Pengelolaan Hutan Kemenyan Dikecamatan Siempat Rube Kabupaten Pakpak Bharat

(1)

PENGELOLAAN HUTAN KEMENYAN DIKECAMATAN SIEMPAT

RUBE KABUPATEN PAKPAK BHARAT

(SUATU STUDI DESKRIPTIF TENTANG KEARIFAN TRADISISONAL) Diaukan sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar sarjana

OLEH

JOSEPH SILALAHI 040905013

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena atas berkat dan kehendakNya, penulis bisa menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “ Pengelolaan Hutan Kemenyan Dikecamatan Siempat Rube Kabupaten Pakpak Bharat “

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis, Bapak S.Silalahi dan mama H. Sianturi. Terima kasih untuk semua kasih sayang, didikan, perhatian, yang penulis terima sejak kecil hingga penulis tumbuh dewasa. Sungguh semua jasa itu tidak akan terbalaskan. Kepada abang saya David Silalahi, SE, adik saya Astri Silalahi Amd.Kep, adik saya freddy silalahi, Andreas Silalahi, dan evelin silalahi, terima kasih untuk setiap waktu yang bisa kita lewati bersama. Motivasi, dukungan materi maupun semangat yang kalian berikan membuatku kuat untuk tetap mampu menyelesaikan apa yang menjadi tugasku saat ini. Opung Samuel, terima kasih atas dukungan yang diberikan.

Pada kesempatan ini penulis juga tak lupa mengucapkan terima kasih kepada :

1. Badarrudin Harahap sebagai Dekan Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

2. Drs. Zulkifli Lubis, MA sebagai Ketua Departemen Antopologi FISIP USU.

3. Drs. Lister Berutu, MA sebagai dosen Pembimbing penulis yang telah membimbing penulis selama mengerjakan skripsi ini.

4. Bapak Dr. Fikarwin Zuska, Msi, selaku ketua penguji pada saat penulis ujian komprehensif. Terima kasih untuk semua saran yang diberikan dalam penyempurnaan skripsi ini.

5. Bapak Drs. Irfan Simatupang, Msi, selaku dosen penguji pada saat penulis melakukan ujian komprehensif. Terima kasih untuk semua saran yang diberikan dalam


(3)

penyempurnaan skripsi ini.

6. Ibu Dra Sri Emiynati, Msi selaku dosen penasehat akademik. Ibu telah membimbing penulis dengan baik dan penuh kesabaran.

7. Seluruh dosen-dosen antropologi yang telah memberikan peengetahuan selama penulis melaksanakan perkuliahan.

8. Para informan, (M. Silalahi, Y. Padang. M. Tindaon, B. Padang, A. Sigalingging, dan masih bayak yang masih banyak yang mnembantu penulis untuk meyelesaikan tulisan ini) penulis mengucapkan terima kasih atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian.

9. Pemerintah Kec.Siempat Rube, terima kasih atas bantuannya memberikan bantuan data-data yang telah diberikan.

10.Kepada keluarga besar Silalahi dan keluarga besar Sianturi terima kasih untuk motivasi yang diberikan.

11.Terimah kasi kepada: Sandrak Manuruna,S.sos, Eva Manurung, S.sos, Remaja Barus, Heri Sianturi, Ronal Gea, atas dukunganya dan bantuanny.

12.Taman-taman seperjuangan stambuk ’04, hizkia Sagala, S.Soso, alles Turnip, Arnovandala Tampubolon, M.Dian, M. Agip, dan 2005,2004,2006, 2007, 2008, 2009, yang masih banyak lagi yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

13.Komunitas Rumput Pohon, Heksanta Novitasari Bangun (ami ita, santut), Hemalea Ginting, Arnovandala Tampubolon (orang selalu menganggap dirinya ganteng dan seksi seperti Cheng Jun), Alles Sandro Turnip, Carles Diken Sulaiman Gultom, Helen Luchen Silalahi, Noprianto Tarigan (aa'toto), Imanuel Kevin Ginting (cak ipin). Terima kasih atas persahabatan dan petualangan yang sering kita lakukan dengan modal pas-pasan.


(4)

tahun kita tetap bersama dan tidak bosan-bosannya memberi motivasi dan dukungan yang penulis selalu dapat dalam perjalan hidup.

15. Terima kasih kepada: Maria Silalahi, Firman Tambunan, Helen Silalahi, Darwin Tambunana, atas motifasinya

16.Kepada binggow art team, Carli Sitorus, Martopo Sijabat, Wesli Tjia, Melva Harianja terimakasih atas dukungannya dan bantuannya dalam penyelesaian skripsi ini.

17.Kepada Heri Manurung, terima kasih penulis ucapkan atas bantuannya dalam penyelesaian skripsi ini baik di lapangan maupun penyusunannya.


(5)

DAFTAR ISI Halaman persetujuan

Kata pengantar ... i

Daftar isi ... ii

Daftar tabel ... iii

Abstrak ... iv

Bab.I Pendahuluan ... 1

1.1. ... Latar Belakang... 1

1.2. ... Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan dan Manfaat Penenlitian ... 5

1.4. ... Tinjauan Pustaka... 6

1.5. ... Metode Penelitian ... 21

1.5.1. ...Loka si Penelitian ... 21

1.5.2. ...Tekn ik Pengumpulan Data... 21

1.5.3. ...Tekn ik Analisis Data ... 23

Bab. II. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 24

2.1. Sejarah Berdirinya Kecamatan Siempat Rube ... 24

2.2. Letak Geografis ... 25

2.2.1. Letak dan Geografis ... 25

2.2.2. Keadaan Alam ... 25

2.2.3. Desa-Desa di Kercamatan Siempat Rube ... 26

2.3. Jumlah dan Komposisi Penduduk ... 27

2.3.1. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelami ... 27

2.3.2. Komposisi Penduduk Menurut Tempat Tinggal... 28

2.3.3. Komposisi Penduduk Menurut Agama ... 29


(6)

2.3.4.2. Objek Wisata ... 34

2.4. Sarana dan Prasarana Umum Kecamatan Siempat Rube ... 34

Bab. III. Pengelolaan Hutan Kemenyan ... 37

3.1. Gambaran Umum Kemenyan ... 37

3.1.1. Sejarah Kemenyan ... 39

3.1.2. Pengetahuan Petani Tentang Kemenyan ... 41

3.2. Pengelolaan Hutan ... 45

3.2.1. Pemilikan Lahan ... 45

3.2.2. Pengelolaan Lahan ... 48

3.3. Pengelolaan kemenyan ... 50

3.3.1. Proses Pembibitan dan Penanaman... 50

3.3.2. Merawat Kemenyan ... 51

3.3.3. Pemanenan... 52

3.3.3.1... Alat-alat Petani Kemenyan ... 53

3.3.3.2...Peng ambilan Getah ... 55

3.4. Pengerahan Tenaga dalam Pengolahan Lahan ... 62

3.5. Konsumsi dan Distribusi ... 64

3.5.1 Penyimpanan ... 64

3.5.2 Distribusi... 65

Bab.IV. Kerifan Tradisional dalam Pengelolaan Hutan Kemenyan ... 67

4.1. Nilai Historis ... 67

4.2. Nilai Sosial Ekonomi ... 68

4.3. Nilai Sosial Budaya ... 71

4.4. Kepercayaan yang Terkait dengan Pengelolaan Hutan Kemenyan ... 74

4.4.1 Upacara-upacara Adat yang Terkait dengan Pengelolaan Hutan Kemenyan ... 76

4.4.2 Kesenian Pakpak yang Berhubungan dengan Hutan Kemenyan ... 78


(7)

BAB V. Kesimpulan dan Saran ... 82 Daftar Pustaka


(8)

ABSTRAK

Silalahi, Joseph. 040905013. Judul Skripsi: Pengelolaan Hutan Kemenyan di Kecamatan Siempat Rube Kabupaten Pakpak Bharat (Suatu Studi Deskriptif Tentang Kearifan Tradisional). Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 85 halaman dan 8 daftar gambar.

Perlindungan hutan yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar hutan umumnya melalui seperangkat nilai budaya, pengetahuan aturan, kepercayaan, tabu, sanksi, upacara dan sejumlah perilaku budaya yang arif dalam pengolahan hutan yang dikenal dengan istilah kearifan lokal. Kearifan tradisional dapat berfungsi sebagai perlindungan hutan, seperti contoh pantang (tabu) untuk menebang pohon tertentu karena dianggap memiliki kekuatan gaib yang hidup dalam suatu masyarakat di daerah itu sendiri. Begitu juga halnya dengan masyarakat Pakpak Bharat, yang mana kearifan tradisional masyarakat Pakpak dalam mengelola hutan, khususnya hutan kemenyan yang memiliki nilai historis, ekonomis serta sosial budaya tersendiri bagi masyarakat Pakpak.

Tujuan penelitian adalah mendeskripsikan secara mendalam mengenai peranan masyarakat di Kec. Siempat Rube dalam menjaga kelestarian hutan dan menggali bentuk-bentuk kearifan masyarakat lokal dalam pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya hutan dan di lingkungan Siempat Rube. Pengelolaan Hutan Kemenyan di Kec. Siempat Rube dikaji melalui pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif yang melihat proses pengelolaan kemenyan. Pengumpulan data, dilakukan dengan menggunakan observasi dan wawancara. Observasi dilakukan dengan kamera foto. Wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam yang ditujukan kepada informan pangkal, informan kunci dan informan biasa. Peneliti dibantu dengan pedoman wawancara yang dilengkapi dengan tape recorder dan catatan lapangan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kemenyan (gum benzoin) memiliki nilai historis yang sangat berharga bagi masyarakat Pakpak, sehingga hampir disamakan seperti emas pada masa penjajahan kolonial Belanda. Masyarakat Pakpak khususnya warga Siempat Rube menganggap warisan hutan kemenyan yang diturunkan dari nenek moyang mereka sebagai warisan yang tak ternilai harganya sehingga harus tetap dilestarikan. Petani kemenyan Kecamatan Siempat Rube mengenal tiga jenis kemenyan yaitu: kemenyan Bunga (Kmenjen Bunga), kemenyan Toba (kmenjen Toba) dan kemenyan Durame (kmenjen Jurame/Jairin). Kearifan lokal terkait dengan pengelolaan hutan kemenyan masyarakat Pakpak, yaitu dengan tidak menebang pohon ataupun membuka lahan baru melainkan mengusahakan pohon kemenyan yang tumbuh liar. Adapun pembukaan lahan baru namun tidak dimaksudkan menjadikan hutan kemenyan menjadi hutan tanaman monokultur. Petani kemenyan juga menggunakan alat-alat yang masih tradisional yang mereka buat sendiri.

Nilai, aturan serta makna yang ada pada masyarakat Pakpak tersebut semuanya tercakup dalam kepercayaan dan upacara-upacara adat. Kepercayaan petani kepada penghuni hutan merupakan salah satu nilai luhur yang turut menjaga kelestarian hutan. Persembahan dalam bentuk pemberian sesajen (memele) kepada nenek moyang (penjaga hutan) merupakan bentuk penghormatan masyarakat Pakpak kepada hutan yang telah memberikan penghidupan kepada mereka. Mitos yang terdapat pada kepercayaan masyarakat Pakpak yaitu percaya kepada biahat binatang yang terkuat di hutan (dipercaya sebagai jelmaan nenek moyang). Salah satu wujud kesenian masyarakat Pakpak terkait dengan markmejen yaitu odhong-odhong. Odhong-odhong merupakan nyanyian petani yang sedang mencari kemenyan, nyanyian kesepian petani kemenyan yang sedang berada di hutan.


(9)

ABSTRAK

Silalahi, Joseph. 040905013. Judul Skripsi: Pengelolaan Hutan Kemenyan di Kecamatan Siempat Rube Kabupaten Pakpak Bharat (Suatu Studi Deskriptif Tentang Kearifan Tradisional). Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 85 halaman dan 8 daftar gambar.

Perlindungan hutan yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar hutan umumnya melalui seperangkat nilai budaya, pengetahuan aturan, kepercayaan, tabu, sanksi, upacara dan sejumlah perilaku budaya yang arif dalam pengolahan hutan yang dikenal dengan istilah kearifan lokal. Kearifan tradisional dapat berfungsi sebagai perlindungan hutan, seperti contoh pantang (tabu) untuk menebang pohon tertentu karena dianggap memiliki kekuatan gaib yang hidup dalam suatu masyarakat di daerah itu sendiri. Begitu juga halnya dengan masyarakat Pakpak Bharat, yang mana kearifan tradisional masyarakat Pakpak dalam mengelola hutan, khususnya hutan kemenyan yang memiliki nilai historis, ekonomis serta sosial budaya tersendiri bagi masyarakat Pakpak.

