BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Hak Atas Tanah Sebagai Jaminan Utang Dalam Perjanjian Kredit Dengan Hak Tanggungan (Studi Kasus Pada PT. Bank Rakyat Indonesia, TBK Cabang Medan)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jaminan atau agunan yang diajukan atau yang diberikan oleh debitur

  kepada Bank berupa tanah-tanah yang masih belum bersertifikat atau belum terdaftar di Kantor Pertanahan. Tanah-tanah yang belum bersertifikat tersebut umumnya adalah tanah-tanah bekas hak milik adat yang belum terdaftar sesuai dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria selanjutnya disingkat (UUPA).

  Tanah yang belum bersertifikat tersebut yang dijadikan sebagai jaminan utang atau kredit oleh Debitur kepada Bank, akan dibebankan dengan Hak Tanggungan. Pembebanan Hak Tanggungan tersebut dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu secara langsung dengan penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) antara Bank dengan pemilik tanah (pemberi Hak Tanggungan) yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah selanjutnya di singkat (PPAT) atau secara tidak langsung yang dilakukan melalui Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) dari pemberi Hak Tanggungan kepada Bank yang dapat dibuat di hadapan PPAT atau dihadapan notaris.

  Selanjutnya apabila proses pendaftaran tanah tersebut telah selesai dan sertifikat atas tanah tersebut telah keluar, Bank baru melaksanakan penandatanganan Akta

  Pemberian Hak Tanggungan dan selanjutnya dilakukan pendaftaran pembebanan Hak Tanggungan atas tanah tersebut.

  Masalah utang piutang adalah adanya kesanggupan dari orang yang berutang untuk mengembalikan utangnya. Hal ini berhubungan dengan jaminan yang diberikan dalam pembayaran utang debitur, terutama bagi pihak yang meminjamkan utang, jaminan mutlak diperlukan dalam utang piutang sehingga ada kepastian bahwa uang yang dipinjamkan akan terbayar. Apalagi jika bank sebagai kreditur, maka jaminan mutlak diperlukan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan untuk selanjutnya disebut UUP, dinyatakan bahwa dalam memberikan kredit, bank umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur

  

  untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Kegiatan pinjam- meminjam dalam lembaga perbankan yang lebih dikenal dengan kredit dalam praktek kehidupan sehari-hari bukanlah merupakan sesuatu yang asing lagi, bahkan kredit ini tidak hanya dikenal oleh masyarakat perkotaan, tetapi juga

  

  sampai pada masyarakat di pedesaan. Kredit umumnya berfungsi untuk memperlancar suatu kegiatan usaha, dan khususnya bagi kegiatan perekonomian di Indonesia sangat berperan penting dalam kedudukannya, baik untuk usaha produksi maupun usaha swasta yang dikembangkan secara mandiri karena bertujuan meningkatkan taraf kehidupan bermasyarakat. Salah satu sarana yang 1 Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan Edisi Revisi dengan UUHT (Semarang:

  Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2001), hal.90 2 M.Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 73 mempunyai peran strategis dalam pengadaan dana adalah lembaga perbankan, yang telah membantu pemenuhan kebutuhan dana bagi kegiatan perekonomian dengan memberikan pinjaman uang antara lain melalui kredit perbankan, yaitu berupa perjanjian kredit antara kreditur sebagai pihak pemberi pinjaman atau fasilitas kredit dengan debitur sebagai pihak yang berhutang. Dalam Pasal 3 dan 4 UUP dinyatakan bahwa fungsi utama perbankan Indonesia yaitu sebagai penghimpun dan penyalur dana dari masyarakat yang bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat.

  Dalam pemberian fasilitas kredit yang tertuang dalam suatu perjanjian kredit oleh bank kepada debitur bukanlah tanpa risiko, karena risiko mungkin saja terjadi khususnya karena debitur tidak wajib membayar utangnya secara lunas atau tunai, melainkan debitur diberi kepercayaan oleh undang-undang dalam perjanjian kredit untuk membayar belakangan secara bertahap atau mencicil. Risiko yang umumnya terjadi adalah kegagalan atau kemacetan dalam pelunasan kredit (risiko kredit), risiko yang timbul karena pergerakan pasar (risiko pasar), risiko karena bank tidak mampu memenuhi kewajibannya yang telah jatuh tempo (risiko likuiditas), serta risiko karena adanya kelemahan aspek yuridis yang di sebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang

   mendukung (risiko hukum).

