Penggunaan Tepung Limbah Udang Dengan Pengolahan Filtrat Air Abu Sekam, Fermentasi EM-4, Dan Kapang Trichoderma viridae Terhadap Daya Cerna Ayam Broiler

  Tepung Limbah Udang

  Udang sebagai salah satu komoditi ekspor terbagi atas tiga macam, yaitu (1) produk yang terdiri dari bagian badan dan kepala secara utuh , (2) badan tanpa kepala dan (3) dagingnya saja. Pengolahan produksi udang berdasarkan ketiga macam produk tersebut, menyebabkan terdapat bagian-bagian udang yang terbuang seperti kepala, ekor dan kulitnya. Bagian tersebut merupakan limbah industri pengolahan udang beku yang disebut limbah udang (Abun 2009).

  Kepala udang merupakan limbah dari industri pengolahan udang beku untuk diekspor atau pengolahan udang segar di pasar. Limbah udang di Indonesia umumnya terdiri atas bagian kepala, ekor dan kulit udang serta udang yang rusak dan afkir (Mirzah, 1990, 1997). Limbah ini sangat potensial dijadikan bahan pakan sumber protein hewani karena ketersediaannya cukup banyak dan mengandung zat-zat gizi yang tinggi, terutama protein dan mineralnya (Okaye et al., 2005; Khempaka et al., 2006).

  Pemanfaatan limbah udang sebagai pakan ternak berdasarkan pada dua hal, yaitu jumlah dan mutunya. Seiring dengan maraknya ekspor udang beku kebeberapa negara, seperti Jepang, Taiwan, Amerika Serikat maka limbah yang dihasilkan akan bertambah pula. Limbah udang tersebut pada umumnya terdiri dari bagian kepala, kulit ekor dan udang kecil -kecil disamping sedikit daging udang (Parakkasi, 1983 dalam Abun 2009).

  Tepung limbah udang (TLU) terbuat dari limbah udang sisa hasil pengolahan udang setelah diambil bagian dagingnya, sehingga yang tersisa adalah bagian kepala, cangkang, ekor dan udang kecil utuh dalam jumlah sedikit. Kualitas dan kandungan nutrien limbah udang sangat tergantung pada proporsi bagian kepala dan cangkang udang (Djunaidi. et al., 2009).

  Pemanfaatan limbah udang sebagai salah satu bahan penyusun ransum ternak unggas dapat dilakukan, disebabkan limbah tersebut mempunyai kandungan zat-zat makanan yang cukup tinggi, terutama kandungan proteinnya Kandungan protein limbah udang yang cukup tinggi merupakan potensi yang perlu dimanfaatkan. Disamping itu, limbah udang juga mengandung serat kasar yang tinggi, yaitu berupa khitin. Purwaningsih (2000), menyatakan bahwa limbah udang terdiri dari 30% khitin dari bahan keringnya. Adanya khitin ini mengakibatkan adanya keterbatasan atau faktor pembatas dalam penggunaan limbah udang untuk dijadikan bahan penyusun ransum ternak unggas.

  Tingginya kandungan serat kasar yang berasal dari khitin dan mineral terutama kalsium, yang berikatan erat dalam bentuk ikatan khitin-protein-kalsium karbonat merupakan kendala dalam pemanfaatan limbah udang ini. Kandungan protein yang terikat dalam khitin tersebut bisa mencapai 50-95% dan kalsium karbonatnya sampai 15-30%. Adanya ikatan khitinprotein- kalsium karbonat yang kuat akan menurunkan daya cerna protein limbah udang ini, sehingga pemanfaatannya belum optimal dibanding dengan potensi nilai gizinya.

  (Foster dan Webber, 1990).

  Publikasi Sea Food Intrnational (1989) dalam Kusriani et al., (1998), Melaporkan bahwa kitin dari limbah kulit udang dapat digunakan untuk pemacu pertumbuhan ayam pedaging.

  Sejumlah 5% kitin dalam pakan dapat meningkatkan berat badan ayam pedaging 12% lebih tinggi dibandingan kondisi tanpa khitin. Selanjutnya Supadmo dan Sutardi (1997), Menyatakan bahwa suplementasi khitin dalam ransum ayam broiler menunjukkan performan paling baik dibandingkan dengan perlakuan serat lainnya seperti selulosa dan agar-agar.

