Sosiologi Pendidikan - repository civitas UGM

  

SOSIOLOGI

PENDIDIKAN

Penulis : Dr. Muhamad Supraja, SH, M.Si SOSIOLOGI PENDIDIKAN Penulis :

  Dr. Muhamad Supraja, SH, M.Si

  Layout : Tim Azzagrafika Cetakan Pertama, Januari 2015

  ISBN ...................... Penerbit Azzagrafika Jalan Seturan 2 no. 128 Caturtunggal Depok Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. 0274-8078206 Anggota IKAPI Hak Pengarang Dilindungi Undang-Undang All Rights Reserved

  

Hak Cipta ada pada Penulis

Dilindungi Undang-Undang

Sanksi Pelanggaran Pasal 72, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak

Cipta.

  

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit RP. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah)

  

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,

atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)

KATA PENGANTAR

  Pertama-tama saya mengucapkan puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa, karena berkat perkenan-Nya akhirnya karya ini dapat selesai. Ucapan terimakasih juga tidak lupa penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang tak dapat penulis sebut satu persatu karena perannya untuk memperlancar proses penerbitan karya ini. Tanpa jasa dan dukungan mereka semua maka sudah bisa dipastikan karya ini tidak akan hadir dihadapan pembaca.

  Buku ini diperuntukkan bagi masyarakat dan para pencinta pendidikan di Indonesia, isinya berusaha mengulas berbagai keterkaitan antara pendidikan dengan berbagai dimensi lainnya, tanpa melupakan sama sekali masalah yang ada di dalam diri dunia pendidikan itu sendiri, seperti kurikulum, metode belajar, tujuan dan spirit pendidikan. Sisi lain, buku ini juga menyajikan hasil wawancara dengan sejumlah tenaga edukatif dari sejumlah perguruan tinggi (PT) di Yogya. Mereka yang diwawancarai juga memperlihatkan bahwa pendidikan, khususnya PT ternyata mendorong berlangsungnya mobilitas sosial-kultural pada diri mereka (tenaga edukatif), meskipun ada diantara mereka yang hanya mengalami reproduksi status sosial.

  Untuk itu, hadirnya buku ini diharapkan mampu memberi nuansa lokal yang relevan bagi mahasiswa, masyarakat, dan peminat pendidikan, selebihnya penulis mengucapkan selamat memanfaatkan karya ini. Semoga di masa-masa datang karya yang membahas Sosiologi Pendidikan dengan nuansa Indonesia akan lebih banyak bermunculan, sehingga keterbatasan wawasan dalam masalah pendidikan dapat dieliminasi. Akhirnya buku yang cikal bakal kajiannya muncul saat penulis menjalani pendidikan pasca-sarjana di Jurusan dan almamater penulis ini, dengan sengaja saya peruntukkan bagi istri tercinta Ani Mu’alifatul Maisyah, dan juga para mahasiswa, serta masyarakat peminat Sosiologi Pendidikan di seluruh jagad dunia pengetahuan. Semoga buku ini bisa memberi insight untuk (PT), khususnya terkait dengan mobilitas sosial-kultural yang dialami dosen atau staf edukatif di dunia kampus.

  Sekali lagi: selamat membaca Yogyakarta, 29 Nov 2014

  Dr. Muhamad Supraja, SH, M.Si

  

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................ iii

DAFTAR ISI .................................................................................. v

  BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................... 1 A. Memetakan Kecenderungan Pendidikan .......................... 1 B. Lingkup Kajian ...................................................................... 3 C. Kerangka Teoritis .................................................................. 4 D. Fokus Kajian ........................................................................ 10 E. Pengumpulan Informasi .................................................... 10 BAB 2 DIMENSI REPRODUKSI DALAM PENDIDIKAN ........... 15 A. Perspektif Fungsionalis ...................................................... 15 B. Pendidikan dan Masyarakat Kapitalis ............................. 21 BAB 3 DIMENSI OTONOMI RELATIF PENDIDIKAN ................ 35 A. Analisa Neo-Marxis (sosiolinguistik), Bourdieu ............ 35 B. Anti Pendidikan Illich dan Pendidikan Pembebasan Freire .............................................................. 47 C. Otonomi Relatif Pendidikan, Pandangan Robinson ...... 50

  BAB 4 PENDIDIKAN SEBAGAI INSTRUMEN MOBILITAS

  (Suatu tinjauan dari sudut pandang cendikiawan kampus) ... 55

  A. Pendidikan sebagai sarana menjadi being educated ...... 55

  B. Pendidikan sebagai alat mobilitas sosial-kultural .......... 63

  C. Pendidikan dan tarikan pasar ........................................... 66

  D. Pendidikan sebagai sarana percepatan atas keunikan .. 73

  E. Pendidikan sebagai sarana membangun tradisi ............ 79

  BAB 5 MOBILITAS SOSIAL-KULTURAL AKADEMISI .............. 87

DAFTAR PUSTAKA ................................................................... 99

INDEKS ....................................................................................... 103

BAB 1 PENDAHULUAN

  

PENDAHULUAN

A. Memetakan kecenderungan Pendidikan

  Pujian dan sekaligus kecaman selalu datang silih berganti mewarnai fungsi dan keberadaan pendidikan tinggi di Indonesia. Beberapa tahun silam, tepatnya di zaman Orde Baru, muncul tuduhan bahwa pendidikan tinggi tidak mampu menghasilkan manusia siap pakai, yang dihasilkan setiap waktunya oleh lembaga pendidikan tinggi (PT) adalah pengangguran intelektual yang makin lama makin banyak jumlahnya. Di zaman Orde Baru itu pula, khususnya dibawah kepemimpinan Mendikbud Wardiman Djojo Negoro, untuk menepis, atau paling tidak mengurangi kesenjangan antara jumlah lulusan sekolah (PT) dengan lapangan pekerjaan yang tersedia diciptakanlah konsep Link and Match (L & M) .