  Risiko yang merugikan kreditur tersebut perlu diperhatikan secara seksama oleh pihak bank, sehingga dalam proses pemberian kredit diperlukan keyakinan bank atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk membayar 3 Badriyah Harun, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah (Jakarta : Pustaka Yustisia,

  2010), hal. 2 hutangnya serta memperhatikan asas-asas perkreditan bank yang sehat. Untuk memperoleh keyakinan atas kemampuan debitur tersebut, maka sebelum memberikan kredit bank harus melakukan penilaian secara seksama terhadap 7 (tujuh) hal yang dikenal dengan istilah 7 P (Party, Purpose, Payment,

  Salah satu hal yang

  dipersyaratkan bank sebagai kreditur dalam pemberian kredit yaitu adanya

  protection atau perlindungan berupa jaminan yang harus diberikan debitur guna

  menjamin pelunasan utangnya demi keamanan dan kepastian hukum, khususnya apabila setelah jangka waktu yang diperjanjikan, debitur tidak melunasi hutangnya atau melakukan wanprestasi. Sesuai dengan tujuannya, barang jaminan baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak tersebut bukan untuk dimiliki secara pribadi oleh kreditur, karena perjanjian utang-piutang atau perjanjian kredit bukanlah merupakan suatu perjanjian jual beli yang mengakibatkan perpindahan hak milik atas suatu barang, akan tetapi barang jaminan tersebut dipergunakan untuk melunasi utang dengan cara sebagaimana di atur dalam peraturan yang berlaku, yaitu barang di jual secara lelang di mana hasilnya untuk melunasi utang debitur, dan apabila terdapat sisa maka hasilnya

   akan dikembalikan kepada debitur.

  Bahwa penjualan (pencairan) objek atau jaminan kredit dilakukan guna melunasi kredit dari debitur. Penjualan jaminan kredit tersebut merupakan suatu tindakan yang perlu dilakukan bank untuk memperoleh kembali pelunasan dana yang dipinjamkannya karena pihak debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada 4 5 Ibid, hal. 13

  Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis (Jakarta : Djambatan, 1996), hal. 75 bank sesuai dengan perjanjian kredit, serta hasil penjualan jaminan tersebut untuk meminimalkan kerugian yang akan di derita pihak bank nantinya. Agar penjualan jaminan kredit dapat mencapai tujuan yang diinginkan bank, perlu dilakukan upaya-upaya pengamanan antara lain dengan mengikat objek jaminan kredit secara sempurna melalui ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang

   lembaga jaminan.

  Fungsi jaminan kredit dalam dunia perbankan sangat besar. Kewajiban untuk menyerahkan jaminan hutang oleh pihak peminjam dalam rangka pinjaman uang sangat terkait dengan kesepakatan di antara pihak-pihak yang melakukan pinjam-meminjam uang. Pada umumnya pihak pemberi pinjaman mensyaratkan adanya jaminan hutang sebelum memberikan pinjaman uang kepada pihak peminjam. Sementara itu, keharusan penyerahan jaminan hutang tersebut sering pula diatur dan disyaratkan oleh peraturan intern pihak pemberi pinjaman dan atau oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Fungsi jaminan secara yuridis adalah kepastian hukum pelunasan hutang di dalam perjanjian hutang-piutang atau kepastian realisasi suatu prestasi dalam suatu perjanjian, dengan mengadakan perjanjian penjaminan melalui lembaga-lembaga jaminan yang dikenal dalam

   hukum Indonesia.

  Praktik perbankan, umumnya nilai jaminan kredit lebih besar dari jumlah kredit yang disetujui oleh bank, sehingga pihak debitur diharapkan segera melunasi hutangnya kepada bank agar nantinya tidak kehilangan harta (asset) yang diserahkan sebagai jaminan kredit dalam hal kredit tersebut ditetapkan 6 7 M. Bahsan, Op.Cit, hal. 5

