Pemikiran Etika Politik Ibnu Taimiyah Dan Ibnu Khaldun

(1)

PEMIKIRAN ETIKA POLITIK IBNU TAIMIYAH

DAN IBNU KHALDUN

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Asep Sholahuddin

NIM : 107045200266

Program Studi

Siyasa

h Jinayah Syari’ah

Fakultas syari

ah & Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta


(2)

(3)

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya nyatakan, bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Stara 1 di Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya sesuaikan dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari skripsi ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 13 Mei 2014


(5)

ABSTRAK

Etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politik kehidupan manusia. Manusia dibedakan dari binatang, oleh karena itu ia bertindak dengan sadar diatas kemampuanya sendiri, dan oleh karena itu ia bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya. Manusia sebagai mahkluk sosial tentu memiliki dimensi politik dalam kehidupanya. Politik adalah ilmu yang mempelajari politik atau politics atau kepolitikan. Politik adalah usaha menggapai kehidupan yang baik.

Untuk mencapai sebuah kekompakan, ketertiban, dan apa yang diharapkan oleh mansyarakat maka masyarakat tidak bisa bekerja sendiri, mereka butuh kerja sama satu sama lain. Dalam kerja sama tersebut dibutuhkan seorang nahkohda untuk menyetir apa yang sudah diharapkan. Jika pemimpin Rusak, niscaya rusak pula rakyat yang dipimpinya, demikianlah sebuah fenomena meyedihkan yang senantiasa menghantui pikiran Ibnu Taimiyah.

seorang penguasa politik atau pemimpin, wajib “menyapaikan amanat kepada pemberi amanat itu” dan untuk “menghukumi secara adil.‟ Maksudnya, ia harus menerapkan hudud terhadap kelas bangsawan maupun rakyat jelata secara adil dan proposional. Hal tersebut akan menciptakan kondisi dan situasi yang baik untuk sebuah lingkungan masyarakat. Maka tidak mudah menjadikan seorang pemimpin yang baik.

Oleh karna itu perlu dipahami bahwa kemudian, pemimpin harus memahami makna dari sebuah etika politik secar subtantif, bukan hanya memhami saja tetapi juga mempraktekan semua apa yang telah dipahami oleh pemimipin tentang etika politik. Karna, ini menjadi pondasi awal untuk terciptanya negara kejehatreaan.

Dalam hal ini, penulis akan mencoba memahami apa itu etika politik dari dua tokoh muslim yang yang sampai saat ini bisa dijadikan rujukan dalam refrensi teori politik islam. Baik dari orentalisme maupun dari muslim itu sendiri. Yaitu Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khladun. Dua tokoh islma ini memiliki kehidupan pada masa yang berbeda dan situasi yang juga dpat dikatakan beda juga.

Tentu etika politik dan kekuasaan tidak bisa dipisahkan satu sama lain, sehingga perlu juga dibahasa mengenai kekuasaan dari dua persfektif tokoh tersebut, baik pemahaman tentang sebuah sistem kenegraan dan maupun. Tentu bukan hal mudah memahami dua pemikiran politik tersebut dengan rujukan buku yang sampai masih terlalu minim. Tapi minimal prinsip tentang kuasaan dua pemikir islam tersebut bisa dijadikan pandangan dalam merumusakan atau menulis skripsi tersebut.

Demikian abstrak tentang skripsi dengan tema “PEMIKIRAN ETIKA POLITIK IBNU TAIMIYAH DAN IBNU KHLADUN” yang bisa penulis sampaikan pada kesempatan kali ini. Mudah-mudahan apa yang sedikit penulis sampaikan dapat menimbulkan semangat baru dalam memhami pemikiran politik Islam kedepan, khususnya untuk penulis.


(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji atas segala nikmat yang telah diberikan oleh Allas SWT, baik itu nikmat Iman, Islam dan sehat walafiat, karna sehat kita dapat menjaga Ke-Imanan kita, kita menjaga Ke-Islaman kita dan kita tetap bisa menjalankan segala aktifitas kita. Salawat serta salam tak lupa kita curahkan, kita limpahkan kepada baginda kita Nabi besar Muhammad SAW yang menjadikan kisah hidupnya menjadi rujukan awal kita dalam kehidupan di dunia ini. Di mana skripsi ini penulis susun dengan maksud untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana (S1) jurusan Hukum Ketatanegaraan Islam, program studi Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum UIN sayrif Hidatullah Jakarta. Dengan judul skripsi “Pemikiran Etika Politik Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun”

Penulis menyadari bahwa proses penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan semangat dari berbagai pihak dan untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat :

1. Prof. Dr. H. Amin Suma, SH, MA, MM, selaku Dekan Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2009 – 2014

2. Dr. JM. Muslimin, MA, Selaku Dekan terpilih Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidatullah Jakarta, Periode 2014-2019

3. Dr. Asmawi, M.Ag, Ketua Program Studi Jinayah Siyasah dan Afwan Faizin, M. Ag seketaris Program studi Jinayah Siyasah atas kesabaran dan waktunya dalam menghadapi semua pertanyaan penulis. Kepada dosen yang telah memberikan ilmu, tenaga dan waktu yang luar biasa kepada penulis selama ini , serta tidak lupa staf perpustakaan Syariah dan hukum Universitas Islam Negeri Jakarta.


(7)

4. Kepada pembimbing skripsi, yang penulis hormati Prof. Dr. H. Masykuri Abdillah yang telah memberikan saran, masukan dan pengarahan yang sangat bearti bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Kepada kedua orang tua penulis yang sangat penulis hormati dan cintai, Ayahanda H. M. Arju dan Ibunda tercinta Hj. Rohaini yang selalu mendidik penulis dengan penuh kesabaran dan cinta, mengarahkan penulis tentang esensi kehidupan, dan terus memberikan semangat yang tak pernah henti, tentu doa ayahanda dan ibunda yang selalu terucap disetiap lantuan dari kedua mulut ayahanda dan ibunda yang memberikan nafas keimanan dan keislaman disetiap langkah penulis ini.

6. Kepada saudara-saudara penulis yang selalu memberikan semangat dan nasehat nya, Ka‟ Yuli, A‟ Ocil, Ka‟ Bedah, A‟ Arif, A‟Irfan, Ka‟Ijeh. Nasehat dan motivasi kalian sangat menggugah semangat penulis dalam menjalankan kehidupan menjadi dewasa dan segara menyelesaikan kuliah ini, alhamdulillah dengan rasa syukur, perkulihan akhir dapat diselesaikan.

7. Kepada teman-teman jurusan SS ‟07, Andi Mardiansyah, Sifak Muhammad Yus, alan, arifin, lugina, reza arif, ade, panden, aden, okta, iqri, uus, bagus, alif, lisa, semua yang menjadikan kelas rame dengan ide dan banyolan temen, akhir skripsi ini bisa diselsaikan. Salam hormat buat kalian.

8. Kepada senior-senior HMI Komisariat Fakultas syariah dan hukum yang selalu mengingatkan dan membimbing penulis dalam menjalankan sebuah organisasi. Sampe akhir nya selalu di ingatkan tentang penyelesaian skripsi, kapan bisa diselesaikan.

9. Kepada senior-senior LKBHMI yang terus membina dan mengningatkan penulis selama menjadi mahasiswa dan kader HMI KOMFAKSY, kanda Fahmi Ahmadi,


(8)

Kanda Ihndi Karim Kamikn Ara, Kanda Teungku Mahdar Adrian, Kanda Ali Fernandes, Kanda Isnur, Kanda Ajuba, Kanda Hamdam, Kanda Asep Syamsuri, Kanda Fauzul Azim, semoga semua yang telah kalian berikan kepada penulis dapat bermanfaat.

10.Kepada sahabat seperjuangan, bro Ridho Akmal Nasution yang selalu setia menemani penulis disetiap kegelisahan penulis maupun menemani penulis dalam perjuangan. Ketulusan dalam mendengarkan dan memberikan saran merupakan indikator skripsi ini bisa terselsaikan.

11.Kepada teman-teman utramen, deden, duduh, wisnu, nu‟man, obi, bogel, icank, ersyad, hamim, byib, aam, erik, abler, iir, kegilaan kita dapat menyujukan otak dalam kepeningan.

12.Kepada sahabat seperjuangan, humaidullah irpan, Abiyudin, Ismail, Irpan Pasaribu, Suhendra, Abdurahman, semoga kalian dapat meneyelsaikan skripsi dengan baik dan benar tentu dengan waktu yang tepat pula.

13.Kepada teman-teman Pengurus HMI Cabang Ciputat Periode 2013-2014, yang sama-sama mengawal sebuah organisasi dan membantu penulis dalam menjalankan estapet organisasi untuk penyelesaiaan Skripsi ini.

14.Kepada teman-teman HMI Cabang Ciputat, yang selalu menguji penulis dalam hal melatih kesabaran, melatih kedewasaan dan melatih kebijaksanaan. Semoga kita ke depan dapat menjadi insan yang paripurna.

15.Kepada teman-teman Komisariat, komisariat KOMFAKSY, KOFAH, KOMTAR, KOMFUF, KOMFAKDA, KAFEIS, KOMFASTEK, KOMPSI, KOMFISIP, KOMFAKDIK, KOMFAKDISA, KOTARO, KOMICI, dan KOMIPAM, terima kasih


(9)

16.atas segala support dan kritikan yang telah diberikan. Semoga kita dapat melaksankan apa yang telah kita harapkan.

17.Kepada senior-senior dan teman-teman LinK Ciputat, semoga hubungan emosional kita dapat menjadikan kedewaasn dalam bertindak dan menjadikan diri kita diri yang berkripadian yang baik.

Demikian ucapan terima kasih ini dari penulis, penulis berharap semoga Allah SWT yang membalas segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis. Penulis juga berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi orang lain dan dapat menjai pendidikan bagi pemabaca.

