Perang Sunggal Mempertahankan Hak Ulayat

Artikel Sejarah Dimuat di Batakpedia 15 Desember 2017
Link : https://www.batakpedia.com/perang-sunggal-mempertahankan-hak-ulayat-dan-perjuangan-lintas-etno-relijius.html

Perang Sunggal : Mempertahankan Hak Ulayat dan Perjuangan Lintas EtnoRelijius
Oleh :
Arafah Pramasto,S.Pd.,1 Nofta Recha Putra,S.Pd.,2 dan Sapta Anugrah Ginting,S.Pd.3
1. Pendahuluan
Menilik perjalanan sejarah bangsa Indonesia, Belanda sebagai kekuatan kolonial dengan
kuasa terlama, datang ke Indonesia dengan berbagai alasan, diantaranya adalah karena tanahnya
yang sangat subur untuk di tanami rempah-rempah dan tanaman lainnya seperti tembakau.
Melihat keuntungan besar yang sejalan dengan nafsu imperialisme mereka, setelah beberapa
waktu menduduki beberapa wilayah yang ada di Nusantara, maka pihak Belanda berinisiatif
untuk memperluas tanah kekuasaannya secara paksa di wilayah kepulauan ini.
“Kuasa” dalam definisi sesuai latar historis ini bisa diartikan sebagai usaha kolonialis
Belanda dalam menguasai tanah air penduduk lokal dan bagaimana pula pribumi melakukan
perlindungan terhadap daerah kekuasaannya dengan berbagai bentuk perlawanan atas usahausaha Belanda untuk memperluas daerah kekuasaannya. Reaksi yang timbul dari perlawanan
tersebut juga memiliki nilai heroisme, apalagi jika harus mengkaji kesediaan dalam
mengorbankan nyawa demi independensi otoritas maupun identitas lokal terhadap perluasan
hegemoni Belanda.
Mungkin agak sedikit kurang disadari oleh masyarakat masa kini tentang dikotomi
antagonistik sebagai stigma dalam polemik “Pribumi” dan “Non-Pribumi” (utamanya

menyangkut masyarakat Tionghoa-Pen) yang justru lahir dari tendensi retorika penjajahan.
Dengan alasan “kekhawatiran atas meluasnya pengaruh aktivitas perdagangan Inggris melalui
pedagang-pedagang Cina di Nusantara”, pemerintah kolonial Hindia Belanda mulai
memandang adanya urgensi eksploitasi kekayaan alam di luar Jawa, khususnya di Sumatera
Timur. Pemerintah kolonial berusaha mengalihkan perhatian massa dengan menyudutkan Inggris
ataupun para pedagang Tionghoa, padahal ambisi penaklukan terhadap wilayah itu yang

1

Freelance Writer and History Blogger
Mahasiswa Magister Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta
3
Train Attendant (Pramugara Kereta Api) Palembang-Lampung-Lubuklinggau

2

1

Artikel Sejarah Dimuat di Batakpedia 15 Desember 2017
Link : https://www.batakpedia.com/perang-sunggal-mempertahankan-hak-ulayat-dan-perjuangan-lintas-etno-relijius.html

kemudian disusul dengan munculnya industri perkebunan dengan segala aspek yang menjadi
dampaknya, justru dirintis sendiri oleh pihak Belanda.
Perjuangan rakyat Sunggal bisa digolongkan sebagai usaha mempertahankan tanah
tumpah darahnya dari penguasaan cengkeraman penjajahan Belanda. Wilayah Sunggal
(Serbanyaman) yang sangat subur ketika itu ingin dikuasai oleh perusahaan perkebunan Belanda
untuk ditanami tembakau. Dari usaha penguasaan tanpa seizin raja dan rakyat Sunggal itulah
maka timbul peperangan. Perang Sunggal adalah salah satu perang terbesar, pemerintah Hindia
Belanda sampai harus mengeluarkan 'Medali Khusus' untuk menghargai jajaran militernya dalam
pertempuran itu.

