BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Hubungan Sosial Budaya Ibu Menyusui dengan Pemberian ASI Eksklusif di Kabupaten Bener Meriah Tahun 2013
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Upaya perbaikan gizi masyarakat sebagaimana didalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 bertujuan untuk meningkatkan mutu gizi perseorangan dan masyarakat, antara lain melalui perbaikan pola kosumsi makanan, perbaikan prilaku sadar gizi, dan peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi dan kesehatan sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2010-2014 telah menetapkan 4 sasaran pembangunan kesehatan yaitu; (1) Meningkatkan umur harapan hidup menjadi 72 tahun, (2) menurunkan angka kematian bayi menjadi 24 per 1000 kelahiran hidup, (3) menurunkan angka kematian ibu menjadi 228 per 100 ribu kelahiran hidup dan (4) menurunkan prevalensi gizi kurang menjadi 15% dan prevalensi balita pendek menjadi 32% untuk mencapai sasaran RPJMN 2010-2014 dibidang kesehatan yang memuat indikator keluaran yang harus dicapai, dimana bidang perbaikan gizi salah satu dari delapan indikator keluaran adalah 80% bayi usia 0-6 bulan mendapat ASI eksklusif (Kementerian Kesehatan RI, 2010).
Menyusui artinya memberikan makanan kepada bayi yang secara langsung dari payudara ibu sendiri. Menyusui adalah proses alamiah, dimana berjuta-juta ibu melahirkan diseluruh dunia berhasil menyusui bayinya tanpa pernah membaca buku tentang pemberian ASI.
1 Walupun demikian dalam lingkungan kebudayaan kita saat ini melakukan hal yang sifatnya alamiah tidaklah selalu mudah untuk dilakukan oleh para ibu-ibu menyusui. Menyusui merupakan cara pemberian makan yang diberikan secara langsung oleh ibu kepada anaknya, namun seringkali ibu menyusui kurang memahami dan kurang mendapatkan informasi, bahkan sering kali ibu-ibu mendapatkan suatu informasi yang salah tentang manfaat ASI eksklusif itu sendiri, tentang bagaimana cara menyusui ataupun langkah-langkah menyusui yang benar kepada bayinya, dan kurangnya informasi yang diberikan tentang dampak apabila ASI eksklusif itu tidak diberikan dan apa yang harus dilakukan bila timbul kesukaran dalam menyusui secara eksklusif kepada bayinya (Roesli, 2000).
Pemberian Air Susu Ibu (ASI) sangat baik bagi tumbuh kembang yang optimal baik fisik maupun mental dan kecerdasan bayi. Oleh karena itu pemberian ASI perlu mendapat perhatian para ibu agar proses menyusui dapat terlaksana dengan benar (Afifah, 2007). Organisasi anak sedunia (UNICEF, 2009) menyatakan 30.000 kematian bayi pertahunnya, dapat dicegah melalui pemberian ASI secara ekslusif selama 6 bulan, tanpa harus memberikan makanan dan minuman tambahan pada bayi.
Manfaat pemberian ASI ekslusif dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan anak, tetapi kesadaran ibu untuk memberikan ASI ekslusif di Indonesia baru mencapai 14 % saja. Banyak kasus kurang gizi pada anak-anak berusia dibawah dua tahun yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia yang dapat di minimalisir melalui pemberian ASI ekslusif. Oleh sebab itu sudah sewajarnya ASI ekslusif dijadikan sebagai prioritas utama dalam program di seluruh dunia khususnya negara-negara berkembang.
Dalam rangka menurunkan angka kesakitan dan kematian anak, United
Childrens Fund
(UNICEF) dan World Health Organization (WHO) merekomendasikan sebaiknya anak disusui hanya dengan air susu ibu selama paling sedikit enam bulan. Makanan padat seharusnya diberikan sesudah anak berumur enam bulan, dan pemberian ASI dilanjutkan sampai anak berumur dua tahun.
Tingginya angka kematian bayi di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor infeksi dan kekurangan gizi sedangkan penyebab lainya adalah berbagai penyakit yang sebenarnya dapat dicegah salah satunya dengan pemberian ASI eksklusif (Roesli, 2000).