Jakarta, 13 Mei 2014


(10)

(11)

vi DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR………..……. ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN………...….. 1

A. Latar Belakang Masalah ………....…... 1

B. Perumusan, dan Pembatasan Masalah ………... 12

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian... 13

D. Metode Penelitian... 14

E. Tinjauan Pustaka ... 16

F. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II PENGERTIAN KEKUASAAN DAN ETIKA POLITIK ... 20

A. Pengertian Kekuasaan dan Pemerintahan ... 20

a) Kekuasaan ... 20

b) Pemerintahan ... 22

B. Moral dan Etika ... 25

a) Pengertian Moral ... 25

b) Pengertian Etika ... 26


(12)

vii

BAB III KEKUASAAN MENURUT IBNU TAIMIYAH DAN IBNU

KHALDUN ... 39

A. Konsep Kekuasaan Menurut Ibnu Taimiyah ... 39

a) Kekuasaan Tuhan ... 39

b) Kepala Negara ... 45

B. Konsep Kekuasaan Menurut Ibnu Khaldun ... 51

a) Ashabiyah dan Kekuasaan ... 51

b) Ashabiyah Fondasi Kekuasaan dan Kedaulatan ... 54

BAB IV PEMIKIRAN ETIKA POLITIK IBNU TAIMIYAH DAN IBNU KHALDUN ... 56

A. Pemikiran Etika Politik Ibnu Taimiyah, ... 56

B. Pemikiran Etika Politik Ibnu Khaldun, ... 60

C. Perbandingan Etika Politik Ibnu Khaldun dan Ibnu Taimiyah ... 66

BAB V PENUTUP ... 72

A. Kesimpulan ... 72

B. Saran ... 75


(13)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politik kehidupan manusia. Manusia dibedakan dari binatang, oleh karena itu ia bertindak dengan sadar diatas kemampuanya sendiri, dan oleh karena itu ia bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya, yaitu selain bernilai guna untuknya juga benar dalam arti saat dipertahankan secara argumentatif berhadapan dengan klaim-klaim alternatif, itu sejalan dengan pemikirannya Aristoteles bahwa kebijikan intelektual baginya tinggi nilainya, karena dasarnya adalah pengetahuan tentang prinsip-prinsip etis, sedangkan kebijakan etis ynag mengusasi perasaan yang alami adalah hasil dari cara hidup yang baik dengan jalan kebiasaan berpikir berkemampuan dan berbuat baik secara sadar.1

Etika sendiri dibagi lagi kedalam etika umum dan etika khusus. Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip dasar yang berlaku bagi segenap tindakan manusia, sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungan dengan kewajiban manusia dalam berbagai lingkungan kehidupannya. Dibendakan antara etika induvidual yang mempertanyakan kewajiban manusia sebagai induvidu, terutama terhadap

1

Prof. Dr. H. Muh. Said, Etika Masyarkat Indonesia, (Jakaarta Pramudya paramida, 1980), hal.89


(14)

2

dirinya sendiri dan melalui suara hati, terhadap yang Ilahi, dan etika sosial. Etika sosial jauh lebih luas dari etika induvidual karena hampir semua kewajiban manusia bergandengan dengan kenyataan bahwa ia merupakan makhluk sosial. Dengan bertolak dari martabat manusia sebagai pribadi yang sosial, etika sosial membahas norma-norma moral yang seharusnya menetukan sikap dan tindakan antarmanusia.2

Musyawarah merupakan peruwujudan dari etika politik Islam yang telah dicontohkan oleh Rasullah dan para sahabatnya. Etika politik berkembang dari masa kemasa, setiap periode dalam sejarah politik dunia Islam memiliki ciri etika dan tingkah laku politik, masing-masing, pemikir Islam yang membahas tentang masalah ini diantaranya: Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun, Al Farabi, Ibn Abi Ar Rabi, Ibn Hazm, , dan lain-lain...

Etika Politik sebagai ilmu dan cabang filsafat lahir pada saat zaman yunani pada saat struktur-struktur politik tradisional mulai ambruk. dengan keambrukan itu muncul pertanyaan bagaimana seharusnya masyarakat ditata. Dua ribu tahun kemudian, empat ratus tahun yang lalu, etika politik bertambah momentumnya. Legitimasi kekuasaan raja dalam paham tatanan hirarkis kosmos tidak lagi diterima begitu saja. Legitimasi-legitimasi tradisional kehilangan daya ikatanya. Legitimasi tatanan hukum dan negara dan hak raja untuk memerintahkan masyarakat, dipertanyakan. Itulah situasi kebangkitan filsafat politik pada awal zaman industrilisasi.

2

Frans Magnis Suseno, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegraan Modern, (Jakarta : PT Gramedia, 1988), hal. 13


(15)

3

Klaim-kliam legitimasi kekuasaan yang daling bertentangan menurut refleksi filosofis atas prinsip-prinsip dasar kehidupan politik.3

Manusia sebagai mahkluk sosial tentu memiliki dimensi politik dalam kehidupanya. Politik adalah ilmu yang mempelajari politik atau politics atau kepolitikan. Politik adalah usaha menggapai kehidupan yang baik, di Indonesia kita teringat pepatah gemah ripah loh jinawi, orang yunani kuno terutama Plato dan Aristoteles menamakanya sebagai en dam onia atau the good life.4 Selain itu, politik dalam suatu negara itu berkaitan dengan pendekatan kenegaraan, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan dan pembagian kekuasaan5. Berdasarkan pendekatan kenegaraan, politik artinya sebagai sesuatu yang berkaitan dengan tujuan-tujuan negara dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan tujuan-tujuan negara dan berdiplomasi dengan negara-negara lain. Selanjutnya politik sebagai kekuasaan diartikan sebagai suatu alokasi nilai-nilai otoritatif yang menajdi bagian dari tindakan atas nama pemerintaha atau negara.6

Negara dalam prinsip-prinsipnya yang modern, dipahami sebagai sebuah consensus, dimana sejumlah warga negara dalam satu teori tertentu membentuk kesepakatan bersama untuk mengasosiasikan diri dalam asosiasi kepentingan bernama negara. Negara sendiri dibentuk dengan

3

Frans Magnis Suseno, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegraan Modern, (Jakarta : PT Gramedia, 1988), hal. 3

4

Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu politik, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia, 2008), hal.13

5

Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu politik, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia, 2008), hal.14

6

Hugo. F. Reading, kamus ilmu-ilmu Sosial, Terjemahan Sehat Simamora, (Jakarta :PT. Rajawali, 1986), hal. 305


(16)

4

maksud mewujudkan tujuan-tujuan dasar berlandasakan kehendak kolektif warganya (Volone Generale, J.J Rosusseau, 1712-1778).

Tujuan negara adalah untuk menjalakan ketertiban dan keamanan, mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi warga negaranya. Timbul suatu negara tidak akan terlepas dari teori contrak sosial yang diungkapkan oleh Thomas Hobbes, Jhon Locke dan JJ Rousseau. 7

Kontrak Sosial merupakan perjanjian antara masyarakat yang ingin membentuk suatu negara, suatu pemerintahan bersama yang melayani mereka. Kemudian rakyat ini menyerahkan kedaulatan kepada suatu lembaga, person ataupun sekelompok orang yang mendapat amanat untuk menjalankan kedaultan tersebut. Sehingga apa yang menjadi tujuan bersama dapat menjadikan kebutuhan masayarkat dalam kehidupan dalam satu ikatan sosial.

Atas dasar tersebut maka lahir lah teori demokrasi reprensentatif8. Karena pada saat ini tidak mungkin semua rakyat berkumpul untuk menentukan keinginannya setiap saat. Direct democaracy adalah suatu bentuk pemerintah dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur-prosedur mayoritas. Karena faktor populasi penduduk yang terus bertambah maka tidak mungkin dilakukan

7

M. Solly Lubis, Ilmu Negara (Bandung: Mandar Maju, 1989), hal.35

8

Jimlly Asshiddiqie, Gagasan Kedaultan Rakyat Dalam konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hal.70


(17)

5

pada satu tempat dan pada suatu saat, sehingga harus dicari pemecah masalahnya. Dan mucunlah konsep demokrasi perwakilan rakyat atau yang sering disebut sebagai demokrasi representatif, akhirnya demokrasi representatif ini hampir dilakukan disetiap negara modern pada saat ini.

Selain itu Ibnu khaldun dalam bukunya muqqadimah, sesungguhnya organisasi masyaraka (Ijtima‟ insani) umat manusia adalah keharusan. Para filosof melahirkan kenyataan ini dengan perkataan mereka, manusia adalah bersifat politis menurut tabiat nya. Ini bearti, memerlukan satu organisasi kemsyarakatan, yang menurut para filosof dinamakan kota.9 Pernyataan Ibnu Khaldun ini menjentawantahkan sebuah kekuatan sosial yang memiliki kekuatan saling membantu satu sama lain sehingga, tujuan untuk menemukan the good life itu bisa tercapai. Selanjut Ibnu Khaldun berpendapat, tanpa organisasi itu eksistensi manusia tidak akan sempurna. Keinginan tuhan hendak memakmurkan dunia dengan mahkluk manusia, dan menjadikan mereka khalifah di permukaan bumi ini tentulah tidak terbukti. Inilah arti yang sebenarnya dari peradaban.10

Ketika umat manusia telah mencapai organisasi kemasyarakatan seperti kita sebutkan itu, dan ketika peradaban dunia telah menjadi kenyataan, umat manusia pun memerlukan seseorang yang akan melaksanakan kewibawaan dan memilihara mereka, karena permusuhan dan kezaliman adalah pula merupakan watak hewani yang dimiliki oleh

9

Ahmadie Thoha, Mukaddimah ibnu khladun, (Jakarta: pustaka Firdaus), hal.71

10


(18)

6

manusia. Senjata yang dibuat manusia untuk pertahanan dari serangan binatang tidaklah mencukupi bagi pertahanan terhadap serangan sesama. Dan ini tidaklah mungkin datang dari luar. Maka dengan sendirinya yang akan melaksanakan kewibawaan itu haruslah salah seorang dianatara mereka sendiri.11

Di setiap induvidu manusia memiliki sifat hewan yang berada didalam nya, dengan demikian mereka manusia harus menjaga kebiwaan nya diantara mereka sendiri, hal ini senada dengan apa yang dimaksud dengan konsep representatif yang ada pada era modern saat ini. Hubungan dengan ide demokrasi ini, ibnu khaldun mengakui bahwa terdapat banyak negara yang tidak mendasarkan kebijakan dan peraturan negara atas ajaran dan hukum agama, akan tetapi negara dapat mewujudkan ketertiban, keseraisan hubungan antara para warga, bahkan dapat berkembang dan jaya.12

Sejarah politik dunia islam dibagi menjadi tiga periode: pertama, periode Klasik (650-1250 M): Kedua, periode Pertengahan (1250-1800 M): dan periode modern (1800 sampai sekarang). Dalam sejarah Islam masa periode pertama ini dikenal dengan “masa kemasan”. Sebagai masa keemasan, ia seringkali dijadikan tolak ukur dan rujukan keteladanan.13

11

Ibid, hal. 74

12

Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hal.109-110

13

Dr. Badri yatim, M.A, sejarah Peradaban Islam (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2001), hal.6


(19)

7

Kebutuhan akan adanya seseorang yang mempunyai otoritas dan bisa mengendalikan ini kemudian meningkat. Adanya dukungan dan rasa kebersamaan yang terbentuk inilah seorang pemimpin dalam mengatur dan menjadi penengah tidak dapat bekerja sendiri sehingga membutuhkan tentara yang kuat dan loyal.14

Al Ashabiyah secara harfiah jika diterjemahkan kedalam bahasa indonesia bearti rasa satu kelompok atau solidaritas sosial.15Ashabiyah juga mengandung makna group feeling, solidaritas Kelompok, Fanatisme Kesukuan, Nasionalisme, atau sentimen sosial. Yaitu cinta dan kasih sayang seorang manusia kepada saudara atau tetangganya ketika salah satu darinya diperlukan tidak adil atau disakiti. Untuk bertahan hidup masyrakat harus memiliki sentimen kelompok (ashabiyah) yang merupakan kekuatan pendorong dalam perjalanan sejarah manusia, pembangkit suatu klan. Klan yanng memiliki ashabiyah kuat dapat berkembang menjadi sebuah negeri.16

