RE-INTERPRETASI KEDAULATAN NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL - repository civitas UGM

RE-INTERPRETASI KEDAULATAN NEGARA
DALAM HUKUM INTERNASIONAL

UNIVERSITAS GADJAH MADA
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Bcsar
pada Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada

Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majclis Guru Besar
Universitas Gadjah Mada
pad a tanggal 26 Juni 2014
di Yoovakarta
o.

Olch:
Prof. Dr. Sigit Riyanto, S.H., LL.M.

Assalamu 'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Salam Sejahtera bagi kita semua,
Yang Terhormat;
Ketua, Sekretaris, dan Anggota Majelis Wali Amanat,

Ketua, SehTetaris, dan Anggota Majelis Guru Besar,
Ketua, Sekretaris, dan Anggota Senat Akademik,
Rektor, Para Wahl Rektor, Para Dekan, Wahl Dekan dan Ketua
Lembaga di Lingkup Universitas Gadjah Mada,
Segenap Civitas Akademika Universitas Gadjah Mada,
Serta tal/Hi undangan dan hadirin yang saya muliakan
Pertama-tama izinkanlah saya dengan segenap kerendahan hati
mengucapkan syukur Alhamdulillah ke hadirat Allah SWT. Atas
berkat hidayah, rahmat dan karunia-Nya, pada pagi hari ini saya
berkesempatan menyampaikan pidato pengukuhan sebagai Guru Besar
Hukum Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
Pidato yang akan saya sampaikan ini merupakan hal yang
elementer, namun perlu direnungkan dan tidak mudah untuk diabaikan
begitu saja di tengah perkembangan masyarakat yang makin maju,
dan posisi, serta peran negara yang makin dinamis. Perlu saya
sampaikan lingkup pembahasan dalam pidato ini terbatas pada bidang
ilmu yang saya tekuni, yakni Hukum Internasional.

RE-INTERPRET ASI KEDAULA TAN NEGARA
DALAM HUKUM INTERNASIONAL

Hadirill yang saya mlfliakall,
Kedaulatan negara merupakan konsep yang sangat menarik dan
inspiratif dalam wacana akademis bidang hukum dan politik
internasional. Oari waktu ke waktu dapat dicatat perdebatan yang
sangat dinamis dan provokatif tentang konsep kedaulatan negara
dalam sistem hukum internasional. Mencermati perkembangan
mutakhir tentang posisi dan peran negara secara internal maupun

2
eksternal tampaknya diperlukan re-interpretasi makna kedaulatan
negara dalam konteks sistem hukum internasional.
Kedaulatan merupakan konsep yang sangat penting dalam tertib
hukum domestik maupun internasional, dan merupakan titik
persinggungan antara kedua sistem tertib hukum tersebut. Kedaulatan
negara merupakan salah satu norma fondasional dalam sistem hukum
internasional. Konsekuensinya, konsep tentang negara yang berdaulat
sebagai kesatuan otoritas yang tidak tunduk pada pihak mana pun
merupakan penyangga sistem tata hukum internasional yang
menjunjung tinggi prinsip kesetaraan, non-intervensi dan kesepakatan
(consent) negara. Namun demikian, dalam wacana dan praksis

mutakhir konsep kedaulatan negara telah mengalami perubahan
sehingga kedaulatan negara dalam pengertian yang absolut tidak dapat
dipertahankan lagi (Struet, 2005).
Sekurang-kurangnya ada dua faktor yang perlu dipertimbangkan
dalam hal menemukan makna baru tentang kedaulatan negara dalam
sistem hukum internasional kontemporer. Pertama, perkembangan dan
penyebarluasan nilai-nilai kemanusiaan (spreading of humanity
values) dan implementasinya oleh Negara, Organisasi Internasional,
individu, dan Non-State Actors lainnya di seluruh dunia. Kedua,
teljadinya
proses globalisasi
dan liberalisasi
ekonomi dan
perdagangan internasional yang makin marak dan intensif di berbagai
wilayah dunia. Globalisme dan globalisasi menimbulkan implikasi
berupa keleluasaan pergerakan lintas batas (negara) bagi orang, objek,
maupun ide, dan atau konsep.
Pada saat bersamaan, kini juga makin deras aliran pemikiran
yang memposisikan negara sebagai instrumen yang melayani
kepentingan

warga dan bukan sebaliknya.
Oalam wacana
kontemporer, pemahaman tradisional tentang konsep kedaulatan
negara dapat dianggap sebagai kendala bagi pemecahan masalah
kemanusiaan secara efektif dan perlindungan kepentingan dan hak-hak
mendasar warga negara. Secara ilustratif, pemaknaan kedaulatan
bagaikan pergerakan pendulum kepada dua arah yang berbeda, yakni:
kedaulatan dengan makna mengarah pad a absolutisme atau kedaulatan
dengan makna yang mengarah pada relativisme. Kini negara-negara
sebagai subjek hukum intemasional par excellence dihadapkan pada

3
pilihan untuk menemukan konsensus tentang makna kedaulatan dalam
hubungan di antara mereka maupun dengan 11011
state actors lainnya.

Kedaulatao Ncgara sebagai Koosep
Hadirill yallg saya l1luliakall.
Istilah kedaulatan negara sering digunakan untuk merujuk pada
pengertian: "kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh pemerintah

negara". Kedaulatan juga diberi makna sebagai kewenangan politik
paripul11a (tertinggi) yang dimiliki suatu negara untuk mengatur dan
menentukall dirinya. Oalam wacana akademik tampaknya tidak dapat
ditetapkan suatu definisi tunggal tentang kedaulatan. Tenninologi
kedaulatan memiliki beragam makna dan penafsiran. Istilah
kedaulatan sering kali diberi makna berbeda-beda oleh akademisi,
jumalis, politisi, pejabat intemasional,juris, dan kalangan lain dengan
latar belakang profesi, budaya, dan disiplin intelektual yang juga
berbeda-beda (Nagan & Hammer, 2004). Istilah ini dapat memiliki
makna yang berbeda bagi orang yang bcrbeda yang masing-masing
memiliki latar belakang yang beragam pula.
Istilah kedaulatan
mungkin memiliki makna yang berbeda dalam ilmu hukum. ilmll
politik, sejarah, filsafat dan bidang-bidang lain yang berkaitan
dengannya.
Ada berbagai pendekatan, beragam kategorisasi dan berbagai
variasi tentang penggunaan konsep kedaulatan. Kedaulatan dapat
merujuk pad a kedaulatan domestik, kedaulatan interdependensi,
kedaulatan hukum intemasional dan kedalllatan negara yang absolllt.
Kedalllatan sebagai konsep yang menunjllk pad a kekuasaan utama dan

te11inggi untuk memlltuskan, dapat dianalisis dan dikualitikasikan
berdasarkan perspektif unsur-unsllr yang berhadapan (diallletral)
scbagai berikllt: kedaulatan hllkum atau kedaulatan politik; kcdaulatan
intel11al atau ekstema]; kedaulatan yang tunggal atall kedalllatan yang
dapat dibagi; kedaulatan pemerintah atau rakyat (Krasner, 2004).
Pemahaman tentang konsep kedaulatan negara ini sangat
membantu dalam mencennati dan mengevaluasi kedudllkan negara
dalam konteks hubllngan intel11asional yang sangat dinamis. Ajaran

