BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Diri 2.1.1. Definisi - Pengaruh Pola Asuh Orangtua dan Peer Group Terhadap Konsep Diri Remaja Tentang Perilaku Seksual Di SMA Dharma Bakti Medan Tahun 2014

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Diri

  2.1.1. Definisi

  Konsep diri adalah evaluasi yang menyangkut bidang-bidang tertentu dari diri (Santrock, 2007). Dalam kamus besar bahasa Indonesia istilah konsep memiliki arti gambaran, proses atau hal-hal yang digunakan oleh akal budi untuk memahami sesuatu. Istilah diri berarti bagian bagian dari individu yang terpisah dari yang lain. Konsep diri dapat diartikan sebagai gambaran seseorang mengenai dirinya sendiri atau penilaian terhadap dirinya sendiri (KBBI,2008).

  Stuart & Sudenn (1998) dalam Keliat (1994) konsep diri adalah semua ide, pikiran, keyakinan, kepercayaan yang membuat seseorang mengetahui tentang dirinya dan memengaruhi lingkungannya dengan orang lain.

  2.1.2. Jenis Konsep Diri

  Dalam perkembangannya konsep diri terbagi dua, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif (Calhoun dan Acocella, 1990) : a)

  Konsep diri positif. Lebih kepada penerimaan diri bukan sebagai suatu kebanggan yang besar tentang diri. Konsep diri yang positif bersifat stabil dan bervariasi. Individu yang memiliki konsep diri positif adalah individu yang tahu betul tentang dirinya, dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam–macam tentang dirinya sendiri menjadi positif dan dapat menerima keberadaan orang lain. Individu yang memiliki konsep diri positif akan merancang tujuan – tujuan yang sesuai dengan realitas, yaitu tujuan yang memiliki kemungkinan besar untuk dapat di capai, mampu menghadapi kehidupan di depannya serta menganggap bahwa hidup adalah suatu proses penuaan.

  b) Konsep diri negatif. a). Pandangan individu tentang dirinya sendiri benar-benar tidak teratur, tidak memiliki perasaan kestabilan dan keutuhan diri. Individu tersebut benar-benar tidak tahu siapa dirinya, kekuatan dan kelemahannya atau yang di hargai dalam kehidupannya. b). Pandangan tentang dirinya sendiri terlalu stabil dan teratur. Ini bisa terjadi karena individu dididik dengan cara yang sangat keras, sehingga menciptakan citra diri yang tidak mengijinkan adanya penyimpangan dari seperangkat hukum yang dalam pikirannya merupakan cara hidup yang tepat.

2.1.3. Komponen Konsep Diri

  1) Citra Tubuh (Body Image)

  Sikap, persepsi, kenyakinan dan pengetahuan individu secara sadar terhadap tubuhnya yaitu ukuran, bentuk, struktur, fungsi, keterbatasan, makna dan objek yang kontak secara terus menerus (anting, mak-up, kontak lensa, pakaian, kursi roda) baik masa lalu maupun sekarang. Citra tubuh membentuk persepsi seseorang tentang tubuh, baik secara internal maupun eksternal yang di pengaruhi oleh pandangan pribadi tentang karakteristik, kemampuan fisik, persepsi dari pandangan orang lain, pertumbuhan kognitif, kemampuan fisik, persepsi dari pandangan orang lain, pertumbuhan kognitif dan perkembangan fisik, serta sikap dan nilai kultural juga memengaruhi citra tubuh.

  2) Ideal Diri (Self-Ideal)

  Persepsi individual tentang bagaimana seorang individu harus berperilaku berdasarkan standart, tujuan, keinginan atau nilai pribadi tertentu yang sering di sebut bahwa ideal diri sama dengan citi-cita, keinginan, harapan tentang diri sendiri. Ideal diri mulai berkembang pada masa kanak-kanak yang dipengaruhi orang penting pada dirinya yang memberikan keuntungan dan harapan. Pada masa remaja ideal diri akan dibentuk melalui proses identifikasi pada orangtua, guru dan teman.

