BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pernikahan Dini - Pengaruh Karakteristik Keluarga dan Pola Asuh terhadap Status Gizi Balita pada Ibu Menikah Dini di Wilayah Kerja Puskesmas Keude Geureubak Kecamatan Banda Alam Kabupaten Aceh Timur Tahun 2013

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pernikahan Dini

  Pernikahan adalah hubungan yang sah dari dua orang yang berlainan jenis kelamin. Sahnya hubungan tersebut berdasarkan atas hukum perdata yang berlaku, agama atau peraturan-peraturan lain yang dianggap sah dalam negara bersangkutan (Lembaga Demografi FEUI, 2007). Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Secara umum pernikahan adalah ikatan yang mengikat dua insan lawan jenis yang masih remaja dalam suatu ikatan keluarga (Luthfiyani, 2008). Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang wanita yang umur keduanya masih dibawah batasan minimum yang diatur oleh Undang-Undang (Rohmah, 2009).

  Usia dini merujuk pada usia remaja. WHO memakai batasan umur 10-20 tahun sebagai usia dini. Sedangkan pada Undang-undang Perlindungan Anak (UU PA) bab 1 pasal 1 ayat 1 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan usia dini adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, batasan tersebut menegaskan bahwa anak usia dini adalah bagian dari usia remaja. Dari segi program pelayanan, definisi remaja yang digunakan oleh departemen kesehatan adalah mereka yang berusia 10-19 tahun dan belum menikah. Sementara itu, menurut Badan Koordinasi keluarga Berencana

  (BKKBN) batasan usia remaja adalah 10 sampai 21 tahun. Remaja adalah suatu masa dimana individu dalam proses pertumbuhannya terutama fisiknya yang telah mencapai kematangan. Dengan batasan usia berada pada 11-24 tahun dan belum menikah (Sarwono, 2004).

  Remaja pada umumnya dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu remaja awal (11- 15 tahun), remaja menengah (16-18 tahun), dan remaja akhir (19-20 tahun). Seorang remaja mencapai tugas-tugas perkembangannya dapat dipisahkan menjadi tiga tahap secara berurutan (Marcia, 1991 dalam Sprinthall dan Collins, 2002 : a.

  Masa Remaja Awal Remaja awal adalah remaja dengan usia 11-15 tahun. Pada masa ini remaja mengalami perubahan fisik yang sangat drastis, misal pertambahan berat badan, tinggi badan, panjang organ tubuh dan pertumbuhan fisik yang lainnya. Pada masa remaja awal memiliki karakteristik sebagai berikut lebih dekat dengan teman sebaya, lebih bebas, lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya dan mulai berpikir abstrak.

  b.

  Masa Remaja Menengah Pada masa remaja menengah atau madya, adalah masa remaja dengan usia sekitar 16-18 tahun. Pada masa ini remaja ingin mencapai kemandirian dan otonomi dari orangtua, terlibat dalam perluasan pertemanan dan keintiman dalam sebuah hubungan pertemanan. Pada masa remaja menengah ini memiliki karakteristik sebagai berikut mencari identitas diri, timbulnya keinginan untuk kencan, mempunyai rasa cinta yang mendalam, mengembangkan kemampuan berpikir abstrak, dan berkhayal tentang aktifitas seks.

  Remaja pada usia ini sangat tergantung pada penerimaan dirinya di kelompok yang sangat dibutuhkan untuk identitas dirinya dalam membentuk gambaran diri.

  c.

  Masa Remaja Akhir Masa remaja akhir adalah masa remaja dengan usia 18-20 tahun. Pada fase remaja kelompok akhir ini, fokus pada persiapan diri untuk lepas dari orangtua menjadi kemandirian yang ingin dicapai, membentuk pribadi yang bertanggungjawab, mempersiapkan karir ekonomi, dan membentuk ideology pribadi.

  Karakteristik dalam kelompok ini adalah sebagai berikut pengungkapan identitas diri, lebih selektif dalam mencari teman sebaya, mempunyai citra jasmani dirinya, dapat mewujudkan rasa cinta, dan mampu berpikir abstrak.

  Para remaja juga sering menganggap diri mereka serba mampu, sehingga seringkali mereka terlihat tidak memikirkan akibat dari perbuatan mereka. Remaja diberi kesempatan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka, akan tumbuh menjadi orang dewasa yang lebih berhati-hati, lebih percaya diri dan mampu bertanggungjawab (Lily, 2002).

2.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Pernikahan Dini

  Adapun faktor-faktor yang menjadi penyebab berlangsungnya pernikahan dini antara lain :

1. Pendidikan

  Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

  Pendidikan secara umum dapat didefenisikan adalah suatu usaha pembelajaran yang direncanakan untuk mempengaruhi individu ataupun kelompok sehingga mau melaksanakan tindakan-tindakan untuk menghadapi masalah-masalah dan meningkatkan kesehatannya. Berkaitan dengan defenisi tersebut, maka pendidikan dibedakan atas tiga jenis yaitu pendidikan formal, pendidikan informal, dan pendidikan nonformal.

  Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri at dan Pendidikan formal terdiri dari pendidikan formal berstatus negeri dan pendidikan formal berstatus swasta.

  Semakin muda usia menikah, maka semakin rendah tingkat pendidikan yang dicapai oleh seorang anak. Pernikahan anak seringkali menyebabkan anak tidak lagi bersekolah, karena kini ia mempunyai tanggungjawab baru, yaitu sebagai istri dan sebagai calon ibu, atau kepala keluarga dan calon ayah, yang lebih banyak berperan mengurus rumah tangga dan anak yang akan hadir. Pola lainnya yaitu karena biaya pendidikan yang tak terjangkau, anak berhenti sekolah dan kemudian dinikahkan untuk mengalihkan beban tanggungjawab orangtua menghidupi anak tersebut kepada pasangannya (UNICEF, 2006). Dari berbagai penelitian didapatkan bahwa terdapat korelasi antara tingkat pendidikan yang rendah dan usia saat menikah.

  2. Ekonomi Motif ekonomi, harapan tercapainya keamanan sosial dan finansial setelah menikah menyebabkan banyak orangtua menyetujui pernikahan usia dini (UNICEF,

  2001). Secara umum, pernikahan anak lebih sering dijumpai di kalangan keluarga miskin, meskipun terjadi pula di kalangan keluarga ekonomi atas. Di banyak negara, pernikahan anak seringkali terkait dengan kemiskinan. Sayangnya, pernikahan gadis ini juga menikah dengan dengan pria berstatus ekonomi tak jauh berbeda, sehingga menimbulkan kemiskinan baru.

