Hubungan Karakteristik Keluarga dan Pemberdayaan Masyarakat dengan Praktek Kadarzi di Kecamatan Trienggadeng Kabupaten Pidie Jaya

(1)

TESIS

Oleh

NAZARUDDIN 117032102/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N


(2)

HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DENGAN PRAKTEK KADARZI DI

KECAMATAN TRIENGGADENG KABUPATEN PIDIE JAYA

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Gizi Masyarakat

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

NAZARUDDIN 117032102/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DENGAN PRAKTEK KADARZI DI KECAMATAN TRIENGGADENG KABUPATEN PIDIE JAYA

Nama Mahasiswa : Nazaruddin Nomor Induk Mahasiswa : 117032102

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi dan Kebijakan Gizi Masyarakat

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Ir. Etti Sudaryati, M.K.M., Ph.D) Ketua

(Dr. Ir. Evawany Y. Aritonang, M.Si) Anggota

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 28 Agustsus 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Ir. Etti Sudaryati, M.K.M., Ph.D Anggota : 1. Dr. Ir. Evawany Y. Aritonang, M.Si


(5)

PERNYATAAN

HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DENGAN PRAKTEK KADARZI DI

KECAMATAN TRIENGGADENG KABUPATEN PIDIE JAYA

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, September 2013

Nazaruddin 117032102/IKM


(6)

ABSTRAK

Masalah gizi di Kecamatan Trienggadeng dapat disebabkan oleh praktek Kadarzi belum baik, yang dikarenakan pengetahuan tentang kadarzi, sikap dan keterampilan serta kemauan untuk bertindak memperbaiki gizi keluarga masih rendah. Sebagian keluarga menganggap asupan makanannya selama ini cukup memadai karena tidak ada dampak buruk yang mereka rasakan.

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan karakteristik keluarga dan pemberdayaan masyarakat dengan praktek keluarga sadar gizi di Kecamatan Trienggadeng Kabupaten Pidie Jaya. Jenis penelitian analitik observasional dengan rancangan penelitian cross sectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh keluarga yang tinggal di Kecamatan Trienggadeng Kabupaten Pidie Jaya, yaitu sebanyak 6.703 keluarga, dan dijadikan sampel sebanyak 172 keluarga. Data karakteristik keluarga (umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan keluarga, dan besar keluarga), pengetahuan tentang kadarzi, sikap, dan pemberdayaan masyarakat serta praktek kadarzi dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner. Data yang sudah dikumpulkan dianalisis dengan uji chi-square.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan (p-value=0,037), pendapatan (p-value=0,026), pengetahuan (p-value=0,037), sikap (p-value=0,033), dan pemberdayaan (p-value=0,036) memiliki hubungan secara signifikan dengan praktek Keluarga Sadar Gizi. Sementara umur (p-value =0,238), pekerjaan (p-value=0.365), besar keluarga (p-value=0,730) tidak memiliki hubungan secara signifikan dengan praktek Keluarga Sadar Gizi.

Bagi Pemerintah Kabupaten Pidie Jaya agar meningkatkan kerja samanya dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam bidang kesehatan sebagai upaya untuk meningkatkan praktek Keluarga Sadar Gizi. Bagi Lembaga Swadaya Masyarakat di Kecamatan Trienggadeng agar lebih mengembangkan berbagai program dan gagasan untuk berperan dalam mengupayakan kesehatan masyarakat seperti: pelatihan kader posyandu, peningkatan ekonomi kader dan masyarakat melalui pemberdayaan kako.

Kata Kunci: Karakteristik Keluarga, Pemberdayaan Masyarakat, Keluarga Sadar Gizi


(7)

ABSTRACT

Nutrition problem in Trienggadeng Subdistrict can be caused by bad kadarzi (family’s awareness of nutrition) because knowledge, attitude, skill, and the will to improve family nutrition are still low. Some families think that their food intake is sufficient because they do not feel its bad impact.

The objective of the research was to know the correlation of family characteristics and people empowerment with the practice of family’s awareness of nutrition (kadarzi) in Trienggadeng Subdistrict, Pidie Jaya District. The type of the research was analytic observational method with cross sectional design. The population was 6,703 families, and 172 of them were used as the samples. The data about family characteristics (age, education, occupation, family income, and family size), knowledge in kadarzi, attitude, people empowerment, and practice in kadazi were gathered, through in-depth interviews, using questionnaires. The gathered data were analyzed by using chi-square test.

The result of the research showed that education (p value=0.037), income (p-value=0.026), knowledge (p-value=0.037), attitude (p-value=0.033), and empowerment (p-value=0.036) had significant correlation with the practice of Family’s Awareness of Nutrition. Meanwhile, age value=0.238), occupation (p-value=0.365), and family size (p-value=0.730) did not have any correlation with the practice of Family’s Awareness of Nutrition.

It is recommended that Pidie Jaya District Administration increase the collaboration with Non-Government Organizations (LSM) which are active in health in order to increase the practice of Family’s Awareness of Nutrition and Non-Government Organizations in Trieggadeng Subdistrict develop various programs and ideas in order to participate in public health such as posyandu cadre training, cadre and community economic improvement through kako empowerment.

Keywords: Family Characteristics, People Empowerment, Family’s Awareness of Nutrition


(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji hanyalah milik Allah SWT, Rabb seluruh alam semesta dan dengan izin-Nya pula penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Hubungan Karakteristik Keluarga dan Pemberdayaan Masyarakat dengan Praktek Kadarzi di Kecamatan Trienggadeng Kabupaten Pidie Jaya”.

Tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Gizi Masyarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini, penulis mendapat bantuan, dorongan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat USU yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.


(9)

4. Ir. Etti Sudaryati, M.K.M., P.hD, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si., selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

5. Dr. Ir. Zulhilda Lubis, M, Kes., dan Dra. Syarifah, M.S sebagai komisi penguji atau pembanding yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan penulisan tesis ini.

6. Seluruh dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Gizi Mayarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu yang sangat berarti selama penulis mengikuti pendidikan.

7. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie Jaya Munawar Ibrahim, S.Kp, M.P.H, dan Dr. H. Bukhari, M.M., yang telah memberikan kesempatan dan dukungan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

8. Khusus buat ibunda Nuriah yang telah memberikan bantuan, dukungan, dan doa dalam penyelesaian tesis ini.

9. Teristimewa kepada istriku Rahmawati, S.Pd dan putraku Alfadhil Mubarrak serta putriku Qarina Luthfia yang telah memberikan dukungan, motivasi, dan doa yang tiada henti-hentinya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.


(10)

10.Kakanda Azizah, S.Pd, Maryana, S.Pd, Ratnawati, S.Pd., beserta keluarga yang telah memberikan bantuan, dukungan, dan doa dalam penyelesaian tesis ini. 11.Rekan-rekan seperjuangan Mahasiswa Program Studi S2 Ilmu Kesehatan

Masyarakat Angkatan 2011, yang telah membantu penulis selama pendidikan dan proses penyusunan tesis serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membanu penulis selama penyusunan tesis ini.

Akhirnya Penulis menyadari atas segala keterbatasan dan kekurangan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan penuh harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, September 2013 Penulis

Nazaruddin 117032102/IKM


(11)

RIWAYAT HIDUP

Nazaruddin dilahirkan pada tanggal 1 April 1976 di Pulo Kecamatan Bandar Dua Kabupaten Pidie Jaya Provinsi Aceh. Anak ke-4 (empat) dari 4 (empat) bersaudara, dari pasangan ayahanda Alibayah Hamid dan ibunda Nuriah. Menikah pada tanggal 23 Mei 2005 dengan Rahmawati, S.Pd dan dikaruniai 2 (dua) anak, yaitu Alfadhil Mubarrak dan Qarina Luthfia

Pendidikan Sekolah Dasar dimulai tahun 1982-1988 di SD Negeri Babahkrueng, pendidikan SMP tahun 1988-1991 di SMP Negeri 1 Bandar Dua, pendidikan SMA tahun 1991-1994 di SMA Negeri Banadar Dua, pendidikan S1 tahun 1995-2001 di Fakultas Kesehatan Masyarakat UNMUHA Aceh, dan tahun 2011 sampai sekarang pendidikan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Gizi Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat USU.

Tahun 2002 sampai dengan 2010 bekerja sebagai PNS di Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Barat. Dan pada tahun 2010 juga, pindah tugas ke Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie Jaya sampai sekarang.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Permasalahan... 8

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Hipotesis... 8

1.5. Manfaat Penelitian ... 8

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA... 10

2.1. Keluarga Sadar Gizi ... 10

2.1.1. Program Keluarga Sadar Gizi ... 10

2.1.2. Konseling Keluarga Sadar Gizi ... 10

2.1.3. Pemetaan Keluarga Sadar Gizi ... 11

2.1.4. Indikator Keluarga Sadar Gizi ... 12

2.2. Faktor yang Berpengaruh terhadap Praktek Keluarga Sadar Gizi .... 22

2.2.1. Karakteristik Keluarga ... 24

2.2.2. Pemberdayaan Masyarakat ... 34

2.3. Dampak dari Praktik Keluarga Sadar Gizi... 39

2.4. Landasan Teori ... 40

2.5. Kerangka Konsep ... 43

BAB 3. METODE PENELITIAN... . 44

3.1. Jenis Penelitian ... 44

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian... 44

3.2.1. Lokasi Penelitian... 44

3.2.2. Waktu Penelitian ... 44

3.3. Populasi dan Sampel ... 45

3.3.1. Populasi ... 45

3.3.2. Sampel ... 45

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 46

3.5. Uji Validitas dan Uji Reliabilitas... 46


(13)

3.7.1. Praktik Keluarga Sadar Gizi ... 49

3.7.2. Umur Ibu ... 50

3.7.3. Pendidikan Ibu ... 50

3.7.4. Pekerjaan Ibu ... 51

3.7.5. Pendapatan Keluarga ... 51

3.7.6. Besar Keluarga... 51

3.7.7. Pengetahuan Gizi Ibu ... 51

3.7.8. Sikap Ibu ... 52

3.7.9. Pemberdayaan Masyarakat ... 52

3.8. Metode Analisis Data... 53

BAB 4. HASIL PENELITIAN... 54

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 54

4.1.1. Keadaan Geografis ... 54

4.1.2. Keadaan Demografis ... 54

4.1.3. Sarana Kesehatan ... 55

4.2. Karakteristik Responden ... 56

4.3. Pengetahuan ... 57

4.4. Sikap ... 58

4.5. Pemberdayaan... 60

4.6. Praktik Kadarzi ... 62

4.6.1. Kategori Praktek Kadarzi ... 62

4.6.2. Praktek Kadarzi Menurut Indikator Kadarzi ... 64

4.6.2. Praktek Kadarzi Menurut Karakteristik Keluarga ... 64

4.7. Hubungan Umur dengan Praktek Kadarzi ... 65

4.8. Hubungan Pendidikan dengan Praktek Kadarzi ... 66

4.9. Hubungan Pekerjaan dengan Praktek Kadarzi ... 66

4.10 Hubungan Pendapatan dengan Praktek Kadarzi... 67

4.11. Hubungan Besar Keluarga dengan Praktek Kadarzi ... 68

4.12. Hubungan Pengetahuan dengan Praktek Kadarzi... 69

4.13. Hubungan Sikap dengan Praktek Kadarzi... 69

4.14. Hubungan Pemberdayaan Masyarakat dengan Praktek Kadarzi... 70

BAB 5. PEMBAHASAN ... 71

5.1. Praktek Kadarzi ... 71

5.2. Umur dengan Praktek Kadarzi ... 73

5.3. Pendidikan dengan Praktek Kadarzi ... 74

5.4. Pekerjaan dengan Praktek Kadarzi ... 77

5.5. Pendapatan dengan Praktek Kadarzi... 79

5.6. Besar Keluarga dengan Praktek Kadarzi ... 80

5.7. Pengetahuan dengan Praktek Kadarzi... 82

5.8. Sikap dengan Praktek Kadarzi ... 84


(14)

