BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diri 2.1.1 Pengertian Konsep Diri - Pengaruh Pola Asuh Orangtua Dan Peer Group Terhadap Konsep Diri Remaja Tentang Perilaku Seksual Di Sma Negeri 2 Dan Man 2 Medan Tahun 2012

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Diri

  2.1.1 Pengertian Konsep Diri

  Konsep diri adalah semua ide, pikiran, keyakinan, kepercayaan yang membuat seseorang mengetahui tentang dirinya dan memengaruhi lingkungannya dengan orang lain (Stuart & Sudenn, 1998).

  Konsep diri adalah gagasan tentang diri sendiri yang berisikan mengenai bagaimana individu melihat dirinya sendiri dan bagaimana individu menginginkan diri sendiri menjadi manusia sebagaimana yang diharapkan. Penglihatan individu atas dirinya sendiri disebut gambaran diri (self image). Perasaan individu atas dirinya sendiri merupakan penilaian individu atas dirinya sendiri (self evalusion). Harapan individu atas diri sendiri menjadi cita – cita diri (self idea) (Centi, 1993).

  Menurut Burn (1993) konsep diri adalah suatu gambaran campuran dari apa yang kita pikirkan, pendapat orang lain mengenai diri kita dan seperti apa yang di pikirkan, pendapat orang lain dan seperti apa yang diri kita inginkan.

  2.1.2 Perkembangan Konsep Diri

  Konsep diri tidak terbentuk waktu lahir, tetapi datang dari pengalaman unik seseorang dalam dirinya, pengalaman berhubungan dengan orang lain dan melalui kontak sosial. Individu dengan konsep diri yang positif dapat berfungsi lebih efektif yang terlihat dari kemampuan interpersonal, kemampuan intelektual dan penguasaan lingkungan. Konsep diri yang negatif dapat dilihat dari hubungan dan keadaan sosial yang mal adaptif (Keliat, 1994).

2.1.3 Faktor- faktor yang Memengaruhi Konsep Diri

  Faktor – faktor yang memengaruhi konsep diri menurut Argy ada 4 (Hardy & Heyes 2000) :

  a. Reaksi dari orang lain Cooley dalam Hardy & Hayes (1998) membuktikan bahwa dengan mengamati pencerminan perilaku diri sendiri terhadap respon yang diberikan oleh orang lain maka individu dapat mempelajari dirinya sendiri. Orang-orang yang memiliki arti pada diri sendiri (significant other) sangat berpengaruh dalam pembentukan konsep diri. 1) Orangtua

  Orangtua adalah kontak sosial yang paling awal yang dialami oleh seseorang dan yang paling kuat. Informasi yang diberikan orangtua kepada anaknya lebih menancap dari pada informasi yang di berikan oleh orang lain dan berlangsung hingga dewasa.

  2) Peer group

  Peer group menempati posisi kedua setelah orangtua dalam memengaruhi

  konsep diri. Peran yang di ukur dalam kelompok sebaya sangat berpengaruh terhadap pandangan individu mengenai dirinya sendiri. Karena kawan sebaya memengaruhi pola kepribadian remaja ada dua cara. Pertama, konsep diri remaja merupakan seorang remaja berada dalam tekanan untuk mengembangkan ciri-ciri kepribadian yang di akui oleh kelompok.

  3) Masyarakat Masyarakat sangat mementingkan fakta-fakta yang ada pada seorang anak, seperti siapa bapaknya, ras dan lain-lain sehingga hal ini sangat berpengaruh terhadap konsep diri yang dimiliki oleh seorang individu.

  b. Perbandingan dengan orang lain Konsep diri yang di miliki individu sangat tergantung kepada bagaimana cara individu membandingkan dirinya dengan orang lain.

  c. Identifikasi terhadap orang lain Seorang anak mengagumi seorang dewasa, maka anak seringkali mencoba menjadi pengikut orang dewasa tersebut dengan cara meniru beberapa nilai, kenyakinan dan perbuatan. Proses identifikasi tersebut menyebabkan individu merasakan bahwa dirinya telah memiliki beberapa sifat dari yang dikagumi. Faktor lain yang memengaruhi konsep diri yaitu: 1) Pola asuh orangtua

  Pola asuh orangtua menjadi faktor yang penting dalam pembentukan konsep diri seseorang. Sikap positif yang di lakukan orangtua seperti cinta kasih, perhatian akan menumbuhkan konsep dan pemikiran yang positif serta sikap menghargai diri sendiri, individu merasa di cintai banyak orang sehingga individu merasa pantas mencintai dirinya sendiri. Sebaliknya sikap negatif orangtua akan menimbulkan

  2) Kegagalan Kegagalan yang dialami individu secara terus menerus akan menimbulkan pertanyaan pada diri individu itu sendiri sehingga membuat individu memiliki kesimpulan bahwa dirinya hanya mempunyai kelemahan dan individu merasa tidak berguna, bahkan merasa dirinya benar.

  3) Depresi Individu yang mengalami depresi akan memiliki pemikiran yang cenderung negatif dalam memandang dan merespon segala sesuatu, termasuk dalam menilai diri sendiri sehingga individu akan sulit melihat kemampuan dirinya untuk bertahan menjalani, dan individu cenderung sensitif serta mudah tersinggung.

  4) Kritik internal Mengkritik diri sendiri diperlukan untuk menyadarkan individu akan perbuatan yang di lakukan dan sebagai rambu-rambu dalam bertindak dan berperilaku agar keberadaan individu dapat di terima oleh masyarakat serta dapat beradaptasi dengan baik.

  Konsep diri merupakan produk sosial yang ditentukan oleh orang –orang di sekitar sesuai dengan tingkat perkembangan diri individu. Faktor – faktor yang memengaruhi konsep diri pada masa kanak – kanak. Demikian pula saat individu memasuki masa remaja. Masa remaja merupakan masa yang potensial untuk mengembangkan konsep diri, sebab, masa remaja adalah masa yang penuh dengan tekanan yang memungkinkan individu menemukan identitas dirinya.