Tujuan terakhir solidaritas adalah kedaulatan, karena solidaritas sosial itulah yang mempersatukan tujuan, mempertahankan diri dan mengalahkan musuh. Begitu solidaritas sosial memperoleh kedaulatan atas golongan nya, maka ia akan mencari solidaritas golongan lain yang tak ada hubungan dengan nya. Jika solidaritas sosial dapat menaklukan solidaritas

14

Ibn Khaldun, Muqaddimah, penerjemahan Ahmadie Taha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986),hal.104

15

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Neagara (Jakarta: UI Press, 1993), hal. 104

16


(20)

8

lain, keduanya akan bercampur yang secara bersama-sama menuntun tujuan yang lebih tinggi dari kedaultan. Akhirnya, apabila suatu negara sudah tua umurnya dan para pembesarnya yang terdiri dari solidaritas sosial yang baru akan merebut kedaulatan negara. Bisa juga ketika negara sudah berumur tua, maka butuh solidaritas lain. Dalam situasi demikian, negara akan memasukan para pengikut solidaritas sosial yang kuat kedalam kedaultannya dan dijadikan sebagai alat untuk mendukung negara.17

Dalam kehidupan modern, persoalan etika dan moral sering menjadi perbicangan publik. Tinjauan filsafat tentang makna dan definisi filsafat, etika dan moral sangat bergam bagi tiap-tiap pakar. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa penggunaan “etika” dan “moral” selalu menerangkan perbandingan antara nilai yang baik dan buruk, yang berlaku bagi semua semua bidang kehidupan manusia.18

Hukum sebagai lembaga penata masyarakat yang normatif, kekuasaan negara sebagai lembaga penata masyarakat yang efektif sesuai dengan struktur ganda kemampuan manusia. Atau secara singkat, etika politik membahas hukum dan kekuasaan. Sepintas saja kelihatan bahwa dua-duanya sehrusnya tidak terpisah. Hukum tanpa negara tidak dapat berbuat apa-apa, sifat normatif belaka, hukum tidak mempunyai suatu kemampuan untuk bertindak. Sedangkan negara tanpa hukum adalah buta

17

Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hal. 166-167

18

Frans Magnis Suseno, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegraan Modern, (Jakarta : PT Gramedia, 1997), hal. 363


(21)

9

dan merosot ke tingkat sub-manusiawi karena tidak lagi berdasarkan tatanan normatif. Negara yang memakai kekuasaannya di luar hukum sama dengan manusia yang berbuat tanpa pengertian. Negara semacam itu menjadi penindas dan irasional. Kekuasaan diluar hukum mengerikan. Jelas juga bahwa baik hukum maupun negara memerlukan legitimasi. Hukum harus dapat memperlihatkan mengapa tatanan inilah yang ditetapkan dan bukan tatanan alternatif. Dan negara harus melegitimasikan penggunaan kekuasaannya. Maka tema utama etika politik adalah masalah legitimasi hukum dan kekuasaan serta penilaian kritis terhadap legitimasi-legitimasi yang diajukan.19

Jika pemimpin Rusak, niscaya rusak pula rakyat yang dipimpinya, demikianlah sebuah fenomena meyedihkan yang senantiasa menghantui pikiran Ibnu Taimiyah. Fenomena inlah yang menurut beliau, sebagai penyebab utama kerusakan kaum musilimin, terampasnya negara dan kehormatan mereka, serta pendorong musuh-musuh Islam untuk meyerang kaum muslimin. Bahwa fenomena inilah pula yang merupakan virus utama dari segala jenis penyakit yang diderita kaum Muslimin.

Seiring perkembangan zaman yang sudah melakukan transformasi dalam segala pemaham politik dan refresentatif demokrasi yang sudah menjamur diseluruh negara modren sehingga melakukan sebuah cara untuk mendapatkan kekuasan itu bisa dilakukan dengan cara apapun,

19

Frans Magnis Suseno, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegraan Modern, (Jakarta : PT Gramedia, 1988), hal. 21


(22)

10

nampak kepribadian binatang yang muncul pada dirinya. Melihat penguasa belakangan ini menciptakan sebuah produk hukum yang tentu mendiskrditkan minoritas, apa yang disebut ibnu khaldun bahwa para penguasa harus mendapatkan dukungan dari solidaritas yang mayoritas sehingga hukum alam kausalitas berlaku pada saat ini.

Politiknya diilhami oleh versi syariat yang sesuai dengan missinya yang menyeluruh, telah diperbarui. Usahanya untuk menegakan kesucian moral dalam tradisi Hanbali tidak dilakukan, sebagaimana pendahulunya, melalui pengabaian semu terhadap praktik politik, namun melalui aplikasi syariat ke dalam urusan pemerintahan. Ia menolak pandangan al-Marwadi yang menyetakan bahwa kekuatan penguasa (Sultan), selama diakui oleh khalifah tertinggi dan dibenarkan syariat, secara de facto dapat dianggap independen dan sah menurut Islam. Isa mensyaratkan kriteria yang lebih keras untuk diaplikasikan.

Tujuan Ibnu Taimiyah adalah membangun pemerintahan yang berdasarkan syariat (siasayah syar‟iyyah). Risalah Ibn Taimiyah dimulai dengan mengingatkan bahwa Tuhan telah menetapkan “pengetahuan dan pena dengan tugas untuk meyampaikan dan menyeru, serta kekuasaan dan pedang dengan penegasan superioritas Islam atas dua agama wahyu lainnya dengan argumen bahwa keduanya menyatakan agama tanpa berusaha untuk memenuhi “syarat-syarat yang dibutuhkan untuk esksistensinya, yakni kekuasaan jihad , dan sumber materi”. Menurut Ibnu Taimiyah, masalah yang dihadapai umat dewasa ini adalah bahwa, di satu


(23)

11

sisi, para pemimpin berpikir mereka dapat mencapai tujuan spiritual semata-mata dengan kesalehan. “ dengan demikian mangkir dari semua partisipasi kehidpuan politik, namun pada saat yang sama melarangn keterlibatan orang lain”. Jalan benar adalah, sekali lagi, jalan tengah (wasath) memperhatikan kepentingan masyarakat dalam aspek material dan moraldan terlibat dalam kekuasaan”.20

Ibnu Taimiyah bersikukuh bahwa agama tidak dapat diamalkan tanpa kekuasaan politik. Tugas agama untuk memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran benar-benar tidak dapat dicapai “kecuali melalui kekuasaan dan otoritas pemimpin (imam)‟. Dan “keseluruh kewajiban lain yang telah ditetapkan Tuhan- yaitu jihad, keadilan, haji, salat jamaah... menolong kaum yang tertindas, penerapan hudud, sebagainya- tidak dapat ditunaikan kecuali melalui kekuasaan dan otoritas pemimpin”. “agama tanpa sultan (kekuasaan), jihad, harta, sama buruknya dengan sultan, harta dan perang tanpa agama.”21

Lord Acton menyebutkan, bahwa power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely (manusia yang mempunyai kekuasaan cendurung untuk menyalahgunakannya, akan tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan absolut sudah pasti akan menyalahgunakannya). Tentu dalam hal ini setiap penguasa cendrung menyalahgunakan

20

Antoni Black, Pemikiran Politik Isalm: dari masa Nabi hingga masa kini, Penerjemah Abdullah Ali & Mariana Ariestyawati. (Jakarta ; PT SERAMBI ILMU SEMESTA, 2001), hal. 229

21

Antoni Black, Pemikiran Politik Isalm: dari masa Nabi hingga masa kini, Penerjemah Abdullah Ali & Mariana Ariestyawati. (Jakarta ; PT SERAMBI ILMU SEMESTA, 2001), hal. 230


(24)

12

kekuasaan yang direbut secara politik tersebut, padahal mendefinisikan politik pada awalnya adalah cara bagaimana menggapi kehidupan yang baik. Dengan demikian ini menjadi persoalan serius untuk dijadikan sebuah rujukan bagaimana menciptakan negara kesejahteraan. Tentu para representator yang diamanatkan untuk menggapai kehidupan yang baik perlu membenahi diri dari persoalan Etika di era Demokrasi Refresntatif ini.

Dari latar belakang diatas, terserat keingingan dari penulis unutk mengadakan pengkajian yang lebih faktual resfresentatif mengenai pemikiran terhadap bidang politik, terutama dalam bidang etika politik demokrasi. Maka dengan ini penulis mengambil judul skripsi

“PEMIKIRAN ETIKA POLITIK IBNU TAIMIYAH DAN IBNU KHALDUN.”

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah

Dari uraian diatas perlu melakukan pembatasan masalah agar penilitian ini lebih terarah. Pembahasan dalam tulisan ini terfokus, pada dampak etika politik sebagai kenyataan dalam kehidupan masyarakat yang tidak membiarkan segala macam klaim wewenang menjadi mapan begitu saja. Maka kekuatan-kekuatan yang ada terdesak untuk membenarkan diri pada bidang wewenang yang sebanar-benarnya.

Dalam penulisan skripsi ini penulis mencoba membatasi dan merumuskan masalah sekitar pembatasan.


(25)

13

1. Bagaimana Konsep Kekuasaan menurut Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khladun?

2. Bagaimana Konsep Etika Politik menurut Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khladun ?

3. Begaimana Perbandingan Etika Politik menurut Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khladun ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

secara umum, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui konsep Kekuasaan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khladun. 2. Untuk mengetahui Konsep Etika Politik Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnu

Khaldun

3. Untuk Mengetahui Perbandingan Etika Politik Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun

Adapun manfaat penilitian adalah sebagi berikut :

1. Sebagai bahan penyusun skripsi yanag merupakan salah satu syarat untuk memperoleh derajat kerjasama program studi Siyasah Syar‟iyyah.

2. Menambah wacana ilmu pengetahuan dan penilitian dalam konsep etika politik islam Ibnu Taimiyah dan Ibn Khaldun dalam tinjauan kosnep demokrasi untuk diteruskan dalam penelitian lainya yang relevan.


(26)

14

3. Menambah wacana ilmu pengetahuan etika politik Islam di masa demokrasi yang kemudian bisa di aktualisasikan pada konstelasi politik daerah maupun nasional.

4. Sebagai sumbangan dan sekaligus pengambangan khazanah keilmuan dibidang fiqh syiasah dalam konteks etika prilaku politik

5. Memberikan pemahaman bahwa dalam konteks politik terdapat etika yang perlu dijaga maupun dalam paham politik demokrasi refresentasif.

D. Tinjauan Pustaka

Sejumlah penilitian dengan bahasan konsep Etika Politik Islam dalam tinjuan ketatanegara Islam ataupun Etika Politik ketatanegaraan modern telah dilakukan, baik yang mengkaji secara spesifik topik tersebut ataupun yang mengakaji secara umum yang sejalan dengan bahsan penilitian. Berikut ini merupakan paparan tinjuan umum atas sebagian karya-karya penelitian-penelitian.berikut ini merupakan paparan tinjuan umum atas sebagian karya-karya peneilitian tersebut :

Buku Pertama, Ibnu Taimiyah ter. Rofi Munawwar, “As Siyasyah Syar‟iyyah fi Ishlahir Ra‟i war Ra‟iyyah”. Dalam bukunya, Ibnu Taimiya menggambarkan kemudnuran total yang dialami dunia Islam. Dengan gaya penulisan yang elegan, sebagai upya menetapkan batasan atas hak-hak dan kewajiban seorang pemimpin, disamping juga memaparkan secara rinci hak-hak dan kewajiban rakyat yang sepenuhnya berdasarkan pada Al qur‟an dan Sunnah Rasullah SAW. Buku ini merupakan mengungkap


(27)

15

semua sisi hubungan kemanusiaan, sekaligus yang mengarahkan kaum Muslimin untuk meraih kekuatan dan kemuliaannya menuju umat yang mampu mengukir sejarah kebesaran nya.