4
filosofis yang paling mengesankan tentang kedaulatan adalah bahwa,
kedaulatan merupakan kekuasaan absolut atas suatu wilayah te11entu.
Kekuasaan absolut atas wilayah tersebut menjadi dasar bagi
pembentukan negara.
Dalam kaitannya dengan kedaulatan, dapat dikemukakan catatan
bahwa hukum merupakan aspek yang sangat penting. Hukum
merupakan fondasi atau landasan bagi terciptanya ketertiban politik.
Bahkan ada pendapat yang menyatakan bahwa hukum merupakan "the
sole guarantor of the continuity of civilization" (Sheehan, 2006). Tata
hukum dapat menjadi instrumen untuk menjamin keberlanjutan

keberadaban.
Kristalisasi teoretik tentang hubungan antara hukum dengan
kedaulatan dapat ditemukan dalam doktrin tentang kedaulatan
sebagaimana dikemukakan oleh Jean Bodin pad a abad keenam belas.
Dalam hal ini, Jean Bodin mengemukakan doktrin bahwa kedaulatan
merupakan sumber utama untuk menetapkan hukum. Kedaulatan
. merupakan sumber otoritas yang berada pada aras tertinggi dalam
hierarki hukum (legal hierarchy).
Konsep kedaulatan negara juga menjadi dasar salah satu doktrin
hukum yang dikenal dengan Act of State Doctrine atau "the
Sovereign Act Doctrine". Doktrin hukum yang muncul pada abad
kesembilan belas (XIX) ini menegaskan: "EvelY sovereign State is
bound to respect the independence of every sovereign State, and the
courts of one countly will not sit in judgment on the acts of the
government of another done within its own territory". Menurut A~t of
State Doctrine,
setiap negara berdaulat wajib menghormati
kemerdekaan negara berdaulat lainnya. Pengadilan domestik suatu
negara tidak berwenang mempertanyakan tindakan pemerintahan
negara berdaulat lain yang dilakukan di wilayahnya.

Pendapat lain, menyatakan bahwa kedaulatan merupakan suatu
status hukum (legal status) yang melekat kepada aktor politik; dan
atau diberikan oleh aktor politik yang lain atau diklaim oleh aktor
yang bersangkutan. Sebagai suatu gejala hukum, kedaulatan bukanlah
suatu realitas fisika, kedaulatan merupakan konsep dan simbolisme,
atau lebih tepatnya merupakan isi dari pemikiran dan simbol-simboI.
'Itatus hukum ini dibentuk dan didefinisikan oleh teks hukum,

5
bersama-sama dengan praktik yang diterima dan diakui, meskipun
kedaulatan dapat merujuk dimensi kekuasaan pra-legal. Status
semacam ini menimbulkan konsekuensi hukum tertentu; khususnya
hak dan kewajiban bagi yang bersangkutan. Status hukum kedaulatan
dibentuk oleh hukum, status ini merefleksikan dan menggabungkan
konsep politik, praktik sosial, dan budaya. Khususnya hukum dan
politik, keduanya saling menentukan (mutually constitutive); oleh
karena itu, status hukum juga berarti status politik. Kedaulatan
merupakan konsep garis batas (borderline) di mana terdapat tekanan
dan irisan nyata antara hukum dan politik (Peters, 2009).
. Salah satu pandangan menarik tentang kedaulatan (sovereignty),

adalah sebagaimana dikemukakan oleh James J. Sheehan. Pakar
sejarah asal Amerika ini mengemukakan pandangan kritis, bahwa
salah satu permasalahan terkait dengan kOllsep kedaulatan adalah
tentang definisi. Kedaulatan adalah suatu konsep politik, namun
demikian, tidak seperti halnya dengan konsep tentang demokrasi atau
monarki, kedaulatan bukanlah tentang tempat di mana kekuasaan itu
berada. Kedaulatan tidak sama halnya dengan parlemen atau birokrasi;
karena kedaulatan tidak menggambarkan institusi-institusi yang
menjalankan kekuasaan. Kedaulatan juga tidak dapat disamakan
dengan tertib hukum (order) maupun keadilan (justice); karena
kedaulatan tidak menggambarkan tujuan dari pelaksanaan kekuasaan.
Kedaulatan adalah suatu hal dan meliputi banyak hal (the one or the
many) (Sheehan, 2006).
.
Konsep tentang kedaulatan adalah suatu hal yang berkaitan
dengan hubungan antara kekuasaan politik dengan bentuk-bentuk
otoritas lainnya. Kedaulatan dapat dipahami dengan mencermati
bahwa; Pertama, kekuasaan politik adalah berbeda dengan kerangka
organisasi atau otoritas lain di dalam masyarakat seperti religius,
kekeluargaan dan ekonomi. Kedua, kedaulatan menegaskan bahwa

otoritas publik semacam ini bersifat otonom dan sangat luas
(autonomous and preeminent) sehingga lebih tinggi (superior) dari
institusi yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan dan
independen atau bebas dari pihak luar.
Pada awalnya, konsep dan nilai-nilai kedaulatan negara-bangsa
diterima dan dikembangkan di Benua Eropa. Suatu konsep di mana

6
suatu negara harus memiliki kontrol atas kebijakan ekstel1lal dan
bebas dari struktur otoritas ekstel1lal; merupakan invensi bangsabangsa Eropa sejak abad ke-16 dan ke-17. Telah tiga ratus tahun
kedaulatan ekstel1lal itu diasosiasikan dengan keberhasilan politik;
catatan sejarah keberhasilan orang-orang Eropa (Keohane, 2008).
Namun, dalam perkembangannya konsep bahwa negara harus
memiliki kontrol mutlak atas kebijakan ekstel1lal dan bebas dari
struktur otoritas ekstel1lal telah mengalami transformasi. Contoh
faktual dalam hal ini adalah sebagaimana diperlihatkan dengan
pembentukan organisasi Uni Eropa (European Union: EU).
Adanya berbagai variasi tentang makna dan penggunaan konsep
kedaulatan negara tidak mengurangi arti penting konsep ini dalam
sistem hukum intel1lasional dan teori hubungan intel11asional.