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... . 89

6.1. Kesimpulan ... 89

6.2. Saran ... . 90

DAFTAR PUSTAKA... 91 LAMPIRAN


(15)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

4.1. Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kecamatan Trienggadeng Tahun 2012 ... 55 .2. Jumlah Sarana Kesehatan di di Kecamatan Trienggadeng Tahun 2012 ... 55 4.3. Distribusi Karakteristik Responden di Kecamatan Trienggadeng

Kabupaten Pidie Jaya ... 56 4.4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengetahuan tentang

Kadarzi di Kecamatan Trienggadeng Kabupaten Pidie Jaya ... 57 4.5. Distribusi Jawaban Responden untuk Setiap Pertanyaan dalam Mengukur

Pengetahuan tentang Kadarzi... 58 4.6. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sikap di Kecamatan

Trienggadeng Kabupaten Pidie Jaya ... 58 4.7. Distribusi Jawaban Responden untuk Setiap Pertanyaan dalam Mengukur

Sikap terhadap Kadarzi di Kecamatan Trienggadeng Kabupaten Pidie Jaya 59 4.8. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pemberdayaan Masyarakat

di Kecamatan Trienggadeng Kabupaten Pidie Jaya ... 59 4.9. Distribusi Jawaban Responden untuk Setiap Pertanyaan dalam Mengukur

Pemberdayaan Masyarakat di Kecamatan Trienggadeng Kabupaten Pidie Jaya ... 60 4.10. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Praktek Kadarzi Menurut

Karakteristik Keluarga di Kecamatan Trienggadeng Kabupaten Pidie Jaya . 62 4.11. Distribusi Jawaban Responden untuk Setiap Pertanyaan dalam Mengukur

Praktek Kadarzi di Kecamatan Trienggadeng Kabupaten Pidie Jaya ... 63 4.12. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Praktek Kadarzi Menurut

Indikator Kadarzi di Kecamatan Trienggadeng Kabupaten Pidie Jaya... 64 4.13. Hubungan Umur dengan Praktek Kadarzi di Kecamatan Trienggadeng


(16)

4.14. Hubungan Pendidikan dengan Praktek Kadarzi di Kecamatan Trienggadeng Kabupaten Pidie Jaya ... 66 4.15. Hubungan Pekerjaan dengan Praktek Kadarzi di Kecamatan Trienggadeng

Kabupaten Pidie Jaya ... 66 4.16. Hubungan Pendapatan dengan Praktek Kadarzi di Kecamatan

Trienggadeng Kabupaten Pidie Jaya ... 67 4.17. Hubungan Besar Keluarga dengan Praktek Kadarzi di Kecamatan

Trienggadeng Kabupaten Pidie Jaya ... 68 4.18. Hubungan Pengetahuan dengan Praktek Kadarzi di Kecamatan

Trienggadeng Kabupaten Pidie Jaya ... 69 4.19. Hubungan Sikap dengan Praktek Kadarzi di Kecamatan Trienggadeng

Kabupaten Pidie Jaya ... 70 4.20. Hubungan Pemberdayaan dengan Praktek Kadarzi di Kecamatan

Trienggadeng Kabupaten Pidie Jaya ... 70


(17)

ABSTRAK

Masalah gizi di Kecamatan Trienggadeng dapat disebabkan oleh praktek Kadarzi belum baik, yang dikarenakan pengetahuan tentang kadarzi, sikap dan keterampilan serta kemauan untuk bertindak memperbaiki gizi keluarga masih rendah. Sebagian keluarga menganggap asupan makanannya selama ini cukup memadai karena tidak ada dampak buruk yang mereka rasakan.

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan karakteristik keluarga dan pemberdayaan masyarakat dengan praktek keluarga sadar gizi di Kecamatan Trienggadeng Kabupaten Pidie Jaya. Jenis penelitian analitik observasional dengan rancangan penelitian cross sectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh keluarga yang tinggal di Kecamatan Trienggadeng Kabupaten Pidie Jaya, yaitu sebanyak 6.703 keluarga, dan dijadikan sampel sebanyak 172 keluarga. Data karakteristik keluarga (umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan keluarga, dan besar keluarga), pengetahuan tentang kadarzi, sikap, dan pemberdayaan masyarakat serta praktek kadarzi dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner. Data yang sudah dikumpulkan dianalisis dengan uji chi-square.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan (p-value=0,037), pendapatan (p-value=0,026), pengetahuan (p-value=0,037), sikap (p-value=0,033), dan pemberdayaan (p-value=0,036) memiliki hubungan secara signifikan dengan praktek Keluarga Sadar Gizi. Sementara umur (p-value =0,238), pekerjaan (p-value=0.365), besar keluarga (p-value=0,730) tidak memiliki hubungan secara signifikan dengan praktek Keluarga Sadar Gizi.

Bagi Pemerintah Kabupaten Pidie Jaya agar meningkatkan kerja samanya dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam bidang kesehatan sebagai upaya untuk meningkatkan praktek Keluarga Sadar Gizi. Bagi Lembaga Swadaya Masyarakat di Kecamatan Trienggadeng agar lebih mengembangkan berbagai program dan gagasan untuk berperan dalam mengupayakan kesehatan masyarakat seperti: pelatihan kader posyandu, peningkatan ekonomi kader dan masyarakat melalui pemberdayaan kako.

Kata Kunci: Karakteristik Keluarga, Pemberdayaan Masyarakat, Keluarga Sadar Gizi


(18)

ABSTRACT

Nutrition problem in Trienggadeng Subdistrict can be caused by bad kadarzi (family’s awareness of nutrition) because knowledge, attitude, skill, and the will to improve family nutrition are still low. Some families think that their food intake is sufficient because they do not feel its bad impact.

The objective of the research was to know the correlation of family characteristics and people empowerment with the practice of family’s awareness of nutrition (kadarzi) in Trienggadeng Subdistrict, Pidie Jaya District. The type of the research was analytic observational method with cross sectional design. The population was 6,703 families, and 172 of them were used as the samples. The data about family characteristics (age, education, occupation, family income, and family size), knowledge in kadarzi, attitude, people empowerment, and practice in kadazi were gathered, through in-depth interviews, using questionnaires. The gathered data were analyzed by using chi-square test.

The result of the research showed that education (p value=0.037), income (p-value=0.026), knowledge (p-value=0.037), attitude (p-value=0.033), and empowerment (p-value=0.036) had significant correlation with the practice of Family’s Awareness of Nutrition. Meanwhile, age value=0.238), occupation (p-value=0.365), and family size (p-value=0.730) did not have any correlation with the practice of Family’s Awareness of Nutrition.

It is recommended that Pidie Jaya District Administration increase the collaboration with Non-Government Organizations (LSM) which are active in health in order to increase the practice of Family’s Awareness of Nutrition and Non-Government Organizations in Trieggadeng Subdistrict develop various programs and ideas in order to participate in public health such as posyandu cadre training, cadre and community economic improvement through kako empowerment.

Keywords: Family Characteristics, People Empowerment, Family’s Awareness of Nutrition


(19)

1.1. Latar Belakang

Kesehatan adalah hak asasi manusia dan sekaligus merupakan investasi sumber daya manusia, serta memiliki kontribusi yang besar untuk meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Oleh karena itu, menjadi suatu keharusan bagi semua pihak untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatan demi kesejahteraan masyarakat (Depkes RI, 2007). Keadaan gizi yang baik merupakan prasyarat utama dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Masalah gizi terjadi di setiap siklus kehidupan, dimulai sejak dalam kandungan (janin), bayi, anak, dewasa dan usia lanjut.

Salah satu program Menteri Kesehatan dalam memperbaiki kesehatan masyarakat adalah melalui keluarga sadar gizi. Berdasarkan Depkes RI (2007) keluarga sadar gizi ditandai dengan adanya kemampuan keluarga tersebut untuk memenuhi pangan bagi semua anggota keluarga, menjaga kesehatan lingkungan, mencegah penyakit infeksi, memberikan pengasuhan gizi dan kesehatan, serta perilaku keluarga tersebut mampu untuk memanfaatkan pendapatan, distribusi pangan dalam keluarga, memantau pertumbuhan dan perkembangan, memberikan pertolongan awal masalah kelainan gizi dan memperoleh pelayanan kesehatan.


(20)

Depkes RI (2007) menyatakan bahwa suatu keluarga dikatakan Kadarzi apabila telah berperilaku gizi yang baik secara terus menerus. Perilaku sadar gizi yang diharapkan terwujud terutama 1) menimbang berat badan secara teratur ; 2) memberikan air susu ibu (ASI) saja kepada bayi sejak lahir sampai umur enam bulan (ASI eksklusif) ; 3) makan beraneka ragam ; 4) menggunakan garam beryodium ; dan 5) minum suplemen gizi sesuai anjuran. Kadarzi diharapkan mampu mengatasi masalah gizi. Masalah gizi dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait dan secara tidak langsung dipengaruhi oleh kualitas dan jangkauan pelayanan kesehatan.

Balita merupakan kelompok umur yang rentan terkena masalah gizi. Masalah gizi yang sering terjadi pada usia balita biasanya disebabkan karena tindakan gizi dan kesehatan yang kurang oleh keluarga terutama ibu. Menurut Riyadi (2001), status gizi menggambarkan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang sebagai dampak dari konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat-zat gizi makanan. Pemeliharaan gizi anak sangat menentukan pertumbuhan fisiknya. Selain itu organ jaringan tubuh baru dapat berfungsi sempurna bila mendapat makanan yang cukup dan bergizi seimbang.

Gambaran perilaku gizi yang belum baik di Indonesia diketahui dengan masih rendahnya pemanfaatan fasilitas kesehatan. Pemantauan pertumbuhan seharusnya dilakukan setiap bulan, namun dari Riskesdas (2010), ditemui hanya 49,4% yang melakukan pemantauan pertumbuhan 4 kali atau lebih dalam 6 bulan terakhir. Masih ada 23,8% balita yang tidak pernah ditimbang pada kurun waktu 6 bulan terakhir. Kepemilikan KMS dijumpai hanya pada 30,5% anak balita, dan kepemilikan buku


(21)

KIA padan 25,5%. Persentase bayi yang menyusui eksklusif sampai dengan 6 bulan adalah 15,3%. Inisiasi menyusui dini kurang dari satu jam setelah bayi lahir adalah 29,3%. Cakupan distribusi kapsul vitamin A untuk balita juga baru mencapai 71,5%, prevalensi kurang makan buah dan sayur mencapai 93,6%, dan 37,7% keluarga belum menggunakan garam beryodium.

