Muhammad Ibnu Teguh Endaryanto Lina Marlina

  

Makalah

Evaluasi KinerjaKebijakan Billing Sistem Penebusan Pupuk Subsidi Dalam

Rangka Mencapai Target Swasembada Pangan di Provinsi Lampung

Oleh:

  

Wan Abbas Zakaria

Muhammad Ibnu

Teguh Endaryanto

Lina Marlina

  

Disampaikan pada Seminar Evaluasi Billing System

Rabu, 7 November 2018 di KCP Bank Lampung

  

Evaluasi KinerjaKebijakan Billing Sistem Penebusan Pupuk Subsidi Dalam

Rangka Mencapai Target Swasembada Pangan di Provinsi Lampung

1. LATAR BELAKANG

  Pangan merupakan kebutuhan dasar yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam UUD Tahun 1945. Pangan merupakan komponen dasar untuk mewujudkan SDM yang berkualitas. Oleh karena itu, kedaulatan pangan merupakan isu strategis nasional. Salah satu isu sentral NAWACITA adalah meningkatkan produktivitas, daya saing, dan kemandirian bangsa, termasuk dalam urusan pangan. Menurut catatan Badan Pertanahan Nasional, hingga 2015 lahan untuk tanaman padi nasional mencapai 14 juta hektar dan luas tersebut dinilai tidak memadai lagi untuk memenuhi kebutuhan pangan sekitar 257 juta orang di Indonesia.

  Jumlah penduduk Indonesia yang besar tersebut akan terus bertambah akan diikuti dengan tingkat konsumsi pangan yang meningkatjuga sehingga upaya penyediaan pangan harus terus ditingkatkan secara berkelanjutan. Untuk mendukung pencapaian produksi pangan yang tinggi tentu diperlukan sarana dan prasarana pendukung yang memadai. Beberapa hal di antaranya adalah tersedianya pupuk yang merupakan sumber nutrien bagi tanaman, begitu pula dengan tenaga kerja sebagai elemen penggerak produksi dan yang terakhir adalah tersedianya modal yang kuat untuk menjalankan usaha.

  Pupuk merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting dalam usahatani. Dalam rangka meningkatkan produksi untuk mencapai swasembada pangan berkelanjutan, pemerintah mengeluarkan kebijakan menyediakan pupuk dengan harga murah melalui pemberian subsidi harga pupuk. Penyediaan pupuk diupayakan untuk memenuhi target 6 (enam) tepat, yaitu: tepat jumlah, tepat jenis, tepat waktu, tepat tempat, tepat harga, dan tepat mutu.

  Implementasi kebijakan subsidi pupuk dimulai dari tahap perencanaan kebutuhan pupuk, penetapan harga pupuk bersubsidi, penentuan alokasi pupuk, hingga pendistribusian pupuk sampai ke petani. Pada kenyataannya, sistem yang dirancang demikian komprehensif tersebut, belum mampu menjamin tersedianya pupuk di level petani dangan kriteria 6 tepat. Beberapa permasalahan berulang kali muncul terkait dengan pengadaan dan distribusi pupuk bersubsidi, antara lain: kelangkaan pupuk; harga pupuk melebihi HET; perencanaan dan alokasi kebutuhan tidak sesuai; pengawasan belum maksimal dan lain-lain. Selain itu, disparitas harga pupuk bersubsidi dengan non-subsidi yang sangat besar menimbulkan perilaku rent seeker.

  Jumlah penyerapan pupuk untuk memenuhi kebutuhan petani di Provinsi Lampung cukup tinggi. Hal ini terlihat dari data realisasi penyerahan pupuk Urea bersubsidi pada tahun 2014 yang mencapai 238.785 ton dari total alokasi yang mencapai 244.005 ton atau 97,8 persen dari alokasi tahun 2014. Kabupaten dengan serapan pupuk tertinggi adalah Kabupaten Lampung Tengah, kemudian diikuti Lampung Timur dan Lampung Selatan.

  Adapun potensi kebutuhan pupuk urea di Provinsi Lampung untuk padi sawah dan ladang berturut-turut sebanyak 144.764,12 ton dan 115.367,31ton per tahun. Penggunaan pupuk SP36 paling sedikit digunakan dalam budidaya padi. Potensi penggunaan pupuk phonska di Provinsi Lampung adalah 171.886,71 ton untuk padi sawah dan 13.864,83 ton untuk padi ladang.Pupuk yang umumnya digunakan adalah Urea, SP-36, dan Phonska.

  Berdasarkan data, realisasi pupuk Urea bersubsidi lima tahun terakhir menunjukkan trend yang menurun dari tahun ke tahun. Realisasi pupuk Urea bersubsidi tahun 2009−2014 dapat dilihat pada Gambar 1.

  Realisasi pupuk Urea bersubsidi (ton) 400000 350000 300000 250000 200000

  Realisasi pupuk Urea bersubsidi 150000 100000

  50000 2009 2010 2011 2012 2013 2014

  Sumber: BPS, 2010−2015 Gambar 1. Realisasi Pupuk Urea Bersubsidi Tahun 2009−2014.

  Pada Gambar 1. tampak jelas bahwa selama kurun waktu 2009−2014 terjadi penurunan secara konsisten realisasi pupuk Urea bersubsidi. Penurunan tersebut tampaknya tidak sejalan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan produksi pertanian menuju swasembada pangan. Dalam beberapa tahun ke depan, diperlukan kebijakan yang lebih berpihak kepada peningkatan produksi pertanian secara konsisten, yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan alokasi pupuk bersubsidi.

  Persoalan-persoalan yang muncul terkait dengan penyediaan dan distribusi pupuk bersubsidi diantaranya: kelangkaan pupuk, harga pupuk melebihi HET, perencanaan dan alokasi kebutuhan yang belum optimal, pengawasan yang belum maksimal, disparitas harga pupuk bersubsidi dengan non subsidi sangat besar yang menimbulkan perilaku rent seeker sehingga penyaluran pupuk menjadi tidak efektif dan efisien.