Buku kedua, Ibnu Khaldun ter. Ahmadie Thaha, “Muqaddimah”.

Ia menguraikan masalah sosial dan sejarah dan beliau hanya satu-satunya intelektual muslim yang diterima dan diakui didunia barat, terutama ahli-ahli sosiologi dalam bahasa inggris (yang menuliskan karya-karya nya dalam bahasa inggris). Dari berbagi penemuan sosiologi Ibn Khaldun ada ulsan yang paling banyak perhatian, yaitu mengenai ashabiyah, dengan konsep ashabiyah atau solidaritas sosial apapun bisa dilakukan demi sebuah cita-cita atupun kepentingan, sehingga ini perlu ditinjau dari sisi etika yang penulis usulkan dalam penulisan skripsi.

Buku ketiga, yang ditulis oleh Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Menguraikan pokok-pokok pemikiran politik Islam pada zaman klasik dan pertengahan. Dlam salah satu subbnya ia menjabarkan pmikiran Ibn Khaldun tentang konsep ashabiyahnya dalam pembentukan sebuah negara. Namun dalam buku ini tidak menjelaskan secara rinci ataupun detail mengenai konsep ashabiyah baik itu yang hubungan nya dengan politik atau agama, akan tetapi bukum ini lebih kepada poin inti yang merangkum seluruh bahasan konsep ashabiyah.

Skripsi, Herusalem, Negara dan Agama : Sebuah Kajian Atas Pemikiran Ibn Khaldun (2007). Dalam salah satu babnya menguraikan


(28)

16

tahapan terbentuknya negara serta keruntuhannya. Pada inti skripsi ini tidak membahas ashabiyah, namun pada akhir nya skripsi terbut mambahas memperoleh kekuasaan.

E. Metode Penelitian

Dalam penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian analitis deskriptif. Artinya metode deskriptif digunakan untuk menggambarkan secara obyektif materi yang akan dibahas. Metode analitis digunakan untuk mendapat dan mengetahui implikasi dari ide etika politik islam yang ada dalam konsep demokrasi.

1. Jenis penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Research). Penelitin ini lebih menuntut kejelsan penelitian serta sangat menekankan terhadap aspek analisa dan kajian teks, terutama dalam mencari informasi dan data yang memiliki hubungan dengan obyek penelitian.

2. Pendekatan Penelitian

Mengingat obyek penelitian menyangkut kajian sejarah dan pemikiran, maka pendekatan penilitian ini menggunakan pendekatan historis yaitu sebuah pendekatan dengan kajian masa lampau secara sistematis dan objektif, dengan mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi, serta


(29)

17

mensisntesiskan bukti-bukti untuk menegggakan fakta dan memperoleh keimpulan yang kuat.22

3. Sumber Data

Penulisan skripsi ini menggunakan dua sumber pokok dalam pengumpulan data, yakni sumber primer dan kedua sumber sekunder23. Adapun rincian masing-masing sumber adalah:

a) Data Primer disandarkan pada literatur klasik Siyasah syariyyah Ibnu Taimiyah dan Muqddimah Ibn Khaldun yang secara akademis telah dipandang otoritatif.

b) Data sekunder merupakan sumber pendukung dari primer yang berasal dari kepustakaan, buku-buku maupun data-data tertulis yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.

4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengeumpulan data dalam penelitian ini didasarkan pada riset pustaka (Library Resarch) yakni proses pengindentifikasian secara sistematis penemuan-penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi berkaitan dengan masalah penelitian. Pengumpulan data informasi diperoleh berdasarkan bahan-bahan yang ada diperpustakaan, baik berupa arsip, dokumen, majalah maupun lainnya.24

5. Metode Analisa Data

22

Sumardi Surayabrata, Metodologi Penelitian, cet.XVI, (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004), hal.73

23

Ibid., hal, 74

24

Consuelo G Sevilla (dkk), Pengatar Metodologi Penelitian, cet.I. (Jakarta: UI Pres. 1993), hal, 37


(30)

18

Analisa data merupakan langkah yang paling penting dalam sebuah penelitian, terutama dalam tahap ini, seorang peneliti telah memasuki tahap penetapan hasil temuanya. Oleh sebab itu, dalam menganalisa data penulis menggunakan metode deskriftif, yaitu dengan cara memaparkan dan menguraikan pokok-pokok permasalahan secara menyeluruh: komparatif yaitu sebuah metode perbandingan dengan cara menganalisa data-data yang ada, kemudian penulis kombinasikan untuk mennghasilkan sebuah pemikiran yang padu.

6. Teknik Penulisan Skripsi

Penulisan skripsi ini berpedoman pada pedoman penulisan skripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh FSH UIN Jakarta 2007.

F. Sistematika Penulisan

Dalam sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima (5) bab bahasan, dengan perincian sebagai berikkut :

BAB I : Pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan masalah, tujuna dan manfaat peneilitian, tinjauan psutaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Menjelaskan pengertian Kekuasaan Politik dan Pemerintahan secara umum dan Menjelaskan Etika secara umum dan menjelasakan kerangka teori etika. Menjelaskan definisi etika


(31)

19

dan menjelasakan definisi moral. Pembagian etika dan menjalasakan ke dalam etika deskriftif dan etika Normatif.

BAB III : Memaparkan Konsep Kekuasaan Politik menurut Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun dan menjelasakan Biografi dan Seting sosial Ibnu Taimiyah & Ibu Khaldun,

BAB IV : Mempaparkan konsep pemikiran etika politik islam Ibnu Taimiyah & Ibnu Khaldun, dan Menjelaskan Perbandingan Pemikiran Etika politik Ibnu Taimiyah dengan Pemikiran Etika Politik Ibnu Khaldun.

BAB V : Sebagai penutup bagi seluruh rentetan pembahasan

sebelumnya, menuliskan kesimpulan-kesimpulan yang dapat penulis ambil dan beberapa gagasan penulis yang dituliskan oleh penulis.


(32)

20

BAB II

PENGERTIAN KEKUASAAN DAN ETIKA POLITIK

A. Pengertian Kekuasaan dan Pemerintahan 1. Kekuasaan

Istilah “kekuasaan” merupakan bentukan dari “kuasa” yang diberi imbuhan “ke” dan “an”. Jadi, secara fleksibel kuasa mempunyai banyak arti diantaranya adalah “kemampuan” atau “kesanggupan” (untuk membuat sesuatu); kekuatan; kewenangan atas sesuatu atau menentukan (memerintah, mewakili, mengurus, dan sebagainya) yang ada pada kerena jabatannya.25

Kekuasaan adalah kemampuan sesorang atau kelompok manusia untuk mempengaruhi tingkha-lakunya seorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah-laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dantujuna dari orang yang mempunyai kekuasaan itu. Gejala kekuasaan ini adalah gejala yang lumrah terdapat dalam setiap masyarakat, dalam semua bentuk hidup bersama.

Manusia mempunyai bermacam-macam keinginan dan tujuan yang ingin dan tujuan yang ingin sekali dicapainya. Untuk itu manusia sering merasa perlu untuk memaksakan kemuannya atas orang atau kelompok lain. Lhal ini menimbulkan perasaan pada dirinya bahwa mengendalikan orang lain adalah syarat mutlak untuk keselamatannya sendiri. Maka dari

25

W.J.S Purwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hal. 467


(33)

21

itu bagi orang banyak, kekuasaan itu merupakan suatu nilai yang ingin dimilkinya. Kekuasaan sosial terdapat dalam semua hubungan sosial dan dalam semua organisasi sosial.

Kekuasaan biasanya terbentuk hubungan (relationship), dalam arti bahwa ada satu fihak yang memerintah dan ada pihak yang diperintahkan (the ruler and the ruled): satu pihak yang memberi perintah, satu pihak yang mematuhi perintah. Tidak ada persamaan martabat, selalu yang satu lebih tinggi dari pada yang lain dan selalu ada unsur paksaan itu dipakai, sering sudah cukup.

Setiap manusai sekaligus merupakan subyek dari kekuasaan dan obyek dari kekuasaan. Misalnya, seorang presiden membuat undang-undang (subyek dari kekuasaan), tetapi disamping itu dia juga harus tunduk kepada undang (obyek kekuasaan). Pokoknya jarang sekali ada orang yang tidak pernah memberi perintah dan tidak pernah menrima perintah. Hal ini kelihatan jelas dalam organisasi militer yang bersifat hierarchis di mana seorang prajurit diperintah oleh komandannya, sedangkan komandan ini diperintah pula oleh atasanya.26

Di antara banyak bentuk kekuasaan ini ada suatu bentuk yang penting yaitu kekuasaan politik. Dalam hal ini kekuasaan politik adalah kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (perintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan sendiri. Kekuasaan politik merupakan sebagian saja

26

Miriam Budiarjo, dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997). H. 35-36


(34)

22

dari kekuasaan sosial, yakni kekuasaan sosial yang fokusnya ditujukan kepada negara sebagai satu-satunya pihak berwenang yang mempunyai hak untuk mengendalikan tingkah-laku sosial dengan paksaan. Kekuasaan politik tidak hanya mencakup kekuasaan untuk memperoleh ketaatan dari warga masyarakat, tetapi juga menyangkut pengendalian orang lain dengan tujuan untuk mempengaruhi tindakan dan aktivitas negara di bidang administratrif, legislatif, dan yudikatif.

Namun demikian sautu kekuasaan politik tidaklah mungkin tanpa penggunaan kekuasaan (machtsuitoefening). Kekuasaan itu harus digunakan dan harus dijalankan. apabila penggunaan kekuasaan itu berjalan dengan efektif, hal ini dapat disebut sebagai kontrol (pengusaan/pengendalian). Dengan sendirinya untuk menggunakan kekuasaan politik yang ada, harus ada penguasa yaitu pelaku yang memagang kekuasaan, dam harus ada alat/sarana kekuasaan (machtsmiddelen) agar penggunaan kekuasaan itu dapat dilakukan denga baik.27

2. Pemerintahan

Secara etimologi, kata pemerintahan dapat diartsebagai badan yang melakukan kekuasaan memerintah. Kata “pemerintah‟ mengandung pengertian adanya dua pihak yang memerintah memiliki wewena ng dan pihak yang diperintah memiliki kepatuhan.28 Dalam sekolompok manusia

27

Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, hal.37

28

A. Ubaidillah. et al, Pendidikan kewargaan: Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, (Jakarta: IAIN Kalarta press, 2000) hal. 97.


(35)

23

yang hidup bersama memang pada umunya ada sejumlah orang mengatur dan melakukan usaha guna menciptakan serta memelihara ketertiban. Mereka merupakan pimpinan dalam masyarakat dalam sautu masyarakat negara. Golongan orang-orang yang berwenang dan bertugas untuk mengatur serta memimpin ini disebut pemerintah.