   Diakses tanggal

  20 Juli 2013 sebagai kredit macet. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 1131 Kitab Undang Undang Hukum Perdata selanjutnya disebut KUH Perdata, di mana ketentuan dalam Pasal ini sering dicantumkan sebagai salah satu klausul dalam perjanjian kredit perbankan, dinyatakan bahwa : “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”, serta ketentuan dalam Pasal 1132 KUH Perdata dinyatakan : “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua masyarakat yang mengutamakan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”. Bentuk jaminan yang banyak digunakan sebagai agunan dalam perjanjian kredit bank adalah hak atas tanah, baik dengan status hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan maupun hak pakai. Karena pada umumnya memiliki nilai atau harga yang tinggi dan terus meningkat, sehingga dalam hal ini sudah selayaknya apabila debitur sebagai penerima kredit dan kreditur sebagai pemberi fasilitas kredit serta pihak lain terkait memperoleh perlindungan melalui suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan dapat memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan. Atas dasar hak menguasai dari negara sebagaimana yang di maksud dalam Pasal 2 UUPA, ditentukan adanya macam- macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh perseorangan baik warga negara Indonesia atau orang asing yang berkedudukan di Indonesia, sekelompok orang secara bersama-sama,

dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia atau badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia, badan hukum privat atau badan hukum publik. Akan tetapi terhadap hak atas tanah berupa hak milik sesuai dengan Pasal 21 ayat (2) UUPA, badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik harus ditetapkan atau ditunjuk oleh Pemerintah.

  Sebagai lembaga jaminan, Hak Tanggungan menurut ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (selanjutnya di singkat dengan UUHT), adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap

   kreditur-kreditur lain.

  Dalam penjelasan umum UUHT, disebutkan bahwa ciri-ciri dari Hak Tanggungan sebagai lembaga hak jaminan atas tanah yang kuat adalah: 1.

  Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada pemegangnya (droit de preference);

  2. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapapun obyek itu berada (droit de suite);

8 Kansil, Pokok-Pokok Hukum Hak Tanggungan Atas Tanah (Jakarta: Pustaka Sinar

  Harapan, 1997), hal.19-20

  3. Memenuhi asas spesialitas dan a11sas publisitas, sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberi kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan, dan 4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.

  UUHT, hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan (Pasal 4), dan Bangunan Rumah Susun serta Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan

  

  dan Hak Pakai yang diberikan oleh Negara (Pasal 27). Setiap hak atas tanah yang diberikan untuk waktu yang terbatas seperti misalnya Hak Pakai sebagai salah satu hak atas tanah yang oleh undang-undang ditunjuk sebagai obyek Hak Tanggungan, suatu saat pasti akan berakhir jangka waktunya. Di dalam (Pasal 35 UUPA jo Pasal 25) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, dinyatakan bahwa hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang atau dalam perjanjian tanahnya. Hak pakai dapat diberikan oleh pemerintah dengan penetapan dan juga oleh pemilik tanah, baik perseorangan ataupun suatu badan hukum dengan perjanjian autentik.

9 Rachmadi Usman, Pasal-Pasal Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah (Jakarta:

  Djambatan, 1999), hal.79

  Keterbatasan jangka waktu Hak Pakai yang dijadikan obyek jaminan Hak Tanggungan tentunya akan menimbulkan permasalahan hukum tersendiri, karena menurut ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf d UUHT, Hak Tanggungan hapus karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan. Hal ini berarti dengan berakhirnya jangka waktu Hak Pakai yang dijadikan obyek jaminan Hak Tanggungan, maka secara otomatis hapus pula Hak Tanggungan yang melekat atas tanah tersebut.

  Hapusnya Hak Tanggungan yang membebani tanah Hak Pakai tidak membuat hapusnya perjanjian utang piutang antara kreditur dan debitur, meskipun debitur tersebut tidak dapat melunasi hutangnya pada waktu yang telah dijanjikan (Pasal 18 ayat (4) UUHT). Keadaan yang demikian ini tentunya akan merugikan pemegang Hak Tanggungan apabila debitur wanprestasi karena kredit yang diberikan tidak mendapat jaminan perlindungan hukum secara khusus melainkan hanya mendapat perlindungan hukum secara umum dalam hal pembayaran hutangnya. Untuk melakukan tindakan pencegahan, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 11 ayat (2) huruf d UUHT, bank sebagai pemegang Hak Tanggungan di beri kewenangan untuk menyelamatkan obyek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi obyek Hak Tanggungan karena tidak di penuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang.

