Kumpulan Cerita Cinta Islami (1)

http://ac-zzz.blogspot.com/

Plis Dong, Akh!
Penulis : Nova Ayu Maulita

“Assalamu’alaikum,

Ukhti!”

suara

melengking

itu

spontan

membuatku

mendongak. Tommy terlihat sumringah saat melihatku.
“Apa kabar nih? Lama nggak ketemu. Jadi kangen!”

Mulutku tercekat. Hari gini dia bilang kangen sama aku? Ugh. Rasanya aku ingin
tenggelam ditelan bumi. Masalahnya saat itu aku tidak sendirian. Aku sedang
bersama adik mentoringku. Masalahnya lagi, baru lima menit yang lalu aku
mengisi mentoring tentang manajemen hati dan sikap. Nah, kalau sekarang aku
disapa Tommy seperti itu kan jadi rumit. Bisa-bisa dikira aku punya skandal
dengan ikhwan yang satu ini.
“Iya, liburan kemana aja, Ukh? Cerita-cerita dong!” Tommy masih nyerocos
tanpa merasa bersalah sama sekali. Sementara itu aku senin-kamis menahan
malu sambil menghindari tatapan adik-adik mentorku yang sesekali tersenyum
nakal dan berdehem-dehem. Mungkin saat itu mukaku sudah berubah menjadi
traffic light, merah kuning hijau. Tapi dia tetap saja cuek dan pasang innocent
face.
Tommy adalah teman sekelas SD-ku. Enam tahun sekelas dengan nomor absen
berurutan membuat kami lumayan akrab. Sering ngobrol, sering kerja
kelompok, sering merancang ide-ide konyol, tapi sering bertengkar juga.
Pokoknya dulu bisa dikatakan kami berteman baik deh. Waktu lulus SD, dia
pindah ke luar kota. Tidak pernah ada kabar sampai tiba-tiba dia sudah satu
jurusan, bahkan sekelas denganku di universitas. Tapi tentu saja semua sudah
berubah. Paling tidak sekarang aku sedikit-sedikit juga tahu adab bergaul
dengan lawan jenis.

Tapi, entahlah bagaimana dengan Tommy. Dia memang terbuka, suka bergaul,
bercanda, dan ngobrol dengan siapa saja. Sepertinya sekarang dia juga sudah
cukup paham. Sekarang kami sama-sama bergabung di rohis fakultas. Tommy

http://ac-zzz.blogspot.com/
sering juga ikut kajian umum di fakultas, sering terlihat kumpul bareng ikhwanikhwan mushala, sering ikut dalam kepanitiaan SKI, dan juga cukup sering
menyebutkan dalil-dalil yang menunjukkan pengetahuan Islamnya cukup
terakreditasi. Tapi untuk masalah ’centilnya’ ini, ah entahlah… .
”Kok diem terus sih, Van! Ngomong dong! Ngomong…!” Disuruh ngomong aku
malah semakin kikuk. Apa lagi kalau mengingat nada suaranya yang mirip-mirip
iklan operator telepon selular yang beberapa waktu lalu sempat populer,
”Ngomong dong, sayang..!” Weeit…!
”Iya, ya, liburanku biasa-biasa aja kok. Pulang cuma seminggu, belum hilang
kangennya sama orang rumah. Kemari… nggak jadi deh!” aku nyaris saja
keterusan bicara. Tadinya aku mau cerita kalau kemarin aku ketemu sama
Dela, teman kami dalam hal gila-gilaan waktu di SD dulu. Wah, kalau tadi aku
cerita, pasti obrolan nostalgia SD akan jadi panjang.
”Kemarin kenapa? Cerita dong… aku jadi penasaran nih.”
”Nggak usah, nggak penting kok! Anggap aja tadi aku nggak ngomong apa-apa”
”Uh… dari dulu kamu nggak berubah. Bikin orang penasaran.”

Aku cuma ngiyem mendengarnya.
”Eh, Van, Van. Kamu liat akhwat itu nggak?” Kali ini Tommy mengalihkan
pembicaraan. Matanya mengarah pada seorang akhwat yang berbaju abu-abu di
seberang. ”Emangnya kenapa?” Aku terpancing ingin tahu.
”Itu tuh, bajunya kok nggak match ya. Liat tuh, bajunya abu-abu, bawahannya
hijau, jilbabnya item, eh… tasnya merah. Bagusan kan kalau roknya item dan
tasnya apa gitu kek, yang penting jangan merah. Trus kaos kakinya itu lho, kok
kuning. Aduh…!” Tommy sok-sok memberikan penilaian bak seorang desainer
sambil

memukul-mukulkan

telapak

tangan

ke

jidatnya.


”Payah

ah,

penampilannya! Kalau kamu hari ini sudah cukup match kok, Van. Bagus,
bagus!” Tommy memandangi sekilas setelan biru yang kupakai.
Aku sudah tidak tahan mendengar komentar-komentarnya tadi. Siapa yang
butuh komentar darinya? Kalau saja kami masih jadi anak SD, sudah kutonjok
dia dari tadi. Hiiihhh!

http://ac-zzz.blogspot.com/
”Plis dong, Akh! Penting nggak sih buat kamu? Kasian lagi kalau beliaunya
denger kamu ngomongin dia kaya gitu. Bisa kehilangan pede. Lagian harusnya
kan antum jaga pandangan dong!” jawabku ketus disertai tampang bete.
Khusus kalau sedang bicara dengan Tommy kata-kataku jadi campur aduk,
tergantung mood. Kadang pakai istilah akhi, antum, afwan, atau istilah-istilah
Arab lain. Tapi kadang juga keluar aku, kamu, kasian deh lu, dan bahasabahasa gaul lainnya yang dulu biasa kami pakai.
”Emang nggak boleh ya komentar kaya gitu? Kalau aku malah seneng kalo ada
yang ngeritik. Ah, wanita memang susah dimengerti.”
Aku menahan diri untuk tidak berkomentar sambil mengepal-kepalkan telapak

tanganku di samping baju. Rasanya darahku sudah mendidih sampai ke otak.
Melawan kata-katanya hanya akan memicu perdebatan yang sulit diramalkan
endingnya.
”Eh, udah deh, aku pergi dulu ya.”
Tiba-tiba rongga dadaku terasa lega mendengar kalimat terakhirnya itu. Lega.
”Tapi Ukh, sebelumnya tolong liatin muka saya ada tip-exnya nggak?”
Saking gembiranya, aku langsung menuruti persyaratan untuk membuatnya
menghilang dari hadapanku. Aku mendongak menatap wajah yang ditumbuhi
sehelai jenggot itu. ”Nggak ada, kok,” jawabku.
”Makasih ya, Ukh! Tapi bukannya kita nggak boleh memandang wajah lawan
jenis? Sudah ya, wassalamu’alaikum…!”
Tinggal aku yang bengong dan gondok habis. Ugh… kena deh! Awas ya!
***
“Assalamu’alaikum…” Sosok Tommy sudah muncul di depan kostku. Aku
celingukan mencari teman yang mungkin dibawanya serta. Nihil.
“Waalaikum salam warah-matullah.. sendirian aja, Tom? Nggak bawa temen?”
aku jadi kikuk. Serba salah. Setahuku kalau ada dua orang laki-laki dan
perempuan maka ketiganya ada setan. Hiyy. Di sini ada setan dong!
Tommy sudah empat kali berkunjung ke kostku. Aku juga sudah selalu berpesan
kalau dia harus mengajak seorang teman biar kami nggak ngobrol berdua. Tapi


http://ac-zzz.blogspot.com/
sampai sekarang dia masih suka nekat datang sendirian. Dan aku juga belum
bisa mengusirnya dengan tegas. Nggak tega.
”Afwan, tadi cuma mampir karena habis beli jus dekat sini. Udah bikin tugas
analisis konflik dan perdamaian, Ukh?”
”Udah, baru aja selesai.” Aku berusaha menghemat kata-kataku.
”Aku bingung nih, masalahnya gimana sih? Bisa minta tolong dijelasin nggak?”
Pertanyaannya bikin aku garuk-garuk kepala. Memaksaku untuk menjawab
panjang lebar. ”Bisa nggak kalo nanya di kampus aja?”
”Tapi aku kan mau ngerjain nanti malem. Besok kita juga nggak ketemu di
kampus. Padahal lusa harus dikumpulin.” Suaranya bernada kecewa.
”Emang nggak bisa nanya ke yang lain?!”
”Eh, kok ketus banget sih, Van! Aku kan udah bilang, mampir kesini karena
kebetulan habis beli jus di samping kostmu, trus inget kalau ada tugas yang aku
nggak ngerti. Jadi sekalian nanya. Malu bertanya sesat di jalan. Kita kan nggak
boleh menyembunyikan ilmu yang kita miliki. Ya udah kalau nggak boleh.”
Tiba-tiba hatiku meluluh. Kena jebakan kata-katanya. ”Emang mau nanya apa
sih?”
Tommy nyengir. ”Nah, gitu dong!”

