BAB I PENDAHULUAN - Peranan Hasil Hutan Bukan Kayu Terhadap Pengembangan Wilayah Kabupaten Pakpak Bharat

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

  Krisis ekonomi yang telah melanda bangsa Indonesia berdampak pada keadaan perekonomian yang semakin sulit. Tingginya laju inflasi serta kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan itu akhirnya mendorong kenaikan tingkat bunga nominal dan berimbas langsung terhadap kegiatan investasi di sektor pertanian.

  Salah satu sumberdaya alam yang sangat besar manfaatnya bagi kesejahteraan manusia adalah hutan. Hutan juga merupakan modal dasar pembangunan nasional. Sebagai modal dasar pembangunan nasional, maka hutan tersebut harus kita jaga kelestariannya agar kelak manfaat hutan ini tidak hanya kita nikmati sekarang, tetapi juga untuk generasi yang akan datang. Oleh sebab itu, sumberdaya hutan ini perlu dikelola dengan baik dan tepat agar manfaat dan hasilnya dapat diperoleh secara maksimal dan lestari. Hutan mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan, yaitu berupa manfaat langsung yang dirasakan dan manfaat yang tidak langsung.

  Manfaat hutan tersebut boleh dirasakan apabila hutan terjamin eksistensinya, sehingga dapat berfungsi secara optimal. Fungsi-fungsi ekologi, ekonomi dan sosial dari hutan akan memberikan peranan nyata apabila pengelolaan sumber daya alam berupa hutan seiring dengan upaya pelestarian guna mewujudkan pembangunan nasional berkelanjutan.

  Reksohadiprojo (1994), pentingnya hutan bagi kehidupan sosial ekonomi suatu masyarakat kini dirasakan semakin meningkat, hal ini menurut kesadaran untuk mengelola sumber daya hutan tidak hanya dari segi finansial saja namun diperluas menjadi pengelolaan sumber daya hutan secara utuh.

  Hasil hutan kayu telah memberikan kontribusi yang besar bagi devisa negara Indonesia selama beberapa dekade, oleh karena itu kayu diistilahkan sebagai “major forest product”. Walau demikian, hasil hutan lainnya yang dikenal dengan sebutan hasil hutan bukan kayu (HHBK), terbukti lebih bernilai dari pada kayu dalam jangka panjang (Balick and Mendelsohn 1992, Wollenberg and Nawir 1999). Gupta dan Guleria (1982) melaporkan bahwa, nilai ekspor HHBK Pemerintah India mencapai 63 persen dari total ekspor hasil hutan negara tersebut.

  Sementara itu, nilai ekspor HHBK Pemerintah Indonesia mencapai US$ 200 juta per tahun (Gillis, 1986).

  Keputusan untuk mengelola HHBK yang dapat dihasilkan oleh hutan di seluruh Indonesia merupakan pilihan yang sangat cerdas saat ini karena pengelolaan hutan sebagai produksi kayu sudah sampai pada titik yang mengkawatirkan (Ekanayake et al, 2007). Kerusakan hutan sebagai hasil dari pengelolaan hutan yang kurang baik dan konsisten serta kondisi masyarakat yang kurang mendukung usaha-usaha pelestarian hutan, semakin luas dan sudah memberikan hasil yang mengerikan seperti banjir di musim hujan serta kekeringan di musim kemarau.

  Sumadiwangsa (2008), hutan memiliki tiga macam produk, yaitu : a) kayu;

  b) jasa; dan c) Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Produk HHBK merupakan salah satu Sumber Daya Hutan (SDH) yang memiliki keunggulan komparatif dan paling bersinggungan langsung dengan masyarakat sekitar hutan. HHBK terbukti dapat memberikan dampak pada peningkatan usaha dan pendapatan masyarakat sekitar hutan dan memberikan kontribusi yang berarti bagi penambahan devisa Negara. Jenis dan golongan HHBK dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 1.1. Jenis dan Golongan HHBK No Jenis Golongan

  1 Resin Gondorukem, Kopal loba, kopal melengket, damar mata kucing, d. daging, d. pilau, d. batu, Kemenyan, gaharu, kemedangan, shellac, jernang, frankensence, kapur barus, biga

  2 Minyak atsiri Minyak cendana, m. gaharu, m. kayu putih, m. keruing, m.lawang, m. terpentin, m. kenanga, m. ilang-ilang, m. eukaliptus, m. pinus, kayu manis, vanili, cendana, m. sereh, m. daun cengkeh, m. pala, m. kembang mas, m. trawas, minyak kilemo.

