswara 2009 , menyatakan pati diberi perlakuan tertentu dengan tujuan untuk menghasilkan sifat yang lebih baik yaitu memperbaiki sifat sebelumnya atau merubah beberapa sifat sebelumnya atau merubah beberapa sifat lainnya. Perlakuan ini mencakup penggunaan panas, asam, alkali, zat pengoksidasi atau bahan kimia lainnya yang akan menghasilkan gugus kimia baru dan atau perubahan bentuk, ukuran serta struktur molekul pati.

  Secara umum, modifikasi pati dibagi atas modifikasi fisik, pemanasan pada kadar air tertentu (heat moisture treatment / HMT), modifikasi kimia, ikatan silang (crosslink), hidrolisis asam, oksidasi, dekstrinasi, dan konversi asam (Collado, et al, 2001). Pemilihan metode modifikasi ini tergantung dari jenis sifat fisik yang akan diperbaiki. Tujuan dilakukannya modifikasi pati adalah untuk meningkatkan daya tahan pati terhadap panas dan pengadukan serta terhadap asam, dan mengurangi sifat sineresis pada pati.

  Kemampuan daya serap air dari pati modifikasi adalah lebih tinggi dibanding dengan yang tidak termodifikasi. Tingginya daya serap air ini dihubungkan dengan kemampuan produk untuk mempertahankan tingkat kadar air terhadap kelembaban lingkungan dan peranan gugus hidrofilik pada susunan molekulnya (Afrianti, 2004).

  Asetilasi Modifikasi dapat dilakukan dalam bentuk tepung maupun dalam bentuk pasta.

  Modifikasi secara kimia bertujuan untuk membuat pati mempunyai karakteristik yang sesuai untuk aplikasi tertentu. Sebagai contoh, pati dapat dibuat lebih tahan terhadap kerusakan akibat panas dan bakteri, serta membuat pati menjadi lebih hidrofilik.

  Modifikasi asetilasi yaitu metode pati termodifikasi yang diperoleh dari mereaksikan pati dengan gugus hidroksil sehingga menghasilkan hemiacetal dan aldehid. Reaksi asetilasi merupakan reaksi reversible, karena itu gugus asetal tidak stabil selama penyimpanan dan membebaskan asetil aldehid yang tidak diperbolehkan di industri makanan. Namun, asetal aldehid seperti vanilin, eugenol dan aldehid aromatik lainnya masih boleh digunakan untuk pembuatan kapsul semimicro (Johnson, 1979).

  Metode modifikasi pati secara asetilasi dengan derajat substitusi (degee of substitution = DS) yang rendah telah digunakan secara luas oleh industri makanan selama bertahun-tahun.

  Hal ini disebabkan oleh keunggulan sifat fisika-kimia yang dimiliki oleh pati terasetilasi seperti suhu gelatinisasi, swelling power, solubility, dan tingkat kejernihan pasta (paste

  

clarity ) yang tinggi, serta memiliki stabilitas penyimpanan dan pemasakan yang lebih baik

  jika dibandingkan dengan pati asalnya (Raina, et al., 2006). Selain itu, kualitas produk yang dihasilkan dari pati terasetilasi lebih stabil dan tahan terhadap retrogadasi. Sifat fisika-kimia pada pati yang terasetilasi ini dipengaruhi oleh jumlah distribusi gugus asetil yang menggantikan gugus hidroksil (OH-) pada pati. Metode asetilasi merupakan metode yang sangat penting untuk memodifikasi karakteristik pati karena metode ini dapat memberikan efek pengentalan (sebagai thickening agent) pada berbagai makanan. Reagen yang biasa digunakan pada metode asetilasi adalah vinil asetat, asam asetat, dan asetat anhidrat (Varavinit, et al, 2008). Reaksi antar pati dan asam asetat pada proses asetilasi dapat dilihat pada Gambar 4.