  Gagasan L & M diharapkan menjadi suatu konsep yang dapat menjembatani antara produksi sekolah (dunia pendidikan) dengan dunia industri (pasar kerja), dengan kata lain, konsep ini hendak menciptakan adanya keterpautan dan kesepadanan antara sekolah (dunia pendidikan) dengan lapangan kerja (dunia industri) yang memiliki nilai ekonomis. Keinginan untuk mempertautkan dunia pendidikan dengan industri di tengah-tengah masyarakat, salah satunya dapat dibaca melalui potongan artikel di bawah ini:

  “Dari penelitian dan pengamatan yang dilakukan, sekitar 90 persen tamatan lembaga pendidikan kesenian beker ja di birokrasi kesenian dan kebudayaan, seperti di Depdikbud, Departemen Penerangan, Pariwisata, atau di grup-grup kesenian. Mereka menjadi menejer-menejer dan pengelola- pengelola kesenian. Sayangnya, sewaktu mereka belajar di lembaga-lembaga pendidikan (kesenian), mereka tidak mendapat bekal yang memadai untuk tugas-tugas yang demikian. Menejemen kesenian belumlah menjadi mata- kuliah yang penting di lembaga-lembaga pendidikan tingggi kesenian, pada hal pasar kerja justeru amat memer- Peluang untuk ber-link and match lembaga-lembaga pen- didikan tinggi kesenian adalah di dalam industri pariwisata itu. Dengan konsep link and match itu manfaatnya tidak saja penting untuk pendidikan tinggi kesenian, tetapi juga untuk industri pariwisata itu sendiri: Industri pariwisata bisa 1 menjadi industri pariwisata yang berwawasan kultural.

  Terlepas dari kontroversi pemikiran yang muncul atas konsep link and match, namun sulit diingkari adanya hubungan antara pendidikan di satu sisi dengan dunia kerja pada yang lainnya. Pendidikan dimana pun masih selalu dianggap sebagai salah satu jalan yang cukup penting untuk menghantarkan seseorang pada suatu status sosial, dan capaian ekonomi tertentu. Oleh sebab itu, bukan sesuatu ceritera yang baru jika ditemukan sekelompok anggota masyarakat yang berasal dari kelas bawah, berlomba-lomba untuk mengirimkan anggota keluarganya ke berbagai lembaga pendidikan. Bagaimana pun image terhadap sekolah di mata masyarakat masih tetap signifikan dalam upaya untuk melakukan mobilitas sosial (vertikal). Hal yang 1 sama juga secara umum terjadi di negara yang tergolong maju

Baca. Esten, Morsal, ‘Link and Match’ Pendidikan Kesenian, Republika, 4 Juni 1997. sekalipun, seperti Amerika, di negeri Paman Sam ini sekolah masih dianggap oleh anggota masyarakatnya sebagai jalan emas

  

(the royal road) yang penting untuk meraih berbagai macam

mobilitas sosial, ekonomi dan politik.

  Menurut para ilmuwan sosial, pendidikan atau sekolah agaknya bukan hanya berfungsi sebagai tangga untuk meraih mobilitas sosial (vertikal), namun sulit dipungkiri bahwa sekolah juga memiliki fungsi mereproduksi status quo baik dalam arti mempertahankan kedudukan sosial anggota masyarakat di dalam kelas-sosialnya, maupun untuk mereproduksikan kesadaran kelas sosial yang berkuasa terhadap anggota dan kesempatan bagi seseorang untuk mengubah lokasi kelas sosialnya, ia juga memiliki fungsi untuk mempertahankan lokasi kelas sosialnya.

  Untuk melihat lebih dekat apakah sekolah menjalankan fungsi reproduksi atau pun otonomi relatifnya, maka kajian ini ingin memfokuskan diri pada para pekerja profesional, dalam konteks ini staf pengajar (dosen) yang pada umumnya memiliki berbagai ragam kelas sosial, selain itu mereka memiliki titik tolak status pendidikan yang sama (homogen), yakni perguruan tinggi (PT), meskipun pada kajian ini jenjang pendidikannya beragam; Sarjana, Master, dan Doktoral .

B. Lingkup kajian

  Buku ini dimaksudkan untuk memperkaya wacana dan literatur sosiologi pendidikan yang selama ini masih sangat terbatas di Indonesia, selain itu data-data yang ditampilkan dalam buku ini dikumpulkan beberapa tahun yang lalu, sehingga beberapa tokoh yang diwawancarai dalam tulisan ini hampir semuanya telah mengalami mobilitas ke atas, baik itu dari segi jenjang formal pendidikannya, kedudukan atau pun jabatannya. Dengan demikian kajian ini, sebagaimana halnya judul yang terpampang di muka ingin menguak bagaimana pengaruh dimensi reproduksi di dunia pendidikan tinggi (PT) terhadap mobilitas tenaga pengajar (dosen), disamping itu ingin mengetahui pengaruh dimensi otonomi relatip tenaga pengajar (dosen) terkait dengan mobilitas sosial mereka. Benarkah pendidikan telah menyebabkan terjadinya mobilitas sosial kultural pada diri mereka? Bagaimana pula reproduksi sosial bekerja pada kehidupan mereka.

C. Kerangka Teoritis

  Dalam masyarakat industri yang tergolong maju, pen- didikan tidak bisa dipungkiri telah menjadi “tiket” untuk 2 yang lebih menjanjikan. Pendidikan juga telah mengantarkan orang meraih status sosial yang lebih “tinggi”. Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila banyak anggota masyarakat yang berlomba-lomba mengirim putera puteri mereka ke lembaga pendidikan formal (sekolah), mulai dari tingkat pendidikan yang paling dasar hingga pendidikan yang jenjangnya paling tinggi, yakni perguruan tinggi (PT).

