Adilita Pramanti S.SOS M.Si Fakultas Ilm
Sosiologi Lingkungan
Dosen : Adilita Pramanti
Nama
: Alifa Pangastika Kuswara
NPM
: 153112359350016
Program Studi
: Sosiologi
Fakultas
: Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Meningkatnya Urbanisasi yang Menimbulkan Permasalahan Sosial
Urbanisasi adalah bertambahnya proporsi penduduk yang berdiam di daerah kota yang
disebabkan oleh proses perpindahan penduduk ke kota dan atau akibat perluasan daerah kota
atau secara singkat urbanisasi dapat dikatakam sebagai proses perpindahan penduduk dari desa
ke kota. Di Indonesia sendiri, urbanisasi mulai munculsejak tahun 1970-an, disaat pembangunan
sedang digalakkan, terutama di kota-kota besar. Faktor ekonomi dianggap sbagai faktor utama
dari urbanisasi yang terjadi diperkotaan. Namun, selain faktor ekonomi, urbanisasi juga didorong
oleh faktor-faktor lain seperti, (1)Pertumbuhan industri di kota-kota besar yang banyak membuka
peluang kerja, (2) Perbedaan pertumbuhan dan ketidak merataan fasilitas antara desa dengan
kota dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satu kota yang menjadi tujuan utama para urbaners
adalah DKI Jakarta. Posisi strategis Kota Jakarta, menjadikan Jakarta sebagai pusat kegiatan
pemerintahan, perdagangan dan jasa, perkantoran, perindustrian dan kegiatan lainnya yang
menunjang perkembangan sebuah kota dan secara tidak langsung akan memberikan ketertarikan
bagi warga luar Kota Jakarta untuk datang menjadi pekerja di Jakarta.
Urbanisasi ini sendiri telah menjadi peristiwa biasa dalam kehidupan perkotaan. Tiap
tahunnya, penduduk desa pindah ke kota dengan alasan untuk bekerja. Kota-kota di Indonesia
tumbuh rata-rata 4,1 persen per tahun dan saat ini Bank Dunia mencatat 52 persen dari total
populasi penduduk Indonesia tinggal di area perkotaan. Kendati begitu, tingkat urbanisasi yang
tinggi di Indonesia belum mampu menjadi faktor yang membuat sejahtera penduduk baik di
perkotaan maupun pedesaan. "Urbanisasi di Indonesia belum menyejahterakan. Di Indonesia
satu persen urbanisasi korelasinya rendah dengan pertambahan Gross Domestic Product (GDP)
per kapita," ucap Pengamat Perkotaan Universitas Trisakti Wicaksono Sarosa, saat menjadi
pembicara dalam seminar Urbanization, Urban Housing, and Housing Finance in Indonesia di
Hotel Grand Hyatt di Jakarta, Senin (7/11/2016).
Alih-alih menyejahterakan penduduknya, urbanisasi di Indonesia hanya memindahkan
masyarakat desa ke kota tanpa adanya perubahan nasib ekonomi, yang miskin tetap menjadi
miskin. Hal ini bisa saja disebabkan karena penduduk desa yang pindah ke kota gagal mencari
pekerjaan di kota dan menjadi penggangguran. Dengan ini, maka dapat meningkatkan kerawanan
sosial seperti meningkatkan angka kriminalitas, bertambahnya jumlah pengemis, gelandangan,
serta para pengamen jalanan, ataupun meningkatkan jumlah para pekerja seks komersial. Selain
itu pertambahan penduduk yang tidak terkendali akibat dari urbanisasi, memungkinkan semakin
bertambahnya kemacetan lalu lintas, ketidak seimbangan antara pengguna jasa angkutan dengan
jumlah angkutan, dan meningkatnya kecelakaan lalu lintas. Urbaniasi juga dapat menimbulkan
permasalahan lingkuan di daerah kota. Salah satu masalah tersebut adalah berdirinya gubukgubuk liar dan daerah pemukiman kumuh atau slums area yang sangat menganggu keindahan,
kenyamanan, serta kebersihan kota. Hal ini terjadi dikarenakan lahan sebagai tempat tinggal
yang layak semakin berkurang dan berharga mahal, sehingga masyarakat urbaners yang gagal
lebih memilih mendirikan gubuk-gubuk di bantaran sungai. Hal ini menimbulkan permasalahan
baru, yaitu munculnya timbunan sampah dari limbah rumah tangga yang mereka buang langsung
ke sungai.