  3. Sosial Budaya Budaya adalah satu kesatuan yang kompleks, termasuk didalamnya pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum adat, dan kesanggupan serta kebiasaan yang diperolah manusia sebagai anggota masyarakat. Latar belakang budaya mempunyai pengaruh yang penting terhadap aspek kehidupan manusia, yaitu kepercayaan, tanggapan, emosi, bahasa, agama, bentuk keluarga, diet, pakian, bahasa tubuh (Syafrudin dan Mariam, 2010).

  • Di banyak daerah di Indonesia ada semacam anggapan jika anak gadis yang telah dewasa belum berkeluarga dipandang merupakan aib keluarga. Untuk mencegah aib tersebut, para orangtua berupaya secepat mungkin menikahkan anak gadis yang dimilikinya, yang pada akhirnya mendorong terjadinya pernikahan dini.

  Adat Istiadat

  Desa Pantai Utara Pulau Jawa, suatu daerah yang penduduknya biasa menikahkan anak gadisnya di usia muda, biarpun tak lama kemudian bercerai. Di daerah tersebut perempuan yang berumur 17 tahun apabila belum kawin dianggap perawan tua yang tidak laku. Tak jauh beda di Kabupaten Bantul, perempuan usia dibawah 20-an tak menikah maka dianggap perempuan tak laku.

  • Dibanyak daerah masih ditemukan adanya pandangan dan kepercayaan yang salah, misalnya kedewasaan seseorang dinilai dari status pernikahan, adanya anggapan bahwa status janda lebih baik daripada perawan tua, adanya anggapan bahwa kejantanan seseorang dinilai dari seringnya melakukan pernikahan.

  Pandangan dan kepercayaan

2.3. Risiko Pernikahan Dini

  Seorang dokter peneliti dari Universitas Islam Negeri menyatakan ada beberapa hal dampak yang diakibatkan dari pernikahan dini, diantaranya anak yang menikah di usia dini sering mendapatkan kekerasan dari orangtua dan keluarga bila menolak untuk dinikahkan. Hal ini terjadi di desa Tegal Dowo Rembang dan Desa Ngiri, orangtua melakukan kekerasan fisik seperti memukul, menendang sehingga anak keluar dari rumah, semakin meningkatnya perceraian, faktor ekonomi sehingga kemiskinan meningkat karena belum siap secara ekonomi, dan kebebasan anak dari orangtua meningkat karena telah menikah mereka akan keluar dari desanya mencari pekerjaan, beberapa kasus menyebutkan mereka bekerja sebagai penyanyi karauke bahkan ada yang menjadi wanita penghibur.

  Faktor kesehatan yang terjadi, biasanya terjadi pada pasangan wanita saat mengalami kehamilan dan persalinan. Kehamilan mempunyai dampak negatif terhadap kesejahteraan seorang remaja. Sebenarnya ia belum siap mental untuk hamil, namun karena keadaaan ia terpaksa menerima kehamilan dengan risiko.

  Rianti (2004) melakukan penelitian terhadap 127 orangtua yang melakukan pernikahan berusia <20 tahun menyimpulkan bahwa hampir sebagian besar orangtua (84,11 persen) kurang memperhatikan kesehatan dan pendidikan anaknya, 72,43 persen orangtua cenderung mengabaikan keinginan anaknya dan membatasi semua aktivitas anak dengan mengancam serta memarahinya dan 81,66 persen orangtua pesimistis terhadap anaknya.

2.4. Faktor-faktor Karakteristik Keluarga

  Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi anak dari hasil pernikahan dini, antara lain sebagai berikut :

2.4.1. Pendidikan

  Pendidikan yang tinggi memungkinkan seorang ibu dapat mengakses informasi tentang gizi juga akan semakin mudah. Wanita terpelajar lebih mudah tertarik terhadap informasi gizi dan banyak diantara mereka yang memperoleh informasi tersebut dari media cetak, khususnya majalah dan koran. Apriadji (1986) menyatakan bahwa faktor pendidikan mennetukan mudah tidaknya seseorang dalam menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang diperoleh. Dalam kepentingan gizi keluarga, pendidikan amat diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi dalam keluarga dan bisa mengambil tindakan secepatnya.

  Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa ibu dengan tingkat pendidikan dan penghasilan lebih tinggi mendapat paparan media masa lebih tinggi juga (BKKBN, 1986). Di Indonesia, seseorang dengan tingkat pendidikan lebih tinggi lebih mudah mengakses berbagai masalah populer termasuk masalah gizi.

  Tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan keadaan gizi anak. Hal ini disebabkan ibu rumah tangga mempunyai peranan penting dalam menentukan dan mengatur keuangan,. Semakin tinggi pendidikan ibu maka semakin baik status gizi anak (Hasanah, 2012). Namun seseorang dengan pendidikan rendah belum tentu kurang mampu memilih makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibandingkan orang lain yang berpendidikan lebih tinggi, karena sekalipun pendidikannya rendak, jika orang tersebut rajin mendengarkan atau melihat informasi mengenai gizi, bukan mustahil pengetahuan gizinya akan lebih baik.

  Tingkat pendidikan formal kepala rumah tangga juga berpengaruh terhadap pola konsumsi rumah tangga. Sumarwan (2003) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan formal kepala rumah tangga maka kemungkinan akan mempunyai tingkat pendapatan yang relatif tinggi pula sehingga pola konsumsi rumah tangga yang bersangkutan juga akan berubah.

  Widjaya (2000) mengungkapkan bahwa kecenderungan semakin tinggi pendidikan formal yang diterima oleh seseorang, semakin tinggi pula status sosial ekonominya dan semakin otoritatif pola asuhnya. Hal ini disebabkan mereka lebih terbuka terhadap pembaharuan karena lebih seriang mendapatkan informasi dari media cetak maupun media massa.

2.4.2. Pengetahuan

  Pengetahuan atau kognitiff merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Pengetahuan merupakan hasil tahu dan terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu (Notoadmodjo, 2003).

  Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizinya karena dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan dan informasi tentang gizi yang dimiliki menjadi lebih baik. Sering masalah gizi timbul karena ketidaktahuan atau kurang informasi tentang gizi yang memadai (Berg, 1986).