2. Kondisi Geografis Deli
Kesultanan Deli terletak kira-kira 4o39’ sampai 4o57’ LU dan 98o25’ sampai 98o47’
BT, terbentang diantara Sungai Labuhan Dalam di utara perbatasan Langkat dan Sungai
Pematang Oni di selatan perbatasan Serdang. Wilayah deli sekarang termasuk kabuapten deliserdang, bagian dari sumatara utara. Batas-batas daerah kekuasaan deli ini baru ditetapkan pada
tahun 1876. Hal ini disebabkan sering terjadinya konflik dan bahkan menimbulkan peperangan
diantara sesama kesultanan di Sumatra Timur terutama dalam mendapatkan daerah untuk
monopoli perdagangan dan tempat strategis dekat pelabuhan. Selain itu daerah pedalaman deli
yang dikenal dengan dusun-dusun didiami oleh penduduk Karo dan mereka masih tunduk
kepada Raja mereka (Sibayak) ditanah asal di pegunungan sebelah utara Danau Toba.
Teuku Lukman Sinar dalam buku Sari Sejarah Serdang (1971) menyebutkan bahwa

dalam silsilah kesultanan Deli didapati nama ‘Gocah Pahlawan’. Ia dianggap sebagai tokoh yang
menurunkan para sultan yang memerintah di Kesultanan Deli. Dipercaya bahwa ia berasal dari
keturunan Raja India yang terdampar di Pantai Pasai Aceh. Oleh karena keberaniannya, ia
kemudian diangkat sebagai panglima Sultan Aceh. Sebelum Gocah Pahlawan berkuasa di Deli
sebagai wakil imperium Aceh, di wilayah ini telah berdiri empat wilayah kekuasaaan yang
sekaligus menjadi wilayah hukum suku Karo. Mengutip dari pendapat Ratna (1992) dalam
majalah Masyarakat Indonesia, aslinya wilayah suku Karo berada di Dataran Tinggi Karo.
Penyebaran mereka ke daerah rendah (dusun) terjadi sekitar abad ke-16. Biasanya mereka datang
berombongan, menyebar secara berkelompok dalam ikatan marga atau submarga tertentu.

2

Artikel Sejarah Dimuat di Batakpedia 15 Desember 2017
Link : https://www.batakpedia.com/perang-sunggal-mempertahankan-hak-ulayat-dan-perjuangan-lintas-etno-relijius.html
Penyebaran mereka juga sampai ke kawasan pesisir, berbaur dengan suku Melayu dan sebagian
diantara mereka biasanya menjadi “Melayu” dengan memeluk Islam.
Orang-orang Karo itu hidup dalam kesatuan administratif lokal yang disebut Urung
yakni kumpulan kampung yang mempunyai hubungan federatif. Istilah Urung lebih banyak
dipengaruhi oleh budaya Karo Gunung. Urung-urung yang ada kala itu adalah Senembah,
Sepuluh Dua Kuta, Sukapiring, dan Serbanyaman atau yang lebih dikenal sebagai ‘Sunggal’.

Masing-masing wilayah urung ini diperintah oleh seorang datuk yang disebut Datuk Urung.
Berkuasanya keempat datuk ini atas daerah-daerah tersebut erat kaitannya dengan asal mula
berdirinya daerah-daerah tersebut. Diantara keempatnya, Urung Sunggal adalah urung yang
terkuat dan terbesar wilayahnya yang membentang hingga pesisir. Oleh karena itu, untuk
memperkokoh kekuasaannya, Gocah Pahlawan menikahi adik Datuk Sunggal (Datuk Hitam)
yang bernama Nang Baluan pada tahun 1623.

3.

Latar Belakang Terjadinya Perang Sunggal
Hadirnya kekuasaan Belanda di Deli, tidak terlepas dari Traktat Siak (1858) yang salah

satu isinya menyebutkan pengakuan Siak beserta jajahannya, yang membentang dari Siak hingga
Sungai Tamiang, untuk tunduk kepada Belanda. Isi lainnya memuat pengakuan sepihak Siak
sebagai “Yang Dipertuan” diantara kerajaan-kerajaan lain di Sumatera Timur mendapat protes
dari Deli khususnya yang pada waktu itu masih mengakui Aceh sebagai “Yang Dipertuan”.
Ketika Belanda berhasil memaksa Sultan Deli menandatangani perjanjian tunduk itu, Sultan Deli
mendapat protes dari Aceh dan Datuk-datuk Urung Deli. Secara politik, perjanjian itu membuka
peluang pemerintah Belanda untuk memantapkan kekuasaannya di wilayah-wilayah Sumatera
Timur. Sedangkan dari sisi ekonomi ikut menjadi tonggak penting bagi sejarah perkebunan asing

