FILSAFAT KETUHANAN BERPERSPEKTIF ISLAM S (1)

FILSAFAT KETUHANAN BERPERSPEKTIF ISLAM SEBAGAI
ALTERNATIF PENGKAJIAN PERKEMBANGAN ILMU

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Setelah cukup lama mempelajari dan menggeluti ilmu Barat
sekuler, maka ada 2 (dua) jenis reaksi timbul dalam alam fikir kita, yang
berbeda satu sama lainnya. Pertama, akan muncul rasa nyaman
sehingga merasa kagum dengan ilmu Barat sekuler tersebut. Kekaguman
tersebut,

karena

pemaparan

ilmu

Barat


sekuler

dikembangkan

berdasarkan patokan-patokan atau hukum-hukum logika yang ramping,
tegas dan lugas, sehingga ilmu itu dapat berfungsi dalam menentukan
tingkat kebenaran dan kesalahan. Dengan kata lain kebenaran suatu ilmu
terdapat didalam proses berpikir (nalar) yang ada di dalam tubuh ilmu itu
sendiri.
Alasan-alasan tersebut menimbulkan kekaguman terhadap ilmu
yang berasal Barat, dan mengira bahwa hanya patokan-patokan yang
digunakan sebagai dasar ilmu Barat Sekuler itulah yang merupakan
kebenaran yang mutlak dan sejati. Jika bertentangan dengan alasan
keilmuwan tersebut merupakan suatu kekeliruan.
Berdasarkan sejarahnya, perkembangan suatu ilmu, dari ilmu
alamiah mengalami peningkatan dari pra-Newtonian ke Newtonian, dan

1

akhirnya ke pasca-Newtonian. Tentu saja perkembangan ilmu dari bersifat

sangat sederhana ke kompleks atau canggih merupakan hal yang sangat
logis dan wajar. Dalam perkembangan ilmu tersebut apa yang tadinya
dianggap sebagai sebuah kebenaran, setelah mengalami pengkajian dan
muncul teori baru, maka apa yang dianggap sebagai sebuah kebenaran
dari ilmu yang lama itu dapat saja menjadi menolak kebenaran terdahulu
dan kekeliruan yang dimunculkan dari ebuah teori tersebut. Oleh karena
itu apa apa yang hari ini dianggap sebagai sebuah kebenaran maka
mungkin suatu ketika ilmu tersebut ditolak karena terdapat kekeliruan di
dalamnya.
Dalam upaya pemanfaatan ilmu yang ditujukan bagi kenikmatan
hidup manusia, banyak pakar dari “Barat” menyalahkannya “Einstein”.
Mereka menyatakan bahwa “... dalam peperangan ilmu menyebabkan kita
saling meracun dan saling menjagal. Dalam perdamaian dia membuat
hidup kita dikejar waktu dan penuh tak tentu. Mengapa ilmu yang indah
ini yang menghemat kerja dan membuat hidup kita lebih mudah, hanya
membawa kebahagiaan yang sedikit sekali kepada kita? (dikutip dari
Jujun S., dalam Herman Soewardi)
Selain itu Arthur Schiezinger menyatakan “... we are approaching
the point where science and technology may be creating more difficulties
than they solve” .

Menurut Herman Soewardi, ada kekhawatiran dirinya mengenai
kenyataan bahwa ilmu Barat tidak mampu memecahkan masalah-masalah

2

yang fundamental. Kemajuan ilmu yang pesat ini tetap tidak bisa
menerangkan apa sebenarnya yang disebut materi, energi dan “ether”.
Tentang “ether” jika dikatakan bahwa ia itu tiada, maka apa penjelasan
bahwa ia dapat menjalankan getaran (cahaya)? Selain itu banyak sekali
kekurangan-kekurangan ilmu

Barat dalam upayanya memecahkan

masalah-masalah penting seperti, penyakit-penyakit yang sudah lama
diketahui tetapi belum ada cara penyembuhannya antara lain, berbagai
penyakit kanker, diabetes, alergi, asma, ginjal, jantung, dan sebagainya.
Penyakit-penyakit tersebut belum dapat disembuhkan, sudah timbul pula
jenis penyakit baru yang ganas, seperti AIDS, dan lain-lain. Apa yang
disebut resistensi terhadap jasad-jasad renik (di bidang ilmu kedokteran),
dan terhadap insekta (wereng coklat) di pertanian, menjadikan balapan

antara survival jasad-jasad itu dengan penemuan-penemuan baru.
Setiap saat perlu ditemukan varietas padi baru di bidang pertanian.
Karena dalam ilmu Barat yang tadinya dimaksudkan menundukkan alam
(untuk

kenikmatan

hidup

manusia)

kini

telah

berubah

menjadi

pemerkosaan terhadap alam. Terhadap hal ini termasuk juga pembelahan

(fission) nuklir yang disertai dengan timbulnya radio-aktivitas yang
menyeluruh.
Lebih lanjut Herman Soewardi menyatakan juga kekaguman
manusia terhadap ilmu Barat telah tersapu habis oleh kekurangankekurangan (yang fundamental) yang ada dalam ilmu itu sendiri. Maka
sebenarnya tidak ada kekuatan yang self correcting di dalam ilmu Barat itu

3

sendiri. Pada dasarnya yang ada itu bukan self correcting, akan tetapi
inconsistency antar disiplin ilmu. Jika kita menghadapi inconsistency maka
manusia dihadapkan kesulitan untuk memilih mana yang benar dan mana
yang salah.
Inilah kelemahan fundamental dan ilmu Barat. Hal ini karena ilmu
ini tidak dapat dinyatakan mana yang benar dan mana yang salah.
Dugaan Herman sekarang menjadi hal yang lumrah yang benar
dinyatakan salah dan sebaliknya. Ada satu masalah lagi di seputar ilmu
Barat ini : Benarkah ilmu Barat itu, seperti dikatakan oleh “Weber”,
bersifat netral? Bagi Weber, kenetralan ilmu itu mutlak diperlukan. limu
atau logika, harus jauh-jauh disingkirkan dari etika. Karena itu doktrin
Weber adalah kenetralan etis. Hal ini berarti ketika “etika” bercampur dan

tidak dapat dilepaskan dalam “ilmu” maka sifat kenetralan sebuah ilmu
tersebut tidak akan sampai kepada sebab-akibat yang tepat. Sebabakibat mengikuti hukum inferensi (atau implikasi), dan menurut hukum
itu bila sebabnya X, implikasinya harus Y. Menurut pandangan Weber,
dengan turut campurnya etika dengan ilmu, maka sebabnya itu menjadi
bukan X atau akibatnya itu menjadi bukan Y.
Misalnya, pemerintah tidak boleh dipandang sebagai penyebab halhal yang buruk. Jika terjadi keburukan-keburukan dalam tindakan
pemerintah tersebut, maka harus dicarikan kambing hitam. Dalam hal ini
pendapat Weber masih dapat diterima. Namun jika dipahami lebih
mendalam sebenarnya justru mudah