  Secara khusus persoalan yang sering kali berulang pada setiap musim tanam adalah lonjakan harga dan langkanya pupuk pada saat dibutuhkan. Permasalahan ini diduga erat kaitannya dengan aspek teknis pada saat penyusunan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang kurang akurat,tidak tepat waktu dan penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan pupuk bersubsidi. RDKK merupakan daftar kebutuhan pupuk riil petani untuk sekali periode produksi dalam setahun yang menjadi dasar dalam pengajuan kebutuhan pupuk dan penyaluran alokasi pupuk bersubsidi.

  Oleh karena itu pemerintah Provinsi Lampung melakukan Kebijakan Billing Sistem Penebusan Pupuk Subsidi melalui penerbitanPeraturan Gubernur Lampung No 99 Tahun 2016 tentang Pola Distribusi Pupuk Bersubsidi agar pengelolaan pupuk bersubsidi berjalan optimal. Berdasarkan Bab II

  pasal 3 pada Pergub tersebut dinyatakan bahwa pengaturan pola penebusan dan pendistribusian pupuk bersubsidi sektor pertanian bertujuan: a) menyederhanakan prosedur penebusan dan distribusi pupuk bersubsidi;

  b) mengendalikandistribusipupuk bersubsidi;

  c) menjamin ketersediaan pupuk dan penerapan pemupukan berimbang;

  d) meningkatkan produktivitas dan produksi komoditas pertanian;

  e) melindungi kepentingan dan meningkatkan kesejahteraan petani; f) mewujudkan pembangunan pertanian berkelanjutan.

  Billing sistem telah dilaksanakan sejak tahun 2016 pada dua kecamatan di Kabupaten Lampung Selatan yang selanjutnya pada tahun 2017 dikembangkan pada dua kecamatan. Direncanakan pada masa yang akan data Billing Sistem ini akan dilaksanakan pada seluruh wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung, agar kebijakan perluasan penerapan Pergub berjalan dengan baik perlu dilakukan Evaluasi Kinerja Kebijakan Billing Sistem Penebusan Pupuk Subsidi Dalam Rangka Mencapai Target Swasembada Pangan di Provinsi Lampung

2. MAKSUD DAN TUJUAN

  Pelaksanaan kegiatan ini bermaksud untuk melakukanEvaluasi Kinerja Kebijakan Billing Sistem Penebusan Pupuk Subsidi Dalam Rangka Mencapai Target Swasembada Pangan di Provinsi Lampung, selain itu tujuan kajian ini adalah untuk

  a. Mengevaluasi Kinerja Penerapan Kebijakan Billing Sistem Penebusan Pupuk Subsidi di Provinsi Lampung.

  b. Mengkaji persepsi pihak-pihak yang terkait dan stakeholder terhadap Kebijakan Billing Sistem Penebusan Pupuk Subsidi.

  

c. Menganalisis dampak pelaksanaan Kebijakan Billing Sistem Penebusan Pupuk Subsidi

3. SASARAN

  Sasaran yang akan dicapai dalam kegiatan pelaksanaan Evaluasi Kinerja Kebijakan Billing Sistem Penebusan Pupuk Subsidi Dalam Rangka Mencapai Target Swasembada Pangan di Provinsi Lampungadalah sebagai berikut:

  a. Mengetahui efektivitas penerapan Kebijakan Billing Sistem Penebusan Pupuk Subsidi di Provinsi Lampung.

  b. Menentukan strategi perluasan penerapan Kebijakan Billing Sistem Penebusan Pupuk Subsidi di Provinsi Lampung.

  4. NAMA ORGANISASI PENGGUNA JASA

  Organisasi pengguna jasa kegiatan Pelaksanaan Evaluasi Kinerja Kebijakan Billing Sistem Penebusan Pupuk Subsidi Dalam Rangka Mencapai Target Swasembada Pangan di Provinsi Lampungadalah Biro Perekonomian Provinsi Lampung.

  5. LINGKUP KEGIATAN

  Pelaksanaan Evaluasi Kinerja Kebijakan Billing Sistem Penebusan Pupuk Subsidi Dalam Rangka Mencapai Target Swasembada Pangan di Provinsi Lampungmeliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut: 1) Berkoordinasi dengan dinas/instansi yang tekait dengan Evaluasi Kinerja Kebijakan Billing Sistem

  Penebusan Pupuk Subsidi Dalam Rangka Mencapai Target Swasembada Pangan di Provinsi Lampung. 2) Kegiatan ini dilaksanakan di Kabupaten Lampung Selatan 3) Melakukan Pengkajian dan turun lapang untuk survey terkait Pelaksanaan Evaluasi Kinerja

  Kebijakan Billing Sistem Penebusan Pupuk Subsidi Dalam Rangka Mencapai Target Swasembada Pangan di Provinsi Lampung; dan

  4) Menyusun Rekomendasi rencana perluasan penerapan Kebijakan Billing Sistem Penebusan Pupuk Subsidi Dalam Rangka Mencapai Target Swasembada Pangan di Provinsi Lampung.

  6. KELUARAN

  Keluaran yang diharapkan dari kegiatan Evaluasi Kinerja Kebijakan Billing Sistem Penebusan rekomendasi untuk perluasan penerapan Billing Sistem Penebusan Pupuk Bersubsidi di kabupaten- kabupaten lain di Provinsi Lampung.

  7. RENCANA KERJA PELAKSANAAN

  Rencana Kerja Pelaksanaan Evaluasi Kinerja Kebijakan Billing Sistem Penebusan Pupuk Subsidi Dalam Rangka Mencapai Target Swasembada Pangan di Provinsi Lampung direncanakan selama 3 (tiga) bulan.

  8. METODE YANG DIGUNAKAN

  Metode yang digunakan dalam Evaluasi Kinerja Kebijakan Billing Sistem Penebusan Pupuk Subsidi Dalam Rangka Mencapai Target Swasembada Pangan di Provinsi Lampung, yaitu:

  a. Studi literatur/studi kepustakaan, yang bersumber dari buku-buku ilmiah, jurnal ilmiah, hasil penelitian serta buku-buku data yang dikeluarkan oleh instansi yang kompeten.

  b. Metode Diskusi Terarah/Focus Group Discussion (FGD) dengan mengundang stakeholder terkait dan narasumber yang kompeten.

  c. Metode survei dengan pendekatan partisipatif, dimana setiap stakeholder sdilibatkan sebagai objek kajian untuk memperoleh hasil analisis yang komprehensif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Evaluasi Kinerja Penerapan Kebijakan Billing Sistem Penebusan Pupuk Subsidi di Provinsi Lampung.