  Sejauh ini berkembang berbagai aspirasi masyarakat terkait sekolah, salah satu argumentasi yang cukup menarik menyebutkan, bahwa, bagi seorang anak sekolah mungkin akan membuka kesempatan untuk mengembangkan diri dan memudahkan pergerakan untuk meraih status elit, bagi anak lainnya sekolah mungkin dianggap represif, tidak toleran dan merintangi perkembangan pribadinya. Sementara bagi orang- orang tertentu, sistem sekolah dapat menjadi sarana mobilitas, demikian juga sangat mungkin bila ada yang beranggapan bahwa sekolah tidak banyak manfaatnya untuk memperkuat tuntutan- tuntutan yang berasal dari golongan dimana individu berasal, apakah golongan tersebut berasal dari daerah, kelas, ras, atau 2 jenis kelamin tertentu. Pendek kata, melalui sekolah sementara

  

Baca, John M. Sheperd dan Harwin L. Voss, Social Problems, (New York: Macmillan, tanpa tahun terbit) hal. 169-180. orang belajar menerima tatanan yang berlaku sebagai hal “yang sudah sewajarnya”, sementara sebagian yang lain justeru belajar mempersoalkan landasan tatanan itu. Sekolah dapat menyumbang kepada reproduksi struktur kelas, akan tetapi dapat juga menyumbang bagi perubahannya; sekolah secara substansial mungkin bebas terhadap golongan-golongan yang memegang kontrol masyarakat, sementara golongan-golongan itu akan berusaha memaksakan pandangannya tentang makna 3 pendidikan pada sekolah tersebut. Pada sisi lain kita sulit menyangkal bahwa bertambah lama masyarakat semakin bercorak industrial. Kesempatan pekerjaan “kerah putih” (white collar worker) semakin sulit. Orang- orang yang mencapai keberhasilan ekonominya tanpa melewati jenjang pendidikan pun kini semakin jarang dijumpai. Tentu saja, hal ini disebabkan oleh proses industrialisasi yang mengubah struktur pekerjaan dari pekerjaan yang tidak didasarkan pada keahlian, maupun setengah ahli (semi skilled) menjadi pekerjaan 4 yang membutuhkan profesionalitas dan tekhnikalitas tertentu. Kelas profesional merupakan bagian yang cukup penting di dalam perbincangan tentang konsep kelas menengah pada struktur masyarakat kapitalis yang memiliki berbagai institusi modern. Menurut Samuel P. Huntington, kelas menengah itu terdiri dari kaum profesional, pengusaha, pemilik toko kecil, guru, pegawai negeri, manajer, teknisi, klerk, dan pekerja 5 dibidang penjualan. Secara teoritik perspektif sosiologi juga menjelaskan ber- bagai kriterium penting yang menjadi landasan konseptual profesionalitas itu, misalnya bahwa kaum profesional, karena 3 alasan sifat dan jenis pekerjaannya, kemudian memerlukan

  

Philip Robinson, terj, Hasan Basari, Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan,

4 (Jakarta: CV Rajawalis, 1986) him, 345 5 Jon M. Sheperd dan Hatwin L. Voss, Op. cit., hal. 172-176

Samuel P. Huntington, terj Asril Marjohan, Gelombang Demokrasi Ketiga,

(Jakarta: Grafiti, 1995) hal. 81-82

  “klaim kompetensionalitas yang bersifat unik dalam setiap jenis pekerjaan, sehingga tidak mengherankan jika self regulasi, dan proses rekruitmen atas para pekerja berlangsung degan 6 menggunakan kontrol yang ketat”. Penjelasan lain yang sedikit lebih abstrak dapat kita temukan 7 pada pemikiran yang dikemukakan Gramsci, menurutnya konsep profesionalitas mengandung beberapa unsur pokok, seperti pemanfaatan akal pikiran (intelegensi) secara aktif, juga fantasi dan perlunya inisiatif di dalam lapangan pekerjaan yang digeluti seseorang profesional.

  Klaim yang berhubungan dengan pengetahuan otoritatif mengandung arti bahwa hanya kaum profesional saja yang memiliki kemampuan menilai apakah suatu pekerjaan dila- kukan dengan sempurna atau sebaliknya, selain itu organisasi profesional memberikan perlindungan kepada para praktisinya dari para klien. Johnson juga memberi penjelasan terutama terkait dengan hubungan antara para praktisi dengan para klien, khususnya ketersinggungannya dengan kekuasaan yang dimiliki para profesional untuk mendefinisikan kebutuhan dan pemecahan atas masalah kliennya. Demikian halnya dengan soal klaim kompetensi unik, self regulasi, dan pengendalian yang ketat dalam soal rekruitmen anggota baru, dimana seluruh aspek yang telah disebutkan ini merupakan soal strategi profesionalisasi yang menjadi bagian dari proses rekruitmen 8 yang menjadi masalah yang penting. Berbagai konsep komunitas profesional di atas dalam kenyataannya tentu saja mengalami banyak penyimpangan, setidak-tidaknya apa yang ada di alam kenyataan memperlihatkan perbedaannya dengan realitas formulasi konseptual. Menurut hasil penelitian yang diselenggarakan Harian Umum “Kompas”,

  

6 David Jary dan Julia Jary, Dictionary of Sociology, (Great Britain: HarperCollins

Manufactoring Glasgow, 1991) bal.502

  

7 Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, (New York: Quintin Hoare

and Geoffrey Nowell Smith, 1971) hal. 302

8 David Jary dan Julia Jary, Op.cit., hal. 502

  bahwa yang dimaksud dengan professional dalam konteks masyarakat Indonesia umumnya, dan di Jakarta khususnya, adalah berkait dengan berbagai macam ciri, seperti: memiliki latar belakang PT (D1, D2, D3 hingga S1), jenis pekerjaannya meliputi antara lain seperti pengacara, dokter, konsultan, dosen, peneliti. Tingkat penghasilan rata-rata mereka berkisar mulai dari kurang satu juta rupiah sampai dengan di atas satu juta rupiah, bahkan di atas tiga juta rupiah. Dan yang terpenting sekaligus tidak dimiliki kalangan professional kita adalah minimnya apresiasi mereka pada ilmu pengetahuan, pada hal ini merupakan ciri terpenting dari professional dalam arti yang 9 Dalam literatur sosiologi Marxis kaum profesional tidak memiliki posisi yang tegas, hal ini karena di dalam pemikiran

  Marxian hanya dikenal dikotomi dua kelas sosial: kelas produktif yang dihisap dan kelas non produktif yang menghisap. Kondisi pembentuk kedua kelas itu telah jelas, yakni mereka yang menguasai alat produksi material dan mereka yang tidak. Dalam masyarakat kapitalistik, dua kelas itu adalah kelas pekerja dan kelas pemodal. Kelas menengah sesekali disebut tetapi tidak dianggap penting. Yang cukup penting dari tipologi ini adalah bahwa semua kelas yang tidak termasuk kelas pekerja (proletariat) atau pemilik modal (kapitalis) dianggap akan 10 terdesak masuk ke dalam salah satu dari dua kelas utama ini. Berbeda dengan pandangan kaum Marxian, pandangan

