Analisis Penetapan Komoditas Unggulan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di Kabupaten Humbang Hasundutan

(1)

ANALISIS PENETAPAN KOMODITAS UNGGULAN

HASIL HUTAN BUKAN KAYU (HHBK)

DI KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN

SKRIPSI

OLEH :

YENNY L. BUTAR – BUTAR

060304031

AGRIBISNIS

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

ANALISIS PENETAPAN KOMODITAS UNGGULAN

HASIL HUTAN BUKAN KAYU (HHBK)

DI KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN)

SKRIPSI

OLEH :

YENNY L. BUTAR – BUTAR

060304031

AGRIBISNIS

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

(Ir.Luhut Sihombing, M.P) (Ir. Thomson Sebayang, M.T)

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

ABSTRAK

YENNY L. BUTAR – BUTAR (060304031) dengan judul skripsi ”Analisis Penetapan Komoditas unggulan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di Kabupaten Humbang Hasundutan”. Adapun penelitian ini dibimbing oleh Bapak Ir. Luhut Sihombing, M.P dan Bapak Ir. Thomson Sebayang, M.T.

Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) memiliki nilai ekonomi tinggi dan berpeluang untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, namun belum dilakukan secara intensif usaha pengembangannya, sehingga belum dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam meningkatkan perekonomian masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasi komoditas basis dan menetapkan komoditas unggulan HHBK, serta menyusun strategi pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2010 di Kabupaten Humbang Hasundutan. Penentuan daerah penelitian dilakukan secara purposive, yaitu daerah dipilih secara cermat, sehingga sesuai dengan tujuan penelitian. Metode pengambilan sampel yaitu dengan menggunakan metode snowball sampling dengan jumlah sampel sebanyak 20 (dua puluh) orang stakeholders yang terdiri dari 3 (tiga) pedagang besar, 7 (tujuh) pedagang pengumpul, dan 10 (sepuluh) petani pengumpul.

Dari penelitian yang dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa komoditas basis HHBK di Kabupaten Humbang Hasundutan adalah kemenyan. Komoditas kemenyan tergolong dalam kelompok komoditas unggulan tingkat kabupaten karena termasuk dalam kategori NU2. Strategi pengembangan komoditas unggulan kemenyan terutama dapat dilakukan dengan beberapa cara di antaranya melakukan program penanaman dan budidaya kemenyan secara intensif, didirikannya industri pengolahan getah kemenyan, menetapkan harga jual terendah dan tertinggi untuk setiap klasifikasi getah kemenyan, membentuk asosiasi pedagang besar kemenyan dan KUD yang khusus menangani komoditas kemenyan, serta memberikan akses dan kemudahan kepada pedagang besar lokal untuk menjual getah kemenyan secara langsung ke pasar internasional. Kebijakan-kebijakan yang dapat mendukung pelaksanaan beberapa strategi pengembangan tersebut, di antaranya kebijakan kelembagaan, pemberian insentif kepada stakeholders kemenyan, kebijakan penetapan harga jual kemenyan, dan kebijakan peningkatan peran pemerintah daerah, provinsi, dan pusat.


(4)

RIWAYAT HIDUP

YENNY L. BUTAR – BUTAR, lahir pada tanggal 14 November 1988 di Medan, Sumatera Utara, anak pertama dari empat bersaudara, dari Ayahanda Ir. Hasudungan Butar – butar, M.Si dan Ibunda H. Sinaga.

Pendidikan yang pernah ditempuh penulis adalah sebagai berikut : Tahun 2000, menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar Budi Murni 6, Medan. Tahun 2003, menyelesaikan pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Budi Murni 1, Medan. Tahun 2006, menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Umum Negeri 4, Medan. Tahun 2006, diterima di Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian – Universitas Sumatera Utara melalui jalur PMP. Tahun 2010, mengikuti Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Desa Parbuluan V, Kecamatan Parbuluan, Kabupaten Dairi. Tahun 2010, melakukan penelitian skripsi di Kabupaten Humbang Hasundutan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis mengikuti organisasi Ikatan Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian (IMASEP) di Fakultas Pertanian, USU.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan berkat – Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Adapun judul dari usulan penelitian ini adalah “Analisis Penetapan Komoditas Unggulan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) (Studi Kasus : Kabupaten Humbang Hasundutan)” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Departemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Secara khusus penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sedalam – dalamnya pada Ayahanda tercinta Ir. Hasudungan Butar – butar, M.Si dan Ibunda H. Sinaga, atas seluruh doa, cinta, pengorbanan, nasehat, dan dukungan yang diberikan kepada penulis, serta adik – adik penulis, antara lain Rio, Fernando, dan Michael atas semua doa dan dukungan yang telah diberikan.

Skripsi ini merupakan hasil penelitian lapangan dengan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada : Bapak Ir. Luhut Sihombing, M.P, dan Bapak Ir. Thomson Sebayang, M.T selaku Komisi Pembimbing yang telah membimbing penulis menyelesaikan skripsi ini. Selain itu, penulis juga tak lupa mengucapkan terima kasih kepada Bapak A. Silaban dan keluarga serta Bapak J. Simare-mare yang telah membantu penulis selama melaksanakan penelitian di Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan. Pegawai – pegawai di Departemen Agribisnis, antara lain Kak Lisbet, Kak Runi, dan Kak Yani atas bantuan dan dukungannya selama ini kepada penulis. Rekan – rekan mahasiswa


(6)

Lumban Batu, Vicha D. Sianipar, dan Rani Yustika Silalahi atas segala kebersamaan yang telah kita lewati selama ± 4 tahun ini, motivasi, dan dukungan yang diberikan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Senior dan sahabat-sahabat penulis lainnya, yaitu ”Kak Julia Purba, Kak Yessi Siburian, Kak Nova, Apriyanti, Sheila, Pretty, dan Erika atas doa, dukungan, dan semangat yang selama ini diberikan kepada penulis.

Penulis juga menyadari kekurangan dan keterbatasan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun dari para pembaca, demi penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan dan penelitian selanjutnya.

Medan, Agustus 2010


(7)

DAFTAR ISI

Hal.

ABSTRAK ... i

RIWAYAT HIDUP ... ii

KATA PENGANTAR ……… iii

DAFTAR ISI ………... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I. PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ………. 1

1.2Identifikasi Masalah ………. 3

1.3Tujuan Penelitian ………. 3

1.4Kegunaan Penelitian ……… 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka ………. 5

2.2 Landasan Teori ……… 8

2.3 Kerangka Pemikiran ……… 15

2.4 Hipotesis Penelitian ………. 21

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitian ………... 22

3.2 Metode Penentuan Sampel ……….. 24

3.3 Metode Pengumpulan Data ... ………. 26

3.4 Metode Analisis Data ……….. 27

3.5 Definisi dan Batasan Operasional ………... 31

Definisi ………. 31

Batasan Operasional ………. 34

BAB IV. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK SAMPEL 4.1 Deskripsi daerah penelitian ... 35

4.2 Karakteristik sampel ... 41 BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN


(8)

5.2 Komoditas unggulan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) ... 44 5.3 Strategi pengembangan komoditas unggulan HHBK ... 49 BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan ... 72 6.2 Saran ... 72 DAFTAR PUSTAKA


(9)

DAFTAR TABEL

No. Judul Hal.

1. Luas kawasan hutan berdasarkan fungsi tahun 2006 s.d. 2008 ... 22 2. Produksi hasil hutan bukan kayu (hhbk) di Kabupaten Humbang

Hasundutan (ton) tahun 2008 ... 23 3. Jumlah populasi dan sampel stakeholders kemenyan di Kabupaten

Humbang Hasundutan ... 26 4. Penggunaan lahan di Kabupaten Humbang Hasundutan tahun 2008 ... 36 5. Distribusi penduduk menurut kecamatan dan jenis kelamin di

Kabupaten Humbang Hasundutan tahun 2008 ... 37 6. Distribusi penduduk menurut mata pencaharian di Kabupaten

Humbang Hasundutan tahun 2008 ... 38 7. Distribusi penduduk berumur 10 tahun ke atas menurut tingkat

pendidikan di Kabupaten Humbang Hasundutan tahun 2008 ... 39 8. Sarana dan prasarana Kabupaten Humbang Hasundutan tahun 2008 ….. 40 9. Karakteristik sosial ekonomi stakeholders komoditas hasil hutan

bukan kayu (hhbk) di Kabupaten Humbang Hasundutan tahun 2010 .... 41 10. Nilai indikator tertimbang (nit) untuk setiap kriteria komoditas

kemenyan ... 47 11. Faktor – faktor strategi internal (IFAS) ... 57 12. Faktor – faktor strategi eksternal (EFAS) ... 62


(10)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Hal.

1. Skema kerangka pemikiran ... 20 2. Pohon kemenyan yang banyak tumbuh di hutan Desa Matiti II,

Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan ... 50 3. Gulma ”Sarindan” yang tumbuh di pohon kemenyan ... 53 4. Kondisi jalan yang tidak layak menuju Desa Matiti II,

Kecamatan Doloksanggul ... 54 5. Ayakan yang digunakan dalam pengolahan getah kemenyan ... 55


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul

1. Matriks Kriteria dan Indikator Penetapan Jenis HHBK Unggulan 2. Daftar Stakeholders Komoditas HHBK di Kabupaten Humbang

Hasundutan

3. Karakteristik Sosial Ekonomi Stakeholders Komoditas HHBK di Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2010

4. Produksi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Provinsi Sumatera Utara (ton) Tahun 2008

5. Produksi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Kabupaten Humbang Hasundutan (ton) Tahun 2008

6. Penyebaran Komoditas Kemenyan di Kabupaten Humbang Hasundutan

7. Analisis Metode LQ Komoditas HHBK di Kabupaten Humbang Hasundutan

8. Nilai Perdagangan Lokal Kemenyan di Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2009

9. Jumlah KUD dan Non KUD per Kecamatan Tahun 2008 10. Jumlah Kelompok Tani dan Jumlah Anggota per Kecamatan Tahun 2008

11. Analisis Matriks Kriteria dan Indikator Penetapan Jenis HHBK Unggulan Komoditas Kemenyan di Kabupaten Humbang Hasundutan 12. Analisis Perhitungan Nilai Indikator Tertimbang (NIT) untuk Setiap Kriteria Komoditas Kemenyan di Kabupaten Humbang Hasundutan


(12)

ABSTRAK

YENNY L. BUTAR – BUTAR (060304031) dengan judul skripsi ”Analisis Penetapan Komoditas unggulan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di Kabupaten Humbang Hasundutan”. Adapun penelitian ini dibimbing oleh Bapak Ir. Luhut Sihombing, M.P dan Bapak Ir. Thomson Sebayang, M.T.

Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) memiliki nilai ekonomi tinggi dan berpeluang untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, namun belum dilakukan secara intensif usaha pengembangannya, sehingga belum dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam meningkatkan perekonomian masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasi komoditas basis dan menetapkan komoditas unggulan HHBK, serta menyusun strategi pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2010 di Kabupaten Humbang Hasundutan. Penentuan daerah penelitian dilakukan secara purposive, yaitu daerah dipilih secara cermat, sehingga sesuai dengan tujuan penelitian. Metode pengambilan sampel yaitu dengan menggunakan metode snowball sampling dengan jumlah sampel sebanyak 20 (dua puluh) orang stakeholders yang terdiri dari 3 (tiga) pedagang besar, 7 (tujuh) pedagang pengumpul, dan 10 (sepuluh) petani pengumpul.

