BAB II - Analisis Faktor–Faktor Yang Mempengaruhi Hasil panen kelompok petani Jagung di Kabupaten Aceh Tenggara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Produksi Pertanian

2.1.1. Transformasi Struktural Pertanian

  Chenery dan Sirquin, dalam teori perubahan struktural, sebagai hasil studi empiris yang dilakukan terhadap beberapa negara pada tahun 1950-1970, mengemukakan bahwa semakin maju suatu negara semakin dominan sumbangan sektor industri (dan sektor jasa) terhadap pendapat nasional dibandingkan dengan sumbangan sektor pertanian (Todaro, 1997). Lebih lanjut Chenery dan Sirquin menyatakan bahwa titik yang membagi negara miskin dan negara maju adalah titik dimana sumbangan sektor industri dan sektor pertanian berimpit. Dengan kata lain, bahwa keberhasilan proses industrialisasi merupakan prasyarat menuju negara maju.

  Proses industrialisasi yang terjadi pada masa orde baru yang dilakukan dengan gencar, cepat dan berhasil melakukan transformasi struktural perekonomian Indonesia, ternyata belum mengait ke belakang (backward linkage) ke sektor pertanian. Dengan kata lain, sektor pertanian tidak mendapatkan perhatian yang cukup seimbang dibandingkan dengan sektor industri. Ini berakibat pada tertinggalnya sektor petanian dari sektor industri. Tidak saja dalam struktur PDB, tetapi juga juga dalam struktur masyarakat, dimana sampai saat ini masyarakat yang hidup di sektor pertanian (petani) tak kunjung sejahtera dibandingkan masyarakat yang hidup di sektor industri.

  Transformasi struktural bukan berarti meninggalkan sektor pertanian menuju sektor industri, tetapi menjadikan pangsa sektor industri terhadap PDB yang lebih besar dari sektor pertanian, yang disebabkan oleh pertumbuhan sektor industri yang lebih tinggi akibat faktor eksternalitas industrialisasi yang lebih besar. Transformasi struktural yang telah dicapai di atas, akan kurang berarti apabila masih menyisakan adanya ketimpangan antarsektor atau ketertinggalannya suatu sektor dalam pembangunan. Karena proses pembangunan adalah proses yang saling mengkait antara satu sektor dengan sektor yang lain. Ketertinggalan suatu sektor dalam pembangunan akan mengakibatkan pertumbuhan pembangunan yang tidak seimbang dan tidak kokoh. Hal ini terbukti ketika terjadi krisis ekonomi yang melanda pada tahun 1998. Sektor industri mengalami keterpurukan yang dahsyat, sementara sektor pertanian – sektor yang tertinggal itu sebagian besar masih mampu bertahan.

  Setidaknya ada beberapa faktor yang bisa diungkapkan bahwa sektor pertanian menjadi penting dalam proses pembangunan, yaitu:

  1. Sektor pertanian menghasilkan produk-produk yang diperlukan sebagai input sektor lain, terutama sektor industri, seperti: industri tekstil, industri makanan dan minuman.

  2. Sebagai negara agraris (kondisi historis) maka sektor pertanian menjadi sektor yang sangat kuat dalam perekonomian dalam tahap awal proses pembangunan. Populasi di sektor pertanian (pedesaan) membentuk suatu proporsi yang sangat besar. Hal ini menjadi pasar yang sangat besar bagi produk-produk dalam negeri baik untuk barang produksi maupun barang konsumsi, terutama produk pangan. Sejalan dengan itu, ketahanan pangan yang terjamin merupakan prasyarat kestabilan sosial dan politik.

  3. Karena terjadi transformasi struktural dari sektor pertanian ke sektor industri maka sektor pertanian menjadi sektor penyedia faktor produksi (terutama tenaga kerja) yang besar bagi sektor non-pertanian (industri).

  4. Sektor pertanian merupakan sumber daya alam yang memiliki keunggulan komparatif dibanding bangsa lain. Proses pembangunan yang ideal mampu menghasilkan produk-produk pertanian yang memiliki keunggulan kompetitif terhadap bangsa lain, baik untuk kepentingan ekspor maupun substitusi impor (Tambunan, 2001).

2.1.2. Pengertian Produksi dan Produsen Pertanian

  Dalam melakukan usaha pertanian, produksi diperoleh melalui suatu proses yang cukup panjang dan penuh resiko. Menurut Kartasapoetra dkk (1986) Panjangnya waktu yang dibutuhkan tidak sama tergantung pada jenis komoditas yang diusahakan karena produk-produk pertanaian memiliki sifat (1) Dalam memproduksi hasil bumi, sifatnya hanya mengatur yaitu agar tanaman dapat tumbuh dengan baik, dengan baiknya pertumbuhan tanaman tersebut maka akan didapat hasil yang baik, (2) Produksinya bersifat inelastis, artinya tidak dapat diperbesar sekehendak hati dalam waktu-waktu yang dikehendaki, mengingat segala sesuatunya tergantung pada iklim dan kondisi tanah, dan (3) Lekas rusak, maka usaha peningkatan produk tergantung dari pasar atau para konsumen, dekatnya pasar, lancarnya pemasaran, banyaknya permintaan dan terciptanya harga yang wajar merupakan pangkal kegairahan dalam peningkatan produksi.

  Selanjutnya Komarudin (1991) menyatakan bahwa proses produksi mencakup satu operasi yang terpisah atau lebih, mungkin bersifat mekanis, kimiawi, perakitan, gerakan, hubungan pribadi atau administrasi. Oleh sebab itu dalam proses nya produsen perlu mempertimbangkan, jumlah dan mutu yang diperlukan, waktu siklus produksi dan penyerahan produknya, serta pemilihan dan penggunaan metode produksi yang paling ekonomis untuk mencapai jumlah, mutu dan waktu yang diperlukan. Berbagai komoditas bisa dilakukan dua kali sampai tiga kali dalam satu tahun. Sedangkan Daniel (2004) menyatakan bahwa produksi merupakan terjemahan dari production, yang merupakan sejumlah hasil dalam satu lokasi dan waktu tertentu.

  Dapat disimpulkan bahwa produksi adalah suatu aktivitas mengubah masukan (input) yang dilakukan oleh individu maupun kelompok tertentu (Produsen) berupa faktor-faktor produksi yang kemudian melalui suatu proses transformasi dalam satuan waktu tertentu dihasilkan keluaran berupa produk yang memiliki nilai manfaat.

2.1.3. Sistem Produksi Pertanian

  Pada dasarnya produksi pertanian merupakan penciptaan atau penambahan manfaat, baik bentuk, tempat, waktu maupun gabungan dari manfaat tersebut.