Sejumlah aspek perlu dicermati dalam mewujudkan perilaku kadarzi. Aspek ini berada di semua tingkatan yang mencakup: a) tingkat keluarga; b) tingkat masyarakat; c) tingkat pelayanan kesehatan; dan d) tingkat pemerintah. Di tingkat keluarga, aspek tersebut adalah a) pengetahuan dan keterampilan keluarga dan b) kepercayaan, nilai dan norma yang berlaku. Sementara, di tingkat masyarakat yang perlu diperhatikan sebagai faktor pendukung perubahan perilaku keluarga, adalah a) norma yang berkembang di masyarakat, dan b) dukungan pemangku kepentingan (stakeholders) yang mencakup eksekutif, legislatif, tokoh agama/masyarakat, dan sektor swasta dan donor. Di tingkat pelayanan kesehatan mencakup pelayanan preventif dan promotif. Di tingkat pemerintahan mencakup adanya kebijakan pemerintah yang mendukung dan pelaksanaan kebijakan yang dapat dipertanggungjawabkan (Depkes RI, 2007).

Hasil studi Sediaoetama (2006); Hardinsyah (2007); Gabriel (2008), menunjukkan bahwa faktor yang memengaruhi praktek Kadarzi adalah faktor karakteristik keluarga yang meliputi: tingkat pendidikan orang tua, umur orang tua, jumlah anggota keluarga, pendapatan keluarga, ketersediaan pangan, pengetahuan, dan sikap ibu terhadap gizi. Sementara menurut Misbakhudin (2003), selain faktor


(22)

karakteristik keluarga, pemberdayaan masyarakat dari tenaga kesehatan juga merupakan salah satu faktor yang memengaruhi pencapaian program Kadarzi. Sarjunani (2009), juga menyebutkan bahwa salah satu upaya untuk memperbaiki status gizi masyarakat yaitu melalui program Kadarzi dengan cara pemberdayaan gizi masyarakat. Rumniati (2005), menyimpulkan bahwa adanya masyarakat yang belum mengerti tentang Kadarzi sehingga masih diperlukan pemberdayaan dari kader dan tenaga kesehatan. Pemberdayaan masyarakat yang dilakukan dapat memotivasi keluarga untuk memperaktekkan indikator-indikator Kadarzi.

Orang tua memegang peranan penting dalam pemilihan pangan untuk anggota keluarganya, maka pengetahuan gizi orang tua terutama ibu akan memengaruhi jenis pangan dan mutu gizi makanan yang dikonsumsi anggota keluarga. Pengetahuan gizi ibu yang baik akan berpengaruh terhadap jenis pangan dan mutu gizi makanan yang dikonsumsi anggota keluarganya, yang merupakan cerminan dari perilaku gizi yang baik. Oleh karena itu, tingkat pengetahuan gizi yang baik dapat mewujudkan perilaku atau kebiasaan makan yang baik pula (Hardinsyah & Martianto, 2007). Hal ini sesesuai dengan pernyataan Khomsan (2009), keadaan ekonomi dan kekurangan makanan bukanlah satu-satunya faktor penyebab timbulnya permasalahan gizi pada balita. Faktor yang tidak kalah pentingnya adalah kurangnya pengetahuan gizi masyarakat. Khususnya pada ibu yang sebagian besar pengasuh anak. Adanya pengetahuan gizi ibu akan memengaruhi sikapnya dan selanjutnya akan berdampak terhadap perilaku gizinya.


(23)

Masalah gizi pada anak balita masih cukup tinggi di Kabupaten Pidie Jaya. Dari laporan bulanan Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie Jaya tahun 2012 juga diketahui sebanyak 161 balita (8,02%) gizi kurang, dan sebanyak 11 balita (0,55%) menderita gizi buruk dari 2003 balita yang ditimbang. Masalah gizi tersebut dikarenakan masih banyak keluarga yang masih belum menerapkan perilaku gizi yang baik. Gambaran perilaku gizi yang belum baik di Kabupaten Pidie Jaya ditunjukkan dengan masih rendahnya pemanfaatan fasilitas pelayanan oleh masyarakat. Saat ini baru sekitar 50% anak balita yang dibawa ke Posyandu untuk ditimbang sebagai upaya deteksi dini gangguan pertumbuhan. Bayi dan balita yang telah mendapat Kapsul Vitamin A baru mencapai 84% dan ibu hamil yang mengkonsumsi Tablet Tambah Darah (TTD) baru mencapai 60%. Sementara itu perilaku gizi lain yang belum baik adalah masih rendahnya ibu yang menyusui bayi 0-6 bulan secara eksklusif yang baru mencapai 24,4%, dan sebesar 57,10% rumah tangga yang menggunakan garam beryodium.

Kecamatan Trienggadeng memiliki jumlah balita gizi kurang terbanyak di Kabupaten Pidie Jaya, yaitu 34 (10,10%) dari 338 balita yang ditimbang. Sedangkan cakupan kadarzi di Kecamatan Trienggadeng tahun 2010 sampai dengan 2012 dapat diketahui berdasarkan laporan bulanan Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie Jaya.

Tabel 1.1. Cakupan Kadarzi di Kecamatan Trienggadeng Tahun 2010-2012

No. Cakupan Kadarzi 2010 2011 2012

1. Cakupan ASI Esklusif 12,2% 11,1% 11,4%

2. Rumah tangga menggunakan garam beryodium 51,3% 49,8% 50,3%

3. Cakupan Vitamin A pada balita 74,4% 74,7% 74,0%

4. Cakupan TTD pada ibu hamil 71,7% 70,6% 71,3%


(24)

Berdasarkan wawancara dengan kepala puskesmas tingginya masalah gizi di Kecamatan Trienggadeng dapat disebabkan oleh praktek Kadarzi belum baik, yang dikarenakan pengetahuan tentang kadarzi, sikap dan keterampilan serta kemauan untuk bertindak memperbaiki gizi keluarga masih rendah. Sebagian keluarga menganggap asupan makanannya selama ini cukup memadai karena tidak ada dampak buruk yang mereka rasakan. Sebagian keluarga mengetahui bahwa ada jenis makanan yang lebih berkualitas, namun mereka tidak ada kemauan dan tidak mempunyai keterampilan untuk penyiapannya.

Berbagai upaya telah dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie Jaya dalam meningkatkan cakupan Kadarzi di Kecamatan Trienggadeng. Salah satu upaya yang dilakukan adalah pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan pemanfaatan Pos Gizi. Pos Gizi merupakan tempat yang digunakan untuk mengadakan kegiatan pendidikan gizi. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam program tersebut meliputi: penyuluhan gizi tentang ASI eksklusif, penggunaan garam yodium, dan pemanfaatan makanan lokal serta pemanfaatan pekarangan rumah untuk meningkatkan keanekaragaman makanan keluarga (Dinkes Kabupaten Pidie Jaya, 2013).

Pemerintah Kabupaten Pidie Jaya bekerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam bidang kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di Kecamatan Trienggadeng melalui peningkatan praktek kadarzi. Hingga saat ini LSM yang ada di Kecamatan Trienggadeng berupaya


(25)

mengembangkan berbagai program dan gagasan untuk berperan dalam mengupayakan kesehatan masyarakat yang tidak memiliki akses di bidang kesehatan. Upaya-upaya ini dilakukan untuk melengkapi dan memperkuat program pemerintah dengan memberikan bantuan dana untuk keberlanjutan kesehatan di tingkat masyarakat. Berbagai program yang telah dilakukan berupa pelatihan kader posyandu, peningkatan kualitas kesehatan ibu dan anak, peningkatan kapasitas masyarakat dalam bidang kesehatan sebagai upaya peningkatan kesadaran dan promosi kesehatan, dan pengembangan media komunikasi kesehatan.

Bantuan dana dari pihak LSM di Kecamatan Trienggadeng juga digunakan dalam pelaksanaan kegiatan Kadarzi, antara lain : a) Melakukan upaya perbaikan gizi masyarakat melalui Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) baik di Posyandu maupun di luar Posyandu; c) Membina Keluarga menjadi Keluarga Mandiri Sadar Gizi (Kadarzi); d) Memberikan PMT Penyuluhan di Posyandu dan PMT Pemulihan pada kasus gizi buruk; e) Memberikan MP-ASI kepada Balita 6-23 bulan dari keluarga miskin untuk menjaga dan meningkatkan status gizinya; dan f) Memberikan masukan kepada pemerintah tentang hal-hal yang terjadi di lapangan menyangkut masalah Kadarzi.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: hubungan karakteristik keluarga dan pemberdayaan masyarakat dengan praktek keluarga sadar gizi di Kecamatan Trienggadeng Kabupaten Pidie Jaya.


(26)

1.2. Permasalahan

Pada umumnya keluarga di Kecamatan Trienggadeng belum berperilaku Kadarzi yang baik. Hal tersebut dapat dikarenakan pemahaman masyarakat tentang kadarzi masih rendah. Meskipun pemberdayaan masyarakat melalui program Pos Gizi sudah ditingkatkan, namun keluarga belum juga menerapkan indikator-indikator dari Kadarzi secara keseluruhan. Sehingga pencapaian praktek Kadarzi di Kecamatan Trienggadeng masih rendah.

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan karakteristik keluarga dan pemberdayaan masyarakat dengan praktek keluarga sadar gizi di Kecamatan Trienggadeng Kabupaten Pidie Jaya.

1.4. Hipotesis Penelitian

Ada hubungan karakteristik keluarga dan pemberdayaan masyarakat dengan praktek keluarga sadar gizi di Kecamatan Trienggadeng Kabupaten Pidie Jaya..

1.5. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie Jaya terkait dengan praktek keluarga sadar gizi (Kadarzi) dan faktor yang memengaruhinya. 2. Bagi seluruh Puskesmas yang ada di Kabupaten Pidie Jaya, hasil penelitian ini


(27)

menetapkan kebijakan dan startegi intervensi dalam praktek keluarga sadar gizi (Kadarzi)

3. Sebagai referensi bagi peneliti-peneliti lain dalam mengkaji masalah penelitian lembaga pendidikan dimasa mendatang.


(28)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Keluarga Sadar Gizi

Kadarzi merupakan suatu gerakan yang terkait dengan program Kesehatan Keluarga dan Gizi (KKG), yang merupakan bagian dari Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK). Disebut Kadarzi, jika sikap dan perilaku keluarga dapat secara mandiri mewujudkan keadaan gizi yang sebaik-baiknya yang tercermin dari pada konsumsi pangan yang beraneka ragam dan bermutu gizi seimbang. Dalam keluarga sadar gizi sedikitnya ada seorang anggota keluarga yang dengan sadar bersedia melakukan perubahan ke arah keluarga yang berperilaku gizi baik dan benar. Bisa seorang ayah, ibu, anak, atau siapapun yang terhimpun dalam keluarga itu (Depkes RI, 2007).

2.1.1. Program Keluarga Sadar Gizi

Tahun 1998 telah dicanangkan gerakan keluarga sadar gizi (Kadarzi) yang dimotori oleh Departemen Kesehatan dengan tujuan agar pada tahun 2000 paling tidak setengah keluarga Indonesia telah menjadi keluarga sadar gizi.

