BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Terhadap Kedudukan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah Bank Pemerintah Setelah Menjadi PT (PERSERO) Studi Kasus PT. Bank Sumut Medan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Untuk pemenuhan berbagai keperluan yang terus meninghkat baik sebagai
tempat bermukim maupun sebagai kegiatan usaha, maka menyebabkan meningkatnya kebutuhan mengenai jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan.
Hal ini dapat dilihat dari tujuan reformasi agraria yang hendak dicapai oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yang merumuskan tujuannya sebagai
berikut: 1.
Melakukan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka masyrakat adil dan makmur.
2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan hukum Pertanahan.
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Pengelolaan tanah di Indonesia ditujukan untuk mencapai tujuan Nasional sebagaimana tersebut dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea IV, Dalam Undang-Undang 1945 Pasal 33 ayat (3) tercantum ketentuan dasar hukum Agraria Nasional yang berbunyi:” Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya,dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.”
1 Antje M. Ma’moen, Pendaftaran Tanah Sebagai Pelaksana UUPA Untuk Mencapai Kepastian Hukum Atas Tanah di Kota Madya Bandung Disertasi , (Bandung: Universitas Pajajaran, 1996), hal 2 2 Boedi Harsono I, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agrarian , Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2003), hal 27
Dikuasai oleh Negara maksudnya memberikan wewenang kepada Negara untuk:
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya.
2. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas bumi, air dan ruang angkasa.
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Kewenangan Negara tersebut juga harus sesuai dengan prinsip filosofi dari
4 Undang-Undang Pokok Agraria, yaitu :
1. Prinsip Kesatuan hukum Agraria untuk seluruh wilayah tanah air, dengan prinsip ini maka kita telah melepaskan dualisme dalam hukum agraria di indonesia.
Penghapusan pernyataan domein dengan menerapkan hak menguasai Negara ditagaskan dalam Pasal 1 dan 2 Undang-Undang Pokok Agraria.
2. Fungsi sosial hak atas tanah, merupakan kejelasan dari hak-hak ke Agrariaan di Indonesia, bukan penerapan bahwa memiliki sesuatu itu sebagai seuatu yang “suci” sebagai hak-hak dasar manusia dan setiap orang harus “lepas tangan” dari hak-hak orang lain dalam dia menjalankan hak-hak atas Agrarianya dan dia dapat memepertahankan hak-haknya itu terhadap pemerintahan sendiri.
3. Pengakuan hukum Agraria Nasional berdasarkan hukum adat dan pengakuan dari eksistensi dari hak ulayat, hal ini memperjelas dengan dikembalikannya marwah hukum adat dan hak ulayat Indonesia dan penyesuainnya dengan perkembangan jaman, dimana hukum adat harus dapat menjawab tantangan hukum modern.
a.
Persamaan derajat sesama Warga Negara Indonesia, diantara laki-laki dan wanita, hal ini yaitu dengan melindungi yang ekonomis lemah sesuai dengan Pasal 11 ayat 3 Undang-Undang Pokok Agraria.
b.
Pelaksanaan reformasi hubungan antara manusia (Indonesia) dengan bumi, tanah , bumi, air dan ruang angkasa. 3 4 Ibid , hal 50
A.P Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, (Bandung: Mandar Maju, 2008), hal 29 c.
Rencana umum penggunaan, persediaann, pemeliharaan bumi air dan runag angkasa.
d.
Prinsip Nasionalitas, yang menyatakan bahwa hanya Warga Negara Indonesia yang mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa.
Setiap macam hak atas tanah wajib didaftarkan dan disertifikatkan oleh Kantor Badan Pertanahan Nasioanal (BPN) yang berkantor disetiap Kabupaten dan
5 Kota.
Pendaftaran Tanah itu memberikan jaminan kepastian hukum yang meliputi: jaminan kepastian hukum mengenai orang atau badan hukum yang menjadi pemegang hak (subyek hak atas tanah), jaminan kepastian hukum mengenai letak, batas dan luas suatu bidang tanah (obyek hak atas tanah), dan jaminan kepastian
hukum mengenai hak-hak atas tanahnya yang dituangkan dalam bentuk sertipikat.
Kajian mengenai kekuatan berlakunya sertipikat sangat penting, setidak- tidaknya karena pertama, sertipikat memberikan kepastian hukum kepemilikan tanah bagi orang yang namanya tercantum dalam sertipikat. Penerbitan sertipikat dapat mencegah sengketa tanah. Pemilikan sertipikat akan memberikan perasaan tenang
dan tentram karena dilindungi dari tindakan sewenang-wenang oleh siapa pun.