4

sekali mencari penyebab terjadi

“sesuatu tersebut”—(kambing hitam) sesuai dengan nilai yang dianut.
Misalnya karena “tidak menyukai polisi lalu lintas”, maka ketika jalanan
macet, serta merta dikatakan bahwa tugas polisilah yang mengatur atau
polisi penyebab kemacetan.
Contoh lain, di Amerika Serikat tentang Reaganomics dan
Clintonomics. Clintonomics mengklaim bahwa pengaturan pasar

yang

berasal

dari

Reaganomics,

menimbulkan

peningkatan

pengangguran. Clintonomics memperbaikinya dengan menghapuskan
pengaturan

pasar

tersebut.

Selanjutnya


mengembalikan

kepada

mekanisme kekuatan pasar. Selanjutnya di Amerika Serikat orang mulai
mempercayai bahwa “hukum pengaturan ekonomi” tersebut

menjadi

penyebab peningkatan pengangguran. Orang di Amerika kemudian
menolak hukum pengaturan pasar. Dalam realitanya ternyata, tetap saja
Clintonomics menimbulkan pengangguran yang tinggi dan tidak
membawa perubahan dalam hukum ekonomi pasar.
Demikian pula di dalam ilmu kedokteran. Setiap dokter mempunyai
favoritnya sendiri-sendiri. Ada dokter spesialis jantung yang sangat suka
pada zestril, yang lainnya sangat suka pada adalat. Tentu dokterpun tidak
tahu mana diantara keduanya yang lebih efektif dalam mengontrol
jantung.
Karena itu para antropolog menyarakan bahwa tidak ada ilmu yang

etis netral, tetapi semua ilmnu itu dimuati oleh etika (value laden). Maka,
semua cara pendekatan adalah dimuati oleh suatu etika tertentu: di dalam

5

ilmu-ilmu alamiah kita mengenal Teori Relativitas “Einstein” dan “Teori
Mekanika Kuantum” yang berdasarkan pada sudut-sudut pandang yang
tidak sama (dan kita tidak tahu sudut pandang mana yang benar),
sedangkan di dalam ilmu-ilmu sosial dikenal Etika Protestan, “Weber,
Etika lingkungan, “Toynbee”, dan sebagainya. Semuanya teori dan etika
tersebut tidak bebas nilai.
Sekarang marilah ditinjau lebih mendalam mengenai uraian yang
sebelumnya yaitu “penyakit-penyakit yang belum dapat disembuhkan”,
dan “resistensi dari penyakit tersebut”. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu itu
tidak netral, akan tetapi berpaling menuju ke suatu arah (tanpa disadari).
Dan arahnya adalah arah yang tidak tepat (bila tepat, maka tidak akan
mengalami masalah-masalah itu semua). Karena itu menurut Herman
Soewardi merupakan kesalahan ketika dinyatakan bahwa ilmu tersebut
bersifat netral.
Ada yang beranggapan bahwa “ilmu itu ibarat uang”. Uang itu

memiliki kekuatan, dan kekuatan ini bersifat netral. Tergantung tujuan
seseorang untuk menggunakan uang itu. Apakah digunakan untuk
membeli

barang-barang

keperluan

hidup,

untuk

menyuruh

orang

merampok, untuk berjudi, atau apa saja. Karena itu uang itu an sich tak
perlu dipersoalkan. Yang harus diperhatikan adalah menggunakan uang
itu untuk tujuan-tujuan yang benar. Herman berpendapat argumentasi itu
keliru. Boleh jadi uang itu netral, tetapi ilmu tidak netral.


6

Kembali kepada uraian benar-salah tentang ilmu Barat, maka dapat
di katakan bahwa ilmu yang sekarang ini yang tidak netral, itulah yang
salah. Para filosof dan ilmuwan Barat yang jujur, mengakui bahwa
sekarang mereka sudah sampai pada satu titik yaitu arah yang ditempuh
selama ini adalah arah yang keliru. Arah yang selama ini ditempuh
memang benar telah memberikan kenikmatan, namun kenikmatan yang
diiringi dengan kehancuran.
Bahkan makin lama kehancuran itu dapat berubah lebih besar
daripada kenikmatannya. Namun para ilmuwan Barat, yang merasa
bahwa arah yang ditempuh itu keliru, tidak tahu mencari arah lain, yaitu
arah yang benar. Hal ini merupakan hal yang fundamental dalam cara
pemikiran Barat. Barat sangat mengandalkan diri pada akal. Mereka
katakan bahwa akal itu ialah yang benar dan tidak ada yang lebih benar
daripada akal itu. Jika ternyata akal mereka itu telah membawa pada
sesuatu yang keliru, maka mereka menjadi kalang kabut. Inilah yang
disebut skeptisisme. Mereka mengetahui ilmu yang selama ini diyakini
kebenarannya adalah salah, akan tetapi mereka tidak tahu menunjukkan
mana yang benarnya. Akhirnya upaya mereka menjadi stagnan tidak tahu
apa yang harus dilakukan. Mereka sangat percaya kepada empirisme
dan positivisme, namun tetap dengan skeptisisme. Namun tetap tidak
mampu menunjukkan kebenaran. Hal ini karena yang benar itu satu,
sedangkan yang tidak benar itu banyaknya tidak terhingga.