2.1.4 Jenis – jenis Konsep Diri

  Dalam perkembangannya konsep diri terbagi dua, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif (Calhoun dan Acocella, 1990) : a. Konsep diri positif

  Konsep diri positif lebih kepada penerimaan diri bukan sebagai suatu kebanggan yang besar tentang diri. Konsep diri yang positif bersifat stabil dan bervariasi. Individu yang memiliki konsep diri positif adalah individu yang tahu betul tentang dirinya, dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam–macam tentang dirinya sendiri menjadi positif dan dapat menerima keberadaan orang lain. Individu yang memiliki konsep diri positif akan merancang tujuan – tujuan yang sesuai dengan realitas, yaitu tujuan yang memiliki kemungkinan besar untuk dapat di capai, mampu menghadapi kehidupan di depannya serta menganggap bahwa hidup adalah suatu proses penuaan.

  b. Konsep diri negatif Ada 2 tipe konsep diri negatif, yaitu: 1.

  Pandangan individu tentang dirinya sendiri benar-benar tidak teratur, tidak memiliki perasaan kestabilan dan keutuhan diri. Individu tersebut benar-benar tidak tahu siapa dirinya, kekuatan dan kelemahannya atau yang di hargai dalam kehidupannya.

  2. Pandangan tentang dirinya sendiri terlalu stabil dan teratur. Ini bisa terjadi karena individu dididik dengan cara yang sangat keras, sehingga menciptakan citra diri yang tidak mengijinkan adanya penyimpangan dari seperangkat hukum yang dalam pikirannya merupakan cara hidup yang tepat.

2.1.5 Pembagian Konsep Diri

  Konsep diri di kembangkan melalui proses yang sangat kompleks dan melibatkan banyak variabel. Konsep diri memberikan rasa kontinuitas, keutuhan dan konsistensi pada seseorang yang merupakan representasi fisik seorang individu, pusat inti dari “Aku” di mana semua persepsi dan pengalaman terorganisasi (Perry & Potter, 2005). Konsep diri terdiri dari 5 komponen yaitu:

  a. Citra tubuh (Body image) Citra tubuh adalah sikap, persepsi, kenyakinan dan pengetahuan individu secara sadar terhadap tubuhnya yaitu ukuran, bentuk, struktur, fungsi, keterbatasan, makna dan objek yang kontak secara terus menerus (anting, mak-up, kontak lensa, pakaian, kursi roda) baik masa lalu maupun sekarang.

  Citra tubuh membentuk persepsi seseorang tentang tubuh, baik secara internal maupun eksternal yang di pengaruhi oleh pandangan pribadi tentang karakteristik, kemampuan fisik, persepsi dari pandangan orang lain, pertumbuhan kognitif, kemampuan fisik, persepsi dari pandangan orang lain, pertumbuhan kognitif dan perkembangan fisik, serta sikap dan nilai kultural juga memengaruhi citra tubuh.

  b. Ideal diri (Self-ideal) Ideal diri adalah persepsi individual tentang bagaimana seorang individu harus berperilaku berdasarkan standart, tujuan, keinginan atau nilai pribadi tertentu yang diri sendiri. Ideal diri mulai berkembang pada masa kanak-kanak yang dipengaruhi orang penting pada dirinya yang memberikan keuntungan dan harapan. Pada masa remaja ideal diri akan dibentuk melalui proses identifikasi pada orangtua, guru dan teman.

  c. Harga diri (Self-esteem) Harga diri adalah penilaian diri terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal diri.

  Frekuensi pencapaian tujuan akan menghasilkan harga diri yang rendah atau harga diri yang tinggi. Jika individu selalu sukses, maka cenderung harga diri tinggi. Jika individu sering gagal maka cenderung harga diri rendah. Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain. Aspek-aspek utamanya adalah dicintai dan menerima penghargaan dari orang lain. Menurut Suliswati (2005) harga diri sangat mengancam pada masa pubertas, karena pada saat ini harga diri mengalami perubahan, karena banyak keputusan yang harus di buat menyangkut dirinya sendiri. Remaja di tuntut untuk menentukan pilihan, posisi, peran dan memutuskan apakah remaja mampu meraih sukses dari suatu bidang tertentu, apakah remaja dapat berpartisipasi atau di terima di berbagai macam aktivitas sosial.

  d. Peran (Self-role) Peran adalah sikap, perilaku, nilai dan tujuan yang diharapkan dari seseorang berdasarkan posisinya di masyarakat. Peran yang ditetapkan adalah peran yang terpilih atau dipilih oleh individu. Posisi dibutuhkaan oleh individu sebagai aktualisasi diri. Harga diri yang tinggi adalah hasil dari peran yang memenuhi kebutuhan dan cocok dengan idel diri. Posisi di masyarakat dan merupakaan stressor terhadap peran karena struktur sosial yang menimbulkan kesukaran, tuntutan, posisi yang tidak mungkin dilaksanakan. Stress peran terdiri dari konflik peran yang tidak jelas, peran yang tidak sesuai dan peran yang terlalu banyak (Keliat 1994). Tiap individu mempunyai berbagai peran dalam pola fungsi individu. Peran memberikan sarana untuk berperan serta dalam kehidupan sosial dan merupakan cara untuk menguji identitas dengan memvalidasi pada orang yang berarti.

  e. Identitas diri (Self-identity) Identitas diri adalah kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian yang merupakan sintesa dari aspek konsep diri sebagai kesatuan yang utuh. Seseorang yang mempunyai perasaan identitas diri yang kuat, akan memandang dirinya berbeda dengan orang lain. Kemandirian timbul dari perasaan berharga (aspek diri sendiri) dan kemampuan dalam penyesuaian diri. Seseorang yang mandiri dapat mengatur dan menerima dirinya. Identitas berkembang sejak masa kanak-kanak bersamaan dengan perkembangan konsep diri (Keliat 1994).