Dalam permasalahan gender, urbanisasi tidak melulu menghasilkan kehidupan yang lebih
baik. Hasil penelitian oleh International Institute for Environment and Development (IIED) dan
United Nations Population Fund (UNFPA) menunjukkan jika urbanisasi memang menawarkan
pekerjaan dan kemandirian lebih pada perempuan. Namun, perempuan belum menikmati
distribusi penghasilan atau pun beberapa keuntungan lain dalam rumah tangga. Keuntungan yang
dimaksud antara lain hak pribadi, perwakilan politik, dan kemampuan mengamankan aset.
Sebagai contoh, perempuan urban yang hidup di bawah garis kemiskinan sering kali mendapat
pekerjaan dengan gaji lebih rendah dan tidak memiliki perlindungan hukum atau kesehatan.
Sedangkan kaum pria lebih berkuasa karena menjadi pengambil keputusan dan sedikit sekali
membantu pekerjaan rumah tangga. Ini membuat kaum perempuan 'menderita' dua kali lebih
banyak karena harus bekerja dan mengurus rumah. Dengan adanya permasalahan gender dalam
urbanisasi, maka diharuskan adanya pemberdayaan bagi kaum perempuan dalam ruang lingkup
pendidikan, agar bisa mendapatkan akses pekerjaan dan kesehatan yang lebih layak.
Teori atau pendekatan struktural-fungsional merupakan teori sosiologi yang diterapkan
dalam melihat institusi keluarga. Teori ini berangkat dari asumsi bahwasuatu masyarakat terdiri
atas beberapa bagian yang saling memengaruhi. Teori ini mencari unsur-unsur mendasar yang
berpengaruh di dalam suatu masyarakat, mengidentifikasi fungsi setiap unsur, dan menerangkan
bagaimana fungsi unsur-unsur tersebut dalam masyarakat. Dalam teori struktural-fungsional,
peran masing-masing anggota keluarga sangat ditentukan oleh struktur kekuasaan laki-laki
(ayah) sebagai kepala keluarga yang secara hierarkis memiliki kewenangan paling tinggi dalam
keputusan-keputusan keluarga. Relasi yang terbangun seringkali menempatkan seolah-olah lakilaki memiliki kemampuan/kekuasaan/kekuatan lebih besar dibanding perempuan. Namun,
faktanya tidaklah begitu, banyak kaum perempuan (istri/ibu) yang mampu menjadi tulang
punggung keluarga, dan mampu menghidupi keluarganya secara mandiri secara mandiri dan
lebih mampu bertahan dalam kesulitan ekonomi keluarga. Kesetaraan gender dimaksudkan untuk
memberikan keseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga maupun
masyarakat sehingga tidak ada peran- peran yang dilabelkan mutlak milik laki-laki saja atau
milik perempuan saja. Karena perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama, yaitu
mendapatkan kehidupan yang layak, baik itu dalam pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan. Maka
dengan adanya urbanisasi ini, diharapkan dapat meningkatkan kesetataan gender antara laki-laki
dan perempuan.
