INSTITUSI PESANTREN SEBAGAI PRODUK JIHAD

INSTITUSI PESANTREN SEBAGAI PRODUK JIHAD INTELEKTUAL: SEBUAH
SUMBANGSIH BESAR KAUM SANTRI TERHADAP DUNIA PENDIDIKAN INDONESIA
Oleh
Khairul Amin
Prolog
Sejarah Islam di bumi Nusantara tak dapat terlepas dari bayang kaum muslimin. Sebagai
kaum mayoritas, peran vital kaum muslimin begitu besar. Peran penting ini terlihat dalam seluruh
aspek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan jauh sebelum lahirnya negara yang
Indonesia secara de jure dan de facto, peran strategis itu sudah nampak terlihat. Salah satunya
peran ialah pembangunan dan pengembangan budaya ilmu serta pengetahuan. Bahkan peran ini
masih sangat dirasakan hingga kini.
Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan primer umat manusia. Transfer ilmu dan
pengetahuan yang terintegrasi dalam pendidikan menunjang keberlangsungan hidup manusia.
Ilmu dan pengetahuan berfungsi sebagai bekal menjalani kehidupan. Maka proses pendidikan
dan institusi pendidikan mutlak dibutuhkan. Indonesia sebagai sebuah negeri, memiliki institusi
pendidikan lokal yang telah mengakar kuat dengan kultur kehidupan masyarakatnya. Institusi ini
jauh ada sebelum proklamasi kemerdekaan sebuah negeri bernama Indonesia. Institusi ini
umumnya dinamakan pesantren (ada juga yang menamakan surau atau dayah). Adanya Institusi
sebagai reaksi atas permasalahan kebutuhan akan ilmu dan pengetahuan. Inilah Jihad intelektual
Para ‘ulama dan kaum santri.
Masuknya Islam ke Nusantara

Islam sebagai agama dakwah mulai menyebar ke berbagai belahan dunia sejak awal
kemunculannya, termasuk Nusantara. Mengenai teori masuknya Islam ke Nusantara, terjadi
beberapa perbedaan pendapat. Seorang orientalis asal belanda Snouck Hurgronje menyatakan
bahwa Islam tiba di nusantara pada abad ke 13. Hal tersebut dibuktikan dengan berdirinya
kerajaan samudera pasai. Bersebrangan dengan teori tersebut para cendikiawan muslim pribumi
meyakini Islam sudah ada di nusantara sejak abad ke 7. Diantaranya Prof. Dr. Hamka dengan
teori Makkah-nya. Sejalan dengan hal tersebut sejarawan Paskistan, N.A Baloch mengamini
dengan teori maritim-nya. Argumentasi Kerajaan Samudera Pasai sebagai acuan awal di

mulainya islamisasi di nusantara dianggap salah paham. Menurut Prof. Ahmad Mansur
Suryanegara dalam bukunya Api Sejarah dijelaskan bahwa manifestasi Islam di nusantara
dengan adanya samudera pasai ialah merupakan awal perkembangan strategis Islam,
khususnya pengukuhan posisi secara politis.
Sejak berdirinya kerajaan Samudera Pasai, pengkajian keilmuan Islam dan pengetahuan
secara umum menjadi sangat pesat. Pada masa selanjutnya secara sistemik berdirilah kerajaankerajaan (kesultanan) Islam di berbagai daerah Nusantara, baik berdiri dari awal maupun telah
mengalami islamisasi. Pada tiap-tiap kerajaan ini terdapat kajian keilmuan baik agama dan
umum. Diantaranya Kerajaan Goa di Makassar; Kerajaan Mataram Islam di Yogyakarta;
Kerajaan Banten di Banten; Kerajaan Sambas di Kalimantan Barat; Kesultanan Banjar di
Kalimantan Selatan; Kesultanan Kutai di Kalimantan Timur; Kesultanan Ternate dan Tidore di
Maluku Utara; Kesultanan Gorontalo di Gorontalo, dann lain sebagainya.