Tujuan penelitian adalah mendeskripsikan secara mendalam mengenai peranan masyarakat di Kec. Siempat Rube dalam menjaga kelestarian hutan dan menggali bentuk-bentuk kearifan masyarakat lokal dalam pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya hutan dan di lingkungan Siempat Rube. Pengelolaan Hutan Kemenyan di Kec. Siempat Rube dikaji melalui pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif yang melihat proses pengelolaan kemenyan. Pengumpulan data, dilakukan dengan menggunakan observasi dan wawancara. Observasi dilakukan dengan kamera foto. Wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam yang ditujukan kepada informan pangkal, informan kunci dan informan biasa. Peneliti dibantu dengan pedoman wawancara yang dilengkapi dengan tape recorder dan catatan lapangan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kemenyan (gum benzoin) memiliki nilai historis yang sangat berharga bagi masyarakat Pakpak, sehingga hampir disamakan seperti emas pada masa penjajahan kolonial Belanda. Masyarakat Pakpak khususnya warga Siempat Rube menganggap warisan hutan kemenyan yang diturunkan dari nenek moyang mereka sebagai warisan yang tak ternilai harganya sehingga harus tetap dilestarikan. Petani kemenyan Kecamatan Siempat Rube mengenal tiga jenis kemenyan yaitu: kemenyan Bunga (Kmenjen Bunga), kemenyan Toba (kmenjen Toba) dan kemenyan Durame (kmenjen Jurame/Jairin). Kearifan lokal terkait dengan pengelolaan hutan kemenyan masyarakat Pakpak, yaitu dengan tidak menebang pohon ataupun membuka lahan baru melainkan mengusahakan pohon kemenyan yang tumbuh liar. Adapun pembukaan lahan baru namun tidak dimaksudkan menjadikan hutan kemenyan menjadi hutan tanaman monokultur. Petani kemenyan juga menggunakan alat-alat yang masih tradisional yang mereka buat sendiri.

Nilai, aturan serta makna yang ada pada masyarakat Pakpak tersebut semuanya tercakup dalam kepercayaan dan upacara-upacara adat. Kepercayaan petani kepada penghuni hutan merupakan salah satu nilai luhur yang turut menjaga kelestarian hutan. Persembahan dalam bentuk pemberian sesajen (memele) kepada nenek moyang (penjaga hutan) merupakan bentuk penghormatan masyarakat Pakpak kepada hutan yang telah memberikan penghidupan kepada mereka. Mitos yang terdapat pada kepercayaan masyarakat Pakpak yaitu percaya kepada biahat binatang yang terkuat di hutan (dipercaya sebagai jelmaan nenek moyang). Salah satu wujud kesenian masyarakat Pakpak terkait dengan markmejen yaitu odhong-odhong. Odhong-odhong merupakan nyanyian petani yang sedang mencari kemenyan, nyanyian kesepian petani kemenyan yang sedang berada di hutan.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dewasa ini mata dunia cukup cermat mengarahkan perhatiannya pada kehancuran ekosistem dunia, lenyapnya plasma nuftah, degenerasi habitat hutan, kebakaran hutan lindung dan berbagai kerusakan hutan lainnya. Sehingga masalah kerusakan ekosistem hutan saat ini sudah menjadi issu global. Satu pihak di persoalkan masalah konservasi sumber daya alam, namun di pihak lain kepentingan ekonomi masih saja terus di tingkatkan, sehingga konservasi cenderung hanya berada pada tingkat teoritis saja. Artinya praktek perusakan pada sumber daya alam masih terus berlangsung dari berbagai pihak demi peningkatan pendapatan dan devisa bagi negara.

Pemanfaatan fungsi ekonomi hutan secara berlebihan oleh manusia (ekploitasi hutan) tanpa memperdulikan keseimbangan ekologis dapat menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri. Untuk itu memerlukan biaya (cost) ekonomi sosial yang jauh lebih besar dibanding hasil ekonomi yang telah diperoleh. Masyarakat yang tinggal dan bermata-pencarian di sekitar hutan, di satu sisi sering kali dituding sebagai salah satu penyebab kerusakan hutan, tetapi di sisi lain seringkali diharapkan sebagai pelaku utama bagi upaya perlindungan hutan itu sendiri. Harapan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, sebagai pelaku utama bagi perlindungan hutan merupakan yang wajar, karena dalam kehidupan kesehariannya mereka berinteraksi langsung dengan hutan dan merupakan orang yang pertama yang menerima dampak dari kerusakan hutan, seperti bencana alam berupa banjir, tanah longsor dan kebakaran hutan. Orang-orang setempat merupakan pelestari alam yang baik dan karena itu akan menjadi manajer yang baik dari areal pelestarian alam. Karena itu sangatlah penting untuk mempelajari cara-cara mereka.


(11)

Perlidungan hutan yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar hutan dimana mereka bertempat tinggal umumnya dilakukan melalui seperangkat nilai budaya, pengetahuan aturan, kepercayaan, tabu, sanksi, upacara dan sejumlah perilaku budaya yang arif dalam pengolahan hutan. Cara perlindungan seperti itu dikenal dengan istilah kearifan lokal. Kearifan lokal adalah sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan (rohani dan jasmani) yang memberikan daya tahan dan daya tumbuh bagi komunitas tersebut (Saini KM, 2005 ). Soemarwoto (1982) mengartikan kearifan tradisional sebagai ilmu pengetahuan yang mampu menghadapi kondisi suatu lingkungan. Kerifan tradisional mencakup seluruh peralatan/benda, metode, cara serta pengorganisasian yang diciptakan oleh elemen manusia berdasarkan keterampilan dan ilmu pengetahuan (knowledge) yang dimilikinya. Oleh karena itu kearifan tradisional preferensinya lebih ke arah pengetahuan (knowledge), bukan sekedar sains (science) karena adanya aspek “pengalaman” dan “keterampilan”1. Pengetahuan masyarakat tersebut bersumber antara lain melalui mitos2

1

Lihat Mutia Ramadhani (LOMBA TULIS YPHL : Kearifan Tradisional Masyarakat Adat Sebagai "Teknologi Baru" Dalam Pelestarian Hutan 2008

2

Selalu berhubungan dengan yang sakral, bisa di dapat jawaban yang bisa diterima akal. Sebab

kejadian-.

Dalam keseimbangan logis dapat dilihat dari studi yang dilakukan Shefold(1980) terhadap orang Mentawai di Siberut, dimana kepercayaan tradisional mengenai keseimbangan lingkungan alamiah, dan keinginan untuk melindunginya melalui ketaatan tentang pantang memburu telah menghasilkan keseimbangan ekologis. Kearifan tradisional dapat berfungsi sebagai perlindungan hutan, seperti contoh pantang (tabu) untuk menebang pohon tertentu karena dianggap memiliki kekuatan gaib yang hidup dalam suatu masyarakat di daerah itu sendiri. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat (kearifan lokal) ternyata memiliki arti yang positif bagi upaya konservasi hutan. Ironisnya, pengetahuan-pengetahuan (kearifan tradisional) tersebut dewasa ini, karena berbagai faktor telah melemah,


(12)

bahkan telah banyak ditinggalkan atau tidak dipatuhi lagi oleh masyarakat komunitas di mana kearifan tradisional tersebut sebelumnya hidup dan diimplementasikan.

Di Sumatera Utara hanya tujuh kabupaten sebagai penghasil kemenyan, yakni Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, Toba Samosir, Pakpak Bharat, Tapanuli Selatan, Dairi dan Tapanuli Tengah.Budidaya haminjon bertujuan meningkatkan sekaligus produksi, mutu dan pemasaran. Budidaya bermakna penanaman bibit haminjon di konsesi TobaPulp, tetapi di luar petak-petak HTI eucalyptus. Dengan demikian kemenyan budidaya tidak akan ditebang untuk selamanya agar masyarakat dapat memanen hasilnya.Untuk tahap awal, setiap kelompok petani haminjon terdidik akan membuka kebun percontohan (demplot) seluas 1 hektar di desa Hutagalung (kecamatan Harian, Samosir) dibawah supervisi penuh BPK. Dengan jarak tanam 4x4 meter 1 hektar dapat ditanami 625 batang dan pada usia 7 tahun mulai dapat ditakik untuk memperoleh getahnya sebanyak 0,5 ons. Secara bertahap produktivitasnya naik menjadi 0,5 kg per sekali panen (6 bulan) pada usia 15 tahun dan menjadi 1 kg pada usia 20 tahun. Artinya, pada usia 15 tahun setiap hektar dapat menghasilkan 625 kg dan menjadi dua kali lipat (1.250 kg) pada usia 20 tahun. Kawasan sekitar Toba diperkirakan masih memiliki lahan sedikitnya 100 ribu hektar untuk budidaya haminjon, artinya berpotensi menghasilkan tambahan produksi sebanyak 125 ribu ton pertahun.

Kabupaten Pakpak Bharat khususnya Kecamatan Si Empat Rube merupakan salah satu daerah di Sumatera Utara yang memiliki hutan kemenyan yang cukup berpotensi dan beberapa wilayahnya merupakan daerah yang termasuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Etnik pakpak merupakan etnik mayoritas dan penduduk asli di Kecamatan Si Empat Rube. Masyarakat Pakpak memiliki kearifan tradisional seperti yang dikemukakan Pelly (1987), bahwa masyarakat Pakpak sangat menghargai alam dengan adanya tabu-tabu yang selalu dipatuhi: (Zuraida, dkk. 1992) yang menyatakan bahwa orang lebih lanjut bagaimana


(13)

pandangan (persepsi) masyarakat di Kecamatan Si Empat Rube tentang perlindungan hutan, kiranya perlu dilakukan penelitian yang berjudul “Kearifan Tradisional Terhadap Perlindungan Hutan di Kecamatan Si Empat Rube Kabupaten Pakpak Bharat.

1.2. Perumusan Masalah

Dari latar belakang sebagaimana telah dipaparkan di atas, maka masalah dalam penelitian adalah bagai mana bentuk-bentuk kearifan masyarakat di Kec. Siempat Rube dalam mengatur pemanfaatan dan pelestarian sumber daya hutan dan lingkungan yang terkait dengan pengelolaan hutan kemenyan dengan rician:

1. Nilai-nilai dan aturan-aturan yang terkait dengan pengelolaan hutan kemenyan

2. Kepercayaan dan upacara-upacara adat yang terkait dengan pengelolaan hutan kemenyan

3. Kaitan antara pengelolaan dengan konservasi alam

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dikemukakan dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran sejauh mana peranan masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan, serta bagaimana interaksi masyarakat dengan hutan, dalam hal ini masyarakat yang tinggal di dekat hutan. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan :

1. Peranan masyarakat di Kecamatan Si Empat Rube dalam menjaga kelestarian hutan. 2. Menggali bentuk-bentuk kearifan masyarakat lokal dalam pemanfaatan dan

pelestarian sumber daya hutan dan lingkungan di Si Empat Rube.


(14)

Dari penelitian ini diharapkan akan memperole gambaran yang akurat mengenai pengelolaan hutan kemenyan. Sehingga diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah dalam memperkaya kajian penelitian ilmu-ilmu yang ingin mengkaji perlindungan hutan kemenyan berdasrkan pengetahuan lokal (lokal knwlege).

Peran pengetahuan lokal (local knowledge) masyarakat terhadap keberadaan dan perlindungan hutan dapat bermanfaat sebagai acuan bagi pemerintah atau masyarakat luas dalam pengambilan kebijakan perlindungan hutan berbasis pada komunitas lokal (local Community) dengan pengetahuan lokal masyarakat itu sendiri. Sedangkan pengetahuan tentang potensi kearifan tradisional (Indigenous knowledge) yang dimiliki oleh masyarakat lokal dalam perlindungan hutan bermanfaat sebagai bahan masukan bagi pembuatan kebijakan perlindungan hutan dengan memanfaatkan secara maksimal kearifan tradisional tersebut, dan bila perlu dapat dilakukan rekayasa sosial (social enginering).

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Menghasilkan informasi dan data dari kajian tentang kearifan masyarakat lokal di Si Empat Rube dalam memanfaatkan dan melestarikan sumber daya hutan.

2. Memberi masukan tentang pengelolaan sumber daya hutan dan lingkungan di Si Empat Rube yang dapat menjamin kelestarian alam dan keberlangsungan hidup manusia.

1.4. Tinjauan Pustaka Masyarakat dan Hutan

Keterkaitan masyarakat (manusia) dengan hutan tanpak dalam pengetahuan manusia dalam mengelola hutannya. Cara yang dilakukan oleh manusia (masyarakat) dalam mengelola hutan, antara lain yaitu: merubah hutan menjadi lahan pertanian (kebun dan


(15)

ladang), baik dengan cara perladangan berpindah (tebas bera) maupun dengan cara perladang menetap.