  Dengan demikian yang dimaksud dengan sistem produksi pertanian merupakan gabungan dari beberapa unit atau elemen yang saling berhubungan dan saling menunjang untuk melaksanakan proses produksi tertentu (Ahyari, 2002). Beberapa elemen yang termasuk kedalam sistem produksi pertanian tersebut adalah komoditi yang akan dihasilkan, lokasi untuk menghasilkannya, letak dari fasilitas yang digunakan, lingkungan tenaga kerja serta standar produksi yang berlaku. Secara umum dapat dikatakan sistem produksi pertanian ini akan memerlukan input, yang kemudian diproses dalam sistem produksi untuk kemudian mendapatkan output. Sistem produksi pertanian terdiri dari beberapa subsistem, demikian pula input untuk sistem produksi akan terdiri dari beberapa macam tergantung kepada sistem produksi yang dipergunakan. Untuk melaksanakan proses produksi pertanian diperlukan adanya beberapa masukan untuk sistem produksi, antara lain adalah bahan baku yang dipergunakan, tenaga kerja langsung yang diperlukan, dana yang tersedia untuk modal kerja serta hal-hal lain yang diperlukan. Dengan adanya masukan sistem produksi pertanian tersebut maka akan dapat dilaksanakan kegiatan produksi dengan mempergunakan sistem produksi yang ada. Bahan baku yang dapat dipergunakan akan menjadi input dari sistem produksi. Jumlah dan jenis dari bahan baku tentunya akan terkait dengan sistem produksi, yaitu kepada komoditi yang akan dihasilkan serta alat yang digunakan untuk menghasilkan komoditi tersebut. Dengan demikian, bahan baku ini akan mempunyai ketergantungan pula terhadap sistem produksi yang dipergunakan.

  Terkait penggunaan tenaga kerja langsung, keterampilan khusus sangat dibutuhkan. Tanpa adanya keterampilan khusus yang dimiliki oleh tenaga kerja seperti operator Hand traktor atau traktor maka pelaksanaan produksi melalui pengolahan tanah yang berupa faktor produksi akan mempunyai hasil yang kurang memuaskan. Untuk melaksanakan kegiatan produksi sangat dibutuhkan dana sebagai modal kerja yang juga merupakan input yang diperlukan oleh sistem produksi. Kekurangan dana untuk pembiayaan tenaga kerja, maupun penyediaan bahan baku serta biaya lainnya yang diperlukan akan mengakibatkan terganggunya pelaksanaan produksi dalam perusahaan tersebut.

2.1.4. Faktor Produksi Tanaman Jagung

  Pengusaha (dalam hal ini petani) akan selalu berpikir bagaimana ia mengalokasikan input yang paling efisien untuk dapat memperoleh produksi (output) yang maksimal. Hubungan fisik antara input dan output disebut fungsi produksi yang bergantung pada sejumlah variabel : iklim dan cuaca, tanah, mutu bibit, alat-alat, pupuk, pestisida, modal dan tenaga kerja. Jumlah input yang tepat dapat ditentukan melalui perencanaan, pelaksanaan serta pengendalian yang akurat. Daniel (2004) menyatakan bahwa masing – masing faktor produksi memiliki fungsi yang berbeda dan saling terkait satu sama lain. Kelana (1994) mendefinisikan fungsi produksi sebagai proses perubahan dari input menjadi output. Suatu fungsi produksi menunjukkan output maksimum yang bisa diproduksi pada setiap kombinasi input dalam jangka waktu tertentu. Fungsi produksi yang eksplisit akan memberikan indikasi secara tepat kuantitas output yang akan di produksi pada tingkat input tertentu. Untuk dapat melakukan produksi yang baik maka penggunaan faktor produksi harus dikelola. Penggunaan lahan sangat tergantung pada keadaan lingkungan lahan berada. Pembagian penggunaan lahan menurut topografinya sangat penting karena mencirikan karektiristik usaha tani didaerah tersebut.

  Topogarfi lahan menggambarkan kategori lahan antara lain : lahan dataran pantai, dataran rendah, dan dataran tinggi yang diusahakan oleh penduduk yang bertempat tinggal dilokasi tersebut. Elevasi atau ketinggian tempat dari muka laut mempunyai peranan dalam usaha tani. Berdasarkan ketinggian, tanah atau lahan dapat dibedakan : 1. Lahan dataran tinggi >= 700 m dari atas permukaan laut. Lahan dataran tinggi terdiri dari lahan kering dataran tinggi dan lahan basah dataran tinggi.

  2. Lahan dataran rendah <= 700 m dari permukaan laut. Lahan dataran rendah terdiri dari lahan kering datan rendah, lahan sawah dataran rendah, lahan sawah tadah hujan, lahan pesisir, lahan rawa, dan lahan pasang surut. Kesuburan lahan pertanian akan menentukan produktivitas tanaman. Lahan yang subur akan menentukan hasil yang lebih tinggi dari pada lahan yang tingkat kesuburannya rendah. Lahan pertanaian berkaitan dengan tekstur tanah yang pada akhirnya menentukan jenis tanah : tanah liat, grumosol, alluvial dan sebagainya. Jenis tanah perlu menjadi perhatian dalam usaha pertanian karena keadaan dan jenis tanah akan memberikan atau mengarahkan petani kepada pilihan komoditas, pilihan pemupukan, pilihan teknologi, serta pilihan metode dalam melakukan pengolahan tanah tersebut. Spesifikasi dari tanah tersebut memang tidak selamanya menjadi baku. Disamping diperlukan kesuburan fisis yang baik, juga diperlukan kesuburan kimiawi yang baik agar tanaman dapat tumbuh dengan baik. Modal merupakan semua harta berupa uang, tabungan, tanah, rumah, mobil dan sebagainya yang dimiliki. Modal tersebut dapat mendatangkan penghasilan bagi si pemilik modal. Modal dapat dibagi dua yaitu : 1. Modal tetap, artinya barang-barang dalam proses produksi yang dapat digunakan dalam beberapa kali.