di Deli.
J. Nienhuys adalah Pengusaha asing pertama yang datang ke Pantai Timur Sumatera
tepatnya ke Deli pada 1863. J. Nienhuys merupakan pionir pertama bagi pengusaha-pengusaha
asing yang kemudian datang ke Pantai Timur Sumatera. Nienhuys berhasil memperoleh tanah
konsesi dari Sultan Deli selama 99 tahun. Nienhuys memulai penanaman tembakau di Deli
(1863) setelah perjanjian Siak ditandatangani. Deli menjadi wilayah pertama usaha perkebunan
yang dijalankan oleh Nienhuys yang mendapat konsesi tanah seluas 4.000 bahu di dekat Sungai

3

Artikel Sejarah Dimuat di Batakpedia 15 Desember 2017
Link : https://www.batakpedia.com/perang-sunggal-mempertahankan-hak-ulayat-dan-perjuangan-lintas-etno-relijius.html
Deli dari Sultan Deli, Sultan Mahmud Perkasa Alam. Awalnya usaha Nienhuys belum
membuahkan hasil yang memuaskan, terutama oleh faktor sulitnya memperoleh tenaga kerja.
Akan tetapi pada 1865 usahanya mulai memperlihatkan hasil yang baik dengan
meningkatnya hasil panen tembakau. Keberhasilan ini mendorong Nienhuys untuk mendapatkan
lagi konsesi tanah dari Sultan Deli. Sultan Deli mengizinkannya menggunakan tanah di kampung
Klupang seluas 2.000 bahu. Pada 1868, Nienhuys memperoleh lagi konsesi tanah dari Sultan
Deli, yaitu tanah yang terletak antara Sungai Deli dan Percut hingga Deli Tua. Perluasan tanah
perkebunan yang terus-menerus ini tidak hanya diperuntukkan bagi tanaman tembakau, tapi juga

untuk tanaman ekspor lainnya seperti kelapa, pala, karet, kopi, lada, yang dikelola oleh penguasa
Eropa lainnya. Pada 1871 telah terdapat perkebunan-perkebunan besar di Deli, diantaranya
Enterprice, Arendsburg, Polonia, Amplas, Tanjung Morawa dan Perseverance.
Keberhasilan usaha perkebunan ini tidak hanya memberi keuntungan kepada para
pengelola perkebunan, tetapi juga pada Sultan Deli. Ada sebuah pola interaksi yang kurang baik
dalam perolehan konsesi tanah untuk bisa disewa oleh para pengusaha perkebunan dari sang
sultan penguasa Deli. Agar bisa memperoleh sewa tanah yang serendah-rendahnya para
pengusaha kebun tidak segan-segan memberi “upeti” dalam bentuk sejumlah besar uang atau
barang pada setiap kali konsesi kepada Sultan. Cara-cara gratifikasi ini mungkin saja
menyenangkan hati pengusaha dan penguasa lokal, dalam hal ini adalah sultan Deli, namun tentu
saja dampak utama bisa lebih terasa pada tatanan kekuasaan yang ada di bawah maupun bagi
rakyat umum.
Pengaruh kebijakan tersebut selanjutnya terasa pula ke Urung Sunggal (Serbanyaman).
Konsesi tanah pada para investor asing ikut merambah ke wilayahnya, hal itu membuat Datuk
Sunggal merasa dirugikan. Sultan dianggap telah melanggar aturan tentang tanah ulayat dalam
masyarakat Karo. Secara umum, hak ulayat adalah kewenangan milik masyarakat dan diatur
secara adat yang membolehkan mereka mengambil manfaat sumber daya alam – utamanya
tanah – bagi kelangsungan hidupnya. Secara hukum adat, tanah-tanah itu merupakan tanah milik
kesatuan masyarakat sehingga pengambilalihan perlu dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan
Datuk Urung atau penghulu kampung. Disamping itu Sultan Deli cenderung memberi kebebasan

kepada para Investor untuk menentukan sendiri tanah-tanah yang diperlukan mereka sehingga
memungkinkan mereka untuk mengambil alih tanah-tanah subur sampai ke perkampungan