Dari penelitian yang dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa komoditas basis HHBK di Kabupaten Humbang Hasundutan adalah kemenyan. Komoditas kemenyan tergolong dalam kelompok komoditas unggulan tingkat kabupaten karena termasuk dalam kategori NU2. Strategi pengembangan komoditas unggulan kemenyan terutama dapat dilakukan dengan beberapa cara di antaranya melakukan program penanaman dan budidaya kemenyan secara intensif, didirikannya industri pengolahan getah kemenyan, menetapkan harga jual terendah dan tertinggi untuk setiap klasifikasi getah kemenyan, membentuk asosiasi pedagang besar kemenyan dan KUD yang khusus menangani komoditas kemenyan, serta memberikan akses dan kemudahan kepada pedagang besar lokal untuk menjual getah kemenyan secara langsung ke pasar internasional. Kebijakan-kebijakan yang dapat mendukung pelaksanaan beberapa strategi pengembangan tersebut, di antaranya kebijakan kelembagaan, pemberian insentif kepada stakeholders kemenyan, kebijakan penetapan harga jual kemenyan, dan kebijakan peningkatan peran pemerintah daerah, provinsi, dan pusat.


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan bukan semata – mata kumpulan pohon – pohon yang hanya dieksploitasi dari hasil kayunya saja, tetapi hutan merupakan persekutuan hidup alam hayati atau suatu masyarakat tumbuhan yang kompleks yang terdiri atas pohon – pohon, semak, tumbuhan bawah, jasad renik tanah, hewan, dan alam lingkungannya. Semuanya itu mempunyai keterkaitan dalam hubungan ketergantungan satu sama lainnya (Arief, 2001).

Dalam konteks ekonomi pemanfaatan hutan selama ini masih memandang hutan sebagai sumber daya alam penghasil kayu. Kondisi ini mendorong eksploitasi kayu secara intensif untuk memenuhi pasar dunia maupun domestik tanpa memperhatikan nilai manfaat lain yang dapat diperoleh dari hutan. Sebagai akibat telah terjadi penurunan luas, dan kualitas ekosistem hutan (Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan No. P.21/Menhut-II, 2009).

Sumber Daya Hutan (SDH) mempunyai potensi multi fungsi yang dapat memberikan manfaat ekonomi, lingkungan, dan sosial bagi kesejahteraan umat manusia. Manfaat tersebut bukan hanya berasal dari Hasil Hutan Kayu (HHK) seperti yang terjadi saat ini, melainkan juga manfaat Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan jasa lingkungan (pemanfaatan aliran air, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan, dan perlindungan) (Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II, 2009).


(14)

Masa keemasan kayu sebagai pemasok devisa dan motor penggerak pembangunan telah lama berakhir dengan makin berkurangnya kawasan hutan serta makin maraknya aksi pencurian kayu. Jika prospek hasil hutan kayu semakin meredup, secercah harapan baru justru muncul dari produksi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang terus mengalami peningkatan cukup signifikan. Kontribusi HHBK (rotan, damar, arang, getah – getahan, gaharu, dan sebagainya) pada tahun 1999 tercatat sebesar US$ 8,4 juta, kemudian meningkat menjadi US$ 19,74 juta (2002). Jumlah tersebut belum termasuk kontribusi dari hasil perdagangan flora dan fauna yang tidak dilindungi (PP No. 8 / 1999) yakni sebesar US$ 61,3 ribu (1999) kemudian meningkat drastis menjadi US$ 3,34 juta pada tahun 2003. (Anonimus, 2008).

Data Departemen Kehutanan (2003) menunjukkan terjadi peningkatan jumlah ekspor hasil hutan bukan kayu dari 20,724 ton (2001) menjadi 55,601 ton (2002). Melihat pesatnya perkembangan ekspor tersebut, seharusnya memicu kita untuk lebih giat mengembangkan komoditas yang cukup potensial ini. Mengingat, keberadaan sumberdaya hutan berupa kayu saat ini cukup memprihatinkan (Hatta, 2009).

Secara ekonomis HHBK memiliki nilai ekonomi tinggi dan berpeluang untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Walaupun memiliki nilai ekonomi tinggi, namun pengembangan usaha dan pemanfaatan HHBK selama ini belum dilakukan secara intensif sehingga belum dapat memberikan


(15)

kontribusi yang signifikan dalam meningkatkan perekonomian masyarakat (Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan No. P.21/Menhut-II, 2009).

Melihat potensi nilai ekonomi yang diberikan oleh HHBK, maka penulis tertarik untuk menetapkan komoditas unggulan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang ada di Kabupaten Humbang Hasundutan serta strategi pengembangannya sehingga pengembangan komoditas unggulan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) tersebut dapat berjalan dengan baik, terarah, dan berkelanjutan.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1). Jenis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) apa saja yang tergolong komoditas basis di lokasi penelitian?

2). Jenis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) apa saja yang tergolong komoditas unggulan di lokasi penelitian?

3). Bagaimana strategi pengembangan terhadap komoditas unggulan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di lokasi penelitian?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut : 1). Menginventarisasi komoditas basis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di lokasi penelitian.


(16)

2). Menetapkan komoditas unggulan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di lokasi penelitian.

3). Menyusun strategi pengembangan terhadap komoditas unggulan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di lokasi penelitian.

1.4 Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1). Sebagai bahan informasi bagi pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah dan lembaga terkait lainnya untuk menentukan kebijakan dalam melaksanakan strategi pengembangan komoditas unggulan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK).


(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA

PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Tinjauan Pustaka

Hutan dipandang sebagai suatu ekosistem dikarenakan hubungan antara masyarakat tumbuh – tumbuhan pembentuk hutan, binatang liar, dan lingkungannya tidak berdiri sendiri, tetapi saling mempengaruhi dan sangat erat kaitannya, serta tidak dapat dipisahkan karena saling bergantung antara satu dengan yang lainnya. Beberapa definisi hutan yang lazim digunakan : 1. Hutan adalah lapangan yang ditumbuhi pepohonan yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya atau ekosistem (Kadri, dkk 1992). 2. Hutan adalah masyarakat tetumbuhan yang dikuasai atau didominasi oleh pohon – pohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan di luar hutan (Soerianegara, dkk 1982). 3. Hutan adalah masyarakat tetumbuhan dan binatang yang hidup dalam lapisan dan permukaan tanah dan terletak pada suatu kawasan, serta membentuk suatu kesatuan ekosistem yang berada dalam keseimbangan yang dinamis (Marit, 2008).

Menurut UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan dalam pasal 6 ayat (1) disebutkan bahwa hutan mempunyai tiga fungsi, yaitu fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi. Sedangkan pada pasal 6 ayat (2) disebutkan bahwa pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok sebagai berikut : hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi (Himpunan Peraturan Perundang – Undangan Tentang Kehutanan dan Illegal Logging, 2007).


(18)

Peranan HHBK akhir-akhir ini dianggap semakin penting setelah produktivitas kayu dari hutan alam semakin menurun. Food and Agricultural Organization (FAO) mendefinisikan HHBK sebagai produk selain kayu yang berasal dari bahan biologis diperoleh dari hutan dan pepohonan yang tumbuh di sekitar hutan. Perubahan paradigma dalam pengelolaan hutan semakin cenderung kepada pengelolaan kawasan (ekosistem hutan secara utuh), juga telah menuntut diversifikasi hasil hutan selain kayu (Harun, 2009).

Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dari ekosistem hutan sangat beragam jenis sumber penghasil maupun produk serta produk turunan yang dihasilkannya. Sesuai dengan Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan No. P.21/Menhut-II, 2009, jenis komoditi HHBK digolongkan ke dalam 2 (dua) kelompok besar yaitu : 1. HHBK Nabati

HHBK nabati meliputi semua hasil nonkayu dan turunannya yang berasal dari tumbuhan dan tanaman, dikelompokkan dalam :

a. Kelompok resin, antara lain damar, gaharu, kemenyan, getah tusam;

b. Kelompok minyak atsiri, antara lain cendana, kulit manis, kayu putih, kenanga; c. Kelompok minyak lemak, pati, dan buah – buahan, antara lain buah merah,

rebung bambu, durian, kemiri, pala, vanili;

d. Kelompok tannin, bahan pewarna, dan getah, antara lain kayu kuning, jelutung, perca, pinang, gambir;

e. Kelompok tumbuhan obat – obatan dan tanaman hias, antara lain akar wangi, brotowali, anggrek hutan;


(19)

g. Kelompok alkaloid, antara lain kina;

h. Kelompok lainnya, antara lain nipah, pandan, purun.

2. HHBK Hewani

Kelompok hasil hewan meliputi :

a. Kelas hewan buru (babi hutan, kelinci, kancil, rusa, buaya).

b. Kelompok hewan hasil penangkaran (arwana, kupu – kupu, rusa, buaya). c. Kelompok hasil hewan (sarang burung walet, kutu lak, lilin lebah, ulat

sutera, lebah madu).

Ada beberapa manfaat Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), antara lain : 1. Manfaat HHBK Nabati

Berbagai jenis tanaman penghasil HHBK merupakan tanaman serbaguna (Multi Purpose Tree Species) yang dapat memberikan manfaat sosial kepada masyarakat setempat, manfaat ekonomi untuk meningkatkan devisa negara dan manfaat lingkungan untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Jenis tanaman tersebut diantaranya adalah :

a. Jenis tanaman penghasil HHBK sebagai sumber devisa negara yaitu gaharu, jernang, rotan, bambu, nilam, cendana, shellac, vanili, kopal, lada, masoyi, damar, ylangylang, lengkuas dan temu lawak.

b. Jenis tanaman penghasil HHBK yang memberikan manfaat sosial ekonomi terutama pada peningkatan pendapatan rutin bagi masyarakat sekitar hutan yaitu damar, getah pinus, kayu putih, sagu, kemiri, jelutung, gemor, nilam, lada, kopal, vanili, ylang-ylang, murbei.


(20)

c. Jenis tanaman penghasil HHBK untuk rehabilitasi lahan dan hutan, mencegah erosi, peningkatan kualitas lingkungan dan pengatur tata air adalah agathis, kemiri, pinus, meranti, kayu putih, nimbi, ekaliptus, kelimo, akasia.

d. Jenis tanaman penghasil HHBK untuk mencegah atau mengurangi perladangan berpindah yaitu rotan, jernang, kemiri, shorea, meranti, nilam, ylang-ylang, terubuk, vanili, lada, aneka tumbuhan obat, aneka tumbuhan hias.

e. Jenis tanaman penghasil HHBK untuk mencegah laju urbanisasi dengan menyediakan lapangan pekerjaan dari budidaya tanaman kemiri, shorea, meranti, nilam, ylang-ylang, vanili, lada, aneka tumbuhan obat, aneka tumbuhan hias, kenanga.

2. Manfaat HHBK Hewani

Pemanfaatan jenis HHBK hewani selama ini masih terbatas pada beberapa jenis hewan dan fokus pengelolaannya masih berorientasi untuk keperluan konservasi. Pemanfaatan HHBK hewani antara lain sebagai penghasil lemak dan protein, bahan kulit, serat hewani dan madu serta beberapa jenis dimanfaatkan untuk hobi dan hiasan atau peliharaan.

(Anonimus, 2009a).