  Weberian menganggap, kelas sosial tidak hanya dua atau tiga (atas-tengah-bawah), tetapi bisa banyak berjenjang-jenjang. Pembentukan kelas tidak hanya ditentukan oleh penguasaan alat produksi, tetapi juga kegiatan konsumtif, status sosial,

  

9 Reportase Kompas, Profesional Muda Jakarta Gaji Jutaan, Kerja Keras Kurang,

pernah dimuat 11 Mei 1986, dalam, Richard Tauter dan Kenneth Young, Politik

Kelas Menengah Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1993) hal. 183-191

  

10 Pandangan konseptual tentang kelas sosial baik versi Marx dan atau pun Weber

sepenuhnya diambil dari, Ariel Heryanto, “Memperjelas Sosok yang Samar” dalam Richard Tanter dan Kenneth Young, Op. cit., hal. ix-xxv. kewibawaan serta daya-tawar dalam pertukaran-pasar. Tidak berpusat hanya pada bidang ekonomi, tetapi juga politik dan budaya.

  Dari kontras dua pandangan di atas maka ada beberapa kesimpulan yang bisa ditarik: pertama, pandangan Marxian menekankan pertentangan kepentingan antar kelas yang dikotomis, sedang pemikiran Weberian menunjukkan per- bedaan kepentingan atau kemampuan di antara banyak kelas. Kedua, pemikiran Marxian berbobot ideologi radikal, dan secara ambisius menjangkau sebuah cakrawala perubahan sejarah makro yang maha luas. Pada saat yang bersamaan, wawasan majemuk, sehingga lebih mudah diteliti dan diuji.

  Wawasan Marxian kewalahan menghadapi konsep dan gejala “kelas menengah” karena watak dasarnya yang deterministik. Visinya serba dikotomis. Ia tidak bertoleransi pada yang serba tanggung. Sementara dalam realitas banyak hal yang serba tanggung dan kontradiktif. Karena luwes, wawasan Weberian mudah menampung konsep “kelas menengah”. Namun justeru karena keluwesannya, ia akhirnya tidak mampu menjelaskan secara tegas “batas” kelas menengah ini dengan kelas-kelas lainnya. Berbagai indikator seperti gaji, selera, gaya hidup, tingkat pendidikan atau profesi, hanya membuahkan gambaran yang sangat rumit dan terlalu membingungkan.

  Dalam perkembangan lebih belakangan, kedua kiblat itu bertemu dan saling memperkaya wawasan. Mereka yang condong ke Marxian mulai memperhitungkan aspek-aspek non- ekonomi dan non-produksi dalam analisisnya. Mereka yang menganut perpektif Weberian mulai menekankan aspek “konflik” (bukan sekedar perbedaan) antar kelas dan wawasan “perubahan sejarah” (bukan sekedar penggambaran empirik mikro).

  Apa pun perbedaan pendapat yang ada tentang kelas mene- ngah di atas yang dapat dikatakan adalah bahwa dalam setiap masyarakat dapat dikenali beberapa kelas atas dan beberapa kelas bawah, masing-masing berasal dari tata produksi yang berbeda-beda. Ada kelas atas dari tata produksi yang dominan, dan ada kelas atas dari tata produksi yang tidak atau kurang dominan. Dalam konteks pemetaan tersebut kelas menengah dapat diidentifikasikan sebagai satu atau lebih kelas-atas dari tata produksi yang tidak dominan dalam masyarakat. Dan dengan perkataan lain, bahwa ada lebih dari “satu kelas menengah”. Ia jamak sekaligus majemuk.

  Para pemikir seperti Bourdieu dan Wallerstein (yang lebih Marxian ketimbang Weberian) maupun Gouldner atau Szelenyi (yang lebih Weberian ketimbang Marxian) sama-sama aset produktif yang layak diperhitungkan sebagai modal (kapital).

  Contoh terpenting, berbagai ketrampilan ilmiah, dan kewenangan birokrasi negara yang dikuasai oleh “kelas menengah baru”. Ini disebut dengan beraneka julukan: modal manusiawi, modal simbolik/kultural, atau diskursus budaya kritis.

  Kesulitan untuk membuat tipologi sebagaimana didis- kusikan di atas jauh hari sebenarnya telah tertangkap oleh se- jumlah pemikir sosial, oleh sebab itu solusi yang dipakai untuk mengatasi kesulitan itu adalah dengan menetapkan klasifikasi kelas sosial menjadi enam tipologi, yakni: kelas sosial atas- lapisan atas (upper upper class), yang mencakup keluarga kaya lama, yang telah lama berpengaruh dalam masyarakat dan sudah memiliki kekayaan begitu lama, sehingga orang-orang tidak lagi bisa mengingat kapan dan bagaimana cara keluarga keluarga itu memperoleh kekayaannya. Orang-orang pada kelas sosial atas-lapisan bawah (lower-upper class) mungkin saja mereka mempunyai jumlah uang yang sama, tetapi mereka belum terlalu lama memilikinya dan keluarga mereka belum lama berpengaruh dalam masyarakat. Kelas sosial menengah

  

lapisan atas (upper-middle class) mencakup kebanyakan pengusaha

  dan orang-orang profesional yang berhasil, yang umumnya berlatar belakang keluarga “baik” dengan penghasilan yang menyenangkan. Kelas sosial menengah lapisan bawah (lower middle

  class) meliputi para juru tulis, pegawai kantor lainnya, dan orang-

  orang semi profesional, serta mungkin pula termasuk beberapa penyelia (supervisor) dan pengrajin terkemuka. Kelas sosial rendah

  

lapisan atas (upper-lower class) terdiri atas sebagian besar pekerja

  tetap yang sering disebut sebagai golongan pekerja oleh orang- orang kurang senang menggunakan istilah “kelas sosial rendah” bagi para pekerja yang bertanggung jawab. Kelas sosial rendah-

  

lapisan bawah (lower-lower class) meliputi para pekerja tidak tetap,

  penganggur, buruh musiman, dan orang-orang yang hampir 11 terus menerus tergantung pada tunjangan pengangguran.