4

Artikel Sejarah Dimuat di Batakpedia 15 Desember 2017
Link : https://www.batakpedia.com/perang-sunggal-mempertahankan-hak-ulayat-dan-perjuangan-lintas-etno-relijius.html
penduduk. Akibatnya, tanah-tanah di perkampungan dan tanah-tanah yang diperuntukkan bagi
perluasan kampung kerap terpakai.
Dalam buku Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di
Sumatera Timur 1863-1947, karangan Karl J. Pelzer (1985) diungkapkan sebab-sebab terjadinya
reaksi ketidakpuasan orang-orang Suku Karo yang merasa telah dilanggar tanah adatnya. Dari
sejak awal melakukan usaha membuka perkebunan, para investor beranggapan bahwa tanahtanah itu milik Sultan Deli, sehingga mereka merasa tidak memiliki permasalahan yang akan
berdampak secara kultural. Demikian halnya juga dengan Sultan Deli, ia menganggap semua
tanah wilayah kekuasaannya adalah hak miliknya, sehingga dapat diberikan atau disewakan
kepada siapapun sesuai dengan kehendaknya.

4.

Jalannya Perang Sunggal

Menjelang akhir tahun 1871, rapat-rapat rahasia sering dilakukan di Sunggal. Hal-hal

yang dibicarakan dalam pertemuan mereka itu, antara lain mengenai posisi mereka di wilayah
Kesultanan Deli dan daerah Urung yang dirasakan semakin merosot dan mengenai hak-hak
mereka atas konsesi tanah yang dimonopoli oleh Sultan Deli. Salah seorang tokohnya bernama
Datuk Badiuzzaman Surbakti. Ia bernama lengkap Datuk Sri Diraja Badiuzzaman Sri Indera
Pahlawan Surbakti lahir di Sunggal, Kecamatan Medan Sunggal, pada tahun 1845. Ia merupakan
seorang putera dari hasil perkawinan antara Raja Sunggal pada masa itu yakni Datuk Abdullah
Ahmad Sri Indera Pahlawan Surbakti dengan seorang perempuan yang bernama Tengku Kemala
Inasun Bahorok. Datuk Badiuzzaman merupakan putera terbaik pada masa Kerajaan Sunggal
(Serbanyaman), ia merupakan keturunan ke-11 dari

pemerintahan Tradisional Sunggal.

Pertemuan itu kelak dapat dilihat sebagai sesuatu yang membuat pertempuran ini unik. Di
dalamnya didapati gabungan perlawanan dari berbagai komponen anak bangsa, mulai dari suku
Karo, Melayu, Batak, Gayo, dan Aceh. Mereka semua bersepakat untuk melawan ekspansi
Belanda.
Perlawanan Sunggal dilakukan rakyat dengan bergerilya sambil membakar bangsalbangsal tembakau di atas tanah rakyat yang dikuasai oleh Belanda. Dalam perang ini, Datuk
Badiuzzaman Surbakti terlihat taktis dalam melakukan perlawanan terhadap pihak Belanda, ia

memecahbelah konsentrasi taktik penyerangan yang dilakukan Belanda, meskipun para pejuang
hanya memiliki senjata yang sederhana seperti pedang, tombak, senapan locok melawan musuh
5

Artikel Sejarah Dimuat di Batakpedia 15 Desember 2017
Link : https://www.batakpedia.com/perang-sunggal-mempertahankan-hak-ulayat-dan-perjuangan-lintas-etno-relijius.html
yang dipersenjatai dengan senjata yang lebih canggih, tetapi hal ini tidak menyurutkan semangat
juang para pahlwanan untuk tetap maju dan perang demi perang alhasil sering dimenangkan oleh
para pejuang dengan tidak sedikit mengorbankan nyawa para pejuang yang ikut didalam medan
perang. Belum selesai menghadapi kekuatan perlawanan rakyat Sunggal, Belanda kian
kewalahan saat seorang tokoh dari Batukarang, sekarang berada di Kabupaten Karo yang
bernama Kiras Bangun ikut menyambut perlawanan yang terjadi di Sunggal.
Kiras Bangun dilahirkan pada tahun 1852, ia adalah tokoh adat yang berkharisma dan
dikenal sangat tekun menuntut ilmu. Meski tidak pernah bersekolah secara formal yang kala itu
belum dikenal, tatkala ia berkunjung ke Binjai maka Kiras menyempatkan diri belajar bahasa
Melayu dan akhirnya mampu baca-tulis huruf latin. Walaupun hanya sebagai kepala kampung,
kemenonjolan Kiras Bangun ditunjukkan dengan keahliannya sebagai juru damai. Ia menggalang
kerjasama antar desa dengan cara berkeliling dari satu tempat ke tempat lain untuk memelihara
adat serta norma-budaya dan juga dengan mengadakan runggu (musyawarah) antar-marga dan
antar-kampung. Persengketaan antar-marga, antar-kampung di Tanah Karo kerap meminta peran