  Oleh sebab itu penulis tertarik untuk menulis tentang masalah tersebut dalam skripsi ini dengan judul: Hak Atas Tanah Sebagai Jaminan Utang Dalam Perjanjian Kredit Dengan Hak Tanggungan (Studi Kasus pada PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk Cabang Medan)

B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang sebagaimana telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang timbul adalah

  1. Bagaimanakah Pengikatan Jaminan Atas Tanah yang Belum Terdaftar/belum bersertifikat Sebagai Jaminan Pemberian Kredit di PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk Cabang Medan? 2. Bagaimanakah pelaksanaan pembaruan Hak Tanggungan atas Tanah yang masa berlaku haknya berakhir sebelum kreditnya jatuh tempo?

  3. Bagaimanakah Perlindungan Hukum terhadap pemegang Jaminan Hak Atas Tanah ?

C. Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui pengikatan jaminan atas tanah yang Belum

  Terdaftar/bersertiifikat Sebagai Jaminan Pemberian Kredit di PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk Cabang Medan 2. Untuk mengetahui praktik pelaksanaan pembaruan Hak Tanggungan atas Tanah yang masa berlaku haknya berakhir sebelum kreditnya jatuh tempo.

3. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap pemegang Jaminan Hak

  Atas Tanah

D. Manfaat Penelitian

  Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dari dua sisi, yaitu 1. Manfaat teoretis.

  Debitur atau pemilik jaminan, agar ada kepastian kelangsungan dari fasilitas kredit yang disediakan oleh kreditur karena tetap dicover dengan jaminan yang memadai dan memenuhi ketentuan hukum yang berlaku serta adanya kepastian hukum terhadap hak atas tanah.

2. Manfaat praktis.

  a.

  Kreditur, agar dapat memahami kedudukannya terhadap obyek Hak Tanggungan yang berupa Hak Pakai yang jangka waktunya akan berakhir sebelum kreditnya jatuh tempo, dan agar bisa melakukan tindakan-tindakan antisipasif untuk mengamankan kepentingannya b. Kantor Pertanahan, supaya lebih memperhatikan permohonan perpanjangan dan/atau pembaharuan Hak Guna Pakai yang sedang dijadikan agunan kredit pada bank untuk memberi kepastian dan perlindungan hukum bagi pemegang Hak Tanggungan; c.

  PPAT, agar lebih hati-hati dalam pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) atas Hak Pakai atau hak-hak atas tanah lainnya yang diberikan untuk waktu yang terbatas. Dari sisi teoritis, diharapkan hasil penelitian ini nantinya dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi peningkatan dan pengembangan Hukum Jaminan pada umumnya dan khususnya di bidang Hak Tanggungan, serta dapat dipergunakan sebagai bahan kajian untuk menyempurnakan Hak

  Tanggungan agar lebih akomodatif terhadap perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.

  E. Keaslian Penulisan

  Penelitian ini dilakukan atas ide dan pemikiran dari peneliti sendiri atas masukan yang berasal dari berbagai pihak guna membantu penelitian dimaksud.

  Sepanjang yang telah ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum dan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, penelitian tentang Hak Atas Tanah Sebagai Jaminan Utang Dalam Perjanjian Kredit Dengan Hak Tanggungan (Studi Kasus pada PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk Cabang Medan), belum pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya. Dengan demikian, jika dilihat kepada permasalahan yang ada dalam penelitian ini, maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan karya ilmiah yang asli, apabila ternyata dikemudian hari ditemukan judul yang sama, maka dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya.

  F. Metode Penelitian 1.

  Spesifikasi Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian yuridis normatif, yaitu suatu bentuk penelitian yang bertujuan menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktik pelaksanaan hukum positif, yang menyangkut dengan permasalahan yang diselidiki. Dalam penelitian ini tidak hanya dilakukan pengolahan data dan penyusunannya, tetapi yang lebih penting adalah analisis dan interpretasi atas data yang telah didapat tersebut agar diketahui maksudnya. Dalam pelaksanaannya penelitian ini merupakan suatu penelitian lapangan, sehingga dengan penelitian ini diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan mengenai Hak Atas Tanah sebagai Jaminan Utang Dalam Perjanjian Kredit Dengan Hak Tanggungan di PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Cabang Medan yang sedang penulis teliti.

10 Jenis penelitian normatif adalah metode penelitian hukum yang

  dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai pada penelitian ini, maka metode pendekatan yang

   dipakai dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis empiris.