2.1.6 Aspek – aspek Konsep Diri Konsep diri merupakan gambaran mental yang di miliki oleh seorang idividu.

  Gambaran mental yang di miliki oleh individu mengenai dirinya sendiri, pengharapan yang di miliki individu untuk dirinya sendiri serta penilaian mengenai diri sendiri (Calhoen & Acolela, 1990) :

  a. Pengetahuan Dimensi pertama dari konsep diri adalah pengetahuan. Pengetahuan yang di miliki individu merupakan apa yang individu ketahui tentang dirinya sendiri. Hal ini mengacu pada istilah – istilah seperti usia, jenis kelamin, kebangsaan, pekerjaan. Sesuatu yang menunjuk pada istilah kualitas, seperti individu yang egois, baik hati, tenang dan bertemperamen tinggi. Pengetahuan bisa diperoleh dengan membandingkan diri individu dengan kelompok pembandingnya. Pengetahuan yang dimiliki individu tidaklah menetap sepanjang hidupnya, pengetahuan bisa berubah dengan cara merubah tingkah laku individu tersebut.

  b. Harapan Dimensi kedua dari konsep diri adalah harapan. Individu mempunyai satu set pandangan tentang siapa dirinya, individu juga memiliki satu set pandangan lain, yaitu tentang kemungkinan menjadi apa di masa mendatang.

  c. Penilaian Dimensi terakhir dari konsep diri adalah penilaian. Individu berkedudukan sebagai penilai terhadap dirinya sendiri setiap hari. Penilaian terhadap dirinya sendiri adalah pengukuran individu tentang keadaannya saat ini dengan apa yang menurutnya dapat terjadi pada dirinya.

2.2 Pola Asuh Orangtua

2.2.1 Pengertian Pola Asuh

  Orangtua mempunyai peran dan fungsi yang bermacam-macam, salah satunya adalah mendidik anak. Menurut Edwards (2006), menyatakan bahwa “pola asuh merupakan interaksi anak dan orangtua mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat”.

  Pada dasarnya pola asuh dapat diartikan seluruh cara perlakuan orangtua yang diterapkan pada anak. Banyak ahli mengatakan pengasuhan anak adalah bagian penting dan mendasar, menyiapkan anak untuk menjadi masyarakat yang baik. Terlihat bahwa pengasuhan anak menunjuk kepada pendidikan umum yang diterapkan. Pengasuhan terhadap anak berupa suatu proses interaksi antara orangtua dengan anak. Interaksi tersebut mencakup perawatan seperti dari mencukupi kebutuhan makan, mendorong keberhasilan dan melindungi, maupun mensosialisasi yaitu mengajarkan tingkah laku umum yang diterima oleh masyarakat.

  Pendampingan orangtua diwujudkan melalui pendidikan cara-cara orangtua dalam mendidik anaknya. Cara orangtua mendidik anak disebut sebagai pola pengasuhan. Interaksi anak dengan orangtua, anak cenderung menggunakan cara-cara tertentu yang dianggap paling baik bagi anak. Disinilah letaknya terjadi beberapa perbedaan dalam pola asuh. Disatu sisi orangtua harus bisa menentukan pola asuh yang tepat dalam mempertimbangkan kebutuhan dan situasi anak, disisi lain sebagai seseorang yang dicita-citakan yang tentunya lebih baik dari orangtuanya (Jas dan Rachmadiana, 2004).

2.2.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Pola Asuh

  Adapun faktor yang memengaruhi pola asuh adalah : (Edwards, 2006) a. Pendidikan orangtua

  Pendidikan dan pengalaman orangtua dalam perawatan anak akan memengaruhi persiapan mereka menjalankan pengasuhan. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menjadi lebih siap dalam menjalankan peran pengasuhan antara lain: terlibat aktif dalam setiap pendidikan anak, mengamati segala sesuatu dengan berorientasi pada masalah anak, selalu berupaya menyediakan waktu untuk anak-anak dan menilai perkembangan fungsi keluarga dan kepercayaan anak.

  Hasil riset dari Sir Godfrey Thomson (Supartini, 2004) menunjukkan bahwa pendidikan diartikan sebagai pengaruh lingkungan atas individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang tetap atau permanen di dalam kebiasaan tingkah laku, pikiran dan sikap. Orangtua yang sudah mempunyai pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak akan lebih siap menjalankan peran asuh, selain itu orangtua akan lebih mampu mengamati tanda-tanda pertumbuhan dan perkembangan yang normal.

  b.

  Lingkungan Lingkungan banyak memengaruhi perkembangan anak, maka tidak mustahil jika lingkungan juga ikut serta mewarnai pola-pola pengasuhan yang diberikan orangtua terhadap anaknya. c.

  Budaya Sering kali orangtua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengasuh anak, kebiasaan-kebiasaan masyarakat disekitarnya dalam mengasuh anak. Karena pola-pola tersebut dianggap berhasil dalam mendidik anak kearah kematangan. Orangtua mengharapkan kelak anaknya dapat diterima dimasyarakat dengan baik, oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam mengasuh anak juga memengaruhi setiap orangtua dalam memberikan pola asuh terhadap anaknya (Anwar, 2000).

2.2.3 Macam Pola Asuh Orangtua

  Baumrind (1991) mengemukakan 3 (tiga) macam pola pengasuhan orangtua yakni : authoritarian (otoriter), authoritative (demokratis), permissive (permisif).

  Ketiga pola pengasuhan tersebut memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri dan masing- masing memberikan efek yang berbeda terhadap tingkah laku anak.

1. Authoritarian (otoriter)

  Pola pengasuhan otoriter merupakan suatu bentuk pengasuhan orangtua yang pada umumnya sangat ketat dan kaku ketika berinteraksi dengan anaknya. Orangtua yang berpola otoriter menekankan adanya kepatuhan seorang anak terhadap peraturan yang mereka buat tanpa banyak basa-basi, tanpa penjelasan kepada anaknya mengenai sebab dan tujuan diberlakukannya peraturan tersebut, cenderung menghukum anaknya yang melanggar peraturan atau menyalahi norma yang berlaku.