2.1.2. Konseling Keluarga Sadar Gizi

Konseling Kadarzi adalah dialog atau konsultasi antara kader dasawisma, Tenaga Penggerak Masyarakat (TPM) dengan keluarga untuk membantu memecahkan masalah perilaku gizi yang belum dapat dilakukan oleh keluarga.


(29)

1. Tujuan Konseling Kadarzi

Memantapkan kemauan dan kemampuan keluarga untuk melaksanakan perilaku gizi yang baik dan benar dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki keluarga atau yang ada di lingkungannya.

2. Pelaksana Konseling Kadarzi

Untuk pertama kali konseling dilakukan oleh Tenaga Pelaksana Gizi (TPG) puskesmas bersama Tenaga Penggerak Masyarakat (TPM) dan kader dasawisma. Untuk selanjutnya konseling Kadarzi dilakukan oleh kader dasawisma dan TPM. 3. Sasaran Konseling Kadarzi

Konseling dilakukan pada keluarga yang belum menerapkan indikator sadar gizi. Konseling ditujukan kepada anggota keluarga yang sudah dewasa.

2.1.3. Pemetaan Keluarga Sadar Gizi

Pemetaan Kadarzi dilakukan untuk mengetahui situasi Kadarzi di suatu wilayah kerja puskesmas yang dilakukan pertama kali oleh TPG, kemudian untuk berikutnya dilakukan oleh ketua kelompok posyandu. Pemetaan dilakukan setiap 6 bulan sekali yaitu pada bulan Februari dan Agustus.

1. Tujuan Pemetaan Kadarzi

a. Mendapatkan informasi situasi Kadarzi dalam suatu wilayah atau dasawisma berdasarkan indikator yang ditentukan

b. Mendapatkan gambaran masalah gizi dan perilaku gizi yang baik dan benar yang belum dapat dilaksanakan oleh keluarga


(30)

d. Sebagai bahan acuan pemantauan dan evaluasi situasi Kadarzi dari waktu ke waktu.

2. Sasaran Pemetaan Kadarzi

Sasaran pemetaan Kadarzi adalah semua keluarga yang ada di wilayah kerja puskesmas (Depkes RI., 2007).

2.1.4. Indikator Keluarga Sadar Gizi

Indikator Kadarzi digunakan untuk mengukur tingkat sadar gizi keluarga. Menurut Depkes RI (2007), suatu keluarga disebut Kadarzi apabila telah berperilaku gizi yang baik yang dicirikan minimal dengan:

a. Menimbang berat badan secara teratur;

b. Memberikan air susu ibu (ASI) saja kepada bayi sejak lahir sampai umur enam bulan (ASI eksklusif);

c. Makan beraneka ragam;

d. Menggunakan garam beryodium; dan e. Minum suplemen gizi sesuai anjuran.

Perilaku Kadarzi diukur minimal dengan lima indikator di atas yang penggunaannya disesuaikan dengan karakteristik keluarga, seperti berikut:


(31)

Tabel 2.1. Indikator Kadarzi Berdasarkan Karakteristik Keluarga Indikator

KADARZI yang berlaku *) No. Karakteristik Keluarga

1 2 3 4 5

Keterangan

1. Bila keluarga mempunyai ibu hamil, bayi 0-6 bulan, balita 6-59 bulan

√ √ √ √ √ Indikator kelima yang digunakan adalah balita mendapat kapsul vitamin A 2. Bila keluarga mempunyai bayi 0-6

bulan, balita 6-59 bulan

√ √ √ √ √ -

3. Bila keluarga mempunyai ibu hamil, balita 6-59 bulan

√ - √ √ √ Indikator kelima yang digunakan adalah balita mendapat kapsul vitamin A 4. Bila keluarga mempunyai ibu hamil - - √ √ √ Indikator kelima yang digunakan adalah ibu hamil mendapat TTD 90 tablet 5. Bila keluarga mempunyai bayi 0-6

bulan

√ √ √ √ √ Indikator kelima yang digunakan adalah ibu nifas mendapat suplemen gizi 6. Bila keluarga mempunyai balita 6-59

bulan

- √ √ √ -

7. Bila keluarga tidak mempunyai bayi, balita, dan ibu hamil

- - √ √ - -

*) 1. Menimbang berat badan secara teratur; 2. Memberikan Air Susu Ibu (ASI) saja kepada bayi sejak lahir sampai umur 6 bulan (ASI Eksklusif); 3. Makan beraneka ragam; 4. Menggunakan garam beryodium; dan 5. Minum suplemen gizi (TTD, kapsul vitamin A dosis tinggi) sesuai anjuran.

1. Menimbang Berat Badan Secara Teratur

Salah satu sarana yang disediakan untuk memantau pertumbuhan balita yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia adalah Posyandu. Sebagai salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM), Posyandu diselenggarakan dari, oleh, untuk, dan bersama masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan guna memberdayakan masyarakat dan memberikan kemudahan kepada


(32)

masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi (Depkes, RI. 2007). Pelayanan Posyandu yang berhubungan dengan pemantauan pertumbuhan balita meliputi penimbangan berat badan, penentuan status pertumbuhan, serta tindak lanjut hasil pemantauan pertumbuhan berupa konseling dan rujukan kasus.

Menimbang berat badan secara teratur merupakan salah satu cara yang efektif dilakukan dalam upaya memantau pertumbuhan balita, karena berat badan tidak naik satu kali sudah merupakan indikator penting yang tidak boleh diabaikan, karena semakin sering berat badan tidak naik maka risiko untuk mengalami gangguan pertumbuhan akan semakin besar.

2. ASI Eksklusif

Kelebihan ASI eksklusif telah dibuktikan oleh berbagai penelitian, termasuk menurunkan risiko pneumonia, penyakit diare, otitis media, asma dan kondisi atopik lainnya, serta pencegahan obesitas dan penyakit kronis lainnya di masa kanak-kanak kemudian dan remaja (Arifeen et al., 2001; Harder et al., 2002). Manfaat lainnya, ibu yang menyusui bayinya juga mengalami penurunan risiko kanker payudara (Chang et al., 2000). Meskipun penelitian yang luas menunjukkan manfaatnya, dan strategi yang dilakukan oleh pemerintah, pemberian ASI eksklusif masih belum umum dilakukan. Pada tahun 2006, data dari Survei Kesehatan dan Morbiditas Nasional, yang merupakan survei nasional yang dilakukan di Malaysia, menunjukkan bahwa 94,7% dari wanita yang pernah menyusui bayi mereka, tetapi hanya 14,5% dari


(33)

mereka memberikan ASI ekslusif sampai usia enam bulan (Institute for Public Health, Ministry of Health Malaysia, 2008).

Data Susenas maupun Riskesdas menunjukkan adanya kecenderungan penurunan pemberian ASI ekslusif. Data Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa cakupan ASI ekslusif rata-rata nasional baru sekitar 15.3%. Data DHS 2007 mencatat 32,4% ASI-Eksklusif 24 jam sebelum interview, ibu-ibu desa lebih banyak yang Eksklusif. Ibu-ibu yang berpendidikan SMA lebih sedikit (40,2%) yang ASI-Eksklusif dibanding yang tidak berpendidikan (56%). Data yang menarik dari DHS bahwa ibu-ibu yang melahirkan ditolong oleh petugas kesehatan terlatih ASI-Eksklusif nya lebih sedikit (42,7%) dari pada ibu-ibu yang tidak ditolong tenaga kesehatan (54,7%) (USAID Indonesian Nutrition Assessment Report, 2010). Meskipun data-data di atas memerlukan validasi, yang jelas cakupan ASI-Eksklusif masih jauh dari target yang harus dicapai pada tahun 2015 yaitu sebesar 80%. Selain masih kurangnya pengetahuan ibu tentang pentingnya ASI, juga maraknya promosi susu formula yang diwaktu yang lalu, menurut UNICEF, "out of control", merupakan hambatan yang menyebabkan tidak efektifnya promosi ASI Eksklusif. Dengan dikeluarkannya PP No. 33 tahun 2012 tentang ASI sebagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang No. 23 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang diharapkan dapat dilakukan tindakan hukum yang lebih tegas bagi penghambat pelaksanaan ASI Ekslusif

Bagi ibu, ASI memberikan manfaat yang besar yaitu mengurangi perdarahan setelah melahirkan, mencegah/mengurangi terjadinya anemia, menunda kembalinya


(34)

kesuburan ibu sesudah melahirkan sehingga dapat menjaga waktu hingga kehamilan berikutnya, membantu rahim kembali keukuran semula, mempercepat penurunan berat badan seperti sebelum hamil, mengurangi kemungkinan menderita kanker ovarium dan payudara, lebih ekonomis, serta tidak merepotkan. Memberikan ASI Eksklusif dijadikan sebagai salah satu indikator perilaku Kadarzi dengan harapan dapat meningkatkan status gizi balita yang berpengaruh pada kualitas hidupnya dimasa mendatang.

3. Makanlah Beraneka Ragam

Pemenuhan gizi yang lengkap dan seimbang diperlukan makanan yang aneka ragam. Mengkonsumsi makanan hanya satu jenis makanan dalam jangka waktu relatif lama dapat mengakibatkan berbagai penyakit kekurangan gizi atau gangguan kesehatan. Keanekaragaman makanan dalam hidangan sehari-hari yang dikonsumsi, minimal harus berasal dari satu jenis makanan sumber zat tenaga, satu jenis makanan sumber zat pembangun dan satu jenis makanan sumber zat pengatur. Ini adalah penerapan prinsip penganekaragaman yang minimal.

Makanan sumber zat tenaga antara lain beras, jagung, gandum, ubi kayu, ubi jalar, kentang, sagu, roti dan mi. Minyak dan santan yang mengandung lemak juga dapat menghasilkan tenaga. Makanan sumber zat pembangun yang berasal dari bahan makanan nabati adalah kacang-kacangan, tempe, tahu. Sedangkan yang berasal dari hewan adalah telur, ikan, ayam, daging, susu serta hasil olahan seperti keju. Zat pembangun berperan peting untuk pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan


(35)

buahan. Makanan ini mengandung berbagai vitamin dan mineral yang berperan untuk melancarkan bekerjanya fungsi organ tubuh.

4. Menggunakan Garam Beriodium

Garam beriodium adalah garam yang telah diperkaya dengan KIO3 (kalium iodat) sebanyak 30-80 ppm. Sesuai Keppres No. 69 tahun 1994, semua garam yang beredar di Indonesia harus mengandung iodium. Kebijaksanaan ini berkaitan erat dengan masih tingginya kejadian gangguan kesehatan akibat kekurangan iodium (GAKI) di Indonesia. GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium) merupakan masalah gizi yang serius, karena dapat menyebabkan penyakit gondok dan kretin.

Kekurangan unsur iodium dalam makanan sehari-hari, dapat pula menurunkan tingkat kecerdasan seseorang. Seperti halnya anemia gizi besi, anak sekolah yang menderita GAKI biasanya memerlukan waktu yang relatif lebih lama untuk menyelesaikan tingkat pendidikan formal tertentu. Bahkan mereka yang menderita GAKI tingkat berat (kretin, kretinoid) tidak mampu menyerap pelajaran pendidikan dasar. Dengan mengkonsumsi garam beriodium 6 gram sehari, kebutuhan iodium dapat terpenuhi, namun ambang batas penggunaan natrium tidak terlampaui.