  3) Harga Diri (Self-Esteem)

  Penilaian diri terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal diri. Frekuensi pencapaian tujuan akan menghasilkan harga diri yang rendah atau harga diri yang tinggi. Jika individu selalu sukses, maka cenderung harga diri tinggi. Jika individu sering gagal maka cenderung harga diri rendah. Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain. Aspek-aspek utamanya adalah dicintai dan menerima penghargaan dari orang lain. Harga diri sangat mengancam pada masa pubertas, karena pada saat ini harga diri mengalami perubahan, karena banyak keputusan yang harus di buat menyangkut dirinya sendiri.

  Remaja di tuntut untuk menentukan pilihan, posisi, peran dan memutuskan apakah remaja mampu meraih sukses dari suatu bidang tertentu, apakah remaja dapat berpartisipasi atau di terima di berbagai macam aktivitas sosial.

  4) Peran (Self-Role)

  Sikap, perilaku, nilai dan tujuan yang diharapkan dari seseorang berdasarkan posisinya di masyarakat. Peran yang ditetapkan adalah peran yang dimana seseorang tidak punya pilihan. Peran yang diterima adalah peran yang terpilih atau dipilih oleh individu. Posisi dibutuhkaan oleh individu sebagai aktualisasi diri. Harga diri yang tinggi adalah hasil dari peran yang memenuhi kebutuhan dan cocok dengan idel diri. Posisi di masyarakat dan merupakaan stressor terhadap peran karena struktur sosial yang menimbulkan kesukaran, tuntutan, posisi yang tidak mungkin dilaksanakan.

  Stress peran terdiri dari konflik peran yang tidak jelas, peran yang tidak sesuai dan peran yang terlalu banyak. Tiap individu mempunyai berbagai peran dalam pola fungsi individu. Peran memberikan sarana untuk berperan serta dalam kehidupan sosial dan merupakan cara untuk menguji identitas dengan memvalidasi pada orang yang berarti. 5)

  Identitas Diri (Self-Identity) Kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian yang merupakan sintesa dari aspek konsep diri sebagai kesatuan yang utuh. Seseorang yang mempunyai perasaan identitas diri yang kuat, akan memandang dirinya berbeda dengan orang lain. Kemandirian timbul dari perasaan berharga (aspek diri sendiri) dan kemampuan dalam penyesuaian diri. Seseorang yang mandiri dapat mengatur dan menerima dirinya. Identitas berkembang sejak masa kanak-kanak bersamaan dengan perkembangan konsep diri.

2.1.4. Konsep Diri Remaja

  Santrock (2003) menyebutkan bahwa konsep diri remaja merupakan evaluasi terhadap domain yang spesifik dari diri. Remaja dapat membuat evaluasi diri terhadap berbagai domain dalam hidupnya, baik dalam akademik, atletik, penampilan fisik, dan sebagainya. Konsep diri bukanlah bawaan lahir, melainkan hasil belajar.

  Semenjak manusia mengenal lingkungan hidupnya, sejak itu pula ia belajar banyak hal tentang kehidupan. Berdasarkan pengalaman hidupnya, seseorang akan menetapkan konsep dirinya berdasarkan berbagai faktor. Menurut Hurlock (1973), faktor-faktor itu adalah bentuk tubuh, cacat tubuh, pakaian, nama dan julukan, inteligensi kecerdasan, taraf aspirasi/ cita-cita, emosi, jenis/gengsi sekolah, status sosial, ekonomi keluarga, teman-teman, dan tokoh/orang yang berpengaruh. Apabila berbagai faktor itu cenderung menimbulkan perasaan positif (bangga, senang), maka muncullah konsep diri yang positif. Pada masa kanak-kanak, seseorang biasanya cenderung menganggap benar apa saja yang dikatakan oleh orang lain. Jika seorang anak merasa diterima, dihargai, dicintai, maka anak itu akan menerima, menghargai, dan mencintai dirinya (berkonsep diri positif). Sebaliknya, jika orang-orang yang berpengaruh di sekelilingnya (orang tua, guru, orang dewasa lainnya, atau teman- temannya) ternyata meremehkan, merendahkannya, mempermalukan, dan menolaknya, maka pengalaman itu akan disikapi dengan negatif (memunculkan konsep diri negatif).