Kedua , pemberian sertipikat dimaksudkan untuk mencegah sengketa kepemilikan
tanah. Ketiga, dengan pemilikan sertipikat, pemilik tanah dapat melakukan perbuatan hukum apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang, ketertiban 5 Herman Hermit, Cara Memperoleh Sertifikat Tanah Hak Milik, Tanah Negara dan Tanah
Pemda , (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 2004), hal 1 6 A.P Parlindungan, Komentar Undang-Undang Pokok Agaria, (Bandung: Mandar Maju, 1993), hal 15 7 Bachsan Mustafa, Hukum Agraria Dalam Perspektif, Cetakan Ketiga. (Bandung: Remaja Karya, 1988), hal 57
umum, dan kesusilaan. Selain itu, sertipikat mempunyai nilai ekonomi dimana tanah yang bersertipikat mempunyai nilai ekonomi yang tinggi apabila dijadikan jaminan
utang dengan hak tanggungan atas tanah.
Sertifikat hak atas tanah merupakan perbuatan pemerintah yang lahir karena hukum dan bersifat konkret karena ditujukan bagi mereka yang tercantum dalam sertipikat tersebut. Serta tidak memerlukan persetujuan instansi lain. Apabila dilihat dari akibat yang ditimbulkan, maka tindakan pemerintah dalam kegiatan pemberian sertipikat hak atas tanah adalah bertujuan untuk menimbulkan keadaan hukum baru
(rechtscheppend) dan juga merupakan keputusan yang bersifat konstitutif
(constitutieve beschichikking) sehingga lahir pula hak-hak dan kewajiban-kewajiban
hukum baru terhadap orang/badan hukum tertentu dalam hal ini misalnya Bank.O.P Simorangkir mengemukakan, Bank merupakan salah satu badan usaha lembaga keuangan yang bertujuan memberikan kredit dan jasa-jasa. Adapun pemberian kredit itu dilakukan baik dengan modal sendiri atau dengan dana-dana yang dipercayakan oleh pihak ketiga maupun dengan jalan memperedarkan alat-alat
pembayaran baru berupa uang giral.
8 Adi Kusnadi, Laporan Teknis Intern Tentang Masalah Hukum Perubahan Status, Jakarta, 1999, hal 15 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda- Benda yang Berkaitan dengan Tanah (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3632). 10 Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Edisi Pertama, Cetakan Kesatu, (Bandung: Alumni, 2004), hal 342 11 O.P Simorangkir, Seluk Beluk Bank Komersial, Jakarta: Perbanas, 1998, hal 10
Namun demikian kegiatan usaha bank tidak sama antara bank yang satu dengan bank yang lainnya, hal ini antara lain tergantung dari jenis bank, yaitu Bank
Umum dan Bank Perkreditan Rakyat, dan dari bentuk hukumnya
1). Bentuk hukum suatu Bank Umum dapat berupa ;
a. Perseroan Terbatas
b. Koperasi
c. Perusahaan Daerah 2). Bentuk hukum suatu Bank Perkreditan Rakyat dapat berupa :
a. Perusahaan Dearah
b. Koperasi c. Perseroan Terbatas.
d. Bentuk lain yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah 3). Bentuk hukum dari kantor perwakilan dari kantor cabang bank. yang bekedudukan di luar negeri mengikuti bentuk hukum kantor pusatnya.
BPDSU adalah Bank Daerah Sumatera Utara yang badan hukumnya perusahan daerah yang didirikan berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1965 berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1962 yang dirubah dengan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1985 yang berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 1993 berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan telah
dirubah statusnya dari Perusahaan Daerah menjadi Perseroan Terbatas. 12 Soedjono, Dirdjosisworo, Hukum Perusahaan Mengenai Hukum Perbankan Di Indonesia (Bank Umum) , (Jakarta: Mandar Maju, 2009), hal 24-25 13 R.T Sutantya, Hadikusuma dan Sumantoro, Pengertian Pokok hukum Perusahaan, Cetakan
Pertama, (Jakarta: Rajawali,1991), hal 115
Dilihat dari kepemilikannya, Bank dapat dimiliki oleh Negara, dalam arti modal bank yang bersangkutan berasal dari Pemerintah Pusat maupun Daerah. Bank milik Negara sering juga disebut dengan istilah Bank Milik Pemerintah yang cara pendiriannya, organisasi, wewenang, direksi, diatur dalam Undang-Undang
tersendiri.
Dengan demikian jika dilihat dari sudut pandang Undang-Undang Perbankan, Bank Milik Negara secara normatif dapat memilih bentuk Perseroan Tebatas (PT), Koperasi, atau Perusahaan Daerah (PD), dalam hal bank yang bentuk hukumnya adalah Perusahaan Daerah perlu mencermati yang dijabarkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1998 (Permendagri: 1/1998) tentang Bentuk Hukum Bank Pembangunan Daerah, yang dalam pasal 2 Permendagri: 1/1998 menjelaskan bahwa bentuk hukum Bank Pembangunan Daerah dapat berupa Perusahaan Daerah dan Perseroan Terbatas.
Menurut Pasal 3 Permendagri: 1/1998 mengemukakan bahwa Bank Pembangunan Daerah yang bentuk hukumnya berupa Perusahaan Daerah, tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur Perusahaan Daerah, sedangkan Bank Pembangunan Daerah yang bentuk hukumnya berupa Perseroan Terbatas, tunduk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dan peraturan pelaksananya.