2. Modal bergerak, artinya barang-barang dalam proses produksi yang hanya bisa dipakai satu kali.

  Dalam usaha pertanian dikenal modal fisik dan modal manusiawi. Modal fisik atau modal material yaitu berupa alat-alat pertanian, bibit, pupuk, ternak, dan lain-lain. Sedangkan modal manusiawi adalah biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan, latihan, kesehatan, dan lain-lain. Modal pertanian selalu diukur dengan uang, karena uang merupakan alat tukar yang sah dan berlaku di mana-mana. Oleh karena itu dalam usaha tani modal dapat diklasifikasikan sebagai bentuk kekayaan berupa uang maupun barang yang digunakan untuk menghasilkan sesuatu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam suatu proses produksi. Setiap usaha pertanian yang akan dilaksanakan pasti membutuhkan tenaga kerja. Biasanya usaha pertanian skala kecil akan menggunakan tenaga kerja dalam keluarga yang tidak membutuhkan keahlian secara khusus. Usaha tani keluarga digerakkan dan dikelola dibawah pimpinan sang ayah. Bila terjadi kekurangan tenaga kerja, mereka biasanya saling tolong menolong antar famili atau antar keluarga yang bertetangga. Dengan semakin meningkatnya kebutuhan manusia dan semakin majunya usaha pertanian, sehingga dibutuhkan tenaga kerja dari luar keluarga yang khusus dibayar sebagi tenaga kerja upahan. Sebaliknya usaha pertanian skala besar, lebih banyak menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga dengan cara menyewa. Tenaga kerja dari luar tersebut memiliki keahlian seperti menggunakan traktor. Dalam analisa tenaga kerja diperlukan standarisasi untuk mengalokasikan sebaran penggunaan tenaga kerja selama proses produksi, sehingga kekurangan tenaga kerja pada saat berlangsungnya kegiatan tersebut dapat dihindarkan. Oleh karena itu, tenaga kerja tidak bisa dipisahkan dengan manusia atau penduduk.

  Melalui uraian diatas serta beberapa kajian yang telah dilakukan, maka fungsi produksi (hasil panen) khususnya pada tanaman jagung, dapat dijelaskan oleh faktor-faktor sebagai berikut : 1. Dahlan et.al, (1996) menjelaskan bahwa penggunaan jenis bibit yang digunakan masyarakat, khususnya pada tanaman jagung sangat menentukan jumlah hasil panen. Saat ini, terdapat 2 (dua) jenis, yaitu bibit lokal dan bibit hibrida. Bibit lokal merupakan hasil pembiakan dari tanaman sebelumnya yang dianggap oleh petani sebagai bibit yang baik, dengan pemilihan berdasarkan kriteria tertentu. Sedangkan bibit hibrida, merupakan pengembangan dari hasil uji lab yang dihasilkan oleh para produsen bibit, dimana kualitas dan produksi yang dihasilkan dapat diestimasi dan bibit ini harganya relatif lebih mahal daripada bibit lokal. Oleh karena itu, masyarakat petani cenderung lebih menggunakan bibit lokal yang diperoleh tanpa adanya tambahan biaya. Potensi hasil jagung varietas hybrida rata-rata mencapai 5-6 ton per hektar.

  2. Swastika dkk (2001) mengemukakan pendapatnya bahwa senjang hasil antara rata-rata produksi yang dicapai petani saat ini dengan potensi hasil kemampuan lahan masih cukup lebar. Selain itu, semakin besar luas lahan yang ditanami maka semakin besar hasil panen.

  3. Kasryno (2002) menjelaskan bahwa penggunaan jenis lahan untuk budidaya tanaman jagung juga menentukan hasil panen. Lahan yang relatif basah (baik sawah tadah hujan maupun sawah irigasi) cenderung lebih banyak menghasilkan panen daripada lahan kering. Salah satu penyebabnya adalah tanaman jagung memerlukan kadar air yang relatif banyak dibandingkan tanaman lain. Hal ini sejalan dengan hasil penelitiannya, bahwa terdapat kecenderungan peningkatan penggunaan lahan basah untuk tanaman jagung yang dilaksanakan oleh para petani (diperkirakan saat ini areal pertanaman jagung pada lahan sawah irigasi dan lahan sawah tadah hujan meningkat masing-masing menjadi 10-15% dan 20-30% terutama pada daerah produksi jagung komersial). Fenomena ini juga didukung oleh Mink et al. (1987) dimana hasil penelitian nya dengan jangka waktu pengamatan 18 tahun menunjukkan bahwa sekitar 79% areal pertanaman jagung terdapat pada lahan kering, 11% pada lahan sawah irigasi, dan sisanya (10%) pada lahan sawah tadah hujan.

  4. Syafruddin et.al (1998) menjelaskan bahwa teknik penggunaan pupuk yang tepat dan benar akan dapat meningkatkan mutu dan hasil panen tanaman jagung. Hal ini, ia buktikan dengan melakukan penelitian di Propinsi Sulawesi Selatan dimana hasil panen tanaman jagung meningkat secara signifikan melalui penggunaan pupuk NPK dan pupuk S. Bahkan pada lahan kering, Subandi (1998) mengemukakan bahwa dengan pemupukan berimbang produksi jagung di lahan kering di Nusa Tenggara dapat mencapai 3,4 hingga 6,5 ton per hektar.

2.1.5. Teknik Budi Daya Jagung

  Bercocok tanam pada prinsipnya mempunyai tujuan utama untuk memperoleh produksi maksimal. Khusus, tanaman jagung, ditanam untuk dipetik hasilnya yang berupa biji jagung. Biji-biji ini terbentuk dalam satu kesatuan yang melekat pada tongkol. Biji jagung dapat dikonsumsi langsung dalam bentuk makanan, maupun diproses terlebih dahulu diolah menjadi tepung jagung. Sedangkan konsumsi jagung secara tidak langsung digunakan untuk makanan ternak. Kanisius (1993) menyatakan produksi tanaman adalah kegiatan atau sistem budidaya tanaman yang melibatkan beberapa faktor produksi seperti tanah, iklim, varietas, pengelolaan serta alat-alat agar diperoleh hasil maksimum secara berkesinambungan.

  Persiapan dan pelaksanakan merupakan suatu kegiatan yang sangat dibutuhkan secara signifikan dimulai dengan penyiapan lahan, pengolahan lahan, penanaman, dan pemeliharaan tanaman agar dicapai panenan yang baik. Lahan yang digunakan untuk tempat bertanam akan menentukan kebijaksanaan perencanaan tanam seperti tempat bertanam, iklim, benih (varietas) yang digunakan serta alat-alat yang akan digunakan. Tanaman jagung toleran terhadap berbagai jenis tanah seperti tanah yang berstektur ringan, misalnya andosol, dan latosol asalkan memiliki (pH) yang memadai serta tanah yang berstektur berat, misalnya grumosol bila aerasi dan drainase tanah diatur dengan baik. Adisarwanto dan Astuti (2000) menyatakan tempat bertanam jagung dibagi menjadi dua bagian yaitu : penanaman dilahan kering dan penanaman dilahan persawahan.