2.1.5. Faktor yang Memengaruhi Konsep Diri

  Burns (1993) menyebutkan bahwa secara garis besar ada lima faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri, yaitu citra fisik, merupakan evaluasi terhadap diri secara fisik, bahasa, yaitu kemampuan melakukan konseptualisasi dan verbalisasi, umpan balik dari lingkungan, identifikasi dengan model dan peran jenis yang tepat, dan pola asuh orang tua. Konsep diri individu akan terbentuk baik dan menjadi positif jika faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut berfungsi secara positif juga.

  Pendapat Burns ini sejalan dengan Hurlock (1973) yang mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri di antaranya adalah ; fisik, pakaian, nama dan nama panggilan, intelegensi, tingkat aspirasi, emosi, budaya, sekolah dan perguruan tinggi, status sosial ekonomi, dan keluarga.

  Pengaruh keluarga sangat besar bagi pembentukan konsep diri karena untuk beberapa waktu lamanya anak belum mengenal lingkungan sosial di luar keluarganya.

  Pengaruh karakteristik hubungan orang tua dengan anak sangat penting dalam pembentukan identitas, ketrampilan persepsi sosial, dan penalaran. Sedangkan pada masa remaja pengaruh lingkungan sosial justru yang sangat berpengaruh.

  Menurut Lerner dan Spanier (dalam Nuryoto, 1993), perkembangan seseorang selain ditentukan oleh kondisi dirinya, juga dikaitkan dengan kehidupan kelompok dalam lingkungan masyarakatnya pada setiap tahap perkembangan yang dilaluinya. Garbarino (1992) mengemukakan bahwa pada prinsipnya dalam proses perkembangan manusia bisa dilihat dalam perspektif ekologi. Dalam perspektif ini individu berintraksi dengan lingkungan.

2.1.6. Perilaku Seksual

  Menurut Sarwono (2007), perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual baik yang dilakukan sendiri, dengan lawan jenis maupun sesama jenis tanpa adanya ikatan pernikahan menurut agama. Menurut Stuart dan Sundeen (1999), perilaku seksual yang sehat dan adaptif dilakukan di tempat pribadi dalam ikatan yang sah menurut hukum. Remaja melakukan berbagai macam perilaku seksual beresiko yang terdiri atas tahapan-tahapan tertentu yaitu dimulai dari berpegangan tangan, cium kering, cium basah, berpelukan, memegang atau meraba bagian sensitif, petting, oral sex, dan bersenggama (sexual intercourse). Sebagian besar dari remaja biasanya sudah mengembangkan perilaku seksualnya dengan lawan jenis dalam bentuk pacaran atau percintaan. Bila ada kesempatan para remaja melakukan sentuhan fisik, mengadakan pertemuan untuk bercumbu bahkan kadang- kadang remaja tersebut mencari kesempatan untuk melakukan hubungan seksual.

  Perilaku dari aspek biologis diartikan sebagai suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan. Aktivitas tersebut ada yang dapat diamati secara langsung dan tidak langsung. Menurut Ensiklopedia Amerika, perilaku diartikan sebagai suatu aksi atau reaksi organisme terhadap lingkungannya. Perilaku merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan respons (Skinner (1949) dalam Notoatmojo 2010). Perilaku tersebut dibagi lagi dalam tiga domain yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Kognitif diukur dari pengetahuan, afektif dari sikap dan psikomotor dari tindakan (keterampilan). Perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat terjadi melalui proses belajar. Perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku juga merupakan respons/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respons ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan yaitu berfikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif (melakukan tindakan) (Sarwono, 2007).

  Sarwono (2007) juga mengatakan bahwa perilaku seksual merupakan segala bentuk perilaku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis. Bentuk perilaku seksual, mulai dari bergandengan tangan (memegang lengan pasangan), berpelukan (seperti merengkuh bahu, merengkuh pinggang), bercumbu (seperti cium pipi, cium kening, cium bibir), meraba bagian tubuh yang sensitif, menggesek-gesekkan alat kelamin sampai dengan memasukkan alat kelamin. Demikian halnya dengan perilaku seksual pranikah pada remaja akan muncul ketika remaja mampu mengkondisikan situasi untuk merealisasikan dorongan emosional dan pemikirannya tentang perilaku seksualnya atau sikap terhadap perilaku seksualnya.