  Peningkatan kualitas dan pemanfaatan limbah udang secara maksimal dalam ransum memerlukan pengolahan yang tepat sebelum diberikan pada ternak untuk dapat meningkatkan kecernaan dan menurunkan kandungan khitinnya. Penggunaan limbah udang sebagai bahan pakan ternak perlu sentuhan teknologi untuk meningkatkan nilai gizinya, karena bahan ini mempunyai beberapa kelemahan yaitu serat kasar tinggi, dan memiliki kecernaan protein yang rendah karena mengandung zat anti nutrisi khitin (Hartadi et al., 1997).

  Pengolahan Filtrat Air Abu Sekam

  Beberapa peneliti sebelumnya telah melakukan dekomposisi khitin limbah udang melalui pengolahan di antaranya secara kimia, yaitu melalui perendaman dengan larutan basa atau asam (Mirzah, 1990; Wahyuni & Budiastuti, 1991). Namun dengan perendaman dengan bahan kimia, sisa-sisa bahan kimia yang ada pada bahan juga berpengaruh pada ternak dan limbah bahan kimia proses pengolahan juga dapat mencemari lingkungan.

  Penggunaan bahan kimia sebenarnya dapat dihindari dengan menggunakan larutan filtrat air abu sekam (alkali) yang tidak bersifat polutan. Hasil penelitian Mirzah (2006), menunjukkan bahwa perendaman limbah udang dalam larutan filtrat air abu sekam (FAAS) 10% selama 48 jam dan dikukus selama 45 menit dapat menurunkan kitin dari 15,2% menjadi 9,87% dan meningkatkan kecernaan protein kasar dari 50% menjadi 70,50%, sedangkan kandungan zat-zat makanan lain tidak banyak berubah, yaitu bahan keringnya 86,40%, protein kasar 38,98%, lemak 4,12%.

  Salah satu cara pengolahan limbah udang adalah dengan cara pengukusan, dimana sebelum dilakukan pengukusan limbah udang direndam terlebih dahulu dalam air abu sekam 10% selama 48 jam untuk meregangkan ikatan khitin pada limbah udang tersebut. Hasil penelitian Meizwarni (1995), dedak yang diberi praperlakuan hidrolisis air abu sekam 10% memperlihatkan peningkatan kualitas dedak yang dihasilkan. Sedangkan Resmi (2000) menyatakan bahwa pengolahan limbah udang dengan cara pengukusan menghasilkan kandungan protein kasar tertinggi dan kadar khitin terendah dibandingkan dengan cara direbus dan disangrai.

  Pengolahan limbah udang digunakan filtrat air abu sekam (FAAS) 10%. Filtrat air abu sekam sebagai larutan untuk perendam dibuat dengan cara sekam padi yang telah diabukan secara sempurna dilarutkan dalam air bersih. Larutan abu sekam padi 10% diperoleh dengan melarutkan 100 g abu sekam padi dalam 1 liter air bersih. Larutan ini dibiarkan selama 24 jam, lalu disaring untuk memperoleh filtratnya dan siap digunakan. Setelah direndam selama 48 jam selanjutnya limbah udang dikukus selama 45 menit, dan dikeringkan dengan cahaya matahari dan akhirnya digiling.

  Fermentasi EM-4

  Fermentasi sering didefenisikan sebagai proses pemecahan karbohidrat dan asam amino secara anaerob yaitu tanpa memerlukan oksigen. Senyawa yang dapat dipecah dalam proses fermentasi adalah karbohidrat, sedangkan asam amino dapat difermentasi oleh beberapa jenis bakteri tertentu (Fardiaz, 1992).

  Melalui fermentasi terjadi pemecahan substrat oleh enzim-enzim tertentu terhadap bahan yang tidak dapat dicerna, misalnya selulosa dan hemiselulosa menjadi gula sederhana.