  ◦ ◦

  Jagung dapat tumbuh pada suhu 13 C - 38 C dan mendapatkan sinar matahari secara penuh. Suhu udara yang ideal untuk perkecambahan benih adalah

  ◦ ◦

  30 C - 32 C dengan kapasitas air tanah antara 25% - 60%. Selama pertumbuhan,

  ◦ ◦

  tanaman jagung membutuhkan suhu optimum antara 23 C - 27

  C. Unsur iklim penting yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan fase reproduktif terutama pada saat mengakhiri pembuahan jagung adalah faktor penyinaran matahari. Benih sebagai bahan utama atau modal pokok dalam budidaya jagung harus dipersiapkan. Benih yang diperlukan, dikaitkan dengan tujuan dan perencanaan penanaman. Benih yang baik adalah jenis benih vareitas unggul, benih yang berasal dari varietas unggul memiliki daya tumbuh yang tinggi (lebih dari 90 persen), mempunyai viabilitas yaitu dapat mempertahankan kelangsungan pertumbuhannya menjadi tanaman yang baik. Mutu benih sangat menentukan tingkat produktivitas jagung yang dicapai. Penggunaan benih yang bermutu tinggi bersifat lebih respons terhadap teknologi produksi yang diterapkan dan menentukan kepastian populasi tananaman yang tumbuh.

  Mutu benih ditetapkan melalui standarisasi yang bersertifikasi dari Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Adisarwanto dan Astuti (2000) menyatakan untuk memperoleh benih unggul yang bermutu bisa dilakukan dengan berbagai macam cara yaitu : 1.

  Menggunakan benih bersari bebas, yaitu varietas yang benihnya dapat digunakan terus menerus pada setiap penanaman. Benih bersari bebas berasal dari pemilihan pada saat pemungutan hasil (panen) yang mempunyai sifat-sifat unggul seperti bulir lebih besar, umur pendek, produksi tinggi, tahan terhadap serangan hama dan penyakit, tahan terhadap perubahan suhu atau iklim, batangnya kokoh (tidak mudah roboh ketika terkena angin), tahan terhadap kadar garam yang tinggi, serta tahan terhadap kemasaman tanah (pH). Beberapa varietas bersari bebas yang beredar dipasaran antara lain Arjuna, Bisma, Logaligo, Kalingga, Wiyasa, Rama, dan Wisanggeni.

  2. Menggunakan benih hibrida, yang diperoleh dari hasil seleksi kombinasi, perkawinan silang antara tananman yang satu dan tanaman yang lain dalam satu spesies untuk mendapatkan genotype (sifat-sifat dalam) yang unggul, biasa disebut breeding (hibridisasi). Beberapa varietas hibrida yang beredar dipasaran antara lain Hibrida jenis C, Pioneer, CPI, BISI, IPB dan Semar.

  Soekartawi (2002) menyatakan pertanian di Indonesia dicirikan banyaknya penggunaan tenaga kerja manusia dikarenakan luas usaha relatif sempit, relatif kurang dari satu hektar, peranan tenaga kerja yang bersifat kekeluargaan relatif lebih besar mengakibatkan tenaga kerja dari luar masih kurang diperlukan dan penggunaan tenaga kerja mesin masih relatif sedikit hanya berkisar pada tenaga pendukung saja. Secara umum alat-alat yang digunakan untuk bercocok tanam jagung seperti cangkul, alat tanam dengan tugal, alat penyemprotan, sedangkan pada lahan yang luas digunakan tenaga mesin seperti jettor atau traktor untuk melakukan pembajakan serta mesin penanam untuk melakukan kegiatan penanaman. Tata cara pengolahan tanah tergantung pada jenis atau keadaan tanah.

  Rukmana (1997) menyatakan pengolahan tanah untuk tanaman jagung dapat dilakukan dengan cara yaitu :

  1. Tanpa olah tanah (TOT) atau disebut Zerro tillage dilakukan pada lahan yang bertekstur ringan, tanah hanya dicangkul untuk lubang tanam serta pada lahan tersebut perlu diberi mulsa untuk mengatasi erosi dan menekan jumlah gulma.

  2. Pengolohan tanah minimum (minimum tillage) dilakukan pada tanah yang peka terhadap erosi seperti tanah yang berpasir atau tanah ringan, mencangkul dengan kedalaman 15-25 cm hingga tanah menjadi gembur seminggu atau kurang dari seminggu sebelum waktu tanam.

  3. Pengolahan tanah maksimum atau sempurna (maximum tillage) dilakukan pada tanah yang berstektur berat dengan mencangkul atau membajak selama dua kali atau lebih sedalam 15-20 cm, gulma dan sisa tanaman dibenamkan serta tanah digaru sampai rata, dan dilakukan paling lambat seminggu sebelum waktu tanam.

  Penanaman jagung juga perlu memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi yang akan diperoleh. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan tersebut adalah waktu tanam, jarak tanam, dan cara menanam. Waktu tanam perlu diperhatikan dengan cermat agar penanaman dapat dilakukan dengan baik. Warisno (1998) menyatakan dari beberapa jenis lahan tersebut waktu tanamnya berbeda-beda. Pertama, pada tanah tegal dan pekarangan sebaiknya penanaman dilakukan pada musim labuhan yaitu saat hujan mulai turun sekitar bulan September hingga November, Bisa juga pengolahan tanah pada musim marengan yaitu pada saat hujan mulai berakhir sekitar bulan Februari sampai dengan Maret dengan syarat pengairan selama musim kemarau terjamin. Kedua, pengolahan tanah pada tanah sawah sebaiknya dilakukan setelah tanaman padi dipanen.

  Berbagai pengaturan jarak tanaman perlu dilakukan guna mendapatkan produksi yang optimal. AAK (1998) menyatakan pengaturan jarak tanaman akan menentukan kebutuhan benih. Dalam tabel 2.1 dibawah ini disajikan beberapa pilihan bagi petani untuk menentukan jarak tanam dalam satuan hektare.

Tabel 2.1. Kebutuhan Benih Jagung Pada Berbagai Jarak Tanam

  Jumlah Tanaman Jumlah Tanaman Jarak Tanam

  Tiap lubang Tiap hektare 100 x 40 2 50.000 75 x 25 1 60.000

  75 x 20 1 65.000 60 x 60 2-3 55. 112 – 82.668 60 x 30 2 110.000 60 x 25

  2 133.000 60 x 20 2 165.000 Lanjutan Tabel 2.1. 60 x 15 1 110.000 60 x 10

  1 165.000 50 x 20 2 200.000 50 x 10 1 200.000

  Sumber : AAK, 1993

  AAK (1998) menyatakan penanaman dilakukan dengan cara penugalan pada lahan yang sempit dan pekarangan. Tugal adalah alat semacam tongkat yang terbuat dari kayu dan pada salah satu ujungnya dibuat meruncing. Tugal tersebut ada yang bermata tunggal, ada juga bermata dua atau segi tiga sesuai dengan lubang yang dibentuk. Kedalaman lubang antara 2,5 cm sampai dengan 5 cm. Setelah lubang terbentuk, benih yang dipersiapkan sebelumnya dimasukkan kedalam lubang tersebut sesuai dengan jumlah lubang. Selanjutnya lubang yang sudah ada benihnya ditutup dengan baik. Penanaman ini dilakukan oleh dua orang yaitu satu orang yang membuat lubang, sedangkan yang lain mengisi lubang dengan benih sekaligus menutup lubang. Kedalaman dan penutupan lubang sangat berpengaruh terhadap kecepatan perkecambahan benih. Sedangkan pada lahan yang sangat luas dan datar, dengan jumlah tenaga kerja manusia yang terbatas, penanaman dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi berupa mesin penanam sekaligus penutup lubang.