  Perlu dipertimbangkan bahwa faktor tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang diperoleh. Dalam kepentingan gizi keluarga, pendidikan amat diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi di dalam keluarga dan bisa mengambil tindakan secepatnya (Apriadji, 1986). Bagi masyarakat yang berpendidikan dan cukup pengetauan tentang nilai gizi makanan atau pertimbangan fiziologik lebih menonjol dibandingkan dengan kebutuhan psikis. Masyarakat awam yang tidak mempunya cukup pengetahuan gizi, akan memilih makanan yang paling menarik dan tidak mengadakan pilihan berdasarkan zat gizi makanan (Paath, 2005)

  Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu (Notoadmodjo, 2007). Pengetahuan gizi yang baik akan menyebabkan seseorang mampu menyusun menu yang baik untuk dikonsumsi. Pengetahuan yang dimiliki oleh seorang ibu akan mempengaruhi dalam pengambilan keputusan dan juga akan berpengaruh terhadap perilaku ibu. Ibu dengan pengetahuan gizi yang baik kemungkinan memberikan gizi yang cukup bagi bayinya (Proverawati dan Asfuah, 2009). Semakin banyak pengetahuan gizi seseorang maka akan semakin memperhitungkan jenis dan jumlah makanan yang diperolehnya untuk dikonsumsi (Sediaoetama, 2000).

  Pengetahuan gizi meliputi pengetahuan tentang pemilihan dan konsumsi sehari-hari dengan baik dan memberikan semua zat gizi yang dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh. Pemilihan dan konsumsi bahan makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi apabila tubuh memperoleh cukup zat gizi yang dibutuhkan tubuh. Status gizi kurang terjadi apabila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat gizi essential. Sedangkan status gizi lebih terjadi apabila tubuh memperoleh zat gizi dalam jumlah yang berlebihan, sehingga menimbulkan efek yang membahayakan (Almatsier, 2009).

  Suhardjo (2003), menyatakan suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada tiga kenyataan: 1. Status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan, 2. Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal, pemeliharaan dan energi, 3. Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga masyarakat dapat belajar menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi.

  Secara umum, di negara berkembang, ibu memainkan peranan penting dalam memilih dan mempersiapkan pangan untuk dikonsumsi anggota keluarganya.

  Walaupun seringkali para ibu bekerja di luar, mereka tetap mempunyai andil besar dalam kegiatan pemilihan dan penyiapan makanan dan mengidentifikasi pola pengambilan keputusan dalam keluarga (Hardinsyah, 2007).

  Pengetahuan ibu tentang gizi adalah apa yang diketahui ibu tentang pangan sehat, pangan sehat untuk golongan usia tertentu (misalnya anak, ibu hamil dan menyusui) dan cara ibu memilih, mengolah dan menyiapkan pangan dengan benar. Pengetahuan ibu rumahtangga tentang bahan pangan akan mempengaruhi perilaku pemilihan pangan dan ketidaktahuan dapat menyebabkan kesalahan dalam pemilihan dan pengolahan pangan. Pengetahuan tentang gizi dan pangan yang harus dikonsumsi agar tetap sehat, merupakan faktor penentu kesehatan seseorang (Notoatmodjo, 2007).

  Sebuah penelitian yang dilakukan di Indonesia menunjukkan bahwa ibu dengan tingkat pendidikan dan penghasilan lebih tinggi mendapat paparan dari media massa lebih tinggi juga (National Board for Family Planning (BKKBN) and

  

Community System Foundation, 1986). Di Indonesia, seseorang dengan tingkat

  pendapatan lebih tinggi relatif lebih mudah mengakses televise dan mereka yang tinggal di daerah perkotaan lebih mudah mengakses berbagai majalah populer. Oleh karena itu, tingkat pendidikan orang tua, pendapatan rumahtangga dan wilayah tempat tinggal (desa atau kota) diasumsikan mempengaruhi kondisi individu seseorang/rumahtangga untuk terpapar media massa

  Kurangnya pengetahuan di bidang memasak, konsumsi anak, keragaman bahan makanan dan keragaman jenis masakan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi balita. Untuk dapat menyusun menu, seseorang perlu memiliki pengetahuan mengenai bahan makanan dan zat gizi, kebutuhan zat gizi seseorang serta pengetahuan hidangan dan pengolahannya. Umumnya ini dilakukan oleh seorang ibu (Santoso, Anne Lies Ranti, 2004).

2.4.3. Pendapatan

  Pendapatan diindikasikan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap baik dan buruknya serta rendah dan tingginya konsumsi pangan. Konsumsi pangan banyak dipengaruhi oleh pendapatan, pendidikan, kepercayaan, kebiasaan dan keadaan lingkungan Levinson (1974) dalam Suhardjo (1984).

  Faktor yang berperan dam menentukan status kesehatan seseorang adalah tingkat sosial ekonomi, dalam hal ini adalah daya beli keluarga. Kemampuan keluarga untuk membeli bahan makanan antara lain tergantung pada besar kecilnya pendapatan keluarga, harga makanan itu sendiri, serta tingkat pengelolaan sumber daya lahan dan pekarangan. Keluarga dengan pendapatan terbatas kemungkinan besar kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya terutama untuk memenuhi kebutuhan gizi dalam tubuhnya (Fikawati dan Shafiq, 2012).

  Hukum Engle menyatakan bahwa semakin tinggi pendapatan, persentase pengeluaran untuk makanan semakin kecil walaupun secara absolute meningkat.

  Umumnya peningkatan pendapatan diikuti oleh peningkatan konsumsi pangan hewani atau makanan-makanan kaleng (Suhardjo, 1984).

  Keterbatasan penghasilan keluarga turut menentukan mutu makanan yang disajikan. Tidak dapat disangkal bahwa penghasilan keluarga turut menentukan hidangan yang disajikan untuk keluarga sehari-hari, baik kualitas maupun jumlah makanan (Proverawati dan Asfuah, 2009). Rendahnya pendapatan menjadi indikasi rendahnya pangan yang dikonsumsi. Hal ini yang sering menyebabkan terjadinya kasus gizi kurang diakibatkan rendahnya kuantitas dan kualitas pangan yang dikonsumsi.

  Dalam Worsley (2003) disebutkan bahwa pendapatan per kapita secara luas terkait dengan konsumsi makanan individu dan indeks total makanan berbagai kelompok. Umumnya, rumah tangga berpenghasilan rendah memiliki makanan yang kurang bervariasi daripada rumah tangga dengan pendapatannya tinggi.

  Pendapatan yang tinggi akan memungkinkan meningkatnya konsumsi untuk pangan dan semakin beragam serta peningkatan konsumsi pangan yang bernilai gizi (Soekirman, 2000).

2.5. Pola Asuh

  Peranan ibu dalam pola pengasuhan anak berupa sikap dan praktek pengasuhan ibu dalam kedekatannya dengan anak, merawat, cara memberi makan, serta kasih sayang. Pengasuhan anak adalah suatu fungsi penting pada berbagai kelompok sosial dan kelompok budaya. Peranan ibu dalam pola pengasuhan anak juga meliputi pemenuhan kebutuhan dasar anak seperti pemberian makan, mandi, menyediakan dan memakai pakaian buat anak. Termasuk didalamnya adalah monitoring kesehatan anak, menyediakan obat, dan membawanya ke petugas kesehatan profesional ( O’Connel 1992 dan Bahar 2002).