Setiap bayi berhak untuk mendapatkan standar emas pemberian pelayanan pada bayi, yaitu: (1) inisiasi menyusu dini (IMD), (2) ASI eksklusif sejak lahir sampai 6 bulan, (3) makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat waktu dan berkualitas sejak usia 6 bulan, serta (4) pemberian ASI diteruskan sampai usia 2 tahun/lebih (Global Strategy for Infant and Young Child Feeding (2002), Resolusi WHA no. 55.25 2002); Setiap anak berhak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, mendapatkan standar kesehatan tertinggi serta terhindar dari resiko kematian dan malnutrisi (Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi melalui Keputusan Presiden no. 36/1990); Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya agar dapat tumbuh dan berkembang secara layak (Pasal 11 Undang-Undang no. 49/1999 Tentang Hak Asasi Manusia).
Pasal 128 (1) dan 129 (2) Undang-Undang No. 36/2009 tentang Kesehatan; Setiapbayi Indonesia berhak untuk tidak mendapatkan susu formula kecuali atas indikasi medis, dan setiap ibu berhak untuk mendapatkan perlindungan dalam memberikan ASI Eksklusif kepada bayinya (Pasal 15, 17 & 26 Peraturan Pemerintah No. 33/2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif). Saat ini, kondisi pemberian ASI di Indonesia masih tergolong rendah.
Masyarakat Indonesia yang majemuk terdiri dari berbagai suku dan memiliki sosial budaya yang beraneka ragam, hal ini berpengaruh besar terhadap pola perilaku masyarakatnya. Perilaku yang dilatar belakangi sosial budaya tersebut ada yang positip dan ada yang negatif dipandang dari sudut kesehatan, yang negatif tersebut merugikan program pembangunan kesehatan masyarakat.
Kebudayaan adalah suatu sistem koqnitif yaitu sistem yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan dan nilai yang berada dalam pikiran anggota-anggota individual masyarakat. Kebudayaan merupakan perlengkapan mental yang oleh anggota-anggota masyarakat dipergunakan dalam proses-proses orientasi, transaksi, pertemuan, perumusan, gagasan, penggolongan, dan penafsiran perilaku sosial nyata dalam masyarakat. Sehubungan dengan penggunaan konsep budaya dalam perilaku masyarakat terkait dengan prilaku kesehatan seseorang, sedikit atau banyak, terkait dengan pengetahuan, kepercayaan, nilai, dan norma dalam lingkungan sosialnya berkenaan dengan etiologi, terapi pencegahan penyakit. Dapat saja seseorang memperlihatkan perilaku psikologis disamping perilaku budaya.
Pemberian ASI eksklusif pada ibu menyusui dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti sikap, dan perilaku ibu, tingkat pendidikan, pengetahuan, pekerjaan, sosial ekonomi dan budaya, ibu merasa ASI yang dimiliki kurang, ibu yang bekerja serta kurangnya dukungan dari keluarga dan lingkungan (Roesli, 2000). Pemberian ASI eksklusif yang rendah diIndonesia disebabkan oleh faktor internal yaitu rendahnya pengetahuan dan sikap ibu dan faktor eksternal yaitu kurangnya dukungan keluarga, masyarakat, petugas kesehatan maupun pemerintah, gencarnya promosi susu formula, faktor sosial budaya, serta kurangnya ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan ibu dan anak (Yuliana dkk, 2013).
Penelitian yang terkait dengan hal diatas diantaranya yang dilakukan oleh Hilala, (2013) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara usia, pengetahuan, pendidikan dan dukungan orang terdekat dengan pemberian ASI eksklusif diwilayah kerja puskesmas Tuladenggi Telaga Biru Kabupaten Gorontalo. Penelitian lain diantaranya dilakukan oleh Mulyaningsih (2000) yang menyatakan bahwa ada hubungan bermakna antara tingkat pendidikan dengan motivasi ibu dengan pemberian ASI eksklusif. Agus (2002) dalam penelitiannya juga mengungkapkan adanya hubungan yang signifikan antara pekerjaan ibu dengan pemberian ASI eksklusif.