Sumber :
http://properti.kompas.com/read/2016/11/07/210000421/urbanisasi.di.indonesia.hanya.bikin.pen
duduk.makin.miskin
https://www.google.co.id/nationalgeographic.co.id/urbanisasi-tak-jamin-perempuan-hidup-lebihbaik
https://www.academia.edu/9734496/gender_dalam_konteks_teori_strukturalfungsional_dan_teori_sosial-konflik
Dosen : Adilita Pramanti
Nama
: Alifa Pangastika Kuswara
NPM
: 153112359350016
Program Studi
: Sosiologi
Fakultas
: Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Meningkatnya Urbanisasi yang Menimbulkan Permasalahan Sosial
Urbanisasi adalah bertambahnya proporsi penduduk yang berdiam di daerah kota yang
disebabkan oleh proses perpindahan penduduk ke kota dan atau akibat perluasan daerah kota
atau secara singkat urbanisasi dapat dikatakam sebagai proses perpindahan penduduk dari desa
ke kota. Di Indonesia sendiri, urbanisasi mulai munculsejak tahun 1970-an, disaat pembangunan
sedang digalakkan, terutama di kota-kota besar. Faktor ekonomi dianggap sbagai faktor utama
dari urbanisasi yang terjadi diperkotaan. Namun, selain faktor ekonomi, urbanisasi juga didorong
oleh faktor-faktor lain seperti, (1)Pertumbuhan industri di kota-kota besar yang banyak membuka
peluang kerja, (2) Perbedaan pertumbuhan dan ketidak merataan fasilitas antara desa dengan
kota dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satu kota yang menjadi tujuan utama para urbaners
adalah DKI Jakarta. Posisi strategis Kota Jakarta, menjadikan Jakarta sebagai pusat kegiatan
pemerintahan, perdagangan dan jasa, perkantoran, perindustrian dan kegiatan lainnya yang
menunjang perkembangan sebuah kota dan secara tidak langsung akan memberikan ketertarikan
bagi warga luar Kota Jakarta untuk datang menjadi pekerja di Jakarta.
Urbanisasi ini sendiri telah menjadi peristiwa biasa dalam kehidupan perkotaan. Tiap
tahunnya, penduduk desa pindah ke kota dengan alasan untuk bekerja. Kota-kota di Indonesia
tumbuh rata-rata 4,1 persen per tahun dan saat ini Bank Dunia mencatat 52 persen dari total
populasi penduduk Indonesia tinggal di area perkotaan. Kendati begitu, tingkat urbanisasi yang
tinggi di Indonesia belum mampu menjadi faktor yang membuat sejahtera penduduk baik di
perkotaan maupun pedesaan. "Urbanisasi di Indonesia belum menyejahterakan. Di Indonesia
satu persen urbanisasi korelasinya rendah dengan pertambahan Gross Domestic Product (GDP)
per kapita," ucap Pengamat Perkotaan Universitas Trisakti Wicaksono Sarosa, saat menjadi
pembicara dalam seminar Urbanization, Urban Housing, and Housing Finance in Indonesia di
Hotel Grand Hyatt di Jakarta, Senin (7/11/2016).
Alih-alih menyejahterakan penduduknya, urbanisasi di Indonesia hanya memindahkan
masyarakat desa ke kota tanpa adanya perubahan nasib ekonomi, yang miskin tetap menjadi
miskin. Hal ini bisa saja disebabkan karena penduduk desa yang pindah ke kota gagal mencari
pekerjaan di kota dan menjadi penggangguran. Dengan ini, maka dapat meningkatkan kerawanan
sosial seperti meningkatkan angka kriminalitas, bertambahnya jumlah pengemis, gelandangan,
serta para pengamen jalanan, ataupun meningkatkan jumlah para pekerja seks komersial. Selain
itu pertambahan penduduk yang tidak terkendali akibat dari urbanisasi, memungkinkan semakin
bertambahnya kemacetan lalu lintas, ketidak seimbangan antara pengguna jasa angkutan dengan
jumlah angkutan, dan meningkatnya kecelakaan lalu lintas. Urbaniasi juga dapat menimbulkan
permasalahan lingkuan di daerah kota. Salah satu masalah tersebut adalah berdirinya gubukgubuk liar dan daerah pemukiman kumuh atau slums area yang sangat menganggu keindahan,
kenyamanan, serta kebersihan kota. Hal ini terjadi dikarenakan lahan sebagai tempat tinggal
yang layak semakin berkurang dan berharga mahal, sehingga masyarakat urbaners yang gagal
lebih memilih mendirikan gubuk-gubuk di bantaran sungai. Hal ini menimbulkan permasalahan
baru, yaitu munculnya timbunan sampah dari limbah rumah tangga yang mereka buang langsung
ke sungai.