Menurut Anisitus Amanat, perubahan suatu bentuk Badan Hukum Perusahaan Daerah menjadi Perseroan Terbatas harus mendapat persetujuan prinsip terlebih 14 Marhainis Abdul Hay, Hukum Perbankan di Indonesia, Buku Pertama, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 1977), hal 16 dahulu dari pejabat yang berwenang yaitu Menteri Dalam Negeri Daerah Tingkat I,
Gubernur, Kepala Daerah bagi Daerah Tingkat II.
Pada Perusahaan Daerah (PD) BPDSU para investor maupun pemerintah Daerah dirasakan sangat kurang minatnya dalam menanamkan modalnya pada Perusahaan Daerah dikarenakan ruang lingkup operasional BPDSU hanya terbatas pada Sumatera Utara saja sehingga sulit untuk berkembang, sedangkan BPDSU adalah Badan Usaha Milik Daerah yang merupakan alat kelengkapan otonomi daerah yang berfungsi sebagai pengembangan ekonomi daerah.
Untuk mengantisipasi era globalisasi, meningkatkan kebutuhan akan pelayanan dibidang perbankan dan turut serta membantu pemerintah dalam menggerakkan ekonomi kerakyatan, dan mamapu menarik minat investor baru untuk turut serta dalam penyertaan modal maka perlu meningkatkan peran dan fungsi BPDSU dengan mengadakan perubahan bentuk badan hukum BPDSU dari Perusahaan Daerah menjadi Perseroan Terbatas (PT). Dengan beralihnya status badan hukum BPDSU dari Perusahaan Daerah (PD) menjadi Perseroan Terbatas (PT), sebagaimana yang disebutkan dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 1999 berakibat bahwa segala hak dan kewajiban, kekayaan, pegawai serta usaha-usaha Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara termasuk izin Meteri Keuangan Republik Indonesia Nomor BUM.9-1-125/H Tanggal 28 Februari beralih kepda Bank.
Beralihnya hak dan kewajiban ini kepada Bank berarti, Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara yang berbentuk Perseroan Terbatas harus tunduk dan patuh pada 15 Anisitus Amanat, Pembahasan Undang-Undang Perseroan Terbatas 1995 dan Penerapannya
dalam Akta Notaris, (Jakarta: Raja Grafindo Persada 1996), hal 86
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, namun tidak semua pengaturan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 dapat diterapkan, karena PT.
Bank Pembangunan Sumatera Utara sebagai Badan Usaha Milik Daerah sebahagian besar kepemilikan sahamnya adalah milik Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat.
Setiap bentuk Badan Usaha diatur dalam peraturan Perundang-undangan tersendiri, perubahan bentuk badan hukum bank pemerintah dari bentuk Perusahaan Daerah menjadi Perseroan Terbatas berpengaruh terhadap perubahan susunan organisasi, kepemilikan, permodalan, program rencana kerjanya, serta orang-orang yang ahli dibidangnya sesuai dengan kebutuhan di bank tersebut.
Hal tersebut yang melatar belakangi penulisan tesis ini yang berjudul
Tinjauan Yuridis Terhadap Kedudukan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah Bank
Pemerintah Setelah Menjadi PT (Persero) Studi Kasus PT. BANK SUMUT
MEDAN sehingga perlu dilakukan penelitian pada pihak Bank Pemerintah, Kantor
Badan Pertanahan Nasional (BPN) maupun Kantor Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang biasa memberikan pelayanan kepada masyarakat berkaitan dengan Pertanahan, guna mencari alasan yang tepat karena masih terjadi polemik dan perbedaan pemahaman antara Pejabat pada Instansi.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada bagian latar belakang di atas, maka beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana akibat hukum terhadap sertipikat hak milik atas tanah dalam proses pendaftaran ganti nama atas perubahan dari Perusahaan Daerah menjadi Perseroan Terbatas? 2. Bagaimana akibat hukum terhadap Perubahan Badan Hukum Bank Pembangunan Daerah dari bentuk Perusahaan Daerah menjadi Perseroan Terbatas pada PT.
BANK SUMUT ? 3. Apa saja kewajiban yang muncul bagi PT. BANK SUMUT terhadap aset perusahaan?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum terhadap sertipikat hak milik atas tanah dalam proses pendaftaran ganti nama atas perubahan dari Perusahaan Daerah menjadi Perseroan Terbatas.
2. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum terhadap Perubahan Badan Hukum Bank Pembangunan Daerah dari bentuk Perusahaan Daerah menjadi Perseroan Terbatas pada PT. BANK SUMUT
3. Untuk mengetahui apa saja kewajiban yang muncul bagi PT. BANK SUMUT terhadap aset perusahaan.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:
1. Secara Teoretis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan ilmu hukum perdata khususnya untuk mengetahui Kedudukan Sertifikat Hak Milik Atas Tanah Bank Pemerintah setelah menjadi Peseroan Terbatas (Persero).