  D. Fokus Kajian

  Buku ini dengan data yang dimilikinya ingin meng- konfirmasi dan mengklarifikasi beberapa persoalan penting yang berhubungan dengan dimensi fungsional, reproduksi dan otonomi relatif pendidikan, terutama terkait dengan pendidikan tinggi (PT), dan dampaknya atas mobilitas sosial kalangan profesional, khususnya tenaga pengajar yang mendedikasikan dirinya dalam proses belajar mengajar. Seberapa besar kemampuan dunia pendidikan tinggi (PT) mengembangkan daya otonomi relatipnya terhadap tenaga pengajar (dosen), dan bagaimana pula daya dorong PT terhadap mobilitas mereka. Mudah-mudahan wawancara dengan beberapa staf pengajar dari berbagai perguruan tinggi tersebut membantu kita untuk melihat efek mobilitas yang dibawa PT di dunia kampus.

  E. Pengumpulan Informasi

  Kajian ini mendayagunakan informasi yang dikumpulkan melalui proses wawancara kepada beberapa tenaga pengajar yang berasal dari lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM), Institute Agama Islam Negeri (sekarang UIN) Yogyakarta, dan

  

11 Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, terj, Aminuddin Ram. Sosiologi, (Jakarta:

Erlangga, 1989), hal., 6-7

  Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta tanpa melupakan berbagai prasyarat penting yang diperlukan sebagai kriteria untuk menetapkan nara sumber atau informan yang dianggap relevan untuk menjawab sejumlah pertanyaan penelitian yang diajukan dalam rangka mendalami dan membahas penelitian ini.

  Tulisan dan data pada tulisan ini secara kasar telah kami persiapkan cukup lama, yakni kurang lebih tiga belas tahun yang lalu, namun karena berbagai kesibukan yang penulis miliki pada akhirnya naskah ini sempat tak tersentuh selama bertahun- tahun, kami baru sempat membaca ulang hasil wawancara tahun belakangan ini, terutama ketika penulis mengampu matakuliah Sosiologi Pendidikan di Jurusan Sosiologi Fisipol UGM. Berkali-kali penulis memikirkan dan merefleksikan berbagai teori yang ada pada naskah dan membicarakannya di ruang kuliah bersama mahasiswa yang mengambil matakuliah tersebut, atas dasar respon dan dialog yang terjadi di ruang kelas maka, akhirnya penulis merasa bahwa bahan-bahan tulisan yang telah penulis siapkan cukup bermanfaat jika diterbitkan sebagai bahan ajar Sosiologi Pendidikan untuk menambah perbendaharaan referensi dan cakrawala proses pembelajaran Sosiologi Pendidikan. Apalagi mengingat buku berbahasa Indonesia tentang Sosiologi Pendidikan masih begitu terbatas. Untuk itulah penulis akhirnya memberanikan diri menerbitkan karya ini. Penulis juga berharap saran dan kritik dari pembaca agar ke depan buku ini bisa terus dikembangkan, bahkan bisa menstimulasi karya-karya Sosiologi Pendidikan yang lebih inspiratif pasca terbitnya karya ini.

BAB 2 DIMENSI REPRODUKSI DALAM PENDIDIKAN

  

DIMENSI REPRODUKSI

DALAM PENDIDIKAN

A. Perspektif Fungsionalis

  Menurut pandangan kaum fungsionalis, pendidikan diang- gap telah memiliki bentuk tertentu, hal ini terutama dikaitkan dengan sumbangan positif yang diberikan bagi berfungsinya masyarakat industri dengan tepat. Prinsip- prinsip utama teori fungsionalis dalam konteks masyarakat industri dan hubungannya dengan sistem pendidikan, menurut Colllins, dapatlah diuraikan sebagai berikut:

  1. Persyaratan pendidikan dari pekerjaan-pekerjaan yang terdapat dalam masyarakat industri terus meningkat sebagai akibat adanya perubahan teknologi. Dalam hal ini ada dua aspek yang penting a. Proporsi pekerjaan yang memerlukan ketrampilan yang rendah berkurang, sementara proporsi yang memerlukan ketrampilan tinggi bertambah.

  b. Pekerjaan-pekerjaan yang sama terus meningkat persyaratan keterampilannya.

  2. Pendidikan formal memberi latihan yang diperlukan kepada orang-orang untuk mendapat pekerjaan yang ber- ke terampilan yang lebih tinggi.

  3. Sebagai akibat dari yang disebut di atas, persyaratan pendidikan untuk bekerja terus meningkat, dan semakin banyak orang yang dituntut untuk menghabiskan waktu yang lebih lama di sekolah. Collins juga pada sisi yang lain menunjukkan bahwa bukti yang ada ternyata sangat bertentangan dengan apa yang telah dijelaskan oleh para penganut fungsionalis, ia menunjukkan, misalnya tentang proposisi 1.a-bahwa persyaratan pendidikan bertambah karena adanya penurunan dalam proporsi pekerjaan yang memerlukan keterampilan yang rendah dan meningkatnya proporsi yang memerlukan keterampilan yang tinggi. Dikemu- kakannya bahwa proses demikian hanya memenuhi sejumlah studi yang terkenal telah menemukan bahwa hanya 15 persen dari peningkatan pendidikan selama abad XX yang dapat 12 dikaitkan dengan pergeseran dalam struktur pekerjaan. Proposisi 1.b dan 2 bahwa persyaratan pendidikan naik, karena pekerjaan-pekerjaan yang sama meningkatkan persyaratan keterampilannya, dan bahwa pendidikan formal memberi keterampilan kerja yang diperlukan juga dipandang bertentangan dengan bukti yang ada. Collins menantang proposisi-proposisi di atas dengan mengajukan pertanyaan: “apakah para pekerja yang berpendidikan lebih baik itu lebih produktif daripada para pekerja yang kurang berpendidikan?” dan apakah ketrampilan vokasional dipelajari di sekolah atau dimana-mana?” Jawaban untuk pertanyaan yang pertama adalah “tidak”, untuk yang kedua, “dimana-mana”. Mengenai jawaban yang pertama Collins menampilkan suatu studi utama dari (Berg 1971), yang memperlihatkan bahwa para pekerja yang berpendidikan lebih baik ternyata tidak lebih produktif dari mereka yang berpen- didikan kurang, dan dalam beberapa kasus malah mereka kurang produktif. Dalam hubugan dengan pertanyaan kedua,

  

12 Pandangan Collins dan beberapa pemikir lainnya diambil dari, “Sisitem

pendidikan dalam Perspektif Sosiologis”, dalam, Stephen K. Sanderson, telj,

Farid Wajidi, Sosiologi Makro, sebuah pendekaterhadap realitas sosial, (Jakarta: Rajawali Pers, 1995) hal. 492-495 ia mempelajari keterampilan yang relevan secara vokasional di sekolah, dan bahwa kebanyakan keterampilan demikian dapat 13 diperoleh dengan mudah dan cepat pada pekerjaan.

