BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Hubungan Karakteristik Keluarga dan Pemberdayaan Masyarakat dengan Praktek Kadarzi di Kecamatan Trienggadeng Kabupaten Pidie Jaya
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kesehatan adalah hak asasi manusia dan sekaligus merupakan investasi sumber daya manusia, serta memiliki kontribusi yang besar untuk meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Oleh karena itu, menjadi suatu keharusan bagi semua pihak untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatan demi kesejahteraan masyarakat (Depkes RI, 2007). Keadaan gizi yang baik merupakan prasyarat utama dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Masalah gizi terjadi di setiap siklus kehidupan, dimulai sejak dalam kandungan (janin), bayi, anak, dewasa dan usia lanjut.
Salah satu program Menteri Kesehatan dalam memperbaiki kesehatan masyarakat adalah melalui keluarga sadar gizi. Berdasarkan Depkes RI (2007) keluarga sadar gizi ditandai dengan adanya kemampuan keluarga tersebut untuk memenuhi pangan bagi semua anggota keluarga, menjaga kesehatan lingkungan, mencegah penyakit infeksi, memberikan pengasuhan gizi dan kesehatan, serta perilaku keluarga tersebut mampu untuk memanfaatkan pendapatan, distribusi pangan dalam keluarga, memantau pertumbuhan dan perkembangan, memberikan pertolongan awal masalah kelainan gizi dan memperoleh pelayanan kesehatan.
1 Depkes RI (2007) menyatakan bahwa suatu keluarga dikatakan Kadarzi apabila telah berperilaku gizi yang baik secara terus menerus. Perilaku sadar gizi yang diharapkan terwujud terutama 1) menimbang berat badan secara teratur ; 2) memberikan air susu ibu (ASI) saja kepada bayi sejak lahir sampai umur enam bulan (ASI eksklusif) ; 3) makan beraneka ragam ; 4) menggunakan garam beryodium ; dan 5) minum suplemen gizi sesuai anjuran. Kadarzi diharapkan mampu mengatasi masalah gizi. Masalah gizi dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait dan secara tidak langsung dipengaruhi oleh kualitas dan jangkauan pelayanan kesehatan.
Balita merupakan kelompok umur yang rentan terkena masalah gizi. Masalah gizi yang sering terjadi pada usia balita biasanya disebabkan karena tindakan gizi dan kesehatan yang kurang oleh keluarga terutama ibu. Menurut Riyadi (2001), status gizi menggambarkan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang sebagai dampak dari konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat-zat gizi makanan. Pemeliharaan gizi anak sangat menentukan pertumbuhan fisiknya. Selain itu organ jaringan tubuh baru dapat berfungsi sempurna bila mendapat makanan yang cukup dan bergizi seimbang.
Gambaran perilaku gizi yang belum baik di Indonesia diketahui dengan masih rendahnya pemanfaatan fasilitas kesehatan. Pemantauan pertumbuhan seharusnya dilakukan setiap bulan, namun dari Riskesdas (2010), ditemui hanya 49,4% yang melakukan pemantauan pertumbuhan 4 kali atau lebih dalam 6 bulan terakhir. Masih ada 23,8% balita yang tidak pernah ditimbang pada kurun waktu 6 bulan terakhir. Kepemilikan KMS dijumpai hanya pada 30,5% anak balita, dan kepemilikan buku KIA padan 25,5%. Persentase bayi yang menyusui eksklusif sampai dengan 6 bulan adalah 15,3%. Inisiasi menyusui dini kurang dari satu jam setelah bayi lahir adalah 29,3%. Cakupan distribusi kapsul vitamin A untuk balita juga baru mencapai 71,5%, prevalensi kurang makan buah dan sayur mencapai 93,6%, dan 37,7% keluarga belum menggunakan garam beryodium.
Sejumlah aspek perlu dicermati dalam mewujudkan perilaku kadarzi. Aspek ini berada di semua tingkatan yang mencakup: a) tingkat keluarga; b) tingkat masyarakat; c) tingkat pelayanan kesehatan; dan d) tingkat pemerintah. Di tingkat keluarga, aspek tersebut adalah a) pengetahuan dan keterampilan keluarga dan b) kepercayaan, nilai dan norma yang berlaku. Sementara, di tingkat masyarakat yang perlu diperhatikan sebagai faktor pendukung perubahan perilaku keluarga, adalah a) norma yang berkembang di masyarakat, dan b) dukungan pemangku kepentingan (stakeholders) yang mencakup eksekutif, legislatif, tokoh agama/masyarakat, dan sektor swasta dan donor. Di tingkat pelayanan kesehatan mencakup pelayanan preventif dan promotif. Di tingkat pemerintahan mencakup adanya kebijakan pemerintah yang mendukung dan pelaksanaan kebijakan yang dapat dipertanggungjawabkan (Depkes RI, 2007).