  Selama proses fermentasi terjadi pertumbuhan kapang, selain dihasilkan enzim juga dihasilkan protein ekstra seluler dan protein hasil metabolisme kapang sehingga terjadi peningkatan kadar protein (Winarno, 1986).

  Menurut hasil penelitian Nwanna ( 2003), untuk pengolahan limbah udang secara fermentasi dapat menggunakan inokulum Lactobacillus sp sebagai fermentor untuk pembuatan silase limbah udang, yaitu dalam waktu 14 hari. Selain Lactobacillus sp, juga dapat digunakan inokulum EM-4, yaitu bakteri fermentasi yang berisi kultur campuran dari mikroorganisme yang menguntungkan bagi pertumbuhan dan pruduksi ternak, sebagian besar terdiri dari genus Lactobacillus sp, bakteri fotosintetik, Actinomycetes sp, Sreptomyces sp, jamur pengurai selulosa dan ragi yang berfungsi menguraikan selulosa atau khitin pada limbah udang ( Indriani, 2003).

  Pengolahan dengan menggunakan kultur campuran EM-4 dapat meningkatkan kandungan nilai gizi dan kualitas nutrisi tepung limbah udang dibandingkan tepung limbah udang hasil preparasi dengan FAAS saja. Penggunaan inokulum dengan kultur campuran (EM-4) lebih baik dibandingkan inokulum dengan mono kultur (Lactobacillus sp). Produk tepung limbah udang olahan terbaik diperoleh pada pengolahan dengan menggunakan EM-4 dengan dosis 20 ml/100 gram substrat dngan lama fermentasi 11 hari.

  Kapang Trichoderma viridae

  Degradasi komplek senyawa protein-khitin-kalsium karbonat dengan sempurna baru akan terjadi bila limbah udang diperlakukan dengan enzim yang dihasilkan oleh kapang melalui proses fermentasi. Salah satu caranya adalah menggunakan jasa kapang dari mikroorganisme penghasil enzim khitinase. Terdapat beberapa jenis kapang yang dapat mengahasilkan enzim khitinase, salah satunya kapang Trichoderma viridae (Yurnaliza, 2002; Volk, 2004) yang dapat mendegrasi khitin pada limbah udang.

  Penggunakan kapang Trichoderma viridae dalam proses pengolahan bahan pakan memiliki kelebihan antara lain, protein enzim yang dihasilkan oleh kapang tersebut kualitas yang sangat baik jika dibandingkan dengan jenis kapang lainnya Enzim khitinase yang dihasilkan mikroorganisme tersebut merupakan enzim yang mampu merombak polimer khitin menjadi unit monomer N-asetil glokosamin (Palupi et al, 2008).

  Menurut Poesponegoro (1976) bahwa kapang Trichoderma viridae mempunyai kemampuan meningkatkan protein bahan pakan dan pada bahan berselulosa dapat merangsang dikeluarkannya enzim selulase. Hal tersebut disebabkan karena kapang mampu memanfaatkan bahan organik yang terkandung dalam substrat

  Trichoderma viridae untuk dirombak serta mengkonversikannya menjadi peningkatan pada kandungan protein substrat tepung limbah udang.

  Menurut Winarno (1993), bahwa selama fermentasi kapang membutuhkan waktu untuk perkembangbiakan dan pertumbuhan miselia dan memanfaatkan bahan organik untuk proses degradasi. Literatur pendukung lainnya bahwa peningkatan jumlah massa mikroba akan menyebabkan meningkatkan kandungan produk fermentasi, dimana kandungan protein merupakan refleksi dari jumlah massa sel (Nurhayani, 2000 ). Dimana dalam proses fermentasi mikroba akan menghasilkan enzim yang akan mendegradasi senyawa-senyawa kompleks menjadi lebih sederhana, dan mikroba juga akan mensistesis protein yang merupakan proses protein enrichment yaitu pengkayaan protein bahan.

  Miselium Trichoderma dapat menghasilkan suatu enzim yang bermacam-macam, termasuk enzim selulase (pendegradasi selulosa) dan khitinase (pendegradasi khitin). Oleh karena adanya enzim selulase, Trichoderma dapat tumbuh secara langsung di atas kayu yang terdiri atas selulosa sebagai polimer dari glukosa. Oleh karena adanya khitinase, Trichoderma dapat bersifat sebagai penghambat bagi jamur yang tidak menguntungkan (Volk, 2004).