Dalam kondisi tertentu, misalnya keringat yang berlebihan, dianjurkan mengonsumsi garam sampai 10 gram atau dua sendok teh per orang perhari. Bagi seseorang yang harus mengurangi konsumsi garam, dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan dari laut yang kaya iodium. Demikian penting manfaat garam beriodium untuk mencegah dan menanggulangi GAKI, maka mutu garam beriodium yang beredar di pasar perlu dipantau. Cara untuk menilai mutu garam beriodium tidak sulit,


(36)

yaitu dengan Test Kit Iodina yang tersedia di puskesmas dan apotik. Ambil garam, kemudian tetesi dengan cairan iodina. Warna yang timbul dibandingkan dengan petunjuk warna yang ada pada Kit. Garam yang bermutu baik akan menunjukkan warna biru keunguan. Semakin berwarna tua, semakin baik mutu garam.

Selain itu, pengujian dapat dilakukan dengan menggunakan singkong parut. Caranya sebagai berikut : singkong (ubi kayu) segar dikupas, diparut dan diperas tanpa diberi air. Tuang satu sendok perasan singkong parut ke dalam gelas bersih. Tambahkan 4-6 sendok teh munjung garam yang akan diperiksa. Tambahkan dua sendok teh cuka makan berkadar 25%. Aduk sampai rata, dan tunggu beberapa menit. Apabila timbul warna biru keunguan, berarti garam tersebut mengandung iodium. Semakin berwarna pekat, semakin baik mutu garam. Garam yang tak beriodium tidak akan mengalami perubahan warna setelah diperiksa dengan cairan iodina maupun cairan singkong parut. Garam beriodium sebaiknya disimpan dalam wadah terbuat dari beling (kaca) dan bertutup, seperti stoples atau botol selai.

Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (2010), persentase rumah tangga yang mengkonsumsi garam dengan kadar yodium yang memenuhi syarat hanya 62,3% jauh dibawah sasaran (90%). Sasaran tersebut hanya dicapai enam provinsi yaitu Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Gorontalo dan Papua Barat. Apabila keadaan ini terus berlangsung akan mengancam keselamatan janin dan anak pada 1000 HPK. Kekurangan yodium pada kehamilan merusak pertumbuhan fisik dan perkembangan otak anak. Kendala utama rendahnya


(37)

Daerah yang antara lain ditengarai dengan lemahnya penegakan hukum Peraturan Daerah yang mengatur produksi dan peredaran garam beryodium. Misalnya keharusan pemasangan label garam beryodium di tiap kemasan banyak yang tidak dipatuhi

5. Minum Suplemen Gizi

a. Balita Mendapat Kapsul Vitamin A Sesuai Anjuran

Vitamin A merupakan salah satu zat gizi penting yang larut dalam lemak dan disimpan dalam hati dan tidak dibuat oleh tubuh sehingga harus dipenuhi melalui asupan dari luar. Manfaat penting vitamin A antara lain:

a) Meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit dan infeksi seperti campak dan diare.

b) Membantu proses penglihatan dalam adaptasi dari tempat yang terang ke tempat yang gelap.

c) Mencegah kelainan pada sel-sel epitel termasuk selaput lender mata.

d) Mencegah terjadinya proses metaplasi sel-sel epitel sehingga kelenjar tidak memproduksi cairan yang dapat menyebabkan terjadinya kekeringan pada mata (xerosis konjungtiva).

e) Mencegah terjadinya kerusakan mata berlanjut yang akan menjadi bercak bitot (bitot’s spot) bahkan kebutaan.

f) Vitamin A essensial untuk membantu proses pertumbuhan.

Anak dibawah umur tiga tahun (batita) membutuhkan vitamin A sebanyak 1320 SI per hari (AKG menurut WNPG VIII, 2004). Apabila dilihat kebutuhannya


(38)

berdasarkan golongan umur menurut Institut of Medicine 2004, adalah sebagai berikut:

 0-6 bulan : 400 μg/d  7-12 bulan : 500 μg/d  1-3 tahun : 300 μg/d  4-5 tahun : 400 μg/d

Vitamin A dapat bersumber dari air susu ibu, bahan makanan hewani (hati, kuning telur, ikan, daging, ayam, bebek), buah-buahan berwarna kuning dan jingga (papaya, mangga masak, alpukat, jambu biji merah, pisang), sayuran yang berwarna hijau tua dan jingga (bayam, daun singkong, kangkung, daun katuk, daun mangkokan, daun kelor, daun bluntas, kecipir, labu kuning, daun ubi jalar, tomat, wortel), bahan makanan yang difortifikasi dengan vitamin A (margarine, susu, mie instant).

Kurang Vitamin A (KVA) dapat terjadi pada saat simpanan vitamin A dalam tubuh berkurang. Pada tahap awal ditandai dengan gejala rabun senja, atau kurang dapat melihat pada malam hari. Gejala tersebut juga ditandai dengan menurunnya kadar serum retinol dalam darah (kurang dari 20 ug/dl). Pada tahap selajutnya terjadi kelainan jaringan epitel dari organ tubuh sepeti paru-paru, usus, kulit, dan mata.

Salah satu upaya penanggulangan masalah KVA adalah dengan mengupayakan rencana program penanggulangan jangka pendek melalui pemberian kapsul vitamin A. Kapsul vitamin A dengan sasaran bayi 6-11 bulan berwarna biru


(39)

dengan dosis 100.000 SI dan diberikan pada bulan Februari atau Agustus. Sedangkan untuk balita 12-59 bulan berwarna merah dengan dosis 200.000 SI, diberikan setiap bulan Februari dan Agustus. Kapsul vitamin A mudah didapatkan karena ibu cukup membawa balita ke Posyandu tanpa perlu mengeluarkan biaya. Kapsul vitamin A juga diberikan pada balita yang sakit campak, diare, gizi buruk atau xeroftalmia dengan dosis sesuai umurnya.

b. Ibu Hamil Mendapat TTD 90 Tablet

Perlindungan tersebut diatas bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi masalah-masalah anemi gizi besi dan ibu hamil kurus karena kurang energi dan protein kronis. Anemia besi merupakan faktor penting (13,8%) penyebab kematian ibu (Ross, 2003). Disamping itu terdapat 23 persen ibu yang kurus. Selain kekurangan gizi ternyata ibu hamil di Indonesia juga ada yang menderita kegemukan sebesar 29 persen yang berdampak negatif pada pertumbuhan janin (USAID Nutrition Report 2010).

Sejak tahun 1970-an pemerintah melaksanakan pemberian suplemen tablet besi-folat. Masalahnya kegiatan ini cakupannya sangat rendah. Diharapkan ibu hamil minum minimal 90 tablet besi-folat selama kunjungan antenatal pertama (K1), terutama pada semester ke-1, sampai kunjungan ke-4 (K4) kehamilan. Namun data Riskesdas tahun 2010 kunjungan antenal empat kali hanya 61,4 persen, dan yang mengomsumsi 90 tablet besi hanya 18 persen, keduanya jauh dari sasaran MDGs masing-masing 95 persen dan 85 persen.


(40)

Menurut berbagai laporan, rendahnya cakupan tablet besi-folat terutama karena kurangnya perencanaan pengadaan dan distribusi tablet besi-folat, serta pendidikan atau KIE gizi dan kesehatan yang efektif. Khusus untuk penanggulangan energi dan protein kronis pada ibu hamil belum ada program yang teratur dan berkesinambungan, kecuali pemberian makanan tambahan dan pada waktu keadaan darurat. Belum ada program untuk upaya pencegahan kegemukan pada ibu hamil. Dibeberapa daerah telah dicoba suplementasi untuk ibu hamil dengan biskuit yang difortifikasi. Masalahnya berbagai kelemahan dari kegiatan ini belum pernah dianalisa, demikian juga efektivitasnya.

2.2. Faktor yang Berpengaruh terhadap Praktek Keluarga Sadar Gizi

Keluarga sadar gizi adalah keluarga yang berperilaku gizi baik, mampu mengenali dan mengatasi masalah gizi anggota keluarganya. Kadarzi merupakan bentuk penerapan perilaku gizi dalam keluarga. Suatu keluarga disebut keluarga sadar gizi (kadarzi) apabila keluarga tersebut telah berperilaku gizi yang baik yang dicirikan minimal dengan lima indikator sebagaimana telah disebutkan di atas yaitu menimbang berat badan secara teratur, memberi ASI saja kepada bayi hingga usia enam bulan, makan beraneka ragam, memberikan suplemen gizi sesuai anjuran (Depkes RI, 2007).

Menurut Sediaoetama (2008) perilaku gizi ditingkat keluarga merupakan salah satu manifestasi gaya hidup keluarga yang dipengaruhi oleh beberapa faktor. faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku gizi dikeluarga adalah pendapatan,


(41)

pendidikan, lingkungan hidup (tempat tinggal, faktor fisiologis (umur), pekerjaan, suku bangsa, kepercayaan dan agama (budaya), sikap tentang kesehatan, pengetahuan gizi. Struktur keluarga adalah individu-individu dalam keluarga sesuai dengan perannya masing-masing yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Dalam struktur keluarga, ibu mempunyai peran dominan dalam penerapan perilaku gizi keluarga karena pada umumnya di Indonesia ibu bertanggung jawab penuh dalam penyediaan makanan bagi keluarga dan pola pengasuhan anak sehingga masing-masing individu dalam keluarga mengikuti perilaku gizi yang diterapkan oleh ibu terutama dalam konsumsi makanan dan pengasuhan anak.

Ningsih (2008), menyatakan bahwa peranan wanita dalam usaha perbaikan gizi keluarga terutama meningkatkan status gizi bayi dan anak sangatlah penting karena berperan sebagai pengasuh anak dan pengatur konsumsi pangan keluarga. Perilaku ibu yang kurang sadar akan gizi baik pada saat kehamilan maupun saat merawat anak dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan fisik maupun mental anaknya.

Selain itu, menurut Hardinsyah dan Martianto (2007), konsumsi pangan beraneka ragam keluarga dipengaruhi oleh umur ibu, pendidikan ibu dan paparan media massa, pendapatan, status dan jenis pekerjaan ibu, besar dan komposisi rumah tangga. Sedangkan menurut Depkes RI (2007) perilaku keluarga sadar gizi dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap ibu, kepercayaan, tradisi dalam keluarga dan peran tokoh masyarakat serta keterpaparan informasi kadarzi.


(42)

2.2.1 Karakteristik Keluarga

1. Umur Ibu

Umur berpengaruh terhadap terbentuknya kemampuan, karena kemampuan yang dimiliki dapat diperoleh melalui pengalaman sehari-hari di luar faktor pendidikannya (Sedioetama, 2008). Umur orang tua terutama ibu yang relatif muda, cenderung untuk mendahulukan kepentingan sendiri. Sebagian besar ibu yang masih muda memiliki sedikit sekali pengetahuan tentang gizi dan pengalaman dalam mengasuh anak (Budiyanto, 2002). Dapat diasumsikan bahwa kemampuan pemilihan makanan ibu rumah tangga muda akan berbeda dengan kemampuan pemilihan makanan pada ibu rumah tangga yang telah berumur lebih tua dan pola pembelian makanan cenderung lebih berpengaruh kepada orang tuanya. Umur ibu berpengaruh pada tipe pemilihan konsumsi makanan di rumah dan juga pengeluaran makanannya (Hardinsyah & Martianto, 2007).