2. Dari segi Praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan pedoman bagi praktisi hukum dikalangan Perbankan, Instansi, Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan, khususnya di lingkungan Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, judul yang penulis angkat mengenai Tinjauan Yuridis Terhadap Kedudukan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah Bank Pemerintah setelah menjadi PT (Persero) sepengetahuan penulis belum pernah ada yang melakukan penelitian sebelumnya. Karena itu penelitian ini baik dari segi objek permasalahan, subtansi adalah asli dan dapat dipertanggung jawabkan secara Akademis dan Ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan dan pegangan teoretis. Kerangka teori merupakan susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis menjadi
landasan, acuan dan pedoman untuk mencapai tujuan, sedangkan teori adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan
pengalaman empiris.
Teori hukum merefleksikan perjuangan hukum berada diantara tradisi dan kemajuan, stabilitas dan perubahan, kepastian dan keleluasaan. Sepanjang objek hukum adalah menciptakan ketertiban, maka penekanannya diletakkan pada kebutuhan akan stabilitas dan kepastian. Pada umumnya teori-teori hukum dan para
ahli hukum cenderung untuk lebih menekannya pada stabilitas dari pada perubahan.
Pada tatanan ini jelas terlihat bahwa hukum yang mengatur pengadaan tanah mengabaikan rasa keadilan. Menandai fenomena tersebut dari segi ilmu hukum dapat dikatakan bahwa tuntutan sosial yang dianggap pantas terisolasi oleh kekuasaan. Idealnya kepastian hukum secara fungsional merespon gagasan sosial yang memiliki
muatan keadilan, padahal hukum masyarakat satu instrumen keadilan.
Dilihat dari teori hukum, maka aturan-aturan hukum dan keputusan yang telah ditetapkan oleh pemerintah belum memenuhi konsepsi aturan-aturan hukum dan keputusan, sehingga hukum terutama dalam Bidang Pengaturan Pemilikan dan Penguasaan Tanah dirasakan belum memenuhi tuntutan dari masyarakat yang hidup pada era reformasi ini. Dengan demikian, konsep budaya hukum antara aparatur atau 16 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra Adiyta Bakti,
2004), hal 72-73 17 18 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: CV. Mandar Maju), 1994, hal 27 W. Friedman, Legal Theory, Third Edition, (London: Stevens dan Sons Limited), 1953, hal
37 19 Friedman, L.W., The Legal Sistem A Social Science Perspektive, (New York: Russel Sage Foundation, 1975), hal 50 pemerintah dengan masyarakat dalam rangka pengadaan tanah belum ada persepsi yang sama.
Bagi suatu penelitian, teori dan kerangka teori mempunyai kegunaan.
Kegunaan tersebut paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut: a.
Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam fakta; b. Teori sangat berguna di dalam klasifikasi fakta; c. Teori merupakan ikhtiar dari hal-hal yang diuji kebenarannya
Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoretis, teori dalam suatu penjelasan yang berupaya untuk menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena atau teori merupakan simpulan dari rangkaian sebagai fenomena menjadi sebuah penjelasan terutama tentang Kedududkan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah Bank Pemerintah yang telah berubah menjadi PT (Persero).
Adapun kerangka teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum dimana teori kepastian hukum
mengadung pengertian: a.
Adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh dan perbuatan apa yang tidak boleh dilakukan.
b.
Berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenang-wenangan pemerintah karena adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu.
Sebuah teori harus diuji dengan menghadapkannya kepada fakta-fakta yang kemudian harus dapat menunjukkan kebenarannya. Teori kepastian hukum
20 21 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:UI Press, 1981), hal 121 J.B Dayo Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hal 27 menjelaskan bahwa suatu pendaftaran tanah harus mempunyai kekuatan hukum yang
pasti dengan segala akibatnya dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum.
Kepastian hukum adalah tujuan utama dari hukum. Menurut Hans Kelsen,
setiap tata kaedah hukum merupakan suatu susunan dari pada kaedah-kaedah (stufenbau). Di puncak stufenbau tersebut terdapat "grundnorm" atau kaedah dasar
atau kaedah fundamental, yang merupakan hasil pemikiran secara yuridis. Tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan (recht gerechtigheid), kemanfaatan (recht
sutilileit ) dan kepastian hukum (recht szekerheid) . Dalam hal mewujudkan keadilan,
menurut W. Friedman, suatu Undang-Undang haruslah memberikan keadilan yang sama kepada semua walaupun terdapat perbedaan-perbedaan diantara pribadi-pribadi
tersebut. Roscoe Pond dalam bukunya Scope and Purpose of Sociological
27 Jurisprudence , menyebutkan ada beberapa kepentingan yang harus mendapat
perlindungan atau dilindungi oleh hukum, yaitu Pertama; kepentingan terhadap Negara sebagai suatu badan yuridis; Kedua, kepentingan Negara sebagai penjaga kepentingan sosial; Ketiga, kepentingan terhadap perseorangan terdiri dari pribadi, hubungan-hubungan domestik, kepentingan substansi. Dari pendapat Roscoe Pond tersebut, dapat dilihat bahwa sangat diperlukannya suatu perlindungan hukum
22 23 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rieneka Cipta, 1995), hal 49 J.B. Daiyo, Pengantar Ilmu Hukum, Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta: PT. Prennahlindo, 2001), hal 120. 24 25 Ibid , .hal. 127 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta: PT.