7

Menyikapi hal tersebut untuk sampai kepada yang benar, maka
harus mengetahui kesalahan dari ilmu Barat itu terlebih dahulu.
Bersyukurlah manusia kepada Tuhan YME, yang menciptakan itu semua.
Ia telah memberitahukan kepada manusia melalui Nabi Muhammad S.a.w.
mana yang benar dan mana yang salah. Kebenaran adalah perintah-Nya
untuk dijalani oleh umat manusia. Kesalahan adalah merupakan laranganNya untuk dihindari oleh umat manusia.
Di antara perintah dan larangan itu adalah apa-apa yang boleh
dilakukan.
Adapun “Ilmu” termasuk perintah Allah Swt, yang harus dilakukan sesuia
dengan kemampuan yang ada pada setiap individu. Ilmu itu termasuk
ciptaan Allah Swt, yaitu berupa firman Allah yang tidak berubah-ubah
sepanjang zaman. Hal ini merupakan kebenaran yang diperintahkan
kepada manusia untuk mengungkapkannya. Segala sesuatu yang
menyimpang dari kebenaran

merupakan kekeliruan baik yang besar

maupun kecil. Namun kekeliruan dari ilmu Barat makin lama menuju ke
arah yang makin keliru.
Akhir Abad ke-20 atau permulaan Abad ke-21 harus dihentikan
kekeliruan, dan mengembalikannya kembali ke arah yang benar. Ilmu
inilah yang disebut Tauhidullah (di bidang sains). Melalui Tauhidullah
diharapkan akan membebaskan manusia dari kehancuran (seperti yang
dikemukakan oleh Einstein dan Schiezinger).

8

Menurut Herman Soewardi, cara untuk mengalihkan ilmu Barat
dari arah yang keliru itu ke arah yang benar harus diubah 180 . Manusia
tidak hanya mengandalkan diri pada akal saja, akan tetapi meletakkan
akal di bawah ketentuan-ketentuan (nash-nash) dari Allah. Dengan kata
lain suatu ilmu harus dipandu dengan normatif dari Allah SWT atau
naqliah memandu aqliah.
Jelas hal ini merupakan gagasan yang baru di bidang ilmiah.
Mungkin banyak muslim yang akan menentangnya, terutama yang
menyatakan ilmu itu netral. Mereka itu yang menyatakan ilmu adalah
uang, maka tidak perlu diganggu gugat. Namun perlu diperhatikan
bagaimana cara penggunannya. Sains murninya dibiarkan saja,

yang

diperhatikan segi aksiologisnya. Dari sudut aksiologis inilah

inilah

kekurangan ilmu dari orang Barat itu.

B. IDENTIFIKASI MASALAH

Berdasarkan paparan di atas, maka masalah yang akan dibahas
dalam makalah singkat ini dibatasi adalah sebagai berikut:
1.

Bagaimanakah perkembangan perkembangan ilmu dalam filsafat
Ilmu Barat?

2.

Bagaimanakah

peranan

dan

pandangan

filsafat

Ketuhanan

berperspektif Islam dalam mengkaji perkembangan sebuah ilmu?

9

BAB II
ANALISIS PEMBAHASAN

A. Filsafat Barat dalam Perkembangan Ilmu

Tarnas dalam bukunya yang berjudul “The Passion of the Western
Mind” (1993), dalam bab “The Crisis of Modern Science” mengemukakan
hasil

pemikiran

yang

baru

dan

sangat

menarik

untuk

diulas.

Pandangannya menyatakan tentang kelanjutan dari sains modern itu, atau
sains Barat sekuler. Tarnas merincikan kesalahan-kesalahan ilmu Barat,
ada 6 (enam) hal yang menarik perhatian adalah sebagai berikut:
a.

Postulat dasar ilmu Barat, ialah “space”, “matter”, “causality”, dan
“obser-vation”. Kesemuanya dibuktikan tidak benar (controverted).

b.

Pendapat Immanuel Kant yang menyatakan bahwa jagat raya
sebenarnya diciptakan oleh pikiran manusia.

c.

Deterministik Newton kehilangan dasar, yang menyebabkan
manusia mulai dengan “stochastic”.

d.

Partikel-partikel sub-atomik terbuka untuk interpretasi spiritual.

e.

Prinsip “uncertainty” yang ditemukan oleh Heisenberg; dan

f.

Kerusakan

ekologi

(dan

atmosfir)

disebutnya “planetary ecological crisis”.

10

yang

mcnyeluruh,

yang

Tarnas menyimpulkan berdasarkan pandangan Immanuel Kant
bahwa: “Orang merasa tahu tentang jagat raya, padahal tidak. Tak ada
jaminan bahwa manusia dapat tahu, apa yang disangkakannya jagat raya,
sebenarnya hanya menunjukkan hubungan orang dengan jagat raya saja,
atau jagat raya sebagai diciptakan oleh pikiran manusia”.

Tentu saja

kesimpulan menimbulkan kekeliruan. Pandangan yang sudah lama
dikubur, oleh Tarnas muncul kembali. Berlandaskan pandangan ini,
Tarnas memberikan “vonis”, yaitu landasan (ilmiah) dengan perspektif
yang terbatas, “could be a dangerous thing”.

Atas dasar itulah perlu dipertanyakan, bagaimana kelanjutan sains
modern jika postulat-postulat dasarnya ternyata terbukti tidak benar.
Terutama, segala hal upaya manusia yang dilandaskan pada temuantemuan ilmiah dengan perspektif terbatas itu dapat atau telah merupakan
suatu hal yang berbahaya.

1. Kesalahan-kesalahan pada Postulat Dasar:

a. Tentang “space” atau jagat raya. Pandangan yang sekarang berlaku
adalah bahwa space” itu terbatas (finite), tapi lepas; bentuknya
lengkung (tidak linier), sehingga garis edar atau orbit benda-benda
angkasa berbentuk elips, bukan karena tertarik oleh gaya gravitasi
ke matahari, tapi memang bentuknya lengkung. Kemudian, kini
berlaku empat dimensi “space-time”, bukan hanya tiga seperti pada
Eucledian geometry.

11

b. Tentang “matter” atau materi. Baik Democritus maupun Newton
memandang materi itu solid, tapi ternyata kosong. Mekanika
kuantum membuktikannya.

c. Kausalitas ternyata terlalu simplisistik. Sekarang, ditemukan
partikel-partikel saling mempengaruhi tanpa dihayati bagaimana
hubungan kausalititas di antara mereka.
d. Dengan ditemukannya prinsip “uncertainty” oleh Heisenberg,
ternyata observasi terhadap elektron hanya dapat dilakukan kepada
salah satu posisi atau kecepatannya. Selain itu observer tidak bisa
mengobservasi obyeknya tanpa merusak obyeknya itu.