  Menurut Sarwono (2007) bentuk tingkah laku seks bermacam-macam mulai dari perasaan tertarik, pacaran, kissing, kemudian sampai intercourse meliputi: a)

  

Kissing, merupakan ciuman yang dilakukan untuk menimbulkan rangsangan seksual,

  seperti di bibir disertai dengan rabaan pada bagian-bagian sensitif yang dapat menimbulkan rangsangan seksual. Berciuman dengan bibir tertutup merupakan ciuman yang umum dilakukan. Berciuman dengan mulut dan bibir terbuka, serta menggunakan lidah itulah yang disebut french kiss. Kadang ciuman ini juga dinamakan ciuman mendalam/ soul kiss. b) Necking, merupakan berciuman di sekitar leher ke bawah. Necking merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan ciuman disekitar leher dan pelukan yang lebih mendalam. c) Petting, merupakan perilaku menggesek-gesekkan bagian tubuh yang sensitif, seperti payudara dan organ kelamin. Merupakan langkah yang lebih mendalam dari necking. Ini termasuk merasakan dan mengusap-usap tubuh pasangan termasuk lengan, dada, buah dada, kaki, dan kadang-kadang daerah kemaluan, baik di dalam atau di luar pakaian. d)

  

Intercrouse, merupakan bersatunya dua orang secara seksual yang dilakukan oleh

  pasangan pria dan wanita yang ditandai dengan penis pria yang ereksi masuk ke dalam vagina untuk mendapatkan kepuasan seksual.

  L”Engle et.al. (2005) dalam Tjiptanigrum, (2009) mengatakan bahwa perilaku seksual ringan mencakup : 1) menaksir; 2) pergi berkencan, 3) mengkhayal, 4) berpegangan tangan, 5) berciuman ringan (kening, pipi), 6) saling memeluk,sedangkan yang termasuk kategori berat adalah : 1) Berciuman bibir/mulut dan lidah, 2) meraba dan mencium bagian bagian sensitive seperti payudara, alat kelamin, 3) menempelkan alat kelamin, 4) oral seks, 5) berhubungan seksual (senggama).

  Faktor yang juga diasumsikan sangat mendukung remaja untuk melakukan hubungan seksual adalah keluarga dan teman sebaya. Remaja yang melakukan hubungan seksual sebelum menikah banyak diantara berasal dari keluarga yang bercerai atau pernah cerai, keluarga dengan banyak konflik dan perpecahan.

  Hubungan orangtua yang harmonis akan menumbuhkan kehidupan emosional yang optimal terhadap perkembangan kepribadian remaja dan sebaliknya orangtua yang sering bertengkar akan menghambat komunikasi dalam keluarga. Keluarga yang tidak lengkap misalnya karena perceraian, kematian, dan keluarga dengan keadaan ekonomi yang kurang, dapat mempengaruhi perkembangan remaja. Dalam kelompok teman sebaya (peer group) yang dilihat dari konformitas remaja pada kelompoknya di mana konformitas tersebut memaksa seorang remaja harus melakukan hubungan seksual. Santrock (2003) mengatakan bahwa konformitas kelompok bisa berarti kondisi di mana seseorang mengadopsi sikap atau perilaku dari orang lain dalam kelompoknya karena tekanan dari kenyataan atau kesan yang diberikan oleh kelompoknya tersebut. Apabila lingkungan peer remaja tersebut mendukung untuk dilakukan perilaku seksual, serta konformitas remaja yang juga tinggi pada peer-nya, maka remaja tersebut sangat berpeluang untuk melakukan hubungan seksual pranikah.