Akhirnya terjadilah diskusi kecil kami selama hampir setengah jam.
”Makasih banyak, Vanti! Entar namamu kucantumin di daftar pustaka deh.”
Tommy berusaha melucu.
Tapi bagiku yang sudah bete banget jadi tidak lucu sama sekali. Plis dong, Akh!
”Pulang dulu ya. Sampai jumpa. Mimpi indah ya! Bu bye..”
Gleg. ”Kok sampai jumpa sih? Pake bubye pula.”
”Eh, iya, afwan. Assalamu’alaikum…”
”Alaikum salam warahmatullah.”
***
Sepertinya belakangan ini Tommy menjadi sebuah masalah bagiku. Dan entah
kenapa banyak kebetulan-kebetulan yang menyebabkan aku harus bersama
dengannya. Misalnya pernah waktu jalan tiba-tiba kebetulan dia juga sedang
jalan kaki dan tanpa sungkan-sungkan langsung mengajak ngobrol. Waktu beli

http://ac-zzz.blogspot.com/
makan di kantin juga ketemu. Tiga kali ketemu di toko buku. Ke perpustakaan
juga ketemu. Di luar kebetulan-kebetulan itu, Tommy juga sering sekali
mengirim sms, menelepon, dan menanyakan hal-hal yang sama sekali tidak
penting. Suka curi-curi pandang, suka memujiku, dan hal-hal lain yang
menurutku sangat menjengkelkan. Rasanya aku ingin beberapa hari cuti jadi

orang yang mengenalnya, biar kalau ketemu lagi aku tidak perlu merasa begitu
bosan seperti sekarang.
”Jangan-jangan kalian jodoh” Aku hampir tersedak waktu Ika tiba-tiba
mengucapkan hal itu. Memecahkan keasyikanku menikmati makan siang di
kantin Yu Jum.
”Uhuk… uhuk… hari gini ngomongin jodoh?!” aku buru-buru minum karena
tenggorokanku tercekat.
”Emangnya nggak boleh? Kuliah sudah semester lima, umur sudah kepala dua.
Kalau memang jodoh kan bisa segera…” Ika cengar-cengir melihatku.
”Astaghfirullah, ngapain sih ngomong kaya gitu, Ka? Jodoh itu rahasia Allah,
dengan siapa dan kapan itu rahasia Allah. Nggak usah dipikirin pun toh kalau
sudah tiba waktunya akan datang sendiri. Nggak bisa diundur dan nggak bisa
dipercepat.”
”Iya, tapi kan kalau memang sudah siap maka makruh hukumnya menundanunda

pernikahan.”

Kali

ini


Ika

mengedip-ngedipkan

matanya

centil.

Membuatku serasa semakin ingin menghilang.
”Yee, siapa yang bilang sudah siap nikah?”
”Lho, kamu belum tahu ya? Tommy kan mau nikah muda! Jadi… jangan-jangan
dia sudah punya calon. Siapa tahu…! Inget lho, kalau sudah ketemu jodoh dan
mampu,

maka

makruh

hukumnya


menunda

pernikahan.”

Ika

kembali

bersemangat sekali membuatku jengkel.
”Udah ah… kamu bikin aku kehilangan nafsu makan aja, Ka! Kalau kamu
berminat, bungkus deh buat kamu!” Ika hanya terkekeh mendengarnya.
***

http://ac-zzz.blogspot.com/
Entah kenapa tanpa kusadari, obrolan dengan Ika itu menghantui pikiranku.
”Iya, jangan-jangan, jangan-jangan… oh tidak! Paling hanya aku yang ke-geeran.
New sms! Handphoneku tiba-tiba mengoceh sendiri.
Ups, dari Tommy!
Vanti yang baik, tolong ya siapin surat izin pinjam tempat buat syura besok.

Plizz, you are my only hope =)
Ih, apa-apaan sih ini kok minta tolong saja merayunya sampai maut begini.
Nggak menghargai banget, masa ngomong sama akhwat masih tetap gombalgambel kaya gini sih. Tiba-tiba pikiranku kembali melayang pada perkataan Ika
siang tadi. Jangan-jangan…. Kadang sikapnya memang suka aneh sih, suka
ngajak ngobrol lama-lama, suka memuji, suka sok kebetulan mampir dengan
alasan beli jus. Padahal di dekat kostnya pasti juga ada yang jual jus, ngapain
juga jauh-jauh beli jus sampai ke sini. SMS yang model begitu juga bukan
barang baru lagi. Ihh.
***
”Hati-hati lho, Van!”
”Kenapa?” alis mataku terangkat refleks.
”Hati-hati lah… sama ikhwan kaya gitu!” tukas Evi, tetangga kamarku.
”Tahu nggak, kemarin Tommy ke sini lagi lho…”
”O ya?” kini mataku yang terbelalak.
”Hati-hati sama hatimu sendiri. Kan kamu sendiri yang bilang apa tuh… witing
tresna jalaran suka kulina. Nah, kalau kamu tiba-tiba jadi suka sama dia garagara dia sering ke sini gimana?” Evi menatapku serius.
”Apalagi kalian sudah kenal sejak kecil kan?” pertanyaannya semakin
menusukku.
”So what gitu lho…”
”Ya silakan ditafsirkan sendiri… aku cuma mengingatkan, setan itu cerdik bin
lihai lho…”
Aku manggut-manggut.
”Harus bisa tegas!” tambah Evi lagi.

http://ac-zzz.blogspot.com/
”Tegas? Maksudnya, kalau dia dateng lagi aku harus apa? Kalau dia sms nggak
usah dibales gitu?”
”Iyalah… kalau dia dateng tuh, nggak usah dibukain pintu! Kalau sms nggak
usah dibales. Kalau becanda nggak usah diladeni, pokoknya bersikaplah
dingin!”
”O… gitu ya?”
***
Ternyata saran Evi cukup jitu. Tommy tidak lagi menjadi masalah bagiku dalam
tiga minggu terakhir. Senangnya….
”New sms!”
Kuraih handphoneku.
Tommy!
Ass. Van, tidak saya kira, anti juga bisa bersikap tegas dan cool. Cocok dengan
kriteria saya. Jadi, kapan anti siap menikah?
Pliss dong, Akh!
Tiba-tiba mataku memanas. Aku tidak sanggup bernapas lagi.
***
Diambil dari Majalah Annida, No. 2/XVI/15 Oktober – 15 Nopember 2006.
Simak cerita-cerita menarik lainnya di Majalah Annida “Cerdas, Gaul & Syar’i”.