  3 Minyak - Minyak lemak : tengkawang, kemiri, jarak, wijen, saga lemak, pohon, kenari, biji mangga, m. intaran karbohidrat - Karbohidarat atau buah-buahan : sagu, aren, nipah, dan buah-buahan lontar, asam, matoa, macadamia, duren, duku, nangka, mente, burahol, mangga, sukun, saga, gadung, iles-iles, talas, ubi, rebung, jamur, madu, garut, kolang-kaling, suweg.

  4 Tanin dan getah - Tanin : akasia, bruguera, rhizophora, pinang, gambir, tingi

  • Getah : jelutung, perca, ketiau, getah merah, balam, sundik, hangkang, getah karet hutan, getah sundik, gemor

  5 Tanaman - Tanaman obat : aneka jenis tanaman obat asal hutan obat dan hias - Tanaman hias : anggrek hutan, palmae, pakis, aneka jenis pohon indah

  6 Rotan dan bambu Segala jenis rotan dan bamboo

  7 Hewan Sarang burung, sutera alam, shellac, buaya, ular, telur, daging, ikan, burung, lilin lebah, tanduk, tulang, gigi, kulit, aneka hewan yang tidak dilindungi

  8 Jasa hutan Air, udara (oksigen), rekreasi/ekoturisme, penyanggah ekosistem alam

  9 Lain-lain Balau, kupang, ijuk, lembai, pandan, arang, sirap, ganitri, gemor, purun, rumput gajah, sintok, biga, kalapari, gelam, kayu salaro, pohon angin, uyun, rumput kawat

  Sumber : Sumadiwangsa, 2008

  HHBK yang memiliki potensi untuk dimanfaatkan oleh masyarakat, menurut UU Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 dapat dibedakan menjadi beberapa bagian sebagai berikut :

  a. Hasil nabati beserta turunannya seperti kayu, rotan, bambu, rerumputan, tanaman obat, jamur, getah-getahan, bagian atau yang dihasilkan tetumbuhan; b. Hasil hewani beserta turunannya seperti satwa liar dan hasil penangkarannya, satwa buru, satwa elok, serta bagian atau yang dihasilkan hewan hutan; c. Benda non hayati yang secara ekologi merupakan suatu kesatuan ekosistem dengan organ hayati penyusun hutan seperti air, udara bersih dan sehat serta barang lain tetapi tidak termasuk barang tambang;

  d. Jasa yang diperoleh dari hutan seperti jasa wisata, jasa keindahan dan keunikan, jasa perburuan dan jasa lainnya; e. Hasil produksi yang langsung diperoleh dari hasil pengolahan bahan mentah yang berasal dari hutan, yang merupakan produksi primer antara lain berupa kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis dan pulp (Permenhut No. 35 Tahun 2007)

  Sambungan Tabel 1.1

  Upaya pengembangan HHBK perlu dilakukan secara berkelanjutan, mengingat komoditas HHBK sangat beragam di setiap daerah dan banyak melibatkan berbagai pihak dalam memproses hasilnya, maka strategi pengembangan perlu dilakukan dengan memilih jenis prioritas yang diunggulkan berdasarkan pada kriteria, indikator dan standar yang ditetapkan. Dengan tersedianya jenis komoditas HHBK unggulan maka usaha budidaya dan pemanfaatannya dapat dilakukan lebih terencana dan terfokus sehingga pengembangan HHBK dapat berjalan dengan baik, terarah dan berkelanjutan.

  Pengurusan sumber daya hutan dan pembangunan kehutanan merupakan urusan bersama antara Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota dan seluruh komponen masyarakat.