  O O || || CH

  3 -C-OH + C

  6 H

  12 O 6 → CH 3 -C-O- C

  6 H

  

12 O

6 + H

  2 O

  Asam Asetat Pati Pati Terasetilasi Gambar 4. Reaksi Asetilasi Pati (Varavinit, et al, 2008)

  Daya Serap Air

  Daya serap air merupakan kemampuan bahan pangan dalam menyerap air. Daya serap air suatu bahan tergantung pada jumlah pati dalam adonan dimana penurunan daya serap air disebabkan penurunan kadar pati dalam adonan (Widaningum, et al, 2005). Daya serap air mi kering dipengaruhi oleh kemampuan mi dalam menyerap air. Nilai daya serap air yang terlalu tinggi tidak diinginkan karena ganula pati akan mudah pecah. Semakin tinggi nilai daya serap air maka mi akan semakin banyak menyerap air dan mi semakin mengembang (Astawan, 2008). Daya serap mi berbanding lurus dengan nilai rehidrasi mi. Semakin tinggi rehidrasi mi kering maka semakin besar daya serap air mi instan (Tinambunan, 2013).

  Daya Serap Minyak

  Adanya kemampuan menyerap minyak pada tepung menunjukkan tepung mempunyai bagian yang bersifat lipofilik. Daya serap minyak dipengaruhi oleh adanya protein pada permukaan ganula pati. Protein ini dapat membentuk kompleks dengan pati, di mana kompleks pati-protein ini dapat memberikan tempat bagi terikatnya minyak. Kandungan amilosa pati turut mempengaruhi daya serap minyak. Amilosa mempunyai kemampuan membentuk kompleks dengan minyak (lipid) dalam bentuk amilosa-lipid (Ridawati dan Alsuhendra, 2010). Kandungan amilosa yang tinggi menyebabkan banyaknya minyak yang dapat diserap untuk membentuk kompleks amilosa-lipid.

  Gelatinisasi

  Gelatinisasi merupakan suatu fenomena pembentukan gel yang diawali dengan pembengkakan ganula pati akibat penyerapan air. Bila pati mentah dimasukkan ke dalam air dingin, ganula pati akan menyerap air dan mulai bengkak namun terbatas sekitar 30% dari berat tepung. Proses pemanasan adonan tepung akan menyebabkan ganula semakin membengkak karena penyerapan air semakin banyak. Suhu dimana pembengkakan maksimal disebut dengan suhu gelatinisasi. Pengembangan ganula pati disebabkan masuknya air ke dalam ganula dan terperangkap pada susunan molekul-molekul penyusun pati. Mekanisme pengembangan tersebut disebabkan karena molekul

  • –molekul amilosa dan amilopektin secara fisik hanya dipertahankan oleh adanya ikatan hidrogen lemah. Atom hidrogen dari gugus hidroksil akan tertarik pada muatan negatif atom oksigen dari gugus hidroksil yang lain. Bila suhu suspensi naik, maka ikatan hidrogen makin lemah, sedangkan energi kinetik molekul- molekul air meningkat, memperlemah ikatan hidrogen antar molekul air. Tian et al., (1991) menyatakan bahwa bila pati dipanaskan dalam suhu kritikal dengan adanya air yang berlebih ganula akan mengimbibisi air, membengkak dan beberapa pati akan terlarut dalam larutan yang ditandai dengan perubahan suspensi pati yang semula keruh menjadi bening dan tentunya akan berpengaruh terhadap kenaikan viskositas. Pada proses pengukusan mie instan, dimana tepung terigu menjadi salah satu penyusun adonan tersebut. Terjadi gelatinisasi sebagian molekul pati dan koagulasi gluten, sehingga mi menjadi lebih kenyal.

  Pada dasarnya kehilangan padatan akibat pemasakan terjadi pada mi disebabkan oleh sebagian pati lepas dari untaian mi pada saat pemasakan. Kehilangan padatan akibat pemasakan juga disebabkan oleh kurang optimumnya matriks pati tergelatinisasi mengikat pati yang tidak tergelatinisasi (Merdiyanti, 2008). Kehilangan padatan akibat pemasakan adalah faktor penting dalam menilai mutu produk mi dari pati. Nilai kehilangan padatan akibat pemasakan yang lebih rendah menunjukkan mi yang baik. Nilai kehilangan padatan akibat pemasakan mi dari pati yang diterima oleh standar mi pati di China dan Thailand memiliki nilai yang tidak lebih dari 10% (Lii dan Chang, 1981).