Pengetahuan masyarakat tentang hutan merefleksikan bagaimana hutan tersebut dilihat dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Pengetahuan masyarakat tentang hutan berimplikasi penting dalam manajemen pemeliharaan hutan, karena pengetahuan masyarakat (kearifan lokal) mengandung nilai-nilai ekologi, yaitu adanya fokus perhatian pengaturan penempatan dalam hal letak lahan dan perhatian topografi setempat untuk penanaman, serta penggunaan petak kecil dan garis petak yang hati-hati dapat membantu mengurangi erosi pada lereng curam (Lawrence, 1995).

Implikasi penting dalam pemeliharaan hutan dengan pengetahuan lokal menurutDove (1985 : 289) meliputi: ideologi, ekonomi, dan ekologi. Ideologi menekankan tradisional, baik sebagai agama tradisional maupun sistem upacara. Penelitian Minsarwati (2002) mengenai kepercayaan tradisional terhadap gunung berapi di Jawa menunjukkan bahwa semua kepercayaan tersebut memilik hubungan yang empiris dan nyata, seperti menggunakan petunjuk-petunjuk alam di sekitar mereka untuk meramalkan kapan gunung akan meletus. Penelitian Daeng dalam Dove (1985) tentang Ngadha di pulau Flores, di mana pesta gaya persaingan yang merupakan kebiasaan yang kelihatannya bersifat pemborosan ternyata berfungsi untuk membagi penyerahan bagian-bagian tanah yang diperebutkan kepada suku-suku yang menyembelih jumlah hewan yang paling banyak. Pembuktian menunjukkan bahwa keseimbangan populasi manusia, ternak, dan tanah.

Dari segi ekonomi diketahui bahwa ekonomi tradisional masyarakat di sekitar hutan di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga sistem, yaitu perladangan berpindah, pengumpulan sagu, serta berburu dan meramu. Suatu hal yang menarik dari perladangan berpindah ditemukan pada orang Mentawai oleh Schefold (1980). Menurut Schefold, orang Mentawai membudidayakan pisang, umbi-umbian, dan membuka perkebunan talas dan buah-buahan.


(16)

Mereka membuka hutan untuk dijadikan lahan ladang berpindah dengan tidak membakar hutan. Di samping itu, orang Mentawai juga mengekploitasi pohon-pohon sagu yang tumbuh secara alamiah karena beberapa hal, pertama, sagu relatif melimpah dan merupakan tanaman yang tumbuh secara alamiah. Kedua, sagu dapat dibudidayakan dan diekploitasi tanpa modal apapun. Ketiga, merupakan tanaman potensial untuk tujuan komersial dn dieksploitasi untuk kebutuhan sub-sistensi, dan keempat, sagu hanya dieksploitasi oleh kelompok masyarakat terbelakang, dan belum maju. Pembudidayaan sagu ini tidak mendapat penghargaan dari pelaksana pembangunan. Selanjutnya, implikasi ekologis, terlihat dari sistem pemanfaatan lingkungan oleh orang di pedesaan, terdapat azas-azas tradisional mengenal pemanfaatan dan pemeliharaan lingkungan yang dapat diterima akal. Hasil penelitian Schefold(1980) di Mentawai menemukan bahwa pengaruh manusia terhadap lingkungan mendapat perhatian yang utama, tegas, dan diatur secara seksama dalam tata upacara-upacara keagamaan. Hasil penelitian Laksono dalam Dove (1985) juga menunjukan adanya kaitan kepercayaan tradisional dengan keseimbangan ekologi. Laksono melihat bahwa upacara keagamaan mempunyai peranan dalam menafsirkan dan menyesuaikan diri dengan bencana gunung merapi. Peranan upacara keagamaan dalam mengatur suatu penyimpangan, merupakan ciri-ciri kebudayaan tradisional. Ketentuan-ketentuan dan pantangan-pantangan keagamaan yang mengatur hubungan tersebut melambangkan pengetahuan empiris yang penting terhadap lingkungan.

Implikasi-implikasi penting (ideologi, ekonomi dan ekologis) dalam perlindungan (pemeliharaan) hutan yang dilakukan oleh masyarakat, menunjukan bahwa pengetahuan ekologi masyarakat di dalam berbagai aktivitas dalam pengelolaan lingkungan dan pelestarianya sesuai dengan budaya yang mereka miliki perlu diapresiasikan.


(17)

Mitos merupakan suatu kata yang sudah akrab di telinga kita. Namun seringkali kita belum mengetahui secara benar apa sebenarnya makna dari kata mitos tersebut. Meskipun diakui sulit untuk merumuskan defenisi mitos secara pasti, namun demikian, mitos dapat dipahami dalam batas-batas yang lazim digunakan dalam defenisinya. Pemahaman terhadap konsep mitos secara benar diperlukan dalam konteks penelitian ini, karena pengetahuan lokal (kearifan tradisional) tentang perlindungan dan pelestarian hutan dapat diketahui dari mitos-mitos yang hidup dalam masyarakat setempat.

Kata mitos berasal dari bahasa Inggris “myth” yang berarti dongeng atau cerita yang direkayasa. Dalam bahasa Yunani disebut dengan “Muthos” yang berarti cerita tentang Tuhan dan Supra human Being, Dewa-dewa. Mitos juga dipahami sebagai realitas kultur yang sangat kompleks. Lebih lanjut Eliade, menyebutkan secara terminologis dapat diartikan sebagai kiasan atau cerita sakral yang berhubungan dengan acara pada waktu permulaan yang mengacu pada asal-usul segala sesuatu dan dewa-dewa sebagai objeknya, cerita atau laporan suci tentang kejadian yang berpangkal pada asal usul segala sesuatu dan permulaan terjadinya dunia.

Menurut Hadiwiyono dalam Minsarwati (2002), mitos dikatakan sebagai suatu kejadian-kejadian pada zaman bahari yang mengungkapkan atau memberi arti kepada hidup dan yang menentukan nasib di hari depan. Pemaknaan mitos yang seperti ini akan membawa pengaruh pada perilaku manusia dalam segala segi kehidupan, baik dari segi sosial, ekonomi, budaya dan ekologisnya. Pemaknaan mitos yang seperti itu juga menjadi acuan dan aturan seseorang (masyarakat) dalam melakukan berbagai interaksinya, termasuk interaksinya dengan hutan.

Pada kenyataannya, keberadaan mitos sampai pada saat ini terus terjadi dan masih dipraktikkan, ini terbukti dengan adanya kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan gaib atau


(18)

yang berada di luar jangkauan pikiran manusia untuk menjawabnya seperti adanya proses kelahiran, kematian, perjalanan dalam mimpi, perputaran musim dan adanya bencana alam. Mitos juga punya daya kekuatan. Menurut anggapan-anggapan kuno (primitif), menyediakan persembahan dan melakukan upacara-upacara keagamaan atau melakukan tarian-tarian dengan sesuatu yang dimitoskan berarti menjaga ketertiban kosmik dan dunia. Menurut Daeng (2000:81), melalui mitos manusia dibantu untuk dapat menghayati kekuatan gaib tersebut sebagai suatu kekuatan yang mempengaruhi dan menguasai alam dan kehidupan sukunya. Mitos memberi jaminan masa kini, dalam arti dalam mementaskan atau menghadirkan kembali suatu peristiwa yang pernah terjadi sebelumnya, maka usaha serupa dijamin terjadi sekarang.

J.van Baal (1987:44) mengatakan bahwa mitos dikatakan sebagai cerita di dalam kerangka sistem suatu religi di masa lalu atau masa kini telah atau sedang berlaku sebagai kebenaran keagamaan. Ilmu pengetahuan tentang mitos atau mitologi adalah suatu cara untuk mengungkapkan, menghadirkan yang kudus, yang ilahi, melalui konsep serta bahasa simbolis. Melalui mitologi diperoleh suatu kerangka acuan yang memungkinkan manusia memberi tempat kepada beragam kesan pengalaman yang telah diperoleh selama hidup. Berkat kerangka acuan yang disediakan mitos, manusia dapat berorientasi dalam kehidupan ini. Ia tahu dari mana ia pergi; asal-usul dan tujuan hidupnya dibeberkan baginya dalam mitos.

Van Peursen (1967:37-42), mengatakan bahwa mitos adalah sebuah cerita pemberi pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Cerita itu berintikan lambing-lambang yang mencetuskan pengalaman manusia. Mitos pemberi arah kepada kelakuan manusia, dan merupakan semacam pedoman bagi manusia untuk bertindak lebih bijaksana. Mitos menyadarkan manusia akan adanya kekuatan-kekuatan gaib. Melalui mitos manusia dibantu untuk menghayati daya-daya itu sebagai kekuatan yang mempengaruhi dan menguasai alam


(19)

dan kehidupan. Mitos memberi jaminan masa kini dalam arti mementaskan atau menghadirkan kembali suatu peristiwa yang pernah terjadi dahulu, maka usaha serupa dijamin terjadi sekarang. Mitos juga berfungsi sebagai pengantar antara manusia dan daya kekuatan alam, mitos memberi pengetahuan tentang dunia. Lewat mitos manusia primitif memperoleh keterangan-keterangan.

Dalam melakukan interaksinya dengan hutan, terutama yang berkaitan dengan aspek ekonomi, seperti berburu, berladang, mencari hasil hutan, dan sebagainya, praktek- praktek mitos masih banyak dilakukan hingga saat ini. Beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan hutan yang terangkum dalam buku “Kebudayaan dan Pelestarian Alam” penelitian interdisipliner di pedalaman Kalimantan Selatan yang disunting oleh Eghenter dan BernardSellato (1999), menunjukan bahwa peraktek mitos masih hidup dalam masyarakat, baik ketika seseorang (masyarakat) akan bercocok tanam, berburu, maupun ketika pergi mencari hasil hutan seperti rotan dan gaharu. Praktek mitos tersebut dilakukan melalui serangkaian upacara-upacara persembahan hingga pantangan-pantangan yang harus dipatuhi oleh setiap orang. Ada kepercayaan tradisional, bila upacara persembahan dan pantangan tersebut dilanggar maka pekerjaan (aktivitas) yang dilakukan tidak akan berhasil dengan baik. Bahkan dapat mendatangkan malapetaka. Praktek-praktek mitos tersebut didasarkan atas adanya kepercayaan tradisional pada masyarakat setempat bahwa hutan yang mereka usahakan dikuasai oleh kekuatan-kekuatan gaib di jaga dewa-dewa atau roh leluhur mereka. Untuk itu mereka wajib melakukan upacara-upacara persembahan yang ditujukan kepada dewa-dewa dan roh leluhur tersebut sehingga para dewa dan roh leluhur yang menguasai hutan tersebut bersikap bersahabat dan melindungi mereka. Demikian juga dengan beberapa pantangan yang harus dipatuhi oleh seseorang (masyarakat) dalam melakukan berbagai aktivitasnya merupakan perwujudan dari praktek mitos yang dilakukan masyarakat demi terciptanya keseimbangan alam .


(20)

Sasongko (1991), menyebutkan bahwa dalam masyarakat Jawa, gunung merapi dipercayai oleh penduduk setempat sebagai keraton mahluk halus dan tempat tinggal para roh leluhur. Merapi juga dianggap sebagai surga pangratunan atau tempat penantian bagi roh yang selama ini hidupnya banyak berbuat kebaikan. Sistem kepercayaan terhadap merapi erat kaitannya dengan alam kodrati. Merapi digunakan penduduk setempat sebagai kerangka landasan untuk beradaptasi, berinteraksi, dan mendayagunakan sumber merapi. Kepercayaan ini diyakini juga oleh Keraton Yogyakarta yang diwujudkan dalam bentuk upacara Labuhan Gunung Merapi.

Modernisasi yang lebih mengutamakan logika dan rasionalitas seringkali dibenturkan dengan pengetahuan lokal (kearifan tradisional) yang mengemas segala mitos hanyalah persoalan mistis belaka. Maka atas nama kemajuan, peradaban manusia yang merupakan kearifan teradisional, lalu menjadi diabaikan. Padahal seringkali kearifan teradisional tersebut membawa dampak positif bagi kelestarian dan keseimbangan alam, seperti telah diuraikan di atas. Karena itu eksplorasi terhadap potensi kearifan teradisional dalam setiap komunitas masih tetap perlu dilakukan.

