BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Hukum Terhadap Bank Atas Konflik Alas Hak dari Hak Tanggungan (Study Kasus PN Medan Register No.113/Pdt.G/2006/PN/Medan Tanggal 01-03-2007)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah dalam arti hukum memiliki peranan yang sangat penting dalam

  kehidupan manusia, karena dapat menentukan keberadaan dan kelangsungan hubungan dan perbuatan hukum, baik dari segi individu maupun dampak bagi orang lain. Untuk mencegah masalah tanah tidak sampai menimbulkan konflik kepentingan dalam masyarakat, diperlukan pengaturan, penguasaan dan penggunaan tanah atau

  1 dengan kata lain disebut dengan hukum tanah.

  Persoalan tanah dalam era pembangunan dan industrialisasi semakin rumit dan potensial menimbulkan gejolak. Pendekatan pemecahan tidak semata-mata bersifat teknis yuridis, tetapi juga menyangkut pertimbangan sosial ekonomi. Munculnya persoalan pertanahan akhir-akhir ini sudah cukup memberikan bukti bahwa persoalan pertanahan telah menjadi persoalan laten. Tanah tidak hanya bernilai ekonomis, akan tetapi juga dipandang memiliki nilai historis religius yang kuat. Sehingga tidak jarang sampai mati pun tanah akan tetap dipertahankan. Begitu kuatnya hubungan tanah dengan manusia menjadikan ciri khusus bagi persoalan pertanahan yang berkembang di Indonesia.

  UUPA dalam kaitannya dengan pembentukan hukum nasional, khususnya hukum tanah nasional merupakan implementasi dari amanat Undang-Undang Dasar 1 K. Wantijk Saleh, Hak Anda Atas Tanah, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 7.

  1

  1945 Pasal 33 ayat (3) yaitu: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” hal ini dapat ditemukan dalam sifat, isi, tujuan maupun semangat yang terkandung di dalam UUPA yang sekaligus merupakan bentuk pengejawantahan aspirasi bangsa Indonesia dalam upaya melakukan pembaharuan Hukum Tanah Nasional. Hal tersebut dapat dipahami apabila dilihat dari sejarah kelahiran bangsa dan Negara Republik Indonesia, UUPA lahir sebagai bentuk jawaban dari tuntutan atas kebutuhan perangkat hukum yang bersifat nasional yang mampu mengatur serta memberikan jaminan kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dalam rangka menuju cita-cita kemerdekaan yaitu untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Pemberian jaminan kepastian hukum mengenai hakhak atas tanah merupakan salah satu tujuan pokok dibentuknya UUPA, selain dalam usaha pembaruan hukum dan dalam rangka untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan Hukum Tanah Nasional.

  Di dalam pelaksanaan ketentuan tersebut, maka diundangkanlah Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria UUPA (Lembaran Negara 1960-104). Dengan diundangkannya UUPA, berarti sejak saat itu Indonesia telah memiliki Hukum Agraria Nasional yang merupakan warisan kemerdekaan setelah pemerintahan kolonial Belanda.

  Berdasarkan ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dinyatakan bahwa untuk menciptakan kepastian hukum Pertanahan, Pemerintah menyelenggarakan pendaftaran tanah. Terhadap tanah yang telah didaftarkan selanjutnya diberikan tanda bukti hak atas tanah, yang merupakan alat bukti yang kuat mengenai kepemilikan tanah (sertipikat hak atas tanah).

  Alas pemilikan hak atas tanah yang dijadikan dasar penerbitan sertipikat hak atas tanah di kantor pertanahan merupakan alat bukti yang dapat digunakan sebagai alat pembuktian data formil atas kepemilikan atau penguasaan suatu bidang tanah,

  2

  baik secara tertulis ataupun berdasarkan keterangan saksi. Pada sertipikat hak milik yang dimaksud merupakan surat tanda bukti hak atas tanah bagi pemegangnya untuk memiliki, menggunakan, mengambil manfaat lahan tanahnya secara turun-temurun, terkuat dan terpenuh.

  Hubungan hukum antara manusia dengan tanah di Indonesia telah lama mendapat perhatian. Sifat hubungan itu berkembang menurut berkembangnya budaya terutama oleh pengaruh sosial, politik dan ekonomi. Kuatnya sistem penguasaan tanah oleh masyarakat merupakan cermin dari sistem budaya dan perekonomian tradisional yang ada di Indonesia. Masalah tanah merupakan masalah yang senantiasa menarik perhatian dikarenakan tanah adalah sumber kehidupan selain air, apalagi negara-negara yang masih agraris. Oleh karena itu, masalah pertanahan masih merupakan masalah utama yang masih dihadapi oleh negara yang penghidupan ekonominya masih ditunjang dari sektor pertanian. 2 S. Chandra, Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005), hlm. 14.

  Pada umumnya terdapat permasalahan-permasalahan di bidang pertanahan yang diakibatkan belum diperolehnya jaminan dan kepastian hak atas tanah yang dikuasai oleh perorangan atau keluarga dan masyarakat pada umumnya, sebagai akibat tidak mempunyai bukti tertulis. Dalam proses pendaftarannya untuk mendapatkan hak tertulis atau sertipikat sering terjadi masalah yang berupa sengketa, baik dalam hal batas tanah maupun sengketa dalam hal siapakah yang sebenarnya berhak atas tanah tersebut.