  Viskositas

  Viskositas atau kekentalan adalah parameter yang berpengaruh pada kualitas dari sejumlah besar produk pangan. Viskositas menunjukkan daya tahan aliran pada suatu aliran cairan. Untuk itu dibutuhkan energi guna merusak struktur molekul yang terikat kuat antara bahan padatan dengan cairannya (Ridawati dan Alsuhendra, 2010).

  Tinggi rendahnya viskositas pati berhubungan langsung dengan suhu gelatinisasi dan konsentrasi larutan. Suhu gelatinisasi pati yang lebih tinggi mengakibatkan ganula pati lebih lambat mengembang yang berarti semakin lambat pula waktu viskositas tercapai (Winarno, 1995). Konsentrasi pati yang rendah dengan sendirinya menurunkan viskositas larutan.

  Diduga ada kaitan antara viskositas dengan kandungan amilosa dan ukuran ganula pati. Kandungan amilosa yang tinggi berkaitan dengan tingginya suhu gelatinisasi pati. Ganula pati yang berukuran lebih besar akan cepat mengalami gelatinisasi sehingga viskositas tercapai. Beberapa faktor yang berpengaruh pada suhu gelatinisasi, seperti pH, konsentrasi larutan, kemurnian larutan, dan lama pemanasan mempengaruhi pula viskositas larutan.

  Viskositas puncak merupakan titik maksimum viskositas pasta yang dihasilkan selama pemanasan. Pada titik ini ganula pati yang mengembang mulai pecah dan diikuti oleh penurunan viskositas (Glicksman, 1969).

  Daya Kembang Pati (Swelling Power)

  Daya kembang pati (swelling power) merupakan pertambahan volume dan berat maksimum yang dialami pati dalam air (Balagopalan, et al.,1988). Swelling power dan kelarutan terjadi karena adanya ikatan non kovalen antara molekul-molekul pati. Bila pati dimasukkan ke dalam air dingin, ganula pati akan menyerap air dan membengkak. Namun demikian, jumlah air yang terserap dan pembengkakannya terbatas hanya mencapai 30% (Winarno, 2008). Ketika ganula pati dipanaskan dalam air, ganula pati mulai mengembang(swelling).

  Swelling terjadi pada daerah amorf ganula pati. Ikatan hidrogen yang lemah antar

  molekul pati pada daerah amorf akan terputus saat pemanasan, sehingga terjadi hidrasi air oleh ganula pati. Ganula pati akan terus mengembang, sehingga viskositas meningkat hingga volume hidrasi maksimum yang dapat dicapai oleh ganula pati (Swinkels, 1985). Faktor- faktor seperti rasio amilosa-amilopektin, distribusi berat molekul dan panjang rantai, serta derajat percabangan dan konformasinya menentukan swelling power dan kelarutan. Swelling merupakan sifat yang dipengaruhi oleh amilopektin (Li dan Yeh, 2001).

  Swinkels (1985) mengatakan bahwa nilai swelling power dapat diukur pada kisaran suhu terbentuknya pasta pati, yaitu sekitar 50-95°C dengan interval 5°C. Menurut Pomeranz (1991), swelling power dapat diukur pada interval suhu 5°C pada kisaran suhu gelatinisasi sampai 100°C. Sementara itu, Li dan Yeh (2001) mengukur swelling power dan kelarutan pati dengan interval 10°C yaitu pada suhu 55°C, 65°C, 75°C,85°C, dan 95°C. Pengukuran