2.2. Pola Asuh Orangtua

2.2.1. Definisi

  Pengasuhan menurut (Prasetya, 2013) adalah orang yang melaksanakan tugas membimbing, memimpin, atau mengelola. Pengasuhan yang dimaksud di sini adalah mengasuh anak. Menurut Darajat mengasuh anak maksudnya adalah mendidik dan memelihara anak itu, mengurus makan, minum, pakaiannya, dan keberhasilannya dalam periode yang pertama sampai dewasa. Dengan pengertian diatas dapatlah dipahami bahwa pengasuhan anak yang dimaksud adalah kepemimpinan, bimbingan, yang dilakukan terhadap anak berkaitan dengan kepentingan hidupnya. Pola asuh merupakan pola interaksi antara orang tua dan anak, yaitu bagaimana cara sikap atau perilaku orang tua saat berinteraksi dengan anak,termasuk cara penerapan aturan,mengajarkan nilai / norma,memberikan perhatian dan kasih sayang serta menunjukkan sikap dan perilaku baik sehingga dijadikan panutan bagi sikap anaknya.

2.2.2. Jenis Pola Asuh

  Hurlock (1973) mengatakan bahwa perilaku orangtua terhadap anak sesuai dengan tipe pola asuh yang dianutnya diantaranya adalah: a) Pola Asuh Otoriter, perilaku orangtua dalam kehidupan keluarga adalah:

  Orangtua menentukan segala peraturan yang berlaku dalam keluarganya, anak harus menuruti atau mematuhi peraturan-peraturan yang telah ditentukan orangtua tanpa kecuali, anak tidak diberi tahu alasan mengapa peraturan tersebut ditentukan, anak tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya mengenai peraturan-peraturan yang telah ditetapkan orangtua, kemauan orangtua dianggap sebagai tugas atau kewajiban bagi anak, dan bila tidak mengikuti peraturan yang berlaku, maka hukuman yang diberikan berupa hukuman fisik.

  Penelitian Maryatun (2013) menyimpulkan bahwa pola asuh orang tua mempunyai peran dengan perilaku seksual remaja. Pada hasil uji statistik ditemukan remaja dengan pola asuh autoritarian berpeluang untuk melakukan perilaku seksual yang wajar sembilan belas kali lebih besar dibandingkan dengan remaja yang diasuh dengan pola permisif.

  b) Pola Asuh Permisif, perilaku orangtua dalam kehidupan keluarga adalah: Tidak pernah ada peraturan dari orangtua, anak tidak pernah dihukum, tidak ada ganjaran dan pujian karena perilaku dari si anak, dan anak bebas menentukan kemauannya/keinginannya.

  Penelitian Maryatun (2013) mengatakan pola asuh orang tua dengan tipe permisif berpeluang untuk melakukan perilaku seksual yang wajar sebesar tiga kali lebih besar dibandingkan dengan remaja yang diasuh dengan pola autoritatif (demokratis).

  c) Pola Asuh Demokratis, perilaku orangtua dalam kehidupan keluarga adalah: Orangtua sebagai penentu peraturan, anak berkesempatan untuk menanyakan alasan mengapa peraturan dibuat, dan anak boleh ikut andil dalam mengajukan keberatan atas peraturan yang ada.

2.3. Peer Group

2.3.1. Definisi

  Peer group sebagai sebuah kelompok sosial sering didefinisikan sebagai semua orang yang memiliki kesamaan ciri-ciri seperti kesamaan tingkat usia.

  Santrock (2007) mengatakan di beberapa budaya kawan-kawan sebaya (peer group) memiliki peran yang lebih besar bagi remaja, dibandingkan orang-orang lain.

2.3.2. Pengaruh Peer Group terhadap Perilaku Seksual

  Peer group adalah orang dengan tingkat umur dan kedewasaan yang kira-kira

  sama. Dalam pembentukan kelompok peer group selain diperhatikan persamaan usia, para remaja juga memperhatikan persamaan-persamaan lainnya, seperti hobbi, status sosial, ekonomi, latar belakang keluarga, persamaan sekolah, tempat tinggal, agama dan juga ras (Santrock, 2007). Dalam perkembangan sosial remaja maka remaja mulai memisahkan diri dari orangtua dan mulai memperluas hubungan dengan peer group . Pada umumnya remaja menjadi anggota kelompok usia sebaya (peer group).