2. Hubungan Manusia dengan Jagat Raya

Berdasarkan

pandangan

Immanuel

Kant,

terbukti

bahwa

penemuan-penemuan mekanika kuantum yang mendukung bahwa jagad
raya

bukan

ciptaan

manusia,

tetapi

jagad

menggambarkan hubungan manusia dengan

raya

itu

hanyalah

jagad raya. Dengan kata

lain jagad raya sebagaimana tampak menurut apa yang dipertanyakan
oleh manusia. Begitupun dengan Hukum Deterministik Newton. Kini
kehilangan dasar. Orang mulai menganggap kebalikannya, bukan pasti,
tapi mungkin (stothastic). Selanjutnya mengenai Partikel-Partikel SubAtomik, Capra berpendapat bahwa ada semacam “kecerdasan” elektron,
sehingga kini fisika terbuka untuk interpretasi spiritual, meskipun tidak

12

memaksanya. Prinsip “Uncertainly” dari Heisenberg menemukan
bahwa gerakan elektron tak bisa keduanya ditetapkan sekaligus, posisi
atau kecepatannya. Hal ini mempertanyakan bagaimana sebenarnya
kemampuan mengobservasi itu.

3. Kerusakan Ekologi

Hal ini merupakan tanda yang konkrit yang dari dampak sains dari
ilmu barat tersebut, seperti kontaminasi air, udara, tanah, efek buruk
berganda pada kehidupan tumbuhan dan hewan, kepunahan spesicsspesies tumbuhan dan hewan, pengrusakan hutan di seluruh bumi, erosi
tanah, pengurasan air tanah, akumulasi limbah-limbah yang toksik, efek
yang meningkat dan rumah kaca, bolong-bolongnya lapisan ozon pada
atmosfir, kerusakan keseluruhan ekosistem dan planit ini, semua ini
muncul sebagai masalah yang mengangkat kompleksitasnya yang
menjadi semakin serius. Kemudian pengurasan sumber daya alam
menjadikan masalah ekonomi dunia semakin runyam.
Padahal ilmu Barat itu dikatakan memiliki sifat memperbaiki sehingga
mampu mengatasi masalah-masalah yang ditimbulkan oleh ilmu itu.
Namun, cukup paradoksal, yaitu pengetahuan yang terhandal justru
menunjukkan terjadinya perkembangan yang antitetikal, karena dalam
praktiknya ilmu tersebut tidak

selalu positif sehingga pikiran modern

tersebut harus dievaluasi ulang. (Tarnas, 1993:362).

13

Perkembangan sains di berbagai bidang terjadi secara cepat,
terutama di bidang sub-atomik. Namun menghasilkan data-data baru yang
saling

simpang-siur,

tidak

memungkinkan

bagi

orang

lain

untuk

merangkum semuanya secara harmonis. Seolah-olah landasan untuk itu
telah renggut (“uprooted”.). Hal inilah yang merupakan fokus tentang
krisis ilmu pengetahuan modern yang digambarkan oleh Tarnas.

4. Ketidakpercayaan Terhadap Sains Modern (Barat).

Berdasarkan 4 (empat) kesalahan postulat dasar yang telah
diuraikan

di

atas,

“observasi”

merupakan

masalah

yang

harus

dipecahkan bagi kelanjutan sains dan ilmu modern. Hal ini karena
observasi merupakan landasan timbulnya pengetahuan. Inilah yang
disebut pandangan empirikal, atau pandangan Aristoteles, dengan
landasannya categories”.

Jika observasi itu tidak sah, maka

pengetahuan yang diperolehpun tidak sah.
Gambaran tersebut menunjukkan sikap
observasi,

yang

mula-mula

dikemukakan

oleh

skeptisisme dalam
Al-Ghazali.

Kini

skeptisisme yang diajukan oleh Tarnas merupakan paradigma yang
dianut oleh seorang ilmuwan ketika bertindak untuk menyaring semua
keilmuan melalui observasi. Sejalan dengan hal tersebut Herman
Soewardi bahwa ilmu empirikal (dengan observasi atau pengindraan
sebagai landasannya) secara apriori salah, karena tak ada kepastian
bahwa phenomena yang sudah disaring itu akan memberikan hasil yang

14

dapat dipercaya. Skeptisisme terhadap observasi kini diterima oleh ilmu
modern. Baik Einstein maupun Heisenberg juga skeptis terhadap
keterandalan observasi. Ada upaya untuk memperbaiki teknik observasi
antara lain seperti yang disebut oleh NUSAP, yaitu bentuk-bentuk notasi
(pencatatan) untuk mengekspresikan ketidak-pastian dan mutu dalam
informasi saintifik (Healy, 1996: 29). Namun untuk membuktikan
kebenaran dan keterandalan sebuah ilmu tidak hanya bagaimana cara
mengobservasinya namun juga bagaimana paradigma yang dianut oleh
seorang ilmuan.
Masalah tersulit dari pada ilmu dewasa ini karena ilmu tersebut
sudah kehilangan kepastian. Pertama,

postulat—postulat dasar dalam

ilmu modern klasikal terbukti keliru. Seperti telah diungkapkan di muka,
keempat postulat dasar (“space”, “matter, “causality”, observation”) tak
dapat dipertahankan lagi. Karena itu orang modem sekarang harus
merenungkan kembali kepercayaannya terhadap rasionalitas Yunani
(Greece). Hal itu bermula dari pandangan-pandangan Bangsa Yunani,
yang dikenal disebut “logos “ atau “reason”.

Immanuel Kant, yang

percaya pada dasar-dasar Newtonian yang bersifat kepastian itu, yang
mengemukakan berbagai a priori

yang pasti space, time, substance,

causality, ternyata bahwa dasar-dasar itu telah jatuh dan kepastian. Oleh
sebab itu kebenaran sains sama sekali tidak mutlak (absolut) juga tidak
obyektif, dan kini harus dibebaskan dari dasarnya. Berlandaskan pada
pandangan-pandangan Hume dan Kant, Popper mencatat bahwa sains

15

tak bisa menghasilkan pengetahuan yang pasti, bahkanjuga pengetahuan
yang bersifat kemungkinan (probability). Orang tak akan tahu esensi dan
benda-benda yang sebenarnya. Setiap waktu, suatu uji baru dapat
menyatakan kekeliruan ilmu, maka data-datanya dapat direinterpretasikan
pada suatu jalinan (framework) baru. Karena itu banyak kejadian dalam
sejarah sains bahwa pembuktian kesalahan suatu ilmu tak selalu sejalan
dengan ideal Popper tentang kritik pribadi yang sistematis dan pada
pembuktian kekeliruan suatu sains berdasarkan teoriyang ada.
Kuhn mengemukakan akumulasi dan data-data yang bertentangan
akhirnya menimbulkan krisis paradigma dan setelah itu timbullah suatu
sintesis yang imajinatif yang akhirnya memperoleh rekognisi ilmiah.
Proses yang terjadi kearah itu bersifat non rasional. Proses kearah itu
sangat tergantung pada kebiasaan-kebiasaan yang sudah baku, rasa
indah, keadaan psikologis dan sosial, yang dibentuk berdasarkan
metafora dan analogi yang populer, yang menghasilkan lompatanjauh
yang imajinatif. Paradigma baru yang terbentuk, jarang sekali sebanding
(comparable)

dengan

paradigma

yang

membentuk keadaan gestalt (holislik)

lama.