Sementara menurut Roesli (2000), bahwa fenomena kurangnya pemberian ASI eksklusif disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya pengetahuan ibu yang kurang memadai tentang ASI eksklusif, beredarnya mitos yang kurang baik tentang pemberian ASI eksklusif, serta kesibukan ibu dalam melakukan pekerjaannya dan singkatnya pemberian cuti melahirkan yang diberikan oleh pemerintah terhadap ibu yang bekerja, merupakan alasan-alasan yang sering diungkapkan oleh ibu yang tidak berhasil menyusui secara eksklusif.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ginting (2013) di wilayah kerja puskesmas Munte Kabupaten Karo menyatakan bahwa variabel pekerjaan, pengetahuan, bisa berpengaruh terhadap pemberian ASI eksklusif sebesar 95,7%. Hasil penelitian Ludin (2009) di Kecamatan Rumbai Pesisir kota Pekan Baru didapati bahwa variabel keyakinan/kepercayaan, norma/nilai, pengetahuan berperan dalam tindakan pemberian ASI eksklusif.
Keyakinan atau kercayaan dari ibu yang kuat merupakan faktor determinan yang penting terhadap keberhasilan pemberian ASI eksklusif (Kurniawan, 2013).
Kepercayaan atau keyakinan berpengaruh pada sikap terhadap perilaku tertentu, norma-norma subjektif dan kontrol perilaku (Robbins,1996). Berbagai faktor sosial budaya yang melatar belakangi perilaku pemberian ASI eksklusif adalah berkaitan dengan kebiasaan masyarakat dalam memberikan makanan pada bayi yang baru lahir Penelitian yang dilakukan oleh Rayuni (2010) mengungkapkan budaya yang mendukung dalam pemberian ASI eksklusif adalah keterikatan keluarga dan sosial sebagai pemberi dukungan untuk memberikan ASI eksklusif. Sedangkan budaya yang tidak mendukung adalah adanya pantangan dan mitos pada pemberian ASI eksklusif.
Sehubungan dengan hal diatas mengungkapkan bahwa jika bayi belum mau menyusui, ibunya akan mengolesi madu pada puting susunya yang ditujukan untuk menghilangkan rasa amis pada susu kuning (colostrum). Sedangkan penelitian yang sama juga mengungkapkan hal yang tidak jauh berbeda, bahwa madu, air matang dan susu formula diberikan kepada bayi yang baru lahir. Alasan pemberian makanan /minuman ini adalah ASI belum keluar, agar bayi tidak lapar, disarankan orang tua dan ibu belum kuat menyusui (Widodo, 2001). Demikian pula kebiasaan masyarakat memberikan makanan tambahan kepada bayi sebelum usia enam bulan. Pemberian makanan tambahan pada bayi yang berusia sangat dini sudah diberikan. Hal ini karena ada anggapan bahwa ASI tidak cukup membuat bayi cepat besar dan kuat (Mutiaf, 1998).
Keterkaitan aspek sosial budaya dengan pemberian ASI dapat dilihat dengan penelitian Susilawati (2005) tentang determinasi sosial budaya pada pemberian ASI eksklusif diwilayah kerja puskesmas padang bulan dan Padang Bulan Selayang II Kota Medan. Hasil penelitiannya menyimpulkan ada hubungan bermakna antara pekerjaan ibu dengan pemberian ASI eksklusif, serta ada hubungan antara sosial budaya dengan pemberian ASI eksklusif, pada penelitian ini ditemukan mayoritas sampel mendapat PASI dari Rumah Sakit maupun klinik Bersalin, tidak pernah mendapat anjuran tentang ASI eksklusif, persiapan laktasi dan payudara. Secara nasional cakupan pemberian ASI eksklusif berfluktuasi dan menunjukan kecendrungan menurun selama tiga tahun terakhir. Cakupan pemberian ASI eksklusif pada 0-6 bulan turun 62,2% tahun 2007 menjadi 56,2% pada tahun 2008. Sedangkan cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi sampai 6 bulan turun dari 28,6% pada tahun 2007 menjadi 24,3% pada tahun 2008 (Kementerian Kesehatan RI, 2010).
Cakupan ASI di Indonesia belum mencapai angka yang diharapkan yaitu sebesar 80% menurut hasil survey demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 di Indonesia hanya sepertiga (32%) bayi berumur dibawah 6 bulan yang mendapat ASI eksklusif diantara sepuluh hanya empat bayi yang berumur dibawah empat bulan (41%) yang mendapat ASI eksklusif dan hanya 48% anak umur kurang dari dua bulan mendapat ASI eksklusif (Depkes RI, 2007).