  94

  7

  6.1 ‘tinggi’ 104

  91.2 Total 114 100 Tepat Mutu ‘rendah’

  7

  6.1 ‘sedang’

  13

  11.4 ‘tinggi’

  82.5 Total 114 100 Tepat Waktu ‘rendah’

  3

  19

  16.7 ‘sedang’

  25

  21.9 ‘tinggi’

  70

  61.4 Total 114 100

  Pada Tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa mayoritas petani (> 60 %) menilai Billing System telah berada pada tingkat kinerja yang ‘tinggi’. Mayoritas (91,20 %) petani menilai Kinerja Billing System adalah ‘tinggi’ dalam hal memenuhi kriteria Tepat Tempat dan Tepat Harga, diikuti oleh 86,0 % petani yang menilai ‘tinggi’ Kriteria Tepat Jenis, 82,50 % petani yang menilai ‘tinggi’ kriteria Tepat Mutu, 76,30 % petani yang menilai ‘tinggi’ kriteria Tepat Jumlah, dan 61,40 % petani yang menilai ‘tinggi’ kriteria Tepat Waktu.

  2.6 ‘sedang’

  Kriteria 6 Tepat atau 6T (Tepat Jumlah, Tepat Tempat, Tepat Jenis, Tepat Mutu, Tepat Harga, dan Tepat Waktu) merupakan indikator Kinerja Billing system. Berdasarkan hasil analisis terhadap data survey, ditemukan mayoritas petani (secara frekuensi dan presentase jumlah) memiliki tingkat penilaian ‘tinggi’ terhadap Kriteria 6T tersebut (lihat Tabel 1. dibawah ini).

  Tabel 2. Statistik Deskriptif (Frekuensi dan Persentase Jumlah) Responden Pemilih untuk Masing- masing Kriteria 6 Tepat dan Tingkat Kinerjanya

  76.3 Total 114 100 Tepat Tempat ‘rendah’

  Kriteria 6 Tepat (6T) Tingkat Kinerja Billing System

  Statistik Deskriptif Frekuensi Persentase Tepat Jumlah ‘rendah’

  11

  9.6 ‘sedang’

  16

  14.0 ‘tinggi’

  87

  6

  98

  5.3 ‘sedang’

  4

  3.5 ‘tinggi’ 104

  91.2 Total 114 100 Tepat Jenis ‘rendah’

  3

  2.6 ‘sedang’

  13

  11.4 ‘tinggi’

  86.0 Total 114 100 Tepat Harga ‘rendah’ Selanjutnya, untuk mempermudah melihat perbandingan antara Tingkat Penilaian (‘tinggi’, ‘sedang’, dan ‘rendah’), Gambar 1 sampai dengan 7 menampilkan persentasi jumlah petani yang memberikan evaluasi/penilaian untuk kinerja setiap kriteria 6T.

  Gambar 1. Persentasi Petani Berdasarkan Tingkat Evaluasi Kinerja Tepat Jumlah Gambar 2. Persentasi Petani Berdasarkan Tingkat Evaluasi Kinerja Tepat Tempat Gambar 3. Persentasi Petani Berdasarkan Tingkat Evaluasi Kinerja Tepat Jenis

  60

  P e rs e n ta se

  80 100 Rendah Sedang Tinggi

  60

  40

  20

  85.96

  11.40

  2.63

  Tingkat Kinerja Tepat Tempat

  P e rs e n ta se

  80 100 Rendah Sedang Tinggi

  40

  9.65

  20

  91.23

  3.51

  5.26

  Tingkat Kinerja Tepat Jumlah

  P er sen ta se

  80 100 Rendah Sedang Tinggi

  60

  40

  20

  76.32

  14.04

  Tingkat Kinerja Tepat Jenis Gambar 4. Persentasi Petani Berdasarkan Tingkat Evaluasi Kinerja Tepat Harga Gambar 5. Persentasi Petani Berdasarkan Tingkat Evaluasi Kinerja Tepat Mutu Gambar 6. Persentasi Petani Berdasarkan Tingkat Evaluasi Kinerja Tepat Waktu Berdasarkan gambar-gambar di atas, walaupun mayoritas petani (secara persentase jumlah) menilai ‘tinggi’ Tingkat Kinerja Billing System, sebagian petani ada pula yang menilai ‘rendah’ Tingkat Kinerja

  2.63

  60

  70 Rendah Sedang Tinggi P e rs e n ta se

  60

  50

  40

  30

  20

  10

  61.40

  21.93

  16.67

  Tingkat Respon Tepat Mutu

  90 Rendah Sedang Tinggi P e rs e n ta se

  80

  70

  50

  6.14

  40

  30

  20

  10

  82.46

  11.40

  6.14

  Tingkat Kinerja Tepat Harga

  P e rs e n ta se

  80 100 Rendah Sedang Tinggi

  60

  40

  20

  91.23

  Tingkat Kinerja Tepat Waktu

  

Billing System. Persentase petani yang menilai ‘rendah’ tersebut adalah sebagai berikut yaitu 16, 67

  % menilai Kinerja Kriteria Tepat Waktu adalah ‘rendah’, diikuti 9,65 % petani yang menilai Kriteria Tepat Jumlah adalah ‘rendah’, 6,14 % petani yang menilai Kriteria Tepat Mutu adalah ‘rendah’, 5,26 % petani yang menilai Kriteria Tepat Tempat adalah ‘rendah’, dan 2,63 % petani yang menilai (masing- masing) Kriteria Tepat Jenis dan Tepat Harga adalah ‘rendah’.

  Untuk Tingkat Kinerja yang dinilai ‘sedang’, Kriteria Tepat Waktu masih memiliki persentase responden pemilih terbanyak (21,93 %), diikuti oleh Kriteria Tepat Jumlah (14,04 %), Kriteria Tepat Jenis dan Tepat Mutu (masing-masing 11,40 %), Kriteria Tepat Harga (6,14 %), dan Kriteria Tepat Tempat (3,51 %).