Kedaulatan merupakan salah satu konsep yang mendasar dalam
hukum intel11asional (one of thefundamental concepts in international
law). Oalam kerangka hubungan antal11egara, kedaulatan juga
merujuk pad a pengertian kemerdekaan (independence) dan vice versa.
Suatu negara merdeka adalah negara yang berdaulat. Negara yang
berdaulat adalah negara merdeka dan tidak berada di bawah kekuasaan
negara lain.
Kedaulatan negara (state sovereignty) dan kesederajatan
(equality) antal1legara merupakan konsep yang diakui dan menjadi
dasar bagi bekerjanya sistem hukum intel1lasional. Secara tradisional
hukum intel1lasional mengakui bahwa negara sebagai entitas yang
merdeka dan berdaulat; al1inya negara tidak tunduk pada otoritas lajn
yang lebih tinggi. Kedaulatan dan kesederajatan negara merupakan
atribut yang melekat pada negara merdeka sebagai subjek hukum
intel1lasional. Pengakuan terhadap kedaulatan negara dan kesederajatan antal11egara juga merupakan dasar bagi personalitas negara dalam
sistem hukum intel1lasional. Sejak awal perkembangan hukum
intel1lasional, negara diakui sebagai subjek yang berdaulat dan
sederajat vis-a-vis negara lain. Konsep tradisional hukum intel11asional
menyatakan bahwa negara merupakan suatu kesatuan mandiri dan
tidak ada otoritas yang lebih tinggi kedudukannya yang harus diikuti
olehnya. Berdasarkan pandangan ini, hukum internasional muncul jika
negara-negara berdaulat menyetujui untuk terikat kepada hukum

7
kebiasaan atau peljanjian. Hukum internasional merupakan aturan
koordinatif di antara kesatuan-kesatuan berdaulat dan lebih cenderung
sebagai kontrak. Bahkan perjanjian multilateral yang dibuat di antara
negara-negara sekalipun, pada akhimya tergantung kepada persetujuan
negara. Hal ini sejalan dengan pandangan para penganut hukum alam.
Secara tradisional, kedaulatan merupakan konsep yang sangat
penting dalam tertib hukum domestik maupun intemasional.
Kedaulatan merupakan titik persinggungan antara kedua sistem tertib
hukum tersebut. Konsekuensinya dalam era hukum intemasional
klasik, konsep tentang negara yang berdaulat sebagai kesatuan otoritas
yang tiqak tunduk pada pihak mana pun merupakan penyangga sistem
hukum intemasional yang menjunjung tinggi prinsip non-intervensi
dan kesepakatan (consent) negara (Kahn, 2004). Oalam sistem PBB,
kedaulatan negara merupakan nilai dasar dan pilar yang menyangga
hubungan antara organisasi dengan anggota-anggotanya, maupun
dalam hubungan antarsesama anggota. Hal ini dengan tegas dirumuskan dalam Piagam PBB.
Oalam kerangka hubungan intemasional, khususnya dalam hal
keanggotaan di dalam organisasi internasional, kedaulatan negara
menjadi dasar dan tercel111in dalam keputusan negara untuk
memberikan persetujuan untuk mengikatkan diri pada organisasi
internasional. Oalam konteks ini, consent atau persetujuan negara
adalah keputusan suatu negara sebagai subjek yang mandiri dan bebas
untuk menjadi anggota organisasi internasional (Raustiala, 2003).
Organisasi intemasional mempunyai kewenangan karena adanya
persetujuan secara tegas dan terbuka dari negara-negara pihak yang
membentuknya atau para anggotanya. Persetujuan yang diberikan oleh
negara dalam hal semacam ini tidak bersifat pel111anen, karena
sewaktu-waktu negara dapat menarik kembali persetujuan yang telah
diberikan.
.
Kedaulatan negara yang semula merupakan salah satu norma
fondasional dalam sistem hukum intemasional, telah mengalami
tranSf0l111asi.Kini kedaulatan negara dalam pengertian yang absolut
tidak dapat dipertahankan lagi. Organisasi Uni Eropa yang dibentuk
pada paruh kedua abad ke-20 mulai melakukan institusionalisasi
konsep kedaulatan terbatas dan terpusat (limited and pooled

8
sovereignty); pada saat yang sam a memberikan ruang bagi negaranegara untuk menentukan pilihan bagi kebijakan otonom, politik
intemasional dan menjaga keunikan, karakter, dan kenyamanan
(decent) warganya. Konsep kedaulatan terbatas dan terpusat yang
dilembagakan oleh Uni Eropa telah memengaruhi berbagai aspek
kehidupan warga Eropa; dari sistem peradilan pidana hingga
kebijakan intemasional.
Pada konteks lebih luas, transformasi makna kedaulatan negara,
dapat ditemukan pada kesepakatan masyarakat intemasional untuk
melakukan pemberdayaan institusi intemasional dengan memberikan
otoritas (hingga proses peradilan) yang dapat menjangkau orang,
benda, maupun peristiwa hukum yang teljadi di wilayah negaranegara yang berdaulat. Pada dasamya otoritas semacam itu semula
merupakan hak dan kewajiban prerogatif suatu negara berdasarkan
konsep kedaulatan.
Hak Asasi Manusia dan Re-interpretasi Kedaulatan Negara
Hadirin yang saya l1Iuliakan,
Oikaitkan dengan eksistensi negara dalam sistem hukum
intemasional, kedaulatan dapat dilihat dalam makna ganda, yakni
intemal dan ekstemal. Kedaulatan ekstemal dan kedaulatan intemal
harus dipahami bukan sebagai dua hal yang berbeda, tetapi merupakan
dua dimensi dari suatu atribut yang melekat kepada negara. Secara
intemal, kedaulatan mengindikasikan adanya otoritas eksklusif atas
penduduk dan wilayah (dihadapkan pada non-state actors); sementara
seCaI"aekstemal dihadapkan dengan negara lain. Oalam batas tertentu,
kedaulatan intemal dan kedaulatan ekstemal saling berhubungan dan
saling mendukung. Pada satu sisi, penghormatan terhadap kedaulatan
ekstemal (larangan non-intervensi),
merupakan prasyarat bagi
pengembangan struktur intemal bagi otoritas nasional, dan kontrol ke
dalam suatu negara. Pada sisi yang lain, suatu entitas politik harus
menunjukkan penguasaan nyata atas wilayah dan warga di dalamnya,
untuk dapat dianggap sebagai pihak berdaulat secara ekstemal oleh
pihak berdaulat lainnya.