  

swelling power dapat dilakukan dengan membuat suspensi pati dalam botol sentrifusa lalu

  dipanaskan selama 30 menit pada suhu yang telah ditentukan. Kemudian bagian yang cair (supernatan) dipisahkan dari endapan. Swelling power diukur sebagai berat pati yang mengembang (endapan) per berat pati kering. Ketika pati dipanaskan dalam air, sebagian molekul amilosa akan keluar dari ganula pati dan larut dalam air. Persentase pati yang larutdalam air ini dapat diukur dengan mengeringkan supernatan yang dihasilkan saat pengukuran swelling power. Menurut Fleche (1985), ketika molekul pati sudah benar-benar terhidrasi, molekul-molekulnya mulai menyebar ke media yang ada di luarnya dan yang pertama keluar adalah molekul-molekul amilosa yang memiliki rantai pendek. Semakin tinggi suhu maka semakin banyak molekul pati yang akan keluar dari ganula pati. Selama pemanasan akan terjadi pemecahan ganula pati, sehingga pati dengan kadar amilosa lebih tinggi, ganulanya akan lebih banyak mengeluarkan amilosa.

  Mi Kering

  Mi kering adalah mi yang dipasarkan dalam bentuk kering dan memiliki kandungan air rendah, yaitu sekitar 13%, dengan kisaran aw 0,65 – 0,85. Mi kering mempunyai kadar air ≤ 2,5 %, sehingga daya simpan mi kering lebih lama dibanding mi basah (Robsons, 1976). Mi yang biasanya berwarna kuning ini diolah dengan proses pengeringan menggunakan oven atau dijemur terlebih dahulu hingga kering sebelum dikemas dan dipasarkan.

  Mi merupakan salah satu jenis makanan yang paling populer di Asia, salah satunya adalah Indonesia. Menurut catatan sejarah, mi pertama kali dibuat di daratan Cina sekitar 2000 tahun yang lalu pada masa pemerintahan dinasti Han. Dari Cina, mi berkembang dan menyebar ke Jepang, Korea, Taiwan dan Negara- Negara di Asia Tenggara bahkan meluas

  b sampai ke benua Eropa (Koswara, 2009 ).

  Peluang pasar mi kering di Indonesia sangat besar. Ketergantungan masyarakat terhadap mi cepat saji ini cukup besar. Mi memiliki berbagai jenis tergantung dari bentuk, bahan dan jenis pengolahannya. Secara umum, mi digolongkan menjadi dua, yaitu mi kering dan mi basah, sedangkan berdasarkan bahan dasarnya, bisa dibuat dari tepung terigu (gandum), tepung jagung, tepung beras, tepung kanji, maupun tepung kacang hijau. Pada prinsipnya cara pembuatannya sama, perbedaannya terletak pada kandungan kadar air di dalam mi tersebut. Mi basah tidak bertahan lama, hanya sekitar 40 jam karena memiliki kandungan air sekitar 60%. Mi jenis ini dibuat dengan teknik perebusan, mi direbus setelah

  b dicetak, kemudian didinginkan, dikemas dan dipasarkan langsung (Koswara, 2009 ).

  Komposisi Kimia Mi Kering Mi yang terbuat dari tepung mengandung karbohidrat dalam jumlah besar,

tetapi kandungan protein, vitamin, dan mineralnya hanya sedikit. Namun, sifat

karbohidrat dalam mi berbeda dengan sifat yang terkandung di dalam nasi. Mi setelah

proses pengolahan kandungan karbohidrat (pati) dapat menghasilkan pati resisten

yang sulit diserap atau strukturnya mengembang lebih besar dari nasi sehingga

b memberi efek lapar lebih cepat (Koswara, 2009 ).