  Persentase jumlah responden petani pemilih untuk masing-masing tingkat kinerja (‘tinggi’, ‘sedang’, ‘rendah’) secara linear menentukan nilai keseluruhan (overall score) untuk masing-masing kriteria 6T Kinerja Billing System. Berdasarkan nilai/skor yang diberikan petani responden, Tabel di bawah menunjukkan bahwa Billing System mampu menghasilkan kinerja yang ‘tinggi’ untuk Kriteria Tepat Tempat (skor =0,82), Tepat Harga (skor =0,82), Tepat Jenis (skor =0,79), Tepat Mutu (skor =0,77), dan Tepat Jumlah (skor =0,76). Namun, Billing System hanya mampu menunjukkan kinerja pada tingkat ‘sedang’ untuk Kriteria Tepat Waktu (skor=0,70).

  Tabel 3. Penilaian Keseluruhan (overall evaluation) Petani tentang Kinerja Billing System

  Indikator Kinerja Nilai Respon Klasifikasi Tingkat Ranking Kinerja 6T Berdasarkan Nilai

  6T Petani Kinerja 6T Respon Petani Tepat Jumlah 0.76 ‘tinggi’

  4 Tepat Tempat 0.82 ‘tinggi’

  1 Tepat Jenis 0.79 ‘tinggi’

  2 Tepat Harga 0.82 ‘tinggi’

  1 Tepat Mutu 0.77 ‘tinggi’

  3 Tepat Waktu 0.70 ‘sedang’

  5 B. Persepsi Stakeholder terhadap Kebijakan Billing Sistem Penebusan Pupuk Subsidi.

  

Stakeholder pada umumnya memiliki tingkat persepsi yang ‘tinggi’ tentang berbagai kategori terkait

kebijakan Billing System. Hal tersebut ditunjukkan oleh Tabel 4 di bawah ini.

  Pada Tabel 4 di bawah dapat dilihat bahwa sebagian besar stakeholder (> 51 %) memiliki tingkat persepsi yang ‘tinggi’ (dan positif) terhadap kebijakan Billing System. Mayoritas stakeholder (96,8 %) memiliki tingkat persepsi ‘tinggi’ terhadap Tujuan (goal) Kebijakan dan Prosedur Implementasi Billing

  

System, diikuti 83,9 % stakeholder yang memiliki persepsi ‘tinggi’ tentang Manfaat Kebijakan dan

  Kemudahan Distribusi Pupuk Melalui Billing System, 77,4 % stakeholder yang memiliki sikap Positif tentang Kebijakan Billing System, 58,1 % stakeholder yang memiliki persepsi ‘tinggi’ tentang

  Sumberdaya, Fasilitas, dan Teknologi Pendukung Kebijakan Billing System, dan 51,6 % stakeholder yang memiliki persepsi ‘tinggi’ tentang rendahnya Resiko Implementasi Kebijakan Billing System. Tabel 4. Statistik Deskriptif (Frekuensi dan Persentase Jumlah) Responden (Stakeholder) Pemilih untuk Berbagai Kategori dan Tingkat Persepsi

  38.70 ‘tinggi’

  4

  12.90 ‘sedang’

  9

  29.00 ‘tinggi’

  18

  58.10 Total 31 100.00 Persepsi Stakeholder tentang rendahnya Resiko Implementasi Kebijakan Billing System ‘rendah’

  3

  9.70 ‘sedang’

  12

  16

  83.90 Total 31 100.00 Persepsi Stakeholder tentang Ketersediaan Sumberdaya, fasilitas, dan Teknologi Pendukung Kebijakan Billing System

  51.60 Total 31 100.00

  Selanjutnya, Gambar 7 - 12 menampilkan persentasi jumlah stakeholder yang memberikan evaluasi/penilaian (‘tinggi’, ‘sedang’, dan ‘rendah’) untuk setiap kategori persepsi.

  Gambar 7. Persentase Stakeholder Berdasarkan Tingkat Persepsi tentang Tujuan (Goal) Dan Prosedur

  3.23

  96.77

  20

  40

  60

  80 100 120 Sedang Tinggi

  P e rs e n ta se

  ‘rendah’

  26

  Kategori Tingkat Persepsi Stakeholder tentang Kebijakan Billing System Statistik Deskriptif Frekuensi Persentase Persepsi Stakeholder tentang Tujuan (goal) kebijakan dan prosedur implementasi Billing System

  12.90 ‘tinggi’

  ‘rendah’ ‘sedang’

  1

  3.20 ‘tinggi’

  30

  96.80 Total 31 100.00 Persepsi Stakeholder tentang Manfaat Kebijakan Billing System

  ‘rendah’

  1

  3.20 ‘sedang’

  4

  26

  16.10 ‘tinggi’

  83.90 Total 31 100.00 Sikap Positif Stakeholder tentang Kebijakan Billing System

  ‘rendah’

  4

  12.90 ‘sedang’

  3

  9.70 ‘tinggi’

  24

  77.40 Total 31 100.00 Persepsi Stakeholder tentang Kemudahan Distribusi Pupuk Melalui Kebijakan Billing System ‘rendah’

  ‘sedang’

  5

  Tingkat Persepsi Tujuan (goal) kebijakan dan prosedur implementasi Billing System Manfaat Kebijakan Billing System 100

  83.87

  80

  60 se ta

  40 n e rs

  12.90

  20 e P

3.23 Rendah Sedang Tinggi

  Tingkat Persepsi

Gambar 8. Persentase Stakeholder Berdasarkan Tingkat Persepsi tentang Manfaat Kebijakan Billing System

  Sikap Positif Stakeholder tentang Kebijakan Billing System 100

  77.42

  80 se

  60 ta n e

  40 rs e P

  12.90

  20

9.68 Rendah Sedang Tinggi

  Tingkat Sikap Gambar 9. Persentase Stakeholder Berdasarkan Tingkat Persepsi tentang Kebijakan Billing System

  Kemudahan Distribusi Pupuk Melalui Kebijakan Billing System 100

  83.87

  80 se

  60 ta n e rs

  40 e P

  16.13

  20 Sedang Tinggi Tingkat Persepsi Gambar 10. Persentase Stakeholder Berdasarkan Tingkat Persepsi tentang Kemudahan Distribusi Pupuk melalui Billing System

  

Gambar 11. Persentase Stakeholder Berdasarkan Tingkat Persepsi tentang Ketersediaan Sumberdaya, fasilitas,

dan Teknologi Pendukung Kebijakan Billing System Gambar 12. Persentase Stakeholder Berdasarkan Tingkat Persepsi tentang ‘rendah’nya Resiko Implementasi Kebijakan Billing System