  Orangtua yang demikian yakin bahwa cara yang keras merupakan cara yang terbaik orangtua tidak mau memberi kesempatan kepada anaknya untuk mengatur diri mereka sendiri, serta selalu mengharapkan anaknya untuk mematuhi semua keinginannya. Orangtua yang berpola otoriter menyakini bahwa anaknya akan menerima dengan baik setiap perkataan atau setiap perintah orangtuanya dan setiap anak harus melaksanakan tingkah laku yang dipandang baik oleh orangtuanya. Orangtua akan mencoba mengontrol anak dengan peraturan-peraturan yang mereka tetapkan dan selalu memberi perintah tanpa mau memberikan penjelasan. Orangtua selalu menuntut, kurang memberikan otonomi pada anaknya, dan seringkali gagal memberikan kehangatan kepada anaknya. Orangtua yang berpola otoriter selalu berusaha mengarahkan, menentukan dan menilai tingkah laku serta sikap anaknya sesuai dengan standar peraturan yang ditetapkannya sendiri. Standar yang dimaksud biasanya didasarkan pada standar yang mutlak seperti nilai-nilai ajaran dan norma- norma agama, sehingga menutup kemungkinan bagi anaknya untuk dapat membantah orangtuanya. Pola pengasuhan orangtua yang demikian sangat berpotensi menimbulkan konflik dan perlawanan seorang anak, terutama saat anak sudah menginjak masa remaja, atau sebaliknya akan menimbulkan sikap ketergantungan seorang anak terhadap orangtuanya (Rice, 1996). Pola pengasuhan ini menyebabkan remaja akan kehilangan aktivitas kreatifnya dan akan tumbuh menjadi anak yang tidak efektif dalam kehidupan dan interaksinya dengan lingkungan sosial (Santrock, 2003). Seorang anak yang dibesarkan dengan pola pengasuhan ini cenderung akan mengucilkan dirinya dan kurang berani dalam menghadapi tantangan tugas dan tidak

  Seorang anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga atau orangtua dengan pola pengasuhan otoriter cenderung menunjukkan sikap yang patuh dan akan menyesuaikan dirinya pada standar-standar tingkah laku yang sudah diterapkan oleh orangtuanya, namun dibalik itu sesungguhnya mereka merasa menderita dengan kehilangan rasa percaya diri dan pada umumnya lebih tertekan dan lebih menderita dibandingkan kelompok peer groupnya. Sikap-sikap remaja yang demikian akhirnya akan menyebabkan anak cenderung untuk selalu tergantung pada orangtuanya, cenderung kurang mampu mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, serta cenderung tidak mampu untuk bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya. Hal ini disebabkan karena semuanya disandarkan pada aturan dan kehendak orangtunya. Semua itu menunjukkan bahwa seorang anak yang berada dalam asuhan orangtua yang otoriter akan tumbuh menjadi anak yang tidak mandiri dalam hidupnya kelak.

2. Authoritative (demokratis)

  Bentuk perlakuan orangtua saat berinteraksi dengan anaknya dengan cara melibatkan anak dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan keluarga dan diri anaknya merupakan pola pengasuhan demokratis. Orangtua yang demokratis bersikap terbuka, fleksibel dan memberikan kesempatan kepada anaknya untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan peraturan yang rasional. Menyebabkan orangtua mempunyai hubungan yang dekat dengan anak-anaknya dan selalu mendorong anaknya untuk ikut terlibat dalam peraturan dan melaksanakan peraturan tersebut.

  Orangtua yang memiliki pola pengasuhan demokratis bertingkah laku hangat tetapi tetap tegas. Mereka menerapkan seperangkat standar untuk mengatur anak- anaknya, tetapi sekaligus berusaha membangun harapan-harapan yang disesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan, serta kemampuan dan kebutuhan anak- anaknya. Orangtua juga menunjukkan kasih sayang, mau mendengarkan dengan sabar pandangan anak-anaknya, dan mendukung keterlibatan anaknya dalam membuat keputusan di dalam keluarga. Kebiasaan-kebiasaan demokrasi, saling menghargai dan menghormati hak-hak orangtua dan anak-anaknya ditanamkan dalam keluarga yang demokratis.

  Dalam keluarga yang demokratis, keputusan-keputusan yang penting akan diputuskan secara bersama-sama walaupun keputusan akhir seringkali berada di tangan orangtua. Anak-anak diberikan kesempatan untuk memberikan alasan mengapa mereka ingin memutuskan atau akan melakukan sesuatu. Apabila alasan- alasan itu masuk akal dan dapat diterima, maka orangtua yang demokratis akan memberikan dukungan. Tetapi jika orangtua tidak menerima, maka orangtua akan menjelaskan alasannya mengapa dirinya tidak menerima keputusan anaknya tersebut. Pola interaksi yang demikian akan memberikan kesempatan kepada orangtua dan anak untuk memahami pandangan orang lain yang pada akhirnya dapat mengantar pada suatu keputusan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak (Santrock, 2003).

  Orangtua yang demokratis selalu berusaha menanamkan nilai-nilai kemandirian dan pengendalian diri yang tinggi pada anak-anaknya, sekaligus tetap rasional, berorientasi pada masalah, terlibat dalam perbincangan dan penjelasan dengan anak-anak, dan memegang teguh tingkah laku yang disiplin selalu ditanamkan oleh orangtua yang menerapkan pola pengasuhan demokratis. Dalam mengatur hubungan diantara anggota keluarganya, orangtua yang demokratis akan menggunakan otoritasnya namun mengekspresikannya melalui bimbingan yang disertai dengan pengertian dan kasih sayang. Anak-anaknya akan didorong untuk dapat melepaskan diri (selfdetach) secara berangsur-angsur dari ketergantungan terhadap keluarga.

  Santrock (2003) berpendapat bahwa kualitas pola interaksi dan pola pengasuhan orangtua yang demokratis akan memunculkan keberanian, motivasi, dan kemandirian anak-anaknya dalam mengahdapi masa depannya. Pola pengasuhan seperti ini dapat mendorong tumbuhnya kemampuan sosial, meningkatkan rasa percaya diri, dan tanggung jawab sosial pada seorang anak. Anak-anak yang hidup dalam keluarga yang demokratis akan menjalani kehidupannya dengan rasa penuh semangat dan bahagia, percaya diri, dan memiliki pengendalian diri dalam mengelola emosinya sehingga tidak akan bertindak anarkis. Mereka juga akan memiliki kemandirian yang tinggi, mampu menjalin persahabatan dan kerja sama yang baik, dan memiliki kematangan sosial dalam berinteraksi dengan keluarga dan lingkungannya.