Gunung Agung Tbk, 2002), hal 85. 26 W. Friendman, Tori dan Filsafat Hukum dalam Buku Telaah Kritis atas Teori-Teori Hukum, diterjemahkan dari buku aslinya Legal Theory oleh Muhammad Arifin, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hal 7 27 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal 298. terhadap kepentingan perseorangan, karena adanya kepastian hukum akan tercipta suatu keadilan.
Menurut Satjipto Rahardjo, kepastian hukum merupakan fenomena psikologi dari pada hukum. Kepastian hukum bukan hanya berupa Pasal-Pasal dalam Undang- Undang melainkan juga adanya konsistensi dalam Putusan Hakim yang satu dengan yang lainnya untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan.
Teori kepastian hukum digunakan dalam rangka perlindungan hak-hak atas kepemilikan sertipikat tanah sehingga sangat penting hukum ditempatkan dan diakui sebagai suatu gejala historikal, keputusan-keputusan pemerintah dalam pemberian hak atas tanah merupakan perbuatan hukum dalam rangka pembuktian dimasa yang akan datang yang memberikan kepastian hukum terhadap subyek hukum yang berhak atas kepemilikan tanah yang dengan memiliki alat bukti yang kuat seperti yang dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c, dan Pasal 23 ayat (2) UUPA serta Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
“Seripikat merupakan tanda bukti yang kuat dalam arti bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum didalamnya harus diterima sebagai data yang benar. Sudah tentu data fisik maupun data yuridis yang tercantum dalam bahasa sertipikat harus sesuai dengan data yang tercantum dalam buku tanah dan surat ukur yang bersangkutan, karena data itu diambil dari buku tanah dan surat ukur tersebut.”
Menurut Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, menyebutkan Hak Atas Tanah adalah hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada dua macam sertipikat yaitu:
a. Sertipikat hak atas tanah, dan b. Sertipikat yang ada hubungan dengan hak atas tanah yakni sertipikat Hak Pengelolaan, Tanah Wakaf, Hak Tanggungan, dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.
Secara garis besar menurut Soedjono Dirdjosisworo fungsi hukum dapat
diklasifikasikan dalam empat tahap, yaitu: a.
Fungsi hukum sebagai alat ketertiban dan keteraturan masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena sifat dan watak hukum yang memberi pedoman dan petunjuk tentang bagaimana prilaku dalam masyarakat. Menunjukkan mana yang baik dan mana yang tercela melalui norma-normanya yang mengatur perintah- perintah ataupun larangan-larangan, sedemikian rupa sehingga warga masyarakat diberi petunjuk untuk bertingkah laku.
b.
Fungsi hukum sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir bathin.
Hukum dengan sifat watak yang antara lain saling mengikat baik Fisik maupun Psikologis. Daya mengikat dan bila perlu memaksa ini adalah watak hukum yang menangani kasus-kasus nyata dan memberi keadilan dan menghukum yang bersalah.
c.
Fungsi hukum sebagai sarana penggerak pembangunan. Salah satu daya mengikat dan memaksa dari hukum juga dapat dimanfaatkan dan didayagunakan untuk menggerakkan pembangunan. Hukum sebagai sarana pembangunan merupakan alat bagi otoritas untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih maju.
d.
Fungsi kritis dari hukum, dewasa ini sedang berkembang suatu pandangan bahwa hukum mempunyai fungsi kritis, yaitu daya kerja hukum tidak semata-mata melakukan pengawasan pada aparatur pengawasan, pada aparatur pemerintah (petugas) dan aparatur penegak hukum termasuk didalamnya.
e.
Fungsi hukum untuk mewujudkan kepastian hukum atas hak kepemilikan.
Hak milik adalah hak turun temurun yang dapat dipunyai seseorang atas tanah, dengan kewenangan yang luas bagi pemilik tersebut untuk menguasai, mengelola dan memilikinya, dengan batasan ketentuan fungsi sosial dari kepemilikan tanah tersebut. Melalui keleluasaan kewenangan dan kekuasaan pemilik hak tersebut,
28 Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001),
hal 154-155 maka hak milik atas tanah dapat beralih dan dialihkan serta dijadikan
tanggungan/jaminan utang kepada pihak lain.
Konsep hak atas tanah yang terdapat dalam hukum Agrarian Nasional
membagi hak-hak atas tanah dalam dua bentuk: a.
Hak-hak atas tanah yang bersifat Primer yaitu hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai Negara secara langsung oleh seorang atau Badan Hukum yang mempunyai waktu lama dan dapat dipindah tangankan kepada orang lain atau ahli warisnya seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai.
b.
Hak-hak atas tanah yang bersifat Sekunder yaitu hak-hak atas tanah yang bersifat sementara seperti Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Hak Menyewa atas tanah.