  Konflik-konflik dalam bidang pertanahan pada kenyataannya tidak terselesaikan secara baik termasuk oleh penguasa negara yang mempunyai kewenangan tertinggi, padahal seharusnya dapat memberikan perlindungan hukum yang layak untuk mencapai kemakmuran bagi rakyat. Bahkan tidak jarang melahirkan pertumpahan darah/korban jiwa hanya berupaya untuk mempertahankan tanah yang selama ini diklaim sebagai milik atau tumpangan hidup. Tentunya dapat dibayangkan bagaimana akhir dari pertikaian/sengketa tanah yang masing-masing pihak mengklaim sebagai pemilik. Pengusaha atau perusahaan dengan tegas bersikukuh biasanya berdasarkan hak pakai yang diperoleh dari negara. Di sisi lain, berhadapan

  3 dengan masyarakat/anggota masyarakat sebagai penggarap turun-temurun.

  Hakekat kepastian hukum sebenarnya terletak pada kekuatan sertipikat hak atas tanah sebagai bukti pemilikan hak atas tanah termasuk di pengadilan. Namun, kepastian hukum secara yuridis dengan penggunaan stelsel negatif pada hakekatnya merupakan kepastian hukum relatif, dengan pengertian bahwa ketentuan peraturan 3 Harian Analisa, Edisi Rabu, 8 Februari 2012, oleh Daldiri. perundang-undangan hanya menjamin kepastian hukumnya selama tidak ada dibuktikan sebaliknya.

  4 Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 32 Peraturan

  Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang menyebutkan bahwa: (1) Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.

  (2) Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan iktikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkan sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut.

  Kasus-kasus yang menyangkut sengketa dibidang pertanahan dapat dikatakan tidak pernah surut, bahkan mempunyai kecenderungan meningkat dalam kompleksitas maupun kuantitas permasalahannya, seiring dengan dinamika ekonomi, sosial dan politik Indonesia. Sebagai gambaran dewasa ini di Indonesia, dengan semakin memburuknya situasi ekonomi yang sangat terasa dampaknya. 4 S. Chandra, Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Sertifikat Hak Atas Tanah, (Jakarta: Pustaka Bangsa Press, 2006), hlm. 39. Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang/ badan hukum) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

  Mencuatnya kasus-kasus sengketa tanah di Indonesia beberapa waktu terakhir seakan kembali menegaskan kenyataan bahwa selama kemerdekaan Indonesia, negara masih belum bisa memberikan jaminan hak atas tanah kepada rakyatnya, UUPA baru sebatas menandai dimulainya era baru kepemilikan tanah yang awalnya bersifat komunal berkembang menjadi kepemilikan individual.

  Perjanjian atau Verbintenis mengandung pengertian bahwa suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak

  5 lain untuk menunaikan prestasi.

  Kasus kontemporer yang pernah mengemukan dalam pemberitaan di media massa di Indonesia, khususnya di Kota Medan, dalam kasus/sengketa kepemilikan tanah yang terletak di Jalan Jati Pulo Brayan Bengkel Kota Medan. Kasus tersebut bermula dari adanya gugatan perdata di Pengadilan Negeri Klas I-A Medan antara AK dkk sebagai Penggugat dan RL sebagai Tergugat sebagaimana terdaftar dengan Register Nomor 113/Pdt.G/ 2006/PN-Mdn.

5 M. Yahya, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 6.

  Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Medan Register Nomor 113/Pdt.G/2006/PN-Mdn Tanggal 01 Maret 2007, Pengadilan Negeri Medan mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebahagian. Pertimbangannya adalah bahwa tuntutan Penggugat-penggugat sepanjang mengenai pembatalan kesepakatan atau perjanjian dengan Tergugat dan tuntutan pengembalian atas semua surat-surat tanah yang pernah diterima oleh Tergugat dari Penggugat dan tuntutan pengembalian tanah terperkara tersebut dalam keadaan aman dan kosong oleh Tergugat kepada Penggugat-penggugat, telah cukup beralasan dan patut untuk dikabulkan. Sebaliknya bahwa mengenai tuntutan ganti rugi yang diminta Penggugat-penggugat kepada Tergugat, oleh karena tidak secara tegas diperjanjikan antara Penggugat-penggugat

  6 dengan Tergugat, maka tuntutan ganti rugi dimaksud haruslah ditolak.

  Berkenaan dengan Putusan Pengadilan Negeri Medan Register Nomor 113/Pdt.G/2006/PN-Mdn Tanggal 01 Maret 2007 tersebut, maka secara nyata dan fakta hukum bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan telah salah dan keliru di dalam pertimbangan maupun putusannya tersebut dan telah merugikan pihak Bank. Oleh karena, secara yuridis tanah-tanah yang menjadi objek sengketa dalam perkara tersebut adalah telah memiliki surat tanda bukti hak yang sah yang berbentuk sertipikat hak atas tanah dan telah diagunkan ke Bank dengan jaminan hak tanggungan. Di antaranya yaitu:

6 Putusan Pengadilan Negeri Medan Register Nomor 113/Pdt. G/2006/PN-Mdn, Tanggal 01 Maret 2007, hlm. 27.

  1. Sertipikat Hak Milik Nomor 387 atas nama Muljadi tanggal 15 September 1995 yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kotamadya Medan, berdasarkan Akta Jual Beli No.205/2008 tanggal 28-05-2008 yang dibuat oleh Lie Na Rimbawan, SH, selaku PPAT. Kemudian telah diagunkan pada PT.Bank Danamon Indonesia,Tbk Cabang Medan Pemuda dengan Hak Tanggungan Nomor 6081/2008 Peringkat I (Pertama) APHT. PPAT Lie Na Rimbawan, SH No.208/2008 tanggal 28-05-2008 dan Hak Tanggungan Nomor 4273/2009 Peringkat II (Kedua) APHT. PPAT Lie Na Rimbawan, SH No.120/2009 tanggal 22/05/2009;