Kearifan Tradisional (Indigeneus Knowladge) dan perlindungan Hutan

Di Indonesia berbagai bentuk pengelolaan sumber daya alam tradisional dapat ditemukan. Masing-masing bentuk pengelolaan sumber daya alam tradisional ini memiliki karakteristik yang berbeda pada setiap tempat yang belum tentu dapat di duplikasikan di tempat lain. Di Kalimantan Timur misalnya, diketahui adanya bentuk pengelolaan sumber daya hutan yang oleh masyarakat dikenal dengan sebutan Simpukng Munan”. Di Krui, Lampung Barat, dikenal dengan istilah ” Repong Damar”. Di Sisade Rube, Dairi, salah satu bentuk pengelolaan sumber daya alam tradisional yang dikenal oleh masyarakat terwujud


(21)

dalam ” Upacara menanda tahun”. Dan di lokasi penelitian salah satunya terwujud dalam ”Kenduri Uleelung”. Secara ekonomis bentuk-bentuk pemanfaatan sumber daya alam tradisional ini ternyata mampu memberikan kontribusi untuk pendapatan keluarga dan secara ekologis dapat melestarikan sumber daya.

Simpukng Munan adalah merupakan salah satu wujud dari ungkapan perladangan pada suku dayak Benuag di Kalimantan Timur, yang merupakan kearifan tradisional dalam hal menata, memelihara, dan melestarikan sumber daya hutan. Simpung Munan merupakan salah satu bukti kerifan tradisional suku Dayak yang mencakup sejumlah pengetahuan kebudayaan berkenaan dengan model pmanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan. Kearifan tradisional melalui Simpukng Munan mematahkan mitos tentang peranan orang Dayak dalam merusak lingkungan.

Suatu hal yang sering diabaikan oleh banyak orang adalah adanya anggapan bahwah sistem perekonomian masyarakat tradisional adalah sistem ekonomi yang berorientasi pada kebutuhan subsisten dan mempunyai kebudayaan sederhana, sehingga dianggap tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Persepsi yang keliru ini sayangnya juga dimiliki oleh pemerintah.

Berdasarkan persepsi yang keliru ini, kebijakan yang berlaku sekarang ini adalah dengan mengeluarkan mereka dari hutan, memberi mereka pemukiman dan memaksa mereka untuk tinggal menetap, dan menjadikan mereka petani menetap melalui program resetelmen penduduk. Adalah benar bahwa perladangan padi dan tanaman non padi tertentu merupakan aspek penting dalam perekonomian rakyat yang bertipikal subsisten. Namun aktifitas lainnya pada suku Dayak, seperti berburu, menangkap ikan, mengumpulkan hasil hutan, juga berternak merupakan aspek penting dalam perekonomian masrakat dayak.

Bagi orang Dayak ekosistem hutan sebagai satu lingkungan fisik, dipandang memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan peranan manusia. Oleh sebab itu wajar jika orang Dayak


(22)

memperlakukan hutan sebagai sebuah ekosistem yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari tradisi mereka.

Hutan telah memberikan kehidupan kepada mereka, mulai dari persediaan pangan, sampai pada kebutuhan keluarga, sebagai mata pencaharian keluarga dengan memungut hasil hutan non kayu. Dari persentuhan yang intens antara orang Dayak dengan hutan telah melahirkan sebuah sistem perladangan, yang merupakan sebuah model kearifan tradisional dalam pengelolaan sumber daya hutan(Dove, 1988).

Dalam penelitian Lister Berutu tentang ” Upacara Menanda Tahun dan Implikasinya bagi Pelestarian Lingkungan” di Sisada Rube, menunjukkan bahwa upacara ritual juga memainkan peranan penting dalam upaya pelestarian lingkungan (Lister Berutu, 2004).

Upacara Menanda Tahun adalah salah satu upacara ritual yang dikenal pada masyarakat Pakpak di Sisada Rube. Upacara ini dilakukan pada saat pembukaan ladang, dengan tujuan agar tidak menyalahi apa yang di percayai sebagai ketentuan-ketentuan penguasa alam gaib bagi kelestarian ekosistem, sehingga usaha-usaha pertanian dan perladangan mendapatkan ijin dari alam gaib. Masyarat Pakpak percaya bahwa akan muncul bencana jika perladangan dilakukan tanpa Upacara Menana Tahun.

Dalam pelaksanaan upacara ini ternyata ada kata-kata wejangan dan aturan-aturan lain. Kata-kata wejangan dalam upacara ini biasanya selalu menekankan pentingnya memelihara hutan, mentaati tabu-tabu, dan aturan-aturan dalam membuka hutan, misalnya tabu membakar hutan, tabu menebang atau membuka hutan dengan sembarang waktu dan tempat.

Sistem perladangan itu juga beragam bentuknya. Mulai dari level yang paling sederhana, yaitu perladangan dengan mendasarkan diri pada sistem ekonomi subsisten, sampai perladangan yang sudah berorientasi pada pasar, yang dilakukan dengan atau tanpa rotasi. Keragaman tersebut tentunya mempunyai pengaruh yang berbeda bagi pelestarian


(23)

sumber daya alam. Itulah sebabnya tidak semua bentuk perladangan berpindah dapat digeneralisasi sebagai perusak lingkungan hutan. Artinya, bahwa banyak di antara mereka yang sebenarnya cukup paham perlunya pelestarian, karena mereka menyadari bahwa seluruh hidupnya tergantung pada belas kasihan hutan.

Dengan daur perladangan yang cukup, sebenarnya kerusakan akibat perladangan dapat pulih. Namun karena faktor pertambahan penduduk yang tinggi memicu pada pemenuhan kebutuhan ekonomi, menyebabkan masa bera semakin singkat dan lahan hutan semakin sempit, sehingga penduduk lokal menjadi tidak adaptif dan merusak hutan. Menyusutnya luas perladangan yang tersedia untuk perladangan dan pembatasan gerak pada peladang memperpendek daur perladangan. Faktor yang tidak kalah pentingnya adalah ekonomi pasar yang semakin luas pengaruhnya pada masyarakat. Makin banyak peladang yang menjual hasil perladangannya untuk mendapatkan uang, semakin besar pengaruhnya dan makin besar luas lahan yang mereka butuhkan. Di samping itu di tanam juga komoditi yang merusak lingkungan oleh peladang. Kerusakan hutan juga di perparah dengan datangnya para migran untuk mencari pekerjaan, yang banyak di antara mereka menjadi peladang tanpa mengetahui teknologi perladangan.

Menurut Bulmer (1982:66) pengetahuan masyarakat, baik yang masih hidup maupun yang sudah ditinggalkan namun telah hidup dalam jangka waktu yang lama dan menjadi pandangan hidup tradisional adalah penting karena dua alas an. Pertama, penelitian-penelitian ilmiah tentang tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang dapat dipercepat jika menggunakan orang-orang lokal yang mengetahui hal tersebut. Kedua, suatu kehormatan bagi pengetahuan dan konteks kebudayaannya yang memungkinkan digunakan pengetahuan tersebut bagi upaya konservasi.

Kedua alasan yang dikemukakan Blumer tersebut menunjukan bahwa kearifan tradisional yang berisi antara lain pengetahuan-pengetahuan lokal yang berkaitan dengan


(24)

tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang diperlukan dalam rangka percepatan penelitian dan pemanfaatan mereka sendiri dalam upaya perlindungan hutan. Alasan tersebut juga didasarkan pada pemikiran bahwa orang setempat yang sudah berinteraksi cukup lama dengan lingkungan dimana dia hidup dan mencari nafkah tentu memiliki banyak pengetahuan berkenaan dengan lingkungan di mana mereka berladang dan mencari nafkah.

Kearifan tradisional yang dimiliki suatu komunitas seringkali merupakan aturan- aturan yang sangat berguna bagi upaya konservasi atau perlindungan Hutan. Seperti yang dikemukakan Alcom dan Molnar (1990), bahwa pada dasarnya masyarakat pedesaan telah sejak lama melakukan tindakan konservasi secara tradisional. Hasil penelitian Konradus (1999) di Kalimantan membuktikan hal tersebut, di mana menurutnya pengelolaan hutan umumnya, dan pengelolaan gaharu khususnya, yang berlaku dikalangan masyarakat Kenyah merupakan suatu tindakan dalam rangka beradaptasi dengan lingkungan hutan. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, masyarakat memanfaatkan lingkungannya sesuai perangkat pengetahuan lokal tentang sumberdaya hutan yang ada, dan juga mengatur pengelolaam hutan dengan mengacu pada adaptasi tradisi dan sistem kepercayaan setempat.

Hasil peneitian Ngindra(1999:61-67), menemukan bahwa masyarakat suku Kenyah Bakung memiliki pengetahuan tradisional dalam melakukan kegiatan perladangan yang secara langsung tidak langsung berhubungan dengan kelestarian alam (hutan). Mereka memiliki aturan-aturan dan upacara-upacara tertentu yang harus dipatuhi apabila mereka akan melakukan kegiatan perladangan. Aturan-aturan tersebut telah ditentukan sejak mereka memilih lokasi tempat berladang hingga panen hasil pertanian mereka. Ada sejumlah pantang (tabu) yang harus dihindari, karena dipercaya apabila pantang (tabu) tersebut dilanggar maka akan muncul malapetaka atau panen mereka tidak akan berhasil dengan baik. Seringkali pantang (tabu) itu ternyata berkaitan dengan pelestarian (keseimbangan) ekologis. Dalam masyarakat suku Kenyah Bakung misalnya, menurut Ngindra (1999), memiliki beberapa


(25)

tahapan dalam persiapan kegiatan perladangan setelah lokasi lahan perladangan yang cocok ditemukan, yaitu: menebas (midik); menebang (menepeng); memotong dahan (pegang); membakar lading (nutung); membakar sisa (mekup) menanam padi (menugan); merumput (mabau); dan memanen (majau). Dalam setiap tahapan kegiatan tersebut maka ada aturan-aturan yang harus dipatuhi, ada upacara-upacara adat, dan ada juga pantangan (tabu). Dari semua tahapan tersebut harus dipatuhi kalau ingin panen berhasil.

Dalam kehidupan religius masyarakat tradisional Batak, khususnya Batak Toba (Tapanuli Utara), diyakini adanya kekuatan dan kekuasaan yang menciptakan dan menguasai alam, yang disebut Debata Mula Jadi Na Bolon. Di samping Debata Mula Jadi na Bolon, masyarakat Batak juga percaya dengan adanya kuasa-kuasa alami yang menjelma sebagai Boraspati ni Tano dan Boru Saniang Naga. Boraspati ni Tano adalah Dewa yang hidup di dalam tanah (penguasa tanah), sedangkan Boru Saniang Naga merupakan Dewi yang hidup di dalam air (penguasa air). Kepercayaan lainya adalah kepercayaan terhadap kekuatan roh-roh orang yang telah meninggal dan roh-roh alam. Roh-roh tersebut tinggal di batu besar, mata air, jurang yang dalam, puncak gunung, hutan, pohon besar dan tua, tempat-tempat tertentu di Danau Toba, serta tempat lain yang sulit dikunjungi. Berbagai pantangan dan kewajiban masyarakat untuk menghormati kuasa-kuasa alami, diwariskan secara turun-temurun. Masyarakat yang menaati hal mistis tersebut secara tidak langsung telah menjaga kelestarian alam sekitarnya.

Bukti ekologis bagi dampak positif kegiatan manusia secara tradisional di beberapa areal membenarkan partisipasi masyarakat setempat dalam perlindungan, pengelolaan dan pemulihan lingkungan (Walters, 1997). Mereka memiliki pengetahuan yang sangat kaya tentang lingkungan alam mereka, yang dapat dipakai untuk mendesain strategi-strategi pengelolaan pelestarian alam yang sangat efektif, yang cenderung mengikutsertakan masyarakat lokal di dalamnya. Pandangan umum proyek pelestarian alam dan pembangunan


(26)

terpadu (ICDP), secara sepesifik berasumsi bahwa pengelolaan yang efektif dari sumber daya alam dan penggunaannya yang berkelanjutan seharusnya memasukan praktek-praktek pengelolaan tradisional, dan mengikutsertakan orang setempat mulai dari tahap perencanaan (Eghenter danBernard Sellato,1999).

1.5. Metode Penelitian

Metode penelitian ini adalah metode deskriptif dengan meggunakan pendekatan kualitatif. Metode deskriptif digunakan untuk menggambarkan fakta-fakta yang berkaitan dengan masalah yang diteliti sebagaimana adanya yang diikuti oleh interpretasi rasional. Dalam hal ini, deskripsi dilakukan berkaitan dengan persepsi masyarakat terhadap keberadaan dan perlindungan hutan, serta mendeskripsikan pula kearifan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat (nilai, pengetahuan, aturan, kepercayaan, tabu, sanksi, dan upacara tertentu) dalam rangka perlindungan hutan.

1.5.1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah merupakan salah satu Kecamatan yang memiliki potensi hutan dan tergolong dalam Kawasan Ekosistem Lauser (KEL) yaitu Kecamatan Si empat Rube Kab. Pakpak Bharat . Dimana penduduk memiliki kearifan tradisional dalam pelestarian hutan yang perlu digali dalam pelestarian hutan kemenyan.