dari Kiras Bangun yang juga dijuluki Garamata / “Bermata Merah”. Tak hanya itu, iapun pernah
mendamaikan sengketa antara orang Karo dan suku lain, seperti antara Penghulu Mardinding dan
Panglima Hasan dari Aceh. Seorang tokoh yang amat peduli dengan masyarakat sekitar seperti
Kiras Bangun “Garamata” tentu tidak tinggal diam ketika rakyat lokal melakukan perlawanan
terhadap penjajahan. Beberapa kali Garamata mengirimkan pasukan ke Langkat untuk
membantu masyarakat setempat melawan Belanda.
Akibatnya, pihak Belanda yang sering kewalahan melawan para pejuang dan sering
meminta bantuan pasukan dari pusat yang berada di Jawa ketika itu. Bantuan pertama, tibanya
Korps Ekspedisi Militer Belanda yang ke-1. Untuk menghadapi keadaan darurat maka Korps
Ekspedisi Militer Belanda yang ke-1 ini segera dibentuk secara tergesa-gesa dengan gabungan
Angkatan Darat dan Korps Marinir Angkatan Laut dari kapal-kapal perang Banka dan Den Briel.
Panglima Korps Ekspedisi I ini adalah Kapten W. Koops dan langsung menuju Ke Sunggal pada
tanggal 15 Mei 1872. Bantuan Korps Ekspedisi Militer Belanda yang ke-2, hal inipun tidak
banyak memberikan bantuan terhadap pasukan Belanda dalam peperangan. Sedangkan ekspedisi
yang terakhir ialah dengan tibanya Korps Ekspedisi Militer Belanda yang ke-3. Panglima
Angkatan Darat Hindia Belanda menganggap bahwa pimpinan Letnan Kolonel Von Hombracht
tidak becus untuk mengatasi situasi di Deli,karena tidak ada kemajuan apa-apa yang berarti yang
6

Artikel Sejarah Dimuat di Batakpedia 15 Desember 2017

Link : https://www.batakpedia.com/perang-sunggal-mempertahankan-hak-ulayat-dan-perjuangan-lintas-etno-relijius.html
dapat dicapainya. Pada tanggal 24 September tibalah di Deli kapal perang Willem III membawa
anggota anggota pasukan baru Belanda dalam Ekspedisi Militer ke-3 yang dipimpin oleh Mayor
N. W. C. Stuwe.
Di bawah pimpinan Datuk Sunggal Badiuzzaman Surbakti dan adiknya yang bernama
Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti, rapat-rapat rahasia dengan pemuka rakyat sering
diadakan untuk merencanakan strategi perang melawan pasukan Belanda, ia membentuk badan
perjuangan untuk memobilisasi rakyat pribumi melawan pasukan Belanda yang terorganisir yang
terletak di Desa Gajah. Badan perjuangan ini dipimpin oleh Datuk Kecil Surbakti yang
merupakan pamannya dan Datuk Jalil Surbakti dengan panglima perangnya Datuk Sulong Barat
Surbakti, Datuk Alang Surbakti dibantu dengan Nabung Surbakti serta panglima dari Aceh yaitu
Nyak Makam.
Keadaan di Deli sendiri ketika itu sedang gawat karena bahaya kelaparan mengancam
yang disebabkan kaum tani turut bersimpati tidak menjual beras kepada Belanda. Sehingga
Belanda terpaksa mengimpor beras secara besar-besaran dari Rangoon, Birma. Di samping itu
perlawanan terus terjadi dimana-mana yang dipimpin oleh Sri Diraja dengan bergerilya dan
membakar bangsal-bangsal tembakau milik Belanda. Karena perlawanan yang dipimpin oleh
Datuk Badiuzzaman ini sulit dipadamkan oleh Belanda, maka Belanda secara licik menipu beliau
dalam sebuah perundingan damai, beliau tiba-tiba ditangkap oleh pasukan Belanda pada tahun
1895 dan kemudian beliau bersama adiknya Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti dibuang ke
tanah Jawa seumur hidup. Usainya Perang Sunggal tidak berarti bahwa pergolakan di tanah
Sumatera Timur berhenti. Perlawanan di bawah Garamata (Kiras Bangun) masih berjalan yang
berujung pada perang perlawanannya di Tanah Karo dari 1905-1909.