  2. Sertipikat Hak Milik Nomor 395 atas nama Muljadi tanggal 23 Oktober 1995 yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kotamadya Medan, berdasarkan Akta Jual Beli No.206/2008 tanggal 28-05-2008 yang dibuat oleh Lie Na Rimbawan, SH, selaku PPAT. Kemudian telah diagunkan pada PT.Bank Danamon Indonesia,Tbk Cabang Medan Pemuda dengan Hak Tanggungan Nomor 6081/2008 Peringkat I (Pertama) APHT. PPAT. Lie Na Rimbawan, SH No.208/2008 tanggal 28-05-2008, Hak Tanggungan Nomor 4273/2009 Peringkat

  II (Kedua) APHT. PPAT Lie Na Rimbawan, SH No.120/2009 tanggal 22/05/2009 dan Hak Tanggungan Nomor 12052/2010 Peringkat III (Ketiga) berdasarkan APHT Nomor 379/2010 tanggal 18-10-2010 yang dibuat oleh PPAT Lie Na Rimbawan, SH bersama dengan SHM No.387/Pulo Brayan Bengkel dan SHM No.489/Pulo Brayan Bengkel;

  3. Sertipikat Hak Milik Nomor 489 atas nama Muljadi tanggal 25 Maret 1997 yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kotamadya Medan, berdasarkan Akta Jual Beli No.207/2008 tanggal 28-05-2008 yang dibuat oleh Lie Na Rimbawan, SH, selaku PPAT. Kemudian telah diagunkan pada PT.Bank Danamon Indonesia,Tbk Cabang Medan Pemuda dengan Hak Tanggungan Nomor 6162/2008 Peringkat I (Pertama) APHT. PPAT. Lie Na Rimbawan, SH No.211/2008 tanggal 29-05- 2008, Hak Tanggungan Nomor 4273/2009 Peringkat II (Kedua) APHT. PPAT Lie Na Rimbawan, SH No.120/2009 tanggal 22/05/2009 dan Hak Tanggungan Nomor 12052/2010 Peringkat III (Ketiga) berdasarkan APHT Nomor 379/2010 tanggal 18-10-2010 yang dibuat oleh PPAT Lie Na Rimbawan, SH bersama dengan SHM No.387/Pulo Brayan Bengkel dan SHM No.395/Pulo Brayan Bengkel;

  Sertipikat hak atas tanah merupakan suatu alat bukti hak bagi pemilik tanah yang menerangkan bahwa data mengenai tanah yang tertera didalamnya adalah benar-benar miliknya. Oleh karena itu, dengan sertipikat tanah seorang ditetapkan sebagai pemilik dari tanah yang bersangkutan, selama tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya.

7 Penerbitan sertipikat hak atas tanah bagi pemilik tanah

  mempunyai tujuan. Tujuan yang ingin dicapai adalah demi diperolehnya jaminan kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah (Recht Kadaster), sebagaimana halnya tujuan pendaftaran tanah menurut UUPA yang dituangkan Pasal 19 ayat (1) yaitu: “Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di 7 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok

Agraria, Isi dan Pelaksanaannya , Jilid I Hukum Tanah Nasional, (Jakarta: Djambatan, 2005), hlm. 83. seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

  Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict

  of interest

  ) di bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan dengan perorangan, perorangan dengan badan hukum, badan hukum dengan badan hukum dan lain sebagainya. Artinya bahwa kebutuhan tanah yang terus meningkat berdampak pada terjadinya konflik di bidang pertanahan.

  Konflik tersebut menjadi sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau rasa keprihatinannya kepada pihak-pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian baik secara langsung maupun tidak langsung.

  Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna kepastian hukum yang diamanatkan UUPA, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud antara lain dapat diberikan respons/reaksi/penyelesaian kepada yang berkepentingan (masyarakat dan pemerintah). Adapun kepastian hukum yang diamanatkan UUPA tersebut meliputi:

  1. Kepastian subyek (pemegang haknya);

  2. Kepastian obyek (luas, letak dan batas-batasnya); 3. Kepastian hak (jenis hak atas tanahnya).

  Pada tanggal 23 Januari 2008 telah diajukan pula Gugatan Perlawanan atas nama Sdr.Sofyan Widjaya dkk melalui kuasanya Sdr. DR. Januari Siregar, SH, M.Hum, dkk, Advokat/Penasehat Hukum, sebagaimana terdaftar dengan Register Nomor 22/Pdt.G/2008/PN-Mdn, yang amarnya berbunyi antara lain: Menyatakan gugatan Para Pelawan tidak dapat diterima, dan sekarang dalam tahap upaya hukum banding dengan Akte Banding No.174, tanggal 10 September 2009, akan tetapi sebagaimana diketahui bahwa Perlawanan tersebut pada prinsipnya tidak menunda

  8 pelaksanaan eksekusi tersebut.

  Bertolak dari hal tersebut di atas, maka pada tanggal 30 November 2011 telah

  2

  dilaksanakan eksekusi lahan seluas 70.506.45 M bersama 36 rumah di Jalan Jati Kelurahan Pulo Brayan Bengkel, Kecamatan Medan Timur, Kota Medan oleh Juru sita Pengadilan Negeri Medan. Dimana pelaksanaan eksekusi tersebut menimbulkan perlawanan yang luar biasa dari pihak warga Jalan Jati yang pada akhirnya menimbulkan aksi saling lempar batu antara warga dengan pihak kepolisian, dikarenakan bahwa pelaksanaan eksekusi tersebut tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Menurut salah seorang yang merupakan pemilik dari tanah yang

  2

  dieksekusi seluas 70.506.45 M tersebut mengatakan bahwa tanah yang dieksekusi

  2

  seluas 70.506.45 M dalam perkara No. 113/Pdt.G/2006/PN-Mdn, tanggal 1 Maret 2007 antara AK dkk dengan RL adalah milik orang lain dan BPN Medan tidak pernah

  9

  membatalkan sertipikat yakni 52 Sertipikat Hak Milik. Pada kenyataannya pula, bahwa terhadap 52 Sertipikat Hak Milik tersebut, ternyata terdapat beberapa sertipikat yang telah diagunkan ke Bank dalam hal telah melakukan perikatan/kontrak dengan meminjam kredit di Bank dengan sertipikat hak milik tersebut sebagai jaminannya, yang dalam hal ini sering disebut dengan istilah pembebanan hak atas tanah (hak tanggungan). 8 9 Penetapan No. 20/Eks/2010/113/Pdt. G/2006/PN-Mdn Tanggal 07 September 2010.