  Data lain yang cukup menarik juga ditunjukkan oleh sebuah studi yang dilakukan oleh Dr. Glasser, ia memperkirakan bahwa dikebanyakan sekolah menengah lebih dari 50 % siswanya menyerap pelajaran sedikit sekali dan gejala ini bahkan juga dialami oleh anak-anak berbakat yang berasal dari lingkungan 14 keluarga yang baik. Selanjutnya, dari wawancara-wawancara yang dilakukan- nya berulang kali dengan siswa-siswa sekolah, Glasser 15 dari sebagian besar bahan yang harus mereka pelajari. Dari data yang sama ini banyak pertanyaan yang kembali dapat diajukan terhadap pendidikan sekolah, mulai dari level pendidikan yang lebih awal, misalnya apakah terdapat kemungkinan bahwa sekolah tidak mengajarkan pengetahuan yang langsung memiliki relevansi dengan kebutuhan dan ·konteks sosial masyarakatnya (baca: masyarakat industri), sehingga tidak heran kalau di sana sini gejala kejemuan atas sistem pendidikan sekolah terjadi.

  Para pelajar, dalam sistem sekolahan, harus menghabiskan lebih banyak waktunya untuk mendapatkan selembar kertas yang disebut “ijazah” (sertifikat pendidikan) yang kelak memiliki peran begitu penting untuk memasuki pasar dan peluang kerja. Persoalan pendidikan sejenis inilah yang pernah dipikirkan oleh pakar pendidikan ternama, John Dewey. Menurutnya inti permasalahan sebagaimana dijelaskan di atas ada pada soal “alam individual versus kebudayaan sosial”, hal ini seperti dikatakannya sebagai berikut:

  Seorang anak hidup dalam dunia kontak-kontak personal yang sedemikian rupa sempitnya. Tidak ada yang menyusup

  13 lbid., hal. 493

  

14 Frank G. Goble, terj, Supratinya, Mazhab Ketiga, Psikologi Humanistik Abraham

Maslow, (Yogyakarta: Kanisius, 1987) hal. 260-261

15 Ibid., hal. 260.

  ke pengalamannya jika tidak menyentuh, secara akrab dan tegas, kesejahteraaan diri anak itu, atau kesejahteraan keluarga terdekatnya dan teman-temannya. Dunia si anak adalah dunia pribadi-pribadi dengan kepentingan-kepentingan pribadi, bukan jagat fakta-fakta dan hukum-hukum. Nada dasarnya bukan kebenaran dalam arti konformitas terhadap fakta ekster- nal, melainkan kasih sayang dan simpati. Berhadapan dengan dunia yang seperti itu, pelajaran disekolah menampilkan bahan yang merentang mengarungi waktu tanpa batas, dan meluas keangkasa luar tak bertepi. Sang anak dibawa keluar dari lingkungan fisik yang diakrapinya, yang jauhnya mungkin cuma bahkan masuk ke lingkaran tatasurya. Kancah ingatannya yang kecil, ranah tradisinya yang sempit, dijejali dengan abad-abad 16 panjang sejarah seluruh umat manusia. Tentu saja kenyataan di atas menunjukkan bahwa ada persoalan yang cukup problematis dalam konteks hubungan antara peserta didik, dengan materi pendidikan, yang juga menyangkut metode belajar mengajar yang dipergunakan. Dan bisa jadi tuduhan bahwa lembaga pendidikan hanya mengajarkan apa yang disebut Whitehead sebagai “ide-ide inersia”, yaitu ide-ide yang semata-mata hanya diterima di dalam pikiran tanpa digunakan atau diuji atau 17 diolah menjadi kombinasi yang segar, menjadi benar adanya. Ide-ide inersia dalam rangka pendidikan tentu saja selain tidak berguna, ia juga mengandung bahaya, hal ini seperti lebih lanjut ditegaskan oleh Whitehead sebagai berikut: “Education with

  

inert ideas is not only useless; it is, above all things, harmful-Corruptio

18

optimi, pessima” . Bahwa pendidikan yang menghasilkan ide-ide

  

16 Pandangan Pendidikan Dewey diambil dari, Omi Intan Naomi, Menggugat

Pendidikan, Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis (Yogyakarta:

Pustaaka Pelajar, 1998) hal. 222.

  

17 Lihat, Paulo Freire, terj, Alois A. Nugroho, Pendidikan Sebagai Praktek pembebasan,

(Jakarta: Gramedia, 1984) hal. 37. Baca juga buku aslinya, Alfred North

Whitehead, The Aims of Educatio, (England: Williams and Norgate, 1956) hal.

  13

  18 Ibid.,

  13 hal. yang lesu, lembek tidak hanya tak bermanfaat, lebih gawat lagi pendidikan jenis ini akan mendatangkan kerusakan.

  Peringatan Whitehead ikhwal adanya nilai-nilai kepen didikan yang bersifat merusak (corruptio optimi pessima) ini tentu merupakan bahan informasi yang cukup penting untuk dikaji dan didalami lebih lanjut, terlebih jika daya rusak pendidikan yang dimaksudkan itu ditemukan juga dalam konteks institusi masyarakat kapitalis- industrial, misalnya dengan munculnya fenomena komersialisasi dan birokratisasi dunia pendidikan, yang kedua-duanya tidak lain lebih mengutamakan aspek capaian keuntungan ekonomi atau pun bentuk-bentuk orientasi ekonomis. semata-mata berorientasi pada perspektif pragmatis, praktis atau pun ekonomis semata, pendidikan sebaiknya juga harus dilihat dari dimensi lain yang lebih substansial, seperti digambarkan lebih lanjut oleh Whitehead sebagai berikut:

  “Education is discipline for adventure of life; research is intellectual

adventure; and the universities should be homes of adventure shared in

19

common by young and old” . Yang terjemahannya lebih kurang

  mengisyarakatkan bahwa pendidikan sesungguhnya merupakan disiplin dalam pengembaraan kehidupan, sementara penelitian, hakekatnya adalah pengembaraan intelektual, dan universitas semestinya menjadi rumah umum untuk berbagi pengalaman baik untuk anak muda maupun orang tua.