3. Permissive (permisif)

  Pola-pola perlakuan orangtua saat berinteraksi dengan anaknya dengan pengawasan yang ketat merupakan pola pengasuhan yang permisif. Orangtua yang permisif akan memberikan kebebasan penuh kepada anak-anaknya untuk bertindak sesuai dengan keinginan anaknya. Orangtua membuat sebuah peraturan tertentu namun anak-anaknya tidak menyetujui atau tidak mematuhinya, maka orangtua yang permisif cenderung akan bersikap mengalah dan akan mengikuti kemauan anak- anaknya, ketika anak-anaknya melanggar suatu peraturan di dalam keluarga, orangtua dengan pola pengasuhan permisif jarang menghukum anak-anaknya, bahkan cenderung berusaha untuk mencari pembenaran terhadap tingkah laku anaknya yang melanggar suatu peraturan tersebut. Orangtua yang seperti demikian umumnya membiarkan anaknya untuk menentukan tingkah lakunya sendiri. Mereka tidak menggunakan kekuasaan atau wewenangnya sebagai orangtua dengan tegas saat mengasuh dan membesarkan anaknya.

  Orangtua yang cenderung atau bahkan tanpa menggunakan kontrol terhadap anak remajanya dan lemah dalam cara-cara mendisiplinkan anak remajanya merupakan ciri dari pola pengasuhan dari orangtua yang permisif. Pola pengasuhan demikian dipilih oleh orangtua yang permisif karena mereka menganggap bahwa anak harus memiliki kebebasannya sendiri secara luas, bukan harus dikontrol oleh orang dewasa. Orangtua yang permisif bersikap lunak, lemah, dan pasif dalam persoalan disiplin. Mereka cenderung tidak menempatkan tuntutan-tuntutan pada tingkah laku anaknya, dan memberikan kebebasan yang lebih tinggi untuk bertindak sesuai dengan kehendak anak. Kontrol atau pengendalian yang ketat terhadap terhadap kebebasan yang dapat menganggu perkembangan seorang anak (Steinberg, 1999).

  Menurut Baumrind (1971), anak yang berada dalam pengasuhan orangtua yang permisif sangat tidak matang dalam berbagai aspek psikososial. Mereka sulit mengendalikan desakan hati (impulsive), tidak patuh dan menentang apabila diminta untuk mengerjakan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan-keinginan sesaatnya.

  Mereka juga terlalu menuntut, sangat tergantung pada orang lain, kurang gigih dalam mengerjakan tugas-tugas dan tidak tekun dalam belajar di sekolah. Tingkah laku sosial anak kurang matang, kadang-kadang menunjukkan tingkah laku agresif, pengendalian dirinya amat buruk, tidak mampu mengarahkan diri dan tidak bertanggungjawab (Santrock, 2003).

  Meskipun di satu sisi pola pengasuhan yang permisif dapat memberikan anak kebebasan untuk bertingkah laku, namun di sisi lain tidak selalu dapat meningkatkan tingkah laku bertanggungjawab. Anak yang mendapatkan kebebasan tanpa adanya pembatasan yang jelas cenderung bersifat suka menang sendiri dan mengutamakan kepentingan dirinya sendiri kurangnya bimbingan dan pengarahan dari orangtua menyebabkan mereka merasa tidak aman, tidak punya orientasi, dan penuh keraguan.

  Jika anak menafsirkan bahwa kelonggaran pengawasan dari orangtua mereka sebagai bentuk dari tidak adanya perhatian atau penolakan terhadap diri mereka, maka mereka akan menyalahkan orangtuanya sebab dipandang telah lalai memperingatkan dan menuntun mereka (Rice, 1996).

  Remaja dari orangtua yang memiliki pola pengasuhan permisif tidak terlibat, ketika mereka tumbuh menjadi remaja, biasanya sering mencari pelarian dari rasa kesepiannya dengan cara mencari penerimaan dari orang lain. Akibatnya mereka seringkali terlibat dalam masalah-masalah perilaku dibandingkan dengan anak yang memiliki orangtua dengan pola pengasuhan demokratis. Masalah perilaku tersebut misalnya seks bebas, penggunaan obat-obatan terlarang, maupun berbagai bentuk kenakalan remaja lainnya sebagai salah satu cara atau bentuk mereka dalam mencari penerimaan dari orang lain. Secara emosi, remaja yang seperti ini mudah sekali mengalami depresi dan sering merasa ditolak. Dalam banyak kejadian, mereka tumbuh dengan perasaan ingin melawan, menentang, dan rasa marah yang bergejolak kepada orangtuanya karena merasa telah diabaikan dan dikucilkan. Mereka akan mempunyai harga diri yang rendah, tidak punya kontrol diri yang baik, kemampuan sosialnya buruk, dan merasa bukan bagian yang penting untuk orangtuanya. Bukan tidak mungkin serangkaian dampak buruk ini akan terbawa sampai ia dewasa. Tidak tertutup kemungkinan pula anak akan melakukan hal yang sama terhadap anaknya kelak.

2.3 Peer group

2.3.1 Pengertian Peer group

  Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, peer group diartikan sebagai kawan, sahabat atau orang yang sama-sama bekerja atau berbuat (Anonim, 2005). Sementara dalam Mu’tadin (2002) menjelaskan bahwa peer group adalah kelompok orang-orang yang seumur dan mempunyai kelompok sosial yang sama, seperti teman sekolah atau teman sekerja. Peer group sebagai sebuah kelompok sosial sering didefinisikan sebagai semua orang yang memiliki kesamaan ciri-ciri seperti kesamaan tingkat usia. Lebih lanjut Hartup dalam Santrock (2003) mengatakan bahwa peer group adalah anak-anak atau remaja dengan tingkat usia atau kedewasaan yang sama. Dan lebih ditekankan pada kesamaan tingkah laku atau psikologis. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka saya mendefinisikan peer group sebagai interaksi individu pada anak-anak atau remaja dengan tingkat usia yang sama serta melibatkan keakraban yang relatif besar diantara kelompoknya

2.3.2 Pengaruh Peer group terhadap Perilaku Seksual

  Peer group adalah orang dengan tingkat umur dan kedewasaan yang kira-kira

  sama. Dalam pembentukan kelompok peer group selain diperhatikan persamaan usia, para remaja juga memperhatikan persamaan-persamaan lainnya, seperti hobi, status sosial, ekonomi, latar belakang keluarga, persamaan sekolah, tempat tinggal, agama dan juga ras (Ghozali, 2005).

  Dalam perkembangan sosial remaja maka remaja mulai memisahkan diri dari orangtua dan mulai memperluas hubungan dengan peer group. Pada umumnya remaja menjadi anggota kelompok usia sebaya (peer group). Kelompok sebaya menjadi begitu berarti dan sangat berpengaruh dalam kehidupan sosial remaja.