Cinta Sepotong Mimpi
Penulis : Hara Hope*

http://ac-zzz.blogspot.com/
Dapatkah seseorang mencinta hanya karena sepotong mimpi? Mustahil. Namun,
adikku semata wayang mengalaminya – setidaknya itu yang diakuinya.
Gadis yang dicintainya adalah Lala, adik sepupunya sendiri. Wajar, bukan?
Bahkan, menjadi halal saat kedua orang tuaku kemudian berpikir untuk
meminangnya.
Semua berawal dari penuturan Jamal. Ia bilang, ia memimpikan Lala sebagai
gadis yang diperkenalkan Ibu kepadanya sebagai calon istrinya.
“Kami sudah saling mengenal, Bu,” kata Jamal dalam mimpi itu dengan malumalu. Gadis itu pun mengangguk dengan senyum malu-malu pula.
Sebenarnya Jamal tidak terlalu meyakini gadis itu adalah Lala. Wajahnya samar
terlihat. Namun, Jamal merasakan aura gadis itu cukuplah ia kenal. Hebatnya,
ini diperkuat oleh ayah kami. Di malam yang sama, beliau bermimpi tentang
Jamal yang duduk di kursi pelaminan bersama Lala! Apakah ini pertanda?
Entah. Hanya saja, sejak itu aku merasakan pandangan Jamal terhadap Lala
berubah.
Mereka sebenarnya teman bermain di waktu kecil, namun tak pernah bertemu
lagi sejak remaja. Keluarga Lala tinggal jauh di Surabaya, sementara kami di
Jakarta. Kami jarang berkumpul, bahkan saat lebaran, sehingga kenangan yang
dimiliki Jamal tentang Lala adalah kenangan di masa kecil dulu sebagai abang
yang kasih kepada adiknya. Kasih dimana sama sekali tak terpikirkan untuk
memandang Lala sebagai gadis yang pantas dicintai, bahkan halal dinikahi.
Namun, mimpi itu mampu menyulap semuanya menjadi…cinta (?).
Mari katakan aku terlalu cepat menyimpulkan sebagai cinta. Barangkali saja itu
hanya pelangi yang tak kunjung sirna mengusik relung hati adikku. Pelangi yang
mampu merubahnya menjadi sok melankolis hingga membuat kami sekeluarga
khawatir melihat ia kerap termenung menatap kejauhan, untuk kemudian
mendesah perlahan.
“Mungkin kau harus menemuinya di Surabaya,” kata Ibu.
”Rasanya tak usah, Bu. Masak hanya karena bunga tidur aku menemuinya,”
jawab Jamal.
”Barangkali saja itu pertanda.”

http://ac-zzz.blogspot.com/
”Bahwa Lala jodoh saya?”
”Bukan. Bahwa sudah lama kau tak mengunjungi mereka untuk bersilaturahmi.
Biar nanti Mbakmu dan suaminya yang menemanimu kesana.”
Jamal tertegun sejenak untuk kemudian mengangguk.
Wah, pintar sekali Ibu membujuk. Padahal tanpa sepengetahuan adikku yang
pendiam itu, Ibu menyerahi kami tugas untuk ”meminang” Lala. Ibu betul-betul
yakin mimpi itu sebagai pertanda sehingga memintaku menanyakan kepada Lala
tentang kemungkinan kesediaannya dipersunting Jamal.
”Kenapa tidak minta langsung saja pada Paklik? Biar mereka dijodohkan saja,”
kataku waktu itu.
”Ah, adikmu itu takkan mau.”
”Tapi…”
”Sudahlah. Ibu tahu Jamal belum terlalu dewasa. Kuliah saja belum selesai.
Tapi setidaknya ia memiliki penghasilan dari usaha sambilannya berdagang,
‘kan?”
“Bukan itu maksudku. Apa Ibu yakin Jamal mau dengan Lala? Barangkali saja
mimpinya hanya romantisme sesaat.”
Ibu tercenung. Aku yakin Ibu belum memastikan ini. Yang beliau tahu hanya
Jamal yang bertingkah aneh. Itu saja. Selebihnya ia perkirakan sendiri.
Sepertinya justru Ibulah yang ngebet ingin meminang Lala.
”Kupercayakan semua itu padamu.”
Walah! Berarti tugasku berlipat-lipat! Selain memastikan kesediaan Lala, aku
pun harus memastikan perasaan adikku sendiri.
***
Ia diam. Sudah kuduga reaksinya begitu jika kutanyakan tentang kemungkinan
perjodohannya dengan Lala.
“Kamu mencintainya?” Aku mengganti pertanyaan. Kali ini Jamal malah
terkekeh.
”Mungkin… Entahlah. Rasanya tak wajar.”

http://ac-zzz.blogspot.com/
Tentu saja tak wajar! Bagiku, mencinta karena sepotong mimpi hanya omong
kosong. Lagi pula Jamal tak tahu seperti apa wajah dan kepribadian Lala
dewasa ini. Aku pun tak tahu.
“Santai saja, Mal. Tak usah dipikirkan. Yang penting kita tiba dulu di sana,”
kata Bang Rohim, suamiku.
***
Setiba di Surabaya, kami disambut keluarga Lala hangat.
”Wah, iki Jamal tho? Oala, wis gedhe yo?!” ucap Bulik.
Jamal hanya tersenyum. Apalagi saat pipi gendutnya dijawil Bulik seperti saat
ia kanak-kanak dulu.
”Mana Lala, Bulik?” tanyaku saat tak mendapati anak semata wayangnya itu.
”Ada di dapur. Sedang bikin wedhang.”
Aku segera ke dapur. Aku sungguh penasaran seperti apa Lala sekarang. Kulihat
seorang gadis di sana. Subhanalah, cantiknya! Ia mencium tanganku. Hmm,
santun pula. Cukup pantas untuk Jamal. Tapi, aku harus menahan diri. Kata
Bang Rohim, butuh pendekatan persuasif untuk menjalankan misi ini. Aku tak
yakin aku bisa sehingga menyerahkan sepenuhnya skenario kepadanya.
Tak banyak yang dilakukan Bang Rohim selain meminta Lala menjadi guide
setiap kami bertiga pergi ke pusat kota. Ia melarangku membicarakan soal
perjodohan, pernikahan, pinangan atau apapun istilahnya kepada Lala.
Katanya, kendati kami keluarga dekat, sudah lama kami tidak saling bersua.
Bisa saja Lala memandang kami sebagai ”orang asing”. Upaya melancong
bersama ini demi untuk mengakrabkan kembali Jamal, Lala dan aku. Kiranya ini
dapat

memudahkanku

saat

mengutarakan

maksud

kedatangan

kami

sesungguhnya nanti.
Malam ini saat dimana aku diperbolehkan suamiku mengungkapkan semuanya
kepada Lala. Seharusnya memang begitu. Tapi Jamal mendahuluiku. Tak
kusangka ia serius dengan perasaannya. Ia utarakan semuanya. Tentang
mimpinya, tentang jatuh cinta, bahkan tentang pinangan.

http://ac-zzz.blogspot.com/
“Mungkin Dik Lala menganggap ini konyol. Abang juga merasa begitu. Tapi,
setidaknya sekarang Abang yakin dengan perasaan Abang. Jadi, mau tidak kalau
Lala Abang lamar?”
Bukan manusia kalau Lala tidak kaget ditembak seperti itu. Ia tampak galau.
Seperti aku dulu. Sayang Lala tak merespon seperti aku merespon pinangan
Bang Rohim dulu.
“Maaf, Mas. Aku terlanjur menganggapmu sebagai kakak. Rasanya sulit untuk
merubahnya.”
Berakhirlah. Sampai di sini saja perjuangan kami di Surabaya. Jamal tersenyum
mengerti, namun kuyakini hatinya kecewa. Cintanya yang magis tak berakhir
manis. Kami pulang ke Jakarta dengan penolakan.
Sejak hari itu, Jamal tak terlihat lagi melankolis. Ia kembali sibuk dalam
aktivitasnya. Adikku itu benar-benar hebat. Kendati patah hati, ia tak mau
larut dalam perasaannya. Bahkan, belakangan aku tahu ia belum menyerah.
Setidaknya penolakan itu berhasil mengakrabkan kembali Jamal dengan Lala.
Mereka berdua kerap berkirim SMS sekedar menanyakan kabar ataupun saling
bercerita. Jamal betul-betul memandang ini sebagai peluang untuk mengubah
pandangan Lala terhadapnya.
Waktu