  Harian Analisa, Juru Sita PN Akhirnya Eksekusi Jalan Jati Brayan Bengkel, Edisi Kamis, 1 Desember 2011. Berkenaan dengan Sertipikat Hak Milik yang telah dijadikan agunan/jaminan pada bank, maka terhadap hal tersebut telah dilakukan perjanjian antara debitur dengan kreditur, yang mana di dalam perjanjian tersebut dimuat secara jelas dan terperinci berkenaan dengan hal-hal dan ketentuan-ketentuan yang harus dilakukan oleh seorang debitur, di antaranya yaitu:

  1. Menjalankan usahanya secara layak dan efisien;

  2. Memberitahu Bank dengan segera apabila terjadi hal-hal yang mungkin mengganggu jalannya perusahaan debitur atau yang akan merugikan keadaan keuangan perusahaan Debitur;

  3. Melakukan pembukuan mengenai keuangan perusahaan dan membuat catatan- catatan yang mencerminkan keadaan keuangan perusahaan debitur yang sesungguhnya serta hasil pengoperasian perusahaan Debitur yang sesuai dengan prinsip-prinsip pembukuan yang diterima secara umum dan dilaksanakan secara konsisten;

  4. Memberikan kesempatan kepada karyawan-karyawan Bank dan atau kuasanya untuk memeriksa pembukuan serta catatan-catatan lainnya mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan perusahaan Debitur dan mempelajari kontrak- kontrak yang dibuat oleh debitur dengan pihak ketiga;

  5. Mengizinkan Bank untuk menempatkan karyawan-karyawannya dan/atau kuasanya dalam perusahaan debitur guna ikut mengawasi pengelolaan perusahaan tersebut, apabila dianggap perlu oleh Bank;

  6. Menyerahkan kepada Bank:

  a. Laporan keuangan triwulan perusahaan debitur selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari kalender setelah tanggal penutupan pembukuan tersebut; laporan keuangan mana harus ditandatangani oleh pengurus perusahaan Debitur;

  b. Laporan keuangan tahunan perusahaan debitur selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh) hari kalender setelah penutupan tahun buku perusahaan debitur; laporan keuangan tersebut harus dibuat oleh akuntan terdaftar yang disetujui oleh Bank;

  7. Menyimpan sebaik-baiknya surat-surat izin dan persetujuan-persetujuan yang telah diperolehnya dari pihak yang berwenang dan apabila ternyata kemudian diperlukan surat-surat izin dan persetujuan-persetujuan yang baru, Debitur wajib segera mengurusnya;

  8. Membayar pajak-pajak, bea materai, biaya-biaya dan semua tagihan-tagihan yang

  10 wajib dibayar oleh Debitur sehubungan dengan usahanya.

  Selain itu, terdapat pula hal-hal dan ketentuan-ketentuan yang tidak boleh dilakukan oleh Debitur, kecuali dengan persetujuan secara tertulis terlebih dahulu dari Bank, di antaranya yaitu:

  1. Membuat perjanjian kredit atau memperoleh kredit dari pihak ketiga;

  2. Menjaminkan/menjual/memindahtangankan harta kekayaan Debitur kepada pihak ketiga; 10 M. Yahya, Op. Cit, hlm. 24.

  3. Menjual saham-sahamnya kepada pihak ketiga atau membeli saham-saham perusahaan lain;

  4. Mengadakan deversifikasi usahanya atau mengubah maksud dan tujuan perusahaannya;

  5. Merger atau konsolidasi dengan perusahaan lain;

  6. Mengubah anggaran dasar perusahaan atau mengubah susunan pengurus (termasuk Komisaris) atau perubahan dalam pendiri/pesero perusahaan Debitur;

  7. Membayarkan dividen atau kewajiban lainnya kepada pendiri pesero perusahaan

11 Debitur.

  Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, yang dimaksud dengan hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Hak Tanggungan lahir dengan sebuah perjanjian. Dalam kenyataan, banyak pihak pemberi hak tanggungan yang ternyata lalai atau sengaja melalaikan kewajiban dalam pelaksanaan perjanjian,

  12

  misalnya melakukan penjualan terhadap barang jaminan. Pinjaman yang diberikan (kredit) yang dimaksud ialah penyediaan uang atau tagihan-tagihan yang dapat 11 12 Ibid., hlm. 26.

  Fia S. Aji, Kedudukan Kreditur dalam Penjaminan dengan Hak Tanggungan, Http://www.pertanahannasional.blogspot.com , diakses tanggal 17 April 2012. disamakan dengan itu berdasarkan persetujuan pinjam-meminjam antara Bank dan lain pihak dalam hal pihak peminjam berkewajiban melunasi hutangnya setelah

  13 jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga yang telah ditetapkan.

  Fungsi dari pemberian jaminan adalah guna memberikan hak dan kekuasaan kepada Bank untuk mendapatkan pelunasan dengan barang-barang jaminan tersebut, bila debitur bercidera janji tidak membayar kembali hutangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Agar Bank dapat melaksanakan hak dan kekuasaan atas barang jaminan termaksud, maka perlu terlebih dahulu dilakukan pengikatan secara yuridis formil atas barang jaminan yang bersangkutan menurut ketentuan hukum

  14 yang berlaku.