  Sesuai dengan yang diajukan oleh Mosley dan Chen 1988 dalam (Bahar, 2002) pengasuhan anak meliputi aktivitas perawatan terkait gizi atau penyiapan makanan dan menyusui, pencegahan dan pengobatan penyakit, memandikan anak, membersihkan pakaian anak, membersihkan rumah. Pola asuh terhadap anak merupakan hal yang sangat penting karena akan memengaruhi proses tumbuh kembang balita. Pola pengasuhan anak berkaitan erat dengan keadaan ibu terutama kesehatan, pendidikan, pengetahuan, sikap dan praktik tentang pengasuhan anak (Suharsih, 2001). Dalam berbagai penelitian menunjukkan bahwa kepribadian orangtua sangat menentukan pola interaksi ibu dan anak. Pengaruh struktur dan watak ibu yang mengasuh anak balita mempunyai efek yang sangat besar dalam hubungan ibu dan anak.

  Kerangka konseptual yang dikemukan oleh UNICEF dan dikembangkan lebih lanjut oleh Engle et al (1997) menekankan bahwa tiga komponen makanan kesehatan- asuhan merupakan faktor-faktor yang berperan dalam menunjang pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal. Engle et all (1997) mengungkapkan bahwa pola asuh dimanifestasikan dalam 6 hal, yaitu : 1. Perhatian atau dukungan terhadap wanita seperti pemberian waktu istirahat yang tepat atau peningkatan asupan makanan selama hamil, 2. Pemberian ASI dan makanan pendamping anak, 3. Rangsangan psikososial terhadap anak dan dukungan untuk perkembangan mereka, 4. Persiapan dan penyimpanan makanan, 5. Praktek kebersian/hygiene sanitasi lingkungan, dan 6. Perawatan keluarga dalam keadaan sakit meliputi praktek kesehatan di rumah dan pola pencarian pelayanan kesehatan.

  Pengasuhan anak meliputi pula hal-hal seperti cara memandikan, disiplin buang air, disiplin makan, adat istiadat penyapihan, cara menggendong bayi, dan mengajar sopan santun. Pola pengasuhan merupakan cara orang tua mendidik dan membesarkan anak dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah faktor budaya, agama, kebiasaan, dan kepercayaan, serta kepribadian orang tua (orang tua sendiri atau orang yang mengasuh anak). Selain dan faktor tersebut pola pengasuhan sangat dipengaruhi oleh kepribadian orang tua, terutama pengetahuan, sikap dan tindakan. Pada umumnya bila orang tua semasa kecil dididik secara keras dan berdisiplin tinggi, maka ia pun akan mendidik anaknya juga dengan cara demikian.

  Pola pengasuhan yang baik terhadap balita adalah : 1. Diberikan dalam satu rumah, 2. Dengan satu orangtua yang berperan sebagai ibu, 3. Dalam satu keluarga yang utuh terdiri dari ayah dan ibu, 4. Adanya keseimbangan dalam pendidikan anak dalam suasana damai dilandasi kasih sayang dan penerimaan.

  Hasil penelitian yang dilakukan Hafrida (2004) menyatakan bahwa ada kecenderungan dengan semakin baiknya pola pengasuhan anak, maka proporsi gizi baik pada anak juga semakin besar. Tetapi sebaliknya di negara Timur seperti di Indonesia, keluarga besar masih lazim dianut dan peran ibu seringkali dipegang oleh beberapa orang lainnya seperti nenek, keluarga dekat lain dan bukan pembantu.

  Tetapi ternyata anak yang dididik dalam keluarga besar tersebut dapat tumbuh dengan kepribadian yang baik. Jadi yang lebih penting nilainya adalah suasana damai dan kasih sayang dalam keluarga (Nadesul, 1995).

2.5.1. Asuh Makan

  Asuh makan adalah cara makan seseorang atau sekelompok orang dalam memilih makanan dan memakannya sebagai tanggapan terhadap pengaruh fisiologi, psikologi budaya dan sosial (Waryana, 2010). Untuk kebutuhan pangan/gizi, ibu menyiapkan diri sejak prenatal dalam mengatur dietnya selama kehamilan, masa neonatal berupa pemberian ASI, menyiapkan makanan tambahan berupa makanan padat yang lebih bervariasi bahannya atau makanan yang diperkaya, dan dukungan emosional untuk anak. Status sakit, pola aktivitas, asupan gizi rendah, frekuensi konsepsi terkait pertumbuhan anak melalui status gizi ibu (pengasuhan makanan anak terdiri atas hal yang berhubungan dengan menyusui, dan pemberian makanan selain ASI buat anak).

  Pengasuhan makanan anak fase 6 bulan pertama adalah pemenuhan kebutuhan anak oleh ibu dalam bentuk pemberian ASI atau makanan pendamping/pengganti ASI pada anak. Dinyatakan cukup bila diberi ASI semata sejak lahir sampai usia 4-6 bulan dengan frekuensi kapan saja anak minta dan dinyatakan kurang bila tak memenuhi kriteria tersebut. Pengasuhan makanan anak pada fase 6 bulan kedua adalah pemenuhan kebutuhan makanan untuk bayi yang dilakukan ibu, dinyatakan cukup bila anak diberikan ASI plus makanan lumat yang terdiri dari tepung-tepungan dicampur susu, dan atau nasi (berupa bubur atau nasi biasa) bersama ikan, daging atau putih telur lainnya ditambah sayuran (dalam bentuk kombinasi atau tunggal) diberi dalam frekuensi sama atau lebih 3 x per hari, dan kurang bila tidak memenuhi kriteria tersebut (Bahar, 2002). Pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap dan bervariasi, mulai dari bentuk bubur, sari buah, buah segar, makanan lumat, makanan lembek dan akhirnya makanan padat (Agus, 2001).

  Pada prinsipnya pemberian makanan kepada bayi bertujuan untuk mencukupi zat-zat gizi yang dibutuhkan bayi. Menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004), jumlah zat gizi terutama energi dan protein yang harus dikonsumsi bayi usia 6-12 bulan adalah 650 kalori dan 16 gram protein. Kandungan gizi Air Susu Ibu (ASI) adalah 400 Kalori dan 10 gram protein, maka kebutuhan yang diperoleh dari MP-ASI adalah 250 Kalori dan 6 gram protein. Kandungan gizi ASI adalah sekitar 350 kalori dan 8 gram protein, maka kebutuhan yang diperoleh dari MP-ASI adalah sekitar 500 Kalori dan 12 gram protein (Depkes RI, 2006).