Data SDKI (Survei Demografi Kesehatan Indonesia) tahun 2012 peningkatan ibu menyusui hingga 10 persen sejak pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) No 33/2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif. Berdasarkan hasil SDKI 2012, jumlah ibu menyusui sudah mencapai 42 persen. Angka tersebut naik sekitar 10 persen dari angka sebelumnya, adanya peningkatan jumlah ibu menyusui yang memberikan ASI eksklusif pada bayinya adalah hasil dari kerja keras bersama. Selain itu pemerintah yang telah mendukung lewat Peraturan Pemerintah (PP) No 33/2012 tentang ASI Eksklusif, kegigihan para penggiat laktasi dan kesadaran para ibu sendiri juga turut mendukung pencapaian ini. Pemerintah maupun berbagai lembaga penggiat ASI selalu mengkampanyekan ASI eksklusif untuk bayi usia 0-6 bulan. Dari hasil kampanye tersebut, dalam 5 tahun jumlah ibu menyusui telah mencapai 42 persen, atau naik 10 persen dibanding 5 tahun sebelumnya (Depkes, 2007).
Cakupan pemberian ASI Eksklusif (0-6 bulan) diprovinsi Aceh pada tahun 2012 adalah 32,2%2 dan merupakan propinsi urutan kelima terendah seluruh Indonesia setelah propinsi Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, Kepulauan Bangka Belitung. Kalimantan Timur (Kemenkes, 2012). Di Kabupaten Bener Meriah persentasi bayi yang diberi ASI Eksklusif tahun 2013 masih rendah walaupun mengalami peningkatan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir yaitu tahun 2011 sebesar 6,60%, tahun 2012 7,58%, tahun 2013 sebesar 41,56% (Dinkes Bener Meriah, 2013).
Kabupaten Bener Meriah merupakan Kabupaten termuda dalam wilayah provinsi Aceh, yang merupakan hasil pemekaran dari kabupaten Aceh Tengah, penduduknya terdiri dari bermacam-macam suku, 40% suku Gayo, 25% suku Aceh, 30% suku Jawa. Suku Bali dan sedikit Minang hanya ada di ibukota kabupaten serta etnis China dan Arab yang tersebar diseluruh kecamatan. Dikabupaten Bener Meriah sudah turun temurun mengenal adanya istilah “DENA” yaitu kepercayaan terhadap adanya kuman didalam air susu ibu, atau istilah lainnya sering disebut dengan susu basi, dena hanya terjadi pada saat ibu sedang menyusui, biasanya ibu akan merasa ada kuman didalam ASInya pada saat siibu merasakan adanya rasa gatal pada puting susu, gejala yang dilihat pada bayi disaat bayi tidak mau disusui, bayi mulai rewel, timbul bercak-bercak pada kulit bayi, lecet diseputar paha bahkan mengeluarkan nanah, perut bayi menjadi gembung, ada kotoran dimata bayi, wajah bayi mulai menguning dan berubah bewarna kehitam- hitaman seperti tersengat matahari, setiap disusui bayi akan muntah, biasanya setelah mengalami hal ini mereka akan mencari dukun untuk mencari pengobatan, mereka tidak mencari pengobatan dipelayanan tenaga kesehatan karena mereka menganggap tenaga kesehatan tidak percaya dengan dena, dan anak mereka tidak sembuh.
Kepercayaan terhadap adanya Dena ini sudah berlangsung sangat lama dan berlanjut hingga saat ini, banyak ibu-ibu yang percaya bahwa dirinya terkena dena ini, ia akan menghentikan pemberian ASInya, diyakini apabila ASI tetap dilanjutkan akan membuat bayinya menjadi sakit, dan bahkan meninggal dunia. Masalah lain yang masih terjadi dikabupaten Bener Meriah adalah masih banyaknya bayi yang baru lahir diberi madu, air gula, air putih bahkan susu formula, setelah beberapa hari kelahiran bayi langsung diberi pisang dan air tajin, hal ini biasanya dilakukan oleh nenek dari sibayi, peran orang tua dari si ibu bayi masih dominan didaerah ini, karena yang merawat ibu setelah bersalin adalah orang tuanya.