Budaya Ilmu dan Islamisasi Indonesia
Pada awal kedatangnnya Islam ke Nusantara, kesan pembawaan budaya ilmu sudah
terlihat. Diantaranya terlihat dari komponen-komponen yang terlibat di dalam proses yang
dinamakan islamisasi. Datangnya islam sebagai agama dakwah tidak dengan pedang terhunus
ataupun dengan busur yang terentang. Tidak pula dengan nuansa keangkuhan ingin menguasai
pribumi. Islam datang dengan perdamaian dengan budaya ilmu dan pengetahuan.
Sebagaimana diketahui penyebar Islam di Nusantara adalah para ‘ulama dan pedagang.
Hal tersebut jelas menandakan background kedatangan yang akan dibangun. Adanya para
penyebar Islam dari kalangan ‘ulama menjadikan kesan pembawaan Islam ialah dakwah bil ‘ilm.
Seperti kisah para walisongo yang senantiasa dalam dakwahnya menyebarkan cinta dan kasih
sayang serta hikmah-hikmah dalam kehidupan. Dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah
dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII, Prof. Dr. Azyumardi Azra memperlihatkan bagaimana
para ‘ulama sebagai ahli ilmu telah memiliki koneksi atau jaringan di kepulauan Nusantara dan
membangun keilmuan, mendidik masyarakat Nusantara.
Adanya penyebar dari kalangan pedagang atau wirausahawan membawa pesan
perubahan sosial. Sebagai pelaku ekonomi para wirausahawan, selain melakukan kegiatan
usaha secara tidak langsung mereka meletakkan keilmuan muamalah dalam prakteknya di bumi

Nusantara. Fakta ini menandakan bagaimana peran strategis kaum Muslim dalam membangun
pranata sosial Nusantara dengan basis ilmu.

Pesantren : Jihad Intelektual Muslim Indonesia
Clifford Geertz, seorang orientalis yang merupakan pakar antropologi membagi entitas
Muslim Indonesia menjadi 3, yaitu Abangan, Priyayi, dan Santri. Terlepas dari pembagian entitas
secara antropologis, budaya ilmu muslim Indonesia sudah mulai terbentuk dan mengalami
perkembangan. Salah satunya pada kalangan yang disebut santri. Kalangan santri sendiri dapat
diartikan sebagai entitas muslim yang menuntut ilmu atau menempuh pendidikan di Institusi
bernama pesantren yang biasanya diasuh oleh ‘Ulama. Dalam istilah Indonesianya dinamakan
Kyai.
Secara etimologis pesantren berasal dari kata santri yang ditambah dengan imbuhan,
yaitu pe-santri-an. Santri sendiri berasal dari kata sastri dalam dari bahasa Sansakerta. Dalam
bahasa Jawa kata santri berarti murid. Di daerah Nusantara yang lain institusi pesantren disebut
Surau (Sumatera) atau Dayah (Aceh). Menurut M. Natsir Arsyad dalam bukunya Ilmuwan Muslim
Sepanjang Sejarah Pesantren merupakan Peng-Indonesiaan sistem pendidikan yang modelnya
diambil dari Madrasah Qurtubah atau Cordoba dari Khilfah Bani Umayah dan Madrasah
Nidzamiyah dari Khilafah Bani Abbasiyah serta Madrasah Al-Azhar dari Khilafah Fatimiyah.
Terlepas dari hal tersebut, institusi pesantren ialah ijtihad intelektual muslim Indonesia yang
awalnya diinisiasi oleh para ‘Ulama pembawa Islam di Nusantara.
Institusi pesantren Nusantara sebenarnya memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan
dengan institusi pendidikan Islam lain. Pertemuan Islam dengan budaya nusantara menjadikan
formulasi sistem pendidikan yang unik dan khas. Proses Islamisasi pendidikan dengan nilai-nilai

local wisdom dan budaya nusantara, menjadikan pesan sebuah sistem yang khas memuat kultur
masyarakat nusantara. Pada mulanya pesantren dikembangkan oleh para ‘ulama pembawa
Islam. Namun pada fase perkembangan selanjutnya pribumi lah yang memegang peranan
penting bagi kokohnya institusi pendidikan bernama pesantren di Nusantara.
Santri Pribumi dan Perkembangan Pesantren
Menurut penulis, fase perkembangan pesantren sebagai institusi pendidikan di tangan
pribumi merupakan fase paling strategis dalam pembangunan pendidikan di Indonesia.

Sebagaimana diketahui pada mulanya pendidikan pesantren merupakan ijtihad intelektual para
‘ulama pembawa Islam, seperti pusat kajian keislaman di Samudera Pasai. Namun pada tahap
selanjutnya perkembangan pendidikan pesantren dilakukan oleh santri pribumi yang menjadi
‘ulama pribumi.
Diantara contohnya pesantren-pesantren di tanah Jawa. Awalnya institusi pesantren
yang masih dalam format sederhana (belum seperti sekarang) didirikan oleh Sayyid dan Habib
dari Tanah Arab ataupun keturunannya. Diantaranya ialah Pesantren Sidogiri yang merupakan
salah satu pondok tertua di Nusantara. Pondok ini didirikan oleh Sayyid Sulaiman yang
merupakan keturunan dari Sayyid Abdurrahman dari Tarim, Hadramaut. Pesantren ini didirikan
pada tahun 1718 di Desa Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur. Pondok ini telah menghasilkan ribuan
alumnus pribumi (baca: santri pribumi) yang juga mendirikan pesantren. Proses tersebut terus
berkembang hingga sekarang , menjadikan menjadikan regenerasi pesantren sebagai institusi