Oleh karna itulah sayrat-syarat berdirinya negara harus memenuhui unsur-unsur:

a) Adanya pemerintah atau pemerintahan

b) Adanya wilayah

c) Adanya penduduk

d) Adanya pengakuan dari dalam dan luar negri.29

Pemerintah merupakan lembaga eksekutif negara, meliput aparat birokrasi teknis (birokrasi dalam pengertian sempit) maupun para politisi dan negarawan yang menjadi pucuk pimpinan lembaga-lembaga negara. Pemerintah merupakan aspek personil negara: dia adalah faktor manusia dari negara.30

Pemerintah sebagai salah satu sturuktur dasar sistem politik merupakan lembaga yang menyelenggarakan mekanisme politik atau roda pemerintahan politik atau roda pemerintahan yang dipimpin oleh seorang

29

Inu Kencana Syafie, Ilmu Pemerintah dan al-Qu ’a , (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hal. 128

30

Arief Budiman, Teori Negara: Negara Kekuasaan, dan Ideologi, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997) hal. 91


(36)

24

pejanat yang disebut “wali” atau “amir” atau dengan istilah lainnya yang dikena dalam kepustakaan politik dan ketatanegaraan islam.

Kekuasaan poltik yang dimiliki oleh wali mempinyai dua landasan; landasan formal normatif dan landasan struktural formatif. Landasan pertama bertumpu pada ajaran kedaulatan hukum ketuhana (al-qur‟an). Karena itu kekuasaan politik yang dimiliki oleh wali berdasarkan ayat al-qur‟an yang memberinya tugas untuk menegakan hukum Allah dan menyelenggarakan pemerintah dengan adil dalam masayrakat.

Kendudukan wali sebagi pemerintah terkait pada penerima dan pengakuan rakyat. Ini bearti kedudukan tersebut harus mendapat legalisasi dari rakyat. Dan ini diperoleh melalui baiat. Baita inilah yang menjadi landasan struktural formatif. Karena rakyatlah yang memegang kedaulatan politik, sehingga tanpa baiat, kekuasaan wali tidak dapat diberlakukan secara sah, meskipun ia dapat memaksakan kehendaknya. Baiay kepada wali merupakan menisfestasi kepercayaan rakyat kepadanya untuk mengekan hukum Allah. Karena itu jika ia tidak melaksanakan tugasnya maka rakyat dapat menggatikannya dengan wali lain.

Sejalan dengan tugas yang diemban, wali menggunakan kekuasaan politik yang dimilikinya berdasarkan prinsip pemusatan kekuasaan dan pertanggungjwaban dalam dirinnya dan prinsip delegasi kekuasaan. Oleh karena itu dalam meyelenggarakan pemerintahan keuasaan, wali adalah


(37)

25

kepala pemerintahan. Ia memegang kekuasaan politik dan bertanggung jawab sepenuhnya atas penggunaan kekuasaan tersebut.31

B. Moral dan Etika 1. Pengertian moral

Sidi Gazalba mengatakan moral ialah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan wajar. Untuk itu, dia menyimpulkan bahwa moral itu suatu tindakan yang sesuai dengan ukuran tindakan yang umum diterima oleh kesatuan sosial atau lingkaran tertentu32.

Sidi Gazalba menjelaskan ada perbedaan antara moral dan etika. Moral bersifat praktek sedang etika bersifat teori. Moral membicarakan apa adanya, sedangkan etika membicarakan masalah moral secara filosofi, maka etika yang seperti ini disebut dengan filsafat moral.

Franz Magnis-Suseno menjelaskan bahwa kata moral selalu mengacu kepada baik buruknya manusia sebagai manusia. Bidang moral adalah kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikan nya sebagai manusia.33

31

Abdul muin Salim, fiqh Siyasah: Konsepsi kekuasaan Politik Dalam al-Qo ’a , (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1995), hal. 302

32

Amri M, Etika Islam (Yogyakarta: LSFK2P dan pustaka Pelajar, 2002), cet. Ke-1. Hal. 213

33

Franz magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah pokok filasafat Moral, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hal. 62


(38)

26

2. Pengertian Etika

Senada dengan yang idungkapkan Jan Hendrik Rapar dan Lois O. Kattsof34 tentang definisi etika, dalam Kamus Besar Bahasa indonesia juga dijelaskan bahwa “etika adalah ilmu apa yanng baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (Akhlak).” Sidi Gazalba mengatakan bahwa etika adalah teori tentang laku-perbuatan manusia, dipandang dari nilai baik dan buruk, sejauh yang didapat ditentukan oleh akal. Ahamad Amin menjelaskan bahwa etika adalah suatu pengetahuan yang menjelaskan arti baik dan buruk, yang menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oelh seorang kepada yang lain, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.35

Franz Magnis-Suseno memberi batasan tentang etika dengan mengatakan, “Etika adalah usaha manusia untuk memakai akal budi dan pikiranya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup kalau ia mau menjadi baik.”36

Makna etika, Istilah etika dipakai dalam dua macam arti, yang satu tampak dalam ungkapan seperti “saya pernah belajar etika”. Dalam penggunaan seperti ini etika merupakan atau dimaksudkan sebagai suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Makna kedua seperti yang terdapat pada ungkapan “ia bersifat etis, atau

34

Louis O. Katssoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 1986), hal. 349

35

Ahmad Amin, Kitab al-Akhlak, (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, tt), hal. 3

36

Franz magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah pokok filasafat Moral, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hal. 17


(39)

27

“ia seorang yang jujur”. Atau “kebohongan merupakan sesuatu yang tidak susila”, dan sebagian nya. Dalam hal-hal tersebut “bersifat etik” merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia yang lain. “bersifat etik” dalam arti yang demikian ini setara dengan “bersifat susila”.

Hendak dicatat, “bersifat susila” tidak harus bearti sama atau sesuai dengan adat istiadat yang belaku dalam suatu kelompok manusia tertentu. Ada kemungkinan sesorang mengutuk salah satu adat istiadat tersebut sebagai hal yang tidak susila. Adat istiadat yang berlaku dalam suatu kelompok manusia tertentu sekedar merupakan kebiasaan-kebiasaan kelompok seperti, kebiasaan membuang anak kecil, yang terdapat pada kelompok-kelompok manusia terasing dan sebagainya. 37

Menurut hemat penulis, etika pada umumnya hanya dilihat dari sisi nilai bail-buruk, karena nilai baik itu itu dianggap pasti benar dan nilai buruk dianggap pasti salah, hal ini semakin jelas jika dikaitan dengan etika religius, apa saja yang diperintahkan oleh Tuhan dianggap benar dan baik, sedangkan yang dilarang-Nya dianggap buruk dan salah.

Sedangkan pokok persoalan etika atau objek kajian etika, sebagaimana yang dikatakan oleh Ahmad Amin, adalah segala perbuatan yang timbul dari orang yang melakukan dengan ikhtiar dengansengaja, dan ia mengetahui waktu melakukannya apa yang ia perbuat. Inilah yang dapat kita beri hukum baik dan buruk, demikian juga segala perbuatan yang

37


(40)

28

timbul tiada dengan kehendak, tetapi dapat diihktiarkan penjagaan sewaktu sadar.38

Etika sendiri dibagi lagi kedalam etika umum dan etika khusus. Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip dasar yang berlaku bagi segenap tindakan manusia, sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungan dengan kewajiban manusia dalam berbagai lingkungan kehidupannya. Dibendakan antara etika induvidual yang mempertanyakan kewajiban manusia sebagai induvidu, terutama terhadap dirinya sendiri dan melalui suara hati, terhadap yang Ilahi, dan etika sosial. Etika sosial jauh lebih luas dari etika induvidual karena hampir semua kewajiban manusia bergandengan dengan

C. Pengertian Etika Politik

Etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politik kehidupan manusia. Manusia dibedakan dari binatang, oleh karena itu ia bertindak dengan sadar diatas kemampuanya sendiri, dan oleh karena itu ia bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya, yaitu selain bernilai guna untuknya juga benar dalam arti saat dipertahankan secara argumentatif berhadapan dengan klaim-klaim alternatif, itu sejalan dengan pemikirannya Aristoteles bahwa kebijikan intelektual baginya tinggi nilainya, karena dasarnya adalah pengetahuan tentang prinsip-prinsip etis, sedangkan kebijakan etis ynag mengusasi perasaan yang alami adalah

38


(41)

29

hasil dari cara hidup yang baik dengan jalan kebiasaan berpikir berkemampuan dan berbuat baik secara sadar.39

Dari prinsip-prinsip yang telah disebutkan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kekuasaan harus dipertanggung jawabkan secara demokratis, atau dari prinsip hormat terhadap keutuhan manusia. Bahwa hak-hak asasi manusia harus di beri pengakuan hukum. Prinsip-prinsip itulah yang menjadi pokok bahasan etika politik dan yang harus dipetanggungjawabkan.40

Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa kekuasaan dan demokratis merupakan suatu konsep yang universal dan sangat abstrak untuk dijadikan alas pijakan dalam penyelengaraan bernegara, sehingga tidak dengan begitu saja setiap negara sanggup mengaplikasikan nilai universal tersebut. Corak demokrasi yang di anut disebuah negara ditentukan juga oleh kepentingan penguasa, sehingga konsep demokrasi mengalami penyuasian atau modifikasi-adaptif.41

Demokrasi dalam etika politik, menurut pandangan Franz Magnis sebagai teori normatif yang berkenaan dengan demokrasi sebagai tujuan tentang bagaimana demokrasi seharusnya. Franz juga mengelaborasi demokrasi dari segi etika politik dan mengemukakan lima gugus ciri

39

Prof. Dr. H. Muh. Said, Etika Masyarkat Indonesia, (Jakaarta Pramudya paramida, 1980), hal.89

40

Franz Magnis Suseno, Etika Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003) hal. 27-29

41

Jusman Iskandar, Bunga Rampai: Etika Moral dalam Kehidpan Politik dan Pelayanan Publik, (Bandung:Pustaka Program Pasca Sarjana Universitas Garut), hal. 91-93


(42)

30

hakiki negara demokrasi sebagai berikut,: a. Negara Hukum, b. Pemerintah yang dibawah kontrol nyata masyarakat, c. Pemilihan umum yang bebas, d. Prinsip Mayoritas, e. Adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis

Demokratis mempunyai arti penting bagi masyarakat yang menggunakannya, sebab dengan demokrasi hak masyarakat untuk menentukan sendiri jalannya organisasi negara terjamin. Oleh sebab itu, hampir semua pengertian yang diberikan untuk istilah demokrasi ini selalu memberikan posisi penting bagi rakyat kendati secara operasional implikasinya di berbagai negara tidak selalu sama.42

Sistem politik demokrasi di anut hampir semua negara modern di dunia ini, tetapi ternyata dengan bermacam-macam standar yang digunakan. Hal ini disebabkan karena demokrasi itu sendiri memang bukan merupakan entitas yang statis. Oleh karena itu, disamping demokrasi mempunyai pengertian yang statis, juga mempunyai pengertian yang dinamis, yang bearti bahwa demokrasi mengalami perkembangan dalam artian atau makna sebagai akibat dari praktek demokrasi di berbagai negara yang berbeda-beda.