2.2 Landasan Teori

Pada dasarnya, keberadaan komoditas unggulan pada suatu daerah akan memudahkan upaya pengembangan agribisnis. Hanya saja, persepsi dan memposisikan kriteria serta instrumen terhadap komoditas unggulan belum sama. Akibatnya, pengembangan komoditas tersebut menjadi salah urus bahkan menjadi


(21)

kontra produktif terhadap kemajuan komoditas unggulan dimaksud. Berikut adalah pengelompokan komoditas unggulan, sebagai rujukan untuk menempatkan posisi produk agro dari sisi teori keunggulan komoditas, antara lain :

a. Komoditas unggulan komparatif : komoditas yang diproduksi melalui dominasi dukungan sumber daya alam, di mana daerah lain tak mampu memproduksi produk sejenis. Atau pula, komoditas hasil olahan yang memiliki dukungan bahan baku yang tersedia pada lokasi usaha tersebut.

b. Komoditas unggulan kompetitif : komoditas yang diproduksi dengan cara yang efisien dan efektif. Komoditas tersebut telah memiliki nilai tambah dan daya saing usaha, baik dari aspek kualitas, kuantitas, maupun kontinuitas dan harga.

c. Komoditas unggulan spesifik : komoditas yang dihasilkan dari hasil inovasi dan kompetensi pengusaha. Produk yang dihasilkan memiliki keunggulan karena karakter spesifiknya.

d. Komoditas unggulan strategis : komoditas yang unggul karena memiliki peran penting dalam kegiatan sosial dan ekonomi.

Sebagai perbandingan, komoditas unggulan akan lebih mudah dan lebih rasional untuk dikembangkan jika memandang komoditas unggulan dari kebutuhan pasar. Dilihat dari sisi positif, jika mengelompokkan komoditas unggulan berdasarkan potensi pasarnya, mengingat ukuran keberhasilan komoditas unggulan dapat diukur dari perannya dalam memberikan nilai tambah bagi pelaku usaha. Selain itu, memberikan kontribusi dalam pengembangan struktur ekonomi, dan


(22)

pemenuhan kebutuhan masyarakat. Adapun pengelompokan komoditas tersebut, dapat disusun sebagai berikut :

a. Komoditas unggulan pasar ekspor : komoditas yang telah mampu memenuhi persyaratan perdagangan di pasar ekspor. Ini menyangkut aspek keamanan, kesehatan, standard, dan jumlah yang memadai, sehingga komoditas tersebut diminati negara pengimpor.

b. Komoditas unggulan pasar tradisional : komoditas yang mampu memenuhi keinginan selera konsumen lokal, baik dari aspek cita rasa, bentuk, ukuran, kualitas harga, dan budaya lokal.

c. Komoditas unggulan pasar modern : komoditas yang telah memiliki daya saing tinggi dari aspek harga, kualitas, kuantitas, dan kontinuitas, serta biasa dibutuhkan oleh berbagai kalangan konsumen secara internasional.

d. Komoditas unggulan pasar industri : komoditas yang merupakan bahan baku utama industri manufaktur agro.

e. Komoditas unggulan pasar antar pulau : komoditas yang dibutuhkan oleh pasar antar pulau karena komoditas tersebut tak mampu diproduksi di pulau tersebut.

f. Komoditas unggulan pasar khusus : komoditas yang memang dipesan oleh pasar tertentu lengkap dengan spesifikasinya.


(23)

Hal terpenting bagi ukuran komoditas adalah memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif sehingga mampu bersaing di pasar dengan komoditas pesaingnya. Oleh karena itu, sangat perlu diketahui apakah komoditas dari hutan tanaman yang ada saat ini memiliki salah satu atau keduanya dari kriteria keunggulan tersebut. Keunggulan komparatif sistem komoditas hutan tanaman (efisiensi ekonomi) didefinisikan sebagai kemampuan sistem komoditas untuk memperoleh keuntungan ekonomi pada kondisi pasar persaingan sempurna (tidak ada distorsi kebijakan). Berbeda dari keunggulan komparatif, maka keunggulan kompetitif didefinisikan sebagai kemampuan sistem komoditas dalam menghasilkan keuntungan finansial pada pasar yang dihadapi secara riil. Analisis keunggulan kompetitif didasarkan pada sistem harga-harga pada pasar yang berlaku (dihadapi). Hal ini berarti sistem pasar baik pasar input, faktor domestik maupun pasar komoditas telah dipengaruhi oleh intervensi kebijakan pemerintah (Rukmantara, 2006).

Berdasarkan pemahaman terhadap teori ekonomi basis, teknik LQ relevan digunakan sebagai metode dalam menentukan komoditas unggulan khususnya dari sisi penawaran (produksi atau populasi). Untuk komoditas yang berbasis lahan, perhitungannya didasarkan pada lahan pertanian (areal tanam atau areal panen), produksi atau produktivitas (Hendayana, 2003).

Jenis HHBK unggulan adalah jenis tanaman penghasil HHBK yang dipilih berdasarkan kriteria dan indikator tertentu yang ditetapkan. Penetapan jenis HHBK unggulan dilakukan di setiap kabupaten/kota dan merupakan jenis tanaman yang diprioritaskan untuk dikembangkan baik budidaya, pemanfaatan,


(24)

dan pengolahannya sampai dengan pemasarannya sehingga menjadi jenis HHBK yang dapat memberikan kontribusi ekonomi suatu daerah secara berkelanjutan (Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan No. P.21/Menhut-II, 2009).

Strategi berasal dari bahasa Yunani kuno yang berarti “seni berperang”. Suatu strategi mempunyai dasar – dasar atau skema untuk mencapai sasaran yang dituju. Jadi, pada dasarnya strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan (Umar, 2001).

Proses penyusunan perencanaan strategis melalui tiga tahap analisis, yaitu : 1. Tahap pengumpulan data

2. Tahap analisis

3. Tahap pengambilan keputusan

Tahap pengumpulan data

Tahap ini pada dasarnya tidak hanya sekedar kegiatan pengumpulan data, tetapi juga merupakan suatu kegiatan pengklasifikasian dan pra – analisis. Pada tahap ini data dapat dibedakan menjadi dua, yaitu data eksternal dan data internal.

A. Matrik Faktor Strategi Eksternal

Sebelum membuat matrik faktor strategi eksternal, kita perlu mengetahui terlebih dahulu faktor strategi eksternal (EFAS). Berikut ini adalah cara – cara pennetuan faktor strategi eksternal (EFAS) :


(25)

b. Beri bobot masing – masing faktor dalam kolom 2, mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting). Faktor – faktor tersebut kemungkinan dapat memberikan dampak terhadap faktor strategis.

c. Hitung rating (dalam kolom 3) untuk masing – masing faktor dengan memberikan skala mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor) berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi perusahaan yang bersangkutan. Pemberian nilai rating untuk faktor peluang bersifat positif (peluang yang semakin besar diberi rating + 4, tetapi jika peluangnya kecil diberi rating + 1). Pemberian nilai rating ancaman adalah kebalikannya. Misalnya, jika nilai ancamannya sangat besar, ratingnya adalah 1. Sebaliknya, jika nilai ancamannya sedikit ratingnya 4.

d. Kalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3 untuk memperoleh faktor pembobotan dalam kolom 4. Hasilnya berupa skor pembobotan untuk masing – masing faktor yang nilainya bervariasi mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor).

e. Jumlahkan skor pembobotan (pada kolom 4) untuk memperoleh total skor pembobotan bagi perusahaan yang bersangkutan. Nilai total ini menunjukkan bagaimana perusahaan tertentu bereaksi terhadap faktor – faktor strategis eksternalnya. Total skor ini dapat digunakan untuk membandingkan perusahaan ini dengan perusahaan lainnya dalam kelompok industri yang sama


(26)

B. Matrik Faktor Strategi Internal

Setelah faktor – faktor strategis internal suatu perusahaan diidentifikasi, suatu tabel IFAS (Internal Strategic Factors Analysis Summary) disusun untuk merumuskan faktor – faktor strategis internal tersebut dalam kerangka Strength and Weakness perusahaan. Tahapnya adalah :

a. Tentukan faktor – faktor yang menjadi kekuatan serta kelemahan perusahaan dalam kolom 1.

b. Beri bobot masing – masing faktor tersebut dengan skala mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting), berdasarkan pengaruh faktor – faktor tersebut terhadap posisi strategis perusahaan. (Semua bobot tersebut jumlahnya tidak boleh melebihi skor total 1,00).

c. Hitung rating (dalam kolom 3) untuk masing – masing faktor dengan memberikan skala mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor) berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi perusahaan yang bersangkutan. Variabel yang bersifat positif (semua variabel yang masuk kategori kekuatan) diberi nilai mulai dari + 1 sampai dengan + 4 (sangat baik) dengan membandingkannya dengan rata – rata industri atau dengan pesaing utama. Sedangkan variabel yang bersifat negatif, kebalikannya.

d. Kalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3 untuk memperoleh faktor pembobotan dalam kolom 4. Hasilnya berupa skor pembobotan untuk masing – masing faktor yang nilainya bervariasi mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor).

e. Jumlahkan skor pembobotan (pada kolom 4) untuk memperoleh total skor pembobotan bagi perusahaan yang bersangkutan. Nilai total ini menunjukkan


(27)

bagaimana perusahaan tertentu bereaksi terhadap faktor – faktor strategis eksternalnya. Total skor ini dapat digunakan untuk membandingkan perusahaan ini dengan perusahaan lainnya dalam kelompok industri yang sama

(Rangkuti, 2008).

Tahap Analisis

Setelah mengumpulkan semua informasi yang berpengaruh terhadap kelangsungan perusahaan, tahap selanjutnya adalah adalah memanfaatkan semua informasi tersebut dalam model – model kuantitatif perumusan strategi. Dalam hal ini digunakan matriks SWOT (Rangkuti, 2008).

Matriks Threats-Opportunities-Weaknesses-Strengths (TOWS/SWOT) dapat menghasilkan empat kemungkinan alternatif strategis, antara lain strategi SO (Strength-Opportunity), strategi WO (Weakness- Opportunity), strategi ST (Strength-Threat), dan strategi WT (Weakness-Threat)

(Umar, 2001).

2.3 Kerangka Pemikiran

Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) didefinisikan sebagai segala sesuatu yang bersifat material (bukan kayu) yang diambil dari hutan untuk dimanfatkan bagi kegiatan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam upaya mengubah haluan pengelolaan hutan dari timber extraction menuju sustainable forest management, Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) atau Non Timber Forest Products (NTFP) memiliki nilai yang sangat strategis. Hasil Hutan Bukan Kayu


(28)

(HHBK) merupakan salah satu sumber daya hutan yang memiliki keunggulan komparatif dan bersinggungan langsung dengan masyarakat sekitar hutan (Anonimus, 2008).

HHBK dapat berasal dari kawasan hutan dan luar kawasan hutan / lahan milik atau hutan rakyat. HHBK yang berasal dari kawasan hutan menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 dan perubahannya dibedakan menjadi : (a) HHBK yang berasal dari hutan lindung dan dikenal dengan nama pemungutan, (b) HHBK yang berasal dari hutan produksi baik hutan alam maupun hutan tanaman dikenal dengan istilah pemanfaatan. Pemungutan HHBK yang berasal dari hutan lindung antara lain berupa : rotan, madu, getah, buah, jamur, dan sarang burung walet. Pemanfaatan HHBK yang berasal dari hutan produksi antara lain berupa pemanfaatan :

a. Rotan, sagu, nipah, bambu yang meliputi kegiatan penanaman, pemanenan, dan pemasaran hasil.

b. Getah, kulit kayu, daun, buah atau biji, gaharu yang meliputi kegiatan pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran hasil.

(Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II, 2009)

Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) memiliki potensi cukup besar untuk meningkatkan nilai ekonomi dari sumber daya hutan dengan beragam hasil HHBK yang dapat diperoleh. Potensi ini menjadi prospek yang tinggi untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Akan tetapi, untuk mengetahui komoditas basis HHBK yang ada dalam suatu wilayah,


(29)

maka perlu dilakukan analisis Location Quotient (LQ). Hal ini perlu dilakukan agar selanjutnya dapat ditetapkan apakah komoditas basis yang telah diperoleh termasuk dalam komoditas unggulan HHBK atau tidak.

Suatu komoditas HHBK disebut sebagai komoditas basis bila produksi suatu komoditas yang dihasilkan oleh masyarakat di suatu daerah yang definitif melebihi kebutuhan masyarakat di daerah yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, suatu komoditas basis merupakan komoditas yang diekspor suatu daerah ke daerah lain termasuk ke pasar internasional.

Penetapan jenis HHBK unggulan dilakukan dengan metode description scoring, yaitu melalui pengukuran nilai indikator dari tiap kriteria untuk jenis yang akan ditetapkan keunggulannya. Aspek penilaian mencakup kriteria ekonomi, biofisik dan lingkungan, kelembagaan, sosial, dan teknologi. Jenis HHBK unggulan dikelompokkan dalam 4 (empat) unggulan, yakni unggulan nasional, unggulan provinsi, unggulan lokal (kabupaten/kota setempat), dan bukan unggulan yang dapat dipergunakan sebagai arahan dalam mengembangkan jenis HHBK di tingkat pusat dan daerah.

Kriteria ekonomi adalah aspek yang mengukur besaran ekonomi dari jenis HHBK yang sedang dievaluasi. Parameter ekonomi mempunyai bobot terbesar (35%) dalam pemilihan komoditas unggulan HHBK. Kriteria biofisik dan lingkungan mempunyai bobot 15% dalam pemilihan komoditas unggulan HHBK. Kelembagaan merupakan aspek penting dalam penetapan tingkat keunggulan


(30)

suatu komoditas HHBK karena menyangkut unsur pelaku dan tata aturan produksi dan perdagangan HHBK tersebut, di mana parameter ini mempunyai bobot 20% dalam penetapan komoditas unggulan HHBK. Kriteria sosial sebagai salah satu kriteria dalam penetapan tingkat keunggulan suatu komoditas HHBK merupakan keberpihakan kepada masyarakat lokal dalam pengusahaan lokal, di mana parameter ini mempunyai bobot 15% dalam penetapan komoditas unggulan HHBK. Aspek teknologi dipilih sebagai kriteria penentuan unggulan komoditas HHBK karena memiliki peran dalam pengembangan HHBK tersebut baik dalam menjamin pasokan HHBK sebagai bahan baku maupun dalam peningkatan nilai tambah HHBK tersebut, di mana parameter ini mempunyai bobot 15% dalam penetapan komoditas unggulan HHBK.

Pengembangan HHBK merupakan upaya pemberdayaan masyarakat lokal sesuai prinsip hutan untuk rakyat (forest for people). Pemberdayaan yang dilakukan harus memperhatikan dimensi sosial, ekonomi dan ekologi agar pemanfaatan hutan lestari dapat dicapai. Posisi masyarakat dalam pengembangan HHBK harus benar-benar sebagai pelaksana utama, sedangkan pemerintah bertindak sebagai fasilitator atau pendukung dari setiap program pengembangan (Harun, 2009).

Penyusunan strategi pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dapat dilakukan dengan menggunakan matriks SWOT (Strengths – Weakness – Opportunities – Threats). Di mana terlebih dahulu dikumpulkan faktor – faktor internal (kekuatan dan kelemahan) serta faktor – faktor internal (peluang dan ancaman) yang mempengaruhi pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)


(31)

yang dihasilkan oleh suatu daerah, sehingga dapat disusun strategi pengembangan yang sistematis dan berdaya guna.

Untuk lebih memperjelas mengenai penetapan komoditas unggulan HHBK serta strategi pengembangannya, maka dapat dilihat skema kerangka pemikiran berikut ini.


(32)

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Keterangan :

= Menyatakan hubungan = Menyatakan proses Komoditas HHBK

Analisis Komoditas Basis (Metode LQ)

Jenis HHBK Unggulan : 1. Unggulan Nasional 2. Unggulan Provinsi 3. Unggulan Kabupaten 4. Tidak Unggul

Strategi Pengembangan Komoditas Unggulan HHBK

Analisis Komoditas Unggulan (Metode description scoring dengan menggunakan kriteria ekonomi, biofisik dan

lingkungan, kelembagaan, sosial, dan teknologi). Berdasarkan Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan No.P.21/Menhut-II/2009

Analisis Stratejik (Matriks SWOT) Komoditas Basis


(33)

2.4 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan teori dan penelitian – penelitian sebelumnya, dapat dibentuk hipotesis, antara lain :

1). Tidak semua komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di daerah penelitian tergolong komoditas basis.

2). Tidak semua komoditas basis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang ada di daerah penelitian tergolong komoditas unggulan di tingkat provinsi.


(34)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitian

Daerah penelitian ditentukan secara purposive, yaitu di Kabupaten Humbang Hasundutan. Daerah penelitian ini dipilih karena wilayah ini memiliki kawasan hutan yang masih cukup luas seperti yang tertera pada tabel 1.

Tabel 1. Luas kawasan hutan berdasarkan fungsi tahun 2006 s.d. 2008 no. 1. 2. 3. 4. fungsi

Hutan Lindung (HL) Hutan Produksi (HP) Hutan Produksi Terbatas (HPT) Hutan Reboisasi (Inlyiving) 2006 29.100 41.600 3.100 21.712,84 luas (ha) 2007 31.300 41.600 3.100 19.512,84 2008 31.300 41.600 3.100 19.512,84

jumlah / total 95.512,84 95.512,84 95.512,84 (Sumber : Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Humbang

Hasundutan, 2009)

Berdasarkan tabel 1 di atas dapat diketahui bahwa kawasan hutan lindung mengalami pertambahan luas sebesar 2.200 ha. Keadaan ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain masuknya Hutan Paranginan Reg.150 sebagai hutan register seluas 300 ha dan adanya pertambahan luas hutan lindung setelah perhitungan pertambahan luas kabupaten seluas 1.900 ha. Selain itu, penyebab berkurangnya luas hutan reboisasi pada tahun 2008 disebabkan oleh beberapa hal, antara lain adanya hutan reboisasi yang masuk wilayah Kabupaten Tapanuli Utara, overlap luas hutan reboisasi dan hutan register seluas 300, yaitu Hutan


(35)

Paranginan Reg. 150, dan diketahuinya kawasan – kawasan hutan lainnya dari daftar hutan yang belum diinventarisasi. Sementara itu, kawasan hutan yang memiliki luas paling kecil adalah hutan yang berfungsi sebagai hutan produksi terbatas (3.100 ha).

Berdasarkan data luas hutan lindung dan hutan produksi yang ada di Kabupaten Humbang Hasundutan seperti yang tertera pada tabel 1, maka masyarakat setempat memiliki kebebasan untuk memungut dan memanfaatkan komoditas HHBK, seperti rotan, getah (getah kemenyan, getah pinus, dan sebagainya), buah, jamur, dan sarang burung walet yang tumbuh di kedua hutan tersebut.

Adapun alasan lain dipilihnya Kabupaten Humbang Hasundutan sebagai daerah penelitian adalah karena ada beberapa hasil komoditas Hasil hutan Bukan Kayu (HHBK) yang dihasilkan seperti yang tertera pada tabel 2.

Tabel 2. Produksi hasil hutan bukan kayu (hhbk) di Kabupaten Humbang Hasundutan (ton) tahun 2008

no. jenis hhbk produksi (ton) persentase (%)

1. Kemenyan 1.305,13 55,83

2. Rotan 4,24 0,18

3. Durian 933,82 39,94

4. Aren 94,58 4,05

total 2.337,77 100

(Sumber : Analisis data sekunder Tahun 2008 (Lampiran 5))

Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa produktivitas komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang ada di Kabupaten Humbang Hasundutan, antara lain kemenyan (0,31 ton/ha), rotan (0,03 ton/ha), durian (4,72 ton/ha)), dan aren (0,53 ton/ha).


(36)

3.2 Metode Penentuan Sampel

Dalam penelitian ini responden sulit dipantau atau diketahui secara umum dan responden hanya sebagai sumber informasi serta kurangnya informasi yang jelas yang dapat dijadikan dasar pelacakan sampel responden, sehingga penentuan sampel dilakukan dengan metode snowball sampling, yaitu metode pengambilan sampel yang dilakukan secara berantai, mulai dari ukuran sampel yang kecil, makin lama menjadi semakin besar (Teguh, 1999).

Di mana responden yang akan dijadikan sebagai sampel meliputi masyarakat pengumpul, pedagang perantara, dan pengolah atau dengan kata lain para stakeholders yang terlibat dalam pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang ada di daerah penelitian.

Metode penentuan sampel responden dengan snowball sampling dapat dilakukan dengan tahapan – tahapan sebagai berikut :

1. Melakukan analisis data dengan menggunakan metode LQ untuk mengetahui komoditas HHBK yang menjadi komoditas basis di Kabupaten Humbang Hasundutan.

2. Berdasarkan hasil perhitungan LQ, maka diketahui bahwa hanya kemenyan yang menjadi komoditas basis HHBK di Kabupaten Humbang Hasundutan dengan nilai LQ sebesar 28.

3. Penerapan teknik snowball sampling untuk menentukan jumlah sampel responden yang terdiri dari masyarakat pengumpul, pedagang perantara, dan pengolah.


(37)

4. Dalam penerapan teknik snowball sampling pertama sekali dicari informasi mengenai jumlah populasi pedagang besar / pengolah kemenyan didapatkan dari data sekunder mengenai jumlah produksi kemenyan Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2009 yang berasal dari Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi seperti yang tertera pada Lampiran 8. Setelah mengetahui jumlah populasi pedagang besar / pengolah kemenyan tersebut, maka diadakan survei untuk mencari lokasi tempat tinggal salah seorang pedagang besar tersebut. 5. Kemudian setelah diketahui lokasi tempat tinggal salah seorang pedagang besar yang berada di Doloksanggul dan melakukan wawancara, maka didapatkan informasi mengenai lokasi tempat tinggal pedagang besar lainnya dan lokasi jual beli kemenyan di Kabupaten Humbang Hasundutan. Di mana setelah mewawancarai tiga orang pedagang besar sebagai sampel, maka diketahui bahwa mereka pada umumnya membeli kemenyan dari para pedagang kecil / pengumpul yang dapat dijumpai di pasar kemenyan pada hari pekan kabupaten setiap hari Jumat.

6. Mengadakan survei ke pasar kemenyan pada hari pekan kabupaten dijumpai para pedagang kecil / pengumpul kemenyan dengan jumlah yang banyak dan diambil sampel sebanyak tujuh orang. Kemudian diadakan wawancara terhadap sampel para pedagang kecil / pengumpul tersebut untuk mengetahui lokasi terdekat para petani pengumpul kemenyan dapat dijumpai. Akhirnya diketahui bahwa lokasi petani pengumpul kemenyan yang paling dekat dengan Doloksanggu l adalah Desa Matiti II. Kemudian diadakan survei ke desa tersebut untuk mewawancarai petani pengumpul kemenyan lainnya, sehingga diperoleh total sampel petani pengumpul sebanyak sepuluh orang.


(38)

Adapun rincian mengenai jumlah sampel responden yang didapatkan berdasarkan tahapan – tahapan di atas seperti yang tertera pada tabel 3.