  Kelompok sebaya juga merupakan wadah untuk belajar kecakapan-kecakapan sosial, karena melalui kelompok remaja dapat mengambil berbagai peran. Di dalam kesenangannya dan keterikatannya dengan peer group begitu kuat. Kecenderungan keterikatan (kohesi) dalam kelompok tersebut akan bertambah dengan meningkatnya frekuensi interaksi di antara anggota-anggotanya (Soetjiningsih, 2009).

  Remaja menganggap teman sebayanya sebagai sesuatu hal yang penting. Remaja menganggap kelompok sebayanya memberikan sebuah dunia tempat kawula muda mulai melakukan sosialisasinya, dimana nilai-nilai yang berlaku bukanlah nilai- nilai yang ditetapkan orang dewasa melainkan oleh teman-temannya. Remaja banyak menghabiskan waktu dengan teman-teman sebayanya melebihi waktu yang mereka habiskan dengan orangtua dan anggota keluarga yang lain. Karena remaja lebih banyak berada diluar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku lebih besar dari pada pengaruh keluarga Hurlock (2003).

  Remaja dan dorongan seksual adalah dua hal yang sangat berhubungan erat sehingga tidak bisa dipisahkan. Ini di karenakan fase remaja, mereka umumnya memiliki dorongan seksual yang sangat kuat, sedangkan resiko akibat kegiatan seksual yang menjurus pada hubungan seks belum sepenuhnya mereka ketahui.Umumnya remaja lebih sering melakukan kegiatan bersama kelompok teman- sebayanya, hal ini memicu munculnya pergaulan yang menganut nilai-nilai kebebasan dalam berinteraksi dengan lawan jenis akan ia turuti demi memperoleh pengakuan dan penerimaan dari kelompoknya. Akan dianggap kuno dan ketinggalan

  Menurut Santosa (2009), timbulnya latar belakang kelompok sebaya adalah sebagai berikut :

  1. Adanya perkembangan proses sosialisasi Pada usia remaja (usia anak SMP dan SMA), individu mengalami proses sosialisasi. Ketika sedang belajar mereka memperoleh kemantapan sosial untuk mempersiapkan diri menjadi orang dewasa. Dengan demikian, individu mencari kelompok yang sesuai dengan keinginannya bisa saling berinteraksi satu sama lain dan merasa diterima dalam kelompok.

  2. Kebutuhan untuk menerima penghargaan Secara psikologis, individu butuh penghargaan dari orang lain agar mendapat keputusan dari apa yang telah dicapainya. Oleh karena itu, individu bergabung dengan peer groupnya yang mempunyai kebutuhan psikologis yang sama yaitu ingin dihargai. Dengan demikian, individu merasakan keberhasilan atau kekompakan dalam kelompok peer groupnya.

  3. Perlu perhatian dari orang lain Individu perlu perhatian dari orang lain yang merasa senasib dengan dirinya. Hal ini dapat ditemui dalam kelompok sebayanya, ketika individu merasa sama dengan lainnya, mereka tidak merasakan adanya perbedaan status seperti jika mereka bergabung dunia orang dewasa.

  4. Ingin menemukan dunianya Di dalam kelompok sebaya ini dapat menemukan dunianya yang berbeda segala bidang, misalnya tentang hobby dan hal-hal yang menarik lainnya bagi mereka pada masa remaja.

  Dalam kelompok peer group terjadi interaksi yang saling memengaruhi meliputi pola hubungan, konformitasi, kepemimpinan kelompok dan adaptasi.

2.3.3 Pola Hubungan

  Interaksi dengan peer group merupakan permulaan hubungan persahabatan dan hubungan dengan sebaya. Pola persahabatan pada anak sekolah pada umumnya terjadi atas dasar interest dan aktivitas bersama. Pola hubungan persahabatan dan hubungan sebaya bersifat timbal balik dan memiliki sifat-sifat seperti apa saling pengertian, saling membantu, saling percaya dan saling menghargai dan menerima (Monks, 2006).

  Menurut Dariyo 2004 persahabatan merupakan hubungan antar individu yang ditandai dengan keakraban, saling percaya, menerima satu dengan yang lain, mau berbagai perasaan, pemikiran dan pengalaman, serta kadang-kadang melakukan aktivitas bersama. Dengan persahabatan, seorang remaja memperoleh teman untuk bergaul, sehingga akan dapat mengembangkan keterampilan sosial, konsep diri, harga diri dan akan memperoleh dukungan emosional bila menghadapi suatu masalah.

  Antara teman dan sahabat memiliki perbedaan, walaupun keduanya merupakan orang lain yang berhubungan dengan orang individu. Seorang teman, biasanya tidak memiliki hubungan emosional yang dekat, dibandingkan dengan seorang sahabat. Akan tetapi hubungan antar individu yang ditandai dengan misalnya sikap egois, yakni seseorang akan berteman dengan orang lain, jika orang itu dianggap dapat memberi keuntungan terhadap dirinya. Sementara itu, seorang sahabat yang sejati akan memiliki kedekatan secara emosional (emotional

  

attachment) dengan individu yang dipercayainya. Karena dipercaya, maka seorang

  sahabat akan mau menjadi tempat pencurahan perasaan baik suka maupun duka dari sahabatnya, demikian pula sebaliknya. Hubungan akrab tersebut, bukan sekedar basa- basi yang nampak dari sisi luar saja, tetapi keakraban tersebut merupakan cerminan dari sifat ketulusan (kemurnian) hati yang paling dalam.

  Remaja sebagai kelompok cenderung lebih “memilih-milih” dalam mencari rekan atau teman-teman baik dibandingkan ketika masih kanak-kanak. Oleh karena itu, remaja dengan latar belakang sosial, agama atau sosial ekonominya berbeda dianggap kurang disenangi dibandingkan dengan teman remaja dengan latar belakang yang sama. Bila menghadapi teman-teman yang dianggap kurang cocok ini, ia cenderung tidak memperdulikan dan tidak menyatakan perasaan superioritasnya sebagaimana dilakukan oleh anak yang lebih besar (Hurlock, 2003).