Untuk itu kalau kita mau menilai antara sistem politik yang demokratis dan sistem poltik yang mengaku demokratis adalah dengan jalan melihat perbedaan kadar kekuasaan politik yang berada di tangan

42


(43)

31

rakyat. Perbedaan antara satu sistem politik yang dianggap demokratis dengan sistem politik lain yang juga mengaku demokratis dapat diadakan dan kalau mau di ukur, dengan jalan melihat perbedaan kadar kekuasaan poltik yang berada di tangan rakyat yang terkandung di dalam masing-masing sistem politik tersebut.43

Untuk itu gagasan negara demokrasi tidak terlerak kepada upaya bagimana meberikan kebebasan sepenuhnya kepada masyarakyat, malinkan bagaimana upaya membatasi kekuasaan yang dipegang atau dijalankan pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya.44

Dalam sistem politik dan pemerintahan modern, mengikuti Trias Politica, kelompok pemegang peran pengambilan keputusan itu adalah lembaga-lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Karena itu, adanya transparasni dan akuntabilitas, untuk itu di dalam demokrasi seorang pemimpin hanya “orang pertama dari yang sama” bukan seorang pribadi yang dominan yang karismatis dan bertidank sebagai bapak kepada rakyatnya. Seorang pemimpin dalam masyarakat demokratis harus tokoh yang tampil dengan kesadaran kenisbian dan keterbatasan dirinya secara

43

Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1978), hal. 243

44

Miriam Budiarjo, Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlemnter dan Demokrasi Pancasila, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994), hal. 4


(44)

32

wajar, sehingga memilki sikap terbuka, komunikatif dan memahami orang lain.

Franz menyatakan bahwa wewenang untuk memerintahi masyarakat harus berdasarkan pada penugasan dan persetujuan para warga masyarakat sendiri. Kareananya, kekuasaan mesti hanya dilegitimasi oleh kehendak mereka yang dikuasi. Lebih jauh dijelaskan bahwa kedaulatan rakyat bertumpu pada hak setiap orang untuk menentukan dirinya sendiri dan untuk turut serta dalam proses oengambilan keputusan yang menyangkut seluruh masyrakat. Dengan begitu, yang diperlukan bukan demokrasi total, melainkan kontrol demokrasi yang efektif.

Franz kemudian mengajukan tesis bahwa, kontrol masyarakat terhadap kekuasaan negara bersifat nyata, walaupun terbatas. Hal ini menjadi kian gamblang saat sistem demokrasi mensyaratkan adanya keterbukaan dalam pengambilan keputusan. Secara lebih konkrit, kontrol masyarakat terhadap tindakan administrasi negara, sesungguhnya merupakan hak personal sebagai makhluk sosial. Dengan begitu apapun yang dialkukan oleh pemerintah diamati secara ketat oelh masyarakat, melalui media massa, lembaga perwakilan atau saluran-saluran lainya. Sehingga, persoalannya berada pada derajat mengoptimalkan sosial tersebut, serta bagaimana hal itu dijadikan in-put agar segala produk dan prilaku pemerintah menjadi bertambah matang dan punya komitmen yang


(45)

33

kuat terhadap kpentingan rakyat. Dengan kata lain, pemberdayaan kontrol sosial adalahh juga merupakan implementasi kedaulatan rakyat.45

Berbicara mengenai pembatasan dan pembagian kekuasaaan, jelas tidak dapat dipsahkan dari pemikiran Montesquieu. Ia mengemukakan dua gagasan pokok menganai pemerintahan yakni gagasan tentang pemisahan kekuasaan dan gagasan tentang hukum, pendangan inilah pada waktu-waktu kemudian di kenal dengan ajaran trias politika.

Pembagian kekuasaan dalam suatu negara menjadi tiga kelompok yangmutlak harus diadakan, sebab dengan adanya pemisahan secara ketat ini akan dapat di jamin adanya kebebadan dari masing-masing kekuasaan. Artinya, pemisahan kekuasaan akan dapat menghindari terjadinya interaksi atau campur tangan dari kekuasaan yang satu terhadap kekuasaan yang lain. Kebebasan di sini dimaksudkan untuk menunjukan suatu suasana di mana orang merasa bahwa pribadi dan meliki mereka aman. Dalam kaitan ini, rakyat memiliki kebebasan untuk melakukan apa saja yang dikehendaki sepanjang diperbolehkan atau diiikan oleh hukum. Selanjutnya, dalam sistem hubungan antara negara dan masyarakat, kebebasan di beri makna sebagai hasil pengaturan politik yang melindungi masyarakat terhadap keccendrunga-kencendrungan penguasa untuk menindas.

45

Jusman Iskandar, Bunga Rampai: Etika Moral dalam Kehidupan Politik dan pelayanan Publik, Op.Cit, hal 94-95


(46)

34

Beranjak dari pemikiran ini. Montesquieu menandaskan perlunya hukum sebagai salah satu instrumen negara atau pemerintah demokrasi. Dengan adanya hukum, pemrintah dapat melindungi warga negaranya, sekaligus dapat menjamin adanya permainan kepentingan dalam lingkup yang luas di antara mereka yang memerintah.

Menurut franz tentang pembatasan kekuasaan politik dalam suatu negara pada prisnipnya di sebut dengan istilah negara hukum. Ide dasar dari negara hukum ini ialah bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil. Oleh karna itu dalam negara hukum terdapat empat tuntunan dasar, yaitu: a. Tuntutan kepastian hukum yang merupakan kebutuhan langsung masyarakat, b. Tuntuan bahwa hukuman berlaku sama bagi segenap penduduk dan warga negara, c. Legitimasi demokrasi di mana proses pembentukan hukum harus mengikutsertakan dan menadapat persetujuan rakyat, d. Tuntutan akal budi yaitu menjungjung tinggi martabat manusia dan masyarakat.46

Jelas bahwa pengertian pembagian kekuasaan berbeda dengan pengertian pemisahan kekuasaan. Pemisahan kekuasaan bearti bahwa kekuasaan negara itu terpisah-pisah dalam beberapa bagian, bagian menganai lembaga maupun menganai fungsinya. Sedangkan pembagian kekuasaan bearti bahwa kekuasaan itu memnag dibagi-bagi dalam bagian, tetapi tidak dipisahkan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa diantara bagian-bagian itu dimungkinkan adanya kerja sama.

46


(47)

35

Dalam ajaran trias politika sebagaimana telah diuraikan diatas, terdapat dua ciri khas yang menandainya yaitu:

 Mencegah adanya kosentarsi kekuasaan dibawah satu tangan.

 Prinsip chek and balences (pengawasan dan keseimbangan).

Dalam praktek, teori trias politika pemisahan kekuasaan secara murni sukar sekali diterapkan diabad dua puluh. Dengan adanya konsep negara hukum yang semula hanya melindungi ketertiban sosial ekonomi berdasarkan asas-asas yang berlaku, tiap campur tangan dalam perekonomian dan segi-segi lain kehidupan sosial tidak di benarkan, oleh karena itu negara hukum dalam arti luas yaitu negara kesejahteraan.

Paham negara hukum berdasarkan keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil. Jadi ada dua unsur dalam negara hukum: pertama, bahwa hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah tidak berdasarkan kekuasaan, melainkan berdasarkan suatu noema objektif iyu, hukum memenuhi syarat bukan hanya secra formal, melaikan dapat dipertahankan berhadapan dengan ide hukum.

Hukumm menjadi landasan segenap tindakan negara, dan hukum itu senderi harus baik dan adil. Baik karena sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat dari hukum dan adil karena maksdu dasar senagap hukum adalah keadailan. Salah satu segi moral politik yang menuntut agar


(48)

36

negara diselengarakan dan menjalankan tugasnya berdasarkan hukum yaitu legitimasi demokrasi.

Legitimasi demokrasi atau tuntutan agar penggunaan keukasaan harus berdasarkan persetujuan dasar para warga negara dan senantiasa berada di bawah kontrol mereka, langsung mengandung tuntutan agar kekuasaan negara secara langsung mengenai kekuasaaan legislatif. Semua undang-undang harus di setujui oleh parlemen yang dipilih oleh para warga negara tidak akan efektif lagi. Kontrol demokratis para warga negara tidak akan efektif lagi. Kontrol demokratis hanya mungkin apabila negara bertindak dalam jalur-jalur normatif yang dipasang atau di setujui oleh para wakil rakyat. Negara hukum merupakan salah satu prasyarat agar negara dapat betul-betul bersifat demokratis. 47

Istilah “etika Islam” atau yang dekat dengan istilah itu dalam bahasa Indonesia sudah biasa dijadikan judul buku yang membahas masalah etika dalam pandangan Islam. Misalnya, buku yang ditulis oleh hamzah ya‟kub yang berjudul Etika Islam: Pembinaan akhlaqulkarimah (suatu Pengantar), Buku yang ditulis oleh rachmat Djatnika yang berjudul Sistem Etika Islami (Akhlak Mulia), dan buku yang ditulis oleh Mudlor Achmad yang berjudul Etika Dalam Islam.

Dalam bahasa Inggris “etika Islam” diterjemahkan dengan “Islmaic ethics” . buku-buku yang membahas masalah etika Islam yang ditulis

47

Franz Magnis Suseno, Etika Politik¸Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: PT Gramedia Psutaka Utama, 2003), hal. 295-296


(49)

37

dalam bahasa Inggris, misalnya buku yang ditulis oleh George F. Hourani yang berjudul Reason an Tradition in Islamic Ethics dan sebuah tulisan yang dikarang oleh Azmi Nanji dalam buku A Compenion to Ethics dengan judul “Islamic Ethics”

Sedangkan dalam bahasa arab, “Etika Islam” biasa disepankan dengan beberapa istilah sebagai berikut; Pertama, „Ilm al-akhlaq, istilah ini dalam kamus Al-Mawrid diterjemahkan dengan etika (ethics), Moral (moral), dan Filsafat moral (Moral philosophy). Sedangkan dalam kamus al-mu‟jam al-Wasith istilah “Ilm al-akhlaq” didefinisikan “ilmun maudhu‟uhu ahkamun qimiyyatun tata‟allaqu bi al-a‟mal al-latitushafu bi la-husniaw al-qubhi. Misalnya, Ibnu Sina menulis sebuah buku dengan judul „Ilm-al-Akhlaq yang berisi uraian tentang etika. Kedua, falsafah al-akhlaq, Misalnya yang terdapat dalam kitab yang ditulis oleh manshur Ali Rajab berjudul Taammulat fi Falsafat al-Akhlaq. Kitab yang ditulis oleh Muhammad Yusuf Musa dengan judul Falsafat al-Akhlaq fi al-Islam wa Shilatuha bi al-Falsafat al-Ighriqiyah.

Permasalahan yang sering muncul dalam etika politik adalah masalah legitimasi etis kekuasaan yang dapat dirumuskan dalam hak moral seseorang atau sekelomok orang yang memgang dan mempergunakan kekuasaan yang dimilikinya. Betatapun besar kekuasaan tidak lagi dianggap sah.