  Kelompok usia sebaya menjadi begitu berarti dan sangat berpengaruh dalam kehidupan sosial remaja. Kelompok sebaya juga merupakan wadah untuk belajar kecakapan-kecakapan sosial, karena melalui kelompok remaja dapat mengambil berbagai peran. Di dalam kelompok sebaya, remaja menjadi sangat bergantung kepada teman sebagai sumber kesenangannya dan keterikatannya dengan peer group begitu kuat. Kecenderungan keterikatan (kohesi) dalam kelompok tersebut akan bertambah dengan meningkatnya frekuensi interaksi di antara anggota-anggotanya (Santrock, 2007).

  Remaja menganggap teman sebayanya sebagai sesuatu hal yang penting. Remaja menganggap kelompok sebayanya memberikan sebuah dunia tempat kawula muda mulai melakukan sosialisasinya, dimana nilai-nilai yang berlaku bukanlah nilai- nilai yang ditetapkan orang dewasa melainkan oleh teman-temannya. Karena remaja sering berada diluar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku lebih besar dari pada pengaruh keluarga Hurlock (2003). Remaja dan dorongan seksual adalah dua hal yang sangat berhubungan erat sehingga tidak bisa dipisahkan. Ini di karenakan fase remaja, mereka umumnya memiliki dorongan seksual yang sangat kuat, sedangkan resiko akibat kegiatan seksual yang menjurus pada hubungan seks belum sepenuhnya mereka ketahui. Umumnya remaja lebih sering melakukan kegiatan bersama kelompok teman-sebayanya, hal ini memicu munculnya pergaulan yang menganut nilai-nilai kebebasan dalam berinteraksi dengan lawan jenis akan ia turuti demi memperoleh pengakuan dan penerimaan dari kelompoknya. Akan dianggap kuno dan ketinggalan zaman kalau tidak mencium atau berciuman dengan pacarnya.

  Dalam kelompok peer group terjadi interaksi yang saling memengaruhi yaitu konformitas. Santrock (2003) mengatakan, bahwa konformitas kelompok bisa berarti kondisi di mana seseorang mengadopsi sikap atau perilaku dari orang lain dalam kelompoknya karena tekanan dari kenyataan atau kesan yang diberikan oleh kelompoknya tersebut. Sarwono (2011) menjelaskan karena kuatnya ikatan emosi dan konformitas kelompok pada remaja, maka biasanya hal ini sering dianggap juga sebagai faktor yang menyebabkan munculnya tingkah laku remaja yang buruk. Apabila lingkungan peer remaja tersebut mendukung untuk dilakukan seks bebas, serta konformitas remaja yang juga tinggi pada peer-nya, maka remaja tersebut sangat berpeluang untuk melakukan seks bebas (Cynthia, 2007). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Condry, Simon, & Bronffenbrenner, 1968 (Santrock, 2003) menyatakan bahwa bagi remaja, hubungan teman sebaya merupakan bagian yang paling besar dalam kehidupannya.

  Peer group dapat memberi pengaruh positif atau negatif pada remaja.

  Memiliki teman-teman yang nakal meningkatkan resiko remaja menjadi nakal pula (Santrock, 2003). Remaja menjadi nakal karena mereka tersosialisasi dan beradaptasi ke dalam kenakalan, terutama oleh kelompok pertemanan. Sebaliknya secara positif, kelompok peer group adalah tempat terjadinya proses belajar sosial, yakni suatu proses dimana individu mengadopsi dengan kebiasaan-kebiasaan, sikap, gagasan, keyakinan, nilai-nilai dan pola tingkah laku dalam bermasyarakat dan mengembangkannya menjadi suatu kesatuan sistem dalam diri pribadinya.

  Karena remaja sering berada di luar rumah bersama dengan teman-peer group sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh teman-peer group pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga. Misalnya, sebagian besar remaja mengetahui bahwa bila mereka memakai model pakaian yang sama dengan pakaian anggota kelompok yang populer, maka kesempatan baginya untuk diterima oleh kelompok menjadi lebih besar.

  Demikian pula bila anggota kelompok mencoba minum alkohol, obat-obatan terlarang, merokok, seks bebas maka remaja cenderung mengikutinya tanpa memperdulikannya perasaan mereka sendiri (Hurlock, 2003).