9
Sejak akhir abad ke-19, seeara berangsur muneul institusiinstitusi intel11asional yang didirikan oleh Natioll-States untuk
memperlanear hubungan antar-Natioll-States dalam berbagai bidang.
Pada akhir Perang Dunia I, masyarakat intel11asional membentuk
suatu organisasi intel11asional yakni the League of Natiolls atau Liga
Bangsa-Bangsa dengan tujuan utama untuk menjaga kelangsungan
perdamaian intel11asional. Dalam perkembangannya, Liga BangsaBangsa mel1lpakan preseden untuk mendirikan Perserikatan BangsaBangsa (PBB) setelah berakhimya Perang Dunia II. Oalam kerangka
organisasi intel11asional PBB, tampak jelas bahwa konsep kedaulatan
juga diakui sebagai aspek mendasar yang tak terpisahkan dari prinsip
kesederajatan antamegara,
kemerdekaan politik dan integritas
wilayah. Namun, perlu dieatat juga bahwa salah satu tujuan utama
PBB adalah penghormatan dan pemajuan niIai-nilai hak asas manusia.
Hal ini tereennin di dalam ketentuan Piagam PBB, Oeklarasi
Universal tentang Hak Asasi Manusia dan ditindak-Ianjuti dengan
berbagai instill men intemasional multilateral lain yang mengatur hak
asasi manusia. Berbagai instl1lmen intel11asional hak asasi manusia
sepelii konvensi-konvensi tentang: Anti Penyiksaan: Genosida; Status
Pengungsi: Perlindungan Anak: Anti Diskriminasi Rasial: Anti
Diskriminasi Perempuan; Hak-Hak Sipil dan Politik; selia Hak-Hak
Ekonomi Sosial dan Budaya, telah membatasi kedauIatan negara
seeara intel11al;ada pembatasan kekuasaan negara vis-a-vis warganya.
Kini negara-negara sebagai anggota masyarakat intemasionaI
tidak dapat menghindar dan hal1ls menerima gejala di mana nonnanorma hak asasi manusia dikembangkan dan disebarluaskan ke
seIul1lh dunia oleh gerakan-gerakan masyarakat sipil, organisasi
kemanusiaan, maupun organisasi intel11asional yang relevan. Gerakangerakan semaeam ini juga mempel1anyakan pandangan "status quo"
yang menempatkan kedaulatan negara sebagai konsep yang absolut.
Pemajuan dan perkembangan nonna-norma hak asasi manusia, dengan
demikian, juga mel1lpakan bagian dari proses globalisasi yang
melanda setiap negara. Seperangkat nonna dan nilai-nilai yang
bersumber pada kemanusiaan dan perlindungan hak asasi manusia
telah diakui dan diterima sebagai gejala universal, meskipun terdapat

10
perbedaan dan variasi dalam implementasinya antara negara satu
dengan lainnya.
Pada dua dekade terakhir abad kedua puluh dan memasuki abad
kedua puluh satu, dapat disaksikan bahwa pemahaman tentang
kedaulatan sebagai konsep yang absolut harus dipertimbangkan
kembali. Kegagalan. otoritas nasional dalam mengelola dinamika
politik dan melindungi hak asasi warganya sebagaimana yang terjadi
di wilayah-wilayah Myanmar, Angola, Afghanistan, Somalia, lrak dan
bekas Yugoslavia, merupakan fakta bahwa negara tidak dapat
menutup diri dari bantuan masyarakat intemasional dengan dalih atau
atas nama kedaulatan. Kedaulatan negara tidak dapat dijadikan perisai
(shield) oleh otoritas nasional untuk mencegah bantuan ekstemal
kepada warga di negara yang bersangkutan yang memerlukan bantuan
kemanusiaan dan perlindungan intemasional.
Regulasi dan penegakan hak asasi manusia yang dilembagakan
masyarakat intemasional mencerminkan komitmen dan kepedulian
terhadap nilai-nilai dan perlindungan hak asasi manusia. Muncul
paradigma baru dalam masyarakat intemasional, bahwa hak asasi
manusia lebih utama daripada kedaulatan. Paradigma ini telah
mendorong perkembangan hukum kebiasaan intemasional tentang
pembatasan kedaulatan negara dalam kerangka upaya perlindungan
hak asasi manusia. Lebih lanjut, upaya ini diteguhkan dan diperkuat
dengan pembentukan Mahkamah Pidana Intemasional; baik yang
bersifat ad-hoc (ICTY & lCTR) maupun yang permanen (lCC).
Penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia lebih diutamakan
daripada kedaulatan negara. Perlindungan hak asasi manusia menjadi
landasan moral dan legal yang sahih bagi tindakan intervensi
kemanusiaan dalam sistem hukum intemasional kontemporer.
Intemasionalisasi nilai-nilai dan prinsip-prinsip universal hak
asasi manusia dapat dipahami dengan melihat pengakuan dan
implementasinya secara global. Prinsip-prinsip universal hak asasi
manusia diterima dan diimplementasikan oleh lembaga-lembaga
intemasional, trans-nasional dan supra nasional. Implementasi nilainilai universal hak asasi manusia secara intemasional tidak tergantung
pada adanya persetujuan (consent) dari negara mana pun, tetapi,
mengacu pada kebenaran nilai-nilai universal hak asasi manusia.