  15 Adapun asas-asas hak tanggungan adalah:

  1. Hak tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan bagi kreditur pemegang hak tanggungan;

  2. Hak tanggungan tidak dapat dibagi-bagi, kecuali diperjanjikan lain;

  3. Hak tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada;

  4. Hak tanggungan dapat dibebankan juga atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang baru akan ada dikemudian hari;

  5. Hak tanggungan dapat dijadikan jaminan utang yang baru akan ada;

  6. Hak tanggungan dapat menjamin lebih dari satu utang; 13 Thomas Suyatno, dkk, Kelembagaan Perbankan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 50. 14 15 Ibid.

  Sjahdeni, Asas-asas Hak Tanggungan, Http://www.haktanggungan.blogspot.com , diakses tanggal 28 April 2012.

  7. Hak tanggungan mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek hak tanggungan itu berada;

  8. Hak tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah tertentu;

  9. Hak tanggungan wajib didaftarkan; 10. Hak tanggungan dapat diberikan dengan disertai janji-janji tertentu.

  Pembebanan hak atas tanah (hak tanggungan) merupakan hak jaminan pembayaran hutang tertentu yang dibebankan atas hak atas tanah dari debitur kepada kreditur, menggunakan akta PPAT yang dimohon kreditur kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat melalui prosedur perolehan sertipikat hak tanggungan dengan pemenuhan persyaratan permohonan yang disampaikan oleh pemohon kepada Kepala

  16 Kantor Pertanahan setempat melalui loket penerimaan.

  Salah satu hak yang dapat dinilai dengan uang dan mempunyai nilai ekonomis serta dapat diperalihkan adalah hak atas tanah. Untuk menjamin pelunasan dari debitur, maka hak atas tanah itulah yang digunakan sebagai jaminannya. Ketentuan umum dari pemberian jaminan, bahwa syarat suatu benda dapat dijadikan jaminan hak atas tanah, bahwa benda tersebut harus memenuhi syarat-syarat antara lain: bahwa benda jaminan tersebut dapat dinilai dengan uang karena hutang yang dijamin berupa uang, termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum karena harus memenuhi syarat publisitas, mempunyai sifat dapat dipindahtangankan, karena apabila debitur cidera janji maka benda yang dijadikan jaminan akan dijual di muka umum, serta 16 S. Chandra, Op. Cit, hlm. 97. memerlukan penunjukan dalam undang-undang. Sebagai jaminan kredit tanah mempunyai kelebihan antara lain adalah harganya yang tidak pernah turun sehingga menjadi primadona bagi pelaku usaha dan perbankan dalam melakukan transaksi ekonomi.

17 Berkenaan dengan perjanjian kredit yang terjadi antara kreditur dengan

  debitur tersebut, maka pada saat menghadapi kredit bermasalah, Bank sebagai pihak kreditur hanya menggunakan dua pendekatan, yaitu:

  18

  1. Restrukturisasi Biasanya berlaku bagi debitur yang usahanya masih memiliki prospek dan pemilik serta manajemen memiliki komitmen menyelesaikan kewajiban.

  Umumnya, bank menawarkan perubahan struktur kredit, perpanjangan tenor pinjaman, dan pemotongan suku bunga.

  2. Settlement (penyelesaian)

  Ini berlaku bagi debitur yang sulit memenuhi seluruh kewajibannya dan usahanya sudah tidak prospektif lagi. Dalam kebijakan ini, filosofinya adalah meminimalkan kerugian bukan memaksimalkan keuntungan. Sebab, Bank sudah pasti rugi saat memutuskan settlement. Dimana hapus tagih ini bertujuan meminimalisir kerugian yang diderita Bank. Agar hapus tagih tidak menimbulkan moral hazard, maka perlu pengaturan tegas dalam anggaran dasar perusahaan. 17 LBH Makasar, Hak Tanggungan, Http://www.lbh-makassar.htm , diakses tanggal 17 April 2012. 18 Harian Kontan, Perlu Diatur di Anggaran Dasar Bank, Edisi Selasa, 16 Oktober 2012, oleh Madi Darmadi Lazuardi.

  Aturan itu juga mencakup siapa saja yang berhak memutuskan kebijakan tersebut. Umumnya, hapus tagih di Bank swasta berawal dari divisi, kemudian diajukan ke direksi. Selanjutnya direksi mengajukan kebijakan tersebut ke komisaris untuk diambil keputusan akhir. Dengan aturan dan sistem yang jelas, maka hapus tagih tidak akan menimbulkan moral hazard oleh pihak tertentu.

  Sengketa mengenai tanah dapat dicegah, paling tidak dapat diminimalkan apabila diusahakan menghindari penyebabnya, sengketa-sengketa itu adalah peristiwa hukum, sehingga sebab-sebabnya dapat diketahui dan dikenali dengan kembali melihat melalui pandangan-pandangan hukum tanah yang ada. Dari sengketa- sengketa di pengadilan, proses penyelesaian perkaranya memerlukan waktu yang panjang, adakalanya sampai bertahun-tahun. Hal tersebut dikarenakan adanya tingkatan pengadilan yang harus dilalui yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.