5. Kesimpulan
Meskipun perang ini oleh pihak Belanda di sebut “Perang Batak “ karena pertempuran
yang sering terjadi berada di wilayah pegunungan yang didiami suku Batak Karo , namun perang
ini bersifat nasionalistis dan memiliki dengan beberapa ciri khasnya. Pertama, tidak berunsur
keagamaan, di sini suku Melayu Islam yang bersatu dengan suku Batak Karo saat itu lebih
banyak masih memeluk agama asli mereka yakni Pemena. Meskipun banyak tokoh Karo-Muslim
yang muncul sebagai pemimpin – utamanya bermarga Surbakti – tetapi peperangan tersebut juga
disokong oleh elemen-elemen Karo di luar Deli yang belum beragama Islam. Kedua, kerjasama
7

Artikel Sejarah Dimuat di Batakpedia 15 Desember 2017
Link : https://www.batakpedia.com/perang-sunggal-mempertahankan-hak-ulayat-dan-perjuangan-lintas-etno-relijius.html
dari berbagai suku bangsa, yaitu suku Melayu, suku Batak Karo, dan Suku Aceh Gayo. Ketiga,
menentang perampasan tanah-tanah rakyat oleh pihak perkebunan milik Belanda. Keempat,
mempertahankan tanah air terhadap ekspansi kolonial Belanda. Serta yang terakhir / kelima,
membentuk popular front untuk pembebasan dimana Belanda sudah bercokol. *)

Sumber
Ajisaka, Arya. 2008. Mengenal Pahlawan Indonesia, Jakarta : Kawan Pustaka.
Hadi, Farid Mas. “Perjuangan Politik Datuk Badiuzzaman Surbakti dalam Perang Sunggal”
Jurnal Dinamika Politik Vol. 1 No. 02, (Medan : Universitas Sumatera Utara, Oktober
2012), hlm. 23.
Muhammad Said. 1990.Koeli Kontrak Tempo Doeloe Dengan Derita dan Kemarahannya,
Cetakan ke II. Medan: PT. Harian Waspada.
Pelzer, Karl J. 1985 Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di
Sumatera Timur 1863-1947. Jakarta: Sinar Harapan
Putro, Brahma. 1979. Karo Dari Zaman ke Zaman;. Jilid 2. Ulih Saber: Medan.
Ratna, “Orang Karo di Kerajaan Deli”. Masyarakat Indonesia: Majalah Ilmu-ilmu Sosial
Indonesia. Jil. XIX No. 1 (Jakarta: LIPI, 1992).
Reid, Anthony. 1987. Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera.
Jakarta: Sinar Harapan.
Sinar, Tengku Lukman,“Perang Besar dalam Kampung Keci: Riwayat Perjuangan Rakyat
Sunggal”, Prisma, No. 8 (Jakarta: LP3ES, Agustus 1980), hlm. 11.
Sinar, Tengku Lukman. 1971. Sari Sejarah Serdang; Jilid II. Medan:Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Sinar, Tengku Lukman. 2009. Sejarah Medan Tempo Doeloe. Medan: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Kota Medan.
Sudarmanto, J.B. 2007. Jejak-Jejak Pahlawan : Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia, Jakarta :
Grasindo.
Suroyo, A.M Djuliati. 2012. Indonesia dalam Arus Sejarah; Kolonisasi dan Perlawanan.
Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
Tamboen, P. 1953. Adat Istiadat Karo . Jakarta: Balai Pustaka.
*) NB : Tulisan ini adalah tanggung jawab tim penulis sepenuhnya, apabila ada kritik maupun
saran dapat mengirimkan surat elektronik ke ggsejarah@gmail.com

8

Artikel Sejarah Dimuat di Batakpedia 15 Desember 2017
Link : https://www.batakpedia.com/perang-sunggal-mempertahankan-hak-ulayat-dan-perjuangan-lintas-etno-relijius.html

9