  Hasil penelitian Widodo (2005), mengungkapkan bahwa di Indonesia jenis MP-ASI yang umum diberikan kepada bayi sebelum usia 4 bulan adalah pisang 57,3 persen. Disamping itu akibat rendahnya sanitasi dan higiene MP-ASI memungkinkan terjadinya kontaminasi oleh mikroba, sehingga meningkatkan resiko infeksi yang lain pada bayi. Ada perbedaan antara proporsi berat badan bayi yang diberi ASI Eksklusif dan yang diberi MP-ASI dibawah usia 4 bulan, sedangkan berdasarkan panjang badan tidak ada perbedaan.

  Makanan yang baik untuk bayi dan balita harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

  1. Memenuhi kecukupan energi dan semua zat gizi yang sesuai dengan umur 2.

  Susunan hidangan disesuaikan dengan pola menu seimbang, bahan makanan yang tersedia di tempat tinggal, kebiasaan makan dan selera terhadap makanan tersebut.

  3. Bentuk dan porsi makanan disesuaikan dengan daya terima, toleransi dan keadaan faal bayi/anak.

  4. Memperhatikan kebersihan perorangan dan lingkungan Menurut Persatuan Ahli Gizi Indonesia/Persagi (1992) yang dikutip oleh

  Kristiadi, E. (2007), berdasarkan karakteristiknya balita usia 1-5 tahun dapat dibedakan menjadi dua, yaitu anak usia lebih dari 1-3 tahun yang dikenal dengan batita dan anak usia lebih dari 3-5 tahun yang dikenal dengan usia prasekolah. Anak usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif, yaitu anak menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya.

  Penyajian makanan untuk balita diperlukan kreatifitas ibu agar makanan terlihat menarik sehingga dapat menimbulkan selera makan anak balita. Penyajian makanan yang akan diberikan kepada anak balita harus memperhatikan porsi atau takaran konsumsi makan serta frekuensi makan yang dianjurkan dalam sehari.

  Waktu pemberian makan untuk balita sebaiknya disesuaikan dengan waktu pada umunmnya. Pemberian makanan dibagi menjadi tiga waktu makan yaitu pagi hari pada pukul 07.00-08.00, siang hari pada pukul 12.00-13.00, dan malam hari pada pukul 18.00-19.00. Pemberian makanan selingan yaitu antara dua waktu makan yaitu pukul 10.00-11.00 dan pukul 16.00-17.00 seperti tercantum dalam tabel di bawah ini :

Tabel 2.1 Pola Pemberian Makanan Balita Umur Bentuk Makanan Frekuensi

  0 – 6 bulan ASI Eksklusif Sesering mungkin minimal

  8 kali/hari 6 – 9 bulan Makanan lumat/lembek 2 kali sehari, 2 sendok makan setiap kali makan

  9 – 12 bulan Makanan lembek 3 kali sehari ditambah 2 kali makanan selingan 1 – 3 tahun Makanan keluarga

  1 – 1

  ½

  2 – 3 potong sedang lauk hewani piring nasi/pengganti

  1 – 2 potong sedang lauk nabati

  ½

  2-3 potong buah-buahan mangkuk sayur 1 gelas susu 3 kali sehari ditambah 2 kali makanan selingan

Tabel 2.1 (Lanjutan) Umur Bentuk Makanan Frekuensi

  4 – 6 tahun 1 – 3 piring nasi/pengganti 2 – 3 potong lauk hewani 1 – 2 potong lauk nabati 1 – 1 ½ mangkuk sayur 2 – 3 potong buah-buahan 1 – 2 gelas susu

  3 kali sehari ditambah 2 kali makanan selingan

  Sumber : Depkes RI, 2006

  Selain takaran dan frekuensi makanan untuk balita, ada juga anjuran pemberian makanan untuk balita berdasrkan Depkes RI (2006), yaitu :

1. Umur 0-6 bulan, anjuran pemberian makanan yaitu : a.

  Beri ASI setiap kali bayi menginginkan minimal 8 kali sehari yaitu pagi, siang dan malam b.

  Jangan berikan makanan atau minuman selain ASI c. Susu bayi dengan payudara kanan dan kiri secara bergantian 2. Umur 6-12 bulan, anjuran pemberian makanan yaitu : a.

  Teruskan pemberian ASI sampai usia 2 tahun b. Umur 6-9 bulan, kenalkan makanan pendamping ASI dalam bentuk lumat dimulai dari bubur susu sampai nasi tim lumat, 2 kali sehari. Setiap kali makan diberikan sesuai umur:

  • 6 bulan: 6 sendok makan
  • 7 bulan: 7 sendok makan
  • 8 bulan: 8 sendok makan c.

  Beri ASI terlebih dahulu kemudian makanan pendamping ASI d.

  Umur 9-12 bulan, beri makanan pendamping ASI, dimulai dari bubur nasi, sampai nasi tim, 3 kali sehari. Setiap kali makan diberikan sesuai umur :

  • 9 bulan: 9 sendok makan
  • 10 bulan: 10 sendok makan
  • 11 bulan: 11 sendok makan e.

  Pada makanan pendamping ASI, tambahan telur atau ayam atau ikan atau tempe atau tahu atau daging sapi atau wortel atau bayam atau kacang hijau atau santan atau minyak.

  f.

  Bila menggunakan makanan pendamping ASI dari pabrik, baca cara memakainya, batas umur dan tanggal kadaluwarsa g.

  Beri makanan selingan 2 kali sehari diantara waktu makan, seperti: bubur kacang hijau, pisang, biskuit, nagasari, dan sebagainya h.

  Beri buah-buahan atau sari buah seperti air jeruk manis, air tomat saring, dan sebagainya. i.

  Mulai mengajari bayi minum dan makan menggunakan gelas dan sendok

3. Umur 1- 2 tahun, anjuran pemberian makanan yaitu : a.

  Beri ASI setiap kali balita menginginkan b. Beri nasi lembek 3 kali sehari c. Tambahan telur atau ayam atau ikan atau tempe atau tahu atau daging sapi atau wortel atau bayam atau kacang hijau atau santan atau minyak pada nasi lembek d.

  Beri makanan selingan 2 kali sehari diantara waktu makan, seperti: bubur kacang hijau, pisang, biskuit, nagasari, dan sebagainya e.

  Beri buah-buahan atau sari buah.

  f.

  Bantu anak untuk makan sendiri 4. Umur 2-3 tahun, anjuran pemberian makanan yaitu : a.