pendidikan berjalan lancar.
Peran dan Sumbangsih pada Pesantren bagi Pendidikan Indonesia
Peran dan sumbangsih pesantren begitu besar terhadap negeri ini. Bahkan bisa
dikatakan bahwa santri dan pesantren merupakan tonggak kemerdekaan Indonesia dari
kolonialisme bangsa asing (Belanda, Portugis, Jepang). Sebelum berbicara mengenai peran dan
sumbangsih Pesantren bagi Pendidikan Indonesia, penulis merasa harus mengaitkan dengan
kemerdekaan bangsa ini. Dalam bukunya Api Sejarah, Prof. Ahmad Mansur Suryanegara
memaparkan peran dan sumbangsih besar dan tak terbalas dari kaum santri dan pesantren pada
kemerdekaan Bangsa Indonesia. Keringat lelah serta keringat darah mewarnai perjuangan
mereka. Masih terngiang di benak kita bagaimana pekik takbir para santri merespon resolusi
jihad 22 oktober (yang kemudian menjadi hari santri) oleh K.H Hasyim Asy’ari dan para ulama.
Mereka merelakan jiwa dan harta mereka untuk mengusir penjajah. Mereka berjihad dengan
sepenuh hati.
Mengenai peran dan sumbangsih dalam dunia pendidikan, fakta dan data telah
berbicara. Bahkan sebelum negara ini secara resmi lahir, institusi pesantren telah mengabdikan
diri untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaiman tertera di UUD 1945. Institusi pesantren
yang berjumlah ribuan telah mencetak alumnus (santri) yang telah membangun dan menjaga

negeri ini, diantaranya lewat pendidikan. Banyak para cendikiawan dan negarawan yang
dihasilkan institusi ini. Bahkan pada puncaknya seorang dari kalangan santri menjadi presiden

negeri ini.
Pada mulanya institusi pesantren secara eksplisit hanya mengajarkan ilmu agama.
Namun pada perkembangannya pesantren menjadi sebuah institusi pendidikan yang komplit.
Banyak bermunculan pesantren yang

mengakomodir kebutuhan mengahadapi tantangan

zaman. Baik pesantren dalam format modern maupun tradisional sekarang memiliki komponenkomponen kebutuhan pendidikan untuk menghadapi tantangan zaman. Diantaranya life skill,
leadership, dan enterpreneurship.
Pesantren juga sebagai institusi pendidikan dapat mengakomodir segala golongan, baik
konglomerat hingga kalangan jelata. Ketika politik etis pada zaman penjajahan masih berlaku,
terbayang dibenak kita bagaimana kalangan rakyat biasa, baik jelata, non-ningrat, dan
sebagainya mengalami diskriminasi pendidikan. Hak mereka sebagai seorang manusia untuk
menuntut ilmu dan pengetahuan tidak terpenuhi. Tapi hal tersebut tidak berlaku bagi intitusi
pesantren. Pesantren terbuka bagi semua golongan untuk menimba ilmu. Dan hal tersebut masih
dapat dirasakan hingga kini.
Institusi pesantren tidak hanya menghasilkan seorang cerdas, namun berakhlak dan
bertaqwa. Pengertian ini sudah mencakup pendidikan karakter yang digalakkan pemerintah saat
ini sebagai penguatan moral generasi muda. Saat pemerintah sadar akan perlunya hal tersebut,
pesantren sebagai institusi pendidikan sudah melaksanakannya sejak dahulu.

Epilog
Pesantren begitulah namanya. Institusi pendidikan hasil ijtihad intelektual para ‘ulama
dan kaum santri sebelum negeri ini merdeka. Institusi pendidikan dengan budaya ilmu yang
kental, unik, dan khas. Institusi pendidikan untuk semua golongan. Institusi pendidikan yang
mengajarkan kurikulum langit dan bumi untuk menghadapi tantangan zaman. Institusi pendidikan
yang menghasilkan alumnus (baca: santri) yang tak terhitung menebar manfaat bagi bangsa ini.
Berbicara santri dan pesantren, maka kita berbicara tonggak pendidikan dan kemerdakaan
bangsa. Selalu membanggakan menjadi seorang santri.