1.5.2 Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengupulan data yang menjadi alat pengait utama adalah teknik wawancara dan observasi. Wawancara digunakan untuk mendapatkan data dan memperoleh informasi yang diharapkan tentang permasalahan yang diteliti. Wawancara yang dilakukan adalah wawanara mendalam dan berfokus pada informan kunci, yaitu para petani yang masih aktif melakuakan aktitas mengelolah hutan .


(27)

Wawancara mendalam yang penulis lakukan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) secara mendalam dengan para informan kunci. Informan kunci dalam penelelitian ini adalah petani yang terlibat langsung dengan hutan kemenyan. Informan pangkal dalam penelitian ini antara lain terdiri dari kepala desa, dan tokoh masyarakat yang telah lanjut usia. Dipilihnya tokoh masyarakat yang berusia lanjut didasarkan pada pengetahuan bahwa yang berusia lanjut lebih mengetahui kebiasaan-kebiasaan dan mitos-mitos masa lalu dan dapat membandingkannya dengan situasi dan keadaan saat ini.

Selain metode wawancara pengumpulan data dilakukan dengan berbagai alat bantu untuk mendukung penelitian, seperti pedoman wawancara (interviw guide) yang dibuat sebelum turun kelapangan yang dipergunakan apabila wawancara dilakuakan dengan terencana. Tape rekorder, digunakan untuk membantu mengingat kembali informasi yang mungkin terlewatkan atau tidak sempat ditulis oleh penulis. Sedangkan kamera digunakan untuk mengabadiakan peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan apa yang diteliti.

Observasi

Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi partisipasi kadangkala. Dalam hal ini, peneliti mengadakan pengamatan langsung di lapangan dan ikut terlibat ketika pengumpulan data sangat diperlukan. Maksudnya, peneliti ikut pada saat peneliti ingin mengetahui bagai mana aktifitas peteni pada saat berada di dalam hutan dan apa yang dilakuakan petani untuk menjaga hutannya. Peneliti tidak terlibat atau pasif ketika waktu yang digunkan petani bereda di hutan lebih dari 1 minggu. Adapun yang di observasi adalah (1). Melihat cara petani melekukan upacara yang terkait dengan pengelolaan kemenyan. (2). Mengamati petani menjaga larangan-larangan agar tidak dilanggar, dan melihat aktifitas petani ketika berada di hutan. Hasil dari pengamatan di tuangkan dalam


(28)

catatan lapangan, hal ini untuk mempermudah peneliti untuk mengingat dan membaca informasi yang telah diperoleh dari informan ketika di lapangan.

1.5.3. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan oleh peneliti adalah analisis data kualitatif pertama-tama, peneliti akan mengumpulkan dan mengorganisasilkan, mengurutkan data-data hasil observasi dan wawancara yang diproleh dari lapangan kedalam kategori-kategori. Proses mengorganisasikan data dan mengurutkan data kedalam kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema. Setelah data terkumpul, selanjutnya akan dibandingkan dan dicari hubungannya. Kemudian data tersebut akan diperkuat dengan data kepustakaan dan artikel-artikel. Dengan cara ini diharapkan akan ditemukan konsep dan kesimpulan yang menjelaskan laporan atau hasil penelitian yang disusun secara sistematis. Analisis data akan dialakukan mulai dari penyusunan proposal sampai penelitian ini selesai.

Bab II

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

2.1. SEJARAH SINGKAT KECAMATAN SIEMPAT RUBE

Dalam rangka mengoptimalkan pelayanan Pemerintah kecamatan kepada masyarakat di desa yang semakin berkembang baik ekonomi, politik, dan sosial budaya maka dipandang perlu memadatkan dan meningkatkan frekuensi pelayanan aparatur pemerintah di kecamatan. Seiring dengan hal ini maka dipandang perlu melakukan penataan wilayah kecamatan dengan pendekatan pemekaran kecamatan.


(29)

catatan lapangan, hal ini untuk mempermudah peneliti untuk mengingat dan membaca informasi yang telah diperoleh dari informan ketika di lapangan.

1.5.3. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan oleh peneliti adalah analisis data kualitatif pertama-tama, peneliti akan mengumpulkan dan mengorganisasilkan, mengurutkan data-data hasil observasi dan wawancara yang diproleh dari lapangan kedalam kategori-kategori. Proses mengorganisasikan data dan mengurutkan data kedalam kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema. Setelah data terkumpul, selanjutnya akan dibandingkan dan dicari hubungannya. Kemudian data tersebut akan diperkuat dengan data kepustakaan dan artikel-artikel. Dengan cara ini diharapkan akan ditemukan konsep dan kesimpulan yang menjelaskan laporan atau hasil penelitian yang disusun secara sistematis. Analisis data akan dialakukan mulai dari penyusunan proposal sampai penelitian ini selesai.

Bab II

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

2.1. SEJARAH SINGKAT KECAMATAN SIEMPAT RUBE

Dalam rangka mengoptimalkan pelayanan Pemerintah kecamatan kepada masyarakat di desa yang semakin berkembang baik ekonomi, politik, dan sosial budaya maka dipandang perlu memadatkan dan meningkatkan frekuensi pelayanan aparatur pemerintah di kecamatan. Seiring dengan hal ini maka dipandang perlu melakukan penataan wilayah kecamatan dengan pendekatan pemekaran kecamatan.


(30)

Dengan hal ini kecamatan Kerajaan telah dimekarkan menjadi 3 kecamatan sesuai dengan isi Perda Kabupaten Pakpak Bharat No.08 tahun 2005 “Tentang pembentukan kecamatan Sitellu Tali Urang Julu, kecamatan Pergetteng-getteng Sengkut, kecamatan Pagindar, Kecamatan Tinada serta kecamatan Siempat Rube” tanggal 28 Desember 2005.

Sesuai dengan isi perda di atas maka terbentuklah kecamatan Siempat Rube yang beribukota Jambu Rea dengan luas kecamatan 82,36 km2. Sekarang Kecamatan Siempat Rube terdiri dari 6 desa dan diangkat sebagai pejabat Camat Dencimin Banurea dan pada saat penelitian ini dilakukan pejabat Camat yang baru di angkat adalah Supardi Padang, SP.

Demikianlah sejarah singkat terbentuknya kecamatan Siempat Rube dimana masih belum lengkap yang merupakan sebagai awal permulaan mengungkapkan sejarah kecamatan tersebut.

2.2. LETAK GEOGRAFIS 2.2.1. Letak dan Geografis

Kecamatan ini terletak di bagian tengah Kabupaten Pakpak Bharat, yang berada pada ketinggian 700-1400 m.dpl, dan jarak dari Medan ke Selak (ibukota Kabupaten Pakpak Bharat) adalah 196 km, dapat ditempuh dengan kendaraan yang bermerek HIMPAK, sampri, BTN, Datra, dan PAS dengan ongkos 30.000/orang, sedangakan dari ke Selak (ibukota Kabupaten Pakpak Bharat) Jamburea (ibukota Kecamatan Siempat Rube) adalah 5 km, dapat ditempuh dengan BeTor (Becak Motor) dengan ongkos minmal 10.000-20.000/orang tergantung kesepakatan sedangkan bus umum hanya beroprasi pada waktu pekan yaitu hari kamis dengan ongkos 7000/orang. Kecamatan Siempat Rube berbatasan dengan beberapa Kecamatan dan satu Kabupaten dengan batas-batas sebagai berikut:

Sebelah Utara : Kecamatan Tinada Sebelah Timur : Kabupaten Dairi


(31)

Sebelah Selatan : Kecamatan Sitellu Tali Urang Julu Sebelah Barat : Kecamatan Salak

2.2.2. Keadaan Alam

• Kecamatan Siempat Rube pada umumnya adalah berbukit-bukit dengan ketinggian yang bervariasi antara 700 – 1.400 m sehingga terjadi Iklim hujan tropis yang dipengaruhi angin musim.

• Iklim di Kecamatan ini tidak menentu ada kalanya musim penghujan dan adakalanya musim kemarau. Musim penghujan biasanya pada bulan Januari, Maret, Juli, Agustus, September, Oktober, Nopember dan Desember setiap tahunnya.

2.2.3. Desa-Desa di Kecamatan Siempat Rube

Kecamatan Siempat Rube yang terdiri dari 6 desa dan tiap desa dikepalai oleh seorang kepala desa dan dibantu oleh seorang sekretaris desa (Sekdes). Desa-desa ini dibagi lagi atas beberapa dusun dan setiap dusun dikepalai oleh seorang kepala dusun.

Tabel 1

Nama-Nama Kepala Desa dan Dusun

Desa Dusun Nama Kepala Desa

Siempat rube I

1. Jambuh Buah

Rea

2. Tanjung

Pinag

3. Gading

Meras-ras


(32)

Siempat rube II

1. Jambu

mbelang I

2. Jambu

Mbelang II

3. Kuta Kacip

Jaman Padang

Mungkur

1. Mungkur

2. Dos Ate

3. Simbruna

4. Mersada

Kabbin Padang

Sempat rube IV

1. Kuta Laki

2. Kuta Grat

3. Rube Haji

4. Pangkalen 5. Resdes 6. Simpang Tellu Bonar Padang Kuta jungak

1. Lebuh Neur

2. Kuta Jungak

3. Simpang Pertellun-telun Jakonar Padang traju 1. Traju 2. Simpang Jambu

3. Kite Tanoh

Polni Cibro


(33)

2.3. JUMLAH DAN KOMPOSISI PENDUDUK

2.3.1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

Penduduk Kecamatan Siempat Rube akhir tahun 2008 berjumlah 4.027 jiwa dengan penduduk laki-laki sebanyak 2.097 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 1.930 jiwa dan rumah tangga yang ada sebanyak 732 rumah tangga dengan tingkat kepadatan penduduk 48 jiwa / km2.

TABEL 2

JUMLAH PENDUDUK MENURUT JENIS KELAMIN

TAHUN 2008

Jenis kelamin Jumlah Persentase

Laki-laki 2097 52,08

Perempuan 1930 47,92

Jumlah 4027 100

Sumber:Kantor Kecamatan Siempat Rube

Dari tabel 1 diatas dapat diketahui bahwa mayoritas penduduk di Kecamatan Siempat Rube adalah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki dengan jumlah 2097 jiwa atau 52,07%, selebihnya berjenis kelamin perempuan dengan jumlah 1930 jiwa atau 47,92%.


(34)

2.3.2. Komposisi Penduduk Menurut Tempat Tinggal Tabel 3

Komposisi Penduduk Menurut Tempat Tinggal

Tahun 2008

No Desa Jumlah

1 Siempat Rube I 709 17,60 %

2 Siempat Rube II 814 20,21 %

3 Mungkur 581 14,42 %

4 Siempat Rube IV 1077 26,75 %

5 Kuta Jungak 489 12,14 %

6 Traju 357 8,88 %

jumlah 4027 100%

Sumb: Kantor Kecamatan Siempat Rube

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa mayoritas penduduk di Kecamatan Siempat Rube bertempat tinggal pada desa sempat rube IV dengan kepadatan penduduk sebanyak 1077 jiwa atau 26,75%, diuratan ke dua adalah desa siempat rube II dengan kepadatan penduduk sebanyak 814 jiwa atau 14,42% dari jumlah keselurhan penduduk. Sedangkan yang paling sedikit adalah desa traju dengan kepadatan hanya 357 jiwa atau 8,88%.

2.3.3. Komposisi Penduduk Menurut Suku dan Agama

Penduduk yang mendiami kecamatan ini mayoritas suku Pakpak yaitu Pakpak Simsim (Suak Simsim) dan sebagian kecil suku lain yaitu Batak Toba, Karo, Simalungun, dan Jawa. Penduduk ini menganut agama/kepercayaan masing-masing yaitu Protestan, Katolik, dan Islam. Meskipun berbeda agama dan kepercayaan namun stabilitas keamanan dan ketertiban


(35)

cukup terjalin dengan baik, aman, rukun dan damai serta hormat menghormati antar pemeluk agama dan kepercayaan.

Tabel 4

Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama Menurut Desa

Tahun 2008

No Desa Islam Protestan Katolik Hindu Budha Jumlah 1 2 3 4 5 6

Siempat Rube I Siempat Rube II Mungkur

Siempat Rube IV Kuta Jungak Traju 77 103 63 80 200 6 513 643 518 892 289 346 119 68 - 105 - 5 - - - - - - - - - - - - 709 814 581 1077 489 357

Jumlah 529 3201 297 - - 4027


(36)

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa mayoritas penduduk Kec. Siempat Rube adalah beragama Kristen Protestan yakni sebanyak 3.201 jiwa, Islam 529 jiwa dan katolik 297 jiwa. Dari tabel tersebut dapat juga diketahui bahwa penduduk yang beragama Kristen Protestan paling banyak di Desa Siempat Rube IV yakni sebanyak 892 jiwa, sedangkan paling sedikit di Desa Kuta Jungak yaitu 289 jiwa. Penduduk beragama Katolik paling banyak di Desa Siempat Rube I yakni sebanyak 119 jiwa, sedangkan paling sedikit di Desa Traju yaitu 5 jiwa. Sementara penduduk yang beraga Islam paling banyak di Desa Kuta Jungak yakni sebanyak 200 jiwa, sedangkan paling sedikit di Desa Traju yaitu sebanyak 6 jiwa.