Ibu yang relatif muda cenderung kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam mengasuh anak sehingga umumnya mereka mengasuh dan merawat anak didasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. umumnya mengasuh anak hanya berdasarkan pengalaman orang tuanya dahulu. Sebaliknya pada ibu yang lebih berumur cenderung akan menerima dengan senang hati tugasnya sebagai ibu sehingga akan memengaruhi pula terhadap kualitas dan kuantitas pengasuhan anak (Hurlock, 1999). Umur akan berpengaruh terhadap perilaku seseorang seiring dengan perkembangan fisik dan mental orang tersebut sehingga perilakunya akan semakin


(43)

2. Pendidikan Ibu

Tingkat pendidikan formal umumnya mencerminkan kemampuan seseorang untuk memahami berbagai aspek pengetahuan termasuk pengetahuan gizi (Hardinsyah & Martianto, 2007). Pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam proses tumbuh kembang anak. Ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima pesan dan informasi gizi dan kesehatan anak (Gabriel, 2008). Orang tua yang memiliki pendidikan tinggi akan lebih mengerti tentang pemilihan pengolahan pangan serta pemberian makan yang sehat dan bergizi bagi keluarga terutama untuk anaknya (Soetjiningsih, 2004).

Madihah (2002), menyatakan bahwa makanan merupakan hasil proses pengambilan keputusan yang dikendalikan oleh ibu. Oleh karena itu, tingkat pendidikan ibu sangat berperan dalam penyusunan pola makan keluarga, mulai dari perencanaan belanja, pemilihan bahan pangan maupun dalam pengolahan dan penghidangan makanan bagi anggota keluarga (Ningsih, 2008). Hasil peneltian Sutrisno (2001) dan Munadhiroh (2009), menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu dengan perilaku keluarga sadar gizi.

Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur penting yang akan memengaruhi keadaan gizinya karena dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan informasi gizi yang dimiliki jadi lebih baik (Berg, 1987). Menurut Ningsih (2008), tingkat pendidikan formal orang tua terutama ibu sering memiliki hubungan dengan perbaikan pola konsumsi pangan keluarga. Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka akan terjadi perbaikan kebiasaan makan, serta


(44)

perhatian kepada kesehatan dan makanan yang bergizi juga bertambah. Menurut Madanijah (2003), terdapat hubungan positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak baik.

Pendidikan formal dari ibu rumah tangga sering kali mempunyai manfaat yang positif dengan pengembangan pola konsumsi makanan dalam keluarga. Beberapa studi menunjukkan bahwa jika pendidikan dari ibu meningkat maka pengetahuan gizi dan praktek gizi bertambah baik (Joyomartono, 2004). Menurut Gabriel (2008), ibu yang berpendidikan lebih tinggi cenderuang memilih makanan yang lebih baik dalam kualitas dan kuantitas dibandingkan ibu yang berpendidikan rendah.

3 Pekerjaan Ibu

Menurut Sediaoetama (2008), pekerjaan adalah mata pencaharian, apa yang dijadikan pokok kehidupan, sesuatu yang dilakukan untuk mendapatkan nafkah. Lamanya seseorang bekerja sehari-hari pada umumnya 6-8 jam (sisa 16-18 jam) dipergunakan untuk kehidupan dalam keluarga, masyarakat, istirahat, tidur dan lain-lain.

Peningkatan kedudukan wanita dan tersedianya peluang yang sama di bidang pendidikan, latihan dan pekerjaan yang akan memberi kontribusi yang berarti dalam perkembangan sosial ekonomi keluarganya. Padahal keluarga terutama ibu


(45)

hingga dewasa (Soetjiningsih, 2004). Menurut Gabriel (2008), seorang ibu yang tidak bekerja di luar rumah akan memiliki lebih banyak waktu dalam mengasuh serta merawat anak. Hasil penelitian Misbakhudin (2007), di Kota Bandung menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara aktifitas ibu dengan perilaku keluarga sadar gizi.

Salah satu penyebab terjadinya gizi kurang adalah karena status pekerjaan ibu sehingga ibu yang bekerja di luar rumah cenderung menelantarkan pola makan keluarganya sehingga mengakibatkan menurunnya keadaan gizi keluarga yang hal ini akan berakibat pada keadaan status gizi anggota keluarga terutama anak-anaknya (Apriadji, 1996). Ibu yang bekerja tidak dapat memberikan perhatian kepada anak balitanya apalagi mengurusnya sehingga ibu yang bekerja waktu untuk merawat anak menjadi berkurang (Sediaoetama, 2008).

Seseorang yang mempunyai pekerjaan dengan waktu yang cukup padat akan memengaruhi ketidakhadiran dalam pelaksanaan penimbangan balita posyandu. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gabriel (2008) yang mengungkapkan bahwa faktor pekerjaan ibu balita merupakan salah satu faktor penghambat ibu balita memanfaatkan penimbangan balita di posyandu. Pada umumnya orang tua tidak mempunyai waktu luang, sehingga semakin tinggi aktivitas pekerjaan orang tua semakin sulit datang ke posyandu. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ningsih (2008), yang menyatakan bahwa ibu balita yang tidak bekerja berpeluang baik untuk berkunjung ke posyandu dibandingkan dengan ibu yang bekerja. Padahal beberpa indikator perilaku sadar gizi sangat erat kaitannya denga kunjungan ibu balita ke posyandu.


(46)

Menurut Hardinsyah dan Martianto (2007), peranan wanita dalam usaha perbaikan gizi keluarga terutama untuk meningkatkan status gizi bayi dan anak sangatlah penting karena wanita berperan sebagai pengasuh anak dan pengatur konsumsi pangan anggota keluarga. Keterlibatan ibu dalam kegiatan ekonomi/bekerja dibatasi oleh waktu mereka untuk pengelolaan pangan buat keluarga.

Saat wanita dari keluarga menengah ke bawah lebih mengalokasikan untuk kegiatan bekerja di luar rumah, biasanya mereka akan mengurangi waktu untuk mengelola makanan di rumah tangga dengan cara mengurangi frekuensi memasak dan mengurangi jenis makanan yang dimasak yang pada akhirnya akan mengurangi kualitas gizi pada menu makanan anggota keluarga tersebut (Hardinsyah & Martianto, 2007).

4. Pendapatan Keluarga

Pendapatan merupakan faktor yang terpenting menentukan kualitas dan kuantitas hidangan keluarga. Semakin tinggi penghasilan, semakin besar pula persentase dari penghasilan tersebut untuk membeli buah, sayur dan beberapa jenis bahan makanan lainnya (Berg, 1986). Pengaruh pendapatan terhadap perbaikan kesehatan dan kondisi lain yang mengadakan interaksi dengan status gizi adalah sama jelasnya bahwa penghasilan meningkatkan daya beli (Farida, 2004). Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik (Sayogyo, 1995). Hasil peneltian Munadhiroh (2009) di Desa Subah menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara pendapatan keluarga


(47)

Menurut Berg (1986), pendapatan dianggap sebagai salah satu determinan utama dalam diet dan status gizi. Ada kecenderungan yang relevan terhadap hubungan pendapatan dan kecukupan gizi keluarga. Hukum Perisse mengatakan jika terjadi peningkatan pendapatan, maka makanan yang dibeli akan lebih bervariasi (Parsiki, 2003). Selain itu menurut hukum ekonomi (hukum Engel) yang disebutkan bahwa mereka yang berpendapatan sangat rendah akan selalu membeli lebih banyak makanan sumber karbohidrat, tetapi jika pendapatannya naik maka makanan sumber karbohidrat yang dibeli akan menurun diganti dengan makanan sumber hewani dan produk sayuran (Soekirman, 2000).

Menurut Madihah (2002) pada umumnya bila pendapatan keluarga meningkat maka kecukupan gizi keluarga akan meningkat. Namun, pendapatan tinggi tidak menjamin untuk mendapatkan gizi yang cukup, jadi kemampuan membeli makanan tidak menjamin untuk dapat memilih makanan yang baik. Menurut Suhardjo (2003) pada keluarga yang pendapatannya rendah, tentu rendah pula jumlah uang yang dibelanjakan untuk makanan itu. Bila pendapatan menjadi semakin baik, maka jumlah uang dipakai untuk membeli makanan dan bahan makanan itu juga meningkat, sampai suatu tingkat tertentu dimana uang tidak banyak berubah.

Penurunan daya beli akan menurunkan kualitas dan kuantitas pangan serta aksesibilitas pelayanan kesehatan terutama sekali bagi warga kelas ekonomi bawah. Hal ini akan berdampak negatif terhadap kesehatan anak yang rentan terhadap gangguan gizi dan kesehatan (Gabriel, 2008). Besarnya pendapatan yang diperoleh setiap keluarga tergantung dari pekerjaan mereka sehari-hari. Pendapatan dalam satu


(48)

keluarga akan memengaruhi aktivitas keluarga dalam pemenuhan kebutuhan sehingga akan menentukan kesejahteraan keluarga termasuk dalam perilaku gizi seimbang (Yuliana, 2004).

5. Besar Keluarga

Keluarga yang mempunyai anggota keluarga yang jumlahnya banyak akan berusaha membagi makanan yang terbatas sehingga makanan yang dikonsumsi tidak sesuai lagi dengan kebutuhan anggota keluarga secara proporsional (Suhardjo, 2003). Besar keluarga akan memengaruhi kesehatan seseorang atau keluarga dan juga memengaruhi konsumsi zat gizi dalam suatu keluarga (Sukarni, 1994). Hasil penelitian Sutrisno (2001), menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara besar keluarga dengan perilaku keluarga sadar gizi.

Keluarga dengan banyak anak dan jarak kelahiran antar anak yang dekat akan menimbulkan banyak masalah. Kalau pendapatan keluarga hanya pas-pasan sedangkan anak banyak maka pemerataan dan kecukupan makanan di dalam keluarga kurang bisa dijamin. Keluarga ini bisa disebut keluarga rawan, karena kebutuhan gizinya hampir tidak pernah terpenuhi (Apriadji, 1996). Hasil penelitian Sutrisno (2001) dan Madihah (2002), menunjukkan hubungan yang signifikan antara besar keluarga dengan keluarga sadar gizi.

Apabila besar keluarga semakin banyak, maka kebutuhan pangannya akan semakin banyak pula. Besar keluarga juga akan memengaruhi jumlah dan jenis makanan yang tersedia dalam keluarga. Pada taraf ekonomi yang sama, pemenuhan


(49)

anggota yang lebih sedikit. Keluarga yang besar dibarengi dengan distribusi makanan yang tidak merata akan menyebabkan anak dalam keluarga tersebut menderita kurang gizi umumya pada keluarga yang mempunyai besar keluarga 7-8 orang (Suhardjo, 2003).