  Semakin lama waktu fermentasi semakin menurunkankan kandungan protein kasar, dimana waktu yang optimal adalah 48 jam kemudian pada hari berikutnya ada yang mengalami penurunan (fase kematian) dan ada yang mengalami titik kestabilan (fase stationer), dimana ditinjau dari peningkatan jumlah mikroba dan bakteri pada variabel perbedaan penambahan sumber nitrogen pada waktu yang optimal fementasi substrat limbah udang dan dedak padi. Hal ini sesuai dengan literatur bahwa tahapan-tahapan pertumbuhan mikroba yang utama ada 4 yaitu: lag phase (fase adaptasi), dimana pada saat ini posisi pertumbuhan lambat dan cenderung mikroba beradaptasi menyesuaikan lingkungan yang baru; exponential/logarithmic phase (fase pertumbuhan); stationary phase (fase stasioner

  /fase dimana kematian seimbang dengan pertumbuhan); death phase (fase kematian), kematian lebih besar dari pada pertumbuhan (Dwidjoseputro, 1985).

  Ayam Broiler

  Ayam broiler merupakan salah satu alternatif yang dipilih dalam upaya pemenuhan kebutuhan protein hewani karena ayam broiler memiliki pertumbuhan dan bobot badan yang sangat cepat, efisiensi pakan cukup tinggi, ukuran badan besar dengan bentuk dada lebar dan padat dan berisi sehingga sangat efisien diproduksi dalam jangka waktu 5-6 minggu ayam broiler tersebut dapat mencapai bobot hidup 1,4 – 1,6 kg. Secara umum broiler dapat memenuhi selera konsumen atau masyarakat, selain dari pada itu broiler lebih dapat terjangkau masyarakat karena harganya relatif murah (Rasyaf, 2000).

  Hardjoswara dan Rukminasih (2000) menyatakan bahwa ayam broiler dapat digolongkan kedalam kelompok unggas penghasil daging artinya dipelihara khusus untuk menghasilkan daging. Umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut : kerangka tubuh besar, pertumbuhan badan cepat, pertumbuhan bulu yang cepat, lebih efisien dalam mengubah ransum menjadi daging.

  Kebutuhan Nutrisi Broiler

  Untuk keperluan hidupnya dan untuk produksi, ayam membutuhkan sejumlah nutrisi yaitu protein yang mengandung asam amino seimbang dan berkualitas, energi yang mengandun karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral (Rasyaf, 1997). Kartadisastra (1994) menyatakan bahwa jumlah ransum yang diberikan sangat bergantung dari jenis ayam yang dipelihara, sistem pemeliharaan dan tujuan produksi. Disamping itu juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berkaitan dengan genetik dan lingkungan tempat ternak itu dipelihara.

  Pada penyusunan formulasi ransum secara praktis, perhitungan kebutuhan nutrien hanya didasarkan pada kebutuhan energi dan protein, sedangkan kebutuhan nutrien yang lain hanya disesuaikan. Apabila ternak menunjukkan gejala defisiensi maka perlu ditambahkan suplemen terutama vitamin dan mineral. Tingkat kandungan energi ransum harus disesuaikan dengan kandungan proteinnya, karena protein sangat penting untuk pembentukan jaringan tubuh dan produksi. Apabila energi terpenuhi namun proteinnya kurang maka laju pertumbuhan dan produksi akan terganggu. Oleh karena itu, perlu diperhitungkan keseimbangan antara tingkat energi dan protein, sehingga penggunaan ransum menjadi efisien (Suprijatna et al., 2005).

  Perbedaan ransum yang diberikan tergantung pada kebutuhan broiler pada fase pertumbuhannya. Kebutuhan zat makanan broiler pada fase yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kebutuhan Nutrisi Broiler Fase Starter dan Finisher.