  Dalam pembuatan mi, diperlukan protein yang cukup tinggi supaya mi menjadi

elastis dan tahan terhadap penarikan sewaktu proses produksinya. Gluten yang

  terkandung dalam tepung terigu merupakan suatu yang bersifat kenyal dan elastis, diperlukan

  • Normal Normal Normal Normal Normal Normal

  Maks. 1,0 x 10

  6 Arsen (As) mg/kg Maks. 0,5 Maks. 0,5

  7 Cemaran mikroba:

  7.1 Angka lempeng total

  7.2 E. coli

  7.3 Kapang koloni/g APM/g koloni/g

  Maks. 1,0 x 10

  6 Maks. 10

  4 Maks. 1,0 x 10

  Maks. 1,0 Maks. 10,0 Maks. 40,0 Maks. 0,05

  6 Maks. 10

  Maks. 1,0 x 10

  4 Sumber : Merdiyanti, 2008.

  Sodium Tripolyphospate (STPP)

  Sodium Tripolyphospate (STTP) merupakan senyawa anorganik dengan rumus Na

  5 P

  3 O

  10

  Maks. 1,0 Maks. 10,0 Maks. 40,0 Maks. 0,05

  5.4. Raksa (Hg) mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg

  dalam pembuatan roti maupun mi agar dapat diperoleh kekenyalan tertentu(Koswara,

  1.3 Rasa

  2009 b ). Secara umum, syarat mutu mi kering dapat dilihat pada Tabel 3.

  Tabel 3. Syarat mutu mi kering menurut SNI 01-2974-1996 No Satuan

  Jenis Uji

  Persyaratan Mutu I

  Persyaratan Mutu II

  1 Keadaan:

  1.1 Bau

  1.2 Warna

  2 Air % b/b Maks. 8 % b/b Maks. 8 Maks. 10

  5.3. Seng (Zn)

  3 Protein % b/b Min. 11 Min. 8

  4 Bahan Tambahan Makanan:

  4.1. Boraks

  4.2. Pewarna Tambahan

  Tidak boleh ada sesuai dengan SNI 01-0222-1995

  5 Cemaran Logam:

  5.1. Timbal (Pb)

  5.2. Tembaga (Cu)

  . Sodium tripolyphospate digunakan sebagai emulsifier, untuk mempertahankan kelembaban dan kekenyalan suatu produk tertentu. Sodium Tripolyphospate berupa butiran serbuk berwarna putih, bersifat higoskopis, kelarutan di dalam air relatif rendah. Penggunaan sodium tripolyphospate yang diijinkan adalah 3 kg berat adonan atau 0,3%. Batas penggunaan sodium tripolyphospate tergantung dari jenis mi yang akan dibuat dan bahan baku yang digunakan (Widyaningsih dan Murtini, 2006). Adapun rumus bangun dari sodium tripolifosfat dapat dilihat pada Gambar 5.

  Gambar 5. Struktur kimia sodium tripolifosfat (Wikipedia,2014) Fungsi penambahan garam alkali ke dalam pembuatan mi dari tepung terigu adalah untuk menguatkan struktur gluten sehingga menjadi mi yang lentur, dan menjadi lebih kenyal, zat warna menjadi lebih cerah. Semakin besar garam alkali yang digunakan maka mi semakin keras dan kenyal, namun penggunaan yang berlebihan akan menyebabkan bau yang tidak sedap dan rasa seperti sabun (Astawan, 2008).

  Bahan Pembuatan Mi Tepung Terigu

  Tepung terigu merupakan tepung atau bubuk halus yang berasal dari bulir gandum, dan digunakan sebagai bahan dasar pembuat kue kering, biskuit, mi, cake, dan roti. Tepung terigu mengandung banyak zat pati yaitu karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air, mengandung protein dalam bentuk gluten yang berperan dalam menentukan kekenyalan makanan (Salim, 2012).

  Gluten merupakan campuran protein gliadin dan glutenin yang membentuk kompleks dengan pati di dalam lapisan endosperm gandum. Kandungan gluten dapat mencapai 80% dari total protein pada tepung terigu. Gluten basah (wet gluten) merupakan protein yang tidak larut air dalam adonan, namum dapat membentuk ikatan yang kuat dengan air. adonan tepung terigu jika dicuci bersih, dihasilkan gumpalan yang berwarna kekuningan dan elastis. Gluten berfungsi untuk membuat adonan menjadi kenyal, elastis, dapat membentuk struktur mirip serat dan dapat mengembang karena kemampuannya mengikat CO . Semakin tinggi

  2 kadar protein yang terdapat pada tepung terigu makan makin besar kandungan glutennya.