2.3.4. MATA PENCAHARIAN

Kecamatan Siempat Rube yang lahannya cukup luas dan subur sehingga sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian, perkebunan rakyat dan sebagian kecil hidup dari usaha perdagangan, industri, penggalian batu/pasir, buruh, jasa pemerintahan/ PNS dan TNI/Polri.

Tabel 5

Kompoisi penduduk

berdasarkan mata pencaharian dan desa tahun 2008

No Nama Desa Pertanian Industri PNS /TNI POLRI

lainya Jumlah

1 Siempat Rube I 236 - 38 - 274

2 Siempat Rube II 468 - 17 13 316

3 Mungkur 355 - 10 - 465


(37)

5 Kuta Jungak 194 - 3 - 197

6 Traju 185 - 22 - 207

Jumlah 2097 - 100 13 2210

Sumber : Kantor Kecamatan Siempat Rube

Dari tabel diatas kita dapat melihat petani lebih banyak dari pada sektor mata pencaharian lain, dimana mayoritas penduduk adalah petani dengan jumlah 2097 jiwa, sedangkan polisi, PNS, TNI berjumlah 100 jiwa dan sektor pedagang sebanyak 13 jiwa. Hal ini menunjukan pedagang dan buruh pabrik tidak banyak.

2.3.4.1. Hasil Pertanian

Hasil pertanian dari kecamatan ini adalah padi, jagung, jeruk, Kopi, cabe, nenas, sayur sawi pahit, sayur sawi manis dan lainnya. Produksi pertanian yang terbesar pada tahun 2008 adalah padi dan jeruk. Dari produksi tanaman keras terdapat kopi sebagai produksi terbanyak dan diposisi ke dua adalah kemenya.

Tabel 6

Produksi Pertanian Penduduk Menurut Jenis Tanaman Unggulan dan Desa

Tahun 2008

No Desa

Luas lahan/ha Produksi / ton

Padi Sawah

Padi

Ladang Jagung Jeruk

Padi Sawah

Padi

Ladang Jagung Jeruk 1 Siempat

Rube I 200 190 80 20 1040 380 360 400

2 Siempat


(38)

3 Mungkur 70 20 13 - 280 46 52 - 4 Siempat

Rube IV 50 20 20 16 190 40 82 320

5 Kuta

Jungak 120 20 20 - 612 50 82 -

6 Traju 20 20 10 14 78 56 40 280

Jumlah 462 350 183 220 2206,4 764 792 4400

Sumber: Kantor Kecamatan Siempat Rube

Dari pertanian unggulan masyarkat, Jeruk merupakan pertanian yang banyak menghasilkan yaitu 4400ton dengan luas 220 hektar, padi sawah berada di bawah jeruk dengan jumlah 2206,4 ton pada tahun 2008, dengan luas are seluas 462ha. Sedangkan pertanian yang paling sedikit adalah padi ladang yaitu 764ton dengan luas 350 ha. Hal ini disebabkan oleh hewan-hewan pengganggu yang lebih banyak menyerang tanaman kering seperti padi ladang. Musuh petani padi ladang ada bermacam-macam dan lebih banyak dari musuh padi sawah, seperti: Tikus, Babi hutan, Monyet dan Burung pemakan padi.

Tabel 7

PRODUKSI TANAMAN KERAS

MENURUT JENIS TANAMAN DAN DESA (TON) TAHUN 2008

No Desa Kelapa Karet Kopi Gambir Kemenyan

1. Siempat Rube I - - 400 - 12

2. Siempat Rube II - - 120 - 13

3. Mungkur - - 204 - 24


(39)

5. Kuta Jungak - - 56 - 37

6. Traju - - 96 0,3 21

Jumlah - - 960 0,3 147

Sumber: Kantor Kecamatan Siempat Rube

Dengan melihat tabel diatas, kita dapat melihat bahwa kopi adalah jenis tanaman keras yang paling banyak di kelolah oleh penduduk Kec. Siempat Rube dengan jumlah 960 ton /tahun, sedangkan kemenyan berada pada urutan ke dua dengan jumlah 147 ton/thn. Hutan kemenyan hampir tersebar diseluruh hutan Kecamatan Sempat Rube tersebar hampir tiap desa dan dikelolah. Petani kemenyan di setiap desa berfariasi seperti di Desa Siempat Rube I dan II jumlah petani tidak banyak hanya berkisar 5-6 oarang saja. Yang paling banyak petaninya adalah Desa Siempat Rube IV karena desa tersebut sangat dekat sekali dengan hutan kemenyan dan merupakan salah satu pendapatan penduduk yang besar selain jeruk.

2.3.4.2. Objek Wisata

Di desa Mungkur yang jaraknya lebih kurang 9 km dari ibukota Kecamatan terdapat daerah tujuan wisata ”Liang Tojok” yang mempunyai panorama yang indah yang terdiri dari Air Terjun setinggi ± 20 m. Berikut gua yang cukup dalam sepanjang 30 m yang sampai saat ini belum ada jalan menuju ke lokasi daerah wisata tersebut kecuali jalan setapak. Apabila Dinas Pariwisata Kabupaten Pakpak Bharat mengadakan pemugaran terhadap daerah tersebut maka wisatawan domestik dan mancanegara akan datang ketempat tersebut.

2.4.

Sarana dan Prasarana

Sarana jalan bagi masyarakat siempat rube sangat membantu terhadap kemajuan daerah tersebut. Untuk mengantar hasil pertanian mereka kepasar suadah tidak mendapatkan masalagi karena jala-jalan telah bagus dan diaspal. Walaupun belum semua jalan yang telah


(40)

diaspal masyarakat tetap dapat membawa hasil pertanian mereka karena jalan yang belum diaspal tidak begitu banyak lagi dan panjang dan telah diberi batu padas. Begitu pula dengan jembatan-jembatan yang menghubungkan desa-desa telah diperbaiki dan dapat dilalui kendaraan roda empat. Selain sarana jalan yang menghubungkan antara desa yang satu dengan yang lain masih ada sarana yang lain. Sarana sekolah yang ada di kec.siempat rube berjumlah 5 SD tersebar hampir di seluruh desa, tetapi desa kuta jungak tidak memiliki sekolah, sehingga anak-anak mereka sekolah ke desa terdekat dan 1 sekolah SLTP yang terletak di Siempat Rube I. Sarana kesehatan berjumlah 12 bangunan, yang terdiri dari 1 PusKesMas berada di desa siempat rube II , 10 Posyandu yang tersebar di seluruh desa yang ada di kec. Siempat rube, dan 1 PusPem yang berada di desa Mungkur.

Penduduk kec. Siempat Rube memiliki rumah ibadah sebanyak 30 unit, yang terdiri dari 7 unit mesjit, 1 unit musollah, dan 22 unit gereja, yang tersebar diseluruh desa yang ada di kec. Siempat Rube. Hal ini menunjukan bahwa di daerah ini terdapat kerukunan umat beragama terjaga dengan baik. Sedangkan sarana transportasi yang ada di kec. Ini tidaklah banyak, kebanyakan kendaraan pribadi, baik sepeda motor maupun mobil. Angkutan umum (mobil) hanya beroperasi pada hari pekan, yaitu hari kamis. Jadi alat transportasi umum pengganti mobil adalah becak motor.

Penduduk kec.siempat rube belum semua memiliki penerangan Listrik Tenaga Air (PLTA). Hal ini terlihat dengan banyaknya penduduk menggunakan listrik tenaga surya dengan menggunakan alat penyimpan panas yang pada tahun 2009 dibagikan oleh pemerinta setempat kepada penduduk kurang mampu. Kab. Pakpak bharat masih kekurangan listrik. Belum bisa menerangi seluruh desa. Keadaan ini terlihat penulis ketika penulis berada disana pada malam hari lampu sering kurang arus, dan mesin Photo copy pada malam hari tidak bisa dinyalakan karena kekurangan arus dan dapat merusak mesin photo copy tersebut.


(41)

BAB III

PENGELOLAAN HUTAN KEMENYAN

3.1. Gambaran Umum Tentang Kemenyan

Kemenyan (gum benzoin) di dalam perdagangan biasa disebut sebagai “sumatra benzoin”. Kemenyan merupakan “balsamic resin” yang diperoleh dari hasil pelunakan batang pohon Styrax benzoin Dryand atau Styrax paralleloneurus Perkins, sedangkan yang dihasilkan dari Styrax tonkinensis (Pierre) atau kemungkinan juga dari jenis-jenis lain dikenal dengan nama “siam benzoin”. Styrax berasal dari bahasa Yunani kuno “storax” yaitu nama yang digunakan untuk gum/getah yang berbau harum atau juga untuk pohon yang menghasilkannya. Sedangkan “benzoin” berasal dari bahasa Arab, yaitu “ben” yang berarti harum dan “zoa” berarti getah jadi benzoin adalah getah yang berbau harum (Clause (1961)

dalam Widiyastuti et all, 1995).

Secara umum, kemenyan tersebar di belahan bumi utara, khususnya di Asia Timur (tidak terdapat di Australia dan Pasifik Sentral). Pulau Sumatera merupakan pusat penyebaran


(42)

kemenyan yang terluas. Khusus daerah penyabaran kemenyan durame (Sytrax benzoin Dryand), terdapat di Sumatera, Semenanjung Malaya dan Jawa Barat (Steenis, 1954). Menurut Heyne (1987) di Sumatera kemenyan tersebar di Sumatera Utara dan Sumatera Selatan.

Untuk Indonesia terdapat 7 jenis Styrax yang menghasilkan getah kemenyan, tetapi hanya dua jenis yang diusahakan di Sumatera Utara, yakni Styrax benzoin Dryand dan Styrax

parllelonorous Perkin. Kedua jenis tersebut termasuk ke dalam family Styracaceae dari

tanaman berbiji dua (Dicotil). Kemenyan (Styrax spp.) termasuk jenis pohon berukuran besar, yaitu dari family Styracaceae3

3

Jayusman,1999 (dalam Harmoko “ Kontribusi Hutan Rakyat Kemenyan terhadap Pendapatan Rumah

.

Antara Styrax parllelonorous dan Styrax benzoin dapat dibedakan sebagai berikut : Tanda-tanda Styrax parllelonorous Perkin (Kemenyan Toba = Haminjon Toba) ialah :

a. Berbiji bulat lonjong sebesar ibu jari kaki

b. Daunnya lebih besar dari daun Styrax benzoin, daunnya berwarna hijau tua

c. Tinggi tanaman dapt mencapai 40 meter

d. Cabang tumbuh menjulang ke atas membentuk sudut ± 60o dengan batang tanaman

e. Tumbuh pada tempat yang tingginya 600-2000 mdpl.

Styrax benzoin Dryand, juga disebut Haminjon Dairi atau Haminjon Durame.

Tanda-tandanya antara lain :

a. Berbiji agak bulat/bulat gepeng


(43)

c. Daun sebelah bawah tertutup dengan buluh yang berbentuk bintang

d. Cabangnya tumbuh mendatar (Sianturi et al, 1971)

Kemenyan dapat tumbuh baik pada ketinggian antara 600-900 m daerah permukaan laut. Namun, apabila ditanam pada dataran yang ketinggiannya kurang atau lebih maka pertumbuhan hanya kurang baik. Curah hujan yang dikehendaki tanaman ini berkisar antara 2500 mm-4000 mm/ tahunnya yang terbagi dalam 100-500 curah hujan serta iklim panas yang cukup lembab dengan suhu sekitar 25-30˚C. Kurang atau lebih curah hujan yang turun maupun iklimnya berpengaruh terhadap pertumbuhan kemenyan itu sendiri. Hal tersebut juga dapat menentukan tingkat produktifitas tanaman. Walaupun demikian tanaman kemenyan juga tumbuh pada berbagai jenis tanah dan tidak terlalu menuntut kesuburan tanahnya. Kemenyan dapat tumbuh pada tanah vulkanis muda maupun tua, alluvial, tanah gambut dan bahkan tanah yang berjenis podzolik merah kuning. Kondisi tanah yang penting untuk tanaman tersebut adalah tanah-tanah tersebut mudah ditembus air dan tidak terdapat pada lapisan tanah batu yang kedalaman 2-3 m yang dapat menghalangi pertumbuhan akar dalam mencari jatah-jatah makanan disekitarnya.