Setiap

masing-masing.

paradigma
Karena itu

sebenarnya sejarah ilmu pengetahuan bukan sesuatu yang meningkat
secara limier dan rasional, tetapi itu merupakan visi yang berubah secara
radikal, di dalam mana terjadi dengan fakta-fakta yang bersifat nonrasional dan nori-empirikal, yang memainkan peran sangat besar. Karena
itu, ilmu pengetahuan sekarang dianggap sebagal sesuatu yang relatif.

16

Pengetahuan yang diberikan oleh sains secara relatif tergantung kepada
observer, kepada konteks fisiknya, kepada paradigma sebelumnya dan
asumnsi-asumsi teoritis yang menjadi pegangannya.
Alasan tersebut dipengaruhi oleh kultur, sistem kepercayaan, oleh
konteks sosialnya dan predisposisi psikologisnya, yang sangat tergantung
kepada observasinya. Kemudian kebenarannya segera dapat dinyatakan
salah

pada

setiap

langkah

dengan

timbulnya

bukti

baru

yang

bertentangan. Begitupun juga dengan Teori Evolusi Darwin, sekarang
data-data yang dimunculkannya saling bertentangan (conflicting) dan
teori-teori alternatif. Begitupun juga dengan pandangan dunia mengenai
Cartesian-Newtonian yang telah ditingalkan, namun demikian pandangan
dunia pasca-Newtonian, sama sekali bukan kosmos (order) sebagai
penalti Cartesian-Newtonian.

5. Skeptisisme Sains Modern

Skeptisisme merupakan sifat dasar dari ilmu Barat sampai
sekarang skeptisisme itu tetap ada. Hal ini karena faham Barat tidak dapat
mempercayai apa pun sebagai kebenaran. Popper berusaha untuk
meninggalkan skeptisisme dari Hume, akan tetapi sebaliknya Kuhn, justru
menguatkan skeptisisme Hume.

17

6. Dampak-Dampak Sains Barat
Dampak buruk dari sains Barat terlihat pada alam, masyarakat, dan
manusia. Dampak pada alam berupa “planetay ecokgical crisis”, oleh
Tarnas (krisis ekologi seluruh dunia). Dampak buruk itu sangat
mengkhawatirkan untuk kehidupan manusia di dunia ini lebih lanjut.
Dampak- dampak sosial pun tidak kurang hebatnya.Tarnas
mengemukakan beberapa hal. Sukses besar yang diraih sains justru
menimbulkan masalah bagi manusia. Pengobatan penyakit-penyakit,
penurunan laju kematian, dan teknologi produksi pangan yang menjadi
canggih ternyata telah menimbulkan kelebihan penduduk di seluruh dunia.
Dan kelebihan penduduk ini dimana-mana merupakan masalah yang
serius.
Budaya ilmiah menimbulkan stres terhadap jalinan sosial seperti
terjadinya kelebihan perkembangan dan kelebihan populasi di daerah
perkotaan, ketidaksabaran kultural dan sosial. Tenaga kerja mekanikal
yang lesu (tak bergairah), peningkatan-peningkatan kecelakaan industrial,
kecelakaan mobil dan perjalanan udara, kangker dan serangan jantung,
alkoholisme dan ketagihan narkotika, televisi yang memiskinkan kultur dan
membekukan

pikiran,

peningkatan

kejahatan

dan

keganasan,juga

meningkatnya patopsikologis.
Runtuhnya perikemanusian sebagaimana ditimbulkan oleh sains
yang “netral moral”, yang mengatakan sains memiliki kekuatan yang
terbatas, teori ini tidak dapat didukung lagi, karena membawa ke arah

18

kerusakkan oleh kegeniusan itu sendiri. Begitupun dengan konsep ilmiah
murni yang dikritik karena bersifat ilusi (keangan-angan).
Dikatakan

ilmiah

murni

memiliki

kemampuan

untuk

mengungkapkan rahasia dunia seperti suatu cermin yang memantulkan
keobyektifan realitas secara universal, bukan saja dipandang seperti
epistemologi yang naif, tetapijuga sebagai mengabdi kepada tujuan politik
dan ekonomi tertentu, yang ditujukan ke arah dominasi sosial dan
ekonomi. Sains sudah kehilangan kemampuan kognitifnya. Validitas dan
pada “reason” tidak lagi dapat ditunjang oleh data- data empirikal.

B. Peranan dan Pandangan Filsafat Ketuhanan berperspektif Islam
dalam Mengkaji Perkembangan Sebuah Ilmu
1. Manusia Sebagai Khalifah di Atas Bumi
Berdasarkan pendapat Bross (1953) dalam bukunya Design for
Decision, mendefinisikan manusia sebagai “hewan yang mengambil
keputusan”. Ciri inilah yang membedakan manusia dan “hewan jenis
lainnya”. Ciri ini pula katanya yang membuat manusia akhirnya mampu
menguasai bumi. Ketika Bross menulis buku itu Sputnik masih belum
diontarkan ke ruang angkasa. Kalau ia tahu hal itu akan terjadi pada tahun
1957, mungkin pula ia akan mengatakan bahwa manusia itu pun akan
menguasai

bukan

saja

bumi,

melainkan

juga

ruang

angkasa.

Batasan Bross mengenai manusia itu dipengaruhi oleh pelajaran biologi.
Ciri manusia yang beradab selalu berusaha tidak meniru perilaku hewan.
Dengan demikian memahami pendapat Bross perbedaan antara manusia

19

dengan hewan terletak pada kemampuannya untuk membuat dan
mengambil keputusan.
Mengapa hanya manusia yang diberikan kemampuan untuk
mengambil

keputusan?