Hasil studi Sediaoetama (2006); Hardinsyah (2007); Gabriel (2008), menunjukkan bahwa faktor yang memengaruhi praktek Kadarzi adalah faktor karakteristik keluarga yang meliputi: tingkat pendidikan orang tua, umur orang tua, jumlah anggota keluarga, pendapatan keluarga, ketersediaan pangan, pengetahuan, dan sikap ibu terhadap gizi. Sementara menurut Misbakhudin (2003), selain faktor karakteristik keluarga, pemberdayaan masyarakat dari tenaga kesehatan juga merupakan salah satu faktor yang memengaruhi pencapaian program Kadarzi.
Sarjunani (2009), juga menyebutkan bahwa salah satu upaya untuk memperbaiki status gizi masyarakat yaitu melalui program Kadarzi dengan cara pemberdayaan gizi masyarakat. Rumniati (2005), menyimpulkan bahwa adanya masyarakat yang belum mengerti tentang Kadarzi sehingga masih diperlukan pemberdayaan dari kader dan tenaga kesehatan. Pemberdayaan masyarakat yang dilakukan dapat memotivasi keluarga untuk memperaktekkan indikator-indikator Kadarzi.
Orang tua memegang peranan penting dalam pemilihan pangan untuk anggota keluarganya, maka pengetahuan gizi orang tua terutama ibu akan memengaruhi jenis pangan dan mutu gizi makanan yang dikonsumsi anggota keluarga. Pengetahuan gizi ibu yang baik akan berpengaruh terhadap jenis pangan dan mutu gizi makanan yang dikonsumsi anggota keluarganya, yang merupakan cerminan dari perilaku gizi yang baik. Oleh karena itu, tingkat pengetahuan gizi yang baik dapat mewujudkan perilaku atau kebiasaan makan yang baik pula (Hardinsyah & Martianto, 2007). Hal ini sesesuai dengan pernyataan Khomsan (2009), keadaan ekonomi dan kekurangan makanan bukanlah satu-satunya faktor penyebab timbulnya permasalahan gizi pada balita. Faktor yang tidak kalah pentingnya adalah kurangnya pengetahuan gizi masyarakat. Khususnya pada ibu yang sebagian besar pengasuh anak. Adanya pengetahuan gizi ibu akan memengaruhi sikapnya dan selanjutnya akan berdampak terhadap perilaku gizinya.
Masalah gizi pada anak balita masih cukup tinggi di Kabupaten Pidie Jaya. Dari laporan bulanan Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie Jaya tahun 2012 juga diketahui sebanyak 161 balita (8,02%) gizi kurang, dan sebanyak 11 balita (0,55%) menderita gizi buruk dari 2003 balita yang ditimbang. Masalah gizi tersebut dikarenakan masih banyak keluarga yang masih belum menerapkan perilaku gizi yang baik. Gambaran perilaku gizi yang belum baik di Kabupaten Pidie Jaya ditunjukkan dengan masih rendahnya pemanfaatan fasilitas pelayanan oleh masyarakat. Saat ini baru sekitar 50% anak balita yang dibawa ke Posyandu untuk ditimbang sebagai upaya deteksi dini gangguan pertumbuhan. Bayi dan balita yang telah mendapat Kapsul Vitamin A baru mencapai 84% dan ibu hamil yang mengkonsumsi Tablet Tambah Darah (TTD) baru mencapai 60%. Sementara itu perilaku gizi lain yang belum baik adalah masih rendahnya ibu yang menyusui bayi 0-6 bulan secara eksklusif yang baru mencapai 24,4%, dan sebesar 57,10% rumah tangga yang menggunakan garam beryodium.
Kecamatan Trienggadeng memiliki jumlah balita gizi kurang terbanyak di Kabupaten Pidie Jaya, yaitu 34 (10,10%) dari 338 balita yang ditimbang. Sedangkan cakupan kadarzi di Kecamatan Trienggadeng tahun 2010 sampai dengan 2012 dapat diketahui berdasarkan laporan bulanan Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie Jaya.