  Beri makanan yang biasa dimakan oleh keluarga 3 kali sehari yang terdiri dari nasi, lauk pauk, sayur dan buah b.

  Beri makanan selingan 2 kali sehari diantara waktu makan, seperti: bubur kacang hijau, pisang, biskuit, nagasari, dan sebagainya c.

  Jangan berikan makanan yang manis dan lengket diantara waktu makan.

  5. Umur 3-5 tahun anjuran pemberian makanannya sama dengan anjuran pemberian makanan umur 2-3 tahun Memberi makan pada anak harus dengan kesabaran dan ketekunan, sebaiknya menggunakan cara-cara tertentu seperti dengan membujuk anak. Jangan memaksa anak, bila dipaksa akan menimbulkan emosi pada anak sehingga anak menjadi kehilangan nafsu makan (Pudjiadi, 2005).

  Suharjo (1992), menyatakan tujuan pemberian makanan balita adalah 1. Untuk mendapatkan zat gizi yang diperlukan dan digunakan oleh tubuh, 2. Untuk pertumbuhan dan pengaturan faal tubuh, dimana zat gizi berperan dalam memelihara dan memulihkan kesehatan serta untuk melaksanakan kegiatan sehari- hari, dan 3. Untuk mencegah terjadinya berbagai gangguan gizi pada balita.

  2.5.2. Asuh Diri

  Sulistijani (2001) mengatakan bahwa lingkungan yang sehat perlu diupayakan dan dibiasakan tetapi tidak dilakukan dalam sekaligus, harus perlahan-lahan dan terus menerus. Lingkungan sehat terkait dengan keadaan bersih, rapi dan teratur. Oleh karena itu, anak perlu dilatih untuk mengembangkan sifat-sifat sehat seperti berikut :

  1. Mandi 2 kali sehari, 2. Cuci tangan sebelum dan sesudah makan, 3. Makan teratur 3 kali sehari, 4. Menyikat gigi sebelum tidur dan 5. Buang air kecil pada tempatnya/WC.

  Anwar (2000) menyatakan asuh diri meliputi perilaku ibu memelihara kebersihan rumah, hygiene makanan, dan sanitasi lingkungan. Pemberian nutrisi tanpa memperhatikan kebersihan akan meningkatkan risiko balita mengalami infeksi, seperti diare. Hasil penelitian Widodo (2005) mengungkapkan akibat rendahnya sanitasi dan hygiene pada pemberian MP ASI memungkinkan terjadinya kontaminasi oleh mikroba, sehingga meningkatkan risiko atau infeksi lain pada balita. Sumber infeksi lain adalah permainan dan lingkungan yang kotor.

  2.5.3. Asuh Kesehatan

  Status kesehatan merupakan salah satu aspek pola asuh yang dapat mempengaruhi status gizi balita kearah yang lebih baik. Balita merupakan kelompok yang rentan terhadap penyakit. Hal ini berkaitan dengan interaksi terhadap sarana dan prasarana yang ada di lingkungan rumah tangga dan lingkungan sekelilingnya.

  Menurut Budi (2006) menyatakan bahwa jenis sakit yang dialami, frekuensi sakit, lama sakit yang diderita sangat mempengaruhi kesehatan dan status gizi balita.

  Status kesehatan anak dapat ditempuh dengan cara memperhatikan keadaan gizi, kelengkapan imunisasinya, kebersihan diri anak dan lingkungan dimana dia berada serta upaya ibu dalam mencari pengobatan jika anak tersebut sakit (Zeitlin, all 1990).

  Perilaku ibu dalam menghadapi anak balita yang sakit dan pemantauan kesehatan terprogram adalah pola pengasuhan kesehatan yang sangat mempengaruhi status gizi balita. Balita yang mendapatkan imunisasi, lebih rendah mengalami resiko penyakit. Anak balita yang dipantau status gizinya di Posyandu melalui kegitan penimbangan akan lebih mudah mendapatkan informasi akan adanya gangguan status gizi pada balita. Sakit yang lama akan mempengaruhi nafsu makan balita yang berakibat pada rendahnya asupan gizi.

2.6. Status Gizi

  Status gizi adalah gambaran keseimbangan antara asupan gizi dan kebutuhan gizi seseorang. Status gizi baik apabila asupan dan kebutuhan gizi seimbang, tetapi sebaliknya status gizi kurang adalah ketidakseimbangan antara asupan dan kebutuhan gizi (Indonesian Nutrition Network Forum, 2005), menurut Supriasa (2002) status

  

Gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau

perwujudan dari nutrisi dalam bentuk variabel tertentu. Pendapat Adriani (2012),

status gizi adalah keadaan kesehatan berhubungan dengan penggunaan makanan oleh

tubuh.

  Menurut Gibson (1998) dalam Tunif (2008) status gizi adalah tanda-tanda atau tampilan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara pemasukan zat gizi dan pengeluaran oleh tubuh yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup. Status gizi masyarakat yang utama digambarkan pada status gizi balita dan ibu hamil. Oleh karena itu sasaran utama dari program perbaikan gizi makro berdasarkan siklus kehidupan dimulai dari wanita usia subur, ibu hamil, bayi baru lahir, balita dan anak sekolah. Menurut DEPKES (2002), status gizi merupakan tanda-tanda penampilan seseorang akibat keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari pangan yang dikonsumsi pada suatu saat berdasarkan pada kategori dan indikator yang digunakan

  Status gizi ditentukan oleh ketersediaan semua zat gizi dalam jumlah dan kombinasi yang cukup serta waktu yang tepat. Dua hal yang penting adalah terpenuhi semua zat gizi yang dibutuhkan tubuh dan faktor-faktor yang menentukan kebutuhan, penyerapan, dan penggunaan zat gizi tersebut. Keseimbangan asupan dengan kebutuhan dapat terlihat dari variabel-variabel pertumbuhan berat badan, tinggi/panjang badan, lingkar kepala, lingkar lengan, dan panjang tungkai (Supriasa, 2002). Sedangkan menurut Jellieffe (1989) status gizi dapat dijelaskan dengan menilai melalui dua cara yaitu pengukuran secara langsung dan pengukuran secara tidak langsung. Pengukuran secara langsung dapat dilakukan dengan : a) antropometri, b) pemeriksaan biokimia, c) pemeriksaan klinis dan d) pemeriksaan biofisik. Pengukuran secara tidak langsung dilakukan dengan a) survei konsumsi pangan, b) statistik vital dan c) faktor ekologi.

  Depkes (2001), penentuan status gizi balita yang relatif lebih mudah adalah dengan menggunakan indikator berat badan menurut umur (BB/U) dipakai dalam Kartu Menuju Sehat (KMS) untuk memantau pertumbuhan anak secara perorangan. KMS yang digunakan di posyandu pada dasarnya adalah penerapan pengukuran status gizi anak balita.

  Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran masa tubuh masa sekarang ataupun masa lalu. Tinggi badan bertambah seiring dengan bertambahnya umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak sama dengan berat badan, tinggi badan kurang sensitif terhadap masalah kurang gizi dalam jangka waktu yang pendek. Indikator BB/U mencerminkan status gizi saat ini, sedangkan indikator TB/U lebih mencerminkan status gizi masa lalu dan rendahnya nilai z-score berdasarkan TB/U dikatakan sebagai indikator kekurangan gizi kronik (Martianto, Riyadi & Ariefiani, 2011).

  Masalah kesehatan masyarakat tergolong sangat tinggi apabila prevalensi anak balita gizi kurang, pendek dan kurus lebih dari 30,0 persen, 40,0 persen dan 15,0 persen (Martianto, dkk, 2011). Diketahui dari hasi penelitian Aryunita (2002), bahwa prevalensi anak yang pendek diperkotaan hanya 6,6 persen sedangkan dipinggiran kota jauh lebih tinggi, lebih kurang enam kali dibandingkan dengan diperkotaan (40%), dan menunjukkan bahwa faktor ekonomi dan lingkungan lebih berpengaruh terhadap perbedaan pertumbuhan anak dari pada faktor genetik dan etnik.

2.6.1. Faktor-faktor yang Memengaruhi Status Gizi

  UNICEF (1998) mengemukakan bahwa faktor-faktor penyebab kurang gizi dapat dilihat dari penyebab langsung, penyebab tidak langsung, pokok permasalahan, dan akar masalah. Faktor penyebab langsung meliputi makanan tidak seimbang dan penyakit infeksi, sedangkan faktor penyebab tidak langsung meliputi ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam masalah kurang gizi adalah kurangnya pemberdayaan terhadap wanita, rendahnya pendidikan, pengetahuan dan keterampilan. Adapun akar masalah Keadaan kurang gizi terjadi karena krisis ekonomi, politik dan sosial dalam masyarakat, sehingga menyebabkan terjadinya permasalahan kekurangan pangan, kemiskinan dan tingginya angka inflasi dan pengangguran.

  Almatsier (2001) menyatakan status gizi dipengaruhi oleh konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh. Bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi dan digunakan secara efisien akan tercapai status gizi optimal yang memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja, dan kesehatan.

  Selain konsumsi pangan, pengetahuan ibu juga dapat mempengaruhi status gizi balita, kebiasaan yang salah atau kurang tepat dalam pemberian makan.

  Kekeliruan yang sering terjadi dalm bentuk penyajian makanan, frekuensi makan, jumlah serta waktu pemberian makanan. Dalam keadaan ini, pengetahuan ibu sangat berperan penting sehingga balita dapat terpenuhi kebutuhan gizi yang sesuai (Burhanuddin, 2006).

  Faktor yang memengaruhi status gizi telah diperkenalkan UNICEF dan telah digunakan untuk menilai status gizi yang dikutip dalam materi Aksi Pangan dan Gizi Nasional (Depkes RI, 2000) sebagai berikut: 1.

  Makanan anak dan penyakit infeksi yang diderita anak. Penyebab kurang baiknya status gizi tidak hanya disebabkan makanan yang kurang tetapi juga karena penyakit anak. Anak yang mendapatkan makanan yang baik tetapi sering mengalami sakit maka akan dapat mempengaruhi status gizinya, sebaliknya anak yang tidak memperoleh makanan yang cukup dan seimbang daya tahan tubuhnya dapat melemah. Dalam keadaan ini anak akan mudah terserang penyakit dan kurang nafsu makan sehingga anak kekurangan makanan. Akhirnya berat badan anak menurun. Apabila keadaan ini terus berlangsung anak akan menjadi kurus dan timbullah masalah kurang gizi.

  2. Ketahanan pangan keluarga. Pola pengasuhan serta kemampuan keluarga dalam menyediakan pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga sangat memengaruhi status gizi anak. Ketahanan pangan keluarga adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga dalam jumlah yang cukup dan baik mutunya. Tingkat konsumsi pangan ditentukan oleh adanya pangan yang cukup yang dipengaruhi oleh kemampuan keluarga untuk memperoleh bahan makanan yang dibutuhkan. Daya beli keluarga biasanya dipengaruhi oleh faktor harga dan pendapatan keluarga

2.6.2. Penilaian Status Gizi

  Penilaian status gizi adalah upaya untuk menginterpretasikan semua informasi yang diperoleh melalui penilaian dalam antropometri, konsumsi makan, biokimia, dan klinik. Antropometri sebagai indikator dalam penilaian status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter. Menurut Supriasa (2002), parameter antropometri yang bermanfaat dan sering dipakai adalah umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala dan lipatan kulit.

  Menurut Depkes RI, 2005 ada beberapa cara menilai status gizi yaitu dengan pengukuran antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik yang disebut dengan penilain gizi secara langsung. Pengukuran status gizi anak berdasarkan antropometri adalah jenis pengukuran yang paling sederhana, praktis dan mudah karena dapat dilakukan dalam jumlah sampel yang besar. Indeks antropometri yang digunakan adalah Berat Badan berdasarkan Umur (BB/U), Tinggi Badan berdasarkan Umur (TB/U), dan Berat Badan berdasarkan Tinggi Badan (BB/TB) dibandingkan dengan nilai rujukan WHO-NCHS.

  Berikut penilaian status gizi berdasarkan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB standar baku antropometri menurut WHO 2005 :

Tabel 2.2 Penilaian Status gizi berdasarkan indeks antropometri BB/U, TB/U dan BB/TB menurut WHO 2005

  No Indeks yang dipakai Status Gizi Keterangan

  1 BB/U Gizi Buruk Z Score <-3 SD Gizi Kurang Z Score -3 SD sampai dengan <-2 SD Gizi Baik Z score -2 SD samapi Gizi Lebih dengan 2 SD

  Z Score >2 SD

  2 TB/U Tinggi Z score >2 SD Normal Z Score -2 SD sampai dengan 2 SD Pendek Z Score -3 SD sampai dengan <-2 SD Sangat Pendek Z Score < -3 SD

  3 BB/TB Gemuk Z Score > 2,0 SD Normal Z Score -2,0 SD sampai dengan 2,0 SD Kurus Z Score -3,0 SD sampai dengan <-2,0

  SD Sangat Kurus Z Score < -3,0 SD

  

Sumber : SK Menkes 2010 tentang Standard Antropometri Penilaian Status Gizi

Anak

  Umur sangat berperan dalam penentuan status gizi, kesalahan penentuan akan menyebabkan interpretasi gizi yang salah. Hasil penimbangan berat badan maupun tinggi badan yang akurat, menjadi tidak berarti apabila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat. Kesalahan yang sering muncul adalah adanya kecenderungan untuk memilih angka yang mudah seperti satu tahun, dua tahun dan tiga tahun. Oleh sebab itu penentuan umur anak perlu dihitung dengan cermat. Ketentuannya adalah bahwa satu tahun adalah duabelas bulan dan satu bulan adalah 30 hari (Depkes, 2004).