Andaikata ada makhluk

lain

yang

diberi

kemampuan mengambil keputusan sebagaimana manusia mungkin sekali
pola susunan populasi makhluk hidup di dunia ini akan sangat berlainan.
Katakanlah misalnya bahwa harimau pun telah dilengkapi dengan
kemampuan mengambil keputusan. Apa jadinya dengan kita di dunia ini ?
dalam hal ini Tuhan Yang Maha Mengetahui telah menetapkan manusia
sebagai pewaris-Nya di bumi. Kedudukan sebagai pewaris mendudukkan
manusia pada posisi penanggung jawab kelestarian semua macam
kehidupan di bumi. Untuk itulah manusia diciptakan dengan kemampuan
mengambil putusan agar ia dapat memelihara semua titipan Tuhannya di
bumi dan ruang angkasa ini dan tetap terurus dengan baik. Kelengkapan
lainnya dari manusia yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa, selain
dapat mengambil keputusan juga diberikan kemampuan berpikir dan
bernalar. Karena itu manusia diciptakan dengan memiliki susunan otak
yang paling sempurna dibandingkan dengan otak jenis makhluk hidup
lainnya, termasuk hewan-hewan yang bentuk tubuhnya sangat dekat
dengan manusia, yaitu primata yang primitif.

20

2. Manusia Mahluk Berakal dan Bersosial

Tuhan Yang Maha Esa memberikan otak kepada manusia agar
dapat berpikir dan bernalar untuk mengumpulkan pengetahuan yang
tersembunyi di di alam ini. Proses mengumpulkan pengetahuan itu adalah
suatu proses belajar yang dialami manusia sejak ia lahir hingga ia masuk
ke liang lahat.

Oleh karena itu manusia tidak dikeluarkan dalam bentuk

telur ke muka bumi seperti kebanyakan ikan dan binatang melata,
melainkan dilahirkan sebagai bayi setelah berada sembilan bulan sebagai
janin di dalam rahim ibunya. Berlainan dengan hewan menyusui yang
setelah lahir dapat berdiri sendiri walaupun tertatih-tatih, bayi manusia
masih memerlukan pertolongan ibu dan bapaknya.

3. Manusia Pewaris di Bumi Yang Cerdas dan Bermasyarakat

Kelahiran manusia di muka bumi telah diatur di muka bumi
sedemikian rupa agar ia berkesempatan memiliki alat berpikir dan bernalar
serta peluang mendapatkan pendidikan, bermasyarakat dengan baik.
Hanya manusia cerdas yang dapat bermasyarakat dengan baik dan
mampu menjadi pewaris Tuhan Yang Maha Kuasa di muka bumi, di dalam
bumi, dan di antariksa. Tanpa kecerdasan, manusia tidak mampu
menggali kumpulan pengetahuan yang diperlukan untuk mengelola tugas
ini. Tanpa rasa kasih sayang yang diungkapkan melalui hubungan
bermasyarakat,

manusia

yang

cerdas

21

akan

menyalahgunakan

kecerdasannya

sebagai

kekuasaan

untuk

memenuhi

kepentingan

pribadinya saja.

4. Pengetahuan Manusia Menjadi Kekuasaan
Kecerdasan diperlukan oleh manusia untuk mengelola bumi milik
Tuhan Yang Maha Kuasa dan memanfaatkan seluruh sumber daya alam
yang ada sebanyak-banyaknya bagi kemanfaatan manusia. Manusia
berdasarkan akalnya mendapatkan pengetahuan yang dipakai untuk
keuntungan sebagian umat manusia, akan tetapi dapat juga merugikan
kehidupan

sebagian

umat

manusia

lainnya.

Akibatnya

timbullah

ketegangan yang tidak menguntungkan kehidupan di bumi ini. Contoh
mengenai hal ini dapat kita ambil dan berbagai macam perang yang timbul
di dunia. Negara-negara “Selatan” menguasai sumber daya energi fosil
yang terbesar cadangannya dipakai untuk menekan negara-negara
“Utara”.
Dengan demikian ketika manusia diberikan oleh Tuhan, sebagai
manusia yang dapat memutuskan sekaligus mahluk yang memiliki
pengetahuan maka pengetahuan yang didapat oleh manusia itu selain
bermanfaat, juga dapat menimbulkan mudarat.
Sebaliknya, jika diberikan ketentuan-ketntuan yang terlalu ketat
dalam upaya mencari dan

menemukan pengetahuan baru akan

mengakibatkan pemikiran manusia menjadi terhambat. Rasa tanggung
jawab sebagai pewaris Tuhan di bumi, melalui cara-cara mencari

22

pengetahuan yang dibenarkan, mengembangkan akalnya untuk dapat
mengetahui hal yang baru secara bertangungjawab. Hal ini akan
menunjukkan bahwa pengetahuan yang ditemukan bukan kepentingan
dirinya sendiri, bukan pula untuk keluarga dan bangsanya, melainkan
untuk seluruh umat manusia.

5. Tuhan Maha Mengetahui, Manusia Ingin Tahu
Manusia yang ingin tahu akan sesuatu peristiwa berusaha
menerangkan menngapa peristiwa itu muncul dengan akal pikirannya.
Sifat manusia yang mencari cara menerangkan seperti itu hingga kini
masih berlaku dan diikuti oleh para ilmuwan biologi sebagai tahap
pertama pemburuan pengetahuan. Tetapi perlu diketahui bagaimana
mekanisme kejadian yang sebenarnya dari proses kehidupan dan diatur
oleh kesimbangan fisiko-kimia. Mengapa terdapat mekanisme fisiko-kimia
seperti itu hanya Tuhan Yang Maha Mengetahui. Kalau kita coba lagi
menerangkannya maka kita akan kembali lagi terjebak dalam lumpur
teleologi.
Walaupun tidak ada nilainya secara ilmiah, keterangan yang
muncul berdasarkan teleologi cukup jelas sebagai pembuka mata bahwa
semua

yang

ada

di

bumi

ini

dan

antariksa,

keteraturan

dan

ketidakteraturan yang ada dan saling kait-mengait yang terdapat di
antaranya adalah pengetahuan yang hanya dikuasai oleh Tuhan Yang
Maha Mengetahui. Maha Kumpulan Pengetahuan yang tidak terhingga