B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan uraian di latar belakang, maka ditariklah beberapa rumusan permasalahan. Adapun beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini, yakni sebagai berikut:

  1. Mengapa diberikan perlindungan hukum terhadap Bank atas kredit yang diberikannya dengan jaminan Hak Tanggungan?

  2. Bagaimana tindakan Bank atas adanya konflik alas hak dari Hak Tanggungan terhadap kredit yang telah diberikan?

  3. Bagaimana upaya hukum yang dilakukan oleh Bank dalam mengatasi adanya konflik alas Hak Tanggungan pada debiturnya?

  C. Tujuan Penelitian

  Berangkat dari latar belakang dan rumusan masalah tersebut di atas, maka dapat diketahui yang menjadi tujuan dari penelitian tesis ini. Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Untuk mengetahui alasan-alasan diberikannya perlindungan hukum terhadap Bank atas kredit yang diberikannya dengan jaminan Hak Tanggungan.

  2. Untuk mengetahui tindakan Bank atas adanya konflik alas hak dari Hak Tanggungan terhadap kredit yang telah diberikan.

  3. Untuk mengetahui upaya hukum yang dilakukan oleh Bank dalam mengatasi adanya konflik alas Hak Tanggungan pada debiturnya.

  D. Manfaat Penelitian

  Ditetapkannya beberapa permasalahan, diharapkan akan memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, maka penelitian ini setidaknya diharapkan mampu memberikan ataupun menyumbangkan beberapa manfaat, yakni sebagai berikut:

  1. Secara Teoritis

  a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas wacana pemikiran dan paradigm mengenai masalah sengketa pertanahan, khususnya mengenai perlindungan hukum terhadap Bank atas konflik alas hak dari hak tanggungan.

  b. Penelitian ini juga diharapkan nantinya akan memberikan sumbangan atau konstribusi, khususnya terhadap perlindungan hukum terhadap Bank atas konflik alas hak dari hak tanggungan yang terjadi di masyarakat, serta melengkapi bahan-bahan penelitian dan penanganan-penanganan masalah- masalah sengketa alas hak atas tanah dari hak tanggungan.

  2. Secara Praktis

  a. Lewat penelitian ini diharapkan dapat memperdalam kajian tentang perlindungan hukum terhadap Bank atas konflik alas hak dari hak tanggungan.

  b. Penelitian ini diharapkan pula bisa memberikan masukan yang lebih lagi bagi para pengambil kebijakan khususnya dalam hal ini pemerintah dan juga pihak Bank, agar sengketa alas hak atas tanah dari hak tanggungan tidak lagi merajalela dan mengakar dalam kehidupan masyarakat, baik saat ini maupun di masa-masa yang akan datang.

E. Keaslian Penelitian

  Berdasarkan informasi dan juga penelusuran penulis di perpustakaan Universitas Sumatera Utara terhadap penelitian dengan judul “Perlindungan Hukum terhadap Bank atas Konflik Alas Hak dari Hak Tanggungan (Study kasus: Putusan PN Medan Register No.113/Pdt.G/2006/PN-Mdn Tanggal 01-03-2007)”, belum pernah ditulis oleh peneliti lain. Sehingga bisa dikatakan kalau penelitian yang dilakukan ini asli dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya baik itu secara ilmiah maupun secara akademis oleh penulis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

  Pada dasarnya merupakan sebuah kewajiban bahwa penelitian selalu disertai pemikiran teoritis, sebab adanya hubungan timbal balik antara teori dengan kegiatan-

  19 kegiatan pengumpulan data, konstruksi data, pengolahan data dan analisis data.

  Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada

  20 fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran.

  Talcott Parsons menempatkan hukum sebagai salah satu sub-sistem dalam sistem sosial yang lebih besar. Di samping hukum, terdapat sub-sub sistem lain yang memiliki logika dan fungsi yang berbeda-beda, yakni budaya, politik dan ekonomi. Menurutnya, perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila. Dimana perlindungan hukum yang dimaksud terdiri atas dua macam, yakni: 19 Ronny Hanitidjo, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hlm. 41. 20 J. J. J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-asas, (Jakarta: FE UI, 1996), hlm.

  203.

  1. Perlindungan hukum preventif, dimana kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif;

  2. Perlindungan hukum represif, dimana lebih ditujukan dalam penyelesian

  21 sengketa.

  Teori yang dijadikan landasan pada penulisan ini adalah teori kepastian hukum, yang menyebutkan bahwa unsur terpenting dalam penerapan hukum adalah unsur penegak hukum itu sendiri. Di dalam perwujudan tujuan hukum ke dalam masyarakat yang memenuhi unsur keadilan dan kepastian hukum, maka masih tergantung minimal pada dua hak lain, yaitu:

  1. Kebutuhan akan hukum yang semakin hari semakin besar yang oleh hukum harus selalu dipenuhi;

  2. Kesadaran hukum manusia dan masyarakat yang semakin hari semakin bertambah tinggi sehingga hal tersebut harus direspons dengan baik oleh hukum itu sendiri.

  Di dalam pemberian jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan memerlukan tersedianya perangkat hukum yang tertulis, lengkap dan jelas yang dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan jiwa dan isi ketentuan-ketentuannya. Dalam penulisan tesis ini juga sangat berhubungan dengan masalah perlindungan hukum, khususnya bagi Bank atas konflik alas hak yang terjadi dari suatu hak tanggungan. Sebagaimana definisi dari hak tanggungan yang telah diuraikan dalam latar belakang penelitian ini, maka yang dapat dijadikan obyek hak tanggungan 21 Satjipto Rahardjo, Teori Hukum, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm. 152. adalah hak-hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan, yakni hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dan dapat juga dibebani hak tanggungan. Dijadikannya hak pakai sebagai obyek hak tanggungan merupakan langkah maju dalam hukum pertanahan kita juga bagi warga negara asing menjadi pemegang hak pakai atas tanah negara yang bila hak tersebut akan dijadikan jaminan disertai persyaratan bahwa modal yang diperoleh harus dipergunakan untuk kegiatan pembangunan di Indonesia.