Sehubungan dengan hal tersebut hasil penelitian (Mutiaf, 1998) juga mengungkapkan bahwa jika bayi belum mau menyusui, ibunya akan mengolesi madu pada puting susunya yang ditujukan untuk menghilangkan rasa amis pada susu kuning (colostrum). Sedangkan penelitian yang sama juga mengungkapkan hal yang tidak jauh berbeda, bahwa madu, air madu air matang dan susu formula diberikan kepada bayi yang baru lahir. Alasan pemberian makanan/minuman ini adalah ASI belum keluar, agar bayi tidak lapar, disarankan orang tua dan ibu belum kuat menyusui (Widodo,2001). Demikian pula kebiasaan masyarakat memberikan makanan tambahan kepada bayi sebelum usia enam bulan. Pemberian makanan tambahan pada bayi yang berusia sangat dini sudah diberikan. Hal ini karena ada anggapan bahwa ASI tidak cukup membuat bayi cepat besar dan kuat (Mutiaf, 1998).
Fenomena lainnya yang terjadi di Kabupaten Bener Meriah pada sebagian besar ibu-ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif kepada bayinya terkait dengan kebiasaan ibu-ibu dengan pantangan makanan-makanan tertentu, yaitu kepercayaan tentang makanan yang apabila dikosumsi oleh ibu akan menyebabkan bayinya sakit, diyakini oleh para ibu-ibu menyusui ini terdapat kuman pada susunya, makanan yang dimaksud contohnya seperti sayur terong, udang, cumi-cumi, ikan tongkol, makanan- makanan ini dianggap pantang untuk dikosumsi oleh ibu-ibu yang sedang menyusui, bahkan ada sebagian ibu-ibu yang sedang hamil sudah melakukan pantangan makanan-makananan yang dimaksud karna takut terulang akan mengalami hal yang sama dengan bayinya kelak, dan ada yang melakukannya karna perintah dari orang tua.
Survei awal yang dilakukan terhadap 10 orang pada saat posyandu sedang berlangsung ditemukan ibu yang tidak menyusui bayinya secara eksklusif ada 5 orang dengan alasan yang sama, yaitu adanya kuman didalam air susu ibu. Adapun tingkat pendidikan ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif adalah SMP 1 orang dan 4 orang ibu yang berpendidikan SMA, sedangkan pekerjaan mereka adalah sebagai petani, pedagang maupun PNS.
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk mengambil judul “Hubungan Sosial Budaya ibu menyusui dengan pemberian ASI eksklusif di Kabupaten Bener Meriah”.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan dalam penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan Sosial Budaya (pengetahuan, nilai/ norma, keyakinan/ kepercayaan, pekerjaan, pendapatan dan sikap ibu yang mempunyai bayi Dengan Pemberian ASI Eksklusif di Kabupaten Bener Meriah”?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan daripada penelitian ini adalah sebagai berikut;
a. Mengetahui hubungan pengetahuan ibu yang mempunyai bayi dengan pemberian ASI eksklusif.
b. Mengetahui hubungan nilai/norma ibu yang mempunyai bayi dengan pemberian ASI eksklusif.
c. Mengetahui hubungan keyakinan/kepercayaan ibu yang mempunyai bayi dengan pemberian ASI eksklusif.
d. Mengetahui hubungan pekerjaan ibu yang mempunyai bayi dengan pemberian ASI ekslusif.
e. Mengetahui hubungan pendapatan ibu yang mempunyai bayi dengan pemberian ASI ekslusif.
f. Mengetahui hubungan sikap ibu yang mempunyai bayi dengan pemberian ASI eksklusif.
1.4. Hipotesis
1. Ada hubungan pengetahuan ibu yang mempunyai bayi dengan pemberian ASI eksklusif.
2. Ada hubungan nilai/norma ibu yang mempunyai bayi dengan pemberian ASI eksklusif.
3. Ada hubungan keyakinan/kepercayaan ibu yang mempunyai bayi dengan pemberian ASI eksklusif.
4. Ada hubungan pekerjaan ibu yang mempunyai bayi dengan pemberian ASI eksklusif.
5. Ada hubungan pendapatan ibu yang mempunyai bayi dengan pemberian ASI eksklusif.
6. Ada hubungan sikap ibu yang mempunyai bayi dengan pemberian ASI eksklusif.
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi;
1. Sebagai masukan bagi dinas kesehatan kabupaten Bener Meriah dalam penyusunan strategi program kesehatan ibu dan anak, khususnya upaya meningkatkan kemauan dan kemampuan ibu yang mempunyai bayi 7-12 bulan dalam pemberian ASI eksklusif.
2. Untuk memperkaya kepustakaan sebagai bahan bacaan atau studi-studi tentang perilaku dan sosial budaya.