  Tingkat Persepsi Ketersediaan Sumberdaya, fasilitas, dan Teknologi Pendukung Kebijakan Billing System

  60 Rendah Sedang Tinggi P er cen t

  50

  40

  30

  20

  10

  51.61

  38.71

  9.68

  70 Rendah Sedang Tinggi P e rs e n ta se

  Berdasarkan Gambar 7 sampai dengan Gambar 12, walaupun sebagian besar stakeholder (secara persentase jumlah) memiliki tingkat persepsi (positif) yang ‘tinggi’ terhadap kebijakan Billing System, dapat dilihat pula bahwa sebagian stakeholder memiliki tingkat persepsi yang ‘rendah’. Persentase jumlah stakeholder yang memiliki tingkat persepsi ‘rendah’ mengenai Ketersediaan Sumberdaya, Fasilitas, dan Teknologi Pendukung Kebijakan Billing System dan mengenai Sikap Positif terhadap Kebijakan Billing System (masing-masing) adalah 12,9 %, persentase stakeholder yang memiliki tingkat persepsi ‘rendah’ mengenai (Rendahnya) Resiko Implementasi Kebijakan Billing System adalah 9,68 %, dan persentase stakeholder yang memiliki tingkat persepsi ‘rendah’ mengenai Tujuan dan Prosedur Implementasi dan mengenai Manfaat Kebijakan Billing System masing-masing adalah 3,23 %.

  60

  50

  40

  30

  20

  10

  58.06

  29.03

  12.90

  Tingkat Persepsi Rendahnya Resiko Implementasi Kebijakan Billing System Persentase jumlah stakeholder yang memiliki tingkat persepsi ‘sedang’ terhadap Kebijakan Billing

  

System ditemukan cukup besar pada kategori Rendahnya Resiko Implementasi Kebijakan Billing

System (38,7%), diikuti Ketersediaan Sumberdaya, fasilitas, dan Teknologi Pendukung Kebijakan Billing

System (29,03 %), Kemudahan Distribusi Pupuk melalui Billing System (16, 13 %), Manfaat Kebijakan

Billing System (12,9 %), Sikap Stakeholder tentang Kebijakan Billing System (9,68 %), dan Tujuan (goal)

  dan prosedur implementasi Billing System (3,23 %). Frekuensi dan/atau persentase jumlah stakeholder yang memberikan skor nilai untuk masing-masing tingkat persepsi (‘tinggi’, ‘sedang’, ‘rendah’) menentukan keseluruhan nilai (overall score) untuk masing-masing kategori persepsi. Pada Tabel 5 di bawah dapat dilihat bahwa, secara berturut-turut berdasarkan nilai skor persepsi stakehoder, Billing System dianggap sebagai sebagai kebijakan yang ‘tepat’ dan ‘positif’ dalam hal Tujuan (goal) dan Prosedur Implementasi (skor=0,85), Manfaat dan Kemudahan Implementasi (masing-masing skor=0,83), Dukungan Sikap Stakeholder (skor=0,78), Rendahnya Resiko (skor=0,71), dan dalam hal Ketersediaan Sumberdaya, Fasilitas, dan Teknologi Pendukung Kebijakan (skor=0,70).

  Tabel 5. Persepsi Keseluruhan (overall perception) Stakeholder tentang Kebijakan Billing System

  Kategori Skor Klasifikasi Rangking Persepsi Persepsi Persepsi Berdasarkan Skor

  Persepsi Stakeholder tentang Tujuan (goal) kebijakan dan 0.85 ‘tinggi’

  1 prosedur implementasi Billing System Persepsi Stakeholder tentang Manfaat Kebijakan Billing 0.83 ‘tinggi’

  2 System Sikap Positif Stakeholder tentang Kebijakan Billing System 0.78 ‘tinggi’

  3 Persepsi Stakeholder tentang Kemudahan Implementasi 0.83 ‘tinggi’

  2 Kebijakan Billing System Persepsi Stakeholder tentang Ketersediaan Sumberdaya, 0.70 ‘sedang’

  5 fasilitas, dan Teknologi Pendukung Kebijakan Billing System Persepsi Stakeholder tentang Rendahnya Resiko dalam 0.71 ‘sedang’

  4 Billing System

  

C. Dampak Pelaksanaan Kebijakan Billing System Penebusan Pupuk Subsidi Terhadap Perubahan

(Peningkatan) Pendapatan dan Hasil Produksi Padi Petani

  Dampak pelaksanaan kebijakan Billing System terhadap perubahan (peningkatan) pendapatan dan hasil produksi padi petani dievaluasi dengan menggunakan data di tingkat petani selama 3 (tiga) musim terakhir (setelah dan sebelum implementasi kebijakan Billing System). Perbandingan kondisi sesudah dan sebelum Billing System menunjukkan adanya perubahan pada berbagai indikator, seperti pendapatan, hasil produksi, luas lahan, jumlah dan harga pupuk, frekuensi penyuluhan, kondisi iklim dan irigasi, dan perubahan keaktifan kelompok tani. Perubahan berbagai indikator tersebut dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini. Tabel 6. Statistik Deskriptif Berbagai Perubahan Indikator Sebelum dan Sesudah Kebijakan Billing

  System Indikator Perubahan Sebelum dan Sesudah Billing System * Jumlah Observasi Total kumulatif Perubahan Rata-rata Perubahan per observasi Standar Deviasi

Perubahan Pendapatan (Rp) 114 43,493,580.00 381,522.63 2710608

Perubahan_Hasil_ Produksi (kg) 114 -7,935.50 -69.61 .1224808

Perubahan_Luas_Lahan (ha) 114

  2.50 0.02 226.0543 Perubahan_Jumlah_Urea (kg) 114 1,995.00 17.50 319.7924

Perubahan_Jumlah_SP36 (kg) 114 14,569.38 127.80 71.67542

  Perubahan_Jumlah_NPK (kg) 114 451.88

  3.96 Perubahan_Harga_Urea (Rp/kg) 114 -94,060.00 -825.09 1354.102

Perubahan_Harga_SP36 (Rp/kg) 114 15,600.00 136.84 1394.062

Perubahan_Harga_NPK (Rp/kg) 114 -49,560.00 -434.74 1697.713

Perubahan_Harga_Hasil Produksi (Rp/kg) 114 53,850.00 472.37 968.3736 Perubahan_Frek_Penyuluhan (kali) 114