Tabel 3. Jumlah populasi dan sampel stakeholders kemenyan di Kabupaten Humbang Hasundutan

no. tipe stakeholders populasi sampel

1. Pedagang besar / pengolah 7 3

2. Pedagang kecil / pengumpul 7

3. Petani pengumpul 10

total 20

3.3 Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan untuk penetapan jenis HHBK unggulan mencakup aspek ekonomi, biofisik dan lingkungan, kelembagaan, sosial, dan aspek teknologi dari tiap jenis HHBK yang akan dinilai tingkat keunggulannya dibanding dengan jenis lain. Teknik pengukuran data di lapangan dilakukan di Kabupaten Humbang Hasundutan sebagai satu kesatuan pengukuran yang meliputi data primer dan data sekunder.

a. Pengumpulan Data Primer

Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan daftar kuesioner dari kriteria dan indikator yang telah ditetapkan melalui teknik wawancara, pengamatan, diskusi, dan melakukan verifikasi lapangan terhadap data yang telah dikumpulkan.

b. Pengumpulan Data Sekunder

Data sekunder yang dikumpulkan merupakan data yang terkait dan mendukung untuk keperluan analisa penetapan unggulan. Pengumpulan data dapat dilakukan melalui beberapa metoda, antara lain melalui studi literatur, peraturan perundangan, dan laporan – laporan yang terkait.


(39)

3.4 Metode Analisis Data

Untuk hipotesis 1 dianalisis dengan menggunakan metode Location Quotient (LQ) sebagai berikut :

LQ =

N Ni

S Si

/ /

Di mana : Si = jumlah produksi komoditas HHBKi yang dihasilkan dari kabupaten yang didefinisikan

S = jumlah produksi komoditas HHBK yang dihasilkan dari kabupaten yang didefinisikan

Ni = jumlah produksi komoditas HHBKi yang dihasilkan dari propinsi yang didefinisikan

N = jumlah produksi komoditas HHBK yang dihasilkan dari propinsi yang didefinisikan

Hasil perhitungan LQ menghasilkan tiga kriteria, yaitu :

a. LQ > 1; artinya komoditas tersebut menjadi basis atau menjadi sumber pertumbuhan. Komoditas memiliki keunggulan komparatif, hasilnya tidak saja dapat memenuhi kebutuhan di wilayah bersangkutan, akan tetapi juga dapat diekspor keluar wilayah.

b. LQ = 1; komoditas itu tergolong non basis, tidak memiliki keunggulan komparatif. Produksinya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan wilayah sendiri dan tidak mampu untuk diekspor.

c. LQ < 1; komoditas ini juga termasuk non basis. Produksi komoditas di suatu wilayah tidak dapat memenuhi kebutuhan sendiri sehingga perlu pasokan atau impor dari luar.


(40)

Untuk hipotesis 2 dapat dianalisis dengan menggunakan metode description scoring. Data disusun dalam tabulasi dari tiap kabupaten untuk tiap jenis HHBK yang sedang dievaluasi, selanjutnya pengolahan data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :

1. Kuantifikasi data pengukuran tiap indikator untuk tiap kriteria dalam data kategorik dan dinyatakan dalam 3 (tiga) selang nilai. Nilai 3 mencerminkan nilai kategori tinggi, 2 menunjukkan nilai kategori sedang, dan nilai 1 menunjukkan kategori rendah dalam menentukan tingkat keunggulan. Di mana kriteria dan indikator yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 1. 2. Scoring, yakni pemberian nilai tiap indikator dengan nilai 3, 2, dan 1 sesuai

dengan ukuran standar yang ditetapkan.

3. Penghitungan Nilai Indikator Tertimbang (NIT) :

NIT suatu kriteria (NITk) adalah hasil bagi antara bobot suatu kriteria (Bk) dengan jumlah indikator pada kriteria tersebut (JIk) dikali dengan jumlah hasil pembagian antara nilai indikator dengan nilai indikator maksimal (dalam hal ini 3) yang ada dalam kriteria bersangkutan. Secara matematis, perhitungan dilakukan dengan rumusan berikut :

NITk =

JIk Bk

=n

i N ax

NI 1 Im

Di mana : NIT = Nilai Indikator Tertimbang

k = Kriteria penentuan unggulan (1 … 5) n = Jumlah indikator dalam tiap kriteria Ni = Nilai indikator tiap kriteria

Bk = Besarnya nilai bobot dari kriteria ke – k NImax = Nilai indikator terbesar, dalam hal ini 3 JIk = Jumlah indikator untuk kriteria ke – k.


(41)

4. Perhitungan Total Nilai Unggulan (TNU) suatu jenis HHBK dilakukan dengan menjumlahkan semua nilai indikator tertimbang dari semua kriteria.

TNU = NIT ekonomi + NIT biofisik + NIT kelembagaan + NIT sosial + NIT teknologi

5. Penetapan Nilai Unggulan

Berdasarkan Total Nilai Unggulan (TNU) jenis HHBK dikelompokkan ke dalam tiga kelas Nilai Unggulan (NU) sebagai berikut :

1. Nilai unggulan 1 adalah jenis komoditas HHBK yang memiliki nilai TNU antara 78 – 100.

2. Nilai unggulan 2 adalah jenis komoditas HHBK yang memiliki nilai TNU antara 54 – 77.

3. Nilai unggulan 3 adalah jenis komoditas HHBK yang memiliki nilai TNU antara 30 – 53.

Penetapan jenis HHBK unggulan dilakukan berdasarkan besarnya skor nilai unggulan yang dapat dikelompokkan dalam 4 kelas dengan penentuan sebagai berikut :

1. Unggulan nasional adalah jenis HHBK yang termasuk NU 1 dan tersebar minimal di 5 provinsi.

2. Unggulan provinsi adalah jenis HHBK yang termasuk NU 1 yang tersebar kurang dari 5 provinsi dan atau NU 2 yang tersebar minimal di 2 kabupaten. 3. Unggulan kabupaten adalah jenis HHBK yang termasuk minimal dalam NU 2. 4. Tidak unggul adalah jenis HHBK yang termasuk dalam NU 3.


(42)

Penyusunan strategi pengembangan komoditas unggulan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dapat dianalisis dengan menggunakan analisis SWOT secara deskriptif yang disajikan dalam bentuk tabel dan matriks yang dikenal dengan istilah ”matriks SWOT”. Di mana ada delapan tahap bagaimana penyusunan strategi dapat dibangun melalui matriks TOWS/SWOT. Tahapan yang dimaksud adalah : 1. Buat daftar kekuatan kunci internal yang ada.

2. Buat daftar kelemahan kunci internal yang ada. 3. Buat daftar peluang eksternal yang ada.

4. Buat daftar ancaman eksternal yang ada.

5. Cocokkan kekuatan – kekuatan internal dan peluang – peluang eksternal dan catat hasilnya dalam strategi SO.

6. Cocokkan kelemahan – kelemahan internal dan peluang – peluang eksternal dan catat hasilnya dalam strategi WO.

7. Cocokkan kekuatan – kekuatan internal dan ancaman – ancaman eksternal dan catat hasilnya dalam strategi ST.

8. Cocokkan kelemahan – kelemahan internal dan ancaman – ancaman eksternal dan catat hasilnya dalam strategi WT.


(43)

3.5 Definisi dan Batasan Operasional

Adapun definisi dan batasan operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

3.5.1 Definisi

1. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persektuan alam lingkungannya yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. 2. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) adalah hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta produk turunan dan budidaya kecuali kayu yang berasal dari ekosistem hutan.

3. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) nabati adalah hasil hutan bukan kayu yang berasal dari jenis tanaman selain kayu beserta produk turunannya berupa getahan, serat, atsiri, dammar, bahan substitusi kayu (bambu dan rotan), bahan pangan, bahan obat – obatan.

4. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) hewani adalah hasil hutan bukan kayu yang berasal dari hewan dan produk turunannya.

5. Pemungutan hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu adalah kegiatan untuk mengambil hasil hutan baik berupa kayu dan/atau bukan kayu dengan batasan waktu, luas, dan/atau volume tertentu.

6. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu adalah kegiatan untuk memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan berupa bukan kayu dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya.


(44)

7. Nilai perdagangan ekspor adalah volume devisa HHBK yang diperoleh dari tiap kabupaten yang diukur dalam satu tahun yang dinyatakan dalam satuan dollar Amerika/tahun.

8. Nilai perdagangan dalam negeri menunjukkan volume pendapatan dari hasil penjualan komoditas HHBK di pasar dalam negeri yang diukur di tiap kabupaten tiap tahun, dinyatakan dalam rupiah/tahun.

9. Lingkup pemasaran menunjukkan cakupan wilayah perdagangan yang dibedakan dalam 3 lawas yakni; internasional dipasarkan antar negara, nasional dipasarkan di lingkup antar kabupaten, antar provinsi atau antar pulau, dan lokal dipasarkan dalam wilayah kabupaten (untuk penilaian tingkat kabupaten) atau antar kabupaten dalam provinsi (untuk penilaian tingkat provinsi).

10.Potensi pasar internasional menunjukkan tingkat permintaan komoditas tersebut di pasaran internasional.

11.Mata rantai pemasaran menunjukkan tingkat kompleksitas rantai pemasaran (market chain) dan saluran pemasaran (market channel).

12.Cakupan pengusahaan menunjukkan perkembangan industri dalam upaya meningkatkan nilai tambah (value added).

13.Investasi usaha menunjukkan bahwa melalui investasi, komoditas tersebut memberikan kontribusi yang nyata bagi pertumbuhan ekonomi.

14.Potensi tanaman menunjukkan tingkat kelimpahan (abundance) komoditas tersebut di alam yang diukur dalam persentase antara jumlah pohon atau rumpun per hektar terhadap kondisi tegakan normal.

15. Penyebaran menunjukkan tingkat keberadaan suatu komoditas dalam suatu wilayah.


(45)

16. Status konservasi menunjukkan keleluasaan pemanfaatan dan perdagangan komoditas tersebut dikaitkan dengan ancaman kepunahan.

17. Budidaya menunjukkan upaya memproduksi komoditas HHBK selain dari tegakan alam.

18. Aksesibilitas ke sumber HHBK menunjukkan tingkat kemudahan sumber HHBK untuk dicapai dan dijangkau alat transportasi.

19. Jumlah kelompok usaha produsen menunjukkan tingkat keterlibatan kelompok usaha yang mengusahakan komoditas tersebut.

20. Asosiasi kelompok usaha menunjukkan tingkat ketertarikan kelompok usaha membentuk asosiasi untuk meningkatkan daya saing.

21. Aturan tentang komoditas bersangkutan menunjukkan ketersediaan peraturan dan tingkat pengaturan komoditas tersebut.

22. Peran institusi menunjukkan dukungan dari berbagai institusi, seperti pemerintah pusat, daerah, dan LSM.

23. Standar komoditas bersangkutan menunjukkan ada tidaknya standardisasi dari produk komoditas HHBK bersangkutan.

24. Sarana/fasilitas pengembangan komoditas bersangkutan menunjukkan ketersediaan fasilitas untuk pengembangan komoditas tersebut, seperti berupa pusat pelatihan, trade center, clearing house, sarana laboratorium atau networking (misal rotan ASEAN).

25. Pelibatan masyarakat diukur dalam persentase jumlah petani yang terlibat dalam mengusahakan (memungut, menanam, mengolah, dan memperdagangkan) komoditas tersebut untuk sumber penghasilannya.