  Pertumbuhan tanaman jagung jua memerlukan curah hujan yang merata. Air sangat berperan dalam peningkatan produksi. Keterlambatan penambahan air pada fase kecambah, berbunga, pengisian, dan pemasakkan biji tentu akan mempengaruhi kuantitas dan kualitas biji yang dihasilkan. Selanjutnya Rukmana (1997) menyatakan jagung yang kekurangan air dan mengalami kelayuan selama

  1-2 hari pada saat pembungaan dapat menurunkan hasil sampai 22 %, bila kelayuan pada tanaman terjadi selama 5-8 hari, akan mengakibatkan penurunan hasil hingga 50 %. Cara pemberian air di daerah yang kering dilakukan 1- 2 minggu sekali atau tergantung pada keadaan tanah dengan cara mengalirkan air melalui saluran pemasukkan air (bedengan). Sedangkan pada lahan persawahan pengairan berasal dari saluran irigasi.

  Setelah bibit jagung tumbuh, maka perlu dipelihara sebaik-baiknya. Pemeliharaan tanaman jagung meliputi kegiatan pokok seperti penyulaman, penyiangan dan pembubunan, pemupukan serta pengairan bagi daerah yang kering (Rukmana, 1997). Penyulaman dilakukan jika ada benih yang rusak atau tidak tumbuh. Kegiatan ini dilakukan sekitar 7-10 hari setelah tanam dengan menggunakan benih yang sejenis. Penyulaman yang terlambat (lebih dari 15 hari setelah tanam) mengakibatkan pertumbuhan jagung tidak merata dan menyulitkan kegiatan pemeliharaan berikutnya. Supaya tanaman dapat tumbuh dengan baik maka dibutuhkan kegiatan penyiangan untuk pengendalian atau pengurangan gulma (rumput liar) yang tumbuh diareal penanaman. Gulma (rumput liar) yang tumbuh di areal penanaman adalah pesaing dalam hal kebutuhan sinar matahari, air, dan unsur hara. Tergantung perkembangannya, penyiangan gulma dapat dilakukan 2-3 kali. Penyiangan pertama dilakukan sebelum pemupukan susulan yang kedua. Penyiangan kedua dapat dilakukan sebulan setelah penyiangan pertama disertai dengan pembubunan, dan penyiangan ketiga dapat dilakukan jika dianggap perlu, yaitu jika pertumbuhan gulma terlihat subur atau lebat. Penyiangan gulma, selain secara manual atau mekanis, dapat dilakukan secara kimiawi yaitu dengan menggunakan herbisida seperti Gramoxone, Roundup, Sundup dan lain sebagainnya.

  Selama pertumbuhan, tanaman jagung membutuhkan unsur hara yang memadai. Untuk memenuhinya dilakukan pemupukkan, baik secara organik sebanyak 15-20 ton/hektar maupun dengan menggunakan pupuk yang anorganik seperti Urea 300 Kg/Ha, TSP atau SP-36 100 Kg/Ha, dan KCL 50 Kg/Ha.

  Berdasarkan keperluannya, jagung dapat dipanen pada tingkat kemasakan yang berbeda. Pemanenan masak susu dilakukan untuk keperluan sebagai sayur.

  Jagung semi dapat dipanen pada umur 47-48 hari setelah tanam untuk dataran rendah, dan 60 hari setelah tanam untuk dataran tinggi. Jagung masak susu atau Semi (baby corn) memiliki ciri-ciri antara lain : a.

  Tanaman masih kelihatan segar dan masih berwarna hijau.

  b.

  Panjang rambut jagung antara 3-5 cm.

  c.

  Biji mulai terisi zat pati yang berbentuk seperti cairan susu atau santan.

  d.

  Biji belum keras dan bila dipijit akan keluar cairan putih seperti susu atau santan.

  Pemanenan saat masak lunak dilakukan untuk keperluan jagung rebus, jagung bakar, atau jagung sayur. Jagung masak lunak atau jagung manis (sweet

  corn) memiliki ciri-ciri antara lain : a.

  Ujung daun bagian bawah mulai kering.

  b.

  Keadaan tongkol agak besar dan agak berat.

  c.

  Biji jagung mulai agak keras dan bila dipijit akan keluar isi seperti tepung basah.

  Pemanenan jagung pada tingkat masak tua merupakan pemanen yang paling banyak dilakukan petani. Jagung hasil panen ini digunakan untuk berbagai keperluan konsumsi, misalnya untuk makanan pokok, pembuatan tepung jagung, makanan ternak serta untuk keperluan lainnya. Jagung dapat dipanen setelah tanaman berumur antara umur 90 hari sampai dengan 110 hari tergantung pada varietas yang digunakan. Jagung masak tua atau masak mati memiliki cirri-ciri : a.

  Batang, daun, dan kelobot buah berubah warna menjadi kuning bahkan sebagian besar sudah mengering.

  b.

  Semua bagian tanaman telah kering dan mati.

  c.

  Biji jagung sudah tampak keras, dan mengilap.

  d.

  Bila ditekan dengan kuku tangan, bijinya tidak tampak bekas tekanan e. Kadar air sudah mencapai 30% - 35%.

  Dalam melakukan kegiatan pemanenan, hal yang perlu diperhatikan sekali adalah keadaan cuaca. Hasil panen jagung persatuan hektarnya adalah berkisar antara 7 – 9 ton/ha, tergantung pada potensi hasil, kesuburan lahan, dan teknik budi daya yang dipraktekkan. Tata cara panen jagung adalah sebagai berikut : a.

  Petik tongkol dengan tangan hingga terlepas dari batangnya dan sekaligus mengupas kulitnya.

  b.

  Dilakukan pada hari yang cerah (tidak ada hujan).

  c.

  Dimasukkan kedalam sebuah wadah seperti goni atau bakul.

  d.

  Setelah sampai ditempat penampungan, segera dihamparkan dilantai yang bersih dan kering.

  Pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air serendah mungkin, agar didalam penyimpanannya jagung tidak mudah rusak. Berdasarkan sumber energinya, pengeringan pada jagung dapat dibedakan menjadi pengeringan alami dan pengeringan buatan. Pengeringan alami merupakan pengeringan yang dilakukan dengan bantuan sinar matahari (penjemuran). Agar didapat hasil pengeringan yang baik, sebaiknya disediakan areal yang cukup luas karena pengeringan jagung tidak boleh dilakukan dengan cara menumpukkannya. Tata cara pengeringan jagung yaitu : a.

  Penjemuran dilakukan dengan menggunakan lantai jemur, alas anyaman bambu, dan tikar.

  b.

  Pengeringan tongkol dilakukan sampai kadar air ± 18 %.

  c.

  Pada proses pengeringan tongkol sampai kadar air ± 18 %, tongkol jangan dimasukkan kedalam karung dalam waktu yang cukup lama, akan menyebabkan biji jagung akan mengalami kerusakan.

  Apabila hujan terus menerus, pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan alat pengering mekanis atau mengalirkan udara yang panas ke tempat-tempat pengeringan. Beberapa jenis alat yang biasa digunakan adalah omprongan, alat pengering dengan aerasi dan alat pengering tipe continuos.

  Setelah pengeringan dilakukan maka kegiatan selanjutnya adalah pemipilan. Pemipilan merupakan kegiatan melepaskan biji dari tongkol, memisahkan tongkol, dan memisahkan kotoran dari jagung pipilan. Tujuan pemipilan adalah untuk menghindari kerusakan, menekan kehilangan, memudahkan pengangkutan, dan memudahkan pengolahan selanjutnya. Pemipilan dapat dilakukan apabila tongkol sudah cukup kering, kadar air biji jagung berkisar 17% - 20%. Pemipilan secara tradisional dilakukan dengan menggunakan tangan, yaitu dengan menggunakan tongkat yang dipukul pada sebuah karung yang berisi jagung- jagung yang masih bertongkol.

  Selain menggunakan tangan, pemipilan jagung dapat dilakukan dengan bantuan alat yang sederhana seperti kikian, Pemipil tipe Sulawesi Utara, pemipil tipe silinder (tipe F11.223), pemipil model ARS-2002, pemipil model TPI, dan tipe Ramapil, maupun pemipil yang menggunakan mesin seperti pemipil tipe Senapil. Sebelum jagung hasil pemipilan dijual, kegiatan panenan yang terakhir adalah melakukan penyimpanan atau penggudangan. Kegiatan penyimpanan terdiri dari dua cara. Pertama, penyimpanan jagung dalam bentuk berkolobot dilakukan dengan cara mengikat jagung dalam besaran tertentu seperti 15 tongkol

  • – 20 tongkol atau 30 tongkol – 40 tongkol, kemudian digantung dan diletakkan secara tersusun diatas para-para. Kedua, Jagung yang telah dipipil, dapat juga disimpan dalam sebuah wadah plastik yang kedap udara, dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : a.

  Jagung yang telah dipipil dimasukkan kedalam sebuah wadah plastik yang kedap udara seperti karung plastik.

  b.

  Karung-karung plastik tersebut diletakkan diatas balok kayu untuk mencegah kontak langsung antara karung dengan lantai sehingga karung tidak lembab dan sirkulasi udara terjamin.

  c.

  Untuk mencegah serangan-serangga sehingga daya simpannya menjadi lebih panjang, karung-karung tersebut disemprot dengan cairan insektisida Silosan

  25 EC 2% dan Damfin 50 EC dengan dosis 500 CC/10 Liter air.

2.2. Kebijakan Pemerintah

2.2.1. Pengertian Harga

  Harga merupakan persoalan yang fundamental baik bagi penjual maupun pembeli. Harga dapat membantu dalam menentukan jumlah volume penjualan dan dapat pula mempengaruhi biaya-biaya produksi bilamana pengeluaran sejalan dengan volume penjualan atau besarnya produksi. Harga, nilai, dan faedah (utility) merupakan konsep-konsep yang sangat berkaitan. Faedah (utility) adalah atribut suatu produk yang dapat memuaskan kebutuhan. Sedangkan nilai adalah ungkapan secara kuantitatif tentang kekuatan barang untuk dapat menarik barang lain dalam pertukaran. Untuk melaksanakan pertukaran tersebut digunakan pasar sebagai tempatnya. Dimana pasar merupakan mekanisme pada saat pembeli dan penjual suatu komoditi mengadakan interaksi menentukan harga dan kuantitasnya (Samuelson dan Nordhaus, 1992)

  Berbagai pengertian harga, antara lain sebagai mana yang dikemukakan oleh (Basu Swasta dan Irawan, 1990) menyatakan bahwa harga adalah jumlah uang yang dibutuhkan untuk mendapatkan sejumlah kombinasi produk dan pelayanannya. Sedangkan Samuelson dan Nordhaus (1992) menyatakan bahwa harga merupakan nilai suatu barang dalam satuan mata uang

  Beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa harga pasar merupakan suatu mekanisme saat pembeli dan penjual mengadakan interaksi untuk menentukan nilai suatu barang dalam satuan mata uang beserta kuantitasnya. Harga ditetapkan oleh pembeli dan penjual yang saling bernegoisasi, penjual akan meminta harga lebih tinggi dari pada yang mereka harap akan diterima., dan pembeli akan menawar kurang dari pada yang mereka harap dibayar. Dalam perekonomian saat ini untuk mengadakan pertukaran atau untuk mengukur nilai suatu komoditi dengan menggunakan uang. Jumlah uang yang digunakan dalam pertukaran tersebut mencerminkan tingkat harga dari suatu barang. Barang yang dinilai dengan harga tersebut perlu ditetapkan untuk mendekatkan produsen dengan konsumen melalui transaksi jual – beli.

2.2.2. Metode Penetapan Harga

  Gitosudarmo (1994) menyatakan beberapa penentapan harga yaitu berdasarkan pada biaya, konsumen, dan persaingan.

  Selanjutnya Basu Swastha (1990) menyatakan tingkat harga yang terjadi dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti (1) kondisi perekonomian, (2) Penawaran dan permintaan, (3) elastisitas permintaan, (4) persaingan, (5) biaya, (6) tujuan manajer, (7) pengawasan pemerintah.

  Dalam dunia nyata sulit untuk mengumpulkan data yang akurat tentang penerimaan marjinal (MR) dan biaya marjinal (MC), agar dapat menentukan tingkat output dan harga yang optimal pada titik dimana MR dan MC. Metode penentuan harga yang paling luas dipergunakan adalah cost-plus pricing ( penetapan harga di atas biaya) atau disebut juga markup pricing/full cost pricing. Praktek penetapan harga diatas biaya mencerminkan perbedaan dalam biaya marjinal dan elastisitas permintaan merupakan cara yang efisien untuk beroperasi sehingga MR=MC untuk setiap lini komoditi yang dijual.