kian

berganti

hingga

masa

dimana

Jamal

mengutarakan

lagi

keinginannya itu. Sayang ditolak lagi. Begitu berulang hingga tiga kali.
Ayah dan Ibu prihatin melihatnya. Mereka tak bisa berbuat banyak. Keinginan
mereka untuk menjodohkan saja keduanya Jamal tolak.
”Syarat orang yang menjadi calon istriku, haruslah tulus ikhlas menjadi
pendampingku. Atas kemauannya sendiri, bukan pihak lain!” Begitu alasannya
selalu.
Terserahlah apa katanya. Tapi ini sudah menginjak tahun kelima Jamal
memelihara cinta tak kesampaian ini. Usianya kian mendekati kepala tiga.
Cukup mengherankan ia tetap memeliharanya terus. Rasanya tak layak cinta itu
dipelihara terus. Ia harus diberangus. Lala bukanlah gadis terakhir yang hidup
di dunia. Untuk itu Ibu, Ayah dan aku kongkalikong untuk membunuh cinta
Jamal. Sudah saatnya ia mempertimbangkan gadis-gadis lain. Kebetulan ada

http://ac-zzz.blogspot.com/
yang mau. Pak Haji Abdullah sejak lama ingin bermenantukan Jamal dan
menyandingkannya dengan Azisa, anak sulungnya. Kami susun perjodohan
tanpa sepengetahuan Jamal. Lantas, kami sekeluarga berusaha ”menghasut”
Jamal untuk memperhitungkan keberadaan Azisa, temannya sejak SMU itu.
Alhamdulillah berhasil. Hati Jamal mulai terbuka untuk Azisa sehingga saat Pak
Haji Abdullah meminta dirinya menjadi menantu, ia tak punya lagi pilihan
selain mengiyakan.
***
Kesediaan Jamal memang sudah didapat, namun anehnya ia tak kunjung juga
menentukan tanggal pernikahan. Kali ini naluriku sebagai kakak turut bermain.
Rasanya Jamal tengah menghadapi masalah yang tak dapat dibaginya kepada
siapapun, termasuk Azisa. Saatnya aku menjadi kakak yang baik untuknya.
”Entahlah, Mbak. Rasanya aku tak siap untuk menikah.”
Mataku terbelalak saat Jamal mengutarakan penyebabnya.
”Apa pasal?” tanyaku agak jeri. Aku tak berani membayangkan jika Jamal tibatiba membatalkan perjodohan. Keluarga kami bisa menanggung malu!
”Rasanya Azisa bukan jodohku.”
Aku semakin terkesiap. Aku mulai menduga-duga arah pembicaraannya.
”Lala-kah?” tanyaku. Jamal mengangguk pelan, namun pasti.
”Sebenarnya mimpi tempo hari itu tak sekonyong datang. Aku memintanya
kepada Tuhan. Aku meminta Dia memberikan petunjuk tentang jodohku kelak.
Dan yang muncul ternyata Lala!”
Aku kembali terdiam. Aku benar-benar payah. Sudah setua ini, masih saja tak
dapat menjadi kakak yang baik buat Jamal. Aku bingung harus menanggapi
bagaimana.
”Maafkan jika selama ini Mbak tak bisa menjadi kakak yang baik, Mal. Bahkan
untuk masalahmu satu ini pun Mbak tak bisa menjawab. Hanya saja, kita tak
akan pernah benar-benar tahu apa yang kita yakini benar itu sebagai
kebenaran,

Mal.

Termasuk

mimpimu.

Mbak

tidak

tahu

lagi

harus

menganggapnya omong kosong ataukah benar-benar pertanda. Kalaulah mimpi
itu pertanda, pasti banyak sekali maknanya.”

http://ac-zzz.blogspot.com/
”Kamu memaknainya sebagai cinta dan jodoh, Ibu memaknainya sebagai
silaturahmi dan Ayah memaknainya sebagai tipikal istri ideal bagimu. Bukankah
Azisa pun tak berbeda jauh dengan Lala? Mimpi itu nisbi, Mal.”
Jamal hanya mendesah pelan sambil memandang kejauhan. Mukanya masam.
Mungkin tak menghendaki aku bersikap tak mendukungnya.
”Mungkin,” lanjutku, ”ini hanya masalah cinta saja. Mungkin hatimu masih
hidup dalam bayangan Lala dan tak pernah sekali pun memberi kesempatan
untuk dimasuki Azisa. Kau hidup di kehidupan nyata, Mal. Sampai kapan akan
menjadi pemimpi?!”
Aku tersentak oleh ucapanku sendiri. Tak kuduga akan mengucapkan ini. Bukan
apa-apa. Beberapa waktu lalu kami mendengar kabar Lala menerima pinangan
seseorang. Kendati menyerah, aku yakin Jamal masih memiliki cinta untuk
Lala. Ia pasti sakit. Aku betul-betul kakak yang tak peka. Aku menyesal. Aku
peluk Jamal, menangis sesal.
Jamal turut menangis. Isaknya berenergi kekesalan, kekecewaan, kesepian,
keputus-asa-an, bahkan kesepian. Aku terenyuh. Betapa ia menderita selama
ini.
“Besok kita batalkan saja perjodohan dengan Azisa, Mal. Itu lebih baik
ketimbang kau tak ikhlas menjalaninya nanti. Itu katamu tentang pernikahan,
‘kan? Kita bicarakan dulu dengan Ayah dan Ibu.”
Kupikir ini yang terbaik. Tak bijak rasanya tetap berkeras melangsungkan
perjodohan di saat Jamal rapuh begini. Di saat Jamal terluka dan bimbang pada
perasaannya. Biarlah keluarga kami menanggung malu bersama.
“Tidak. Kita teruskan saja. Aku ikhlas menjalani sisa hidupku bersama Azisa.
Mungkin aku hanya membutuhkan sedikit menangis saja. Aku pergi dulu ke
rumah Pak Haji untuk membicarakan ini. Assalamu’alaikum.”
Kutatap kepergian Jamal dengan perasaan tak tentu. Kalau diingat semua ini
terjadi karena mimpi. Ya, Allah apakah benar mimpi itu pertanda-Mu? Jikalau
benar kenapa sulit sekali terrealisasi? Jika pun tidak benar kenapa banyak
orang mempercayai?

http://ac-zzz.blogspot.com/
Aku terpekur. Maafkan aku adikku. Aku hanyalah insan, yang tak mampu
menerjemahkan segala misteri-Nya, bahkan yang tersurat sekalipun. Aku hanya
berusaha. Dia tetap yang menentukan. Maafkan aku.

* Juara Harapan IV Lomba Menulis Cerpen Ummi 2004.

Calon Buat Ajeng
Penulis : Asma Nadia

Calon Suami???!
Pfui, kuhembuskan nafasku kuat-kuat. Bosan aku. Lagi-lagi calon suami yang
dibicarakan. Bayangin, sudah dua bulan ini tidak ada topik yang lebih trend di
rumah, selain soal suami.
Mulai dari Papi yang selalu nyindir, sudah pengen menimang cucu. Mami yang
berulang-ulang menasihatiku agar jangan terlalu pilih-pilih tebu. Lalu
Bambang, adikku, yang kuharap bisa menetralisir suasana, tak urung ikut
menggoda. Bahkan si kembar Rani-Rano, yang masih es em pe pun, ikut-ikutan
menceramahiku.
”Mbak Ajeng kan udah jadi insinyur, udah waktunya dong, mikirin berkeluarga.
Lagian, Rani sama Rano kan udah pengen dipanggil ’Tante dan Oom’. Tika aja
yang baru kelas enam, keponakannya udah empat!”
”Iya, Mbak. Jaman sekarang, perempuan itu harus agresif. Mbak Ajeng sih,
kerjanya belajar ama ngaji melulu!” Rano menimpali kata-kata kembarnya.
Aku hanya bisa melotot, nemu di mana lagi pendapat kayak gitu.