Dari berbagai macam hak atas tanah tersebut, hak milik merupakan satu- satunya hak primer yang mempunyai kedudukan paling kuat dibanding dengan hak lainnya. Hal ini dipertegas dalam ketentuan Pasal 20 ayat 1 UUPA yang berbunyi : “ Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat, terpenuh, yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6 UUPA.”
Turun Temurun artinya hak milik atas tanah dapat berlangsung terus selama
pemiliknya masih hidup dan abila pemiliknya meninggal dunia, maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek hak milik. Terkuat artinya hak milik atas tanah lebih kuat dibandingkan hak atas tanah lainnya, tidak mempunyai batas waktu tertentu, mudah dipertahankan, dari gangguan pihak lain dan tidak mudah hapus. Terpenuhi artinya hak milik atas tanah memberikan wewenang kepada pemiliknya lebih luas dibanding dengan hak atas 29 Eko Yulian Isnur, Tata cara Mengurus Segala Macam Surat Rumah dan Tanah, (Jakarta:
Buku Seru, 2012), hal 9 30 Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal 64
tanah lainnya, dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain, dan penggunaan
tanahnya lebih luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain.
Mengenai keabsahan dan kehalalan hak milik, telah dikenal dua asas yang Pertama asas Nemo Plus Juris Transfere Potest Ipse Habel yang artinya tidak seorangpun dapat mengalihkan atau memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi hak miliknya atau apa yang dia punyai. Kedua, asas Nemo Sibi Ipse Causam
Possessionis Mutare Potest , artinya tidak seorangpun mengubah bagi dirinya atau
kepentingan pihak sendiri, tujuan dari penggunaan objek.
Kedua asas itu semakin mengukuhkan kekuatan sifat terkuat dan terpenuh hak milik atas tanah, kewenangan yang luas dari pemiliknya untuk mengadakan tindakan- tindakan di atas tanah hak miliknya, kekuatan pemiliknya untuk selalu dapat mempertahankan hak miliknya dari gangguan pihak lain dan segala keistimewaan dari hak milik mempunyai nilai keabsahan dan kehalalan yang dijamin kedua asas itu. Dan mengenai jaminan perlindungan kepastian hukumnya bagi pemiliknya terdapat penegasan dalam mekanisme yang dinamakan pendaftaran tanah atau Recht
Kadaster, karena melalui mekanisme ini akan dapat dibuktikan jenis hak atas tanah,
pemegang hak, keterangan fisik tentang tanah, beban diatas tanah, peristiwa hukum yang terjadi atas tanah.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), terhadap Perusahaan Perseroan berlaku segala ketentuan dan 31 Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak atas Tanah, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2007), hal 10 32 Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal 8 prinsip-prinsip yang berlaku bagi Perseroan Terbatas, sedangkan Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang hanya dapat mempunyai tanah dengan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai. Jadi dengan berubahnya bentuk Badan Hukum Bank Pemerintah menjadi PT (persero) berdasarkan Akta Pendirian yang dibuat oleh dan di hadapan Notaris mempunyai konsekuensi logis bahwa PT (pesero) dimaksud harus tunduk kepada ketentuan yang mengatur tentang perseroan.
Pada prinsipnya hanya Warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik, namun oleh pemerintah badan-badan hukum tertentu dapat mempunyai hak milik atas tanah/atau rumah beserta persyaratannya. Sertipikat bukti kepemilikan hak atas tanah diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), melalaui proses pendaftaran tanah yang sebelumnya sudah dilaksanakan, dengan demikian untuk mendapatkan bukti hak atas tanah maka harus melalaui proses pendaftaran tanah di BPN yang secara hierarkis di tingkat Kabupaten atau Kota lebih dikenal dengan Kantor Pertanahan. Penerbitan bukti kepemilikan hak atas tanah merupakan bagian dari proses pendaftaran tanah, yang dijalankan oleh Kantor Pertanahan dimana tanah yang dimohonkan atau didaftarkan itu berada dalam keadaan baik dan tidak ada sengketa.
Tanah hak mengandung unsur keperdataan, aspek yang menonjol adalah aspek hubungan hukum orang dengan tanah. Secara Inplisit Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) membedakan dua kelompok Hak atas tanah, kelompok pertama adalah Hak Milik, sedangkan kedua Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan
(HGB), Hak Pakai (HP).
Undang-Undang Pokok Agraria mengandung prinsip Nasionalitas yang dituangkan dalam Pasal 21 yang menyebutkan: a.
Hanya warga Negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.
b.
Oleh Pemerintah ditetapkan Badan-Badan Hukum yang dapat mempunyai hak milik dengan syarat-syarat.
c.
Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-Undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu didalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepas maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada negara dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.
d.
Selama seseorang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan Asing, maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat 3 dalam Pasal ini.
Menurut Soedikno Mertukusumo, wewenang yang dipunyai oleh pemegang
hak atas tanah terhadap tanahnya dibagi menjadi 2 yaitu:
33 Ibid hal 146
a.