6. Pengetahuan Gizi Ibu

Secara umum di negara berkembang ibu memainkan peranan penting dalam memilih dan mempersiapkan pangan untuk konsumsi keluarganya sehingga pengetahuan gizi ibu akan memengaruhi jenis pangan dan mutu gizi makanan yang dikonsumsi anggota keluarganya (Hardinsyah, 2007). Menurut Munadhiroh (2009), pengetahuan gizi diartikan sebagai segala apa yang diketahui berkenaan dengan zat makanan. Tingkat pengetahuan menentukan perilaku konsumsi pangan, salah satunya melalui pendidikan gizi sehingga akan memperbaiki kebiasaan konsumsi pangan dirinya dan keluarganya (Suhardjo, 2003).

Tingkat pengetahuan ibu bermakna dengan sikap positif terhadap perencanaan dan persiapan makan. Semakin tinggi pengetahuan ibu, maka semakin positif sikap ibu terhadap gizi makanan. Kurangnya pengetahuan tentang gizi atau kemampuan untuk menerapkan dalam kehidupan sehari-hari merupakan sebab penting gangguan gizi (Suhardjo, 2003). Menurut Khomsan (2009), faktor yang tidak kalah penting penyebab timbulnya masalah gizi adalah kurangnya pengetahuan gizi masyarakat khususnya pada ibu yang sebagian besar pengasuh anak. Hasil penelitian Madihah (2002) dan Munadhiroh (2009), menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan gizi dengan perilaku keluarga sadar gizi.


(50)

Pengetahuan yang diperoleh ibu sangat bermanfaat bagi balita apabila ibu tersebut berhasil mengaplikasikan pengetahuan gizi yang dimiliki (Farida, 2004). Masalah gizi selain merupakan sindroma kemiskinan yang erat kaitannya dengan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga juga menyangkut aspek pengetahuan dan perilaku yang kurang mendukung perilaku hidup sehat. Pengetahuan sangat penting dalam menentukan bertindak atau tidaknya seseorang yang pada akhirnya sangat akan memengaruhi status kesehatan anggota keluarganya (Depkes RI, 2007).

Menurut Apriadji (1996), seseorang yang mempunyai pendidikan rendah belum tentu kurang mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibandingkan dengan orang lain yang berpendidikan lebih tinggi. Karena sekalipun berpendidikan rendah kalau orang tersebut rajin mendengarkan informasi tentang gizi bukan mustahil pengetahuan gizinya akan lebih baik. Tindakan yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan (Notoatmodjo, 2007).

7. Sikap Ibu

Sikap ibu tentang kesehatan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap perilaku gizi di tingkat keluarga. Sikap tentang kesehatan adalah pendapat atau penilaian seseorang terhadapap hal-hal yang berkaitan dengan gizi sebagai upaya untuk memelihara kesehatannya (Sedioetama, 2006). Menurut Depkes RI (2007), pada umumnya keluarga telah memiliki pengetahuan dasar mengenai gizi. Namu demikian, sikap mereka terhadap perbaikan gizi keluarga masih rendah. Hal ini


(51)

memadai karena tidak ada dampak buruk yang mereka rasakan. Selain itu, sebagian keluarga juga mengetahui bahwa ada jenis makanan yang lebih berkualitas, namun mereka tidak ada kemauan dan keterampilan menyiapkannya.

Menurut Kwick (1974), sikap adalah kecenderungan untuk mengadakan tindakan suatu objek, dengan suatu cara yang menyatakan adanya tanda-tanda untuk menyenangi atau tidak menyenangi objek tersebut. Sikap belum merupakan suatu perbuatan, tetapi dari sikap dapat diramalkan perbutannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pranadji (1988) bahwa sikap akan sangat berguna bagi seseorang, sebab sikap akan mengarahkan perilaku secara langsung.

Notoatmodjo (2007), menyatakan sikap merupakan kesiapan atau kesediaan/kemauan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu sehingga sikap merupakan predisposisi perilaku atau reaksi tertutup. Makin tinggi pendidikan ibu cenderung makin sadar gizi dan semakin positif pula sikap gizinya dan nantinya akan meningkatkan status gizi keluarga. Hasil penelitian Madihah (2002), menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara sikap ibu dengan perilaku keluarga sadar gizi. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat responden terhadap suatu objek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan hipotesis kemudian responden diminta bagaimana pendapatnya.


(52)

2.2.2. Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan adalah membantu individu untuk memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan terkait dengan diri mereka termasuk mengurangi hambatan pribadi dan sosial. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang dimiliki antara lain dengan transfer daya dari lingkunganya (Prijono & Pranaka, 1996).

Menurut Notoatmodjo (2003), pemberdayaan merupakan proses pemberian informasi secara terus menerus dan berkesinambungan mengikuti perkembangan sasaran, serta proses membantu sasaran, agar sasaran tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar (aspek knowledge), dari tahu menjadi mau (aspek attitude), dan dari mau menjadi mampu melaksanakan perilaku yang diperkenalkan (aspek

practice)

Perlu diketahui bahwa dalam Kadarzi, pemberdayaan masyarakat merupakan ujung tombak, yang untuk keberhasilannya harus didukung oleh upaya bina suasana (opini publik) dan advokasi. Namun demikian, selama ini dirasakan bahwa upaya pemberdayaan masyarakat kurang mendapat perhatian dengan minimnya dana pelaksanaan. Kegiatan-kegiatan komponen pemberdayaan masyarakat meliputi serangkaian kegiatan yang diawali dengan membangun kesadaran kritis masyarakat, pengorganisasian masyarakat hingga perencanaan partisipatif.


(53)

a. Tujuan Pemberdayaan

Tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berfikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan tersebut. Kemandirian masyarakat adalah merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai oleh kemampuan untuk memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah-masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya kemampuan yang terdiri atas kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik, afektif, dengan mengerahkan sumberdaya yang di miliki oleh lingkungan internal masyarakat tersebut.

Terjadinya keberdayaan pada empat aspek tersebut (afektif, kognitif dan psikomotorik) akan dapat memberikan kontribusi pada terciptanya kemandirian masyarakat yang dicita-citakan, dalam masyarakat akan terjadi kecukupan wawasan, yang dilengkapi dengan kecakapan-keterampilan yang memadai, diperkuat oleh rasa memerlukan pembangunan dan perilaku sadar akan kebutuhan tersebut (Ambar, 2004).

Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan akan menghasilkan kemandirian masyarakat di bidang kesehatan. Dengan demikian pemberdayaan masyarakat merupakan proses, sedangkan kemandirian merupakan hasil, karenanya kemandirian masyarakat di bidang kesehatan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk dapat mengidentifikasi masalah kesehatan yang ada di lingkungannya. Peran serta masyarakat di dalam pembangunan kesehatan dapat diukur dengan makin


(54)

banyaknya jumlah anggota masyarakat yang mau memanfaatkan pelayanan kesehatan seperti, Puskesmas, Pustu, Polindes, mau hadir ketika ada kegiatan penyuluhan kesehatan, dan mau menjadi kader kesehatan (Depkes RI, 2007).

Pemberdayaan keluarga sadar gizi maksudnya adalah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kemampuan keluarga agar terwujud keluarga yang sadar gizi. Upaya meningkatkan kemampuan keluarga itu dilakukan dengan penyuluhan, demo, diskusi, dan pelatihan. Melalui pemberdayaan Kadarzi, maka proses pemberian informasi Kadarzi secara terus menerus dan berkesinambungan mengikuti perkembangan sasaran di berbagai tatanan, serta proses membantu sasaran, agar sasaran tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar gizi, dari tahu menjadi mau dan dari mau menjadi mampu melaksanakan perilaku sadar gizi. Sasaran utama pemberdayaan masyarakat adalah individu, keluarga dan kelompok masyarakat (Depkes RI, 2007).

Tujuan pemberdayaan keluarga sadar gizi (Kadarzi) adalah: a) Menimbang balita ke posyandu secara berkala; b) Mampu mengenali tanda-tanda sederhana keadaan kelainan gizi (gizi kurang dan gizi lebih); c) Mampu menerapkan susunan hidangan yang baik dan benar, sesuai dengan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS); d) Mampu mencegah dan mengatasi kejadian, atau mencari rujukan, manakala terjadi kelainan gizi di dalam keluarga; dan e) Menghasilkan makanan melalui pekarangan.

c. Tahap-Tahap Pemberdayaan


(55)

untuk mandiri, meski dari jauh dijaga agar tidak jatuh lagi. Dilihat dari pendapat tersebut berarti pemberdayaan melalui suatu masa proses belajar, hingga mencapai status, mandiri. Meskipun demikian dalam rangka menjaga kemandirian tersebut tetap dilakukan pemeliharaan semangat, kondisi, dan kemampuan secara terus menerus supaya tidak mengalami kemunduran lagi.

Sebagaimana disampaikan dimuka bahwa proses belajar dalam rangka pemberdayaan akan berlangsung secara bertahap. Tahap-tahap yang harus dilalui tersebut adalah meliputi:

 Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri.

 Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan keterampilan agar terbuka wawasan dan memberikan keterampilan dasar sehingga dapat mengambil peran di dalam pembangunan.

 Tahap peningkatan intelektual, kecakapan keterampilan sehingga terbentuklah inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mehantarkan pada kemandirian (Ambar, 2004).

c. Sasaran Pemberdayaan

Sasaran utama pemberdayaan adalah individu dan keluarga, serta kelompok masyarakat. Dalam mengupayakan agar seseorang tahu dan sadar, kuncinya terletak pada keberhasilan membuat orang tersebut memahami bahwa sesuatu (misalnya Kadarzi) adalah masalah baginya dan bagi masyarakatnya. Sepanjang orang yang bersangkutan belum mengetahui dan menyadari bahwa sesuatu itu merupakan


(56)

masalah, maka orang tersebut tidak akan bersedia menerima informasi apapun lebih lanjut. Manakala ia telah menyadari masalah yang dihadapinya, maka kepadanya harus diberikan informasi umum lebih lanjut tentang masalah yang bersangkutan (Depkes RI, 2007).

Bilamana sasaran sudah akan berpindah dari mau ke mampu melaksanakan, boleh jadi akan terkendala oleh dimensi ekonomi. Dalam hal ini kepada yang bersangkutan dapat diberikan bantuan langsung, tetapi yang seringkali dipraktekkan adalah dengan mengajaknya ke dalam proses pengorganisasian masyarakat atau pembangunan masyarakat. Pemberdayaan akan lebih berhasil jika dilaksanakan kemitraan. Pada saat ini banyak dijumpai Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang kesehatan atau peduli terhadap kesehatan. LSM ini harus digalang kerjasamanya, baik diantara mereka maupun anatara mereka dengan pemerintah, agar upaya pemberdayaan masyarakat dapat berdayaguna dan berhasilguna. Selain dengan pihak LMS, tokoh masyarakat dalam hal ini kepala desa juga dapat memberikan dukungan dalam pelaksanaan promosi Kadarzi. Peran kepala desa adalah sebagai motivator atau penyuluh kesehatan yang membantu para petugas untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang perlunya hidup sehat dan memotivasi mereka untuk melakukan perilaku Kadarzi.