http://ac-zzz.blogspot.com/
”Udah sana kalian belajar!” hardikku agak keras.
”Tuh, kaaaan?!?” seru mereka berdua kompak.
Huhh, dasar kembar!
***
”Ajeng…!”
Kudengar panggilan Mami dari depan. Pelan aku bangkit dari meja belajar.
Setelah merapikan jilbab, aku keluar.
”Ada apa, Mi?” tanyaku lunak. Sekilas sempat kulihat sosok seorang lelaki,
duduk di sudut ruangan.
Kedua bola mata Mami tampak bersinar-sinar. Oo…Oo…! Pasti ada yang nggak
beres, gumamku dalam hati. Iiih..su’udzon! Tapi….
Benar saja.
“Ajeng, kenalin. Ini tangan kanan Papi di kantor. Hebat, ya! Masih muda sudah
jadi Wakil Presiden Direktur. Ayo, kenalin dulu. Ini Nak Bui….”
”Boy, Tante!”
”Eh, iya. Boi!”
Aku hanya bisa menahan geli. Mami…Mami…!
Rasa geliku mendadak hilang, ketika selama dua jam berikutnya aku harus
mendengarkan obrolan Mami dengan Si Boi tadi.
Bukan main, lagaknya! Batinku menggerutu sendiri, mendengar cerita-ceritanya
yang melulu berbau luar negeri.
”Jadi, Tante, selama belajar di Harvard, saya sudah coba-coba berbisnis
sendiri. Hasilnya lumayan. Saya bisa jalan-jalan keliling Amerika, bahkan Eropa
setiap kali holiday!”
Hihhh, gemas aku! Terlebih melihat pancaran kagum di wajah Mami. Benarbenar nggak peka nih anak. Kok bisa sih nggak merasa dicuekin? Tetap aja
ngomong. Tak perduli aku yang cuma diam dan sesekali manggut. Kupanjatkan
syukur yang tak terkira ketika akhirnya Si Boi pulang. Alhamdulillah!
***
Kulihat Bambang tertawa. Kesal, kulemparkan bantal ke arahnya. Orang cerita
panjang lebar minta advise, kok cuma diketawain?!?

http://ac-zzz.blogspot.com/
”Bang, serius, dong! Pokoknya kalau nanti Mami nanyain kamu soal Boy, awass
kalau kamu setuju!” ancamku serius. Bambang masih cengar-cengir.
”Mbak Ajeng gimana, sih? Biasanya Mbak yang nyuruh aku sabar menghadapi
segala sesuatu. Lho, kok sekarang malah panasan gini? Tenang aja, Mbak,
sabar! Innallaha ma’ashshabirin!” balasnya sambil mengutip salah satu ayat di
Al-Quran.
Iya, ya. Kenapa aku jadi nggak sabaran gini. Baru juga ngadepin si Boy.
Astaghfirullah!
”Mbak bingung, Bang! Habis serumah pada mojokin semua. Kamu ngerti, kan,
milih suami itu nggak mudah. Nyari yang shalih sekarang susah. Mbak nggak
pengen gambling. Salah-salah pilih, resikonya besar. Nggak main-main, dunia
akhirat!”
Sekejap, kulihat keseriusan di matanya. Cuma sekejap, sebelum ia kembali
menggodaku.
”Apa perlu Bambang yang nyariin???!”
Lemparan bantalku kembali melayang.
***
Kriiiiing…!!!
Ups, kumatikan bunyi weker

yang membangunkanku. Jam

tiga lebih

seperempat. Aku bangun dari tempat tidur, bergegas ke kamar mandi untuk
berwudhu. Kuperhatikan lampu kamar Bambang masih menyala. Sayup-sayup
suara kaset murattal terdengar.
Tercapai juga niatnya untuk begadang malam ini, pikirku. Heran, kebiasaan
menghadapi ujian dengan pola SKS (Sistem Kebut Semalam) masih membudaya
rupanya.
Cepat kuhapuskan pikiran tentang Bambang dan ujiannya. Mataku nanar
menyaksikan pantulan wajahku di cermin. Kuhapus tetesan air wudhu yang
tersisa dengan handuk kecil. Oooohh, begini rupanya gadis di penghujung usia
dua puluh sembilan? Kuperhatikan bentuk wajahku yang makin tirus. Baru
kusadari, betapa pucatnya wajah itu. Entah kemana perginya rona merah yang
biasa hadir di sana. Mungkin hilang termakan usia. Ya Rabbi, pantas saja Papi

http://ac-zzz.blogspot.com/
dan Mami begitu khawatir. Sudah sulung mereka tak cantik, menjelang tua,
lagi!
”Ir. Ajeng Prihartini.” Kueja namaku sendiri.
”Jangan cemas ya ukhti, ini bukan nasib buruk!” Bisikku menghibur. Bagaimana
pun aku harus tetap tawakkal pada Allah. Jodoh, rizki, dan maut, Dia yang
menentukan. Berjodoh di dunia bukanlah satu kepastian yang akan kita raih
dalam hidup. Tidak, ada hal lain yang lebih penting, lebih pasti. Ada kematian,
maut yang pasti kita hadapi. Sesuatu yang selama ini sering kuucapkan kepada
saudaraku muslimah yang lain, ketika mereka ramai meresahkan calon suami
yang tak kunjung datang.
”Sebetulnya kita ini lucu, ya? Lebih sering mempermasalahkan pernikahan, hal
yang belum tentu terjadi. Maksud Ajeng, bergulirnya waktu dan usia, nggak
seharusnya membuat kita lupa untuk berpikir positif terhadap Allah. Boleh jadi
calon kita ini nggak buat di dunia, tapi disediakan di surga. Mungkin Allah ingin
memberikan yang lebih baik, who knows?” ujarku optimis, dua tahun yang lalu.
Astaghfirullah! Ishbiri ya ukhti, isbiri….
Tanganku

masih

menengadah,

berdoa,

saat

kudengar

azan

Subuh

berkumandang. Hari baru kembali hadir. Alhamdulillah, terima kasih ya Allah,
untuk satu hari lagi kesempatan beramal dan taubat, yang masih Kau berikan.
***
Selesai berurusan dengan Mami untuk masalah Boy, gantian aku harus
menghadapi Tante Ida yang siap mempromosikan calonnya. Duhh! Lagi-lagi aku
cuma bisa manggut-manggut.
”Tante sih terserah Ajeng. Pokoknya lihat aja dulu. Syukur-syukur Ajeng suka.
Dia anak lurah. Bapaknya termasuk juragan kerbau yang paling kaya di Jawa.
Tapi nggak kampungan, kok. Anak kuliahan juga seperti kamu!” promosi Tante
Ida bersemangat.
Dua hari kemudian, Tanteku itu kembali datang dengan ’balon’nya.
”Junaedi. Panggil aja Juned!”
Aku hanya mengangguk. Tak membalas uluran tangan yang diajukannya.

http://ac-zzz.blogspot.com/
Selama pembicaraan berikutnya, berkali-kali aku harus menahan diri, untuk
tidak lari ke dalam. Aku tidak ingin menyinggung perasaan Tante Ida. Apalagi
beliau bermaksud baik. Hanya saja, asap rokok Juned benar-benar membuatku
mual. Malah nggak berhenti-henti. Habis sebatang, sambung sebatang. Persis
lokomotif uap jaman dulu!
Dengan berani pula ia mengomentari penampilanku.
”Eng…jangan tersinggung ya, Jeng. Aku suka bingung sendiri ngeliat perempuan
yang memakai kerudung. Kenapa sih tidak pintar-pintar memilih warna dan
mode?! Aku kalau punya isteri, pasti tak suruh beli baju yang warna-warnanya
cerah, menyala. Sekaligus yang bervariasi. Seperti yang dipakai artis-artis kita
yang beragama Islam itu lho, sekarang. Ndak apa-apa toh sedikit kelihatan
leher atau betis?! Maksudku biar tidak terlihat seperti karung berjalan gitu lho,
Jeng! Hahaha….”
Kontan raut mukaku berubah. Tanpa menunggu rokok keenamnya habis, aku
mohon diri ke dalam. Tak lama kudengar suara Juned pamitan. Alhamdulillah.
Ketika Tante Ida menanyakan pendapatku, hati-hati aku menjawab.
”Maaf ya, Tan…, rasanya Ajeng nggak sreg. Terutama asap rokoknya itu, lho.
Soalnya Ajeng punya alergi sama asap rokok. Mana kelihatannya Juned perokok
berat, lagi. Maaf ya, Tan…, udah ngerepotin.”
Bayang kekecewaan tampak menghiasi raut muka Tante Ida.
”Bener, nih…nggak nyesel? Tante cuma berusaha bantu. Ajeng juga mesti
memikirkan perasaan Mami sama Papi. Susah lho, nyari yang seperti Juned.
Udah ganteng, dokterandes lagi! Terlebih kamu juga sudah cukup berumur.”
Bujukan Tante Ida tak mampu menggoyahkanku. Dengan masih kecewa, beliau
beranjak keluar. Sempat kudengar Tante Ida berbicara dengan Papi dan Mami.
Sempat pula kudengar komentar-komentar mereka yang bernada kecewa,
sedih. Ya Allah, kuatkan hamba-Mu!
Hari berangsur malam. Aku masih di kamar, mematung. Beragam perasaan
bermain di hatiku. Sementara itu, hujan turun rintik-rintik.
***