(46)

26. Kepemilikan usaha menunjukkan tingkat keikutsertaan atau kolaborasi masyarakat dengan pengusaha dalam mengusahakan komoditas tersebut.

27. Teknologi budidaya menunjukkan tingkat penguasaan teknik budidaya komoditas HHBK.

28. Teknologi pengolahan hasil menunjukkan tingkat penguasaan teknologi pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah.

29. Faktor internal adalah faktor yang mempengaruhi perkembangan komoditas HHBK yang berasal dari daerah penelitian, seperti kekuatan dan kelemahan. 30. Faktor eksternal adalah faktor yang mempengaruhi perkembangan komoditas HHBK yang berasal dari luar daerah penelitian, seperti peluang dan ancaman.

3.5.2 Batasan Operasional

1. Penelitian dilakukan di Kabupaten Humbang Hasundutan. 2. Waktu penelitian dilakukan pada tahun 2010.

3. Jenis komoditas yang diteliti adalah Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK).

4. Responden yang akan dijadikan sebagai sampel meliputi masyarakat pengumpul, pedagang perantara, dan pengolah.


(47)

BAB IV

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN DAN

KARAKTERISTIK SAMPEL

4.1 Deskripsi Daerah Penelitian 4.1.1 Luas dan Letak Geografis

Kabupaten Humbang Hasundutan terletak pada garis 2°1' - 2°28' LU dan 98°10' - 98°58' BT dan berada di bagian tengah wilayah Provinsi Sumatera Utara. Kondisi fisik Kabupaten Humbang Hasundutan berada pada ketinggian antara 330-2.075 m di atas permukaan laut.

Menurut Surat Edaran Bupati Humbang Hasundutan No.130/1647/Pem/XI/2007 pada tanggal 12 November 2007, luas Kabupaten Humbang Hasundutan adalah sebesar 233.533 ha dan 1.494,91 ha luas danau. Kemiringan tanah yang tergolong datar hanya 11%, landai sebesar 20%, dan miring / terjal 69%. Kecamatan yang paling luas wilayahnya adalah Kecamatan Parlilitan sekitar 72.774,71 ha atau 29,08% dari luas kabupaten dan yang terkecil luasnya adalah Kecamatan Bakti Raja sekitar 2.231,91 ha atau 0,89%. Adapun batas – batas Kabupaten Humbang Hasundutan adalah sebagai berikut :

a. Sebelah Utara : Kabupaten Samosir b. Sebelah Timur : Kabupaten Tapanuli Utara c. Sebelah Selatan : Kabupaten Tapanuli Tengah d. Sebelah Barat : Kabupaten Pakpak Barat


(48)

4.1.2 Tata Guna Lahan

Penggunaan lahan di Kabupaten Humbang Hasundutan terdiri dari penggunaan lahan terbangun dan penggunaan lahan non-terbangun. Di mana untuk penggunaan lahan terbangun berupa penggunaan lahan yang di atas lahannya terdapat bangunan fisik seperti pemukiman, sarana dan prasarana pemukiman, dan lain – lain, sedangkan penggunaan lahan non-terbangun berupa penggunaan lahan yang di atas lahannya tidak ada bangunan fisik, seperti pertanian, kehutanan, perikanan, dan lain – lain. Dominasi penggunaan lahan di Kabupaten Humbang Hasundutan seperti yang tertera pada tabel 4.

Tabel 4. Penggunaan lahan di Kabupaten Humbang Hasundutan tahun 2008

no. jenis penggunaan luas (ha) persentase (%)

1. Pertanian 24.167 10,35

2. Kebun rakyat/tegalan/lahan kering 22.691 9,72

3. Pemukiman/pekarangan 2.425 1,04

4. Hutan 159.392 68,25

5. Semak belukar/padang ilalang 2.850 1,22

6. Tambak/kolam 447 0,19

7. Penggembalaan 21.561 9,23

total 233.533 100

(Sumber : BPS Kabupaten Humbang Hasundutan, 2009)

Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa lahan di Kabupaten Humbang Hasundutan paling banyak digunakan untuk lahan non terbangun, seperti pertanian, kehutanan, perikanan, dan lain – lain (98,96%), sedangkan lahan paling sedikit digunakan untuk lahan terbangun, seperti pemukiman, sarana dan prasarana pemukiman, dan lain – lain (1,04%).


(49)

4.1.3 Keadaan Penduduk

Jumlah penduduk Kabupaten Humbang Hasundutan pada tahun 2008 merupakan angka proyeksi yang dihitung berdasarkan data jumlah penduduk hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) pada tahun 2005. Di mana hasil proyeksi tersebut menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kabupaten Humbang Hasundutan tahun 2008 sebesar 158.070 jiwa yang terdiri dari 76.166 jiwa laki – laki dan 79.904 jiwa perempuan.

1) Distribusi Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin

Penduduk Kabupaten Humbang Hasundutan berjumlah 158.070 jiwa, terdistribusi menurut kecamatan dan jenis kelamin, seperti yang tertera pada tabel 5.

Tabel 5. Distribusi penduduk menurut kecamatan dan jenis kelamin di Kabupaten Humbang Hasundutan tahun 2008

no. kecamatan laki-laki perempuan jumlah (total)

persentase (%)

1. Pakkat 10.596 1.157 22.169 14,02

2. Onan Ganjang 4.639 4.770 9.409 5,95

3. Sijamapolang 2.148 2.285 4.433 2,8

4. Lintong Nihuta 13.338 13.299 26.637 16,85

5. Paranginan 5.984 5.994 11.978 7,58

6. Doloksanggul 18.834 18.747 37.581 23,77

7. Pollung 6.844 6.855 13.699 8,67

8. Parlilitan 9.668 9.912 19.580 12,39

9. Tarabintang 3.162 3.351 6.531 4,13

10. Bakti Raja 2.953 3.118 6.071 3,84

Humbahas 78.166 79.904 158.070 100

Sumber : BPS Kabupaten Humbang Hasundutan 2009

Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa nilai sex ratio (rasio jenis kelamin) di Kabupaten Humbang Hasundutan adalah 97,82. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk laki – laki di Kabupaten Humbang Hasundutan lebih sedikit daripada jumlah penduduk perempuan. Selain itu, dapat diketahui bahwa Kecamatan Doloksanggul memiliki jumlah penduduk terbanyak (37.581 jiwa).


(50)

Hal ini disebabkan karena Kecamatan Doloksanggul merupakan ibu kota sekaligus sebagai pusat pemerintahan, dan perdagangan Kabupaten Humbang Hasudutan. Adapun kecamatan yang memiliki jumlah penduduk paling sedikit adalah Kecamatan Sijamapolang (4.433 jiwa). Hal ini disebabkan karena Kecamatan Sijamapolang merupakan kecamatan yang baru dimekarkan di Kabupaten Humbang Hasundutan, sehingga penduduk belum banyak bermigrasi ke kecamatan tersebut.

2) Distribusi Penduduk Menurut Mata Pencaharian

Adapun distribusi penduduk menurut mata pencaharian di Kabupaten Humbang Hasundutan dapat diuraikan seperti yang tertera pada tabel 6.

Tabel 6. Distribusi penduduk menurut mata pencaharian di Kabupaten Humbang Hasundutan tahun 2008

no. uraian jumlah penduduk

(jiwa)

persentase (%)

1. Petani 55789 72,66

2. Pedagang 15009 19,55

3. TNI / Polri 1523 1,98

4. PNS 3430 4,48

5. Buruh / Lainnya 1025 1,33

total 76776 100

(Sumber : BPS Kabupaten Humbang Hasundutan, 2009)

Berdasarkan tabel 6 dapat diketahui bahwa sektor pertanian merupakan mata pencaharian utama bagi penduduk di Kabupaten Humbang Hasundutan dan berperan sebagai tulang punggung perekonomian daerah yang dapat dilihat dari kontribusi sektor pertanian terhadap pembentukan PDRB tahun 2008 yang mencapai 59,82%. Hal ini didukung oleh adanya penggunaan lahan yang cukup besar bagi sektor pertanian, yaitu sebesar 24.167 ha.


(51)

3) Distribusi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

Pembangunan sektor pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan merupakan aset utama yang sangat strategis dalam menggerakkan laju pembangunan. Di mana peningkatan SDM sekarang ini lebih difokuskan pada pemberian kesempatan seluas – luasnya kepada penduduk untuk mengecap pendidikan, terutama penduduk kelompok usia sekolah (7-24 tahun). Adapun distribusi penduduk menurut tingkat pendidikan dapat diuraikan seperti yang tertera pada tabel 7.

Tabel 7. Distribusi penduduk berumur 10 tahun ke atas menurut tingkat pendidikan di Kabupaten Humbang Hasundutan tahun 2008

no. tingkat pendidikan laki-laki (%) perempuan (%) jumlah

1. Belum pernah sekolah 0,48 3,66 2,12

2. Sekolah Dasar (SD) 12,74 11,11 11,9

3. SMTP 10,54 10,45 10,49

4. SMTA 9,79 10,22 10,01

5. Perguruan tinggi 0,38 0,2 0,29

6. Tidak Sekolah Lagi 66,07 64,36 65,19

total 100 100 100

(Sumber : BPS Kabupaten Humbang Hasundutan, 2009)

Berdasarkan tabel 7 dapat diketahui bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan cenderung menunjukkan penurunan penduduk yang menamatkannya. Selain itu, dapat juga diketahui bahwa jumlah penduduk yang putus sekolah (65,19%) lebih banyak daripada jumlah penduduk yang masih bersekolah (32,69%).

4.1.4 Sarana dan Prasarana Kabupaten Humbang Hasundutan

Sarana dan prasarana sangat mempengaruhi perkembangan dan kemajuan masyarakat. Di mana semakin baik sarana dan prasarana akan semakin mempercepat laju pembangunan pada suatu daerah.


(52)

Adapun sarana dan prasarana yang tersedia di Kabupaten Humbang Hasundutan dapat diuraikan pada tabel 8 berikut :

Tabel 8. Sarana dan prasarana Kabupaten Humbang Hasundutan tahun 2008

no. sarana dan prasarana jumlah

1. Pendidikan

TK 5

SD 218

MI 4

SMP 39

MTs 2

SMU 15

MA 1

SMK 12

2. Kesehatan

RSU 1

Puskesmas 10

Puskesmas Pembantu 26

Polindes 144

Posyandu 229

Apotek 5

Toko Obat (yang mempunyai izin) 9

Klinik swasta 6

Rumah bersalin swasta (yang mempunyai izin) 4 3. Peribadatan

Masjid 22

Gereja 556

4. Lapangan Olahraga

Sepakbola 12

Bola volly 14

Bulutangkis 122

5. Pelayanan Kebersihan

TPS 73

TPA 1

Kereta / gerobak sampah 8

Truk Sampah 6

Sumber : BPS Kabupaten Humbang Hasundutan 2009

Berdasarkan tabel 8 dapat diketahui bahwa Kabupaten Humbang Hasundutan memiliki sarana pendidikan yang kurang lengkap karena tidak tersedianya perguruan tinggi di kabupaten tersebut. Selain itu, dari sarana kesehatan dan pelayanan kebersihan yang tersedia kurang memadai karena hanya memiliki satu


(53)

Rumah Sakit Umum (RSU), satu TPA, dan enam truk sampah, sehingga kurang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan kesehatan dan kebersihan di sepuluh kecamatan yang ada di Kabupaten Humbang Hasundutan.