  Gluten basah dihasilkan dari tepung terigu berdasarkan jenisnya, antara lain : tepung protein tinggi (bread flour/hard flour) sebesar 31% dari total adonan, tepung protein sedang/tepung serbaguna (all purpose flour/medium flour) sebesar 25% dari total tepung, dan tepung protein rendah (cake flour/soft flour) sebesar 20% dari total adonan (Deddy, 2011).

  Yang digunakan sebagai pedoman dalam penentuan mutu tepung terigu adalah Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3751-2009 dapat dilihat pada Tabel 4.

  Air

  Air dalam bahan pangan berperan sebagai pelarut dari beberapa komponen sebagai bahan pereaksi, sedangkan bentuk air dapat ditemukan sebagai air bebas dan air terikat. Air bebas dapat dengan mudah hilang apabila terjadi penguapan atau pengeringan, sedangkan air terikat sulit dibebaskan dengan cara tersebut. Sebenarnya air dapat terikat secara fisik, yaitu ikatan menurut sistem kapiler dan air terikat secara kimia, antara lain air kristal dan air yang terikat dalam sistem dispersi. Air yang terdapat dalam bentuk bebas dapat merangsang terjadinya proses kerusakan bahan makanan misalnya proses mikrobilogis, kimiawi, ensimatik, bahkan oleh aktivitas serangga perusak. Jumlah air bebas dalam bahan pangan yang dapat digunakan oleh mikroorganisme dinyatakan dalam besaran aktivitas air (Aw =

  

water activity ). Mikroorganisme memerlukan kecukupan air untuk tumbuh dan berkembang

biak (Franisa, 2013).

  Air berfungsi sebagai media reaksi antara gluten dan karbohidrat, melarutkan garam, dan membentuk sifat kenyal gluten. Pati dan gluten akan mengembang dengan adanya air.

  Air yang digunakan sebaiknya memiliki pH antara 6

  • – 9, hal ini disebabkan absorpsi air makin meningkat dengan naiknya pH. Makin banyak air yang diserap, mi menjadi tidak

  b mudah patah. Jumlah air yang optimum membentuk pasta yang baik (Koswara , 2009).

  Penambahan air dalam adonan berfungsi untuk membentuk konsistensi adonan yang diinginkan. Umumnya air ditambahkan dalam pembuatan mi antara 30-35%, suhu air yang disarankan untuk pembuatan mi sebesar 25-35

  C, untuk mengaktifkan enzim amilase yang akan memecah pati menjadi dekstrin dan protease yang akan memecah gluten, sehingga menghasilkan adonan lembut dan halus. Jika suhu kurang dari 25 C adonan menjadi keras, rapuh, dan kasar. Jika suhu lebih dari 40 C akan menghasilkan mi dengan tingkat elastisitas yang menurun dan kelengketannya meningkat (Bhusuk dan Rasper, 1994).

  Garam

  Natirum klorida berpengaruh terhadap proses pengolahan pangan. Pada konsentrasi rendah mempengaruhi citarasa yaitu persyaratan terhadap organoleptik sedangkan pada konsentrasi tinggi berperan sebagai pengawet bahan makanan. Pada konsentrasi tinggi dapat mengubah beberapa faktor dalam komponen gizi berbagai bahan pangan. Dalam pembuatan mi, penambahan garam berperan dalam memberi rasa, memperkuat tekstur mi, meningkatkan fleksibilitas dan elastisitas mi serta mengikat air. Garam juga dapat menghambat aktivitas enzim protease dan amilase sehingga pasta tidak bersifat lengket dan tidak mengembang

  b secara berlebihan (Koswara , 2009).