  Zat Nutrisi Starter Finisher Protein kasar (%)

  22

  20 Lemak kasar (%) 4 – 5 3 – 4 Serat kasar (%) 3 – 5 3 – 5

  Kalsium (%)

  1

  1 Pospor (%) 0,7 0,7 EM (kkal/kg) 3050 3050 Sumber : NRC (1994).

  Ransum Broiler

  Ransum merupakan salah satu faktor yang harus dipenuhi untuk keberhasilan dalam usaha pemeliharaan ayam. Ransum adalah campuran bahan-bahan pakan untuk memenuhi kebutuhan akan zat-zat pakan yang seimbang dan tepat. Seimbang dan tepat berarti zat makanan itu tidak berkelebihan dan tidak kurang. Ransum yang diberikan haruslah mengandung protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral (Rasyaf, 1997).

  Fungsi makanan yang diberikan ke ayam pada prinsipnya memenuhi kebutuhan pokok untuk hidup, membentuk sel-sel dan jaringan tubuh, serta menggantikan bagian- bagian yang merupakan zat-zat yang diperlukan ayam adalah karbohidrat, lemak dan protein akan membentuk energi sebagai hasil pembakarannya (Sudaryani dan Santoso, 1995).

  Air sangat penting untuk mengatur temperatur tubuh. Bila ayam hanya diberi air dan tidak diberi makan dapat hidup lebih lama. Kekurangan air hanya untuk satu hari saja dapat menyebabkan perubahan fisiologis dan sangat menurunkan kecepatan pertumbuhan broiler (Wahju, 1997).

  Penampilan Produksi Konsumsi ransum

  Konsumsi ransum merupakan kegiatan masuknya sejumlah unsur nutrisi yang ada dalam ransum tersebut. Secara biologis ayam mengkonsumsi makanan untuk proses hidupnya. Kebutuhan energi untuk fungsi-fungsi tubuh dan memperlancar reaksi-reaksi asam amino dari tubuh. Hal ini menunjukkan ternak ayam dalam mengkonsumsi makanannya digunakan untuk kebutuhan ternak tersebut (Wahju, 1985).

  Pertumbuhan broiler yang cepat ada kalanya didukung oleh konsumsi ransum yang lebih banyak pula. Masalah konsumsi ransum memang harus disadari bahwa broiler ini senang makan. Bila ransum yang diberikan tidak terbatas atau ad libitum, ayam akan makan sepuasnya hingga kenyang (Rasyaf, 1997).

  Tingkat protein dan energi metabolisme yang berbeda berpengaruh terhadap konsumsi pakan, selisih kandungan energi metabolisme pada setiap pakan perlakuan tidak jauh berbeda, sehingga ayam pada tiap perlakuan cenderung mengkonsumsi pakan yang sama (Wahju, 1988).

  Pertumbuhan dan pertambahan bobot badan broiler

  Laju pertumbuhan seekor ternak dikendalikan oleh banyaknya konsumsi ransum dan energi yang diperoleh. Energi merupakan perintis pada produksi ternak dan hal tersebut terjadi secara alami. Variasi energi yang disuplai pada ternak akan digambarkan pada laju pertumbuhannya (Donald et al., 1995).

  Anggorodi (1990), pertumbuhan pada hewan merupakan suatu fenomena universal yang bermula dari suatu sel telur yang dibuahi dan berlanjut sampai hewan mencapai dewasanya. Pertambahan bobot badan dan bobot dari jaringan seperti berat daging, tulang, jantung, otak dan jaringan lainnya, diartikan sebagai pertumbuhan.

  Pertambahan berat badan kerap kali digunakan sebagai pegangan berproduksi bagi peternak dan para ahli. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa ada bibit ayam yang memang pertambahan berat badanya hebat, tetapi hebat pula makanannya. Padahal biaya untuk ransum adalah yang terbesar bagi suatu peternakan ayam. Oleh karena itu, pertambahan berat badan haruslah pula dikaitkan dengan ransumnya (Rasyaf, 1993).

  Pertumbuhan biasanya perlahan-lahan kemudian berlangsung cepat dan akhirnya perlahan-lahan lagi atau sama sekali terhenti. Pola seperti ini menghasilkan kurva sigmoid (S). Tahap cepat pertumbuhan terjadi pada saat kedewasaan tubuh hampir tercapai (Anggorodi, 1990).