  Pendekatan yuridis digunakan untuk menganalisis berbagai peraturan perundang- undangan yang memuat ketentuan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan Hak Atas Tanah Sebagai Jaminan Utang Dalam Perjanjian Kredit Dengan Hak Tanggungan (Studi Kasus pada PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk Cabang Medan), sedangkan pendekatan empiris dipergunakan bukan semata-mata sebagai suatu seperangkat aturan perundang-undangan yang bersifat normatif, akan tetapi hukum dilihat sebagai perilaku masyarakat, selalu berinteraksi dan berhubungan dengan aspek kemasyarakatan, seperti politik, ekonomi, sosial dan budaya. Berbagai temuan lapangan yang bersifat individual akan dijadikan bahan utama dalam mengungkapkan permasalahan yang diteliti dengan berpegang pada ketentuan yang normatif.

  10 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat) , Rajawali Pers, Jakarta, 2001, hal. 13-14 11 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Universitas Indonesia

  Press, 2005), hal.6

2. Sumber dan Jenis Data

  Data yang diperlukan untuk penulisan skripsi ini terdiri dari data sekunder dan data primer.

  a.

  Data Sekunder Data sekunder adalah data yang didapat dari penelitian kepustakaan dengan cara studi dokumen atau tulisan yang telah dipublikasikan oleh penulisnya, dibedakan menjadi:

  1) Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis, yang terdiri dari: a)

  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dagang;

  b) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Keempat;

  c) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

  Pokok Agraria (UUPA);

  d) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas

  Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT);

  e) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas

  Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;

  f) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha,

  Hak Guna Bangunan, Dan Hak Pakai Atas Tanah;

  g) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

  Tanah;

  h) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan

  Pejabat Pembuat Akta Tanah; i) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional

  Nomor 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Untuk Menjamin Kredit- Kredit Tertentu; j)

  Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah; k)

  Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1998 tentang Perubahan Hak Guna Bangunan Atau Hak Pakai Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal Yang Dibebani Hak Tanggungan Menjadi Hak Milik; l)

  Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Dan Hak Pengelolaan; m)

  Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal; n)

  Peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan Hak Tanggungan sebagai lembaga jaminan atas tanah.

  2) Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, yang terdiri dari:

  a) Buku-buku hasil karya para sarjana; b) Hasil-hasil penelitian;

  c) Berbagai hasil pertemuan ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.

  b.

  Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari narasumber yang dianggap mengetahui segala informasi yang diperlukan dalam penelitian, yang berupa pengalaman praktik dan pendapat subyek penelitian tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan hak atas tanah sebagai jaminan utang dalam perjanjian kredit dengan hak tanggungan (Studi Kasus pada PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk Cabang Medan) c.

  Tersier Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang terdiri dari: a)

  Kamus Hukum;

b) Kamus-kamus lainnya yang menyangkut penelitian ini.

  3. Alat Pengumpulan Data Penelitian ini, teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai berikut: a.

  Wawancara Metode wawancara dianggap sebagai metode yang paling efektif dalam pengumpulan data primer di lapangan, karena interviewer dapat bertatap muka langsung dengan responden untuk menanyakan fakta-fakta yang ada dan pendapat (opinion) maupun persepsi diri responden.

  Wawancara ini, responden yang diwawancarai Purwanto Sembiring, SH, Bagian Kredit Bank Rakyat Indonesia, Tbk Cabang Medan yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Dari hasil wawancara ini diharapkan dapat memberikan gambaran dalam praktik tentang pembebenan hak tanggungan terhadap tanah yang berstatus hak pakai (Studi Kasus pada PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk Cabang Medan) b.

  Studi Kepustakaan Digunakan untuk mendapatkan landasan-landasan teoritis berupa pendapat-pendapat atau tulisan-tulisan para ahli atau pihak-pihak lain yang berwenang dan juga untuk memperoleh informasi baik dalam bentuk-bentuk ketentuan formal maupun data melalui naskah resmi yang ada.

  4. Analisis Data Analisis dimaksudkan sebagai suatu penjelasan dan interpretasi secara logis, sistematis, dan konsisten sesuai dengan teknik yang dipakai dalam pengumpulan data dan sifat data yang diperoleh. Dalam menganalisis data penelitian ini dipergunakan metode analisis kualitatif, terhadap data sekunder yang dikomplementerkan dengan data yang diperoleh dari penelitian lapangan. Setelah semua data yang berkaitan dengan penelitian ini dikumpulkan, kemudian dilakukan abstraksi dan rekonstruksi terhadap data tersebut, selanjutnya disusun secara sistematis sehingga akan diperoleh gambaran yang komprehensif mengenai cara penyelesaian permasalahan yang dibahas. Dari hasil penelitian tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan secara deduktif, yaitu dari hal yang bersifat umum menuju ke hal yang bersifat khusus, yang merupakan jawaban atas

   permasalahan yang ada dalam penelitian ini.