  Salah satu Kabupaten di provinsi Sumatera Utara yang memiliki lahan HHBK yang luas adalah Kabupaten Pakpak Bharat. Luas lahan pertanian Kabupaten Pakpak Bharat adalah 104.264 ha, terdiri dari 1.206 ha lahan sawah dan 103.058 ha lahan kering (BPS Pakpak Bharat, 2010). Pengembangan pertanian di Kabupaten Pakpak Bharat pada dasarnya masih dihadapkan pada permasalahan-permasalahan antara lain sistem budidaya dan pengelolaan usaha tani yang masih bersifat tradisional.

  Hasil penelitian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara tahun 2005, mengungkapkan bahwa sebagian besar komoditas yang ditanam di setiap kecamatan merupakan tanaman tradisional yang telah diusahakan secara turun menurun, seperti gambir, nilam dan kemenyan. Komoditas gambir, nilam dan kemenyan masih merupakan tanaman hutan yang perawatannya kurang baik, adapun luas lahan dan produk HHBK di Kabupaten Pakpak Bharat selama kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir sebagai berikut :

Tabel 1.2. Luas Lahan dan Produksi HHBK di Kabupaten Pakpak Bharat 2007-2009 Tahun 2009 Tahun 2010 Produksi No Tahun Luas (Ha) (Ton) Luas (Ha) Produksi (Ton) G N K G N K G N K G N K

  1 Salak - 34.5 21.0

  53.5 0.7 38.0 21.0

  53.5

  0.7 - - -

  Sitelu Tali

  2 574.0 38.8 65.2 873.3 18.2 7.0 582.0 38.8 65.2 873.3 18.2

  5.0 Urang Jehe

  3 Pagindar

  8.0

  3.0

  12.8

  1.2

  10.0

  3.0 - - -

  12.8 1.2 -

  Sitelu Tali

  4 12.0 105.0 18.6 0.5 7.1 12.0 97.0 18.6 - -

  0.5

  6.8 Urang Julu

  Pergetteng-

  5

  98.0 2.0 45.6 115.1 0.7 6.0 98.0 2.0 45.6 115.1 0.7

  6.0 Getteng

  6 Kerajaan 116.8 9.0 502.0 173.1 2.6 64.0 117.0 9.0 463.0 173.1 2.6

  60.0 7 113.5 4.8 13.2 156.1 1.2 1.3 114.0 4.8 13.2 156.1 1.2

  1.3 Tinada

  8 Siempat Rube 80.3 4.0 473.2 120.5 0.5 55.6 80.0 4.0 269.2 120.5 0.5

  54.0 Jumlah 1037.1 82.5 1204.2 1523.0 25.5 140.9 1051.0 82.5 953.2 1523.0 25.5 133.1 Sumber: BP4K Kabupaten Pakpak Bharat dan Pakpak Bharat dalam Angka 2010

  Keterangan: G=Gambir, K=Kemenyan, N=Nilam

  Sebagai komoditi yang mulai dapat diandalkan untuk penerimaan negara, HHBK telah dipandang sebagai komoditi perdagangan hasil hutan bukan kayu yang cukup penting bagi Indonesia. Produk HHBK ini juga telah menambah penerimaan ekspor selain minyak dan gas bumi, serta dapat disejajarkan dengan penerimaan ekspor utama pertanian lainnya seperti kopi, karet dan minyak sawit.

  Disamping itu, produk HHBK ini juga memenuhi persyaratan pengembangan ekspor bukan migas, karena : (a) memanfaatkan sumberdaya dalam negeri, (b) dapat memperbesar nilai tambah, (c) dapat bersaing di pasar dunia, dan (d) dapat menyerap tenaga kerja (Zulkieflimansyah, 2008; Erwinsyah, 1999; Fariyanti, 1995).

  Perkembangan luas lahan HHBK pada 8 (delapan) kecamatan di Kabupaten Pakpak Bharat mengalami peningkatan setiap tahunnya pada 8 (delapan) kecamatan tersebut, yaitu Salak, Sitellu Tali Urang Jehe, Pagindar, Sitellu Tali Urang Julu, Pergetteng-getteng Sengkut, Kerajaan, Tinada dan Siempat Rube. Hal ini menggambarkan adanya keinginan masyarakat Kabupaten Pakpak Bharat untuk mengembangkan perkebunan rakyat melalui pertanaman HHBK.