II
Gejala-gejala tersebut diprediksi akan menimbulkan tantangan baru
dan menumbuh-kembangkan
norma-norma hukum yang hartis
diperhatikan dan ditaati oleh negara-negara. Pada saat yang bersamaan
interpretasi tradisional yang menganggap kedaulatan negara sebagai
konsep yang absolut juga mulai dipertanyakan. Hak prerogatif negarabangs a (nation-state) yang ditumpukan pada konsep kedaulatan akan
berhadapan dengan dan dipengaruhi oleh norma-norma yang
diartikulasikan, disebarluaskan dan diterapkan secat-a trans-nasional
ataupun intemasional.
Berkaitan dengan penghonl1atan dan periindungan hak asasi
manusia, kin'i diakui bahwa setiap negara memiliki kepentingan dan
kewajiban untuk melaksanakannya. Penghomlatan dan perlindungan
hak asasi manusia merupakan kewajiban erga O/1mes bagi setiap
negara; konsekuensinya, ketika teljadi pelanggaran hak asasi manusia
di mana pun, setiap negara berhak mempertanyakan peristiwa
tersebut. Hal ini didukung dan diperkuat oleh doktrin hukum maupun
keputusan badan peradilan intemasional (case law) dalam sistem
hukum intemasional. Suatu negara yang melakukan pelanggaran
terhadap kewajiban tersebut telah kehilangan legitimasi atas
kedaulatannya. Oalam kontcks semacam ini, di mana muncul
kebutuhan akan perlindungan hak asasi manusia dan kemanusiaan;
terdapat tata-kelola yang bersifat multi-level untuk mewujudkan
tanggung jawab masyarakat intemasional dalam rangka melestarikan
hak asasi manusia dan humanitarianisme.
Proses yang sedang berlangsung dalam menyeimbangkan antara
kedaulatan dengan humanitarianisme dan atau menafsirkan kembali
makna kedaulatan secara positif dan terbuka, merupakan penanda
teljadinya transformasi hukum intemasional yang semula merupakan
sistem hukum yang berpusat kepada negara (State-centered system);
mengarah pada sistem hukum yang berpusat pada individu (individual-centered system). Pada dasa warsa terakhir abad ke-20 sistem
hukum intemasional telah mengalami transfonl1asi lebih lanjut
menuju ke arah sistem hukum yang berpusat pada individu (individual-centered system) dan lebih humanis (humanized .~yslem).

12
Perubahan ini teljadi sebagai kelanjutan dari kodifikasi dan institusionalisasi hak asasi manusia yang telah dimulai setelah berakhirnya
Perang Ounia dengan Oeklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Globalisasi dan Gerusan terhadap

Kedaulatan

Negara

Hadirin yang saya l11uliakatl,
Keberadaan negara sebagai un sur terpenting dalam sistem
masyarakat internasional tetap tidak terbantahkan. Namun demikian,
perIu dikemukakan bahwa telah terjadi perubahan pada sifat
kedaulatan yang melekat pad a keberadaan negara-negara tersebut.
Gejala semacam ini telah dimulai di negara-negara anggota Uni Eropa
(European Union). Di wilayah internal Uni Eropa, manusia, barang
dan modal dapat bergerak secm'a bebas dan tidak dapat dilakukan
limitasi berdasarkan batas-batas teritorial negara-negara. Negaranegara anggota Uni Eropa telah mengintegrasikan sistem moneter di
antara mereka, se11a mengikatkan diri pada peljanjian-peljanjian
internasional regional yang berIaku di seluruh wilayah negara
anggota. Batas-batas wilayah (boundaries) yang semula merupakan
hal esensial dari kedaulatan negara, secara simbolik maupun praktis
telah hilang. Penanda terpenting transformasi kedaulatan negara di
antara negara-negara anggota Uni Eropa adalah aspek hukum yang
berlaku di negara-negara anggota organisasi tersebut. Mahkamah
Eropa merupakan bukti integrasi legal di antara sesama anggota Uni
Eropa. Oi samping Mahkamah Eropa, integrasi sistem hukum juga
dimanifestasikan dengan rules dan regulatiolls yang menetapkan
C011lllW1l
stalldards dan procedures bagi seluruh negara anggota.
Pada lingkup yang lebih luas, kita menyaksikan pada terjadinya
proses liberalisasi ekonomi di seluruh dunia yang diprakarsai dan
difasilitasi oleh Organisasi Perdagangan lnternasional (World Trade
Organizations: WTO). Di penghujung abad ke-20, utamanya sejak
didirikannya WTO pada akhir tahun 1994, proses globalisasi dan
liberalisasi ekonomi dan perdagangan internasional makin marak dan
intensif di berbagai wilayah dunia. Globalisasi dan liberalisasi
ekonomi di seluruh dunia merupakan proses internasionalisasi

13
kOl11unikasi,perdagangan dan organisasi ekonol11i. Proses seperti ini
merupakan gejala yang harus dihadapi oleh negara-negara dan bangsabangsa di seluruh dunia. Gejala ini tet:jadi karena dorongan
perkcmbangan kapital isme intell1asional dan di dalamnya juga
menyertakan transformasi budaya dan struktur sosial bagi masyarakat
yang semula merupakan l11asyarakat non kapitalis, dan bahkan
masyarakat yang masuk dalam kategori pre-industrial societies.
Globalisasi juga ditandai dengan ekspansi besaran serta kekuatan
(power) perusahaan-perusahaan multinasional.
Globalisasi
menimbulkan
implikasi
berupa
keleluasaan
pergerakan lintas batas (negara) bagi orang, objek, ide, dan atau
konsep. Implikasi lebih lanjut adalah menguatnya tata dunia baru yang
terbangun dan didasari oleh jaringan-jaringan transnasional. Pada saat
bersamaan, investasi dan perdagangan intell1asional kini menjadi
kekuatan utama yang menggerakkan dan mengintensitkan hubungan
intell1asional. Senyampang dengan fenomena itu, kini juga tetjadi
proses interdependensi legal antara sistem hukum domestik dengan
sistem hukum multilateral yang dibangun dan diterima oleh
masyarakat intell1asional pada aras regionalmaupun intell1asional.
Proses globalisasi pada aspek ekonomi dapat dicermati pada
petjanjian perdagangan intcll1asional yang berlaku pada level
hubungan antall1egara, sistem hukum nasional, maupun kerangka
relasi individual. Pada saat yang sama juga ditandai dengan
meningkat-pesatnya
volume
perdagangan
intell1asional
serta
meningkatnya interdependensi ekonomi di antara negara-negara.
Modal, pangsa pasar, dan korporasi telah mendorong tetjadinya
kompetisi yang merujuk pada prinsip "equal treatment". Hubungan
pcrdagangan dan ekonomi intell1asional mengacu pada kerangka
hubungan yang bersifat "rule of law orientecf' yang didasari oleh
ketentuan-ketentuan
hukum
yang proses
pembentukan
dan
implementasinya
difasilitasi oleh WTO. Hubungan ekonol11i
antall1egara dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip "legal
certainty"; dan "due process through judicial procedures". Oari
perspektif ekonomi intell1asional pendekatan yang mengedepankan
"rule of law oriented" tersebut dianggap lebih menjamin security dan
predictability bagi para pihak.