4.2 Karakteristik Sampel

Karakteristik seseorang mempengaruhi tindakan, pola pikir, dan wawasan yang dimilikinya. Karakteristik stakeholders komoditas HHBK di daerah penelitian meliputi karakteristik sosial ekonomi yang terdiri atas umur, tingkat pendidikan, pengalaman mengusahakan komoditas HHBK, dan jumlah tanggungan keluarga

Karakteristik stakeholders komoditas HHBK dalam penelitian ini dapat dijelaskan secara rinci seperti yang tertera pada tabel 9.

Tabel 9. Karakteristik sosial ekonomi stakeholders komoditas hasil hutan bukan kayu (hhbk) di Kabupaten Humbang Hasundutan tahun 2010

no. karakteristik sosial ekonomi rentang rataan

1. Umur (tahun) 30-75 53,4

2. Tingkat Pendidikan (tahun) 3-17 9,15

3. Pengalaman mengusahakan komoditas HHBK (tahun)

2-55 23,25

4. Jumlah tanggungan keluarga (jiwa) 1-10 6

(Sumber : Analisis Data Primer Tahun 2010 (Lampiran 3))

Berdasarkan tabel 9 dapat diketahui bahwa jumlah stakeholders Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) memiliki rata – rata umur 53 tahun 4 bulan (53,4 tahun) dengan rentang umur antara 30 – 75 tahun. Hal ini berarti, umur para stakeholders komoditas HHBK bersifat tidak produktif karena umur produktif secara umum adalah 15 – 49 tahun.


(54)

Pendidikan para stakeholders komoditas HHBK memiliki rata – rata 9 tahun dengan rentang antara 3 – 17 tahun. Hal ini berarti bahwa tingkat pendidikan para stakeholders komoditas HHBK adalah tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Di mana rata – rata tingkat pendidikan para stakeholders komoditas HHBK masih dikatakan sedang karena rata – rata pendidikan para stakeholders komoditas HHBK sudah mengecap program pemerintah wajib belajar sembilan tahun.

Jumlah tanggungan keluarga stakeholders komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) menyebar antara 1 – 10 jiwa dengan rataan 6 jiwa. Hal ini berarti bahwa jumlah tanggungan para stakeholders komoditas HHBK dikatakan besar karena rata – rata jumlah tanggungan para stakeholders komoditas HHBK lebih besar dari dua jiwa, yaitu program yang dicanangkan oleh pemerintah melalui program Keluarga Berencana (KB).

Pengalaman mengusahakan komoditas HHBK menyebar antara 2 – 55 tahun dengan rataan 23,25 tahun. Lamanya mengusahakan komoditas HHBK mempengaruhi tingkat pengetahuan dan keterampilan stakeholders dalam mengelola komoditas HHBK.


(55)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Komoditas Basis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)

Komoditas HHBK disebut sebagai komoditas basis bila produksi suatu komoditas HHBK yang dihasilkan oleh masyarakat di suatu daerah yang definitif melebihi kebutuhan masyarakat di daerah yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, suatu komoditas basis HHBK merupakan komoditas yang diekspor suatu daerah ke daerah lain termasuk ke pasar internasional.

Adapun metode yang digunakan untuk menentukan komoditas basis HHBK adalah metode Location Quetient (LQ) dengan rumus sebagai berikut :

LQ =

N Ni

S Si

/ /

Di mana : Si = jumlah produksi komoditas HHBKi yang dihasilkan dari kabupaten yang didefinisikan

S = jumlah produksi komoditas HHBK yang dihasilkan dari kabupaten yang didefinisikan

Ni = jumlah produksi komoditas HHBKi yang dihasilkan dari propinsi yang didefinisikan

N = jumlah produksi komoditas HHBK yang dihasilkan dari propinsi yang didefinisikan

Hasil perhitungan LQ menghasilkan tiga kriteria, yaitu : a. LQ > 1; artinya komoditas tersebut menjadi basis. b. LQ = 1; komoditas itu tergolong non basis. c. LQ < 1; komoditas itu tergolong non basis.


(56)

Berdasarkan hasil perhitungan LQ, maka dapat diketahui bahwa komoditas HHBK yang menjadi komoditas basis di Kabupaten Humbang Hasundutan adalah komoditas kemenyan dengan nilai LQ = 28. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dari keempat komoditas Hasil Hutan bukan Kayu yang ada di Kabupaten Humbang Hasundutan, hanya kemenyan yang tergolong komoditas basis. Oleh karena itu, maka hipotesis pertama dapat diterima.

5.2 Komoditas Unggulan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)

Jenis HHBK unggulan adalah jenis tanaman penghasil HHBK yang dipilih berdasarkan kriteria dan indikator tertentu yang ditetapkan. Penetapan jenis HHBK unggulan dilakukan di setiap kabupaten/kota dan merupakan jenis tanaman yang diprioritaskan untuk dikembangkan baik budidaya, pemanfaatan, dan pengolahannya sampai dengan pemasarannya sehingga menjadi jenis HHBK yang dapat memberikan kontribusi ekonomi suatu daerah secara berkelanjutan.

Kriteria – kriteria yang ditetapkan untuk menentukan komoditas unggulan HHBK, antara lain kriteria ekonomi, biofisik dan lingkungan, kelembagaan, sosial, dan teknologi. Indikator – indikator yang ditetapkan untuk menentukan komoditas unggulan HHBK, antara lain nilai perdagangan ekspor, nilai perdagangan lokal, lingkup pemasaran, potensi pasar internasional, mata rantai pemasaran, cakupan pengusahaan, investasi usaha, potensi tanaman, penyebaran, status konversi, budidaya, aksesibilitas ke sumber HHBK, jumlah kelompok usaha produsen/koperasi, asosiasi kelompok usaha, aturan tentang komoditi bersangkutan, peran institusi, standard komoditi bersangkutan, sarana/fasilitas


(57)

pengembangan komoditas bersangkutan, pelibatan masyarakat, kepemilikan usaha, teknologi budidaya, dan teknologi pengolahan hasil.

Kemenyan

Kemenyan merupakan salah satu komoditas basis yang ada di Kabupaten Humbang Hasundutan. Oleh karena itu, langkah selanjutnya yang dilakukan untuk menentukan apakah komoditas unggulan atau tidak, maka dilakukan pengumpulan data dengan menggunakan metode description scoring. Di mana berdasarkan analisis data di lapangan diperoleh scoring untuk setiap kriteria dan indikator yang ditetapkan untuk menentukan komoditas unggulan HHBK yang dapat dilihat pada Lampiran 11.

Setelah dilakukan pemberian scoring untuk setiap indikator, maka tahapan berikutnya adalah dengan penghitungan Nilai Indikator Tertimbang (NIT) untuk setiap kriteria yang ditetapkan dalam penentuan komoditas unggulan HHBK. Secara matematis, perhitungan dilakukan dengan rumusan berikut :

NITk =

JIk Bk

=n

i N ax

NI 1 Im

Di mana : NIT = Nilai Indikator Tertimbang

k = Kriteria penentuan unggulan (1 … 5) n = Jumlah indikator dalam tiap kriteria Ni = Nilai indikator tiap kriteria

Bk = Besarnya nilai bobot dari kriteria ke – k NImax = Nilai indikator terbesar, dalam hal ini 3 JIk = Jumlah indikator untuk kriteria ke – k.


(58)

Adapun kriteria – kriteria yang ditetapkan dalam penentuan komoditas unggulan HHBK, antara lain :

a. Kriteria Ekonomi

Kriteria ekonomi adalah aspek yang mengukur besaran ekonomi dari jenis HHBK yang sedang dievaluasi. Parameter ekonomi mempunyai bobot terbesar (35%) dan meliputi 7 indikator dalam penentuan komoditas unggulan HHBK mengingat pengembangan HHBK diarahkan untuk pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

b. Kriteria Biofisik dan Lingkungan

Biofisik dan lingkungan merupakan aspek yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan suatu jenis HHBK. Parameter biofisik dan lingkungan mempunyai bobot (15%) dan meliputi 5 indikator dalam penentuan komoditas unggulan HHBK. Indikator utama yang dipergunakan dalam menentukan tingkat keunggulan suatu jenis HHBK adalah potensi tanaman, penyebaran, dan status konservasi. Ketiga indikator tersebut sangat mempengaruhi tingkat keumudahan pengembangan lebih lanjut jenis HHBK bersangkutan.

c. Kriteria Kelembagaan

Kelembagaan merupakan aspek penting dalam penentuan tingkat keunggulan suatu komoditas HHBK karena menyangkut unsur pelaku dan tata aturan produksi dan perdagangan HHBK tersebut. Parameter kelembagaan mempunyai bobot (20%) dan meliputi 6 indikator dalam penentuan komoditas unggulan HHBK.


(59)

d. Kriteria Sosial

Dipilihnya aspek sosial sebagai salah satu kriteria dalam penentuan tingkat keunggulan komoditas HHBK merupakan keberpihakan pada masyarakat lokal dalam pengusahaan HHBK. Parameter sosial mempunyai bobot (15%) dan meliputi 2 indikator dalam penentuan komoditas unggulan HHBK.

e. Kriteria Teknologi

Aspek teknologi dipilih sebagai kriteria penentuan unggulan komoditas HHBK karena memiliki peran dalam pengembangan HHBK tersebut baik dalam menjamin pasokan HHBK sebagai bahan baku maupun dalam peningkatan nilai tambah HHBK tersebut. Parameter teknologi mempunyai bobot (15%) dan meliputi 2 indikator dalam penentuan komoditas unggulan HHBK.

Adapun hasil penghitungan Nilai Indikator Tertimbang (NIT) untuk setiap kriteria dapat diuraikan pada tabel 10.

Tabel 10. Nilai indikator tertimbang (nit) untuk setiap kriteria komoditas kemenyan

no. kriteria nitk

1. Ekonomi 21,65

2. Biofisik dan Lingkungan 9,99

3. Kelembagaan 7,76

4. Sosial 12,525

5. Teknologi 5,025

(Sumber : Analisis data primer Tahun 2010 (Lampiran 12 ))

Berdasarkan tabel 10 di atas, maka dapat diketahui bahwa kriteria ekonomi (21,65) sangat mempengaruhi penilaian unggul atau tidaknya komoditas kemenyan di Kabupaten Humbang Hasundutan.


(60)

Setelah diperoleh hasil penghitungan Nilai Indikator Tertimbang (NIT) untuk setiap kriteria, maka tahapan berikutnya adalah dengan melakukan penghitungan Total Nilai Unggulan (TNU) suatu jenis HHBK yang dilakukan dengan cara menjumlahkan semua nilai NIT dari semua kriteria.

Secara matematis, penghitungan dilakukan dengan rumusan berikut :

TNU = NITekonomi + NITbiofisisk + NITkelembagaan + NITsosial + NITteknologi Setelah dilakukan penghitungan, maka diperoleh nilai Total Nilai Unggulan (TNU) sebesar 56,95.

Adapun tahapan berikutnya yang dilakukan dalam penentuan komoditas unggulan HHBK adalah penetapan Nilai Unggulan (NU). Berdasarkan Total Nilai Unggulan (TNU) jenis HHBK dikelompokkan ke dalam tiga kelas Nilai Unggulan (NU), antara lain NU1, NU2, dan NU3. Oleh karena itu, maka berdasarkan nilai TNU yang diperoleh, yaitu 56,95 komoditas kemenyan termasuk dalam kelas Nilai Unggulan Dua (NU2). Di mana kelas Nilai Unggulan Dua (NU2) adalah jenis komoditas HHBK yang memiliki nilai TNU antara 54 – 77.