  Namun demikian ada juga kenyataan pemikiran yang kurang begitu menghargai perubahan ditingkat “substansial” yang dapat dibawa oleh dunia pendidikan, yakni pandangan yang asalnya dari kalangan fungsionalis, mereka sangat percaya bahwa perubahan dalam sistem pendidikan dapat membawa perubahan dalam struktur masyarakat. Golongan ini termasuk optimis melihat korelasi antara dunia pendidikan dengan struktur masyarakat.

19 Alfred North Whitehead, The Aims of Education, (England: Williams and Norgate, 1956) hal.102.

  Dibenak kaum fungsionalis sistem pendidikan merupakan subsistem dari sebuah sistem yang lebih besar, dan pendidikan dengan segala institusi jelmaannya itu tidak bisa berdiri sendiri lepas dari rangkaian subsistem lain yang terjalin dalam suatu keseluruhan, hal ini seperti dilukiskan oleh Abrahamson: sebagai berikut:

  “...sistem pendidikan terdiri dari: sekolah dengan berbagai jenjang usia, para staf pengajar, berbagai asosiasi orang tua, dan hubungan diantara unsur-unsur tersebut. Dalam semua contoh yang bersifat non-biologis ini, lagi-lagi perspektif fungsionalis menekankan pentingnya kontribusi 20 Lebih lanjut sesuai dengan penggambaran metaphoris yang dibuat oleh kaum fungsional, masyarakat diumpamakan analog dengan hukum-hukum dan kekuatan seperti halnya sistem yang lain. Ekuilibrium atau keseimbangan, untuk sekedar contoh, diasumsikan sebagai karakteristik masyarakat yang merupakan hasil dari sebuah gaya gravitasi sosial (baca: daya tarik menarik sosial); institusi politik dilukiskan sebagai lembaga yang dibangun di atas atom-atom, dalam hal ini; para individu dan 21 molekul, yakni; kelompok-kelompok, dsb. Penggambaran masyarakat yang dilakukan di atas tentu saja tidak mudah untuk dicari terjemahannya secara persis lewat pola dan proses sosial yang berlangsung di dalam masyarakat itu sendiri. Seperti telah banyak dibahas bahwa masyarakat adalah lebih dari pada sekedar sekumpulan individu yang bergerak secara mekanis, ia merupakan sekumpulan orang dengan bangunan kesadaran, hasrat, pola prilaku, dan kebiasan- kebiasaan yang kompleks. Di dalam masyarakat terdapat kesadaran kolektif, selain itu juga kesadaran yang bersifat individualitas kerap pula memberi nuansa dalam kolektivitas

20 Mark Abrahamson, Functionalism, (America: Prentice-Hall, 1978) hal. 6 21 Ibid., hal. 9.

  tersebut. Oleh sebab itu, menganggap masyarakat sebagai entitas sosial yang bergerak secara mekanis tentu kurang cukup, penjelasan semacam ini akan sangat mereduksi hakekat masyarakat itu sendiri.

  Adalah benar bahwa masyarakat terdiri atas sekumpulan individu yang masing-masing memiliki otot, tulang, dan tubuh fisik yang masing-masing cara kerjanya dapat dilukiskan seperti halnya komponen-komponen dalam tubuh yang disebut mesin, namun disamping itu manusia memiliki otak, terutama bagian neo-korteks yang disinyalir tempat menyimpan daya dan kawasan kesadaran reflektif yang tak dijumpai dalam mesin secanggih apapun.

B. Pendidikan dan Masyarakat Kapitalis

  Dalam keseluruhan bagiannya kaum fungsionalis ini, 22 seperti diuraikan kembali oleh Selfe, melukiskan berbagai macam elemen yang ada di dalam masyarakat melalui beberapa bagian berikut ini:

  1. Terdapat hubungan langsung antara sistem pendidikan dan sistem ekonomi. Hal ini disebabkan karena perkembangan ekonomi akan mengembangkan struktur pendidikan, dan pada gilirannya pendidikan dapat membekali para pekerja dengan skill yang memadai.

  2. Usia sekolah (school-living age) mungkin dapat digunakan untuk mengerem laju keinginan berbondong-bondong orang untuk memasuki pasar kerja tanpa didukung oleh bakat yang cukup memadai.

  3. Sistem pendidikan yang berkembang pasti akan membawa kesempatan yang lebih leluasa bagi mobilitas sosial, dan hal ini pada gilirannya akan mentransformir struktur kelas.

  4. Pendidikan mendorong pertumbuhan personal secara lebih besar lagi, sehingga dapat mengakibatkan orang memperluas bakat-bakatnya. Dengan demikian hal ini

22 Gagasan ini dikutip dari Paul Selfe, Sociology a Level, (Great Britain: Macmillan Press, 1993) hal. 130.

  dapat menjamin keharmonisan dengan tatanan yang terdapat di dalam masyarakat.

  5. Prinsip-prinsip meritokrasi dan kemandirian (self-

  helf) merupakan nilai-nilai yang penting yang dapat

  mempromosikan kemungkinan perubahan menuju masyarakat yang jauh lebih terbuka.

  6. Kegagalan sebagian besar anak-anak untuk mewujudkan potensinya secara lebih penuh dengan cara lebih mudah dapat dijelaskan melalui pendekatan deprivasi budaya

  (cultural deprivation) . Yakni, bahwa lemahnya kemajuan budaya akan menyebabkan sosialisasi yang buruk.

  Pemikiran kaum fungsionalis di atas tentunya tidak bisa dilepaskan dari latar belakang masyarakat yang dibayangkannya, yakni masyarakat kapitalis atau industri. Oleh sebab itu, kita akan memasuki perbincangan ini dengan lebih dahulu memaparkan gambaran tentang masyarakat kapitalis, baik menurut Weber maupun Marx biarpun hanya sekilas. Bagi Marx, kapitalisme, pada awalnya dipakai dalam pengertian sebagai sebuah sistem produksi yang menempatkan tenaga kerja (labour power) sebagai sebuah komoditas yang dapat dipertukarkan di pasar dan berhadapan dengan kapital. Berbeda dengan Marx, menurut pandangan Weber kapitalisme punya arti yang jauh lebih rumit, kenyataan ini setidaknya dapat dijelmakan dalam pandangannya yang membagi kapital dalam dua arti:

  Pertama, ia memiliki makna yang lebih umum, yaitu

  menyangkut setiap usaha kaum kapitalis yang dilakukan dalam berbagai kurun waktu dan satuan tempat di masa silam. Kedua, Weber menerjemahkannya dalam arti yang tidak berbeda dengan makna yang diberikan oleh para Marxian, terutama 23 menunjuk fenomena dunia barat post-feodal.