http://ac-zzz.blogspot.com/
Siang begitu terik. Langkahku lesu menghampiri rumah. Capek rasanya jalan
setengah harian, dari satu perpustakaan ke perpustakaan IPB lainnya. Namun
buku yang kucari belum juga ketemu. Padahal buku itu sangat kuperlukan
untuk menghadapi ujian pasca sarjanaku sebentar lagi. Sia-sia harapanku untuk
bisa beristirahat pulang ke Depok. Kereta yang kutumpangi benar-benar penuh.
Sudah untung bisa berdiri tegak, dan tidak doyong ke sana ke mari, terdesak
penumpang yang lain.
”Assalamu’alaikum!” perasaanku kembali tidak enak, melihat Mami yang tidak
sendirian. Seorang lelaki berjeans, dengan sajadah di pundak, dan kopiah di
kepala, tampak menemani beliau. Jangan…jangan….
”Wa’alaikumussalam. Nah, ini Ajengnya sudah pulang. Ajeng, sini sayang.
Kenalkan, Saleh. Putera Pak Camat yang baru lulus dari pondok pesantren di
Kalimantan. Kalian pasti bisa bekerja sama mengelola kegiatan masjid di sini.
Lho, Ajeng…, kok malah diam? Maaf Nak Saleh, Ajeng memang pemalu
orangnya.”
Duhh, Mami!
Kali ini Mami membiarkanku berdua dengan tamunya itu. Risih, kuminta Rani
mendampingiku. Dia setuju setelah aku janji akan menemaninya mendengar
ceramah di Wali Songo, pekan depan.
Selama Saleh berbicara, aku menunduk terus. Bisa kurasakan pandangannya
yang jelalatan ke arahku. Dengan gaya bahasa yang tinggi, Saleh bercerita
tentang berbagai kitab berbahasa Arab yang telah dia kuasai. Bukan main. Lalu
ia mulai membahas satu persatu perbedaan pendapat di kalangan umat Islam.
Soal doa qunut, perbedaan doa iftitah, masalah posisi telunjuk ketika tahiyat,
dan lain-lain yang senada.
Terus terang, aku tidak begitu setuju dengan caranya. Betul bahwa semuanya
harus kita ketahui. Tapi bagiku, dengan makin meributkannya, hanya akan
memperuncing perbedaan yang ada. Cukuplah bahwa masing-masing berpegang
pada sunnah Rasulullah. Tentunya akan lebih baik, jika kita justru berusaha
mencari titik temu atau persamaan, dan bukan malah memperlebar jurang
perbedaan.

http://ac-zzz.blogspot.com/
”Kalau menurut Saleh, kasus Bosnia itu bagaimana?” tanyaku mengalihkan
perhatian.
”Oooh, itu. Ane sangat tidak setuju. Menurut pendapat dan analisa ane, tidak
seharusnya masalah Bosnia itu digembar-gemborkan. Itu akan membuat sikap
tersebut kian membudaya. Sudah saatnya pola sikap ngebos, dan penghargaan
masyarakat

terhadap

orang-orang

yang

punya

kedudukan,

diarahkan

sewajarnya. Agar tidak berlebihan.” ulasnya panjang lebar.
Gantian aku yang bingung.
”Saya…saya tidak paham apa yang Saleh maksudkan.” ujarku sedikit gagap.
”Kenapa? Apa karena bahasa yang ane gunakan terlalu tinggi atau bagaimana,
hingga Ajeng sulit memahami?”
Aku tambah melongo.
”Bukan itu, ini…, Bosnia yang mana, yang Saleh maksudkan?” tanyaku makin
bingung.
”Lha, yang nanya kok malah bingung?! Yang ane bicarakan tadi ya tentang
Bosnia, Boss-Mania, kan maksud Ajeng?!!”
Ufh, kutahan tawa yang nyaris meledak. Bingung aku, ternyata masih saja ada
orang yang meributkan hal-hal yang relatif lebih kecil, dan melupakan masalah
lain yang lebih besar. Dari sudut mataku, kulihat Rani pringas-pringis menahan
geli, sambil mempermainkan kerudung pink-nya. Lucu sekali.
”Bukan, yang Ajeng maksudkan adalah penindasan yang terjadi pada saudarasaudara muslim kita di Negara Bosnia.” aku berusaha menjelaskan dengan
sabar.
Tampak Saleh manggut-manggut.
”Ooooh, yang itu. Ya…jelas penindasan itu tidak bisa dibenarkan. Tidak sesuai
dengan perikemanusiaan dan keadilan,” ujar Saleh optimis, lalu….
”Ngomong-ngomong, Bosnia itu di mana, sih?”
Tawa Rani meledak.
Duhhh, Mami!!!
***

http://ac-zzz.blogspot.com/
Malamnya, waktu aku protes ke Mami, soal calon-calon itu, tanpa diduga,
malah Mami yang marah.
”Lho, kamu itu gimana toh? Kata Bambang kamu maunya sama Saleh. Pas Mami
temuin, kamu bilang bukan yang seperti itu yang kamu inginkan. Jadi
sebenarnya, Saleh yang mana calon kamu itu?” suara Mami meninggi.
Aku terhenyak. Bambang yang duduk di kursi makan tersenyum simpul. Awas,
kamu de’! Bisikku gemas.
”Bukan yang namanya Saleh, Mi. Ajeng ingin orang yang saleh, yang taat
beribadah.

Orang

yang

punya

pemahaman

paling

tidak

mendekati

menyeluruhlah, tentang Islam. Yang Islamnya nggak cuma teori, tapi ada bukti.
Yang nggak jelalatan memandang Ajeng terus-terusan dari ujung jilbab sampai
kaos kaki, seperti hendak menawar barang dagangan. Ajeng tahu, usia Ajeng
sudah jauh dari cukup. Ajeng juga pengen segera menikah. Perempuan mana
sih, yang tidak ingin berkeluarga, dan punya anak?” lanjutku hampir menangis.
”Tapi…, tolong. Jangan menyudutkan Ajeng. Tolong Mami bantu Ajeng agar
bisa tetap sabar, tetap tawakkal sama Allah. Kita memang harus berusaha, tapi
jangan memaksakan diri. Biar Ajeng mesti nunggu sampai tua, Ajeng siap.
Daripada bersuamikan orang yang akhlaknya tidak Islami. Tolong Ajeng, Mi…
tolong!” Kusaksikan mata Mami berkaca-kaca. Diraihnya aku ke dalam
pelukannya. Berdua kami berisakan. Papi turut menghampiri, menepuk-nepuk
pundakku. Rani dan Reno terdiam di kursinya.
”Maafin Mami, sayang….” suara Mami lirih, memelukku makin erat.
***
Kesibukanku menulis diary terhenti.
”Mbak Ajeng…telepon tuh!” pekik Rano keras.
”Dari siapa? Kalau dari Anto Boy, Didin, Juned, atau Saleh, Mbak nggak mau
terima!” balasku agak keras.
Hening, tidak ada panggilan lanjutan dari Rano. Aku lega.
Alhamdulillah, sejak kejadian malam itu, perlahan topik trend kami bergeser.
Mami