(50)

38

Untuk itu etika politik memberi petunjuk prinsip-prinsip etika dasar dengan beberapa implikasi langsung pada kedudukan manusia yang akan dijadikan landasan perumusan etika politik. Prinsip dasar yang pertama ialah mewujudkan kesejahteraan umum yang mempunyai releansi politik tertinggi, dalam artian bahwa semua tindakan dan kebijakan, harus memberikan keuntungan yang besar bagi masyarakat, akan tetapi asal tidak melanggar hak dan keadilan. Prinsip dasar yang lain adalah prinsip keadailan yang mengatakan bahwa kita wajib untuk memperlakkukan semua orang dengan adil, dalam artian bahwa untuk menghormati hak-hak mereka dan memberikan perlakuan yang sama dalam situasi yang sama pula. Prinsip keadilan itu sendiri berdasarkan pada prinsip hormat terhadap seseorang yang mengungkapkan kewajiban untuk memperlakukan segenap manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri dan tidak pernah hanya sebagai sarana untuk tujuan-tujuan lebih betapapun manfaatnya. Untuk itu mari kita mendefinisikan etika dan moral terlebih dahulu :


(51)

39

BAB III

KEKUASAAN MENURUT IBNU TAIMIYAH DAN IBNU KHALDUN

A. Kekuasaan Menurut Ibnu Tainiyah a) Kekuasaan Tuhan

Persoalan antara Islam dan negara dalam masa modern merupakan salah satu subyek penting, yang meski telah diperdebatkan para pemikir Islam sejak hampir seabad lalu himgga dewasa ini, tetap belum terpecahkan secara tuntas. Pengalaman masayrakat Muslim di berbagai penjuru dunia, khususnya sejak usai Perang Dunia II mengesankan terdepatnya hubungan yang canggung antara Islam (din) dan negara (dawlah), atau bahkan politik pada umumnya. Berbagai “eksperimen” dilakukan untuk menyelaraskan antara din dengan konsep dan kultur politik masayrakat Muslim : dan eksperimen-ekperimen itu dalam banyak hal sangat beragam. Tingkat penetrasi “Islam” ke dalam negara dan politik juga berbeda-beda.48

Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa negara dan agama “sunggug saling berkelindan; tanpa kekuasaan negara yang bersifat memaksa, agama berada dalam bahaya. Tanpa disiplin hukum wahyu, negara pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik, “Dalam al-Siyasah al-Syar‟iyyah, ia menganggap penegakan Negara sebagai tugas suci untuk mendekatkan

48

Azyumardi Azra, Pergolokan Politik Islam Dari Fundamentalisme, Modeenisme, Hingga Post-Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 1


(52)

40

manusia kepada Allah. Mendirikan sebuah negara bearti menyediakan fungsi yang besar untuk menegakan ungkapan berikut: “melihat tegakan sebuah keadilan bearti melaksanakan perintah dan menghindar dari kejahatan dan memasyaratkan tauhid serta memepersiapkan bagi kedatangan sebuah masyarakat yang dipersembahkan demi mengabdi Allah.49

Keluasan hukum Islam terlihat pada nama yang dipilih dan diberikan para pemeluknya, syariah. Kata itu bearti sebagai rujukan akhir hukum Islam tidak saja berperan sebagai undang-undang perilaku keagamaan, tetapi yang lebih lagi, kitab suci merupakan hukum dasar dan tertinggi yang tidak dapat digolongkan sebagai argumen serius tentang konstitusi negara islam. Sumber hukum konstitusi Islam ke dua yang tidak kalah penting adalah Sunnah atau segala perkataan dan praktek kehidupan Nabi Muhammad SAW, manusia yang dipih Allah untuk menyapaikan risalah-Nya kepada semua manusia. Segenap praktek kehidupan Khulafaur-Rasyidin juga termasuk Sunnah. Pada saat-saat tertentu terdapat kesepakatan umum yang berkembang dikalangan unsur-unsur politik Islam atau Ummah, berkaitan dengan permasalahan yang timbul dan seacar kolektif kemudian mencapi suatu kesepakatan bukat. Inilah Ijma‟ atau konsensus yang merupakan sumber hukum otoritatif peringkat ke tiga. Sedang sumber hukum yang keempat adalah Qiyas analogi logis.

49

Khalid Ibrahim Jidan, Teori Politik Islam: Telaah kritis Ibnu Taimiyah Tentang Pemerintahan Islam, ter. Masrohin, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995). Hal 57.


(53)

41

bentuk pertimbangan rasional yang lain dapat diklasifikasikan di bawah kategori tersebut.50

Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S. 12.40)51

Klausa in al-hukm illa yang terdapat dalam ayat di atas terdapat pula dalam Q.S. Yusuf (12:67) dan Q.S. al-An‟am (6:57). Hanya saja dalam kedua ayat ini, konteks pembicaraan berbeda dengan ayat terdahulu. Tapi dalam ayat-ayat tersebut kata al-hukm dipergunakan dalam tiga masalh, yaitu urusan ibadat, urusan akidah, dan urusan perselisihan pendapat. Dalam hal pertama, konsep hukum mengatur kehidupan manusia. Dari sini dapat dipahami bahwa segala keptusan yang berkaitan dengan aspek kehidupan manusia sebagai khalifah Allah berada dalam keuasaan Allah SWT. Bagaimana manusia mangatur kehidupannnya, baik kehidupan pribadinya atauoun kehidupan sosialnya dalam lingkungan yang seluas-luasnya, termasuk pula hubungannya dengan lingkungan alamnya, semuanya berada dalam kekuasaan Tuhan. Oleh karna itu dapat diakatakan bahwa kata al-hukm dalam ayat ini berkaitan dengan aturan-aturan kehidupan manusia yang dikenal dengan syariat.52

50

Jidan, Teori politik Islam, hal. 60

51

Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qu ’a da Te je aha ya, hal. 354

52

Abd. Muin Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al- u ’a , (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 180-181


(54)

42

Argumen Ibnu Taimiyah tentang sumber-sumber hukum dan legilasi Islam dimaksukan untuk menitikberatkan pada sautu masalah pokok: setalah melalui proses analisa final dapat ditarik kesimpulam bahwa sumber-sumber tersebut memuat risalah Allah yang terungkap dalam kitab suci Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi Muhammad yang secara kolektif disebut syariah. Pembicaraan mengenai al-qur‟an, sunnah, ijma, dan qiyas tidak mengandung arti bahwa empat sumber hukum itu sama derajatanya. Tidak ada yang sanggup mengikis esensi agama Islam bila orang berpegang teguh pada prinsip itu. Seluruh bangunan Islam didirikan pada dua prinsip dasar: ke-Esaan Allah secara mutlak dan penegasan sikap bahwa Muhammad adalah utusan Allah (La ilaha ila Allah, Muhammad Rasul Allah). Karena muhammad diyakini sebagai rasul yang membawa misi untuk menegaskan ke-Esaan Allah sebagai terungkap dalam al-Qur‟an, maka manusia dituntun kepada keyakinan bahwa Dzat yang Maha kuasa hanyalah Allah semata. Syaraiah memang dapat dirinci menjadi empat bagian (sumber), namun sumber-sumber itu dipandang sebagai ungkapan kehendak Allah, Dzat yang Maha Esa dan Kuasa.53

Pandangan para pemikir sunni mengenai perlunya pemerintahan untuk melaksanakan syariah mendorong terbentuknya konsep atas hukum Tuhan (siyasah Shar‟iyah). Konsep ini muncul sebagian karena penyimpangan dan kekacauan politik waktu itu, yang sebagian besar di

53


(55)

43

luar masalah syariah, namun tetap dijustifikasikan oleh ara fuqaha sebagia bagian dari maslah syariah.54

Ada sejumlah rujukan dalam al-qur‟an yang secara tegas menerangkan sumber dan sekup kekuasaan dalam Islam. Misalnya dua ayat berikut:

Katakanlah: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Q.S. 3:26)

Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Q.S. 3:189)

Ayat-ayat al-qur‟an tersebut di samping ayat-ayat yang lain menegasan bahwa Allah adalah sumber segala kekuasaan. Ayat-ayat itu juga menejalskan bahwa dalam Islam tidak ada seorang pun yang mempunyai kekuasaan mutlak seperti yang terdapat pada monarchi Hobbes atau reka-reka hukum dalam bentuk negara yang diajukan oleh Jhon Austin. Tegasnya adalah bahwa tuhan sendiri yang mempunyai kekuasaan itu.

Hanya saja, al-qur‟an juga menegaskan bahwa Allah sebagai pemilik kekuasaan mutlak menghendaki manusia agar mampu berperan sebagai wakil (khalifah) Nya di bumi. Oleh sebab itu manusia dapat

54


(56)

44

mengklaim dirinya mempunyai kekuasaan tak beratas sepanjang digunkan hanya demi memenuhi kehenda-Nya.

Kekuasaan dan pemerintahan dibutuhkan untuk mewujudkan terselenggarakannya kewajiban-kewajiban keagamaan. Dengan demikian, penegakan negara bukanlah merupakan tujuan tetapi tak lebih sebagai sekdar instrumen untuk merealisasikan ajaran-ajaran Islam. Lebih lanjut, Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa jika kekuasaan dan kekayaan dijadikan sarana mendeaktkandiri kepada Tuhan, sudah barang tetu antara kehidupan agama dan kehidupan duniawai akan tercipta keserasian. Sebaliknya, jika keukasaan memisahkan diri dari agamam atau agama mengabaikan kekuasaan, maka yang akan terjadi adalah kerusakan dan malapetaka bagi umat manusia. Karena itulah, sangat wajar jika kita berkesimpulan bahwa hubungan agana dan negara dalam pandangan Ibnu taimiyah, sesungguhnya lebih bersifat fungsional dan bukan organik.

Implikasi, negara bukan hanya berada di bawah supremasi agama (syariah), tetapi negara berikut penyelenggaraannya juga bukanlah institusi yang skaral, sehingga karenanya tak mempunyai keistimewaan relegius apapun. Itu sebabnya, dalam pandangan Ibnu Taimiyah, ketaatan kepada pemerintah pemyelanggara negara hanya dapat diberikan sepanjang perintah merak tidak bahwa eksistensi negara tidak dapat dipandang


(57)

45

remeh, karena, tanpa kehadirannya sautu tat terrtib sosial yang berlandasakan al-qur‟an dan sunnah kiranya akan sulut diwujudkan.55

a) Kepala Negara

Kewajiban-kewajiban dan tugas-tugas penting kepala negara adalah mewujudkan tujuan-tujuna dan maksud negara Islam. Sebagaimana yang dijelaskan sejumlah besar ulama dan para pemikir dari kalangan pemuka salaf, berkaisar pada dua pusat (inti), sebagaimana yang dikatakan oleh al-Mawardi: “Meleindungi agama dan menagtur dunia.”

Sesungguhnya khalifah atau imam atau negara menjalankan administrasi (negara) yang mengarah pada pelaksanaan dua tujuan tersebut. Jadi, ia menuaikan seluruh tugas-tugas negara sesuai dengan pengertian Islam, dengan meminta bantuan kepada orang-orang yang telah ditunjuk sebagai pembantu kepala negara. Seperti para mentri, gubernur, pekerja (pegawai dan pemerintah) daerah, hakim dan lainnya kita mungkin dapat meringkas tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban ini; menjaga keamanan dakam negri membela negara, baik tanah air maupun rakyat, melindungi agama dan dakwahnya, baik di dalam maupun di luar (negri), dan mencegah setiap penyelewengan dan peyimpangan atau pelecehan (tasywih).