  Soetjiningsih (1995) menyatakan bahwa terdapat fluktuasi yang wajar dalam sehari sebagai akibat dari adanya masukan (intake) makanan dan minuman dengan keluaran (output) melalui urin, fases, keringat dan nafas. Besarnya fluktuasi tergantung pada kelompok umur dan bersifat sangat individual, yang berkisar antara 100-200 gram sampai 500-1000 gram, bahkan lebih. Cara paling baik dalam mengukur berat badan anak adalah dengan menggunakan timbangan gantung (dacin).

  Berat badan merupakan salah satu ukuran yang memberikan gambaran massa tubuh, termasuk cairan tubuh. Berat badan sangat peka terhadap perubahan yang mendadak, baik karena penyakit infeksi maupun konsumsi makanan yang menurun. Berat badan harus selalu dipantau agar dapat memberikan informasi yang memungkinkan intervensi gizi sedini mungkin guna mengatasi kecenderungan perubahan berat badan yang tidak dikehendaki (Adriani, 2012).

  Indikator berat badan menurut umur mencerminkan keadaan gizi sekarang yang terdiri dari gizi lebih, gizi baik, gizi kurang dan gizi buruk. Indikator tinggi badan menurut umur mencerminkan keadaan gizi masa lalu yang terdiri dari normal dan pendek, selain itu tinggi badan menurut umur juga lebih erat kaitannya dengan status sosial ekonomi yang dapat digunakan sebagai indikator tingkat kersejahteraan masyarakat (Diana, 2004). Sedangkan indikator berat badan menurut tinggi badan digunakan untuk menilai keadaan gizi secara lebih khusus karena mencerminkan keadaan gizi masa lalu dan sekarang yang terdiri dari gemuk, normal, kurus dan kurus sekali (Indonesian Nutrition Network Forum, 2005).

  Status gizi anak dapat diklasifikasikan menjadi : 1. Status gizi baik, yaitu keadaan dimana asupan zat gizi sesuai penggunaan untuk aktivitas tubuh. Adanya keseimbangan antara perkembangan dengan berat badan dan umur si anak. Anak-anak dikategorikan berstatus gizi baik dan sehat menurut Departemen Kesehatan RI, dalam Soegeng dan Lies (2003) adalah sebagai berikut : a. Tumbuh dengan normal, b. Tingkat perkembangan sesuai dengan tingkat umurnya, c. Mata bersih dan bersinar, d. Bibir dan lidah tampak segar, e.

  Nafsu makan baik, f. Kulit dan rambut tampak bersih dan tidak kering, g. Mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

  2. Status gizi lebih, yaitu suatu keadaan diakibatkan kelebihan dalam mengonsumsi makanan. Keadaan ini sangat berkaitan dengan kelebihan energi dalam makanan yang dikonsumsi terhadap kebutuhannya. Orang-orang yang kelebihan berat badan diakibatkan karena jaringan lemak yang tidak aktif. Kondisi ini meningkatkan beban kerja terutama kerja jantung (Djaeni, 2000).

  3. Status gizi kurang, yaitu keadaan yang terjadi akibat kekurangan beberapa zat gizi yang diperlukan. Hal ini dikarenakan kurangnya makanan dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Selain itu zat gizi yang dikonsumsi gagal digunakan dan diserap oleh tubuh. Kurang gizi lebih rentan menimpa anak-anak dibawah 5 tahun karena kurangnya kebutuhan zat gizi serta mudah terserang penyakit.

  2.6.3. Pengaruh Karakteristik Keluarga dan Pola Asuh

  Hasil penelitian Suranadi dan Dewi (2009) menunjukkan bahwa peningkatan besar keluarga beruhubungan positif terhadap status gizi balita. Keluarga yang memiliki banyak anak maka perhatian ibu dalam mengasuh anak akan berkurang dan sedikit.

  Hasil penelitian Anindita (2010) didapat sebagai berikut, pendidikan akan mempengaruhi pada tingkat pengetahuan dan sikap yang akhirnya berpengaruh terhadap tindakan dan pola asuh kepada balita. Pola asuh akan berpengaruh terhadap status gizi balita. Oleh karena itu, pendidikan tinggi disertai dengan pengetahuan akan gizi tinggi maka akan berpengaruh positif terhadap pola asuh dan status gizi balita.

Dokumen yang terkait

Pengaruh Karakteristik Keluarga dan Pola Asuh terhadap Status Gizi Balita pada Ibu Menikah Dini di Wilayah Kerja Puskesmas Keude Geureubak Kecamatan Banda Alam Kabupaten Aceh Timur Tahun 2013

1 62 182

Pengaruh Pola Asuh terhadap Status Gizi Anak Balita di Kecamatan Sukamakmur Kabupaten Aceh Besar

3 41 99

Pengaruh Pola Asuh Ibu terhadap Status Gizi Balita Keluarga Miskin di Kecamatan Panyabungan Utara Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2011

3 53 96

Pola Asuh Ibu dan Status Gizi Anak Balita di Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2011

12 68 106

Pengaruh Konseling Gizi Pada Ibu Balita terhadap Pola Asuh dan Status Gizi Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Amplas

3 67 84

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gizi 2.1.1. Definisi Gizi - Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu terhadap Status Gizi Anak Balita di RSUP.H.Adam Malik, Medan Tahun 2013

0 0 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pernikahan Dini 2.1.1 Definisi Pernikahan Dini - Pernikahan Dini pada Remaja Aceh di Kota Lhokseumawe Tahun 2014

0 1 46

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hamil Usia Dini - Analisis Faktor yang Memengaruhi Kehamilan Usia Dini di Kecamatan Karang Baru Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2013

1 2 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Diare - Pengaruh Pola Makan, Status Gizi, Higiene dan Sanitasi Makanan terhadap Kejadian Diare pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Glugur Darat Kecamatan Medan Timur

0 0 45

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pola Asuh Anak - Gambaran Pola Asuh dan Status Gizi Balita Pada Keluarga Perokok di Kecamatan Berastagi Tahun 2014

0 0 23