2.3.4 Konformitas

  Menurut Rakhmat (2008), konformitas adalah perubahan perilaku atau kepercayaan menuju (norma) kelompok sebagai akibat tekanan kelompok yang real atau yang dibayangkan. Individu mengikuti kelompok karena menganggap kelompok sebagai petunjuk untuk memiliki alternatif. Pengaruh sosial normatif sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari seperti jejaka yang menyesuaikan pendapatnya dengan pendapat calon mertuanya, siswa yang mengiyakan pendapat gurunya, adalah contoh- contoh pengaruh sosial normatif.

  Dalam tiap kelompok sebaya, kecenderungan kohesi bertambah dengan frekuensi interaksi dan norma-norma kelompok tertentu. Pemberian norma tingkah laku oleh kelompok sebaya (peers group). Norma kelompok dapat berbeda sekali dengan norma yang dibawa remaja dari keluarga yang sudah lebih dihayatinya karena sudah sejak kecil diajarkan oleh orangtua. Bila norma kelompok lebih baik dari norma keluarga, maka hal tersebut tidak memberikan masalah apapun, asalkan remaja betul-betul meyakini norma kelompok yang dianutnya. Tetapi justru adanya paksaan dari norma kelompok, menyulitkan bahkan tidak memungkinkan dicapainya keyakinan diri. Sifat “kolektif”nya akan menguasai tingkah laku individu. Kecenderungan untuk membatasi rasionalitas dan berpikir rasional ini tidak membantu perkembangan kepribadian yang sebenarnya. Sementara orang menilai konformitas kelompok ini positif sebagai upaya menentukan identitas diri (Monks, 2006).

  Konformitas kelompok ada hubungannya dengan kontrol eksternal. Remaja yang kontrol eksternalnya lebih tinggi akan lebih peka terhadap pengaruh kelompok.

  Lefcourt (1966) dalam Monks (2006) menemukan bahwa remaja yang berasal dari kelas sosial lebih rendah mempunyai kecenderungan yang lebih banyak untuk melakukan konformitas dengan kelompoknya. Bila kelompok tersebut dirasa menguntungkan maka remaja akan berbuat sesuai dengan tuntutan kelompoknya, perlu disadari bahwa moral dari kelas sosial yang lebih tinggi bukan merupakan moral kelas sosial yang lebih rendah.

  Perkembangan sosial pada masa remaja lebih melibatkan kelompok peer

  

group dibanding orangtua. Dibanding masa kanak-kanak, remaja lebih banyak

  melakukan kegiatan di luar rumah seperti kegiatan sekolah, ekstrakurikuler dan bermain dengan teman. Dengan demikian, pada masa remaja peran kelompok teman sangat besar. Pada diri remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat. Walaupun remaja telah mencapai tahap perkembangan kognitif yang memadai untuk menentukan tindakannya sendiri, namun penentuan diri remaja dalam berperilaku banyak dipengaruhi oleh tekanan dari kelompok peer group.

  Kelompok peer group diakui dapat memengaruhi pertimbangan dan keputusan seorang remaja tentang perilakunya. Conger (1991) dalam Papalia dan Olds (2009) mengemukakan bahwa kelompok peer group merupakan sumber referensi utama bagi remaja dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya hidup. Bagi remaja, teman-teman menjadi sumber informasi misalnya mengenai bagaimana cara berpakaian yang menarik, musik, film apa yang bagus dan seks.

  Besarnya peranan peer group dalam kehidupan sosial remaja mendorong remaja untuk membentuk kelompok-kelompok usia sebaya, kelompok tersebut bisa merupakan kelompok yang besar karena anggotanya banyak, yang disebut sebagai

  

crowd tetapi dapat juga kelompok kecil yang disebut sebagai clique. Kelompok besar

  biasanya terdiri dari bebreapa clique. Karena jumlah anggotanya sedikit, maka clique juga akan diikuti juga dengan adanya perilaku konformitas kelompok, dimana remaja akan berusaha untuk dapat menyesuaikan dan menyatu dengan kelompok agar mereka dapat diterima oleh kelompoknya (Soetjiningsih, 2009).

  Mengatakan bahwa konformitas merupakan merupakan produk interaksi antara faktor-faktor situasional dan faktor-faktor personal. Faktor-faktor situasional yang menentukan konformitas adalah kejelasan situasi, konteks situasi, cara menyampaian penilaian, karakteristik sumber pengaruh, ukuran kelompok dan tingkat kesepakatan kelompok. Beberapa penelitian membuktikan bahwa pengaruh norma kelompok pada konformitas anggota-anggotanya bergantung pada ukuran mayoritas anggota kelompok yang menyatakan penilaian. Sampai tingkat tertentu makin besar ukurannya, makin tinggi tingkat konformitasnya.

2.3.5 Kepemimpinan Kelompok

  Kepemimpinan adalah komunikasi yang secara positif memengaruhi kelompok untuk bergerak ke arah tujuan kelompok. Seorang pemimpin ditunjuk atau muncul setelah proses komunikasi kelompok. Apapun yang terjadi, kepemimpinan adalah faktor yang paling menentukan keefektifan kelompok. Klasifikasi gaya kepemimpinan yang klasik dilakukan oleh White dan Lippit (1960) yaitu gaya kepemimpinan otoriter, demokratis dan laisez faire. Kepemimpinan otoriter ditandai dengan keputusan dan kebijakan yang seluruhnya ditentukan oleh pemimpin. Kepemimpinan demokratis menampilkan pemimpin yang mendorong dan membantu anggota kelompok untuk membicarakan dan memutuskan semua kebijakan. Kepemimpinan laissez faire memberikan kebebasan penuh bagi kelompok untuk mengambil keputusan individual dengan partisipasi pemimpin yang minimal.

  Dari tiga kepemimpinan tersebut, kepemimpinan otoriter menimbulkan permusuhan, agresi dan sekaligus perilaku egosentris. Di sini, tampak lebih banyak ketergantungan dan kurang kemandirian anggota kelompok, di samping adanya kekecewaan yang tersembunyi. Kepemimpinan demokratis terbukti paling efisien, dan menghasilkan kuantitas kerja yang lebih tinggi daripada kepemimpinan otoriter. Di dalamnya terdapat lebih banyak kemandirian dan persahabatan. Pemimpin laissez faire hanya memiliki kelebihan dalam menyampaikan informasi saja.