23

banyaknya dan yang batas-batasnya tidak dapat diketahui maupun diduga
dan hanya dikuasai oleh Tuhan Yang Maha Mengetahu disebut al-’Ilm,
atau Pengetahuan Tuhan. Oleh karena itu pula di dalam Agama Islam
salah satu nama lain dan Allah ialah al- ‘Alim yang artinya ialah “Yang
Maha Mengetahui”.
Mengikuti jalan pemikiran Ibn Khaldun (732-808 Hi 1332- 1406 M.;
Nasr, 1968) kepada manusia Tuhan yang Maha Mengetahui menurunkan
sebagian ilmu-Nya melalui wahyu. Ilmu ini disebut ilmu naqliah atau “ilmu
yang diturunkan”. Ilmu ini adalah kumpulan petunjuk Tuhan yang
membimbmg manusia bagaimana seharusnya berperilaku baik pada jalan
yang diridai-Nya, karena bumi dan antariksa sebenarnya adalah milik-Nya
yang dititipkan-Nya kepada manusia untuk dipelihara.
Sebelum manusia akhirnya kembali menghadap kepada-Nya. Ilmu
naqliah itu tidak dapat dipertanyakan dan diperdebatkan kebenarannya
dengan akal karena adalah kebenaran yang mutlak. Demikian pula,
menurut alam pikiran Al-Ghazali (wafat 505 H./1111 M.; Madjid, 1984),
ilmu naqliah wajib dipelajari oleh setiap manusia. Jadi dalam agama Islam
misalnya, fardu ‘ain hukumnya untuk mempelajari ilmu syari‘ah sehingga
selaku orang yang bertakwa ia selalu berusaha di dalam hidupnya untuk
selalu berjalan di atas jalan yang diridhai Allah, agar sewaktu ia
menghadap kembali kepada-Nya berada dalam keadaan disenangi olehNya (al-Attas, 1979).

24

Sudah dikemukakan sebelumnya bahwa manusia adalah makhluk
yang dititipi pengelolaan bumi. Untuk itulah manusia diberi akal untuk
memburu pengetahuan mengenai alam di sekitarnya, termasuk hubungan
antara manusia dengan makhluk hidup lain, dan hubungan dengan
lingkungan fisik, baik di daratan, di lautan, di dalam perut bumi, maupun di
ruang angkasa. Dengan akalnya inilah manusia kemudian dapat belajar
dan mengajari sesamanya memburu sebagian rahasia pengetahuan alam,
sosial, dan budaya dan Khazanah Pengetahuan yang disebut al-Ilm tadi,
yaitu Maha Kumpulan Pengetahuan milik Tuhan Yang Maha Mengetahui.

6. Sains atau Ilmu Pengetahuan
Pengetahuan yang dikumpulkan oleh manusia melalui akalnya
inilah kemudian disusun menjadi bentuk yang berpola. Pengetahuan
dikumpulkan dalam suatu bentuk yang teratur. Kumpulan itu disebut ilmu
aqliah atau ilmu falsafiyyah, yaitu ilmu yang diperoleh melalui penggunaan
akal dan kecendikiawan. Ilmu inilah pula yang dinamakan sains dan
disebut juga ilmu pengetahuan.
Walaupun ilmu makna aslinya sama dengan pengetahuan,
sehingga istilah “ilmu pengetahuan” seakan-akan terasa berlebihan. Kalau
makna ilmu dibatasi sebagai Maha Kumpulan Pengetahuan yang dikuasai
Tuhan, maka ilmu pengetahuan dapat kita pakai menunjukkan sebagian
dan ilmu itu yang diperoleh manusia melalui akal dan daya nalarnya. Beda
ilmu pengetahuan dan ilmu selain keterbatasannya ialah juga bahwa ilmu

25

pengetahuan itu telah disusun dan butir-butir pengetahuan yang
ditemukan secara bersistem, sedangkan Ilmu Tuhan tidak perlu disusun
bersistem karena Yang Memilikinya Maha Tahu dan dapat memancing
setiap butir pengetahuan dan Maha Khazanah Pengetahuan itu dalam
sekejap mata.
Tidak demikian halnya dengan kumpulan pengetahuan yang
akhirnya dikuasai oleh manusia. Tanpa ada usaha menata butir-butir
pengetahuan itu menjadi suatu bentuk yang bersistem dan kemudian
dinamakan sains, manusja tidak dapat menemukan butir pengetahuan
yang ingin digunakannya itu dalam waktu yang singkat. Tidak pula ia
dapat mengajar butir-butir pengetahuan itu seluruhnya kepada angkatan
manusia yang lebih muda daripadanya. Menurut al-Ghazali lagi, ilmu
pengetahuan itu wajib hukumnya dipelajari tidak oleh setiap anggota
masyarakat,

melainkan oleh

sebagian orang saja

yang memiliki

kemampuan mempelajarinya.Tingkat wajib seperti itu dinamakan fardu
kifayah.
Jika di kalangan masyarakat di negara itu tidak seorang pun yang
berminat mempelajari suatu bidang ilmu pengetahuan tertentu, maka
kelompok masyarakat itu secara keseluruhan harus memikul dosanya.
Oleh karena itu penting sekali bagi orang yang berkemampuan
memahami ilmu-ilmu yang sulit akan tetapi kurang menarik untuk
mempelajari ilmu itu dan tidak mempelajari ilmu lain yang lebih mudah
dikuasai tetapi lebih banyak membawa rezeki.

26

7. Metode Sains Falsafiyyah
Berlainan halnya dengan ilmu naqliah, ilmu aqliah itu dapat
dijadikan bahan perdebatan oleh karena nilai kebenaran pengetahuan
yang diterima atas dasar akal tidaklah mutlak. Ada peluangnya untuk
salah, terutama setelah orang mendapatkan kesempatan mengadakan
pengamatan

tambahan.