14
Hadirin yang saya lJluliakan,
Gejala tersebut
menjadi
penanda
menguatnya
konsep
"Multilateral Pooled Sovereignty" sel1a intemasionalisasi prinsipprinsip universal. Berdasarkan
konsep "Multilateral
Pooled
Sovereignty"; bera11i negara-negara berdaulat bel1indak bersama
dengan cara-cara di mana kedaulatan yang dimiliki oleh masingmasing negara, seCaI"abersamaan disatukan melalui badan, institusi,
organisasi, dan jaringan (netH'orks) baik secara fonnal maupun
infonnal. Institusi, badan, atau regulator yang mengambil tindakan
yang diperlukan adalah suatu badan yang dibentuk secara multilateral,
tetapi memiliki satu otoritas yang mandiri. Konsep semacam ini,
dewasa ini dimanifestasikan oleh berbagai badan intemasional yang
telah diakui dan diterima otoritasnya oleh masyarakat intemasional
sepel1i World Health Organization (WHO), dan badan-badan
intemasionallainnya sepel1i, World Trade Organization, International
Bank jar Reconstruction and Development (the fiVorld Bank) dan
International Monetm:v Fund (/MF).
Konsep dan aplikasi Multilateral Pooled Sovereignty, yang
ditandai dengan menguatnya pengaruh organisasi intemasional dan
melemahnya pengaruh negara, harus dilihat dengan kritis karena di
dalamnya terdapat implikasi serius yakni: teljadinya gejala "defisit
demokrasi" atau melemahnya demokrasi deliberatif. Keputusan dan
tindakan organisasi intemasional yang awalnya didorong oleh
semangat liberalisme dan penghormatan hak-hak individu, namun,
pada saat yang sama juga melanggar hak-hak warga yang semestinya
dilindungi oleh negara. Hal inilah yang mendasari gugatan tentang
legitimasi keputusan dan tindakan organisasi intemasional (0 Hagan,
2013; Chimni ,2004; Sato, 2009).
Globalisasi mencel111inkan kenyataan bahwa kita hidup pada
suatu masa di mana tembok-tembok kedaulatan tidak dapat menjadi
pelindung menghadapi pergerakan modal, orang, infonnasi, dan ide,
bahkan tidak mampu melindungi
dari hal-hal negatif dan
membahayakan. Gambaran ini juga mencerminkan tata kelola global
di masa depan. Ada anggapan bahwa globalisasi sebagai kenyataan
akan menggerus bahkan mengeliminasi kedaulatan negara-bangsa.

15
Ada tiga modus di mana globalisme dan globalisasi ekonomi
memengaruhi kedaulatan. Pertallla, meningkatnya perdagangan dan
pasar modal intemasional telah memengaruhi kapabilitas negarabangsa untuk mengontrol ekonomi domestiknya. Kedlla, negaranegara merespons proses globalisasi dengan mendelegasikan
otoritasnya
kepada organisasi
intell1asional. Ketiga.
hukum
intell1asional "baru" yang sering dianggap sebagai "New Frontier (~(
International Law" yang diproses dan dilembagakan oleh organisasi
perdagangan
intemasional
telah membatasi
sedemikian
rupa
independensi kebijakan domestik yang seharusnya ditetapkan oleh
otoritas nasional (Howse, 2008; Ku & Yo, 2013).
Oiskursus tentang sifat dan makna kedaulatan negara sel1a
implementasinya dalam masyarakat intemasional, terutama pada akhir
abad ke-20 dan awal abad ke-21; tampaknya telah mengalami
tranSf0I111asi yang perlu dicel111ati. Perubahan-perubahan
sosial,
kerangka institusional, dan kemajuan teknologi, serta intensitas
aktivitas
ekonomi
antall1egara, telah mendorong
teljadinya
pembaharuan
makna kedaulatan
negara di hadapan sistem
intemasional. Oari sudut historis, praktik ncgara-negara dalam
memaknai konsep kedaulatan dalam konteks hubungan intcma~ional
memang telah lama diperdebatkan dan perdebatan tentang hal ini
masih berlangsung hingga sekarang.
Catatan Akhir
Hadirin yang saya l1/liliakan,
Untllk l1/engakhiri
catatan akhir.

l1/ateri pidato

ini izinkanlah

saya l11en)'alllpaikan

Globalisasi dan globalisme hukum hak asasi manusia dan
ekonomi intell1asional meretleksikan dua model pendckatan yang
masing-masing mempunyai kelebihan dan keterbatasan. Paradigma
hukum intell1asional yang berwatak "realist" dapat dilihat dalam
konteks
hukum intemasional yang menjadi kerangka hubungan
ekonomi intemasional beserta institusi yang dibangun untuk
mengawal implcmentasi norma hukum yang tclah disepakati oleh

16
masyarakat intemasional. Dalam hal ini, hukum intemasional lahir
dari perilaku negara dalam rangka memaksimalkan kepentingannya,
dengan memperhitungkan kepentingan negara-negara lain. Sementara
paradigma "idealist/internationalist" dapat ditemukan dalam konteks
pelembagaan dan implementasi hukum hak asasi manusia. Norma
hukum hak asasi manusia diterima, dikembangkan dan ditaati oleh
masyarakat inteniasional karena masyarakat intemasional percaya
bahwa di dalam nonna hukum intemasional itu ada nilai-nilai moral
dan legal yang relevan bagi keberlanjutan masyarakat dan martabat
kemanusiaan yang harus dipertahankan dan dipelihara. Hukum
intemasional mengakui kedaulatan negara, namun, negara wajib
mempertanggungjawabkan kedaulatan itu berdasarkan nilai-nilai
kemanusiaan.
Globalisasi dan globalisme hak asasi manusia dan ekonomi
merupakan gejala umum di seluruh dunia, namun, globalisasi ekonomi
memiliki pengaruh berbeda-beda di antara negara-negara. Globalisasi
hukum hak asasi manusia dan ekonomi menegaskan paradigma "law
beyond sovereignty"; hukum melampaui kedaulatan negara. Gejala
ini mendorong redefinisi watak dan peran hukum pada tingkat
domestik maupun global. Nonna hukum telah mengalami deteritorialisasi yang berimplikasi pada melemahnya kedaulatan negara
secara intemal maupun intemal (Teitel, 2008). Hak prerogatif negarabangsa (nation-state) yang ditumpukan pada konsep kedaulatan telah
digerus dan dibatasi oleh nonna-nonna hukum yang diartikulasikan,
disebarluaskan dan ditegakkan secara trans-nasional dan iQ.temasional.
Melemahnya kedaulatan negara secara intemal termanifestasikan pada
berkurangnya otonomi otoritas nasional, sementara secat-a ekstemal
merujuk pada hilangnya monopoli sistem negara berdaulat di arena
politik intemasional. Pengambilan keputusan yang semula ada di
tangan otoritas nasional (negara) kini telah ditransfer ke tangan
organisasi intemasional dan aktor-aktor non pemerintah.
Dari perspektif akademik, perlu dikembangkan wacana visioner
untuk menemukan pemaknaan yang sahih mengenai konsep
kedaulatan negara pada saat sistem intemasional telah memasuki era
interdependensi di antara negara-negara maupun dengan non state
actors lainnya. Kedaulatan ditempatkan di tangan rakyat, vis-a-vis