Tahapan terakhir dalam penentuan komoditas unggulan HHBK dilakukan berdasarkan besarnya skor nilai unggulan dan mempertimbangkan frekuensi penyebaran jenis komoditas HHBK tersebut di wilayah Indonesia. Selanjutnya, jenis HHBK unggulan dikelompokkan dalam 4 (empat) kelas, antara lain HHBK unggulan nasional, unggulan provinsi, kabupaten, dan bukan unggulan yang memiliki ketentuan – ketentuan sebagai berikut :


(61)

1. Unggulan nasional adalah jenis HHBK yang termasuk NU 1 dan tersebar minimal di 5 provinsi.

2. Unggulan provinsi adalah jenis HHBK yang termasuk NU 1 yang tersebar kurang dari 5 provinsi dan atau NU 2 yang tersebar minimal di 2 kabupaten. 3. Unggulan kabupaten adalah jenis HHBK yang termasuk minimal dalam NU 2. 4. Tidak unggul adalah jenis HHBK yang termasuk dalam NU 3.

Berdasarkan ketentuan – ketentuan tersebut, maka komoditas kemenyan yang ada di Kabupaten Humbang Hasundutan merupakan komoditas HHBK unggulan kabupaten. Oleh karena itu, hipotesis 2 (dua) dapat diterima.

5.3 Strategi Pengembangan Komoditas Unggulan HHBK

Penyusunan strategi pengembangan komoditas unggulan HHBK dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT secara deskriptif yang disajikan dalam bentuk tabel dan matriks yang dikenal dengan istilah ”matriks SWOT”. Di mana tahapan – tahapan dalam penentuan strategi yang dapat dibangun melalui matriks SWOT, antara lain :

1. Membuat daftar kekuatan kunci internal yang ada

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada para responden dan pengumpulan data sekunder, maka dapat diketahui kekuatan – kekuatan kunci internal yang berperan penting dalam penyusunan strategi pengembangan komoditas HHBK unggulan yang ada di Kabupaten Humbang Hasundutan, antara lain :


(62)

A. Aspek Geografis

1) Kemenyan sangat cocok tumbuh di daerah penelitian

Hal ini didukung oleh suatu pernyataan sebagai berikut ”Di Humbang Hasundutan, selain tanahnya yang cocok ditanami kemenyan, sebagaimana kemenyan dapat tumbuh dan subur pada areal berketinggian 500 hingga 2.000 meter diatas permukaan laut (dpl). Humbang Hasundutan sendiri sebagai habitat terbaik kemenyan pada ketinggian 1.200 hingga 1.500 dpl. Misalnya, di Aeknauli, Kecamatan Pollung misalnya kemenyan walau baru berusia muda sudah menghasilkan getah 0,1 kg per sekali panen (6 bulan), itu artinya kontur tanah sesuai dengan pohon kemenyan” (Anonimus, 2009b).

Selain itu, berdasarkan hasil wawancara dengan para petani pengumpul kemenyan yang ada di daerah penelitian diketahui bahwa tanaman kemenyan yang mereka sadap getahnya sudah tumbuh di hutan sejak berpuluh – puluh tahun yang lalu dengan sendirinya. Hal ini menunjukkan bahwa komoditas kemenyan sangat cocok tumbuh di daerah penelitian baik dilihat dari segi kondisi tanah dan iklim yang mendukung pertumbuhan kemenyan dengan baik.


(63)

B. Aspek Kekhasan Getah Kemenyan

1) Kemenyan yang tumbuh di daerah penelitian memiliki kualitas getah yang khas dibandingkan dengan kemenyan yang tumbuh di negara lain seperti Vietnam, Laos, dan Myanmar.

Berdasarkan hasil wawancara dengan para responden diketahui bahwa kualitas getah yang dihasilkan oleh kemenyan yang tumbuh di daerah penelitian memiliki beberapa kekhasan, antara lain

1) Kualitas getah yang disadap dari kemenyan yang sudah berumur tua di daerah penelitian akan semakin wangi dan berwarna putih.

2) Getah yang disadap dari kemenyan yang tumbuh di daerah penelitian jika dijemur lebih cepat kering dibandingkan dengan getah yang disadap dari kemenyan yang tumbuh di daerah atau negara penghasil kemenyan lainnya yang lebih mudah mengelupas jika dijemur.

C. Komoditas Unggulan

1) Kemenyan merupakan komoditas HHBK unggulan tingkat kabupaten

Berdasarkan hasil perhitungan yang digunakan dalam menetapkan komoditas unggulan HHBK di suatu daerah, maka diketahui bahwa kemenyan merupakan salah satu komoditas unggulan HHBK tingkat kabupaten yang ada di Kabupaten Humbang Hasundutan yang dapat menjadi landasan awal untuk dikembangkan secara intensif.


(64)

D. Kawasan Hutan

1) Luasnya kawasan hutan yang terdapat di Kabupaten Humbang Hasundutan, sehingga masih memungkinkan dilaksanakannya program pembudidayaan kemenyan di daerah ini.

2. Membuat daftar kelemahan kunci internal yang ada

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada para responden dan pengumpulan data sekunder, maka dapat diketahui kelemahan - kelemahan kunci internal yang berperan penting dalam penyusunan strategi pengembangan komoditas HHBK unggulan yang ada di Kabupaten Humbang Hasundutan, antara lain :

A. Teknologi Budidaya

1) Para petani pengumpul getah kemenyan belum mempercayai bahwa kemenyan dapat dibudidayakan.

Menurut pernyataan beberapa petani pengumpul yang diwawancarai dapat diketahui bahwa ada kecenderungan dalam diri para petani pengumpul kemenyan mempercayai bahwa kemenyan tidak dapat dibudidayakan, melainkan tumbuh dengan sendirinya sejak beratus – ratus tahun yang lalu. Hal ini juga didukung oleh pengalaman beberapa petani pengumpul yang pernah membudidayakan kemenyan, akan tetapi tidak berhasil. Di mana menurut mereka hal tersebut disebabkan oleh belum adanya bibit kemenyan unggulan yang dihasilkan oleh para ahli, belum diketahuinya jenis dan dosis pupuk yang sesuai untuk kemenyan, dan adanya gulma yang disebut petani pengumpul dengan istilah ”Sarindan” yang dapat mematikan pertumbuhan


(65)

kemenyan, jika tidak diatasi sedini mungkin. Adapun gulma ”Sarindan” yang tumbuh di pohon kemenyan dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 3. Gulma ”Sarindan” yang tumbuh di pohon kemenyan

2) Pedoman teknologi budidaya kemenyan secara tertulis belum ada ditetapkan oleh para ahli maupun pemerintah

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap para petani pengumpul dapat diketahui bahwa belum ada pedoman teknologi budidaya kemenyan yang disosialisasikan kepada mereka baik melalui penyuluh maupun instansi terkait.

B. Penyuluh kehutanan

1) Penyuluh kehutanan belum ada dan tersedia di Kabupaten Humbang Hasundutan

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap para petani, pedagang kecil, dan pedagang besar / pengolah getah kemenyan diketahui bahwa mereka tidak mengetahui adanya penyuluh kehutanan di Kabupaten Humbang Hasundutan. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan dari salah seorang penyuluh yang ada di Kantor Kecamatan Dolok Sanggul yang menyatakan


(1)

Lampiran 7. Analisis Metode LQ Komoditas HHBK di Kabupaten Humbang Hasundutan

No. Jenis HHBK Si / S Ni / N

N Ni

S Si

/ /

1. Kemenyan 0,56 0,02 28

2. Rotan 0,0009 0,0015 0,6

3. Durian 0,4 0,58 0,69

4. Aren 0,02 0,028 0,71


(2)

Lampiran 8. Nilai Perdagangan Lokal Kemenyan di Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2009

No. Nama Pedagang Besar Produksi (Ton)

1. Tarsan Nainggolan 7

2. Robert Pakpahan 7

3. Kucing 7

4. Nainggolan 7

5. Nainggolan 7

6. Haji 7

7. Simamora 7

Jumlah / Total 49

Perbulan = 49 ton × Rp 70.000,-/kg = Rp 3.430.000.000,-


(3)

Lampiran 9. Jumlah KUD dan Non KUD per Kecamatan Tahun 2008

No. Kecamatan KUD Non KUD Jumlah

1. Tarabintang - 1 1

2. Pollung - - -

3. Paranginan - 3 3

4. Onan Ganjang 1 5 6

5. Pakkat - 2 2

6. Lintong Nihuta 1 11 12

7. Sijamapolang 1 - 1

8. Bakti Raja - - -

9. Parlilitan - - -

10. Doloksanggul 3 4 7

Total 6 26 32


(4)

Lampiran 10. Jumlah Kelompok Tani dan Jumlah Anggota per Kecamatan Tahun 2008

No. Kecamatan Jumlah Kelompok

Tani

Jumlah Anggota

1. Tarabintang - -

2. Pollung - -

3. Paranginan - -

4. Onan Ganjang 46 1097

5. Pakkat - -

6. Lintong Nihuta - -

7. Sijamapolang - -

8. Bakti Raja - -

9. Parlilitan - -

10. Doloksanggul - -


(5)

Lampiran 11. Analisis Matriks Kriteria dan Indikator Penetapan Jenis HHBK Unggulan Komoditas Kemenyan di Kabupaten Humbang Hasundutan

No. Kriteria Indikator Nilai

1. Ekonomi (Bobot 35%) 1. Nilai Perdagangan Ekspor 1

2. Nilai Perdagangan Lokal 3

3. Lingkup Pemasaran 2

4. Potensi Pasar Internasional 3

5. Mata Rantai Pemasaran 1

6. Cakupan Pengusahaan 2

7. Investasi Usaha 1

2. Biofisik dan Lingkungan

(Bobot 15%)

1. Potensi Tanaman 2. Penyebaran 3. Status Konservasi 4. Budidaya

5. Aksesibilitas ke sumber HHBK 2 3 3 1 1 3. Kelembagaan (Bobot 20%) 1. Jumlah Kelompok Usaha

Produsen/Koperasi

2. Asosiasi Kelompok Usaha 3. Aturan tentang komoditi bersangkutan

4. Peran Institusi

5.Standard komoditi bersangkutan 6. Sarana/fasilitas pengembangan komoditi bersangkut an

1 1 1 1 1 1

4. Sosial (Bobot 15%) 1. Pelibatan Masyarakat

2. Kepemilikan Usaha

3 2

5. Teknologi (Bobot 15%) 1. Teknologi Budidaya

2. Teknologi Pengolahan Hasil

1 1


(6)

Lampiran 12. Analisis Perhitungan Nilai Indikator Tertimbang (NIT) untuk Setiap Kriteria Komoditas Kemenyan di Kabupaten Humbang Hasundutan

No. Kriteria Bk JIk NI NImax

NITk =

JIk Bk

=n

i N ax

NI

1 Im

1. Ekonomi 35% 7 13 3 21,65

2. Biofisik dan Lingkungan

15% 5 10 3 9,99

3. Kelembagaan 20% 6 6 3 7,76

4. Sosial 15% 2 5 3 12,525

5. Teknologi 15% 2 2 3 5,025

Keterangan :

NIT = Nilai Indikator Tertimbang

k = Kriteria penentuan unggulan (1 … 5) n = Jumlah indikator dalam tiap kriteria Ni = Nilai indikator tiap kriteria

Bk = Besarnya nilai bobot dari kriteria ke – k NImax = Nilai indikator terbesar, dalam hal ini 3 JIk = Jumlah indikator untuk kriteria ke – k.