tidak

lagi

menyodorkan

calon-calonnya,

sebelum

menanyakan

http://ac-zzz.blogspot.com/
kesediaanku. Beberapa Oom dan Tante yang datang, harus pulang dengan
kecewa karena promosi dibatalkan. Aku masing ingin menenangkan diri dulu.
Kuraih pena. Dengan hati seringan kapas, aku mulai menulis:
Kepada Calon Suamiku….
Usiaku hari ini bertambah setahun lagi.
Tiga puluh tahun sudah. Alhamdulillah. Kuharap, tahun-tahun yang berlalu,
meski memudarkan keremajaanku, namun tidak akan pernah memudarkan
ghirah Islamiah yang ada. Mudah-mudahan aku bisa tetap istiqamah di jalanNya.
Ujian pasca sarjanaku sudah selesai. Sebentar lagi, satu embel-embel gelar
kembali menghiasi namaku. Belum lama ini aku juga mengambil kursus jahit
dan memasak. Dengan besar hati pula, Mami mesti mengakui, bahwa
kemahirannya di dapur, kini sudah tersaingi.
Alhamdulillah, sekarang aku lebih bisa berkonsentrasi untuk menulis, dan
memberikan berbagai ceramah di beberapa kampus dan masjid. Baru sedikit
itulah, yang bisa kulakukan sebagai perwujudan syukurku atas nikmat-Nya yang
tak terhitung.
Calon suamiku….
Aku maklum, bila sampai detik ini kau belum juga hadir. Permasalahan yang
menimpa kaum muslimin begitu banyak. Kesemuanya membentuk satu daftar
panjang dalam agenda kita. Aku yakin ketidakhadiranmu semata-mata karena
kesibukan dakwah yang ada. Satu kerja mulia, yang hanya sedikit orang
terpanggil untuk ikut merasa bertanggung jawab. Insya Allah, hal itu akan
membuat penantian ini seakan tidak pernah ada.
Calon suamiku….
Namun jika engkau memang disediakan untukku di dunia ini, bila kau sudah
siap untuk menambah satu amanah lagi dalam kehidupan ini, yang akan
menjadi nilai plus di hadapan Allah (semoga), maka datanglah. Tak usah kau
cemaskan soal kuliah yang belum selesai, atau pekerjaan yang masih sambilan.
Insya Allah, iman akan menjawab segalanya. Percayakan semuanya pada Allah.
Jika Dia senantiasa memberikan rizki, padahal kita tidak dalam keadaan jihad

http://ac-zzz.blogspot.com/
di jalan-Nya, lalu bagaimana mungkin Allah akan menelantarkan kita,
sedangkan kita senantiasa berjihad di sabil-Nya?!
Banyaklah berdoa, Calon Suamiku, di manapun engkau berada. Insya Allah,
doaku selalu menyertai usahamu.
Wassalam,
Adinda
NB: Ngomong-ngomong, nama kamu siapa, sih?
”Syahril… Nama saya Syahril.”
Deg! Aku tersentak. Pena yang kugenggam jatuh. Rasa-rasanya kudengar satu
suara. Sedikit berjingkat, aku melangkah ke depan. Sebelum aku sempat
menyibak tirai yang membatasi ruang makan dengan ruang tamu, kudengar
suara Papi memanggilku.
”Ajeng…!”
Hampir aku terjatuh, saking tergesanya menghampiri beliau. Sekilas mataku
menyapu bayangan seorang lelaki berkaca mata, yang berdiri tak jauh dari
Papi, dengan wajah tertunduk, rapat ke dada. Di belakangnya, Bambang berdiri
dengan senyum khasnya.
”Nah, Nak Syahril, kenalkan, ini yang namanya Ajeng. Puteri sulung Oom. Lho,
kok malah nunduk?” suara ngebas Papi kembali terdengar.
Aku menoleh sesaat, yang dipanggil Syahril tetap menunduk.
”Ayo, salaman. Ini lho, Jeng…puteranya Mas Wismoyo, sahabat Papi sejak
jaman revolusi dulu, sekaligus Ass Dos-nya Bambang di FISIP. Baru lulus ya
Nak?”
Syahril mengangguk. Tapi, tetap tak ada uluran tangan.
”Assalamu’alaikum, Ajeng. Saya Syahril.”
Masya Allah! Aku masih melongo, terpana.
“Insya Allah, hari ini saya akan berta’aruf dengan Ajeng. Kalau Ajeng setuju,
khitbahnya bisa dilaksanakan besok. Sesudah itu…mudah-mudahan kita bisa
jihad bareng….”
Agak samar kudengar kalimatnya yang terakhir. Kulihat Papi tersenyum lebar,
melirikku.

http://ac-zzz.blogspot.com/
”Apa, Jeng…khitbah? Ngelamar, ya…??”
Aku mengangguk pendek, tersipu. Tawa Papi makin lebar.
Aku masih terpana.
Masya Allah, calon suamiku…eng…engng…ups, apakah…apakah…ini, kamu???
* Pemenang Harapan I LMCPI Annida.

Aku Ingin Mencintaimu Dengan
Sederhana
Penulis : Inayati

Aku memandang kalender yang terletak di meja dengan kesal. Sabtu, 30 Maret
2002, hari ulang tahun perkawinan kami yang ketiga. Dan untuk ketiga kalinya
pula Aa’ lupa. Ulang tahun pertama, Aa’ lupa karena harus rapat dengan direksi
untuk menyelesaikan beberapa masalah keuangan perusahaan. Sebagai Direktur
keuangan, Aa’ memang berkewajiban menyelesaikan masalah tersebut.
Baiklah, aku maklum. Persoalan saat itu memang lumayan pelik.
Ulang tahun kedua, Aa’ harus keluar kota untuk melakukan presentasi.
Kesibukannya membuatnya lupa. Dan setelah minta maaf, waktu aku
menyatakan kekesalanku, dengan kalem ia menyahut,” Dik, toh aku sudah
membuktikan cintaku sepanjang tahun. Hari itu tidak dirayakan kan tidak apaapa. Cinta kan tidak butuh upacara…”

http://ac-zzz.blogspot.com/
Sekarang, pagi-pagi ia sudah pamit ke kantor karena harus menyiapkan
beberapa dokumen rapat. Ia pamit saat aku berada di kamar mandi. Aku
memang sengaja tidak mengingatkannya tentang ulang tahun perkawinan kami.
Aku ingin mengujinya, apakah ia ingat atau tidak kali ini. Nyatanya? Aku
menarik napas panjang.
Heran, apa sih susahnya mengingat hari ulang tahun perkawinan sendiri? Aku
mendengus kesal. Aa’ memang berbeda dengan aku. Ia kalem dan tidak
ekspresif, apalagi romantis. Maka, tidak pernah ada bunga pada momen-momen
istimewa atau puisi yang dituliskan di selembar kertas merah muda seperti
yang sering kubayangkan saat sebelum aku menikah.
Sedangkan aku, ekspresif dan romantis. Aku selalu memberinya hadiah dengan
kata-kata manis setiap hari ulang tahunnya. Aku juga tidak lupa mengucapkan
berpuluh kali kata I love you setiap minggu. Mengirim pesan, bahkan puisi
lewat sms saat ia keluar kota. Pokoknya, bagiku cinta harus diekspresikan
dengan jelas. Karena kejelasan juga bagian dari cinta.
Aku tahu, kalau aku mencintai Aa’, aku harus menerimanya apa adanya.
Tetapi, masak sih orang tidak mau berubah dan belajar? Bukankah aku sudah
mengajarinya untuk bersikap lebih romantis? Ah, pokoknya aku kesal titik. Dan
semua menjadi tidak menyenangkan bagiku. Aku uring-uringan. Aa’ jadi benarbenar menyebalkan di mataku. Aku mulai menghitung-hitung waktu dan
perhatian yang diberikannya kepadaku dalam tiga tahun perkawinan kami.
Tidak ada akhir minggu yang santai. Jarang sekali kami sempat pergi berdua
untuk makan malam di luar. Waktu luang biasanya dihabiskannya untuk tidur
sepanjang hari. Jadilah aku manyun sendiri hampir setiap hari minggu dan
cuma bisa memandangnya mendengkur dengan manis di tempat tidur.
Rasa kesalku semakin menjadi. Apalagi, hubungan kami seminggu ini memang
sedang tidak baik. Kami berdua sama-sama letih. Pekerjaan yang bertumpuk di
tempat tugas kami masing-masing membuat kami bertemu di rumah dalam
keadaan sama-sama letih dan mudah tersinggung satu sama lain. Jadilah,
beberapa kali kami bertengkar minggu ini.