  Penggunaan garam 1-2% akan meningkatkan kekuatan lembaran adonan dan mengurangi kelengketan, sehingga mempermudah proses pencetakan mi dan menghasilkan mi yang elastis. Di Jepang, pembuatan mi umumnya ditambahkan garam sekitar 2-3% ke adonan mi. Jumlah ini merupakan kontr ol terhadap α-amilase (Winarno, 1991). Tabel 4. Syarat mutu tepung terigu sebagai bahan makanan Jenis Uji Satuan Persyaratan Keadaan: a.

  • -

    -

  Bentuk

  b. Bau

  c. Warna

  • -

    serbuk normal (bebas dari bau asing) putih, khas terigu

  Benda asing - tidak ada Serangga dalam semua bentuk stadia dan potongan-potongannya yang tampak - tidak ada

Kehalusan, lolos ayakan 212 μm

  Kadar Air (b/b) % maks. 14,5 Kadar Abu (b/b) % maks. 0,70 Kadar Protein (b/b) % min. 7,0 Keasaman mg KOH/ 100 g maks 50

  Falling number (atas dasar kadar air

  14 %) Detik min. 300

  Besi (Fe) mg/kg min. 50 Seng (Zn) mg/kg min. 30 Vitamin B1 (tiamin) mg/kg min. 2,5 Vitamin B2 (riboflavin) mg/kg min. 4 Asam folat mg/kg min. 2 Cemaran logam: pengembang. Jumlah pengembang yang digunakan berkisar 0,5 – 1,0% dari berat tepung terigu. Penggunaan berlebihan akan menyebabkan tekstur mi terlalu keras dan daya rehidrasi mi menjadi berkurang (Astawan, 2008).

  (mesh No. 70) (b/b) % min 95

  b. Raksa (Hg)

  c. Kadmium (Cd) mg/kg mg/kg mg/kg maks. 1,0 maks. 0,05 maks. 0,1

  Cemaran Arsen mg/kg maks. 0,50 Cemaran mikroba:

  a. Angka lempeng total

  b. E. coli

  c. Kapang

  d. Bacillus cereus koloni/g APM/g koloni/g koloni/g maks. 1 x 106 maks. 10 maks. 1 x 104 maks. 1 x 104

  Sumber : SNI 3751-2009 CMC (Carboxyl Methyl Celulose)

  CMC (Carboxyl Methyl Celulose) adalah turunan dari selulosa yang sering dipakai dalam industri makanan untuk mendapatkan tekstur yang baik. Fungsi CMC adalah sebagai pengental, stabilisator, pembentuk gel, pengemulsi, dan dapat meratakan penyebaran antibiotik. Pada pembuatan es krim, CMC akan memperbaiki tekstur dan kristal laktosa yang terbentuk akan lebih halus (Winarno, 1995). Dalam pembuatan mi, CMC berfungsi sebagai

  a. Timbal (Pb)

  Sebagai pengemulsi, CMC sangat baik digunakan untuk memperbaiki penampakan dari tekstur dari produk berkadar gula tinggi. Sebagai pengental, CMC mampu mengikat air sehingga molekul-molekul air terperangkap dalam struktur gel yang dibentuk oleh CMC (Tinambunan, 2013).

  Penambahan bahan pengental ke dalam bahan pangan dapat meningkatkan sifat hidrofilik protein dari bahan pangan dan sifat lipofilik dari lemak, sehingga air yang diserap oleh protein lebih banyak. Pengikatan air oleh protein menyebabkan tekstur bahan pangan lebih lembut dan sifat lipofilik menyebabkan lemak terdispersi secara merata ke dalam bahan pangan sehingga tekstur lebih seragam (Winarno, 2008).

  Tahapan Pembuatan Mi Kering

  Tahapan pembuatan mi terdiri dari tahap pencampuran, roll press (pembentukan lembaran), pembentukan mi, pemotongan, pengukusan, pengeringan, pendinginan dan pengemasan. Tahap pencampuran bertujuan agar hidrasi tepung dengan air berlangsung secara merata dan menarik serat-serat gluten. Untuk mendapatkan adonan yang baik harus diperhatikan jumlah penambahan air (28

  • – 38 %), waktu pengadukan (15 – 25 menit), dan

  b

  suhu adonan (24 – 40 C) (Koswara, 2009 ).