55

M. Arskal Salim G.P., etika Intervensi Negara; Perspektif Etika Politik Ibnu Taimiyah, (Jakrta: Logos, 1999), hal. 52


(58)

46

Begitu juga menuaikan hukum-hukum dan syariat-syariat-Nya: dengan mengekan keadilan dan mencegah kezhaliman, menghukum orang-orang yang berbuat kejahatan serta mekanggar hak-hak Allah dan manusia, menjamin orang-orang yang miskin, menarik pajak yang diwajibkan negara atau (mengumpulkan) harta yang diizinkan syara, menjaganya dan membelanjakannya untuk mewujudkan tujuan-tujuan ini, mengakat orang-orang yang akan melaksanakan seluruh aktivis pembelanjaran (negara), keilmuan, kehakiman, keuangan, dan administrasi.56

Mengurusi umat manusia itu tergolong kewajiban agama yang benilai besar. Bahkan agama tidak bisa ditegakan kecuali dengnnya. karena itu umat manusia tidak akan bisa mencapai kesejahteraan dengan sempurna kecuali dengan bersosialisasi karena di antara meraka saling membutuhkan.57 Bagi Ibnu Taimiyah sangat penting kalau pemerintahan digunakan sebagai maksud dari pencapaian tujuan agama dan mendekatkan diri pada Tuhan. Inilah cara terbaik untuk lebih dekat pada Tuhan, karena pada saat yang sama juga akan dapat memperbaiki dan mengubah keadaan orang.58

Ibnu taimiyah jelas menolak pernyataan bahwa seorang raja memperoleh kekuasaan dari Tuhan. Dan juga, ia tidak berpaandangan

56

Muhammad Al-Mubarak, Sistem Pemerintah Dalam Perspektif Islam, terj. Firman Hariyanto, (Solo, CV. Pustaka Mantiq, 1995), hal. 70

57

Ibnu taimiyah, Kebijakan Politik Nabi SAW, terj. Muhammad Munawir al-Zahidi, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), hal. 158

58

Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam: Studi Fundamentalisme Islam, terj. Aam Fahmia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), 2000. Hal. 235


(59)

47

bahwa negara sebagai kesatuan yang mistis dan bersifat supranatural. Teori ketuhanan dan teori idealistis sesungguhnya lebih cocok dengan teori imamah syiah yang sangat ditentang keras oleh Ibnu Tamiyah.

Pernyataan Ibnu Taimiyah seperti “inna Sulthan Zhil Allah fi al-Ard” (sesungguhnya sultan adalah bayangan Tuhan di bumi) seharusnya tidak dapat ditafsirkan bahwa Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa seorang pemimpin adalah wakil Tuhan di bumi yang memperoleh kekuasaan dari Tuhan. Sebab, di bagian lain, Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa seorang pemimpin merupakan duta Tuhan atas hamba-hamba-nya, tetapi di saat yang sama seorang pemimpin juga adalah wakil para hamba (al-Wulat Nuwwab Allah „Ala “Ibadaillah wa Wukala‟ala al-Ibad‟ala mufsihin).

Dengan kata lain seorang pemimpin mempunyai status ganda, sebagai duta Tuhan yang bertanggung jawab kepada Yang mengutusnya dan sebagai wakil para hamba yang bertanggungjawab pula dalam mengemban kepercayaan orang-orang yang telah menunjukannya sebagai wakil. Dalam kedudukannya sebagai duta, ia tidak diperkenalkan menyimpang dari ketetapan-ketetapan yang telah digariskan oleh yang mengangkatnya. Begit pul, dalam kedudukannya sebagi wakil, ia pun tidak boleh mengkhianati amanat orang-orang yang diwakilinya.59

59


(1)

75

5. menurut Ibn Khaldun, alat-alat kekuasaan kurang memegang peranan, termasuk „ashabiyah, seperti yang terdapat pada waktu menegakan kekuasaan semula. Dalam keadaan demikian penguasa dan orang-orang yang telah membantunya menegakan kekuasaan itu mulai melihat kepada hal-hal lain yang dirasakan menarik, terutama pada kemewahan yang datang tanpa dicapai. Karena pada dasarnya, dan menjadi tabiatnya pula bahwa kekuasaan itu diiringi dengan kemewahan. Tetapi kemewahan ini hanya mula-mula saja akan menambah kekuatan penguasa, namun akhirnya kekuatan ini hanya mula-mula saja akan menambah kekuatan penguasa, namun akhirnya kekuatan ini akan melemah karena kemewahan itu mengandung sifat yang merusakan manusia, yaitu pada akhlaknya

B. Saran

Jika pemimpin Rusak, niscaya rusak pula rakyat yang dipimpinya, demikianlah sebuah fenomena meyedihkan yang senantiasa menghantui pikiran Ibnu Taimiyah. Fenomena inilah yang menurut beliau, sebagai penyebab utama kerusakan kaum musilimin, terampasnya negara dan kehormatan mereka, serta pendorong musuh-musuh Islam untuk meyerang kaum muslimin. Bahwa fenomena inilah pula yang merupakan virus utama dari segala jenis penyakit yang diderita kaum Muslimin.

seorang penguasa politik atau pemimpin, wajib “menyapaikan amanat kepada pemberi amanat itu” dan untuk “menghukumi secara adil.‟


(2)

76

Maksudnya, ia harus menerapkan hudud terhadap kelas bangsawan maupun rakyat jelata secara adil dan proposional. Prinsip keadilan ekonomi syariat dama barter, retrebusi, dan distribusi kepada kaum miskin harus dijalankan oleh publik maupun setiap individu. Tujuan semua tugas publik (wilayat) adalah mewujudkan kesejahteraan material dan spiritual manusia. Karena itu, “memerintahkan kepada kebaikan merupakan tujuan tertinggi dari setiap tugas politik. Tidak ada pemerintah yang dapat mencapainya tanpa mematuhui norma-norma Islam. Sebaliknya, memerintahkan kepada kebaikan dan melarang kemungkaran tidak efektif tanpa dukungan kekuatan politik.

Dalam konteks ini, pemikiran Ibnu Taimiyah dan Ibnu khaldun layak dijadikan refrensi utama dalam dunia politik. Menciptakan sebuah negara kejeaahteraan merupakan tanggung jawab bersama, manusia tidak mungkin hidup sendiri-sendiri di dunia ini, meraka butuh solidaritas sosial dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam solidaritas sosial itu di butuhkan sebuah pemimpin yang mampu di percaya dan amanah dalam bertugasnya.


(3)

77

DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. H. Muh. Said, Etika Masyarkat Indonesia, (Jakarta Pramudya paramida, 1980)

Frans Magnis Suseno, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegraan Modern, (Jakarta : PT Gramedia, 1988)

Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu politik, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia, 2008)

Hugo. F. Reading, kamus ilmu-ilmu Sosial, Terjemahan Sehat Simamora, (Jakarta :PT. Rajawali, 1986)

M. Solly Lubis, Ilmu Negara (Bandung: Mandar Maju, 1989) Jimlly Asshiddiqie, Gagasan Kedaultan Rakyat Dalam konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994)

Ahmadie Thoha, Mukaddimah ibnu khladun, (Jakarta: pustaka Firdaus)

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Jaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Penerbit UI Press 1993)

Dr. Badri yatim, M.A, sejarah Peradaban Islam (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2001)

Sumardi Surayabrata, Metodologi Penelitian, cet.XVI, (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004)


(4)

78

Ibnu Tamiyah, Siyasah Syar‟iyah : Etika Politik Isalam (Surabaya: Risalah Gusti. 2005)

Consuelo G Sevilla (dkk), Pengatar Metodologi Penelitian, cet.I. (Jakarta: UI Pres. 1993)

Louis O. Katssoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 1986)

Amri M, Etika Islam (Yogyakarta: LSFK2P dan pustaka Pelajar, 2002), cet. Ke-1

Franz magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah pokok filasafat Moral, (Yogyakarta: Kanisius, 1987)

Antoni Black, Pemikiran Politik Isalm: dari masa Nabi hingga masa kini, Penerjemah Abdullah Ali & Mariana Ariestyawati

Jusman Iskandar, Bunga Rampai: Etika Moral dalam Kehidpan Politik dan Pelayanan Publik, (Bandung:Pustaka Program Pasca Sarjana Universitas Garut)

Moh. Mahfud MD, Demokratsi Pancasila, (Jakarta: Bina Aksara, 1983)

Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1978)

Miriam Budiarjo, Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlemnter dan Demokrasi Pancasila, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994)


(5)

79

Jusman Iskandar, Bunga Rampai: Etika Moral dalam Kehidupan Politik dan pelayanan Publik

Mummad Iqbal & Amin Husein nasution, Pemikiran Politik Islam : Dari masa klasik hingga Indonesia Komtemporer,

Rahman Zainuddin, Ilmu Sejarah, Sosial dan politik, dalam Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, Cet. II, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Hoeve, 2002)

Fua Baali dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan pemikiran Islam, Penerjemah Ahmad Thaha (Jakrta : Pustaka Firdaus, 1989)

Hakimul Ikhwan Afandi, Akar Konflik Sepanjang Zaman: Elaborasi Pemikiran Ibn Khaldun, (Yogyakarta :Pustaka Pelajar, 2004)

Zainab al-Khudaibiri, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, penerjemah Ahmad Rafi‟ (Bandung: Pustaka, 1995)

W.J.S Purwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990

A. Ubaidillah. et al, Pendidikan kewargaan: Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, (Jakarta: IAIN Kalarta press, 2000)

Inu Kencana Syafie, Ilmu Pemerintah dan al-Qur‟an, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994)

Arief Budiman, Teori Negara: Negara Kekuasaan, dan Ideologi, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997)


(6)

80

Abdul muin Salim, fiqh Siyasah: Konsepsi kekuasaan Politik Dalam al-Qor‟an, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1995)

Azyumardi Azra, Pergolokan Politik Islam Dari Fundamentalisme, Modeenisme, Hingga Post-Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996)

Khalid Ibrahim Jidan, Teori Politik Islam: Telaah kritis Ibnu Taimiyah Tentang Pemerintahan Islam, ter. Masrohin, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995)

M. Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos, 2001)

M. Arskal Salim G.P., etika Intervensi Negara; Perspektif Etika Politik Ibnu Taimiyah, (Jakrta: Logos, 1999)

Muhammad Al-Mubarak, Sistem Pemerintah Dalam Perspektif Islam, terj. Firman Hariyanto, (Solo, CV. Pustaka Mantiq, 1995),

Ibnu taimiyah, Kebijakan Politik Nabi SAW, terj. Muhammad Munawir al-Zahidi, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997)

Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam: Studi Fundamentalisme Islam, terj. Aam Fahmia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2000)

Daliar Noer, Pemikiran Politik di Negara Barat (Jakarta: Mizan, 2000)

Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur‟an dan Terjemahannya