Suatu

pengetahuan

dapat

ditemukan

berdasarkan nalar dan tingkat kebenarannya ada pada taraf ‘ilmul yaqin.’
Kalau pengetahuan itu diperoleh berdasarkan pengamatan maka tingkat
kebenarannya ada pada taraf ainul yaqin.
Pembuktian kesalahan seorang terdakwa misalnya dapat dilakukan
melalui penyajian bahan bukti (ainul yaqin), yang kemudian disimpulkan
berdasarkan nalar (‘ilmul yaqin), tetapi kita juga dapat menyajikan contoh
betapa orang yang sudah menjalani hukum gantung sampai mati, setelah
limapuluh tahun kemudian ternyata tidak berdosa, karena pelaku aslinya
akhirnya mengakui segala kesalahannya. Dengan demikian mata dan akal
pun kadang-kadang salah lihat atau salah pikir.
Dengan demikian, apa yang menjadi keyakinan yang berdasarkan
pemikiran mungkin saja tidak benar karena ada sesuatu di dalam nalar
manusia itu yang salah. Demikian pula apa yang menjadi keyakinan
berdasarkan pengamatan belum tentu benar karena penglihatan manusia
mungkin saja mengalami penyimpangan. Karena itu kebenaran mutlak
ilmu pengetahuan yang kita kumpulkan berdasarkan rasio pada taraf

27

haqqul yaqin hanyalah ada pada Tuhan Yang Maha Mengetahui. Itulah
sebabnya ilmu pengetahuan selalu berubah-ubah dan berkembang.
Berdasarkan contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa jika
manusia ingin menjadi pengelola bumi yang baik maka ia harus selalu tak
henti-hentinya belajar, karena ilmu pengetahuan itu berubah. Ada diantara
pengetahuan itu

terdapat kesalahan dan harus dibuang dan ada pula

pengetahuan yang baru yang harus ditambahkan.
Semua

pengetahuan

yang

telah

diyakini

kebenarannya

berdasarkan nalar ditolak kebenarannya jika muncul pengetahuan baru
yang bertentangan dengan nalar manusia sebelumnya. Penolakan
kebenaran itu menimbulkan pengetahuan yang baru. Inilah yang menjadi
dasar

pemikiran

Ibnu

Khaldun

sewaktu

ia

menyusun

metode

pengembangan sains falsafiyyah, yang membatasi pada hal-hal yang ada
dengan menggunakan tiga tingkat kecerdasan manusia, yaitu melihat,
mencoba, dan menyusun teori. Buah pikiran Ibnu Khaldun inilah yang
akhirnya dikembangkan oleh Francis Bacon (1561-1626). Pemikiran ini
kemudian menjadi metode penelitian ilmiah modern.
Secara operasional Mohr (1977) mendefinisikan Sains atau Ilmu
Pengetahuan itu sebagai suatu usaha akal manusia yang tekun dan
teratur untuk menemukan pengetahuan yang benar Pengetahuan ilmiah
yang benar ini diungkapkan dalam bentuk pernyataan-pernyataan khusus
berupa hasil pengamatan dan suatu percobaan yang sengaja dibuat atau

28

pengamatan yang dilakukan dengan cara yang baku dan lingkungan
pengamatan seseorang.
Pengaruh pemikiran Ibnu Khaldun dalam penggunaan tiga tingkat
kecerdasan, yaitu mengamati, membuat percobaan dan menyusun teori.
Teori itu kemudian digunakan lagi untuk menerangkan kejadian-kejadian
nyata, proses-proses, dan gejala-gejala yang dapat diamati di alam fisik
maupun sosial.
Uraian di atas menunjukkan bahwa pencarian ilmu pengetahuan
oleh manusia dibatasi oleh kendala kemampuan manusia berpikir dan
bernalar. Selalu mempertahankan itikad baik melihat kebenaran dan
nalarnya, yan diperoleh dari belajar berdasarkan lingkungan di mana dia
hidup, kemampuan untuk menemukan dan merancang, mengumpulkan
keterangan, serta bahan yang menjadi sumber pengamatan dan
penalarannya, serta rasa tanggung jawabnya terhadap perikemanusiaan
dalam penerapan pengetahuan yang telah ditemukannya.
Oleh karena seorang ilmuan sewaktu-waktu akan terbentur pada
kendala-kendala. Sebaiknya seorang ilmuan juga mencoba memahami
Filsafat Sains. Hal ini karena filsafat menurut Immanuel Kant (Britannica,
1982) merupakan dasar semua pengetahuan yang mempersoalkan caracara untuk mengetahui dan mengembangkan pemikiran, mencakup
sampai batas apa diketahui segala sesuatu, tentang perilaku manusia,
hal-hal apa saja yang dapat diperoleh dari pemanfaatan pengetahuan.

29

Pembahasan ini berhubungan dengan Epistemologi. Yaitu
pembahasan tentang bagaimana caranya orang menjadi maklum, etika,
membahas perilaku manusia yang dianggap dapat diterima oleh
masyarakat, Agama, mempertanyakan sampai berapa jauh orang dapat
mengetahui semua rahasia alam tanpa harus menempatkan dirinya dalam
suatu keadaan bertentangan dengan ketakwaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, dan Antropologi, yang mencoba menempatkan manusia
sebagai sasaran keingintahuan manusia itu sendiri.
Filsafat Sains menurut Andi Hakim Nasution, “filsafat sains”
adalah tempat yang netral untuk menjadi menara pengamatnya. Apa
sebenarnya yang dimaksudkan dengan sains itu, sesuai dengan asal kata
filsafat itu sendiri yang berasal dan dua kata Yunani philein yang artinya
“suka” dan sophia yang artinya “hikmah” atau “kearifan” yang setelah
digabung menjadi philosophia yang artinya ialah “suka kearifan”.

30

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Perkembangan ilmu dalam filsafat Ilmu Barat mengalami kemunduran
dengan adanya perubahan persepsi tentang mana yang salah dan
mana yang benar. Kebenaran yang diyakini selama ini ternyata
merupakan sebuah pemikiran yang salah. Karena tidak ada kekuatan
yang self correcting akan tetapi inconsistency antar disiplin ilmu. Ilmu
Barat terjebak dalam skeptisisme yang menjadikannya tidak tahu arah
yang benar.

2. Filsafat Islam menghasilkan ilmu Tauhidullah. Manusia menjadi pewaris
Tuhan Yang Maha Kuasa di muka bumi yang diberikan nalar berfikir
dan tingkat kecerdasan sehingga dapat mengambil keputusan. Inilah
yang

membedakan

Penggunaan

tingkat

manusia

dengan

kecerdasan,

makhluk

melalui

tahap

hidup

lainnya.

pengamatan,

melakukan percobaan dan penyusunan teori. Teori ini jika digunakan
dengan tepat akan membawa manfaat bagi kesejahteraan manusia,
akan tetapi kejeniusan manusia yang salah akan berdampak pada
kemudharatan di muka bumi.

31

B. Saran

1. Seharusnya pemikiran Ilmu Barat tidak hanya berlandaskan pada akal
saja yang membuat keraguan tetapi harus mulai memikirkan kehendak
ketuhanan (God interest).

2. Filsafat tauhidullah adalah solusi untuk memecahkan permasalahan
yang tidak dapat diselesaikan oleh ilmu Barat.

32