3.1.1. Sejarah Pengenalan Kemenyan

Menurut para petani kemenyan atau dalam bahasa PakPak lazim disebut dengan

kemenjen, pohon kemenyan yang ada di sekitar daerah PakPak Bharat berasal dari tanah Arab

yang di bawa ke Indonesia oleh para pedagang. Pohon kemenyan pertama sekali di tanam di daerah Barus. Hal ini disebabkan pada masa penjajahan Belanda Pantai Barus merupakan daerah pelabuhan dan perdagangan bebas. Selanjutnya dari Barus tanaman Kemenyan terus berkembang dan menyebar ke daerah lain, seperti daerah Pak-pak Barat, Dolok Sanggul dan Dairi.


(44)

Tanah Arab merupakan asal tumbuhan Kemenyan, yang kita ketahui daerah padang pasir yang panas dan gersang. Namun, hasil getah yang di hasilkan tak sebagus dan tak sebanyak jika tanaman kemenyan tersebut di tanam di dataran tinggi. Pohon Kemenyan dapat hidup dan menghasilkan getah yang banyak serta bagus jika pohon tersebut di tanam pada dataran tinggi yang bersuhu sejuk dan dingin (750 mdpl/meter di atas permukaan laut).

Penyebaran pohon kemenyan. Menurut masyarakat yang ditemui dan ditanyai oleh penulis, bahwa pohon kemenyan yang ada saat ini sebagian besar penyebarannnya dibawa oleh hewan seperti rusa atau rigarung (bahasa Pak-pak). Di samping itu juga tentu ada masyarakat pada awalnya menanam pohon kemenyan sebagai pohon pelindung di daerah perladangan. Serta ada juga yang dibawa oleh para pedagang untuk diperkenalkan pada masyarakat yang didatangi oleh para pedagang yang berasal dari Barus maupun pedagang yang berasal dari daerah Dolok Sanggul, Dairi dan PakPak Bharat untuk diperkenalkan sebagai komuditas tanaman baru yang menghasilkan nilai ekonomi baru disamping rempah-rempah yang selama ini masyarakat ketahui.

Sebenarnya pada masa Penjajahan Belanda sudah ada anjuran kepada masyarakat agar menanam pohon kemenyan. Karena kemenyan merupakan salah satu komoditas yang diperdagangkan ke Eropa bersamaan dengan rempah-rempah yang berasal dari daerah Sumatera Utara (Kresidenan Tapanuli). Di Eropa kemenyan diolah menjadi bahan pencampur parfum. Hal ini disebabkan dengan bau yang ditimbulkan dari getah kemenyan tersebut mempunyai sifat yang “relatif” harum dan pada waktu itu (abad XVIII) mudah dikelola.

Pada masa Romawi kuno, kemenyan telah digunakan sebagai bagian dari ritual. Sebagai contoh; digunakan sebagai “pengurapan” atau pembersihan diri yang dilakukan oleh para pemimpin agama/Pendeta kepada seseorang penganut agama/umat Kristen, agar kembali bersih dan suci seperti saat pertama kali turun ke dunia/lahir. Dan juga Pengurapan dilakukan saat anak atau bayi baru lahir. Hal ini juga tidak terlepas dari ajaran Agama Kristen yang


(45)

dilakukan secara turun-temurun yang dimulai saat Isa Al-Masih atau Jesus Kristus lahir ke dunia, pengurapan telah dilakukan.

3.1.2. Pengetahuan Petani tentang Kemenya

Berdasarkan kriteria diatas maka Pakpak Bharat mendukung bagi pertumbuhan tanaman kemenyan, itu dapat dilihat dari kondisi tipografi tempat yang sebagian merupakan daerah ketinggian yang berkisar 700-1400 m dari permukaan laut, dan memiliki iklim hujan tropis yang dipengaruhi angin musim serta kandungan tanahnya yang merupakan jenis tanah yang berpasir, berbatu atau kerikil.

Kemenyan yang banyak tumbuh di Kec. Siempat Rube banyak tumbuh pada kemiringan ±20˚-30˚ dan tidak terlalu susah untuk dikerjakan, apabila kemenyan tumbuh pada kemiringan di atas 30˚ sudah jarang dikerjakan karena dianggap terlalu beresiko untuk keselamatan petani dan berada pada kandungan tanah yang berkerikil dan berpasir. Kemenyan yang tumbuh mendapat humus yang bayak dan baik akibat pembusukan daun dan batang pohon lain yang telah berguguran dan mati karena usia atau di tabang petani, bahkan bangkai hewan yang mati karena usia dan penyakit hewan.

Pengetahuan masyarakat tentang tanaman kemenyan didasari dari pengetahuan mereka tentang kesuburan tanah, iklim dan curah hujan. Tanah yang baik untuk penanaman kemenyan adalah tanah yang mengandung pasir dan berbatu kecil dengan ketinggian rata-rata 600-900 m dari permukaan laut. Sedangkan iklimnya adalah iklim sedang, karena tanaman kemenyan mengandung getah, sehingga apabila suhu terlalu panas menyebabkan getah sulit kering atau akan selalu meleleh. Curah hujan yang sesuai dengan perkebunan kemenyan adalah curah hujan sedang. Artinya tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit atau sesuai dengan musim yang ada di Indonesia. Pengetahuan petani tersebut dapat diketahui dari


(46)

kebiasaan yang dilakukan bahwa lahan yang kering dan belerang dimanfaatkan sebagai perkebunan.

Pemilihan lahan tersebut didasari oleh anggapan bahwa tanaman tersebut tidak membutuhkan perawatan khusus, serta tidak menuntut kesuburan tanah yang optimal. Intensitas air yang dibutuhkan tidak terlalu banyak dagi pertumbuhan dan kelangsungannya. Selain pengetahuan mereka mengenai kesuburan tanah, iklim, curah hujan yang secara alamiah dapat berpengaruh bagi pertumbuhan dan kelangsungan tanaman kemenyan. Unsur-unsur ekologis lainnya juga terkait dan dapat mempengaruhi suatu jalinan ekosistem.

Keberadaan tanaman kemenyan secara alamiah berfungsi sebagai penahan lajunya air hujan yang turun kedaerah terendah sehingga air dapat teresap dalam pori-pori tanah dataran tinggi yang akhirnya merupakan cadangan bagi kebutuhan sehari-hari jika musim kemarau. Di samping sebagai penahan lajunya air hujan, tanaman kemenyan juga sebagi penambah kelestarian hutan yang memiliki banyak fungsi, baik dari bidang ekonomis maupun ekologis.

Curah hujan yang terkadang tinggi pada musim penghujan dapat melongsorkan sejumlah lereng terjal yang banyak terdapat disekitar desa. Ditanaminya pohon kemenyan disekitar lereng-lereng tersebut maka erosi yang dapat ditimbulkan oleh hujan deras dapat dihindari.

Kemenyan yang pada umumnya dikelolah atau diproduksi petani di kec.Siempat Rube adalah Kemenyan Bunga. Karena harga kemenyan bunga memiliki nilai jual yang tinggi dan lebih banyak tumbuh di hutan mereka. Jenis-jenis kemenyan yang panulis ketahui dari petani adalah sebagai berikut :

1. Kemenyan Bunga (Kemenjen Bunga)

Dinamakan kemenyan bunga karena kemenyan tersebut bergetah deras dan putih yang menyerupai bunga. Sesuai dengan pengalaman petani hingga saat ini, bahwa


(47)

kemenyan yang sering ditanam dan usahai petani adalah jenis kemenyan bunga, karena lebih bagus untuk menghasilkan getah yang bagus dan mahal harganya.

2. Kemenyan Toba (Kemenjen Tebba)

Jenis kemenyan yang kurang bagus berwarna putih kehitaman dan kurang menarik. Dari segi harga, kemenyan toba tidak mahal dan diwah kemenyan bunga. Bahkan dari segi kualitas getah yang dihasilkan kurang diminati di pasaran karena hanya dapat dijadikan sebagai campuran rokok.

3. Kemenyan Durame (Kemenjen Jairin/Jurame)

Getah yang dihasilkan kemenyan jurami pada umumnya encer dan lama keringya. Jenis ini untuk wilayah kecamatan siempat rube hapir tidak bisa ditemukan karena bayak ditebang, dan menurut beberapa informan, kemenyan ini suda ditebang karena tidak menguntungkan apabila dikelolah.

Selain jenis kemenyan yang diproduksi patani ada juga jenis getah yang mempengaruhi haraga jual di pasar. Getah yang dihasilkan pohon kemenyan juga berbeda-beda menurut ukuran, bentuk dan warna yang kemudian juga akan memberbeda-bedakan harganya. Karena itulah maka petani di Kec. Sempat Rube, sebelum menjual getah kemenyannya terlebih dahulu melakukan pekerjaan menyortir.

Berdasarkan letaknya, getah kemenyan dapat dibagi atas getah dalam (gotah bagasan) berada didalam batang dan lengket di dalam kulit kemenyan. Sedangkan getah luar (gotah luar) berada diluar kulit kemenyan yang telah disugi.

Jenis-jenis getah kemenyan yang dapat dijual tersebut adalah: 1. Longkap (getah dalam)

Longkap adalah jenis getah kemenyan yang diambil dari kulit kemenyan yang telah ditusuk saat manugi. Harga longkap lebih mahal dari jenis lainnya. longkap yang dijual ada dua macam yaitu longkap nomor satu dan longkap nomor dua. Longkap nomor satu


(48)

lebih mahal dari longkap nomor dua, karena longkap nomor satu sewaktu dijual tidak dicampur dengan jenis getah lainnya. Sedang longkap nomor dua sudah dicampur dengan jenis getah lainnya seperti julur. Ciri-ciri longkap adalah tebal, berwarna putih dan lebih besar dari getah lainnya. Getah longkap termasuk jenis getah dalam.

2. Parung

Parung adalah jenis getah kemenyan yang diperoleh dari luar kulit kemenyan (getah teruh) yang tertusuk atau dari luar kulit longkap. Getah longkap dan parung ini diambil pada waktu bersamaan, getah kemenyan yang terlebih dahulu diambil adalah julur. Parung berada disekitar kulit longkap. Ciri-ciri parung adalah berwarna merah kekuning-kuningan, agak bulat dan lengket pada batang, serta bentuknya ada yang tipis dan tebal. Parung inilah yang sering dicampur dengan longkap bila petani hendak menjual kemenyan.

3. Pengenderen

Pangandaran adalah jenis getah kemenyan yang diperoleh pada saat melakukan pekerjaan manugi. Pangandaran sering digabung dengan longkap apabila melakukan penjualan. Apalagi kalau longkap lebih banyak dari pangandaran, maka harga yang diperoleha adalah harga longakap. Dan sebaliknya jika jenis pangandaran lebih banyak dari jenis longkap, maka dalam melakukan penjualan lebih baik keduanya dipisahkan. Pangandaran ini termasuk getah luar. Pangandaran juga bisa didapat dari dalam kulit atau longakap. Haraga pangandaran ini lebih mahal dari pangandaran yang didapat dari luar kulit, warna pangandaran ini putih dan ada yang kuning.

3.2. Pengelohan Hutan Kemenyan 3.2.1. Kepemilikan Lahan.


(49)

Hutan bagi masyarakat Kecamatan Si Empat Rube memiliki makna tertentu. Bagi mereka hutan adalah sumber kehidupan dan penopang ekonomi, selain dari pertanian yang mereka kelola secara pribadi. Adapun pendapatan utama sebagian besar masyarakat tersebut adalah dari bertani kopi, jagung dan palawija lainnya, seperti yang telah dijelaskan pada BAB II (Lokasi Penelitian).

Pada dasarnya peduduk yang mendiami Kecamatan Si Empat Rube tidak banyak warganya bermata pencaharian sebagai petani kemenyan. Hal ini disebabkan oleh penduduk banyak yang tidak tahu cara bertani kemenyan. Memang tidak rumit, tapi memiliki resiko yang cukup tinggi dan sepinya penghuni hutan mempengaruhi keberanian seseorang. Karena tidak ada orang lain di sekitar untuk diajak bercanda atau setidaknya diajak untuk bertukar cerita terutama pada malam hari. Walaupun mempunyai nilai ekonomis yang relativ tinggi.

Di Pakpak Barat Kemenyan di kelola oleh masyarakat Pakpak yang mendiami kaki gunung. Penanaman atau pengusahaan kemenyan di kelola atau dihasilkan dari tanah ulayat, yang masyarakatnya hanya bisa mengelola tanah tersebut dan tidak bisa untuk memiliki. Namun, ada juga masyarakat yang mananami dan mengelola di lahan perkebunan atau ladang sendiri.