  89.00 0.78 3.494012 Perubahan_Iklim** 114 -41.00 -0.36

Perubahan_Jarak_Kios (km) 114 -174.50 -1.53 .8531793

Perubahan_Kondisi_Irigasi ** 114 -16.00 -0.14 2.95162

Perubahan_Keaktifan_Kelompok Tani (KT)**

  114

  37.00 0.32 .4955946

  • Data berdasarkan 3 (tiga) musim tanam Sebelum dan Sesudah Billing System

    ** Data nominal, tanda positif/negatif menunjukkan bahwa kondisi setelah Billing System adalah lebih

    mendukung/tidak mendukung dibandingkan kondisi sebelum Billing System

  Berdasarkan perbandingan kondisi Sebelum dan Sesudah Billing System, pada Tabel 6 di atas, dapat dilihat bahwa terdapat perubahan bertanda positif seperti perubahan pendapatan (penjualan padi), perubahan luas lahan, perubahan jumlah kilogram pupuk yang digunakan (Urea, SP36, dan NPK), perubahan harga hasil produksi (padi), perubahan frekuensi penyuluhan, dan perubahan keaktifan kelompok tani. Namun demikian, tidak semua perubahan bertanda positif tersebut tergolong dalam kategori perubahan yang diinginkan, seperti perubahan Harga SP36 yang justru meningkat setelah implementasi Billing System. Selain itu, hasil produksi padi secara kumulatif dalam 3 (tiga) musim terakhir (setelah implementasi Billing System) justru mengalami penurunan sebesar 7,935.50 kilogram . Analsisis regresi kemudian digunakan untuk mengevaluasi signifikansi variabel-variabel yang diduga mempengaruhi Perubahan Pendapatan dan Perubahan Hasil Produksi. Tabel 7 dan Tabel 8 masing masing menampilkan hasil output program STATA untuk dua model regresi Dampak Billing System, yaitu (1) terhadap Perubahan Pendapatan dan (2) terhadap Perubahan Hasil Produksi. Regresi didasarkan pada data perubahan berbagai indikator (selama tiga musim tanam terakhir) sesudah dan sebelum implementasi Billing System. Tabel 7. Regresi Dampak Billing System terhadap Perubahan Pendapatan

  Perubahan Pendapatan Coef. Std. Err. t P>t [95% Conf. Interval]

  

Perubahan_Luas_Lahan -8504224 2036085 -4.18 0.000* -1.25e+07 -4464688

Perubahan_Jumlah_Urea -524.7653 1105.068 -0.47 0.636 -2717.188 1667.657

Perubahan_Jumlah_SP36 625.4917 723.9114

  0.86 0.390 -810.7278 2061.711

Perubahan_Jumlah_NPK -3396.626 3558.122 -0.95 0.342 -10455.84 3662.587

Perubahan_Harga_Urea -613.245 328.565 -1.87 0.065 -1265.109 38.61863

Perubahan_Harga_SP36 -280.3282 186.3769 -1.50 0.136 -650.0948 89.43832

Perubahan_Harga_NPK 519.8647 272.843 1.91 0.060 -21.44813 1061.178

Perubahan_Harga_Hasil Produksi -1111.445 253.9121 -4.38 0.000* -1615.2 -607.6911

Perubahan_Frek_Penyuluhan -16651.14 63034.32 -0.26 0.792 -141709.4 108407.1

Perubahan_Iklim 471670.4 323061.4

  1.46 0.147 -169274.3 1112615 Perubahan_Jarak_Kios 29348.28 83041.19 0.35 0.725 -135403.1 194099.6 Perubahan_Kondisi_Irigasi 376328.5 491893.6 0.77 0.446 -599574.4 1352232 Perubahan_Keaktifan_KT 213175.8 199916.2 1.07 0.289 -183452.4 609803.9 _cons 1005311 355820.2 2.83 0.006 299374 1711248 R-squared = 0.3761

  Adj R-squared = 0.2949

  • signifikan pada selang kepercayaan 95 %

  Tabel 8. Regresi Dampak Billing System terhadap Perubahan Hasil Produksi

  Perubahan_Hasil_Produksi Padi Coef. Std. Err. t P>t [95% Conf. Interval]

Perubahan_Luas_Lahan -8111.001 1016.232 -7.98 0.000* -10127.18 -6094.825

Perubahan_Jumlah_Urea .1471576 .5515513 0.27 0.790 -.9471044 1.24142

Perubahan_Jumlah_SP36 -.6645765 .361312 -1.84 0.069 -1.381409 .0522563

Perubahan_Jumlah_NPK -.1425126 1.775897 -0.08 0.936 -3.665843 3.380817

Perubahan_Harga_Urea -.1640153 .1639904 -1.00 0.320 -.4893675 .1613369

Perubahan_Harga_SP36 .0363091 .0930228 0.39 0.697 -.1482454 .2208636 Perubahan_Harga_NPK .1769384 .1361789

  1.30 0.197 -.0932367 .4471135

Perubahan_Harga_Hasil Produksi .61781 .1267303 4.87 0.000* .3663807 .8692392

Perubahan_Frek_Penyuluhan -.5621111 31.46111 -0.02 0.986 -62.98006 61.85584

Perubahan_Iklim 361.5524 161.2435 2.24 0.027* 41.64989 681.4548

Perubahan_Jarak_Kios 43.4283 41.44676 1.05 0.297 -38.80089 125.6575

Perubahan_Kondisi_Irigasi -122.8474 245.5095 -0.50 0.618 -609.9312 364.2363

Perubahan_Keaktifan_KT -64.44734 99.78037 -0.65 0.520 -262.4088 133.5141

_cons 36.60081 177.5937

  0.21 0.837 -315.7401 388.9417 R-squared = 0.5026 Adj R-squared = 0.4380

  • signifikan pada selang kepercayaan 95 %

  Berdasarkan hasil Regresi pada kedua tabel di atas, dapat dilihat bahwa hanya Perubahan Luas Lahan (P-value=0,00) dan Perubahan Harga Hasil Produksi (P-value=0,00) yang secara siginifikan mempengaruhi baik pada Perubahan Pendapatan maupun pada Perubahan Hasil Produksi. Perubahan iklim (P-value=0,027) tampak secara signifikan mempengaruhi Perubahan Hasil Produksi. Namun secara keseluruhan, baik pada model regresi Perubahan Pendapatan (Adj R-squared = 0.2949) maupun pada model regresi Perubahan Hasil Produksi (Adj R-squared = 0.4380), variabel-variabel terikatnya tampak memiliki korelasi yang lemah terhadap indikator-indikator/variabel-variabel bebasnya.