  Komoditi HHBK di Kabupaten Pakpak Bharat, merupakan salah satu unggulan subsektor perkebunan rakyat. Komoditi ini memegang peranan dalam memberikan sumbangan atau kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Meskipun secara umum terus terjadi fluktasi jumlah produksi tetapi perkebunan HHBK ini diharapakan dapat menjadi subsektor unggulan yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi Kabupaten Pakpak Bharat di masa yang akan datang.

  Secara ekologis HHBK tidak memiliki perbedaan fungsi dengan hasil hutan kayu, karena sebagian besar HHBK merupakan bagian dari pohon. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, bahwa HHBK adalah hasil hutan hayati maupun non hayati atau menurut FAO (2000) adalah barang (goods) yang dihasilkan benda hayati selain kayu yang berasal dari hutan atau lahan sejenis.

  Peranan HHBK terhadap pembangunan wilayah pedesaan memberikan kontribusi terbesar dalam menggerakkan pembangunan adalah dari sektor pertanian dan kehutanan. Dari beberapa pola pengelolaan hutan rakyat yang ada maka hasil dari hutan rakyat memberikan kontribusi yang besar terhadap pendapatan desa dan pembangunan wilayah.

  ICRAF (2000), pengaturan terhadap HHBK baik dari proses produksi, pengolahan dan pemasaran, semua dapat dilakukan oleh masyarakat, sehingga

  income (pendapatan) dari kegiatan tersebut masuk dalam wilayah produsen.

  HHBK seperti getah damar, telah dapat menjadi sektor basis bagi pengembangan wilayah. Dengan adanya kegiatan produksi dan pengolahan maka terjadi penyerapan tenaga kerja yang besar.

  Pengembangan wilayah dalam jangka panjang lebih ditekankan pada pengenalan potensi sumber daya alam dan potensi pengembangan lokal wilayah yang mampu mendukung (menghasilkan) pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan sosial masyarakat, termasuk pengentasan kemiskinan, serta upaya mengatasi kendala pembangunan yang ada di daerah dalam rangka mencapai tujuan pembangunan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam rencana pembangunan nasional, pengembangan wilayah lebih ditekankan pada penyusunan paket pengembangan wilayah terpadu dengan mengenali sektor strategis (potensial) yang perlu dikembangkan di suatu wilayah (Friedmann & Allonso, 1978).

  Berdasarkan uraian diatas maka penulis mencoba untuk mengangkat judul tesis ini “Peranan sektor hasil hutan bukan kayu terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Pakpak Bharat”

  1.2. Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah :

  1. Komoditas HHBK apa yang menjadi basis di Kabupaten Pakpak Bharat?.

  2. Bagaimana peranan tenaga kerja pada HHBK terhadap pembangunan wilayah di Kabupaten Pakpak Bharat?.

  3. Peranan pendapatan dari HHBK yang menjadi basis terhadap PDRB sektor pertanian di Kabupaten Pakpak Bharat.

  1.3. Tujuan Penelitian

  Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :

  1. Menganalisis komoditas HHBK yang menjadi basis di Kabupaten Pakpak Bharat.

  2. Menganalisis peranan tenaga kerja pada HHBK terhadap pembangunan wilayah di Kabupaten Pakpak Bharat.

  3. Menganalisis pendapatan dari HHBK yang menjadi basis terhadap PDRB sektor pertanian di Kabupaten Pakpak Bharat.

1.4. Manfaat Penelitian

  Dari hasil penelitian ini diharapkan nantinya akan memberikan manfaat sebagai berikut :

  1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah daerah, dalam merumuskan perencanaan pembangunan daerah khususnya yang berkaitan dengan pengembangan perkebunan rakyat produksi HHBK di Kabupaten Pakpak Bharat.

2. Bagi penulis dalam memperluas pengetahuan dan wawasan tentang pengembangan perkebunan rakyat produksi HHBK di Kabupaten Bharat.

  3. Sebagai bahan acuan untuk peneliti selanjutnya terutama yang berminat untuk meneliti tentang sektor tanaman perkebunan rakyat umumnya dan HHBK khususnya.