http://ac-zzz.blogspot.com/
Sebenarnya, hari ini aku sudah mengosongkan semua jadual kegiatanku. Aku
ingin

berdua

saja

dengannya

hari

ini

dan

melakukan

berbagai

hal

menyenangkan. Mestinya, Sabtu ini ia libur. Tetapi, begitulah Aa’. Sulit sekali
baginya meninggalkan pekerjaannya, bahkan pada akhir pekan seperti ini.
Mungkin, karena kami belum mempunyai anak. Sehingga ia tidak merasa perlu
untuk meluangkan waktu pada akhir pekan seperti ini.
”Hen, kamu yakin mau menerima lamaran A’ Ridwan?” Diah sahabatku
menatapku heran. ”Kakakku itu enggak romantis, lho. Tidak seperti suami
romantis yang sering kau bayangkan. Dia itu tipe laki-laki serius yang hobinya
bekerja keras. Baik sih, soleh, setia… Tapi enggak humoris. Pokoknya, hidup
sama dia itu datar. Rutin dan membosankan. Isinya cuma kerja, kerja dan
kerja…” Diah menyambung panjang lebar. Aku cuma senyum-senyum saja saat
itu. Aa’ memang menanyakan kesediaanku untuk menerima lamaranku lewat
Diah.

”Kamu kok gitu, sih? Enggak senang ya kalau aku jadi kakak iparmu?” tanyaku
sambil cemberut. Diah tertawa melihatku. ”Yah, yang seperti ini mah tidak
akan dilayani. Paling ditinggal pergi sama A’ Ridwan.” Diah tertawa geli.
”Kamu belum tahu kakakku, sih!” Tetapi, apapun kata Diah, aku telah bertekad
untuk menerima lamaran Aa’. Aku yakin kami bisa saling menyesuaikan diri.
Toh ia laki-laki yang baik. Itu sudah lebih dari cukup buatku.
Minggu-minggu pertama setelah perkawinan kami tidak banyak masalah berarti.
Seperti layaknya pengantin baru, Aa’ berusaha romantis. Dan aku senang.
Tetapi, semua berakhir saat masa cutinya berakhir. Ia segera berkutat dengan
segala kesibukannya, tujuh hari dalam seminggu. Hampir tidak ada waktu yang
tersisa untukku. Ceritaku yang antusias sering hanya ditanggapinya dengan
ehm, oh, begitu ya… Itupun sambil terkantuk-kantuk memeluk guling. Dan, aku
yang telah berjam-jam menunggunya untuk bercerita lantas kehilangan selera
untuk melanjutkan cerita.
Begitulah… aku berusaha mengerti dan menerimanya. Tetapi pagi ini,
kekesalanku kepadanya benar-benar mencapai puncaknya. Aku izin ke rumah

http://ac-zzz.blogspot.com/
ibu. Kukirim sms singkat kepadanya. Kutunggu. Satu jam kemudian baru
kuterima jawabannya. Maaf, aku sedang rapat. Hati-hati. Salam untuk Ibu.
Tuh, kan. Lihat. Bahkan ia membutuhkan waktu satu jam untuk membalas
smsku. Rapat, presentasi, laporan keuangan, itulah saingan yang merebut
perhatian suamiku.
Aku langsung masuk ke bekas kamarku yang sekarang ditempati Riri adikku.
Kuhempaskan tubuhku dengan kesal. Aku baru saja akan memejamkan mataku
saat samar-samar kudengar Ibu mengetuk pintu. Aku bangkit dengan malas.
”Kenapa Hen? Ada masalah dengan Ridwan?” Ibu membuka percakapan tanpa
basa-basi. Aku mengangguk. Ibu memang tidak pernah bisa dibohongi. Ia selalu
berhasil menebak dengan jitu.
Walau awalnya tersendat, akhirnya aku bercerita juga kepada Ibu. Mataku
berkaca-kaca. Aku menumpahkan kekesalanku kepada Ibu. Ibu tersenyum
mendengar ceritaku. Ia mengusap rambutku. ”Hen, mungkin semua ini salah
Ibu dan Bapak yang terlalu memanjakan kamu. Sehingga kamu menjadi
terganggu dengan sikap suamimu. Cobalah, Hen pikirkan baik-baik. Apa
kekurangan Ridwan? Ia suami yang baik. Setia, jujur dan pekerja keras. Ridwan
itu tidak pernah kasar sama kamu, rajin ibadah. Ia juga baik dan hormat
kepada Ibu dan Bapak. Tidak semua suami seperti dia, Hen. Banyak orang yang
dizholimi suaminya. Na’udzubillah!” Kata Ibu.
Aku terdiam. Yah, betul sih apa yang dikatakan Ibu. ”Tapi Bu, dia itu
keterlaluan sekali. Masak Ulang tahun perkawinan sendiri tiga kali lupa. Lagi
pula, dia itu sama sekali tidak punya waktu buat aku. Aku kan istrinya, bu.
Bukan cuma bagian dari perabot rumah tangga yang hanya perlu ditengok
sekali-sekali.” Aku masih kesal. Walaupun dalam hati aku membenarkan apa
yang diucapkan Ibu.
Ya, selain sifat kurang romantisnya, sebenarnya apa kekurangan Aa’? Hampir
tidak ada. Sebenarnya, ia berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakanku
dengan caranya sendiri. Ia selalu mendorongku untuk menambah ilmu dan
memperluas wawasanku. Ia juga selalu menyemangatiku untuk lebih rajin
beribadah dan selalu berbaik sangka kepada orang lain. Soal kesetiaan? Tidak

http://ac-zzz.blogspot.com/
diragukan. Diah satu kantor dengannya. Dan ia selalu bercerita denganku
bagaimana Aa’ bersikap terhadap rekan-rekan wanitanya di kantor. Aa’ tidak
pernah meladeni ajakan Anita yang tidak juga bosan menggoda dan
mengajaknya kencan. Padahal kalau mau, dengan penampilannya yang selalu
rapi dan cool seperti itu, tidak sulit buatnya menarik perhatian lawan jenis.
”Hen, kalau kamu merasa uring-uringan seperti itu, sebenarnya bukan Ridwan
yang bermasalah. Persoalannya hanya satu, kamu kehilangan rasa syukur…” Ibu
berkata tenang.
Aku memandang Ibu. Perkataan Ibu benar-benar menohokku. Ya, Ibu benar.
Aku kehilangan rasa syukur. Bukankah baru dua minggu yang lalu aku
membujuk Ranti, salah seorang sahabatku yang stres karena suaminya
berselingkuh dengan wanita lain dan sangat kasar kepadanya? Bukankah aku
yang mengajaknya ke dokter untuk mengobati memar yang ada di beberapa
bagian tubuhnya karena dipukuli suaminya?
Pelan-pelan, rasa bersalah timbul dalam hatiku. Kalau memang aku ingin
menghabiskan waktu dengannya hari ini, mengapa aku tidak mengatakannya
jauh-jauh hari agar ia dapat mengatur jadualnya? Bukankah aku bisa
mengingatkannya dengan manis bahwa aku ingin pergi dengannya berdua saja
hari ini. Mengapa aku tidak mencoba mengatakan kepadanya, bahwa aku ingin
ia bersikap lebih romantis? Bahwa aku merasa tersisih karena kesibukannya?
Bahwa aku sebenarnya takut tidak lagi dicintai?
Aku segera pamit kepada Ibu. Aku bergegas pulang untuk membereskan rumah
dan

menyiapkan

makan

malam

yang

romantis

di

rumah.

Aku

tidak

memberitahunya. Aku ingin membuat kejutan untuknya.
Makan malam sudah siap. Aku menyiapkan masakan kegemaran Aa’ lengkap
dengan rangkaian mawar merah di meja makan. Jam tujuh malam, Aa’ belum
pulang. Aku menunggu dengan sabar. Jam sembilan malam, a