  Kesimpulan

Billing System paling tidak memiliki 2 (dua) manfaat yang dapat diobservasi secara langsung di

  lapangan. Pertama, melalui pengaturan 'kuota' pupuk subsidi berdasarkan RDKK kelompok tani, Billing

  

System dapat memberikan jaminan bahwa hak suatu Kelompok Tani akan pupuk subsidi tidak

  dialihkan ke kelompok/pihak lain. Jaminan hak ini mendukung distribusi pembagian pupuk secara lebih adil dan merata antar kelompok tani. Kuota yang telah ter-sistemize di dalam Billing System ini tidak mudah di 'permainkan' ditingkat distributor/kios. Kedua, Billing System mendorong terjadinya perbaikan manajemen/administrasi melalui aktivitas kelompok dalam mengatur pola pengajuan pupuk dan pembagian pupuk keanggotanya (termasuk pencatatan dan pembuatan RDKK). Selain itu, terdapat manfaat finansial dalam bentuk 'saving' yang bisa dimanfaat oleh kelompok tani untuk penguatan modal/kas. Sebagai contoh, dengan Billing System, kelompok tani menebus pupuk urea di kios Rp. 97.000/sak terima di tempat (biasanya rumah ketua kelompok). Kelompok kemudian membagikan pupuk tersebut ke anggota dengan harga Rp. 100.000/sak. Kelompok mendapatkan kelebihan Rp.3000/sak yang disimpan sebagai 'saving'. Sebelum Billing System, saving ini dinikmati oleh kios/distributor namun berpindah ke kelompok tani setelah mengikuti Billing System. Manfaat-manfaat kebijakan Billing System yang telah diuraikan di atas dapat dikatakan berada di tingkat kelompok tani. Terkait dengan manfaat-manfat tersebut, hasil analisis data survei memberikan beberapa kesimpulan yang lebih detil mengenai tingkat kinerja, persepsi, dan dampak Billing System (terhadap perubahan pendapatan dan hasil produksi petani) di tingkat individu petani, kelompok, dan

  stakeholder lainnya. Beberapa kesimpulan yang dapat diambil antara lain:

Pertama, Billing System mampu menghasilkan kinerja yang ‘tinggi’ untuk Kriteria Tepat Tempat (skor

  =0,82), Tepat Harga (skor =0,82), Tepat Jenis (skor =0,79), Tepat Mutu (skor =0,77), dan Tepat Jumlah (skor =0,76). Namun, Billing System hanya mampu menunjukkan kinerja pada tingkat ‘sedang’ untuk Kriteria Tepat Waktu (skor=0,70). Dengan demikian Kinerja Billing System secara keseluruhan belum optimal, ditambah lagi dengan temuan/observasi di lapangan bahwa tidak semua individu petani menyukai Billing System.

  Alasan individu petani tidak menyukai Billing System direfeleksikan dalam dua hal, yaitu (1) Sebagian petani menganggap membeli di kios (sebelum Billing System) lebih praktis (membeli dalam jumlah

  Sebagian petani juga merasa kesulitan untuk melakukan penambahan pupuk subsidi dalam jumlah kecil setelah Billing System karena kios tidak melayani pembelian seperti itu lagi. (2) Petani merasa tidak ada perubahan harga sebelum dan sesudah Biling System karena, sebagai contoh, petani membeli urea di kios Rp. 100.000 (sebelum Billing System) dan membayar jumlah yang sama Rp. 100.000 di kelompok tani (sesudah billing sistem). Hal ini selanjutnya berdampak pada skor kinerja Tepat Harga yang walaupun termasuk ‘tinggi’ (yaitu 0,82), namun masih belum mencapai nilai maksimal (yaitu 1,00). Dengan demikian, secara umum dapat pula disimpulkan bahwa belum optimalnya kinerja Billing System adalah karena manfaat pertama dan kedua Billing System yang telah diuraikan di atas tidak dipahami/belum dirasakan petani. Individu petani yang tidak paham/merasakan manfaat Billing System dan bagaimana Billing System bekerja akan sulit berkontribusi pada pelaksanaan kebijakan. Informasi mengenai Kebijakan Billing System tampaknya baru sebatas informasi 'teknis' bagaimana menggunakan Billing System, pembuatan rekening kelompok dan lain-lain. Namun, usaha-usaha dalam memberikan pemahaman mengenai aspek filosofis dan manfaat Billing System, baik pada jangka pendek maupun panjang, terutama untuk individu petani tampaknya masih kurang.

  

Ketiga, Kelompok Tani dan stakeholder lainnya secara umum memiliki persepsi yang ‘tinggi’ dan

  'positif' terhadap kebijakan Billing System penebusan pupuk subsidi. Billing System dianggap sebagai sebagai kebijakan yang ‘tepat’ dalam hal Tujuan (goal) dan Prosedur Implementasi (skor=0,85), Manfaat dan Kemudahan Implementasi (masing-masing score=0,83), dan Dukungan Sikap Stakeholder (score=0,78). Namun demikian, stakeholder masih memiliki tingkat persepsi yang ‘sedang’ dalam hal Rendahnya Resiko (score=0,71), dan Ketersediaan Sumberdaya, Fasilitas, dan Teknologi Pendukung Kebijakan (scoer=0,70). Dengan demikian, penguatan sumberdaya terutama Kelembagaan Kelompok Tani sangat diperlukan. Penebusan pupuk subsidi melalui Billing System tidak dapat dilakukan tanpa kelompok tani. Kelompok yang memiliki manajemen yang kurang baik akan kesulitan mengatur pola pengajuan pupuk. Kesulitan utama kelompok adalah dalam hal mengumpulkan 'dana' dari anggotanya untuk menebus pupuk pada Billing System sesuai waktu musim tanam.