  Proses roll press (pembentukan lembaran) bertujuan untuk menghaluskan serat-serat gluten dan membuat lembaran adonan dengan suhu > 25 C, karena suhu < 25 C menyebabkan lembaran pasta pecah-pecah dan kasar. Mutu lembaran pasta yang demikian akan menghasilkan mi yang mudah patah. Tebal akhir pasta sekitar 1,2

  • – 2 mm. Di akhir proses pembentukan lembaran, lembar adonan yang tipis dipotong memanjang selebar 1 – 2 mm dengan rool pemotong mi, dan selanjutnya dipotong melintang pada panjang tertentu,

  b sehingga dalam keadaan kering menghasilkan berat standar (Koswara, 2009 ). Setelah pembentukan mi dilakukan proses pengukusan. Pada proses ini terjadi gelatinisasi pati dan koagulasi gluten sehingga dengan terjadinya dehidrasi air dari gluten akan menyebabkan timbulnya kekenyalan mi. Hal ini disebabkan oleh putusnya ikatan

  b hidrogen, sehingga rantai ikatan kompleks pati dan gluten lebih rapat (Koswara, 2009 ).

  Pada waktu sebelum dikukus, ikatan bersifat lunak dan fleksibel, tetapi setelah

  • – dikukus menjadi keras dan kuat. Pada proses selanjutnya, mi dikeringkan pada suhu 80 110 C selama 20 - 30 detik. Tujuannya agar terjadi dehidrasi lebih sempurna sehingga kadar airnya menjadi 8
  • – 12 %. Setelah mi dikeringkan maka mi didinginkan dan dikemas

  b (Koswara, 2009 ).

Dokumen yang terkait

Karakteristik Fisikokimia dan Fungsional Tepung Komposit Berbahan Dasar Tepung Ubi Jalar, Pati Jagung, Tepung Kedelai dan Xanthan Gum

0 34 102

Karakteristik Fisikokimia Pati Umbi Keladi Sebaring (Alocasia macrorhiza) yang Dimodifikasi dengan Metode Asetilasi dan Aplikasinya pada Produk Mi Kering

1 96 107

Karakterisasi Simplisia, Skrining Fitokimia, dan Uji Toksisitas dari Ekstrak Umbi Keladi Tikus (tuber Typhonii) dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BST)

8 80 57

Karakterisasi Sifat Fisik, Kimia dan Fungsional Pati Suweg (Amorphophallus campanulatus ) yang Dimodifikasi secara Ikatan Silang dengan Na2HPO4

0 28 22

Karakteristik Fisik, Kimia dan Fungsional Pati Gembili (Dioscorea aculeata L.) yang Dimodifikasi secara Ikatan Silang dengan Na2HPO4

0 7 20

Implementasi Pendekatan Saintifik dengan Metode Role Playing yang Dimodifikasi Permainan Domino pada Pembelajaran Kurikulum 2013

0 0 10

Karakteristik Pati Sagu yang Dimodifikasi dengan Perlakuan Gelatinisasi dan Retrogradasi Berulang Characteristics of Modified Sago (Metroxylon sagu) Starch by Gelatinization and Retrogradation Cycling

0 0 11

Karakteristik Fisikokimia dan Fungsional Tepung Komposit Berbahan Dasar Tepung Ubi Jalar, Pati Jagung, Tepung Kedelai dan Xanthan Gum

0 1 15

Karakteristik Fisikokimia dan Fungsional Tepung Komposit Berbahan Dasar Tepung Ubi Jalar, Pati Jagung, Tepung Kedelai dan Xanthan Gum

0 0 14

Karakteristik Fisikokimia Pati Umbi Keladi Sebaring (Alocasia macrorhiza) yang Dimodifikasi dengan Metode Asetilasi dan Aplikasinya pada Produk Mi Kering

0 0 7