  Pemegang hak tanggungan dalam hal ini adalah orang perseorangan atau

  22

  badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Berkenaan dengan hal tersebut di atas, maka dapat dilihat beberapa ciri-ciri dari Hak

23 Tanggungan, yaitu:

  1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada pemegangnya atau yang dikenal dengan droit de preference;

  2. Selalu mengikuti objek yang dijamin dalam tangan siapa pun benda itu berada atau disebut dengan droit de suit;

  3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas, sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan;

  4. Mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya. 22 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Jaminan, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm. 52. 23 H. Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 98.

  Hak Tanggungan tidak dapat berdiri sendiri tanpa didukung oleh suatu perjanjian (perjanjian kredit) antara debitur dan kreditur. Dalam perjanjian itu diatur tentang hubungan hukum antara kreditur dan debitur, baik menyangkut besarnya jumlah kredit yang diterima oleh debitur, jangka waktu pengembalian kredit maupun jaminan yang nantinya akan diikat dengan hak tanggungan. Oleh karena Hak Tanggungan tidak dapat dilepaskan dari perjanjian kredit, itulah sebabnya maka Hak Tanggungan dikatakan accessoir (mengikuti) perjanjian pokoknya.

  Perjanjian kredit Bank selalu merupakan perjanjian yang bersifat konsensuil. Bagi perjanjian kredit yang jelas-jelas mencantumkan syarat-syarat tangguh atau klausul conditions precedent, tidak dapat dibantah lagi bahwa perjanjian itu merupakan perjanjian yang konsensuil sifatnya. Adapun yang dimaksud dengan syarat-syarat tangguh atau klausul conditions precedent pada suatu perjanjian kredit ialah fakta atau peristiwa yang harus dipenuhi atau terjadi terlebih dahulu setelah perjanjian ditandatangani oleh para pihak sebelum Bank berkewajiban menyediakan

  24 kredit dan sebaliknya sebelum nasabah debitur berhak menggunakan kreditnya.

  Dengan kata lain, setelah perjanjian kredit ditandatangani oleh Bank dan nasabah debitur, nasabah debitur belum berhak menggunakan atau melakukan penarikan kredit. Atau sebaliknya, setelah ditandatanganinya perjanjian kredit oleh kedua belah pihak, belumlah menimbulkan kewajiban bagi Bank untuk menyediakan

  25 kredit sebagaimana yang diperjanjikan. 24 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para

Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia , (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2009), hlm.

  176. 25 Ibid .

  Kredit yang diberikan oleh kreditur mengandung resiko, maka dalam setiap pemberian kredit, Bank tidak diperkenankan memberikan kredit tanpa ada suatu perjanjian tertulis. Itu sebabnya diperlukan suatu jaminan kredit dengan disertai keyakinan akan kemampuan debitur melunasi utangnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang menyatakan dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.

  Dalam menjalankan suatu perjanjian khususnya dalam perjanjian kredit, para pihak (debitur, kreditur) selalu dibebani dua hal yaitu hak dan kewajiban. Menurut Subekti, bahwa suatu perikatan yang dilahirkan oleh suatu perjanjian, mempunyai dua sudut: sudut kewajiban-kewajiban (obligations) yang dipikul oleh suatu pihak dan sudut hak-hak atau manfaat, yang diperoleh oleh lain pihak, yaitu hak-hak menurut dilaksanakannya sesuatu yang disanggupi dalam perjanjian itu. Jadi, hak tanggungan merupakan jaminan hak atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberi kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur

  26 lainnya.

26 Fia S. Aji, Loc. Cit.

  Maksud dari kreditur diutamakan dari kreditur lainnya yaitu apabila debitur cidera janji, kreditur pemegang hak tanggungan dapat menjual barang agunan melalui pelelangan umum untuk pelunasan utang debitur. Kedudukan diutamakan tersebut tentu tidak mempengaruhi pelunasan utang debitur terhadap kreditur-kreditur lainnya.

  Hukum mengenai perkreditan modern yang dijamin dengan hak tanggungan mengatur perjanjian dan hubungan utang-piutang tertentu antara kreditur dan debitur, yang meliputi hak kreditur untuk menjual secara lelang harta kekayaan tertentu yang ditunjuk secara khusus sebagai jaminan (obyek hak tanggungan) dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut jika debitur cidera janji.

  Proses pembebanan hak tanggungan dilaksanakan melalui dua tahap kegiatan,

  27

  yaitu:

  1. Tahap pemberian hak tanggungan, dengan dibuatnya Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, untuk selanjutnya disebut PPAT, yang didahului dengan perjanjian utang piutang atau yang dijamin;

  2. Tahap pendaftaran oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat lahirnya hak tanggungan yang dibebankan.

  Pada tahap pemberian hak tanggungan oleh pemberi Hak Tanggungan kepada kreditur, Hak Tanggungan yang bersangkutan belum lahir. Hak Tanggungan itu baru lahir pada saat dibukukannya dalam buku tanah di Kantor Pertanahan. Oleh karena itu, kepastian mengenai saat didaftarnya Hak Tanggungan tersebut adalah sangat 27 Badriyah Harun, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010), hlm. 73.

  28

  penting bagi kreditur. Saat tersebut bukan saja menentukan kedudukannya yang diutamakan terhadap kreditur-kreditur yang lain, melainkan juga menentukan peringkatnya dalam hubungannya dengan kreditur-kreditur lain yang juga pemegang hak tanggungan dengan tanah yang sama sebagai jaminannya.