2.3.6 Adaptasi Peer group dapat memberi pengaruh positif atau negatif pada remaja.

  Memiliki teman-teman yang nakal meningkatkan resiko remaja menjadi nakal pula (Santrock, 2003). Remaja menjadi nakal karena mereka tersosialisasi dan beradaptasi ke dalam kenakalan, terutama oleh kelompok pertemanan. Sebaliknya secara positif, menurut Vembriarto dalam Bantarti (2000) kelompok peer group adalah tempat trejadinya proses belajar sosial atau adaptasi, yakni suatu proses dimana individu mengadopsi dan beradaptasi dengan kebiasaan-kebiasaan, sikap, gagasan, keyakinan, nilai-nilai dan pola tingkah laku dalam bermasyarakat dan mengembangkannya menjadi suatu kesatuan sistem dalam diri pribadinya.

  Karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman-peer

  

group sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh teman-peer pengaruh keluarga. Misalnya, sebagian besar remaja mengetahui bahwa bila mereka memakai model pakaian yang sama dengan pakaian anggota kelompok yang poppuler, maka kesempatan baginya untuk diterima oleh kelompok menjadi lebih besar. Demikian pula bila anggota kelompok mencoba minum alkohol, obat-obatan terlarang, merokok, seks bebas maka remaja cenderung mengikutinya tanpa memperdulikannya perasaan mereka sendiri (Hurlock, 2003).

2.3.7 Penerimaan dan Penolakan Peer group

  Dalam peer group, merupakan kenyataan adanya remaja yang diterima dan ditolak. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut :

1. Faktor-faktor yang menyebabkan seorang remaja diterima a.

  Penampilan (performance) dan perbuatan meliputi antara lain : tampang yang baik, atau paling tidak rapi dan aktif dalam kegiatan-kegiatan kelompok b.

  Kemampuan pikir antara lain : mempunyai inisiatif, banyak memikirkan kepentingan kelompok dan mengemukakan buah pikirannya c.

  Sikap, sifat, perasaan antara lain : bersikap sopan, memperhatikan orang lain, penyabar atau dapat menahan marah jika berada dalam keadaan yang tidak menyenangkan dirinya d. Pribadi meliputi : jujur dan dapat dipercaya, bertanggung jawab dan suka menjalankan pekerjaannya, mentaati peraturan-peraturan kelompok, mampu menyesuaikan diri dalam berbagai situasi dan pergaulan sosial.

2. Faktor-faktor yang menyebabkan seorang remaja ditolak a.

  Penampilan (performance) dan perbuatan antara lain meliputi : sering menantang, malu-malu, dan senang menyendiri b.

  Kemampuan pikir meliputi : bodoh sekali atau sering disebut tolol c. Sikap, sifat meliputi : suka melanggar norma dan nilai-nilai kelompok, suka menguasai anak lain, suka curiga dan suka melaksanakan kemauan sendiri d.

  Ciri lain : faktor rumah yang terlalu jauh dari tempat teman sekelompok Arti penting dari penerimaan atau penolakan peer group dalam kelompok bagi seseorang remaja adalah bahwa mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pikiran, sikap, perasaan, perbuatan-perbuatan dan penyesuaian diri remaja.

  Akibat langsung dari penerimaan peer group bagi seseorang remaja adalah adanya rasa berharga dan berarti serta dibutuhkan bagi kelompoknya. Hal yang demikian ini akan menimbulkan rasa senang, gembira, puas bahkan rasa bahagia. Hal yang sebaliknya dapat terjadi bagi remaja yang ditolak oleh kelompoknya yakni adanya frustasi yang menimbulkan rasa kecewa akibat penolakan atau pengabaian itu

2.4 Landasan Teori

  Meningkatnya hubungan remaja dengan peer groupnya bukan berarti peran orangtua dalam kehidupan anaknya menjadi tidak penting. Hubungan dengan orangtua akan memengaruhi pembentukan hubungan dengan peer group, begitu juga sebaliknya Hardy & Hayes 1988.

Gambar 2.1 Landasan Teori Menurut Calhoun & Acocella (1990)Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian Pola Asuh Orangtua

  Peer group Konsep Diri Remaja tentang Perilaku Seksual Orangtua Peer group

  Lingkungan / Masyarakat Konsep Diri

Dokumen yang terkait

Pengaruh Pola Asuh Orangtua dan Peer Group Terhadap Konsep Diri Remaja Tentang Perilaku Seksual Di SMA Dharma Bakti Medan Tahun 2014

5 77 113

Pengaruh Pola Asuh Orangtua Dan Peer Group Terhadap Konsep Diri Remaja Tentang Perilaku Seksual Di Sma Negeri 2 Dan Man 2 Medan Tahun 2012

7 77 190

Pengaruh Pola Asuh Orangtua dan Peer Group terhadap Konsep Diri Remaja tentang Perilaku Seksual di SMA Negeri 2 dan MAN 2 Medan Tahun 2012

4 52 190

Usaha Meningkatkan Konsep Diri yang Positif Siswa Kelas XII TKJ 2 SMKN 2 Pinrang Melalui Konseling Peer Group

0 1 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep diri 2.1.1. Pengertian Konsep diri - Gambaran Konsep Diri Narapidana Remaja di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Anak Tanjung Gusta Medan

0 0 14

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Diri 2.1.1. Definisi - Pengaruh Pola Asuh Orangtua dan Peer Group Terhadap Konsep Diri Remaja Tentang Perilaku Seksual Di SMA Dharma Bakti Medan Tahun 2014

0 0 17

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pengaruh Pola Asuh Orangtua dan Peer Group Terhadap Konsep Diri Remaja Tentang Perilaku Seksual Di SMA Dharma Bakti Medan Tahun 2014

0 0 11

Pengaruh Pola Asuh Orangtua dan Peer Group Terhadap Konsep Diri Remaja Tentang Perilaku Seksual Di SMA Dharma Bakti Medan Tahun 2014

0 0 16

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Remaja 2.1.1 Pengertian Remaja - Studi Kualitatif Perilaku Seksual Remaja Di Kecamatan Medan Petisah Tahun 2012

0 0 43

Pengaruh Pola Asuh Orangtua Dan Peer Group Terhadap Konsep Diri Remaja Tentang Perilaku Seksual Di Sma Negeri 2 Dan Man 2 Medan Tahun 2012

0 0 69