17
pemerintah dan dikaitkan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan
peradaban universal. Negara sebagai elemen utama dalam masyarakat
internasional tidak tergantikan, namun, otoritas nasional mengemban
mandat
dan tanggung jawab untuk memajukan
warganya,
meningkatkan kemakmuran dan menjaga kebebasannya, mengelola
konflik, selia mengembangkan kerja sama internasional. Oalam
bahasa yang lain adalah merekonstruksi kedaulatan sebagai tanggung
jawab (sovereignty as responsibility); menempatkan negara sebagai
agen dan manifestasi dari kedaulatan rakyat, yang mengemban tugas
untuk menghadirkan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi warganya,
dan mempertanggungjawabkan mandatnya secara internal maupun
seCaI.aekstemal. Negara harus melakukan penyesuaian struktural, tata
kelola yang baik, dan responsif terhadap kecenderungan dan
perubahan global menuju perbaikan pemajuan dan perlindungan hak
asasi manusia serta menyesuaikan dengan tata ekonomi global.
Salah satu tugas akademisi hukum intemasional adalah
melakukan pemetaan akademik-ilmiah dengan mempertimbangkan
hubungan yang saling menyuburkan (cross-fertilization) antara hukum
intemasional
dengan
hubungan
intemasional
dan ekonon}i
internasional. Mengkaji kembali kesetaraan negara vs Non State
Actors, utamanya dalam hal perancangan nonl1a hukum dan standar
baru di bidang hak asasi manusia, lingkungan, ekonomi dan
perdagangan intemasional serta penyelesaian sengketa.
Majelis Guru Besar dan hadirin yang saya l11uliakan,
Sebelum mengakhiri pidato ini, izinkanlah saya sekali lagi
mengungkapkan rasa syukur ke hadirat Allah SWT. Oengan perkenan
dan ridho-Nya-Iah semua cita-cita dapat terwujud. Anugerah Guru
Besar dan kesempatan berdiri di podium ini tercapai juga karena
bantuan, dukungan, dan do'a berbagai pihak. Namun, karena
keterbatasan ruang dan waktu, mohon maaf; hanya sebagian yang
dapat saya sebutkan pada kesempatan ini.
Oari lubuk hati yang paling dalam, saya ingin menyampaikan
terima kasih kepada orang-orang hebat dan tulus yang mendidik saya
di SON Tawang I (1970-1976); SMPN I Karangdowo-Klaten (1976-

18
1979) dan SMAN I Surakal1a (1979-1982); Fakultas Hukum UGM
(1982-1987); University of" Nottingham (1993-1994) dan Program
Doktor Fakultas Hukum UGM (2006-2009).
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada kolega di
Bagian Hukum Internasional FH UGM: Prof. Dr. M. Burhantsani,
SH., MH.; Prof. Dr. Marsudi Triatmodjo, SH.,LL.M.; lbu Hj. Endang
Purwaningsih, SH., MH.; Dr. Han-y Purwanto, SH., M.Hum.; Prof.
Dr. Agustinus Supriyanto, SH., M.Si.; Sp. H. Jakatriyana, SH.,
LL.M., MA; Ibu Lindayanti Sulistiawati, SH, M.Sc., Ph.D. dan lbu
Agustina Merdekawati, SH., LL.M. atas kebersamaan dan segal a
bantuannya.
Secal'a khusus, saya menghaturkan terima kasih dan rasa honnat
kepada (aim) Prof. Dr. Koesnadi Hardjasumantri, SH; dan (aim)
Prof. Dr. F. Sugeng Istanto, SH; yang masing-masing bertindak
sebagai pembimbing ketika saya menyelesaikan Program S-I dan
Program S-3 (yang dilanjutkan oleh Prof. Dr. Marsudi Triatmodjo,
~H.,LL.M.); beliau berdua telah memberikan teladan, motivasi dan
inspirasi untuk menekuni pekeljaan sebagai dosen di Fakultas Hukum
UGM.
Untuk kedua orangtua Sp. Supardi Wignyosuparmo dan ibu
Supanni yang saya cintai dan hormati serta kedua mel1ua Bp Suryono,
S.Pd., dan ibu Alimah, saya sampaikan terima kasih yang tak
terhingga atas kasih sayang, didikan, doa, dan restunya.
Ucapan terima kasih yang teristimewa kepada istri saya: Srihadi
Asmaraningsih, dan ketiga anak-anakku: Arifa Widyasari, Abiyo~a
Rahman Riyanto dan Rayhan Alam Riyanto. Empat orang inilah yang
sclalu mendampingi. mcnguatkan, mcmbanggakan dan membahagiakan saya. Terima kasih atas doa, kepedulian, dukungan dan cintanya.
Kepada kalian bercmpat capaian ini saya dedikasikan.
Akhirnya, kepada seluruh hadirin yang dengan sabar mengikuti
prosesi pidato pengukuhan Guru Besar ini, terima kasih atas kesabaran
dan kebaikan hati anda semua. Mohon maaf atas khilaf dan salah kata,
maupun hal lain yang kurang berkenan. Semoga pidato ini ada
manfaatnya.
Wassalamu

'alaikulI/ \varahmatullahi

1I'a barakatuh.

19
DAFT AR PUST AKA
Bartelson, Jens, "The Concept of Sovereignty Revisited;' dimuat
dalam (17) European Journal of International Law,Vol. 17.
2006 No.2. Oxford: Oxford University Press.
Chimni, B. S, "International
Institution Today: An Imperial
Global State in the Making", dimuat dalam European Journal
of International Law (2004), Vol. 15 No. l. Him. 1-37.
Howse, Robert, "Sovereignty, Lost and Found": Dalam Wenhua
Shan, Penelope Simons and Dalvinder Singh (eds), 2008,

.