  Kelana (1994) menyatakan Penetapan harga dapat dilakukan dengan mengenakan suatu markup, dihitung melalui perbedaan harga dan biaya variabel rata-rata atau merupakan persentase harga diatas biaya variabel rata-rata.

  Sedangkan Salvatore (2003) menyatakan Pendekatan yang paling umum dalam menentukan praktek penetapan harga diatas biaya, pelaku usaha mengestimasi biaya variabel rata-rata (AVC) untuk memproduksi atau membeli dan memasarkan suatu komoditi untuk tingkat output yang normal atau standar, kemudian menambahkan terhadap AVC sebuah biaya overhead rata-rata, sehingga memperoleh perkiraan biaya rata-rata yang teralokasi penuh (C). Terhadap biaya rata-rata yang teralokasi penuh tersebut, pelaku usaha menambahkan sebuah tambahan biaya (m) margin sebesar suatu persentase tertentu untuk memperoleh laba. Biaya yang dialokasikan sepenuhnya ditentukan dengan pertama-tama mengestimasi langsung biaya per unit, lalu mengalokasikan biaya tidak langsung yang diperkirakan, atau biaya umum, dengan mengasumsikan tingkat keluaran yang normal atau standar. Harga lalu ditentukan dari biaya standar per unit yang dihasilkan, tanpa memperhitungkan variasi jangka pendek dalam biaya unit aktual. Biaya yang dialokasikan sepenuhnya dapat disesuaikan ketika beroperasi dalam kapasitas penuh.

  Selama periode-periode puncak, ketika sarana produksi sepenuhnya dimanfaatkan, ekspansi akan diperlukan untuk meningkatkan produksi lebih lanjut. Harga markup umumnya menentukan harga atas dasar biaya yang dialokasikan sepenuhnya dalam kondisi normal, tetapi menawarkan pemotongan harga atau menerima marjin yang lebih rendah selama periode-periode diluar puncak ketika kapasitas yang berlebih cukup besar tersedia. Keluaran yang dihasilkan selama periode-periode diluar puncak dapat memiliki biaya yang secara dramatis lebih rendah pada keluaran yang diproduksi selama periode-periode puncak, faktor-faktor musiman, kekuatan pasar, dan mutu komoditi akan mempengaruhi permintaan akan barang.

  Selanjutnya Salvatore (2003) menyatakan bahwa pemakaian penentuan harga markup disebabkan oleh beberapa kelebihan dari metode ini. Pertama, penentuan harga markup umumnya memerlukan informasi yang lebih sedikit dan tidak terlalu akurat dibanding aturan menentukan harga pada tingkat output ketika penerimaan marjinal sama dengan biaya marjinal. Kedua, penentuan harga markup lebih sederhana untuk digunakan. Ketiga, penentuan harga markup memberikan pembenaran yang jelas untuk peningkatan harga yang disebabkan peningkatan biaya.

  Kondisi permintaan memainkan peran penting dalam penetapan harga markup, sensitivitas harga dari sebuah komoditi adalah pertimbangan utama dalam menetapkan marjin. Barang-barang pokok sangat peka terhadap harga dan memiliki marjin yang lebih kecil. Produk-produk dengan marjin tinggi cenderung dimiliki oleh barang-barang yang permintaannya kurang peka terhadap harga. Didunia nyata didapati berbagai penetapan tambahan yang lebih tinggi terhadap komoditi yang memiliki permintaan yang inelastis dibanding yang memiliki permintaan yang elastis, dan jika meningkatnya persaingan menyebabkan meningkatnya elastisitas permintaan, mereka akan menurunkan tambahan yang mereka tetapkan.

  Keberadaan lebih dari satu pasar atau kelompok konsumen juga akan menimbulkan kemungkinan digunakannya metode penetapan harga melalui diskriminasi harga atau praktek penetapan harga yang berbeda di berbagai pasar. Pappas, J. L. dan Hirschey, M. (1995) menyatakan Diskriminasi harga adalah praktek penetapan harga yang menentukan harga yang berbeda dipasar yang berbeda, yang tidak berkait dengan perbedaan dalam biaya. Selanjutnya Nicholson (1994) menyatakan Jika dua pasar terpisah, sebuah perusahaan dapat memaksimumkan laba dengan menjual komoditi (produk)nya pada harga yang berbeda dikedua pasar tersebut. Diskriminasi harga akan selalu menaikkan laba, karena hal itu memungkinkan untuk menaikkan pendapatan total tanpa mempengaruhi biaya.

  Sedangkan Salvatore (2003) menyatakan bahwa harus ada Tiga kondisi yang dipenuhi pelaku usaha untuk dapat menerapkan diskriminasi harga. Pertama, pelaku usaha harus memiliki kemampuan mengendalikan harga komoditi (produk). Kedua, Elastisitas harga dari permintaan terhadap komoditi (produk) tersebut harus berbeda untuk jumlah komoditi (produk) yang berbeda, pada waktu yang berbeda untuk kelompok pelanggan yang berbeda atau dalam pasar yang berbeda. Ketiga, kapan waktu komoditi (produk) atau jasa tersebut dikonsumsi atau digunakannya komoditi (produk) tersebut, dan kelompok pelanggan atau pasar bagi komoditi (produk) tersebut harus dapat dipisahkan. Dengan kata lain pelaku usaha harus mampu mensegmentasikan pasar dengan mengindentifikasi bagian-bagian pasar dan mencegah perpindahan pelanggan dalam bagian-bagian pasar yang berbeda.

  Salvatore (2003) menambahkan bahwa diskriminasi harga dapat dikelompokkan kedalam tiga kategori. Pertama, diskriminasi harga derajat pertama, pengenaan harga yang berbeda kepada setiap pelanggan. Pelaku usaha memperoleh jumlah maksimum yang rela dibayar oleh setiap pembeli untuk komoditi (produk)nya. Kedua, diskrimasi harga derajat kedua, pengenaan harga yang berbeda berdasarkan tingkat penggunaan pelanggan melibatkan penetapan harga atas dasar jumlah yang dibeli. Ketiga diskriminasi harga derajat ketiga, pengenaan harga berbeda untuk setiap jenis pelanggan dengan memisahkan pelanggan-pelanggannya kedalam beberapa kelompok dan menetapkan harga yang berbeda untuk setiap kelompok.