  Pertumbuhan broiler biasanya dipegaruhi oleh ransum, bangsa dan lingkungan. Pertumbuhan berlangsung pada waktu tertentu dan berjalan cepat sampai ternak mencapai tingkat dewasa kelamin, setelah ini pertumbuhan berangsur-angsur turun dan sampai periode tertentu akan terhenti. Pertumbuhan ini adalah juga pertambahan dalam bentuk dan bobot jaringan-jaringan tubuh seperti urat daging, tulang, jantung, otak dan semua jaringan lainnya (Anggorodi, 1995).

  Kartadisastra (1994), menyatakan bahwa bobot badan ayam (tergantung strainnya) akan menentukan jumlah konsumsi ransumnya. Semakin besar bobot badan ayam, semakin banyak jumlah konsumsi ransumnya. Disamping strain, jenis dan tipe ayam juga menentukan.

  Siregar dan Sabarani (1990) menyatakan bahwa serat kasar yang berlebihan dapat mengurangi efisiensi penggunaan nutrien lain, sebaliknya apabila serat kasar ransum terlalu rendah, mengakibatkan ransum tidak dapat dicerna dengan baik. Wahju (1992) menyatakan bahwa serat kasar yang tidak tercerna dapat membawa nutrien lain yang keluar bersama ekskreta .

  Konversi Ransum

  Rasyaf (2003) menjelaskan bahwa, konversi pakan adalah jumlah ransum yang dikonsumsi seekor ayam dalam waktu tertentu untuk membentuk daging atau berat badan.

  Faktor yang mempengaruhi tingkat konversi pakan antara lain strain, kualitas pakan, keadaan kandang dan jenis kelamin.

  Semakin banyak ransum yang dikonsumsi untuk menghasilkan satu satuan produksi maka makin buruklah konversi ransum. Baik buruknya konversi ransum ditentukan oleh berbagai faktor diantaranya mutu ransum, temperatur, lingkungan dan tujuan pemeliharaannya serta genetik (Tillman et al. 1998).

  Semakin baik mutu ransum, semakin kecil pula konversi ransumnya. Baik tidaknya mutu ransum ditentukan oleh seimbang tidaknya zat-zat gizi dalam ransum itu diperlukan oleh tubuh ayam. Ransum yang kekurangan salah satu unsur gizi akan mengakibatkan ayam akan memakan ransumnya secara berlebihan untuk mencukupi kekurangan zat yang diperlukan oleh tubuhnya (Sarwono, 1996).

  Saluran Pencernaan Ayam

  Pencernaan adalah penguraian makanan ke dalam zat - zat makanan dalam saluran pencernaan untuk dapat diserap dan digunakan oleh jaringan-jaringan tubuh (Anggorodi, 1985). Ayam merupakan ternak non ruminansia yang artinya ternak yang mempunyai lambung sederhana atau monogastrik. Pada umumnya bagian - bagian penting dari alat pencernaan adalah mulut, farinks, esofagus, lambung, usus halus dan usus besar. Makanan yang bergerak dari mulut sepanjang saluran pencernaan oleh gerakan peristaltik yang disebabkan karena adanya kontraksi otot di sekeliling saluran (Tillman et al., 1991).

  Kecernaan

  Kecernaan bahan makanan didefenisikan sebagai bagian yang tidak dapat diekskresikan dalam feses dimana bagian-bagian lainnya diasumsikan diserap oleh tubuh ternak (McDonald et al., 1995). Menurut Tillman et al. (1998), kecernaan atau daya cerna (digestability) adalah banyaknya zat makanan dari pakan yang tidak diekskresikan dalam feses. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan adalah komposisi pakan, faktor hewan dan jumlah pakan yang diberikan. Kecernaan suatu zat makanan merupakan selisih antara zat-zat makanan yang dikonsumsi dengan zat-zat makanan yang masih tersisa di feses.