  

Keempat, untuk dampak Billing System, berdasarkan perbandingan kondisi ‘sesudah dan sebelum’

  implementasi kebijakan, terdapat berbagai berbagai perubahan indikator dalam ‘tanda’ yang positif seperti perubahan pendapatan (penjualan padi), perubahan luas lahan, perubahan jumlah kilogram pupuk yang digunakan (Urea, SP36, dan NPK), perubahan harga hasil produksi (padi), perubahan frekuensi penyuluhan, dan perubahan keaktifan kelompok tani. Namun demikian, tidak semua perubahan bertanda positif termasuk dalam kategori yang ‘diinginkan’ seperti perubahan pada pupuk SP36 yang harganya justru meningkat setelah implementasi Billing System. Berdasarkan observasi,

  

Billing System tampaknya memiliki 'hole' atau lubang yang berpotensi mengurangi efektivitasnya di

  tingkat Kelompok Tani. Kelompok Tani yang tidak menebus kuota haknya di Billing System (dengan alasan utama masalah kurangnya dana tebusan), pada beberapa kasus, mengakui 'menawarkan' kuota miliknya tersebut ke Kelompok Tani lain. Bila Kelompok Tani lain tersebut setuju, Kelompok Tani yang menawarkan akan mewakilkan untuk menebus pupuk tersebut. Hal ini merupakan aktivitas yang tidak dapat di kontrol oleh Billing System, apakah akan terjadi kegiatan 'bisnis' yang tidak diinginkan dan mungkin menjadi salah satu penyebab meningkatnya harga pupuk SP36 tersebut.

  Selain itu, ditemukan bahwa hasil produksi padi, secara kumulatif dalam 3 (tiga) musim terakhir setelah implementasi Billing System, justru mengalami penurunan sebesar 7,935.50 kilogram. Berdasarkan hasil Regresi, hanya Perubahan Luas Lahan (P-value=0,00) dan Perubahan Harga Hasil Produksi (P-value=0,00) yang secara siginifikan mempengaruhi baik pada Perubahan Pendapatan maupun pada Perubahan Hasil Produksi. Perubahan iklim (P-value=0,027) tampak secara signifikan mempengaruhi Perubahan Hasil Produksi. Secara keseluruhan, kedua model regresi adalah lemah dalam hal menjelaskan keterkaitan antara Perubahan Pendapatan dan Perubahan Hasil Produksi dengan indikator-indikator/variabel-variabel bebasnya. Dilihat dari adjusted R-squarenya, kedua model regresi tersebut hanya mampu menjelaskan < 50 % dari realita di lapangan.

  Sebagai kesimpulan akhir adalah Billing System diyakini mempunyai berpotensi yang besar dalam hal mengatasi berbagai masalah terkait distribusi pupuk. Namun, peningkatan pendapatan dan hasil produksi petani tidak hanya dipengaruhi oleh perubahan terkait pupuk, tetapi tampaknya justru lebih dipengaruhi oleh peningkatan harga hasil produksi (harga padi), peningkatan luas lahan, dan variabel- variabel lain yang belum diperhitungkan dalam model regresi. Dengan kata lain, perubahan terkait pupuk masih didominasi variabel-variabel lain yang belum dimasukkan dalam model. Oleh karena itu, perlu didiskusikan lebih lanjut implikasi-implikasi temuan ini dengan para stakeholder, terutama pemerintah, untuk mengatasi persoalan-persoalan terkait Pendapatan dan Hasil Produksi Petani, termasuk mengatasi masalah-masalah yang terkait langsung dengan implementasi kebijakan Billing System.

DAFTAR PUSTAKA

  Abdurohim, O. 2008. Pengaruh Kompos Terhadap Ketersediaan Hara Dan Produksi Tanaman Caisin Pada Tanah Latosol Dari Gunung Sindur, sebuah skripsi. Dala diunduh 13 Juni 2010.

  Adisarwanto T., A.A.Rahmiana dan Suhartina. 1993. Budidaya Kacang Tanah. Kacang Tanah. Monograf Balittan Malang No.12. Malang. H.91-106.

  Diez, J.A., MaC Cartagena dan A. Vallejo. 1992. Controlling phosphorus fixation in calcareous soils by using coated diammonium phosphate. Fertilizer research. June 1992, Volume 31, pp 269-274. Fabunmi, T.O. 2009. Effect of different split applications of npk fertilizer on growthand yield of maize, and economic returns. Nigeria Agriculture Journal. Vol 40, No 1-2 (2009) Gaur, D. C. 1980. Present Status of Composting and Agricultural Aspect, in: Hesse, P. R. (ed). Improvig Soil Fertility Through Organic Recycling, Compost Technology. FAO of United Nation. New Delhi. Guntoro D., Purwono, dan Sarwono. 2003. Pengaruh Pemberian Kompos Bagase Terhadap Serapan

  Hara Dan Pertumbuhan Tanaman Tebu (Saccharum officinarum L.). Dalam Buletin Agronomi, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor. Handayani, M. 2009. Pengaruh Dosis Pupuk NPK dan Kompos Terhadap Pertumbuhan Bibit Salam, sebuah skripsi. Ddiunduh 13 Juni 2010. Ispandi A. 2000. Pengaruh Pemupukan NPK dan S terhadap dinamika hara di lahan kering Alfisol dan tanaman kacang tanah. Ilmu Pertanian Vol.8. No.2. Des. 2001. p. 83-93. Fakultas Pertanian

  Universitas gajah mada Yogyakarta. Ispandi,A. dan Abdul Munip. 2004. Efektivitas pupuk pk dan frekuensi pemberian pupuk k dalam meningkatkan serapan hara dan produksi kacangtanah di lahan kering alfisol. Ilmu Pertanian

  Vol. 11 No. 2, 2004 : 11-24 Jat, R.A., S.P.Wani, K.L.Sahrawat, P.Singh dan P.L.Dhaka. 2011. Fertigation in Vegetable Crops for Higher Productivity and Resource Use Efficiency. Indian Journal of Fertilizers, 7 (3). pp. 22-37.

  

Lopez, M.A.H., A.L.Ulery dan Z.Samani. 2011. Response of chile pepper (Capsicum annuum L.) To salt