Dalam permasalahan gender, urbanisasi tidak melulu menghasilkan kehidupan yang lebih
baik. Hasil penelitian oleh International Institute for Environment and Development (IIED) dan
United Nations Population Fund (UNFPA) menunjukkan jika urbanisasi memang menawarkan
pekerjaan dan kemandirian lebih pada perempuan. Namun, perempuan belum menikmati
distribusi penghasilan atau pun beberapa keuntungan lain dalam rumah tangga. Keuntungan yang
dimaksud antara lain hak pribadi, perwakilan politik, dan kemampuan mengamankan aset.
Sebagai contoh, perempuan urban yang hidup di bawah garis kemiskinan sering kali mendapat
pekerjaan dengan gaji lebih rendah dan tidak memiliki perlindungan hukum atau kesehatan.
Sedangkan kaum pria lebih berkuasa karena menjadi pengambil keputusan dan sedikit sekali
membantu pekerjaan rumah tangga. Ini membuat kaum perempuan 'menderita' dua kali lebih
banyak karena harus bekerja dan mengurus rumah. Dengan adanya permasalahan gender dalam
urbanisasi, maka diharuskan adanya pemberdayaan bagi kaum perempuan dalam ruang lingkup
pendidikan, agar bisa mendapatkan akses pekerjaan dan kesehatan yang lebih layak.
Teori atau pendekatan struktural-fungsional merupakan teori sosiologi yang diterapkan
dalam melihat institusi keluarga. Teori ini berangkat dari asumsi bahwasuatu masyarakat terdiri
atas beberapa bagian yang saling memengaruhi. Teori ini mencari unsur-unsur mendasar yang
berpengaruh di dalam suatu masyarakat, mengidentifikasi fungsi setiap unsur, dan menerangkan
bagaimana fungsi unsur-unsur tersebut dalam masyarakat. Dalam teori struktural-fungsional,
peran masing-masing anggota keluarga sangat ditentukan oleh struktur kekuasaan laki-laki
(ayah) sebagai kepala keluarga yang secara hierarkis memiliki kewenangan paling tinggi dalam
keputusan-keputusan keluarga. Relasi yang terbangun seringkali menempatkan seolah-olah lakilaki memiliki kemampuan/kekuasaan/kekuatan lebih besar dibanding perempuan. Namun,
faktanya tidaklah begitu, banyak kaum perempuan (istri/ibu) yang mampu menjadi tulang
punggung keluarga, dan mampu menghidupi keluarganya secara mandiri secara mandiri dan
lebih mampu bertahan dalam kesulitan ekonomi keluarga. Kesetaraan gender dimaksudkan untuk
memberikan keseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga maupun
masyarakat sehingga tidak ada peran- peran yang dilabelkan mutlak milik laki-laki saja atau
milik perempuan saja. Karena perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama, yaitu
mendapatkan kehidupan yang layak, baik itu dalam pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan. Maka
dengan adanya urbanisasi ini, diharapkan dapat meningkatkan kesetataan gender antara laki-laki
dan perempuan.
Sumber :
http://properti.kompas.com/read/2016/11/07/210000421/urbanisasi.di.indonesia.hanya.bikin.pen
duduk.makin.miskin
https://www.google.co.id/nationalgeographic.co.id/urbanisasi-tak-jamin-perempuan-hidup-lebihbaik
https://www.academia.edu/9734496/gender_dalam_konteks_teori_strukturalfungsional_dan_teori_sosial-konflik