Tabel 1.1. Cakupan Kadarzi di Kecamatan Trienggadeng Tahun 2010-2012 No. Cakupan Kadarzi 2010 2011 20121. Cakupan ASI Esklusif 12,2% 11,1% 11,4%
2. Rumah tangga menggunakan garam beryodium 51,3% 49,8% 50,3%
3. Cakupan Vitamin A pada balita 74,4% 74,7% 74,0%
4. Cakupan TTD pada ibu hamil 71,7% 70,6% 71,3%
Sumber: Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie Jaya, 2012
Berdasarkan wawancara dengan kepala puskesmas tingginya masalah gizi di Kecamatan Trienggadeng dapat disebabkan oleh praktek Kadarzi belum baik, yang dikarenakan pengetahuan tentang kadarzi, sikap dan keterampilan serta kemauan untuk bertindak memperbaiki gizi keluarga masih rendah. Sebagian keluarga menganggap asupan makanannya selama ini cukup memadai karena tidak ada dampak buruk yang mereka rasakan. Sebagian keluarga mengetahui bahwa ada jenis makanan yang lebih berkualitas, namun mereka tidak ada kemauan dan tidak mempunyai keterampilan untuk penyiapannya.
Berbagai upaya telah dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie Jaya dalam meningkatkan cakupan Kadarzi di Kecamatan Trienggadeng. Salah satu upaya yang dilakukan adalah pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan pemanfaatan Pos Gizi. Pos Gizi merupakan tempat yang digunakan untuk mengadakan kegiatan pendidikan gizi. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam program tersebut meliputi: penyuluhan gizi tentang ASI eksklusif, penggunaan garam yodium, dan pemanfaatan makanan lokal serta pemanfaatan pekarangan rumah untuk meningkatkan keanekaragaman makanan keluarga (Dinkes Kabupaten Pidie Jaya, 2013).
Pemerintah Kabupaten Pidie Jaya bekerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam bidang kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di Kecamatan Trienggadeng melalui peningkatan praktek kadarzi. Hingga saat ini LSM yang ada di Kecamatan Trienggadeng berupaya mengembangkan berbagai program dan gagasan untuk berperan dalam mengupayakan kesehatan masyarakat yang tidak memiliki akses di bidang kesehatan.
Upaya-upaya ini dilakukan untuk melengkapi dan memperkuat program pemerintah dengan memberikan bantuan dana untuk keberlanjutan kesehatan di tingkat masyarakat. Berbagai program yang telah dilakukan berupa pelatihan kader posyandu, peningkatan kualitas kesehatan ibu dan anak, peningkatan kapasitas masyarakat dalam bidang kesehatan sebagai upaya peningkatan kesadaran dan promosi kesehatan, dan pengembangan media komunikasi kesehatan.
Bantuan dana dari pihak LSM di Kecamatan Trienggadeng juga digunakan dalam pelaksanaan kegiatan Kadarzi, antara lain : a) Melakukan upaya perbaikan gizi masyarakat melalui Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) baik di Posyandu maupun di luar Posyandu; c) Membina Keluarga menjadi Keluarga Mandiri Sadar Gizi (Kadarzi); d) Memberikan PMT Penyuluhan di Posyandu dan PMT Pemulihan pada kasus gizi buruk; e) Memberikan MP-ASI kepada Balita 6-23 bulan dari keluarga miskin untuk menjaga dan meningkatkan status gizinya; dan f) Memberikan masukan kepada pemerintah tentang hal-hal yang terjadi di lapangan menyangkut masalah Kadarzi.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: hubungan karakteristik keluarga dan pemberdayaan masyarakat dengan praktek keluarga sadar gizi di Kecamatan Trienggadeng Kabupaten Pidie Jaya.
1.2. Permasalahan
Pada umumnya keluarga di Kecamatan Trienggadeng belum berperilaku Kadarzi yang baik. Hal tersebut dapat dikarenakan pemahaman masyarakat tentang kadarzi masih rendah. Meskipun pemberdayaan masyarakat melalui program Pos Gizi sudah ditingkatkan, namun keluarga belum juga menerapkan indikator-indikator dari Kadarzi secara keseluruhan. Sehingga pencapaian praktek Kadarzi di Kecamatan Trienggadeng masih rendah.
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan karakteristik keluarga dan pemberdayaan masyarakat dengan praktek keluarga sadar gizi di Kecamatan Trienggadeng Kabupaten Pidie Jaya.
1.4. Hipotesis Penelitian
Ada hubungan karakteristik keluarga dan pemberdayaan masyarakat dengan praktek keluarga sadar gizi di Kecamatan Trienggadeng Kabupaten Pidie Jaya..
1.5. Manfaat Penelitian 1.
Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie Jaya terkait dengan praktek keluarga sadar gizi (Kadarzi) dan faktor yang memengaruhinya.
2. Bagi seluruh Puskesmas yang ada di Kabupaten Pidie Jaya, hasil penelitian ini memberikan sumbangan kepada pengambil kebijakan di Puskesmas, dalam menetapkan kebijakan dan startegi intervensi dalam praktek keluarga sadar gizi (Kadarzi) 3. Sebagai referensi bagi peneliti-peneliti lain dalam mengkaji masalah penelitian lembaga pendidikan dimasa mendatang.