G. Sistematika Penulisan

  BAB I PENDAHULUAN Pada bagian ini akan membahas Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Keaslian Penulisan, Sistematika Penulisan BAB II PERJANJIAN JAMINAN DALAM HUKUM POSITIF Pada bagian ini akan membahas Pengertian Jaminan, Jenis-jenis Jaminan, Hak atas sebagai Jaminan Hukum, Kaitan Jaminan dengan Perjanjian Kredit, Macam-Macam Hak Atas Tanah dan Hak-Hak Atas Tanah Menurut UUPA

  BAB III HAK TANGGUNGAN SEBAGAI JENIS HAK ATAS TANAH Bagian ini membahas mengenai Hak Tanggungan Pengertian Hak Tanggungan, Objek dan Subjek Hak Tanggungan, Proses terjadinya Hak Tanggungan, Berakhirnya Hak Tanggungan, Hak Atas Tanah Sebagai Agunan Kredit, Pembebanan Hak Atas Tanah Sebagai Agunan Kredit, Hak Atas Tanah yang Belum Terdaftar Sebagai Jaminan Kredit

  BAB IV HAK ATAS TANAH SEBAGAI JAMINAN UTANG DALAM 12 PERJANJIAN KREDIT DENGAN HAK TANGGUNGAN

  H.B. Sutopo, Metodologi Penelitian Hukum Kualitatif (Surakarta: UNS Press, 1998), hal.37

  Pada bab ini dibahas Pengikatan Jaminan Atas Tanah yang Belum Terdaftar Sebagai Jaminan Pemberian Kredit di PT Bank Rakyat Indonesia, Tbk Cabang Medan, praktek pelaksanaan pembaruan Hak Tanggungan atas Tanah yang masa berlaku haknya berakhir sebelum kreditnya jatuh tempo dan Perlindungan Hukum terhadap pemegang Hak Atas Tanah

  BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini adalah kesimpulan dari permasalahan dan saran dalam menyelesaikan permasalahan

Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Yuridis Tentang Keabsahan Akta Dalam Perikatan Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Kredit Pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Studi Pada PT. Bank Rakyat Indonesia Cabang Blang Pidie)

1 167 103

Hak Atas Tanah Sebagai Jaminan Utang Dalam Perjanjian Kredit Dengan Hak Tanggungan (Studi Kasus Pada PT. Bank Rakyat Indonesia, TBK Cabang Medan)

6 143 108

Kekuatan Eksekusi Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Pengembalian Utang Pembiayaan Bermasalah Dalam Praktik PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk Cabang Medan

1 107 141

Kebendaan Sebagai Jaminan Hak Tanggungan Pada Perjanjian Kredit Yang Bermasalah Di PT. Bank Sumut Cabang Utama

0 84 88

Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan Dan Upaya Penyelesaian Kredit Macet Atas Jaminan Hak Tanggungan (Studi Pada PT.Bank Negara Indonesia Tbk Cabang Kabanjahe)

1 63 129

Pelaksanaan Pembebanan Hak Tanggungan Atas Tanah Sebagai Jaminan Kredit Pada PT. Bank Dipo Internasional Cabang Medan

0 63 137

Kedudukan Jaminan Hak Atas Tanah Sebagai Objek Hak Tanggungan Dalam Pemberian Kredit

1 33 129

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Eksekusi Hak Tanggungan Sebagai Konsekuensi Jaminan Kredit Untuk Perlindungan Hukum Bagi Kepentingan Kreditur Di Medan

0 0 12

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Hukum Para Pihak Akibat Penjualan Hak Tanggungan Di Bawah Tangan (Studi Pada Bank Mandiri Cabang Medan)

0 0 11

BAB II PERJANJIAN JAMINAN DALAM HUKUM POSITIF G. Pengertian Perjanjian Jaminan - Hak Atas Tanah Sebagai Jaminan Utang Dalam Perjanjian Kredit Dengan Hak Tanggungan (Studi Kasus Pada PT. Bank Rakyat Indonesia, TBK Cabang Medan)

0 0 27