  Kreditur pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak mendahului daripada kreditur-kreditur yang lain (droit de preference) untuk mengambil pelunasan dari penjualan tersebut. Kemudian Hak Tanggungan juga tetap membebani obyek hak tanggungan di tangan siapapun benda itu berada. Ini berarti bahwa kreditur pemegang Hak Tanggungan tetap berhak menjual lelang benda tersebut, biarpun sudah

  29

  dipindahkan haknya kepada pihak lain (droit de suite). Sehingga dengan demikian, hak kebendaan melekat kepada Bank (droit de suite) sebagai kreditur sepanjang hutang belum dilunasi oleh debitur, yakni sebagai jaminan hutang debitur tersebut.

  Dalam hal terjadinya pengalihan barang jaminan kepada pihak lain tanpa seizin pihak kreditur, maka kreditur dapat mengajukan action pauliana, yaitu hak dari kreditur untuk membatalkan seluruh tindakan kreditur yang dianggap merugikan. Dengan demikian, dalam perjanjian tanggungan, pihak kreditur tetap diberikan hak- hak yang dapat menghindarkannya dari praktek-praktek “nakal” debitur atau kelalaian debitur.

  28 29 Ibid .

  Boedi Harsono, Op. Cit, hlm. 86.

2. Konsepsi

  Agar konsep-konsep yang dipergunakan dalam suatu penelitian, terutama konsep-konsep yang terkait langsung dengan variable penelitian tidak ditafsirkan atau tidak diartikan berbeda-beda, maka perlu dirumuskan suatu kerangka konsep atau dengan mempergunakan model definisi operasional.

  30 Hal ini untuk menghindari terjadi perbedaan pemahaman dalam penelitian ini.

  Adapun definisi operasional dan istilah-istilah yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Perlindungan hukum adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman, baik fisik maupun mental, kepada korban dan sanksi dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan atas pemeriksaan di sidang pengadilan.

  31

  b. Bank adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit (agent

  of development

  ) dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran yang diberikan baik kepada perorangan maupun kelompok/perusahaan (agent of trust) serta peredaran uang.

  32

  30 Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Thesis, (Medan: Universitas Sumatera Utara), hlm. 72. 31 Raja Untung, Pengertian Perlindungan Hukum, Http://www.id.shvoong.com , diakses tanggal 18 April 2012. 32 Thomas Suyatno, dkk, Op. Cit, hlm. 1. c. Konflik adalah merupakan kondisi terjadinya ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada dalam diri individu maupun

  

33

dalam hubungannya dengan orang lain.

  d. Alas hak adalah bukti hak dasar seseorang dalam membuktikan hubungan hukum

  34 antara dirinya dengan hak yang melekat atas tanah.

  e. Perjanjian Kredit adalah ikatan antara Bank dengan debitur yang isinya menentukan dan mengatur hak dan kewajiban kedua pihak sehubungan dengan

  35 pemberian atau pinjaman kredit (pinjam uang).

  f. Kreditur adalah orang memberi hutang/kredit atau pihak yang memiliki piutang

  

36

karena perjanjian atau undang-undang.

  g. Debitur adalah pihak yang memiliki hutang kepada pihak lain atau pihak yang

  37 mempunyai hutang karena perjanjian atau undang-undang.

  h. Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang yang memberikan kedudukan istimewa kepada seorang kreditur terhadap kreditur-

  38 kreditur lain.

  i. Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak

  39 tanggungan yang bersangkutan. 33 Killman dan Thomas, Manajemen Konflik, Http://www.jurnal-sdm.blogspot.com, diakses tanggal 18 April 2012. 34 Memahami Arti Penting Riwayat Kepemilikan Tanah, Http://www.kab-mukomuko.bpn .go. id, diakses tanggal 18 April 2012. 35 36 Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan pada Bank, (Bandung: Alfabeta, 2009), hlm. 98. 37 Marwan, M. & Jimmy P, Kamus Hukum, (Surabaya: Reality Publisher, 2009), hlm. 156. 38 Ibid .

  Badriyah Harun, Loc. Cit. j. Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang

  40 berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.

Dokumen yang terkait

Perlindungan Hukum Terhadap Bank Atas Konflik Alas Hak dari Hak Tanggungan (Study Kasus PN Medan Register No.113/Pdt.G/2006/PN/Medan Tanggal 01-03-2007)

1 60 148

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Hak Pekerja Perempuan Di Pt Petrokimia Gresik

0 1 9

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Eksekusi Hak Tanggungan Sebagai Konsekuensi Jaminan Kredit Untuk Perlindungan Hukum Bagi Kepentingan Kreditur Di Medan

0 0 12

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak di Indonesia

0 0 21

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pengalihan Hak Atas Bangunan Under Sea World Indonesia (Study Putusan Bani Nomor 305/Pdt.G/Bani/2014/Pn-Jkt. Utara

0 0 13

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Perdagangan Orang Menurut Konvensi Hak Anak 1989

0 0 8

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Kajian Hukum Terhadap Kedudukan Bank Selaku Pemegang Hak Tanggungan Atas Berakhirnya Sertipikat Hak Guna Bangunan Diatas Hak Pengelolaan (Hpl) Yang Menjadi Objek Jaminan (Studi : Pt Bank Internasional Indonesia, Tbk

0 0 30

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Hukum Para Pihak Akibat Penjualan Hak Tanggungan Di Bawah Tangan (Studi Pada Bank Mandiri Cabang Medan)

0 0 11

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pembatasan Pengalihan Hak Ekonomi Dalam Bentuk Jual-Putus Melalui Perlindungan Hak Cipta Di Indonesia

0 0 19

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BANK SEBAGAI KREDITUR A. Alasan-Alasan Diberikannya Perlindungan Hukum Terhadap Bank Atas Kredit Yang Diberikannya Dengan Jaminan Hak Tanggungan - Perlindungan Hukum Terhadap Bank Atas Konflik Alas Hak dari Hak Tanggunga

0 0 44