Sasaran pemberdayaan Kadarzi adalah semua keluarga di wilayah kerja puskesmas. Namun perhatian utama pemberdayaan ditujukan pada keluarga yang memiliki kelainan gizi, keluarga pra-sejahtera dan keluarga sejahtera tahap I (Depkes RI, 2007). Hasil studi Misbakhudin (2003); Depkes RI (2007), menyebutkan bhawa


(57)

memengaruhi pencapaian program Kadarzi. Sarjunani (2009), juga menyebutkan bawah salah satu upaya untuk memperbaiki status gizi masyarakat yaitu melalui program Kadarzi dengan cara pemberdayaan gizi masyarakat. Rumniati (2005), menyimpulkan bahwa adanya masyarakat yang belum mengerti tentang Kadarzi sehingga masih diperlukan pemberdayaan dari kader dan tenaga kesehatan. Pemberdayaan masyarakat yang dilakukan dapat memotivasi keluarga untuk memperaktekkan indikator-indikator Kadarzi.

2.3. Dampak dari Praktek Keluarga Sadar Gizi

Penelitian yang dilakukan oleh Zahraini (2009), di Provinsi di Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur (NTT) menunjukkan bahwa perilaku Kadarzi mempunyai hubungan yang signifikan dengan status gizi balita pada indeks BB/U dan TB/U (p<0.05) dan balita dari rumah tangga dengan kadarzi baik cenderung 1,13 kali menjadi gizi baik dan 1,16 kali untuk memiliki tinggi badan normal.

Hubungan perilaku Kadarzi rumah tangga dengan status gizi balita pada indeks BB/TB dan TB/U sangat dimungkinkan didukung dengan adanya hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu dan status infeksi dengan status gizi balita (p<0.05) dan penelitian Misbakhudin et al., (2008), di Banding Jawa Barat yang mengemukakan bahwa perilaku Kadarzi berhubungan dengan tingkat pendidikan ibu, sehingga masalah gizi akut dan kronis dapat diperkecil dengan meningkatkan kadarzi yang baik melalui pengetahuan dan pendidikan ibu tentang gizi balita serta menurunkan prevalensi infeksi pada balita.


(1)

PENGETAHUAN

1. Menurut Saudara, apakah yang dimaksud Kadarzi? a. Keluarga sadar gizi

b. Keluarga yang mengkonsumsi makanan yang bergizi c. Kelaurga yang mendapat pembinaan dalam hal gizi

2. Ada berapa perilaku Kadarzi yang Saudara ketahui?

a. Lima perilaku (ASI eksklusif, menimbang berat badan, garam beryodium, konsumsi anekaragam makanan, pemberian vit. A)

b. Dua perilaku (ASI Eksklusif dan makanan beranekaragam) c. Satu perilaku (Memakan makanan yang bergizi)

3. Apa yang ibu ketahui mengenai ASI Eksklusif? a. Pemberian ASI saja selama enam bulan

b. Pemberian ASI dan susu formula selama enam bulan

c. Pemberian ASI, susu formula, tambahan makanan (bubur bayi) selama enam bulan

4. Makanan pendamping ASI sebaiknya diberi sejak: a. Bayi lahir

c. Usia bayi tiga bulan d. Usia bayi enam bulan

5. Menurut ibu, sebaiknya ASI tetap diberikan kepada anak hingga umur: a. Satu tahun

b. Dua tahun c. Empat tahun

6. Menurut ibu, garam dapur yang baik adalah garam yang mengandung zat gizi : a. Besi

b. Seng c. Yodium

7. Garam beryodium adalah ?

a. Garam yang rasanya lebih asin dibanding dengan garam biasa b. Garam yang telah ditambah zat yodium

c. Garam yang bentuknya lebih kasar dibanding dengan garam biasa

8. Apakah ibu mengetahui makanan yang beranekaragam ? a. Makanan pokok, lauk pauk, sayuran dan buah-buahan b. Makanan pokok dan lauk saja


(2)

9. Manfaat dari makan makanan beraneka ragam pada anak balita adalah: a. Melengkapi kekurangan zat gizi dari berbagai makanan, yang menjamin

terpenuhinya kecukupan sumber zat tenaga, zat pembangun dan zat pengatur. b. Melengkapi kekurangan zat tenaga.

c. Melengkapi kekurangan zat pembangun.

10. Apakah ibu mengetahui waktu untuk memantau dan menimbang balita yang tepat?

a. Setiap bulan b. Dua bulan sekali c. Empat bulan sekali

11. Manfaat memantau pertumbuhan dan perkembangan adalah? a. Untuk mengetahui apakah anak pintar

b. Untuk mengetahui pertumbuhan normal atau tidak c. Untuk mengetahui apakah anak sakit

12. Bila ternyata berat badan anak tidak naik pada saat penimbangan ini berarti : a. Pertumbuhan anak tidak baik

b. Makanan yang diberikan belum beragam c. Anak harus diberi PMT

13. KMS gunanya untuk:

a. Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan balita b. Mengetahui kehadiran rutin posyandu

c. Menyatakan balita terdaftar di posyandu

14. Menurut ibu, pemberian vitamin A dosis tinggi pada balita diberikan : a. Tiga kali setahun

b. Dua kali setahun c. Satu kali setahun

15. Apakah ibu mengetahui kapan balita mendapat Vit. A pada balita 6-59 di posyandu?

a. Bulan Februari dan Agustus b. Bulan Januari dan Juli c. Bulan Desember dan Juni


(3)

SIKAP

No Pernyataan Sangat

Setuju Setuju

Kurang Setuju

Tidak Setuju

Sangat Tidak Setuju

1. Setiap Balita seharusnya memiliki Kartu Menuju Sehat (KMS). 2. Setiap Balita seharusnya ditimbang

berat badannya setiap bulan secara teratur;

3. Balita membutuhkan suplemen gizi sesuai anjuran untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya.

4. Balita harus mendapat kapsul vitamin A setiap bulan Februari dan Agustus di Posyandu atau Puskesmas

5. Ibu harus menolak untuk memberikan susu formula kepada bayi meskipun tenaga kesehatan yaitu bidan menawarkannya kepada ibu.

6. Memberikan air susu ibu (ASI) saja kepada bayi sejak lahir sampai umur enam bulan.

7. Ibu akan memberi ASI karena memberi Air Susu Ibu lebih murah dan praktis dibanding susu formula.


(4)

untuk menaman tanaman sayuran agar konsumsi sayuran lebih beragam.

9. Untuk melengkapi kekurangan zat gizi dari berbagai makanan, maka setiap anggota keluarga harus mengonsumsi makanan beraneka ragama.

10. Ibu harus menggunakan garam beryodium setiap memasak.

11. Ibu harus membeli garam beryodium meskipun harganya sedikit lebih mahal dibandingkan dengan garam yang tidak beryodium.

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

No Pernyataan Ya Tidak

1. Tenaga kesehatan memberikan informasi tentang Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi).

2. Tenaga kesehatan menyarankan keluarga agar menimbang balita ke posyandu secara berkala.

3. Tenaga kesehatan menginformasikan kepada keluarga agar semua anggota keluarga sadar gizi.

4. Tenaga kesehatan memberikan informasi kepada keluarga dalam mengenali tanda-tanda kelainan gizi (gizi kurang dan gizi lebih).


(5)

5. Keluarga mendapatkan informasi dari tenaga kesehatan dalam menerapkan susunan hidangan yang baik dan benar, sesuai dengan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS).

6. Keluarga memperoleh informasi dari tenaga kesehatan tentang gizi, agar keluarga dapat melakukan pencegahan terjadi kelainan gizi di dalam keluarga

7. Keluarga memperoleh informasi dari tenaga kesehatan tentang gizi agar keluarga mampu mengatasi kelainan gizi di dalam keluarga.

8. Tenaga kesehatan memberikan informasi tentang rujukan anak balita yang menderita gizi buruk, dengan tujuan agar keluarga mampu mencari rujukan manakala terjadi kelainan gizi di dalam keluarga.

9. Tenaga kesehatan memberikan informasi kepada keluarga tentang pemanfaatan pekarangan, agar keluarga mampu menghasilkan makanan melalui pekarangan.

10. Apakah dilakukan kegiatan pertemuan antara ibu PKK, Kader, dan masyarakat dalam membahas tentang Kadarzi ? 11. Apakah Kader menghimbau masyarakat agar hadir dalam

kegiatan penyuluhan Kadarzi.

12. Apakah Kader mempersiapkan kebutuhan dalam penyuluhan Kadarzi dengan baik.

13. Apakah Kepala desa mengalokasikan dana dalam penyediaan makanan lokal yang bergizi.

14. Apakah tokoh masyarakat menggerakkan masyarakat untuk mengajak keluarga dan berpartisipasi dalam kegiatan yang berkaitan dengan Kadarzi


(6)

supaya mendukung Ibu dalam mengikuti kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan Kadarzi

16. Apakah pihak swasta ikut serta membantu dalam menyediakan pelatihan bagi kader dan masyarakat.

17. Apakah pihak swasta ikut serta membantu menyediakan media penyuluhan tentang Kadarzi seperti leaflet dan poster. 18. Apakah LSM ikut mendampingi pada saat ada kegiatan


Dokumen yang terkait

Program Pemberdayaan Perempuan Kursus Wanita Karo Gereja Batak Karo Protestan (Kwk-Gbkp) Pada Perempuan Pengungsi Sinabung Kecamatan Payung Kabupaten Karo

2 51 132

Laporan Praktek Kerja Lapangan di Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana

0 16 1

HUBUNGAN PERILAKU KELUARGA SADAR GIZI (KADARZI) DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA DI KECAMATAN Hubungan Perilaku Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) Dengan Kejadian Stunting Pada Balita Di Kecamatan Wonosari Kabupaten Klaten.

0 2 9

Hubungan Dukungan Sosial Keluarga Inti Dengan Kesiapan Remaja Putra Dan Putri Pada Masa Pubertas Di Kecamatan Pidie Kabupaten Pidie Tahun 2014

0 0 19

Hubungan Dukungan Sosial Keluarga Inti Dengan Kesiapan Remaja Putra Dan Putri Pada Masa Pubertas Di Kecamatan Pidie Kabupaten Pidie Tahun 2014

0 0 2

Hubungan Dukungan Sosial Keluarga Inti Dengan Kesiapan Remaja Putra Dan Putri Pada Masa Pubertas Di Kecamatan Pidie Kabupaten Pidie Tahun 2014

0 0 12

KUESIONER HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DENGAN PRAKTEK KADARZI DI KECAMATAN TRIENGGADENG KABUPATEN PIDIE JAYA KARAKTERISTIK KELUARGA

0 0 9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keluarga Sadar Gizi - Hubungan Karakteristik Keluarga dan Pemberdayaan Masyarakat dengan Praktek Kadarzi di Kecamatan Trienggadeng Kabupaten Pidie Jaya

0 0 34

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Hubungan Karakteristik Keluarga dan Pemberdayaan Masyarakat dengan Praktek Kadarzi di Kecamatan Trienggadeng Kabupaten Pidie Jaya

0 0 9

HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DENGAN PRAKTEK KADARZI DI KECAMATAN TRIENGGADENG KABUPATEN PIDIE JAYA TESIS

0 0 16