2.2.3. Kebijakan Harga

  Didalam perekonomian, perdagangan memegang peranan penting. Besarnya peranan ini tampak dari sumbangan sektor perdaganan didalam keseluruhan produksi nasional serta sumbanganya di dalam menyediakan kesempatan kerja. Supaya kuantitas dan kualitas bahan pangan dapat merata dikonsumsi seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah melakukan langkah-langkah dan kebijaksanaan yang benar-benar tepat pada sasaran dengan merangsang.

  a) Peningkatan kegairahan berproduksi.

  b) Peningkatan /perbaikan dan kelancaran pemasaran.

  c) Peningakatan pemberian kesempatan kerja dalam peningkatan pendapatan penduduk.

  Menciptakan dan mendekatkan pasar bagi para petani, menentukan patokan harga pasar, membantu para petani (produsen) serta para pedagang yang memasarkan produk-produk serta membantu meningkatkan pendapatan penduduk. Dalam keadaan panen raya, produksi sangat melimpah sehingga harga pasar berada dibawah yang semestinya (harga keseimbangan). Karena itu diperlukan kebijaksanaan harga dasar yang lebih tinggi dari harga pasar tersebut.

  Panen Raya

  D Harga S’ Pf

  Pm S D’ Q 1 Q Q 2 Sumber : Daniel (2004) Kuantitass

Gambar 2.1. Kebijaksanaan Pemerintah Dalam Mengatasi Kelebihan Produksi Pada Saat Panen Raya

  Andaikan harga pasar adalah Pm dan harga dasar adalah Pf, maka Pf lebih besar dari Pm. Dengan berlakunya harga dasar ini, konsekuensinya adalah pemerintah harus membeli kelebihan produksi. 0Qo adalah besarnya produksi yang diminta masyarakat pada harga pasar (Pm) yang berada dibawah harga dasar (Pf). Bila harga dasar diberlakukan, maka jumlah permintaan adalah sebesar 0Q1. Agar harga dasar dapat berfungsi dengan baik, maka pemerintah perlu membeli kelebihan produksi (penawaran) sebesar Q1Q2. Dalam situasi seperti ini, maka jumlah produksi yang seharusnya dijual produsen adalah sebesar 0Q2, yang dijual untuk konsumsi masyarakat adalah sebesar 0Q2 dan yang dibeli oleh pemerintah adalah sebesar Q1Q2 (Soekartawi, 2002). Sedangkan situasi paceklik adalah situasi saat jumlah produksi yang tersedia terbatas, sementara jumlah konsumen tetap atau bahkan terus bertambah. Dalam keadaan seperti ini harga pasar cenderung tinggi atau lebih tinggi dari harga keseimbangan bila saja tidak diberlakukan harga tetap. Keadaan pada saat paceklik ini merupakan kebalikan dari situasi panen raya, pemerintah terpaksa harus menjual persediaan komoditi pertanian yang menjadi tanggung jawabnya.

  D Harga S’ Pf

  Pm S D’ Q 1 Q Q

2

Kuantitas Sumber : Daniel (2004) s

  Ga m ba r 2 .2 . Ke bij k a sa n a a n Pe m e r in t a h D a la m M e n ga t a si Ke k u r a n ga n Pr odu k si Pa da Sa a t M u sim Pa ce k lik

  0Qo adalah jumlah produksi yang dijual dan akan dibeli oleh konsumen bila tidak diberlakukan harga atap (Pc). Disini Pc lebih tinggi dari Pm. Maka perbedaan Pc dan Pf semkin tinggi. Bila diberlakukan harga atap, maka jumlah produksi yang akan dijual adalah sebesar 0Q1 ; pada saat itu harga pasar (Pm) melebihi harga dasar. Agar harga atap tersebut berfungsi pada posisi Pm, maka pemerintah perlu menjual persediaan sebesar Q1Q2. Dengan demikian komoditi pertanian yang berada di pasar adalah sebesar 0Q2.

  Keseimbangan permintaan dan penawaran adalah sangat penting bagi kehidupan ekonomi. Permintaan timbulnya dari konsumen, baik konsumen rumah tangga maupun konsumen industri yang bertujuan untuk meningkatkan fungsi dari produk tersebut yang pada akhirnya juga untuk dinikmati oleh konsumen rumah tangga melalui suatu produk yang telah memiliki nilai tambah. Penawaran timbul dari produsen melalui lembaga-lembaga pemasarannya. Bila ditinjau secara mendalam harga patokan yang dibuat oleh pemerintah melalui kebijakannya sebenarnya adalah untuk merangsang para petani agar bekerja lebih giat untuk menghasilkan peningkatan produksinya, karena produknya dipasarkan dapat laku dijual disekitar harga patokan. Harga patokan tersebut disebar kedesa-desa agar petani dapat memperhitungkan pendapatan yang ia peroleh secara kasar serta memperkirakan keuntungan yang diperoleh secara wajar.

  Daniel (2004) “Kebijaksanaan harga dalam bentuk peraturan yang diatur oleh pemerintah sebagai patokan adalah harga dasar atau harga lantai dan harga tertinggi atau harga atap”. Harga dasar diperlukan untuk menjaga agar harga pasar pada saat panen tidak menurun jauh kebawah dari yang seharusnya diterima oleh produsen dan diupayakan agar harga pasar minimal sama dengan harga dasar. Sebaliknya, harga tertinggi tetap diperlukan khusus pada saat musim-musim paceklik, saat persediaan produksi terbatas. Dalam keadaan harga pasar berada diantara harga dasar dan harga tertinggi, maka baik produsen maupun konsumen masing-masing tidak dirugikan. Dasar keputusan kebijaksanaan yang menyangkut harga dasar didasarkan kepada sarana produksi (input) dan produksi (output). Perhitungan harga patokan ditetapkan secara nasional berdasarkan kondisi daerah tertentu yang berpedoman pada perimbangan biaya produksi dan nilai produksi, nisbah tambahan keuntungan dan biaya, perbandingan harga jual produksi persatuan dan harga pupuk persatuan. Harga patokan tersebut diumumkan pada saat menjelang masa tanam agar produsen termotivasi untuk meningkatkan produksinya dan pada saat menjelang panen raya agar harga patokan tidak merosot di saat-saat panen raya berlangsung. Berdasarkan pada situasi pasarnya harga patokan ditetapkan melalui a)

  Penetapan harga dasar berdasarkan pada pendekatan ekonomi positif dan pendekatan ekonomi normative. Penetapan harga dasar tersebut bertujuan untuk menciptakan perimbangan pendapatan masyarakat yang bekerja disektor pertanian terhadap pendapatan masyarakat yang bekerja disektor industri.

  b) Penetapan harga tertinggi ditetapkan dengan maksud untuk melindungi konsumen dari harga pasar yang terlalu tinggi dan menekan efek negatif yang ditimbulkan berupa inflasi.

2.2.4. Kebijakan Bukan Harga