2.4. Landasan Teori

  Hurlock (1973) yang mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri di antaranya adalah ; fisik, pakaian, nama dan nama panggilan, intelegensi, tingkat aspirasi, emosi, budaya, sekolah dan perguruan tinggi, status sosial ekonomi, dan keluarga. Pengaruh keluarga sangat besar bagi pembentukan konsep diri karena untuk beberapa waktu lamanya anak belum mengenal lingkungan sosial di luar keluarganya. Pengaruh karakteristik hubungan orang tua dengan anak sangat penting dalam pembentukan identitas, ketrampilan persepsi sosial, dan penalaran. Sedangkan pada masa remaja pengaruh lingkungan sosial justru yang sangat berpengaruh.

  Burns (1993) menyebutkan bahwa secara garis besar ada lima faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri, yaitu citra fisik, merupakan evaluasi terhadap diri secara fisik, bahasa, yaitu kemampuan melakukan konseptualisasi dan verbalisasi, umpan balik dari lingkungan, identifikasi dengan model dan peran jenis yang tepat, dan pola asuh orang tua. Konsep diri individu akan terbentuk baik dan menjadi positif jika faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut berfungsi secara positif juga.

  Santrock (2007) yang mengutip pendapat Bandura (2000) menyatakan bahwa faktor perilaku dan faktor lingkungan dapat berinteraksi secara timbal-balik. Dengan demikian dalam pandangan Bandura, lingkungan dapat memengaruhi perilaku seseorang, namun seseorang dapat bertindak untuk mengubah lingkungan. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan dan penyajian contoh perilaku (modeling), dalam hal ini dapat dikatakan pola asuh orang tua dan peer group.

  Dilihat dari teori tersebut maka landasan teori ini lebih menspesifikasikan bahwa konsep diri remaja tentang perilaku seksual dapat dipengaruhi oleh pola asuh orang tua dan peer group.

2.5. Kerangka Konsep Variabel Independen Variabel Dependen

  Pola Asuh Orang Tua Konsep Diri Remaja

  Tentang Perilaku Seksual

  Peer Group

Dokumen yang terkait

Pengaruh Pola Asuh Orangtua dan Peer Group Terhadap Konsep Diri Remaja Tentang Perilaku Seksual Di SMA Dharma Bakti Medan Tahun 2014

5 77 113

Pengaruh Pola Asuh Orangtua Dan Peer Group Terhadap Konsep Diri Remaja Tentang Perilaku Seksual Di Sma Negeri 2 Dan Man 2 Medan Tahun 2012

7 77 190

Pengaruh Pola Asuh Orangtua dan Peer Group terhadap Konsep Diri Remaja tentang Perilaku Seksual di SMA Negeri 2 dan MAN 2 Medan Tahun 2012

4 52 190

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Menstruasi 2.1.1. Definisi Menstruasi - Gambaran Pola Menstruasi pada Siswi SMA As-Syafi’iyah Medan Tahun 2014

0 0 17

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep diri 2.1.1. Pengertian Konsep diri - Gambaran Konsep Diri Narapidana Remaja di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Anak Tanjung Gusta Medan

0 0 14

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Remaja 2.1.1. Definisi Remaja - Pengaruh Antara Komunikasi Orangtua-Remaja dan Teman Sebaya terhadap Perilaku Seks Pranikah Pada Remaja Putri di SMPN dan MTSN Kecamatan Tambang Riau Tahun 2013

0 2 49

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Hubungan Pola Asuh Keluarga dengan Perilaku Remaja di SMA Negeri 14 Medan

0 0 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Perilaku 2.1.1. Batasan Perilaku - Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013

0 0 19

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Pola Asuh Orang Tua 1.1 Pengertian pola asuh orang tua - Hubungan Pola Asuh Orang Tua Terhadap Perkembangan Sosial Pada Remaja Di Sma Dharma Pancasila Medan

0 0 27

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes Melitus 2.1.1. Definisi - Efikasi Diri dan Manajemen Diri pada Pasien Diabetes Tipe 2

0 0 35