23 Anthony Giddens, The Class Structure of The Advanced Societies, (London: Hutchinson & Co Ltd, 1978) hal. 139-143.

  Sebenarnya baik Weber maupun Marx, adalah dua tokoh sosiologi yang mencoba memberikan perhatian sangat serius terhadap konsep “kapitalisme” di satu sisi dan “industrialisme” pada sisi yang lain. Di dalam rumusan tersebut Weber secara ilmiah memberi penekanan pada unsur kalkulasi rasional pada sektor ekonomi modern. Pada aspek yang lain Weber juga menunjuk terdapatnya hubungan antara pertumbuhan kapitalisme pada satu sisi dengan penyebaran mekanisasi, dan produksi pada sisi yang lain. Gejala ini disebut juga dengan “rasionalisasi teknis’ dan “rasionalisasi tenaga kerja” tentu saja dalam kaitannya dengan mesin. Menurut Marx, apa yang yang ia sebut sebagai transmutasi dari manufaktur menuju pada

  

macinofaktur . Untuk memahami lebih lanjut konsep transmutasi

  yang dimaksud, maka kita perlu kembali lagi ke pikiran Weber berikut ini: “the real distinguishing characteristic of the modern factory is in general ... the concentration of ownership of workplace, means of work, source of power and raw material in one 24 and the same hand, that of the entrepreneur”. Dalam konteks ini Weber menjelaskan ikhwal adanya konsentrasi kepemilikan yang nampaknya menjadi ciri paling menonjol dari adanya proses transmutasi tersebut, hal ini seperti telah ditegaskan, menyangkut dimensi-dimensi “tempat

  

dan sarana kerja, kepemilikan atas sumber daya (kekuasaan) dan bahan

mentah” , faktor inilah yang sebetulnya membedakan antara

  periode “manufaktur” dan “macinofaktur”.

  Seperti dicatat oleh Giddens, kalau pun ada perbedaan yang mendasar antara dua raksasa sosiologi tersebut maka, bagi Weber rasionalisasi teknis merupakan ciri intrinsik yang terdapat dalam kapitalisme modern, baik pada level struktur

24 Ibid., hal. 142.

  sosial, maupun pada tingkat struktur ekonomi. Sementara itu dalam pandangan Marx, rasionalisasi teknis dalam arti yang sesungguhnya merupakan masalah yang sekunder, atau merupakan bagian yang tercakup dalam persoalan kelas sosial (Giddens, 1978). Oleh sebab itu, kembali lagi ke Weber, bahwa dalam terminologi yang dirumuskannya kita mendapati dua konsep penting, yang pertama “rasionalitas teknis” dan yang kedua: “rasionalisasi perilaku organisasi” (birokrasi).

  Disamping dua pendapat raksasa sosiologi itu, terdapat pandangan Giddens yang menyatakan bahwa industrialisme merupakan transfer dari sumber energi yang berasal dari agen organisasi perusahaan. Dengan demikian industrialisasi merupakan sebuah proses, atau serangkaian proses dimana industrialisme datang untuk memainkan peran yang penting dalam kehidupan ekonomi disetiap masyarakat. Jadi konsep masyarakat industrial dapat dipergunakan untuk merancang sebuah tatanan sosial yang berkuasa dalam memproduksi barang-barang pasar di sektor ekonomi.

  Hal yang juga cukup penting untuk disinggung adalah konsep kapitalisme, Kontribusi atas pemikiran yang tidak dapat diabaikan adalah adanya dimensi pemikiran Marx didalam konsep kapitalisme tersebut. Untuk mempermudah pengenalan lebih lanjut maka dapatlah disebutkan bahwa kapitalisme akan eksis apabila: (1). Produksi terutama diorientasikan pada realisasi pencapaian keuntungan. (2). Proses tersebut diorganisasikan dalam rangka komoditas pasar, termasuk tenaga kerja, diperjual- 25 belikan sesuai dengan·standar alat tukar uang. Dalam hubungannya dengan “kerja”, Marx sendiri mernbedakan dua jenis kerja. Pertama, kerja sebagai sebuah proses yang terdiri dari energi-energi dan intelegensi seseorang yang terlibat dalam produksi. Kedua, kerja sebagai komoditi, yang terdiri dari suatu benda yang dihasilkan untuk dijual,

25 Loc. cit., hal. 142

  dalam hal ini sering juga disebut sebagai “kekuatan kerja” atau 26 kapasitas kerja seorang pekerja.

  Sesungguhnya yang cukup penting untuk digaris bawahi dari seluruh penjelasan tersebut adalah kenyataan bahwa tidak setiap bentuk ekonomi aktual yang disebut kapitalis itu menunjukkan ciri-ciri seperti: adanya kompetisi sempurna, atau tidak harus terdapat pasar yang kompetitif di setiap sektor produksi, atau negara tidak dapat secara langsung 27 mempengaruhi segmen-segmen ekonomi. Namun demikian, kendati unsur laba tidak disebut-sebut dalam penjelasan Giddens di bagian awal, Heilbroner secara

  

kapitalisme, bukan saja karena merupakan sarana yang dipakai masing-

masing kapital untuk memperoleh segala sesuatu yang diperlukan

untuk ekspansinya tetapi karena itu adalah cara bagaimana hubungan

28 dominasi itu dilaksanakan” .

  Deskripsi Giddens dibagian atas agaknya banyak mendapat pembenaran teoritik dari Fritjof Capra. Dalam sebuah bukunya yang berjudul “The Turning Point; Science, society, and The rising

  

culture” ia menjelaskan terdapatnya tiga kekuatan pertumbuhan

  yang saling terkait di sebagian besar masyarakat industri, yaitu 29 dimensi ekonomis, teknologis, dan institusional.