  Pengukuran kecernaan dapat dijadikan ukuran tinggi rendahnya nilai gizi suatu bahan pakan. Menurut Widodo (2002), kecernaan masing-masing bahan pakan berbeda-beda. Bahan pakan yang berasal dari produk hewani secara umum lebih mudah dicerna dari pada produk nabati.

  Kecernaan ransum dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk menilai suatu bahan ransum (Edey 1983 disitasi oleh abun, 2007). Kecernaan ransum dipengaruhi oleh jenis ternak, jenis bahan ransum, jumlah ransum dan kandungan nutrient (Lubis, 1992). Faktor lain yang mempengaruhi kecernaan adalah suhu, laju perjalanan ransum melalui pencernaan, bentuk fisik dari bahan ransum dan komposisi ransumnya (Anggorodi, 1985).

  Pengukuran kcernaan dapat dilakukkan secara in vitro dan in vivo. Pengukuran kecernaan secara in vitro dilakukan dengan membuat suasana seperti yang terjadi dalam saluran pencernaan ternak di laboratorium (Williamson dan Payne, 1993). Pengukuran secara in vivo terdiri dari 2 periode yaitu periode pendahuluan dan periode total koleksi. Periode pendahuluan digunakan untuk membiasakan ternak dengan ransum waktu sebelumnya. Periode total koleksi adalah periode pengumpulan ekskreta sampai akhir percobaan yang kemudian dikeringkan dan dianaisis (Tillman et al., 1998). Jalur pengeluaran feses dan urin pada unggas menjadi satu sehingga koleksi feses dan urin dilakukan secara bersamaan sebagai koleksi ekskreta. Pengukuran kecernaan pada unggas dapat ditambahkan suatu indikator ke dalam ransum. Metode indikator merupakan pengukuran kecernaan dengan menggunakan senyawa yang tidak dapat dicerna oleh saluran pencernaan unggas seperti krom oksida, methyline blue, karmine dan barium sulfat yang ditambah ke dalam ransum (Wahju, 2004).

  Untuk mengukur kecernaan pada unggas dibutuhkan tekhnik khusus karena feses dan urine dikeluarkan secara bersamaan sehingga menyebabkan bercampurnya N-Urin dan feses (Maynard dan Loosli, 1979). Untuk mendapatkan ekskreta didasarkan pada metode Sklan dan Hurwitz (1980) Yaitu menggunakan teknik mematikan ayam percobaan. Untuk mengoleksi ekskreta yang diperoleh kurang lebih 10 cm dari ileo-caecal dengan tujuan untuk menghindari adanya kontaminasi dengan urine (Ali dan Leeson, 1995).

  Gambar 1: koleksi ekskreta yg diperoleh dari ileum. Protein merupakan zat organik yang tersusun dari unsur karbon, nitrogen, oksigen dan hydrogen. Fungsi protein untuk hidup pokok, pertumbuhan jaringan baru, memperbaiki jaringan rusak, metabolisme untuk energi dan produksi (Anggorodi, 1994).

  Kecernaan protein kasar tergantung pada kandungan protein didalam ransum. Ransum yang kandungan proteinnya rendah, umumnya mempunyai kecernaan yang rendah pula dan sebaliknya. Tinggi rendahnya kecernaan protein tergantung pada kandungan protein bahan pakan dan banyaknya protein yang masuk dalam saluran pencernaan (Tillman et al., 1991).

  Bahan kering adalah suatu bahan pakan yang dipanaskan dalam oven pada

  ◦

  temperature 105 C dengan pemanasan yang terus menerus sampai berat bahan pakan tersebut konstan (Tillman,et al., 1998). Kualitas dan kuantitas bahan kering tersebut harus diketahui untuk meningkatkan kecernaan bahan pakan tersebut. Pada kondisi normal, konsumsi bahan kering dijadikan ukuran konsumsi ternak. Konsumsi bahan kering tergantung pada banyaknya faktor, diantaranya adalah kecernaan bahan kering pakan, kandungan energi metabolisme pakan dan kandungan serat kasar pakan (kearls, 1982). Kecernaan bahan kering diukur untuk mengetahui jumlah zat makanan yang diserat tubuh untuk dilakukan melalui analisis dari jumlah bahan kering, baik dalam ransum maupun dalam feses. Selisih jumlah bahan kering yang dikonsumsi dan jumlah yang diekskresikan adalah kecernaan bahan kering (Ranjhan, 1980).