Wewenang Umum Wewenang yang bersifat umum, yaitu pemegang hak atas tanah yang mempunayai wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga tubuh bumi, air dan ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang lagsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) dan peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi b.
Wewenang Khusus Wewenang yang bersifat khusus yaitu pemegang hak atas tanah memiliki wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas tanahnya, misalnya wewenang pada tanah hak milik adalah dapat untuk kepentingan pertanian dan/atau mendirikan bangunan atas tanah yang bukan miliknya, wewenang pada tanah hak guna usaha adalah menggunakan haknya untuk kepentingan usaha dibidang pertanian, peternakan, dan perkebunan.
Badan hukum yang boleh memiliki hak atas tanah yang berstatus Hak Milik adalah Badan-Badan Hukum perbankan, kenegaraan, perkumpulan koperasi, badan hukum sosial dan keagamaan. Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang hanya dapat mempunyai tanah dengan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai. Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur terjadinya Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah hak milik adalah: a.
Pasal 37 huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) yang berbunyi mengenai tanah milik karena perjanjian yang berbentuk otentik antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh hak guna bangunan itu, bermaksud menimbulkan hak tersebut.
b.
Pasal 41 ayat 1 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 1960 (UUPA) yang berbunyi Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa meyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang ini.
34 Soedikno Mertukusumo, Hukum dan Politik Agraria, (Jakarta: Karunika- Universitas
Terbuka, 1988), hal 445 c.
Pasal 24 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 yang berbunyi Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak Milik terjadi dengan pemberian oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.
d.
Pasal 44 ayat 1 Peraturan Pemerntah Nomor 40 Tahun 1996 yang berbunyi Hak Pakai atas tanah Hak Milik terjadi dengan pemberian tanah oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
e.
Pasal 44 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang berbunyi pembebasan hak tangungan pada hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, pembebanan hak guna bangunan, hak pakai dan hak sewa untuk banguanan atas hak milik, dan pembebasan lain pada hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang ditentukan dengan peraturan perundang-undangan, dapat didaftar jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menggabungkan teori dengan observasi, antara abstrak dengan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi oprasional.
Menurut Burhan Ashshofa, suatu konsep merupakan abstraksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari jumlah karakteristik kejadian,
keadaan, kelompok atau individual tertentu.
Dalam bahasa Latin, kata conceptus (di dalam bahasa Belanda: begrip atau pengertian merupakan hal yang dimengerti. Pengertian bukanlah merupakan defenisi yang di dalam bahasa latin adalah idefinition. Difenisi tersebut berarti rumusan (di dalam bahasa Belanda: onshrijving) yang pada hakikatnya merupakan suatu bentuk ungkapan pengertian di samping aneka bentuk lain yang dikenal di dalam
35 36 Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1998), hal 31.
Burhan Ashhofa, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hal 19
epistemologi atau teori ilmu pengetahuan. Dalam konsepsi diungkapkan beberapa
konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.
Disini terlihat dengan jelas, bahwa suatu konsepsi pada hakikatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis (tinjauan pustaka) yang sering kali masih bersifat abstrak. Namun demikian, suatu kerangka konsepsi belaka kadang-kadang dirasakan masih juga abstrak, sehingga diperlukan definisi-definisi operasional yang akan menjadi pegangan kongkrit di dalam proses
penelitian.
Untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian tesis ini perlu didefinisikan beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi agar secara operasional dapat dibatasi ruang lingkup variabel dan dapat diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditentukan. Konsep itu adalah sebagai berikut:
a. Tinjauan Yuridis yaitu upaya untuk memberikan analisis tentang suatu objek atau perkara dari segi pandangan hukum meliputi isi berupa pengaturan, prosedur,
bentuk, dan sifat- sifat dari objek yang dikaji.
b. Kepastian Hukum yaitu: sesuatu yang bersifat tetap yang dijamin melalui Undang- Undang atau ketetapan lainnya oleh negara yang dapat melindungi segala sesuatu yang dimiliki oleh seseorang. 37 Konsep berbeda dengan teori, di mana teori biasanya terdiri dari pernyataan yang
menjelaskan hubungan kausal antara dua variabel atau lebih. Noeg Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi III, (Yogyakarta: Roke Sarasni, 1996), hal 22-23 38 39 Soejorno Seokanto, Pengantar Penelitian Hukum,Op. Cit, hal 21 40 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Op. Cit. hal. 30
BN. Marbun, Kamus HIC Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), hal 327
c. Hak milik yaitu hak yang dimiliki seseorang untuk menggunakan benda atas kuasa dirinya yang diakui dan atau atas seizin negara melalui pihak yang berwenang atau hak turun temurun, terkuat dan terpenuhi yang dapat dipunyai orang atas tanah, dan dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain.
d. Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan yaitu badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
e. Menurut Maria SW Sumardjono, Sertifikat hak atas tanah adalah akhir dari proses pendaftaran tanah yang berisi data fisik (keterangan tentang letak, batas, luas bidang tanah serta bagian bangunan atau bangunan yang ada diatasnya bila dianggap perlu) dan data yuridis (keterangan tentang status tanah dan bangunan yang didaftar, pemegang hak atas tanah dan hak-hak pihak lain, serta beban-beban
lain yang ada diatasnya.)