Bagi sebagian masyarakat pengelola pohon kemenyan yang mengusahakan memakai tanah ulayat, tentu mempunyai aturan agar tanah ulayat tersebut dapat dikelola sebagai pemenuhan ekonomi dengan syarat meminta izin kepada tokoh masyarakat. Namun yang jelas, masyarakat tidak bisa lepas dari budaya dan istiadat daerah yang mereka tempati/diami. Terutama tata cara untuk menggunakan dan mengelolah tanah ulayat. Masyarakat yang menggunakan tanah ulayat tersebut hanya bisa di kelola dan diambil hasilnya saja.

Saat masyarakat akan memakai dan menggunakan serta mengelola tanah ulayat sebagai bagian dari pemenuhan ekonomi, suatu keluarga harus meminta izin kepada tokoh


(50)

adat/Kepala Desa/Pemerintah berwenang di tingkat desa atau kuta, mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh si keluarga yang akan menggunakan tanah ulayat tersebut.

Setelah masyarakat mendapat izin dari pihak adat yang berwenang, maka pemberian izin tersebut juga harus diberitahukan kepada masyarakat adat yang ada. Bahwa tanah ulayat telah atau ada masyarakat yang mengusahakan. Hal ini untuk menghindari adanya pengelolaan atau pengusahaan akan tanah adat secara ganda. Agar masyarakat tahu bahwa satu keluarga atau seseorang telah menggunakan tanah ulayat tersebut diharuskan memberi makan pada masyarakat atau sejenis jamuan masyarakat.

Selanjutnnya masalah batas tanah di tentukan berdasarkan kondisi tanah yang akan dikelola. Adapun bentuk batasnya diharapkan adanya batas yang ditandai oleh alam. Seperti sungai, bukit dan lembah. Namun, terkadang jika tidak bisa semua batas ditandai dengan bentang alam, maka akan dibuat sendiri berdasarkan kesepakatan bersama antara tokoh adat, orang yang akan mengelola dan anggota masyarakat. Adapun jika telah ada seperti sungai dan bukit atau lembah di sisi lain, maka akan ditambahkan tanaman bambu dan pembuatan parit di sisi batas lain. Sebagai contoh; jika satu keluarga dapat tanah yang luas dan datar, maka itulah jadi lahan untuk dikelola serta juga berdasarkan permintaan si pengelola dan di setujui oleh tokoh adat.

Namun yang perlu diingat bahwa tanah adat tersebut hanya bisa diolah dan diambil hasilnya saja atau hak guna usaha (HGU). Tanah ulayat tersebut tidak bisa dipindah-tangankan seperti tanah pribadi jika tak terpakai lagi. Jika tanah ulayat tersebut tidak terpakai atau tidak diusahakan lagi pengelolaannya, maka tanah tersebut dikembalikan pada adat agar dapat digunakan oleh masyarakat lainnya.


(51)

Petani kemenyan di Kecamatan Siempat Rube tidak ada melakukan pengelolaan lahan yang intensif terhadap tenaman kemenyan. Petani melakukan pengelolaan berdasarkan proses yang biasa dilakukan dalam pertanian. Dalam pengelolaan lahan petani mengenal dua cara yaitu 1. Menggunakan lahan sebagi lahan pertanian. 2. Cara alamiah

1. Menggunakan lahan sebagai lahan pertanian terlebih dahulu (buatan).

Dalam pembukaan lahan masyarakat mempunyai tahapan-tahapan yang rutin dilakukan oleh petani untuk membuka lahan baru ataupun lahan yang sudah dikelola (buatan) sebelum dikembalikan jadi hutan lagi. Adapun tahapan-tahapannya adalah:

Tahapan pertama dinamakan merabi

Tahap awal untuk membersihkan tumbuhan-tumbuhan kecil agar mempermudah menebang pohon-pohon besar untuk dijadikan lahan pertanian atau biasa juga disebut

mengerintis.

Tahapan kedua dinamakan mertaba (tumabah)

Pada tahapan ini kayu-kayu atau pohon yang besar-besar ditebang lalu dipotong-potong selanjut disingkirkan ataupun dibawa pulang ke rumah untuk dijadikan kayu bakar.

Tahapan ketiga dinamakan menunutung

Membakar sisa kayu yang tertinggal seperti ranting, dahan dan tumbuh-tumbuhan lainnya yang tidak bisa dijadikan kayu bakar.

Tahapan keempat dinamakan mengkais

Sisa pembakaran dibersihkan atau dikumpulkan pada satu tempat yang kelak akan digunakan sebagai kompos untuk tanaman palawija yang akan ditanam di lahan tersebut. Tujuan utama mengkais adalah agar lahan menjadi bersih.

Setiap tahapan yang satu ke tahapan selanjutnya mempunyai rentang waktu. Rentang waktu dari merabi/mengenritis ke mertaba adalah selama lebih kurang memakan waktu


(52)

selama dua minggu. Tahapan mertaba ke tahapan menutung selama lebih kurang tiga minggu, tahapan menutung ke mengkais biasanya selama lenih kurang dua minggu. Jadi secara keseluruhan waktu dari pembukaan lahan sampai penanaman memakan waktu kurang lebih tujuh minggu.

Jenis tanaman yang dibuat petani sebelum mengembalikan lahan yang mereka buaka menjadi hutan kembali tentu tidak sama setiap petani. Petani biasanya menanam tanaman muda atau palawija yang dapat di panen maksimal 2x dalam setahun untuk membantu perekonomian keluarga. Jenis-jenis tanaman tersebut adalah: kopi, jeruk, jagung, nilam, gambir, dan yang lainya. Selain dari pada tanaman tersebut, petani juga menyisipkan bibit kemenyan dengan jarak 2 m setiap batang yang di dapat dari hutan. Setelah bibit kemeyan besar maka lahan tersebut dibiarkan dan tidak dikelolah lagi. Sehingga pertumbuhan kemenyan tidak terganggu dan dapat dikelolah lagi (pengambilan getah kemnyan).

2. Secara alami atau lahan hutan

Petani tidak membuka hutan untuk dijadikan lahan penanaman kemenyan tetapi petani telah mendapatkan kemenyan yang berada di hutan yang berada di sekitar penduduk, hanya tinggal mengelolah saja. Karena hutan tersebut bukan milik pribadi melainkan milik marga. Sehingga bibit yang didapat tidak ada yang dilakukan pembibitan khusus melainkan diperoleh dari alam. Petani biasanya hanya mengatur jarak pohon kemenyan karena pohon kemenyan kurang bagus apabiala jarak terlalu dekat, atau petani menebang bibit tersebut agar tidak tumbuh lagi apa bila pohon kemenyan yang produktif masih banyak.

3.3. Pengelolaan kemenyan 3.3.1. Pembibitan dan Penanaman


(53)

Seperti yang telah dijelaskan diawal bahwa secara khusus tidak ada pembibitan terhadap pohon kemenyan. Karena kemenyan memiliki buah yang jatuh dan tumbuh di sekitar pohon utama. Saat ini pada umumnya bibit kemenyan yang ada di dalam hutan disebarkan oleh hewan. Salah satu hewan yang ikut menyebarkan bibit kemenyan adalah

ringgadong (lazim disebut dalam bahasa Pak-Pak) sejenis rusa hutan. Proses penyebarannya

dikarenakan biji kemenyan menjadi salah satu makanan ringgadong tersebut. Maka dari itu bibit kemenyan yang disebarkan oleh hewan itu, tetapi tidak mempunyai jarak tanam yang teratur.

Biji kemenyan yang dimakan oleh ringgadong tidak semua terproses dalam pencernaan, karena yang diproses adalah kulit luar dan daging buah/biji kemenyan saja. Sedangkan biji buah kemenyan keluar bersama kotoran sang hewan. Biji inilah yang tumbuh di hutan. Hal ini sama dengan musang yang memakan biji kopi sehingga menghasilkan kopi luak yang harga perkilogramnya relativ mahal dari kopi lain.

Namun ada juga bibit pohon kemenyan yang ditanam oleh manusia. Ini ditandai dengan jarak tanam yang teratur dan dari segi bibit, bibit-bibit pilihan yang bisa menghasilkan kualitas kemenyan yang bernilai ekonomi tinggi yang ditanam. Ini dapat dilihat juga dengan keteraturan dan lurusnya barisan pohon yang ada di ladang/lahan kemenyan tersebut, tetapi bibit tersebut di dapat dari hutan

3.3.2. Merawat Kemenyan

Pada pohon kemenyan tak ada perlakuan khusus dalam permeliharan, seperti yang dilakukan pada tanaman karet, sawit, kopi dan tanaman lainnya. Pada pohon kemenyan hanya dibersihkan sekitar satu meter dari sekeliling pohon utama agar terhindar dari tumbuhan merambat dengan cara memotong (merambas). Merambas merupakan salah satu usaha petani


(54)

untuk meningkatkan pertumbuhan kemenyan supaya nanti dapat menghasilkan getah yang banyak dan deras.merambas biasanya dilakukan dua kali dalam setahun dan ada juga yang melakukan sekali setahun

Merambas hanya dilakukan untuk membersihkan batang dari tumbuhan merambat serta memangkas cabang yang tumbuh tak sempurna supaya pohon kemenyan menjadi lurus, ke atas pertumbuhannya serta mempermudah dalam memanen kemenyan tersebut. Apabila batang miring, baik miring ke kiri atau miring ke kanan tidak dapat di guris atau dikelola.

Perawatan kemenyan di kecamatan siempat rube biasanya dilakukan oleh kaum pria. Karena berkemenjen merupakan kegiatan pria, belum ada kaum wanita yang selama penulis berada di daerah tersebut. Hal ini dikuatkan dari informasi para petani kemenyan yang penulis temui juga mempaparkan hal yang sama. Apabila suami telah meninggal maka kegiatan berkemenjen terputus, tidak ada yang melanjutkan terkecuali anak mereka telah besar dan juga telah belajar untuk mengambil kemenyan Berbeda dengan daerah lain tepatnya di Desa Rahut Bosi, Kec. Pangaribuan Kab. Tapanuli Utara, kaum ibu telah mengelolah kemenyan. Mereka mengelolah kemenyan karena suami mereka telah meninggal dan kaum ibu berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Selain itu keterlibatan kaum ibu juga dapat menambah pendapat keluarga dari kemenyan ketika pekerjaan di ladang atau sawah telah selesai dan juga mempercepat pekerjaan selesai.

3.3.3. Pemanenan

Panen adalah salah satu aktifitas yang paling ditunggu-tunggu oleh petani, di mana hasil dari yang mereka kerjakan selama ini akan segera dirasakan dan dinikmati (terlepas dari untung ruginya).


(55)

Secara umum dapat dikatakan bahwa teknologi yang digunakan dalam bertani kemenyan peralatan yang digunakan masih kategori relativ tradisional, seperti parang, cangkul, arit dan peralatan lainnya. Hal ini ditandai dengan peralatan yang digunakan masih bisa dibuat dengan sendiri oleh si petani yang bersangkutan.

Adapun nama-nama peralatan tradisional yang digunakan dalam bertani kemenyan adalah:

1. Parang/ golok adalah alat yang biasa dipakai oleh petani untuk membersihkan tanaman yang berada di sekitar batang kemenyan sehingga mempermudah untuk melakukan penigihan.

Gambar.2. cun-cun

2. Cuncun/guris adalah alat yang digunakan untuk mengambil getah kemenyan dari

pohon kemenyan yang berberntuk setengah lingkaran sedangkan tangkainya terbuat dari kayu.

3. Kabus adalah alat yang digunakan untuk membersihkan batang/pohon kemenyan dari


(56)

membuat kulit kemenyan mengelupas, pada akhirnya mengurang produksi getah

kemenyan dari satu pohon. Gmbr.3. kabus

4. Curu-curu adalah sejenis keranjang sebagai penampung getah kemenyan yang terbuat

dari rotan.

5. Jalu-jalu adalah tangga untuk memanjat pohon kemenyan saat melakukan

pe-nukak-an maupun saat pempe-nukak-anenpe-nukak-an ype-nukak-ang terbuat dari kayu seppe-nukak-anjpe-nukak-ang 40cm dpe-nukak-an tali ype-nukak-ang terbuat dari ijuk atau riman.

Gambar.4. curu-curu dan jalu-jalu

6. Tukak adalah alat seperti pahat yang digunakan untuk melukai dan juga mencongkel


(1)

Gambar 5. Petani membersihkan batang pohon kemenyan yang igin di kabus.


(2)

Gambar 7. Pangandaran sisa dari panen pertama, diambil ketika menigih.

Gambar 8. Petani mengajari penulis cara mengkabus dan tehnikya agar tidak mengenai mata.


(3)

Gambar.9. gubuk tempat petani menginap pada malam hari, sambil melepas leleh dan membersihkan kemenyan dari kulit yang menempel


(4)

Gambar11. Hutan kemenyan yang masih muda.

Gambar12. Petani sedang memasang tali polang (polang-polang) alat untuk memanjat kemenyan.


(5)

(6)