Redefining

Sovereignty

in international

Economic

Lmv: Oxforf

and P0l1land, Oregon.
Kahn, Paul W, "Balance of Power: Redefining Sovereignty in
Contemporary
International
Law", Commemorative Issue,
Articles, THE QUESTION OF SOVEREIGNTY dimuat dalam
(40) Stanford Journal of International Law; Summer, 2004.
Stanford: University of Stanford. him. 259.
Keohane, Robert 0, Ironies ofSovereignty: the European Union and
the United States, (http://fespoI1al.fes.de/pls/poI1aI30/docs/ .
FOLDERIPOLITIKANAL YSE/P AXAMERICANA/KEOHAN
E.PDF.15 Februari 2008. (I Maret 2008)
Krasner, Stephen D, "Abiding
Sovereignty"
dimuat dalam
International Political Science Review (200 I), Vol. 22, No.3.
Tran4ormation aflnternational Relations: Between Change and
Continuity. Intemational Political Science Association SAGE
Publications (London, Thousand Oaks, CA and New Delhi).
Him. 229-251.
Ku, Julian and John Y00, "Globalization and Sovereignty", dimuat
dalam: 31 Berkeley Journal olinternationall
Law. 210 (2013).
Dapat
dilihat
di
:http://scholarship.law.berkeley.edu/bjil/
vol3l/issl/6 (5 Mei 2014).
Nagan, Winston P, & Hammer, Craig. "The Changing Character of
Sovereignty
in International
Law and International
Relations", dimuat dalam: 43 Columbia Journal of Transnational Law, 2004. Columbia: University of Columbia. him.
143-145.

20
O'Hagan, John W, "Shared Economic Sovereignty: Beneficial or
Not and Who Decides?". Paper to Economic Sovereignty
S.vmposium. Institute of International and European A./f'airs,
Dublin, 31st May 2013: Institute of International and European
Affairs. Him. 7.
Peters, Anne, "Humanity as the A and ,Q of Sovereignty", dimuat
dalam The Eliropean Journal o.lInternational Law. (2009) Vol.
20 No.3.
Raustiala,
Kal, "Rethinking
the
Sovereignty
Debate
in
International
Economic Law", dimuat dalam: (6) Journal o.l
International Economic Lmv, December, 2003. Pennsylvania:
University of Pennsylvania Law School. him. 841.
Sato, Tetsuo, "Legitimacy of International
Organizations
and
Their Decisions-Challenges that International Organizations
Face in the 21st Century", dalam: Hitotsubashi Journal of Law
and Politics No. 37 (2009): Hitotsubashi University. Him. 1130.
Sheehan, James J, "The Problem of Sovereignty" dimuat dalam The
American HistOfY Reviell' Vol. III No I February 2006. Oxford:
Oxford University Press. HIm. 42-43.
Stromberg, Joseph, "Sovereignty,
International
Law, and the
Triumph
of Anglo American Cunning",
dimuat dalam
Journal of Libertarian Studies, Vol. 18. No 4 (Fall, 2004).
Vienna: Ludwig von Mises Institute. HIm. 29-93.
Struett, Michael J, "The Transformation of State Sovereign Rights
and Responsibilites
Under the Rome Statute for the
International Criminal Court", dimuat dalam Chapman Law
Review Vol. 8, Spring, 2005. Orange-Southern California:
Chapman University. hIm. 170-180.
Teitel, Ruti, "Humanity Law: A New Interpretive Lens on the
International Sphere", dimuat dalam 77 Fordham Law Review
(2008). Dapat dilihat di: http://ir.lawnet.fordham.edulflr/vol77/
iss2/13; (24 Mei 2014).

21
BIODATA

Nama : Prof. Dr. Sigit Riyanto, SH., LL.M.
Lahir : Sukoharjo, 15 Februari 1964
Jabatan: Guru Besar Fakultas Hukum UGM
NIP
: 19640215 198803 1001
..Alamat Kantor: JI. Sosioyustisia No. I
Bulaksumur,
Yogyakalia 5528i.
Telp/Fax:
+62-274512781
Alamat Rumah: Jin. Salak KM 03. Pendem
Trimulyo Sleman.
Telp/Fax:
+622744538378
Istri : Srihadi Asmaraningsih, S.H.
Anak: 1. Arifa Widyasari
2. Abiyoga Rahman Riyanto
3. Rayhan Alam Riyanto
Pendidikan:
I. Sarjana Hukum di Universitas Gadjah Mada (1987);
2. Master of International Law (LL.M) di University of Nottingham,
UK (1994);
3. Program Doktoral di Universitas Gadjah Mada (2006-2009) .
4. Penerima beasiswa dari: the Hellze,. Falllldat;oll untuk program
International HUll/anRights and Humanitarian Law di Graduate
Institute (?/ International Studies. Geneva - SwitzerlClnd(1998);
Foreign and COII/monwealthOJlice.Scholarships and Awards
Scheme, Govemment of the United Kingdom (1993- 1994); dan
The British Chevening Award (1995).
Riwayat Pekerjaan:
I. Ketua Bagian Hukum Intemasional (2005-2009);
2. Wakil Dekan I (Bidang Akademik dan Kerja sarna) 2008-2012;

22
3. Direktur Program Inte'rnasional
Gadjah Mada (2007-2012).

Fakultas

Hukum

Universitas

Organisasi Internasional:
]. Legal Adviser pada International Committee of the Red Cross:
]CRC (] 999-2000);
2. Legal Counsel pada World Health Organisation: WHO (20002002);
3. Protection Officer pada United Nations High Commissioner for
Rejilgees: UNHCR Regional Office (1ndonesia, Malaysia,
Singapura, Philipina, Timor Leste dan Brunai Darussalam: 20022005).
Publikasi:
I. "Ketrampilan Hukum" (Buku: Gadjah Mada University Press,
2013);
2. "Challenges and Hopes for Humanitarian Operations in
Indonesia" (Book Chapter in Cultures of hUl11anitarianisl11:
Perspectit'es .fi"Ol11the Asia-Pacific-ANU College of Asia &
Pacific, The Australian National University, Canberra, 2012);
3. "Refugees & Asylum Seekers in Southeast Asia: Low Priority \'s
Obligation to Protect" (dalam Barnes Symposium - University of
South Carolina: 20] 2);
4. 'The Importance of Multi-faceted Cooperation in HUibanitarian
Assistance" (dalam WS on Cultures of' Humanitarianism:
Perspectives Fom the Asia-Pac!fic- The University of Nottingham
and The Australian National University, CanbelTa: August 20 II );
5. "Principle of Non-Refoulement and its Relevance in International
Legal System" (dalam the Indonesian Journal of'lnternational
Law, Volume 7, No.4: July 2010. University of Indonesia,
2010).