  Menurut Tillman et al., (1998) bahan kering terdiri dari bahan organik yaitu karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin serta bahan an organik yaitu mineral. Kandungan bahan kering dalam suatu bahan pakan mempengaruhi nilai gizi. Semakin tinggi kandungan bahan keringnya, maka nilai gizi bahan pakan tersebut semakin baik.

  Kecenderungan meningkatnya kecernaan bahan kering disebabkan suplementasi EM- 4 akan meningkatkan jumlah dan aktifitas mikroba rumen sehingga kerja rumen akan lebih efektif untuk mendegradasi secara fermentatif komponen serat kasar yang masuk sehingga meningkatkan kecernaan bahan kering (Putro,2010).

  Kecernaan bahan organik merupakan presentase dari selisih konsumsi bahan organik ransum dan bahan organik feses per konsumsi bahan organik ransum. Semakin tinggi konsumsi bahan kering ransum akan diikuti peningkatan bahan organiknya, begitu pula sebaliknya (Chotimah, 2002).

  Nilai kecernaan bahan organik suatu pakan dapat menentukan kualitas pakan tersebut (Sutardi, 1980). Kecernaan ransum mempengaruhi konsumsi ransum, dimana kecernaan ransum yang rendah dapat meningkatkan konsumsi ransum. Hal ini di karenakan laju digesta dalam saluran pencernaan akan semakin cepat dan ransum akan cepat keluar dari saluran pencernaan (Hapsari 2000).

Dokumen yang terkait

Penggunaan Tepung Limbah Udang Dengan Pengolahan Filtrat Air Abu Sekam Fermentasi EM-4 dan Kapang Trichoderma Viride Pada Ransum Terhadap Karkas dan Lemak Abdominal Ayam Broiler

1 52 49

Penggunaan Tepung Limbah Udang dengan Pengolahan Filtrat Air Abu Sekam, Fermentasi EM-4 dan Kapang Trichoderma viridae pada Ransum Terhadap Pertumbuhan Ayam Broiler

3 74 62

Analisis Usaha Ayam Broiler Dengan Menggunakan Pakan Tepung Limbah Udang Melalui Pengolahan Filtrat Air Abu Sekam Fermentasi Em-4 dan Kapang

3 50 60

Penggunaan Tepung Limbah Udang Dengan Pengolahan Filtrat Air Abu Sekam, Fermentasi EM-4, Dan Kapang Trichoderma viridae Terhadap Daya Cerna Ayam Broiler

0 35 51

Penggunaan Tepung Limbah Udang yang Diolah dengan Filtrat Air Abu Sekam dalam Ransum Ayam Broiler

0 0 9

Penggunaan Tepung Limbah Udang Dengan Pengolahan Filtrat Air Abu Sekam Fermentasi EM-4 dan Kapang Trichoderma Viride Pada Ransum Terhadap Karkas dan Lemak Abdominal Ayam Broiler

0 1 14

Penggunaan Tepung Limbah Udang dengan Pengolahan Filtrat Air Abu Sekam, Fermentasi EM-4 dan Kapang Trichoderma viridae pada Ransum Terhadap Pertumbuhan Ayam Broiler

0 0 9

Penggunaan Tepung Limbah Udang dengan Pengolahan Filtrat Air Abu Sekam, Fermentasi EM-4 dan Kapang Trichoderma viridae pada Ransum Terhadap Pertumbuhan Ayam Broiler

0 0 12

Analisis Usaha Ayam Broiler Dengan Menggunakan Pakan Tepung Limbah Udang Melalui Pengolahan Filtrat Air Abu Sekam Fermentasi Em-4 dan Kapang

0 0 23

Analisis Usaha Ayam Broiler Dengan Menggunakan Pakan Tepung Limbah Udang Melalui Pengolahan Filtrat Air Abu Sekam Fermentasi Em-4 dan Kapang

0 0 15