f. Bank berdasarkan Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (UU Perbankan) yaitu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk lain dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak atau menurut Pasal 1 ayat 3, Bank adalah badan usaha yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional 41 A. P. Parlindungan, Komentar Undang-Undang Pokok Agraria, (Bandung: Mandar Maju,
1993), hal 15 berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memeberikan jasa dalam lalu
lintas pembayaran.
g. Perusahaan Perseroan (Persero) adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berbentuk Perseroan Terbatas, yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % saham dimiliki oleh Negara Republik Indonesia, yang
tujuan utamanya mengejar keuangan.
h. Perusahaan Daerah adalah: semua perusahaan yang didirikan berdasarkan Undang- Undang yang modalnya untuk seluruhnya atau sebagian besar merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan, kecuali jika ditentukan lain dengan atau
berdasarkan Undang-Undang.
G. Metode Penelitian
Secara etimologis metode diartikan sebagai jalan atau cara melakukan atau mengerjakan sesuatu, metode berasal dari bahasa Yunani "Methodos" yang artinya "Jalan Menuju", bagi kepentingan ilmu pengetahuan, metode merupakan titik awal
menuju proposisi-proposisi akhir dalam bidang pengetahuan tertentu. Maka penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya, disamping itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk 42 Tri Widiyono, Direksi Perseroan Terbatas (keberadaan, tugas, wewenang, tanggung
jawab), (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), hal 127 43 44 Ibid , hal 154 45 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1962 Tentang Perusahaan Daerah, Pasal 2 Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2008), hal 13.
kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang
timbul dalam gejala yang bersangkutan maka dalam metode penelitian merupakan cara dan prosedur yang sistematis dan terorganisir untuk menyelidiki suatu masalah tertentu dengan maksud mendapatkan informasi untuk digunakan sebagai solusi atas masalah, oleh karena itu metode merupakan keseluruhan langkah ilmiah yang
digunakan untuk menemukan solusi atas suatu masalah.
Pemilihan suatu metodologi yang baik untuk suatu penelitian tergantung kepada sasaran penelitian, bahan yang tersedia, kondisi yang meliputi kegiatan penelitian, dan terutama jenis informasi yang diperlukan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Sifat Penelitian
itu
penelitian yang menggambarkan dan mengkaji penerapan hukum serta pelaksanaannya di masyarakat sedangkan analisis dalam penelitian ini menjelaskan mengenai kedudukan Sertifikat Hak Milik Atas Tanah Bank Pemerintah setelah menjadi PT (Persero) yaitu penelitian terhadap asas-asas hukum, kaedah hukum, dan sistem hukum.
2. Metode Pendekatan 46 47 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2007), hal. 43. 48 Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: PT. Refika Aditamam, 2009), hal 12.
Deskripsi analitis artinya penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan secara cermat karakteristik dari fakta-fakta (individu, kelompok atau keadaan), dan untuk menentukan frekwensi sesuatu yang terjadi. Lihat Rianto Adi, Metode Penelitan Sosial dan Hukum, Jakarta, Granit, 2000, hal.
58. Dengan penelitian yang bersifat deskriptif dimaksudkan untuk melukiskan keadaan objek atau peristiwa (Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Offset, 1989, hal. 3)
Penelitian ini mempergunakan pendekatan yuridis normatif, dimulai analisis terhadap Peraturan yang mengatur hal-hal yang menjadi permasalahan diatas, dengan mengingat permasalahan yang diteliti berdasarkan pada peraturan-peraturan perundang-undangan yaitu hubungan peraturan satu dengan peraturan lain serta kaitannya dengan penerapannya dalam praktek.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan salah satu tahapan dalam proses penelitian yang sifatnya mutlak untuk dilakukan karena data merupakan sumber yang akan diteliti. Pengumpulan data difokuskan pada pokok permasalahan yang ada, sehingga dalam penelitian tidak terjadi penyimpangan dan kekaburan dalam pembahasannya.
Pengumpulan data dalam penelitian ini mempergunakan data sekunder yang diperoleh dengan cara sebagai berikut: a.
Studi Kepustakaan (library research) Studi kepustakaan merupakan suatu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan membaca bahan-bahan hukum yang ada relevansinya dengan topik pembahasan atau masalah yang akan diteliti, baik bahan primer maupun bahan sekunder.
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen publikasi, artinya
data sudah dalam bentuk jadi, atau data kepustakaan yang dikenal dengan bahan hukum dalam yang terdiri dari 3 (tiga) kelompok, yaitu: 49 I Made Wirartha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Skripsi dan Tesis, (Yogyakarta: Andi, 2006), hal. 34.
1) Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang- undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-
undangan dan putusan-putusan hakim. Dalam hal ini yang berkaitan dengan pertanahan, pembebanan, dan perseroan, meliputi : a)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
b) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
c) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
d) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN).