Definisi dan Jenis Ilmu Hukum
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu hukum akan mempelajari semua semua seluk beluk mengenai hukum, misalnya
mengenai asal mula, wujud, asas-asas, sistem, macam pembagian, sumber-sumber,
perkembangan, fungsi dan kedudukan hukum di dalam masyarakat. Ilmu hukum sebagai ilmu
yang mempunyai objek hkum menelaah hukum sebagai suatu gejala atau fenomena
kehidupan manusia dimanapun di dunia ini dari masa kapanpun.
Oleh karena itu setiap masyarakat berhak untuk mendapat pembelaan didepan hukum
sehingga hukum sebagai alat untuk mengatur kehidupan masyarakat dan menyediakan sanksi
bagi pelanggarnya. Setiap orang memiliki kesamaan di depan hukum.
Ilmu hukum pun mempunyai pembagian dari beberapa jenis-jenis ilmu hukum itu sendiri.
Pembagian ini berdasarkan nilai-nilai objektif dari suatu hukum yang kemudian dapat melihat
hukum dari sudut pandang yang berbeda.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang penulis paparkan diatas, maka penulis akan
memberikan pemaparan rumusan masalah yang akan dibahas :
1. Apa definisi dari hukum dan ilmu hukum ?
2. Apa saja jenis-jenis ilmu hukum ?
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini untuk memenuhi salah satu penilaian dari mata
kuliah logika dan penalaran hukum serta untuk menambah wawasan bagi penulis dan
mahasiswa lainnya, diantaranya :
1. Mengetahui definisi dari hukum dan ilmu hukum itu sendiri.
2. Mengetahui apa saja jenis-jenis ilmu hukum.
1
D. Manfaat
Manfaat teoritis
Secara teoritis makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai
definisi dari hukum dan ilmu hukum serta mengetahui jenis-jenis ilmu hukum/
Manfaat praktis
Bagi akademisi dapat menambah pengetahuan tentang definisi dari hukum dan ilmu
hukum serta mengetahui jenis-jenis ilmu hukum.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum
Hukum sebagai suatu aturan yang diderivasi (diturunkan) dari norma-norma yang
berkembang di masyarakat, pada dasarnya merupakan seperangkat kesepakatan-kesepakatan
yang telah dinegosiasikan antara anggota komunitas. Sebagaimana kehadirannya, hukum
dimaksudkan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia. Karena itu sifat hukum tidak
konstan, tidak tetap, dan tidak given. Aturan hukum tertentu bisa jadi cocok dengan
masyarakat tertentu. Artinya hukum bukanlah sesuatu yang bebas ruang dan waktu. Karena
itu relavitivitas menjadi suatu keniscayaan dalam memandang dan memaknai hukum.
Bagitupun dalam Islam, hukum bukanlah sesuatu yang pasti. Yang tetap dari Islam adalah
nilai-nilai fundamental ajaran Islam. Tapi ketika nilai-nilai itu dikonstruksikan kedalam
hukum (yang positif, diberlakukan dalam masyarakat) maka ia tidak lagi berkarakter tetap. Ia
menjadi sesuatu yang sangat negotiable.
Dalam studi Islam, hukum didefinisikan “menetapkan sesuatu pada yang lain”.1 Seperti
menetapkan haram pada khamar, atau halal pada susu. Sedangkan menurut terminology ahli
ushul, hukum berarti titah (khitab) syari’i yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik
berupa tuntutan, pilihan, atau wadh’I (menjadikan sesuatu sebagai sebab, mani’
(penghalang), dan syarat). Khitab syar’I adalah ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah
dan Rasul-Nya terhadap perbuatan mukallaf.2
Dari dua perspektif definisi hukum diatas, sepintas, terlihat bahwa antara pengertian
hukum Islam dan hukum “duniawi” atau hukum yang tidak bersumber dari Islam, terdapat
perbedaan. Perbedaan itu terletak pada karakter hukumnya. Jika hukum positif bersumber
dari norma yang hidup dalam masyarakat, sedangkan hukum Islam bersumber dari teks-teks
keagamaan. Meski demikian, banyak ahli juga yang tidak membedakan kedua perspektif
hukum itu secara antagonistic. Karena bagaimanapun, hukum-hukum positif yang didesain
dalam suatu komunitas atau suatu bangsa, tetap akan berakar pada nilai-nilai, norma-norma,
dan tradisi yang berkembang dalam masyarakat. Jika masyarakat itu mayoritas memeluk
1
2
Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 50
Ibid.
3
agama Islam, maka dipastikan nilai-nilai Islam akan menginspirasi setiap produk hukum yang
diciptakan oleh otoritas politik suatu bangsa tersebut.3
B. Pengertian Ilmu Hukum
Berikut ini ada beberapa pendapat yang mencoba memberikan gambaran tentang apa
sesungguhnya ilmu hukum itu4
1. Ilmu hukum adalah pengetahuan mengenai masalah yang bersifat manusiawi,
pengetahuan tentang apa yang benar dan tidak benar menurut harkat kemanusiaan
(Ulpian).
2. Ilmu yang fformal tentang hukum positif (Holland)
3. Sintesa ilmiah tentang asas-asas yang pokok dari hukum (Allen)
4. Penyelidikan oleh beberapa ahli hukum tentang norma-norma, cita-cita, dan teknikteknik hukum, dengan menggunakan pengetahuan yang diperoleh dari berbagai
disiplin di luar hukum yang mutakhir (Stone).
5. Ilmu hukum adalah nama yang diberikan kepada suatu cara untuk mempelajari
hukum, suatu penyelidikan yang bersifat absrak, umum dan teoritis, yang berusaha
mengungkapkan asas-asas yang pokok dari hukum dan system hukum (Fitzgerald).
6. Suatu diskusi teoritis yang umum mengenai hukum dan asas-asasnya, sebagai lawan
dari studi mengenai peraturan-peraturan hukum yang konkrit (Jolowicz).
7. Pengetahuan tentang hukum dalam segala bentuk dan manifestasinya (Croos).
8. Setiap pemikiran yang teliti dan berbobot mengenai semua tingkat kehidupan hukum,
asal pemikiran itu menjangkau keluar batas pemecahan terhadap suatu problem yang
konkrit, dengan kata lain ilmu hukum meliputi semua macam generalisasi yang jujur
dan dipikirkan masak-masak di bidang hukum (Llewellyn).
9. Teori ilmu hukum menyangkut pemikiran mengenai hukum atas dasar yang paling
luas.
Secara sederhana dapat disimpulkan, bahwa ilmu hukum adalah karya manusia yang
berusaha mencari kebenaran, tentang sesuatu yang memiliki ciri-ciri, sistematis, logis,
empiris, metodis, umum, dan akumulatif. Sebagai ilmu pengetahuan ilmu hukum dengan ciricirinya berusaha mempelajari sistematika hukum dan kaidah-kaidah, seperti rumusan kaidah,
sebab terbentuknya dan sebagainya, sedemikian rupa sehingga hukum dapat dipelajari
dengan sebaik-baiknnya. Semakin berkembang suatu masyarakat akan semakin menuntut
3
4
Hasanuddin AF, dkk., Pengantar Ilmu Hukum, UIN Jakarta Press, Tangerang, h. 4.
Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ikhtiar, 1957), hal 38-39.
4
perkembangan ilmu hukum, sehingga secara objektif mampu menjelaskan keadaan hukum
pada setiap saat, demi dapat berperannya hukum sebagai sarana untuk ketertiban, keadilan,
dan pendorong terciptanya kesejahteraan.5
C. Jenis-Jenis Ilmu Hukum
1. Ilmu Hukum Dogmatik
Ilmu Hukum Dogmatik bertugas untuk memaparkan, menganalisa, mensistematisasi, dan
menginterpretasi hukum yang berlaku. Tujuannya adalah untuk memungkinkan penerapan
dan pelaksanaan hukum secara bertanggungjawab di dalam praktik 6. Bentuk ilmu hukum ini
menempati posisi sentral dalam pendidikan universiter.
Menurut pandangan tradisional, Ilmu Hukum Dogmatik adalah ilmu hukum in optima
forma (dalam bentuk yang optimal). Ia dapat pula kita namakan “Dogmatik Hukum”
(Rechtsdogmatik Jurisprudenz). Sifat “dogmatikal”-nya itu terletak dalam hal bahwa orang
bersungguh-sungguh membatasi diri pada satu sistem hukum spesifik. Orang membatasi diri
pada kaidah-kaidah hukum positif tertentu, dan menutup diri terhadap sistem-sistem hukum
yang lain. Sementara itu orang menemukan dalam kepustakaan berbagai pendekatan yang
berbeda dari Dogmatika Hukum7.
Ilmu Hukum Dogmatik itu memiliki suatu karakter sendiri, ia adalah sebuah ilmu “sui
generis”, yang tidak dapat dibandingkan (diukur, dinilai) dalam bentuk ilmu lain yang mana
pun. Ia memiliki berbagai ciri sebagai berikut:
a. Pertama-tama, ilmu hukum itu memiliki suatu sifat empirik anatikal. Itu berarti bahwa
ia memberikan suatu pemaparan dan analisis tentang isi (dan struktur) dari hukum
yang berlaku.
b. Selanjutnya, ilmu hukum mensistematisasi gejala-gejala hukum yang dipaparkan dan
dianalisis itu. Ia lebih merupakan pengembangan suatu “sistem terbuka”, yang berarti
bahwa aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum dipikirkan dalam suatu
hubungan yang relatif bebas antara yang satu dengan yang lainnya. Yang menentukan
padanya adalah bahwa orang mempertautkan kaidah-kaidah hukum ini pada asas-asas
yang melandasi hubungan ini. Dengan latar belakang asas-asas ini, maka gejala-gejala
hukum lain juga dapat disestematisasi. Justru salam hal itu terletaknya sifat “terbuka”
5
Suroji Wignjodipuro, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1974), hal. 126.
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Ilmu Hukum & Filsafat Hukum,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 21.
7
B. Arief Sidharta, Meuwissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum,
dan Filsafat Hukum, (Bandung: PT Refka Aditama, 2013), hlm. 54.
6
5
dari pensistematisasian tersebut. Ini adalah tugas dari Dogmatika Hukum dalam arti
sempit. Sementara itu, pensistematisasian ini tidak sama penting pada semua bagian
dari hukum. Untuk hukum perdata ( dan dalam derajat yang lebih-kurang untuk
hukum pidana) ia memiliki arti lebih besar ketimbang misalnya untuk hukum tata
negara. Adanya peradilan mempunyai pengaruh yang besar. Suatu yurisprudensi yang
terolah, sebagaimana yang kita kenal dalam hukum perdata, berdaya stimulatif untuk
pemekaran suatu dogmatik hukum. Jika yurisprudensi sama sekali tidak ada, maka
terdapat bahaya bahwa ilmu hukum hanya merupakan hal mengungkapkan penataanpenataan dan struktur-struktur yang ada (misalnya tatanan negara).
c. Ilmu Hukum menginterpretasi hukum yang berlaku. Bukankah deskripsi (pemaparan),
analisis, dan sistematisasi hukum yang berlaku mengandaikan bahwa arti dari hukum
itu terlebih dahulu-sekurang-kurangnya dalam arti sementara-sudah ditetapkan.
d. Ilmu hukum itu menilai hukum yang berlaku. Dalam arti ini ia relatif bersifat
normatif. Jadi Dogmatik Hukum tidak bebas nilai. Ia secara langsung berkaitan
dengan ide hukum (cita hukum), dengan perwujudan “tujuan” dari hukum.
e. Ciri yang terakhir berkaitan dengan arti praktikal dari Ilmu Hukum Dogmatik. Antara
teori dan praktik berkenaan dengan dogmatika hukum terdapat perkaitan-perkaitan
yang majemuk. Apa yang dikemukakan oleh Ilmu Hukum Dogmatik pada akhirnya
berkaitan dengan penerapan hukum secara praktikal. Untuk itu hukum dipaparkan,
dianalisis, disistematisasi, dan diinterpretasi. Pada penerapan praktikal itulah juga
penilaian normatif terhadap hukum positif diarahkan. Pada tataran teoretikal, Ilmu
Hukum Dogmatik itu memberikan (menyediakan) suatu model bagi perwujudan
hukum secara praktikal (dan dengan demikian “tujuan” dari hukum). Model ini
direfleksi dan diargumentasi secara teoretikal, ia relevan secara praktikal. Tanpa
pegangan (bimbingan) teoretikal ini, praktik tersebut (misalnya, peradilan, advokatur,
perundang-undangan) tidak dapat berfungsi. Pada pihak lain, isi dari praktik hukum
memberikan dampak balik pada model teoretikal ini. Jadi, teori dan praktik itu saling
berkaitan erat, dan karena itu juga hanya dapat dipikirkan sebagia suatu keseluruhan
(teoretikal) dan diwujudkna (secara praktikal)8.
2. Ilmu Hukum Empirik
8
Ibid, hlm. 55.
6
Ilmu Hukum Empirik lebih banyak ditentukan oleh metodenya dan primer tidak oleh
objeknya. Ia juga tidak hanya relevan untuk Ilmu Hukum Dogmatik, tetapi juga untuk
bentuk-bentuk lainnya. Ilmu Hukum Empirik membedakan secara tajam fakta-fakta dan
norma-norma, antara keputusan-keputusan (proporsi) yang memaparkan (deskriptif). Gejalagejala hukum dipandang sebagai gejala-gejala empirikal (faktual) yang murni. Gejala-gejala
hukum dipandang sebagai gejala-gejala empirikal (faktual) yang murni. Mereka adalah
“fakta-fakta kemasyarakatan” yang dapat diamati secara indrawi. Gejala-gejala ini harus
dipelajari dan diteliti dengan menggunakan metode-metode empirikal, sesuai dengan
“gambaran standar”. Itu mengandung arti bahwa hukum yang berlaku itu dipaparkan,
dianalisis, dan terutama juga dijelaskan. Jadi, Ilmu Hukum Empirik itu berbicara dalam
keputusan- keputusan deskriptif tentang gejala-gejala hukum, yang untuk sebagian juga
tampil dalam keputusan-keputusan preskriptif. Bukanlah tugas dari pengemban ilmu hukum
(empirik) untuk menyatakan penilaian etikal atau politikal tentang sifat atau isi dari hukum
positif. Suatu penilaian (putusan) demikian memiliki. Demikian mereka katakan suatu
karakter personal subjektif. Hal itu harus diserahkan kepada mereka yang ditugaskan untuk
menetapkan putusan-putusan (penilaian) demikian, seperti para advokat, hakim, penasihat
hukum, politisi, dan pengemban politik hukum yang lainnya. Hal ini (yakni penerapan hukum
itu) tentu saja dapat diteliti secara empirikal. Ilmu dan praktik lagi-lagi dipisahkan secara
“strikt” (ketat)9.
D. Jenis Ilmu Hukum Lain
Disamping yang sudah disebutkan diatas, kita masih mengenal bentuk lain dari ilmu
hukum, yakni Perbandingan Hukum, Sosiologi Hukum, Sejarah Hukum dan Psikologi
Hukum.
a. Perbandingan Hukum
Pada prinsipnya, hukum berbeda menurut tempat dan waktu, akan tetapi taka da hukum
berlaku satu waktu, hanya terbatas, berlaku, hanya terbatas, berlaku, dan berdiri sendiri untuk
satu bangsa atau satu negara. Demikian juga dalam sejarah hukum, ia berusaha mencoba
mengkaji hubungan historis dalam hukum suatu bangsa tertentu. Karena itu, di samping
terdapat perbedaan antara hukum yang berlaku pada bangsa tertentu pasti juga terdapat
persamaannya.
9
Ibid, hlm. 59.
7
Perbandingan hukum, pada awalnya berasal dari sebuah tradisi yang dilakukan oleh para
pakar hukum untuk membanding-bandingkan sistem-sistem hukum yang berlaku di
masyarakat tertentu dengan sistem hukum yang berlaku dimasyarakat lain. Pada tahap
selanjutnya, studi yang bersifat perbandingan ini, secara diam-diam dipakai dalam
penyelidikan hukum. Begitu pula dengan sosiologi hukum, tanpa dinyatakan secara eksplisit,
pada suatu saat juga menggunakan metode perbandingan. Misalnya, W.M. Evan, telah
melakukan studi perbandingan mengenai fungsi-fungsi pembuatan hukum, pengadilan dan
pelaksanaan hukum, pada konteks social yang berbeda-beda, baik pada system hukum yang
dikaitkan pada negara, maupun pada lingkungan-lingkungan swasta.10
Bila dilihat dari sisi ini, objek kajian dan juga tujuan dari perbandingan hukum , maka ada
beberapa yang menjadi objeknya, yakni :
a. menunjukkan perbedaan dan persamaan yang ada diantara sistem hukum atau bidangbidang hukum yang dipelajari
b. menjelaskan mengapa terjadi persamaan atau perbedaan yang demikian, faktor-faktor
yang menyebabkannya
c. memberikan penilaian terhadap masing-masing sistem yang digunakan
d. memikirkan kemungkinan-kemungkinan apa yang bisa ditarik sebagai kelanjutan dari
hasil-hasil studi perbandingan yang telah dilakukan
e. merumuskan kecenderungan-kecenderungan yang umum pada perkembangan hukum,
termasuk didalamnya irama dan keteraturan yang dapat dilihat dari perkembangan
hukum tersebut.
Berdasarkan uraian diatas, maka sesungguhnya studi perbandingan hukum adalah studi
perbandingan terhadap sistem-sistem hukum positif atau bidang-bidang hukum positif
tertentu, yang berlaku pada satu bangsa dengan bangsa yang lain.
Perbandingan hukum dalam perspektif hukum Islam salah satu, dikenal dengan istilah
muqaranat al-madzahib (perbandingan madzab). Kata muqaranat berasal dari bahasa Arab
yang berarti menghubungkan sesuatu dengan yang lain. Atau menghubungkan sesuatu dan
meletakkannya berhadapan dengan yang lain. Secara sederhana, perbandingan dapat diartikan
sebagai suatu kegiatan untuk mengadakan identifikasi terhadap persamaan dan atau
perbedaan antara dua gejala tertentu atau lebih.
10
Soedjono Dirdjosiswoto, Op. Cit., hal. 162.
8
Dengan demikian, muqaranat al-madzahib adalah suatu kegiatan ilmiah untuk
mengidentifikasi terhadap persamaan dan perbedaan antara dua pendapat ulama atau lebih
dibidang pemikiran hukum (madzhab), baik dalam sistematika sumber-sumber hukumnya,
maupun dalam system istinbath ahkam (menggali dan menetapkan hukum) nya. Hal ini
dilakukan dengan cara memperbandingkan dalil-dalil dan pertimbangan yang dijadikan dasar
penetapan hukum oleh masing-masing madzhab, dalil-dalil tersebut dianalisis, dicari
kelemahan dan kekuatannya masing-masing hingga diperoleh suatu kesimpulan.
Berdasarkan uraian diatas, maka yang menjadi obyek dan ruang lingkup perbahasan
perbandingan madzhab adalah: meliputi pembahasan mengenai sumber, kaidah-kaidah ulama
madzhab yang menjadi pangkal timbulnya perbedaan pendapat serta latar belakang pemikiran
ulama masing-masing madzhab, dan sistematika sumber hukum yang dipegang oleh masingmasing ulama madzhab dan system intinbathnya.11
Seperti diketahui bahwa, dalam konteks madzhab, paling tidak ada empat madzhab yang
paling popular dikalangan umat Islam dunia, atau sering disebut dengan al-aimat al-arba’ah.
Yakni; madzhab Imam Abu Hanifah al-Nu’man (w. 150/767), sering disebut madzhab
Hanafiyah, Malik bin Anas al_Asbahi (w. 179/795) sering disebut Malikiyah, Imam
Muhammad bin Idris al-Syafi’i (w. 204/820), sering disebut Syafi’iyyah, dan Madzab Imam
Ahmad bin Hanbal (w. 241/855), sering juga disebut Madzhab Hanbaliyyah. 12 Setidaknya
itulah yang popular dan masih bertahan dikalangan Sunni.
Dengan melihat berbagai madzhab tersebut, maka perbandingan hukum adalah
perbandingan trhadap segala sesuatu, termasuk sistematika sumber hukumnya, dalil yang
dipergunakan, serta system istinbath hukumnya, yang diergunakan oleh masing-masing
ulama madzhab tersebut.
b. Sosiologi Hukum
Yaitu menyelidiki hubungan hukum dalam masyarakat. Sebagai sebuah norma
masyarakat, hukum pasti akan menganggit kebiasaan-kebiasaan dan gejala yang berlaku dan
terjadi di masyarakat. Bahkan, gejala masyarakat menjadi objek kajian dari ilmu hukum. Bila
dipetakan, sesungguhnya gejala-gejala yang terjadi di masyarakat merupakan bagian tak
terpisahkan dari sosiologi masyarakat. Karena itu, kegiatan yang dilakukan untuk menyelidiki
11
12
Abdul Wahhab Khallaf, Ibid., hal. 350-351.
Ibid., hal. 351-353.
9
hubungan hukum dengan gejala-gejala yang terjadi di masyarakat, itulah yang disebut dengan
sosiologi hukum.
Sadjipto Rahardjo mendefinisikan sosiologi hukum sebagai ilmu yang mempelajari
fenomena hukum, dan memiliki beberapa karekteristik, yakni; Pertama, sosiologi hukum
bertujuan untuk memberikan penjelasan mengenai masyarakat. Kedua, sosiologi hukum
senantiasa menguji hukum. ketiga, berbeda dengan ilmu hukum, sosiologi hukum tidak
melakukan penilaian terhadap hukum, akan tetapi mendekati hukum dari segi obyektivitas
semata dan bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap fenomena hukum yang nyata.13
Secara sosiologis, hukum merupakan suatu lembaga kemasyarakatan (legal institution),
yang diartikan sebagai suatu himpunan dan nilai-nilai, kaidah-kaidah, dan pola perilaku yang
berkisar pada kebutuhan-kebutuhan pokok manusia. Hal tersebut dikuatkan oleh Soerjono
Soekanto dalam ungkapannya; Hukum sebagai suatu lembaga kemasyarakatan, hidup
berdampingan dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya dan saling pengaruhmempengaruhi dengan lembaga kemasyarakatan tadi”.14
Dengan demikian, seorang ahli sosiologi hukum harus menganalisa gejala-gelaja hukum
yang terjadi di masyarakat secara langsung. Hal ini sesuai dengan hakikat ilmu sosiologi itu
sendiri, yaitu merupakan suatu ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dan
kelompok-kelompok. Selain itu, sosiologi juga mempelajari struktur social dan proses social,
termasuk perubahan-perubahan social.15
Sosiologi hukum adalah ilmu yang memperlajari fenomen hukum dari sisinya yang
demikian itu. Berikut ini disampaikan beberapa karakteristik studi hukum secara sosiologis
itu.16
1. Sosiologi hukum bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap praktik-praktik
hukum. Apabila praktik dibeda-bedakan ke dalam pembuatan undang-undang,
penerapan dan pengadilan, maka ia juga mempelajari, bagaimana praktik yang terjadi
pada masing-masing bidang kegiatan hukum tersebut. Sosiologi hukum berusaha
untuk menjelaskan, mengapa praktik yang demikian itu terjadi, sebab-sebabnya,
factor-faktor apa yang berpengaruh, latar belakang dan sebagainya. Tujuan untuk
13
Leon Diguit, Trait de Droit Constitutional, dalam Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih,
Ibid., h. 125.
14
Struyken, Recht en Gezag, dalam Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, ibid., hal. 125.
15
Hans Keslen, Der Sosiologische und der Juristische Staatsbegegrif, dalam Moh.
Kusnardi dan Bintan R. Saragih, ibid., hal. 125-126.
16
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal 326.
10
memberikan penjelasan ini memang agak asing kedengarannya bagi hukum studi
“tradisional”, yaitu yang bersifat preskriptif, yang hanya berkisar pada ‘apa
hukumnya” dan “bagaimana menerapkannya”. Max Weber menamakan cara
pendekatan yang demikian itu sebagai suatu interpretative understanding, yaitu
dengan cara menjelaskan sebab, perkembangan serta efek dari tingkah laku social
(Weber, 1954 : 1). Dengan demikian, maka mempelajari hukum secara sosiologi
adalah menyelidiki tingkah laku orang dalam bidang hukum. Oleh Weber, tingkah
laku ini mempunyai dua segi, yaitu luar dan dalam. Dengan demikian, sosiologi
hukum tidak hanya menerima tingkah laku yang tampak dari luar saja, melainkan juga
memperoleh penjelasan yang bersifat internal, yaitu yang meluputi motif-motif
tingkah laku seseorang. Apabila disini disebut tingkah laku (hukum), maka sosiologi
hukum tidak membedakan antara tingkah laku yang sesuai dengan hukum dan yang
menyimpang. Kedua-duanya sama-sama merupakan objek pengamatan dan
penyelidikan ilmu ini.
2. Sosiologi hukum senantiasa menguji kesahihan empiris (empirical validity) dari suatu
peraturan atau pernyataan hukum, Pertanyaan yang bersifat khas di sini adalah
“Bagaimanakah dalam kenyataannya peraturan itu?” apakah kenyataan memang
seperti tertera pada bunyi peraturan?” Perbedaan yang besar antara pendekatan
tradisional yang normatif dan pendekatan sosiologis adalah, bahwa yang pertama
menerima saja apa yang tertera pada peraturan hukum, sedang yang kedua senantiasa
mengujinya dengan data (empiris).
3. Sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum. Tingkah laku yang
mentaati hukum dan yang menyimpang dari hukum sama-sama merupakan objek
pengamatan yang setaraf. Ia tidak menilai yang satu lebih dari yang lain. Perhatiannya
yang utama hanyalah pada memberikan penjelasan terhadap objek yang dipelajarinya.
Pendekatan yang demikian itu sering menimbulkan salah paham, seolah-olah
sosiologi hukum ingin membenarkan praktik-praktik yang menyimpang atau
melanggar hukum. Sekali lagi dikemukakan disini, bahwa sosiologi hukum tidak
memberikan penilaian, melainkan mendekati hukum dari segi objektivitas semata dan
bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap fenomen hukum yang nyata.
Ketiga karakteristik studi hukum secara sosiologis tersebut diatas sekaligus juga
merupakan kunci bagi orang yang berminat untuk melakukan penyelidikan dalam bidang
sosiologi hukum. Dengan cara-cara menyelidiki hukum yang demikian itu orang langsung
11
berada di tengah-tengah studi sosiologi hukum. Apapun juga objek yang dipelajarinya,
apabila ia menggunakan pendekatan seperti yang disebutkan pada butir-butir di muka, maka
ia sedang melakukan kegiatan di bidang sosiologi hukum.
Dalam konteks hukum Islam, sesungguhnya sosiologi hukum itu bukanlah sesuatu yang
baru, karena memang hukum Islam meskipun pada proses awalnya ia bersifat deduktif, akan
tetapi pada tahap perkembangan selanjutnya ia bersifat induktif. Karena bersifat induktif,
maka sudah barang tentu hukum Islam akan selalu berinteraksi dengan gejala-gejala social
yang terjadi di masyarakat. Bahkan, hampir dapat dipastikan bahwa, gejala social ini sangat
kuat pengaruhnya terhadap pembentukan hukum.
Dalam proses pembentukan hukum –fiqih- peran ulama fiqih (fuqaha) sangat penting,
terutama yang tergolong dan diakui sebagai ulama madzhab. Dengan kelebihan ilmu yang
ditekuninya, fuqaha berinteraksi dengan sesamanya dan unsur lain terutama murid dan
pengikut mereka, sehingga memiliki kedudukan, peranan dan posisi khusus dalam system
social. Berkenaan dengan ini, terdapat ciri-ciri fuqaha dalam konteks system social tertentu.
Pertama, fuqaha merupakan kelompok social yang menekuni dan mengembangkan ilmu
yang menjadi keahliannya, yakni fiqih. Mereka merupakan pembawa misi kultural yang
merujuk pada norma yang dianut dan disepakati dalam kehidupan masyarakat. Atas dasar ini,
fuqaha dipandang sebagai agen kebudayaan. Kedua, dengan kelebihan dan keunggulan
ilmunya yang dikuasai dan disebarluaskan untuk memenuhi sebagian kebutuhan hidup
masyarakat, fuqaha menempati kedudukan sebagai bagian dari kelompok pimpinan dalam
struktur social.17
Berdasarkan uraian diatas, dapat dinyatakan bahwa, sejak perumusan sampai
penyusunannya yang dilakukan oleh fuqaha, hukum Islam –fiqih- selalu berinteraksi dengan
gejala social masyarakat. Bahkan bila ditelusuri, konteks social dan budaya local marupakan
latar belakang makro yang memiliki hubungan dengan penerapan metode ijtihad. Muhammad
bin Idris al-Syafi’i (204/820) sebagai pendiri madzhab Safi’iyyah, membuat rumusan hukum
–fiqih- yang berbeda ketika ia berada di Kufah (Iraq) dengan rumusan hukum ketika ia
berada di Hijaz (Madinah). Perbedaan rumusan hukum tersebut, factor utamanya adalah
karena perbedaan system social, gejala social, serta unsur social juga berpengaruh dalam
proses pembentukan dan penerapan hukum Islam.
17
Uraian lebih lengkap lihat. Cik Hasan Bisri, Model Penelitian Fiqh, Paradigma Penelitian
Fiqh dan Fiqh Penelitian, Jilid I, (Jakarta, Kencana, 2003), h. 143-144.
12
c. Sejarah Hukum
Yaitu menyelidiki hubungan hukum dalam masyarakat. Walaupun sejarah hukum lebih
tua usianya dari sosiologi hukum, namun cabang hukum ini masih merupakan cabang ilmu
pengetahuan yang agak muda, karena terjadinya disebabkan oleh aliran hukum historis. Apa
yang sejak lama disebut sejarah hukum, sebenarnya tak lain daripada pertalian sejumlah
peristiwa-peristiwa yuridik dari zaman dahulu yang disusun secara kronologis, lazim juga
disebut dengan kronik hukum. Kronik hukum merupakan cara yang sering dipergunakan
orang untuk menulis sejarah hukum.18
Sejarah adalah suatu proses, jadi bukan sesuatu yang berhenti, melainkan sesuatu yang
bergerak; bukan mati melainkan hidup. Karena itu, bila ditinjau dari sudut ilmu pengetahuan,
hukum adalah gejala sejarah; ia mempunyai sejarah. Sebagai gejala sejarah, maka hukum
tunduk pada pertumbuhan yang terus menerus, selalu bergerak dan tidak akan mati. Menurut
Apeldoorn, pertumbuhan mempunyai dua arti; unsur perubahan dan unsur stabilitas. Apa
yang tumbuh adalah stabil walaupun ia berubah.19
Dalam hukum Islam, dikenal juga dengan istilah sejarah hukum, yang sering disebut
dengan tarikh al-tasyri’ al-Islami (Sejarah pembinaan hukum Islam). Seperti halnya pada
hukum positif, dimana masa atau periode sejarah tertentu berpengaruh terhadap periode
berikutnya, dalam hukum Islam pun seperti ini adanya. Tarikh al-tasyri’ al-Islami, justru
lebih lengkap bila dibandingkan dengan sejarah hukum dalam tataran hukum positif.
Dalam buku-buku tarikh al-tasyri’ al-Islami diuraikan secara jelas tentang sejarah, masa,
dan periode-periode pembentukan hukum Islam dari masa ke masa. Dalam perspektif ini,
paling tidak ada 6 masa dalam sejarah hukum Islam, yakni; a). Sejarah hukum pada masa
Nabi Muhammad saw., b) sejarah hukum masa sahabat besar, masa ini berakhir dengan
berakhirnya Khulafaur Rasyidin, c) sejarah masa sahaba kecil dan tabi’in yang sejajar dengan
mereka, masa ini berakhir dengan berakhirnya abad pertama hijriah, d) sejarah pada masa
fiqih sudah menjadi cabang ilmu pengetahuan, masa ini berakhir dengan berakhirnya abad
ketiga hijriah, e) sejarah masa yang didalamnya telah dimasukkannya masalah-masalah yang
berasal dari para imam, masa ini berakhir dengan berakhirnya Daulah Abbasiyah di Baghdad,
f) sejarah masa taklid sampai sekarang.20
18
L.J. Van Apeeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradya Paramita, 1990), hal. 417.
W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum, Idealisme dan Problem Keadilan (Susunan II),
terjemahan Muhammad Arifn, (Jakartaa Rajawali, 1990), hal. 147.
20
Darji Darmodiharjo dan Shiradarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 1999), hal. 148.
19
13
d. Psikologi Hukum
Yaitu menyelidiki hubungan hukum dalam masyarakat. Pengertian psikologi hukum menurut
Soejono Soekanto adalah ilmu tentang kenyataan yang menyoroti hukum sebagai
perikelakuan atau sikap yang antara lain mencakup beberapa cabang metode studi, yang
berusaha mempelajari hukum secara lebih mendalam dari berbagai sudut pandang, yaitu
sosiologi hukum, antropologi hukum, psikologi hukum, perbandingan hukum dan sejarah
hukum. Menurut Drever J.A., Pengertian Psikologi Hukum merupakan cabang ilmu
pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan dari perkembangan jiwa
manusia.
Hukum positif –terutama modern- sebagai sebuah norma, disadari atau tidak, dalam
proses penggunaannya selalu dijadikan alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang dikehendaki
oleh pembuatnya.Karena selalu dijadikan alat untuk mencapai tujuan, maka sesungguhnya
hukum telah memasuki wilayah dan bidang yang menggarap tingkah laku manusia. Atau
dengan kata lain, sesungguhya hukum telah memasuki bidang psikologi, terutama psikologi
social. Hal ii tercermin dalam salah satu bidang hukum, yakni pidana. Dengan adanya hukum
pidana, diharapkan bahwa kejahatan bisa dicegah, ini menunjukkan hubungan yang jelas
antara hukum dan psikologi.
Leon Petrazyki (1867-1931), seorang ahli filsafat hukum, menganggap bahwa unsur
psikologis dalam hukum merupakan unsur utama yang amat penting. Bahkan ia medudukkan
psikologis sebagai acuan dalam proses pembentukan hukum. Ia berpendapat bahwa,
fenomena-fenomena hukum itu terdiri dari proses-proses psikis yang unik, yang dapat diliihat
dengan menggunakan metode intropeksi. Karena itu, hukum akan berlaku efektif jika ia dapat
merubah perilaku manusia, dari yang tidak baik menjadi baik.21
Psikologi Hukum menyoroti hukum sebagai salah satu perwujudan dari perkembangan
jiwa manusia. Cabang ilmu pengetahuan ini mempelajari perikelakuan atau sikap tindak
hukum yang mungkin merupakan perwujudan dari gejala kejiwaan tertentu dan juga landasan
kejiwaan dari perikelakuan atau sikap tindak tersebut.
Secara lebih spesifik, karakteristik pendekatan psikologi terhadap hukum, menurut
Lawrence Wrightsman menekankan faktor psikologis yang memengaruhi perilaku individu
atau kelompok pada setiap tindakan hukum. Contohnya, sikap atau perilaku polisi di dalam
menjalankan tugasnya untuk mencegah dan mengatasi terjadinya pelanggaran dan kejahatan,
21
Ibid.,
14
perilaku jaksa di dalam melakukan peyidikan, penahanan dan penuntutan terhadap tersangka,
perilaku atau sikap hakim di dalam memeriksa, mengadili dan dalam menjatuhkan
putusannya. Kondisi psikologi hakim dapat memberikan pengaruh kepada putusannya,
ataupun terhadap tindakan aktor-aktor atau penegak hukum lainnya.
Menurut Craig Haney, psikologi hukum mengkaji keterkaitan psikologi dengan UU.
Hubungan psikologi dan UU (psychology in the law) merupakan aplikasi psikologi yang
tampak pada sistem hukum. Dalam situasi seperti ini, para juris menggunakan psikolog untuk
kasus-kasus spesifik, seperti menyuruh memberikan kesaksian mengenai kondisi mental
seorang terdakwa atau berkonsultasi dengan para pengacara di dalam menyeleksi juri seperti
di dalam sistem peradilan di negara Anglo Saxon.
Psikologi dapat digunakan untuk mengubah doktrin hukum dan mengganti sistem yang di
dalamnya hukum dikembangkan dan ditangani. Pada sisi lainnya, psikologi mengenai UU
menaruh perhatian pada hukum sbagai determinan perilaku, mengenai pengaruh UU (hukum)
terhadap masyarakat dan pengaruh masyarakat terhadap UU. Psikologi mengenai hukum
mengkaji ketidakadilan sosial dan berusaha memahami fiksi-fiksi atau dugaan-dugaan hukum
yang berkembang dan kebijakan-kebijakan yang dianggap berbahaya atau menimbulkan
bencana. Contohnya ketika Michael J Saks dan Reid Hastie, menjelaskan mengenai perilaku
hakim yang dapat memengaruhi tuntutan jaksa.
Secara sepintas, kajian psikologi hukum seolah-olah merupakan bagian dari kajian
sosiologi hukum, tetapi dilihat dari objek kajiannya, tampak adanya perbedaan antara
keduanya. Sekalipun demikian, sebagian pakar hukum menempatkan posisi psikologi hukum
sebagai bagian dari psikologi sosial. Terlepas dari perbedaan itu, karakteristik kajian
psikologi hukum berbeda dengan pendekatan atau kajian empiris lainya.
Hubungan psikologi dan hukum merupakan mitra yang sejajar di dalam melakukan
analisis terhadap sistem peradilan, terutama di dalam melakukan riset mengenai kebijakankebijakan hakim, penetapan hakim dan putusan hakim. Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa
pendekatan psikologi hukum perlu dipahami di dalam konteks perilaku bahwa hukum itu
terjabarkan di dalam perilaku anggota masyarakat, baik para penegak hukum maupun rakyat
biasa. Hal ini yang menyebabkan Oliver Wonder Holmes menyatakan bahwa hukum itu
bukan logika, melainkan pengalaman.
15
Menurut Michael J Saks dan Reid Hastie, perilaku yang berbeda dari para aktor yang
terlibat di dalam proses peradilan, tidak memungkinkan lahirnya putusan yang netral. Untuk
memahami perilaku setiap aktor hukum maka digunakan pendekatan psikologi hukum.22
22
http://tabirhukum.blogspot.co.id/2016/10/defnisi-psikologi-hukum-dan-pendapat.html.
Diakses tanggal 13 Maret 2017
16
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Hukum sebagai suatu aturan yang diderivasi (diturunkan) dari norma-norma yang
berkembang di masyarakat, pada dasarnya merupakan seperangkat kesepakatan-kesepakatan
yang telah dinegosiasikan antara anggota komunitas. Sebagaimana kehadirannya, hukum
dimaksudkan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia. Karena itu sifat hukum tidak
konstan, tidak tetap, dan tidak given.
ilmu hukum adalah karya manusia yang berusaha mencari kebenaran, tentang sesuatu
yang memiliki ciri-ciri, sistematis, logis, empiris, metodis, umum, dan akumulatif. Sebagai
ilmu pengetahuan ilmu hukum dengan ciri-cirinya berusaha mempelajari sistematika hukum
dan kaidah-kaidah, seperti rumusan kaidah, sebab terbentuknya dan sebagainya, sedemikian
rupa sehingga hukum dapat dipelajari dengan sebaik-baiknnya.
Disamping itu ada beberapa pembagian dari jenis ilmu hukum diantaranya jenis hukum
dogmatik dan jenis hukum empiris. Lalu juga ada jenis ilmu hukum lainnya yakni
perbandingan hukum, sosiologi hukum, sejarah hukum dan psikologi hukum.
B. Kritik dan Saran
Demikianlah Penyusunan makalah ini disusun, sebagai cacatan penutup bahwa kami
menyadari akan banyaknya kekurangan dan kelemahan pada makalah ini, karena itu kami
berharap agar ada kritik, saran atau masukan yang sifatnya membangun untuk perbaikan
makalah ini. Ucapan terimakasih kepada dosen pembimbing mata kuliah Logika dan
Penalaran Hukum serta teman-teman yang membantu dalam penyusunan makalah ini.
Terakhir adalah permohonan maaf jika sekiranya apa yang kami sajikan, terdapat
kekurangan dan kekeliruan didalamnya.
17
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu hukum akan mempelajari semua semua seluk beluk mengenai hukum, misalnya
mengenai asal mula, wujud, asas-asas, sistem, macam pembagian, sumber-sumber,
perkembangan, fungsi dan kedudukan hukum di dalam masyarakat. Ilmu hukum sebagai ilmu
yang mempunyai objek hkum menelaah hukum sebagai suatu gejala atau fenomena
kehidupan manusia dimanapun di dunia ini dari masa kapanpun.
Oleh karena itu setiap masyarakat berhak untuk mendapat pembelaan didepan hukum
sehingga hukum sebagai alat untuk mengatur kehidupan masyarakat dan menyediakan sanksi
bagi pelanggarnya. Setiap orang memiliki kesamaan di depan hukum.
Ilmu hukum pun mempunyai pembagian dari beberapa jenis-jenis ilmu hukum itu sendiri.
Pembagian ini berdasarkan nilai-nilai objektif dari suatu hukum yang kemudian dapat melihat
hukum dari sudut pandang yang berbeda.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang penulis paparkan diatas, maka penulis akan
memberikan pemaparan rumusan masalah yang akan dibahas :
1. Apa definisi dari hukum dan ilmu hukum ?
2. Apa saja jenis-jenis ilmu hukum ?
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini untuk memenuhi salah satu penilaian dari mata
kuliah logika dan penalaran hukum serta untuk menambah wawasan bagi penulis dan
mahasiswa lainnya, diantaranya :
1. Mengetahui definisi dari hukum dan ilmu hukum itu sendiri.
2. Mengetahui apa saja jenis-jenis ilmu hukum.
1
D. Manfaat
Manfaat teoritis
Secara teoritis makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai
definisi dari hukum dan ilmu hukum serta mengetahui jenis-jenis ilmu hukum/
Manfaat praktis
Bagi akademisi dapat menambah pengetahuan tentang definisi dari hukum dan ilmu
hukum serta mengetahui jenis-jenis ilmu hukum.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum
Hukum sebagai suatu aturan yang diderivasi (diturunkan) dari norma-norma yang
berkembang di masyarakat, pada dasarnya merupakan seperangkat kesepakatan-kesepakatan
yang telah dinegosiasikan antara anggota komunitas. Sebagaimana kehadirannya, hukum
dimaksudkan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia. Karena itu sifat hukum tidak
konstan, tidak tetap, dan tidak given. Aturan hukum tertentu bisa jadi cocok dengan
masyarakat tertentu. Artinya hukum bukanlah sesuatu yang bebas ruang dan waktu. Karena
itu relavitivitas menjadi suatu keniscayaan dalam memandang dan memaknai hukum.
Bagitupun dalam Islam, hukum bukanlah sesuatu yang pasti. Yang tetap dari Islam adalah
nilai-nilai fundamental ajaran Islam. Tapi ketika nilai-nilai itu dikonstruksikan kedalam
hukum (yang positif, diberlakukan dalam masyarakat) maka ia tidak lagi berkarakter tetap. Ia
menjadi sesuatu yang sangat negotiable.
Dalam studi Islam, hukum didefinisikan “menetapkan sesuatu pada yang lain”.1 Seperti
menetapkan haram pada khamar, atau halal pada susu. Sedangkan menurut terminology ahli
ushul, hukum berarti titah (khitab) syari’i yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik
berupa tuntutan, pilihan, atau wadh’I (menjadikan sesuatu sebagai sebab, mani’
(penghalang), dan syarat). Khitab syar’I adalah ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah
dan Rasul-Nya terhadap perbuatan mukallaf.2
Dari dua perspektif definisi hukum diatas, sepintas, terlihat bahwa antara pengertian
hukum Islam dan hukum “duniawi” atau hukum yang tidak bersumber dari Islam, terdapat
perbedaan. Perbedaan itu terletak pada karakter hukumnya. Jika hukum positif bersumber
dari norma yang hidup dalam masyarakat, sedangkan hukum Islam bersumber dari teks-teks
keagamaan. Meski demikian, banyak ahli juga yang tidak membedakan kedua perspektif
hukum itu secara antagonistic. Karena bagaimanapun, hukum-hukum positif yang didesain
dalam suatu komunitas atau suatu bangsa, tetap akan berakar pada nilai-nilai, norma-norma,
dan tradisi yang berkembang dalam masyarakat. Jika masyarakat itu mayoritas memeluk
1
2
Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 50
Ibid.
3
agama Islam, maka dipastikan nilai-nilai Islam akan menginspirasi setiap produk hukum yang
diciptakan oleh otoritas politik suatu bangsa tersebut.3
B. Pengertian Ilmu Hukum
Berikut ini ada beberapa pendapat yang mencoba memberikan gambaran tentang apa
sesungguhnya ilmu hukum itu4
1. Ilmu hukum adalah pengetahuan mengenai masalah yang bersifat manusiawi,
pengetahuan tentang apa yang benar dan tidak benar menurut harkat kemanusiaan
(Ulpian).
2. Ilmu yang fformal tentang hukum positif (Holland)
3. Sintesa ilmiah tentang asas-asas yang pokok dari hukum (Allen)
4. Penyelidikan oleh beberapa ahli hukum tentang norma-norma, cita-cita, dan teknikteknik hukum, dengan menggunakan pengetahuan yang diperoleh dari berbagai
disiplin di luar hukum yang mutakhir (Stone).
5. Ilmu hukum adalah nama yang diberikan kepada suatu cara untuk mempelajari
hukum, suatu penyelidikan yang bersifat absrak, umum dan teoritis, yang berusaha
mengungkapkan asas-asas yang pokok dari hukum dan system hukum (Fitzgerald).
6. Suatu diskusi teoritis yang umum mengenai hukum dan asas-asasnya, sebagai lawan
dari studi mengenai peraturan-peraturan hukum yang konkrit (Jolowicz).
7. Pengetahuan tentang hukum dalam segala bentuk dan manifestasinya (Croos).
8. Setiap pemikiran yang teliti dan berbobot mengenai semua tingkat kehidupan hukum,
asal pemikiran itu menjangkau keluar batas pemecahan terhadap suatu problem yang
konkrit, dengan kata lain ilmu hukum meliputi semua macam generalisasi yang jujur
dan dipikirkan masak-masak di bidang hukum (Llewellyn).
9. Teori ilmu hukum menyangkut pemikiran mengenai hukum atas dasar yang paling
luas.
Secara sederhana dapat disimpulkan, bahwa ilmu hukum adalah karya manusia yang
berusaha mencari kebenaran, tentang sesuatu yang memiliki ciri-ciri, sistematis, logis,
empiris, metodis, umum, dan akumulatif. Sebagai ilmu pengetahuan ilmu hukum dengan ciricirinya berusaha mempelajari sistematika hukum dan kaidah-kaidah, seperti rumusan kaidah,
sebab terbentuknya dan sebagainya, sedemikian rupa sehingga hukum dapat dipelajari
dengan sebaik-baiknnya. Semakin berkembang suatu masyarakat akan semakin menuntut
3
4
Hasanuddin AF, dkk., Pengantar Ilmu Hukum, UIN Jakarta Press, Tangerang, h. 4.
Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ikhtiar, 1957), hal 38-39.
4
perkembangan ilmu hukum, sehingga secara objektif mampu menjelaskan keadaan hukum
pada setiap saat, demi dapat berperannya hukum sebagai sarana untuk ketertiban, keadilan,
dan pendorong terciptanya kesejahteraan.5
C. Jenis-Jenis Ilmu Hukum
1. Ilmu Hukum Dogmatik
Ilmu Hukum Dogmatik bertugas untuk memaparkan, menganalisa, mensistematisasi, dan
menginterpretasi hukum yang berlaku. Tujuannya adalah untuk memungkinkan penerapan
dan pelaksanaan hukum secara bertanggungjawab di dalam praktik 6. Bentuk ilmu hukum ini
menempati posisi sentral dalam pendidikan universiter.
Menurut pandangan tradisional, Ilmu Hukum Dogmatik adalah ilmu hukum in optima
forma (dalam bentuk yang optimal). Ia dapat pula kita namakan “Dogmatik Hukum”
(Rechtsdogmatik Jurisprudenz). Sifat “dogmatikal”-nya itu terletak dalam hal bahwa orang
bersungguh-sungguh membatasi diri pada satu sistem hukum spesifik. Orang membatasi diri
pada kaidah-kaidah hukum positif tertentu, dan menutup diri terhadap sistem-sistem hukum
yang lain. Sementara itu orang menemukan dalam kepustakaan berbagai pendekatan yang
berbeda dari Dogmatika Hukum7.
Ilmu Hukum Dogmatik itu memiliki suatu karakter sendiri, ia adalah sebuah ilmu “sui
generis”, yang tidak dapat dibandingkan (diukur, dinilai) dalam bentuk ilmu lain yang mana
pun. Ia memiliki berbagai ciri sebagai berikut:
a. Pertama-tama, ilmu hukum itu memiliki suatu sifat empirik anatikal. Itu berarti bahwa
ia memberikan suatu pemaparan dan analisis tentang isi (dan struktur) dari hukum
yang berlaku.
b. Selanjutnya, ilmu hukum mensistematisasi gejala-gejala hukum yang dipaparkan dan
dianalisis itu. Ia lebih merupakan pengembangan suatu “sistem terbuka”, yang berarti
bahwa aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum dipikirkan dalam suatu
hubungan yang relatif bebas antara yang satu dengan yang lainnya. Yang menentukan
padanya adalah bahwa orang mempertautkan kaidah-kaidah hukum ini pada asas-asas
yang melandasi hubungan ini. Dengan latar belakang asas-asas ini, maka gejala-gejala
hukum lain juga dapat disestematisasi. Justru salam hal itu terletaknya sifat “terbuka”
5
Suroji Wignjodipuro, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1974), hal. 126.
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Ilmu Hukum & Filsafat Hukum,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 21.
7
B. Arief Sidharta, Meuwissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum,
dan Filsafat Hukum, (Bandung: PT Refka Aditama, 2013), hlm. 54.
6
5
dari pensistematisasian tersebut. Ini adalah tugas dari Dogmatika Hukum dalam arti
sempit. Sementara itu, pensistematisasian ini tidak sama penting pada semua bagian
dari hukum. Untuk hukum perdata ( dan dalam derajat yang lebih-kurang untuk
hukum pidana) ia memiliki arti lebih besar ketimbang misalnya untuk hukum tata
negara. Adanya peradilan mempunyai pengaruh yang besar. Suatu yurisprudensi yang
terolah, sebagaimana yang kita kenal dalam hukum perdata, berdaya stimulatif untuk
pemekaran suatu dogmatik hukum. Jika yurisprudensi sama sekali tidak ada, maka
terdapat bahaya bahwa ilmu hukum hanya merupakan hal mengungkapkan penataanpenataan dan struktur-struktur yang ada (misalnya tatanan negara).
c. Ilmu Hukum menginterpretasi hukum yang berlaku. Bukankah deskripsi (pemaparan),
analisis, dan sistematisasi hukum yang berlaku mengandaikan bahwa arti dari hukum
itu terlebih dahulu-sekurang-kurangnya dalam arti sementara-sudah ditetapkan.
d. Ilmu hukum itu menilai hukum yang berlaku. Dalam arti ini ia relatif bersifat
normatif. Jadi Dogmatik Hukum tidak bebas nilai. Ia secara langsung berkaitan
dengan ide hukum (cita hukum), dengan perwujudan “tujuan” dari hukum.
e. Ciri yang terakhir berkaitan dengan arti praktikal dari Ilmu Hukum Dogmatik. Antara
teori dan praktik berkenaan dengan dogmatika hukum terdapat perkaitan-perkaitan
yang majemuk. Apa yang dikemukakan oleh Ilmu Hukum Dogmatik pada akhirnya
berkaitan dengan penerapan hukum secara praktikal. Untuk itu hukum dipaparkan,
dianalisis, disistematisasi, dan diinterpretasi. Pada penerapan praktikal itulah juga
penilaian normatif terhadap hukum positif diarahkan. Pada tataran teoretikal, Ilmu
Hukum Dogmatik itu memberikan (menyediakan) suatu model bagi perwujudan
hukum secara praktikal (dan dengan demikian “tujuan” dari hukum). Model ini
direfleksi dan diargumentasi secara teoretikal, ia relevan secara praktikal. Tanpa
pegangan (bimbingan) teoretikal ini, praktik tersebut (misalnya, peradilan, advokatur,
perundang-undangan) tidak dapat berfungsi. Pada pihak lain, isi dari praktik hukum
memberikan dampak balik pada model teoretikal ini. Jadi, teori dan praktik itu saling
berkaitan erat, dan karena itu juga hanya dapat dipikirkan sebagia suatu keseluruhan
(teoretikal) dan diwujudkna (secara praktikal)8.
2. Ilmu Hukum Empirik
8
Ibid, hlm. 55.
6
Ilmu Hukum Empirik lebih banyak ditentukan oleh metodenya dan primer tidak oleh
objeknya. Ia juga tidak hanya relevan untuk Ilmu Hukum Dogmatik, tetapi juga untuk
bentuk-bentuk lainnya. Ilmu Hukum Empirik membedakan secara tajam fakta-fakta dan
norma-norma, antara keputusan-keputusan (proporsi) yang memaparkan (deskriptif). Gejalagejala hukum dipandang sebagai gejala-gejala empirikal (faktual) yang murni. Gejala-gejala
hukum dipandang sebagai gejala-gejala empirikal (faktual) yang murni. Mereka adalah
“fakta-fakta kemasyarakatan” yang dapat diamati secara indrawi. Gejala-gejala ini harus
dipelajari dan diteliti dengan menggunakan metode-metode empirikal, sesuai dengan
“gambaran standar”. Itu mengandung arti bahwa hukum yang berlaku itu dipaparkan,
dianalisis, dan terutama juga dijelaskan. Jadi, Ilmu Hukum Empirik itu berbicara dalam
keputusan- keputusan deskriptif tentang gejala-gejala hukum, yang untuk sebagian juga
tampil dalam keputusan-keputusan preskriptif. Bukanlah tugas dari pengemban ilmu hukum
(empirik) untuk menyatakan penilaian etikal atau politikal tentang sifat atau isi dari hukum
positif. Suatu penilaian (putusan) demikian memiliki. Demikian mereka katakan suatu
karakter personal subjektif. Hal itu harus diserahkan kepada mereka yang ditugaskan untuk
menetapkan putusan-putusan (penilaian) demikian, seperti para advokat, hakim, penasihat
hukum, politisi, dan pengemban politik hukum yang lainnya. Hal ini (yakni penerapan hukum
itu) tentu saja dapat diteliti secara empirikal. Ilmu dan praktik lagi-lagi dipisahkan secara
“strikt” (ketat)9.
D. Jenis Ilmu Hukum Lain
Disamping yang sudah disebutkan diatas, kita masih mengenal bentuk lain dari ilmu
hukum, yakni Perbandingan Hukum, Sosiologi Hukum, Sejarah Hukum dan Psikologi
Hukum.
a. Perbandingan Hukum
Pada prinsipnya, hukum berbeda menurut tempat dan waktu, akan tetapi taka da hukum
berlaku satu waktu, hanya terbatas, berlaku, hanya terbatas, berlaku, dan berdiri sendiri untuk
satu bangsa atau satu negara. Demikian juga dalam sejarah hukum, ia berusaha mencoba
mengkaji hubungan historis dalam hukum suatu bangsa tertentu. Karena itu, di samping
terdapat perbedaan antara hukum yang berlaku pada bangsa tertentu pasti juga terdapat
persamaannya.
9
Ibid, hlm. 59.
7
Perbandingan hukum, pada awalnya berasal dari sebuah tradisi yang dilakukan oleh para
pakar hukum untuk membanding-bandingkan sistem-sistem hukum yang berlaku di
masyarakat tertentu dengan sistem hukum yang berlaku dimasyarakat lain. Pada tahap
selanjutnya, studi yang bersifat perbandingan ini, secara diam-diam dipakai dalam
penyelidikan hukum. Begitu pula dengan sosiologi hukum, tanpa dinyatakan secara eksplisit,
pada suatu saat juga menggunakan metode perbandingan. Misalnya, W.M. Evan, telah
melakukan studi perbandingan mengenai fungsi-fungsi pembuatan hukum, pengadilan dan
pelaksanaan hukum, pada konteks social yang berbeda-beda, baik pada system hukum yang
dikaitkan pada negara, maupun pada lingkungan-lingkungan swasta.10
Bila dilihat dari sisi ini, objek kajian dan juga tujuan dari perbandingan hukum , maka ada
beberapa yang menjadi objeknya, yakni :
a. menunjukkan perbedaan dan persamaan yang ada diantara sistem hukum atau bidangbidang hukum yang dipelajari
b. menjelaskan mengapa terjadi persamaan atau perbedaan yang demikian, faktor-faktor
yang menyebabkannya
c. memberikan penilaian terhadap masing-masing sistem yang digunakan
d. memikirkan kemungkinan-kemungkinan apa yang bisa ditarik sebagai kelanjutan dari
hasil-hasil studi perbandingan yang telah dilakukan
e. merumuskan kecenderungan-kecenderungan yang umum pada perkembangan hukum,
termasuk didalamnya irama dan keteraturan yang dapat dilihat dari perkembangan
hukum tersebut.
Berdasarkan uraian diatas, maka sesungguhnya studi perbandingan hukum adalah studi
perbandingan terhadap sistem-sistem hukum positif atau bidang-bidang hukum positif
tertentu, yang berlaku pada satu bangsa dengan bangsa yang lain.
Perbandingan hukum dalam perspektif hukum Islam salah satu, dikenal dengan istilah
muqaranat al-madzahib (perbandingan madzab). Kata muqaranat berasal dari bahasa Arab
yang berarti menghubungkan sesuatu dengan yang lain. Atau menghubungkan sesuatu dan
meletakkannya berhadapan dengan yang lain. Secara sederhana, perbandingan dapat diartikan
sebagai suatu kegiatan untuk mengadakan identifikasi terhadap persamaan dan atau
perbedaan antara dua gejala tertentu atau lebih.
10
Soedjono Dirdjosiswoto, Op. Cit., hal. 162.
8
Dengan demikian, muqaranat al-madzahib adalah suatu kegiatan ilmiah untuk
mengidentifikasi terhadap persamaan dan perbedaan antara dua pendapat ulama atau lebih
dibidang pemikiran hukum (madzhab), baik dalam sistematika sumber-sumber hukumnya,
maupun dalam system istinbath ahkam (menggali dan menetapkan hukum) nya. Hal ini
dilakukan dengan cara memperbandingkan dalil-dalil dan pertimbangan yang dijadikan dasar
penetapan hukum oleh masing-masing madzhab, dalil-dalil tersebut dianalisis, dicari
kelemahan dan kekuatannya masing-masing hingga diperoleh suatu kesimpulan.
Berdasarkan uraian diatas, maka yang menjadi obyek dan ruang lingkup perbahasan
perbandingan madzhab adalah: meliputi pembahasan mengenai sumber, kaidah-kaidah ulama
madzhab yang menjadi pangkal timbulnya perbedaan pendapat serta latar belakang pemikiran
ulama masing-masing madzhab, dan sistematika sumber hukum yang dipegang oleh masingmasing ulama madzhab dan system intinbathnya.11
Seperti diketahui bahwa, dalam konteks madzhab, paling tidak ada empat madzhab yang
paling popular dikalangan umat Islam dunia, atau sering disebut dengan al-aimat al-arba’ah.
Yakni; madzhab Imam Abu Hanifah al-Nu’man (w. 150/767), sering disebut madzhab
Hanafiyah, Malik bin Anas al_Asbahi (w. 179/795) sering disebut Malikiyah, Imam
Muhammad bin Idris al-Syafi’i (w. 204/820), sering disebut Syafi’iyyah, dan Madzab Imam
Ahmad bin Hanbal (w. 241/855), sering juga disebut Madzhab Hanbaliyyah. 12 Setidaknya
itulah yang popular dan masih bertahan dikalangan Sunni.
Dengan melihat berbagai madzhab tersebut, maka perbandingan hukum adalah
perbandingan trhadap segala sesuatu, termasuk sistematika sumber hukumnya, dalil yang
dipergunakan, serta system istinbath hukumnya, yang diergunakan oleh masing-masing
ulama madzhab tersebut.
b. Sosiologi Hukum
Yaitu menyelidiki hubungan hukum dalam masyarakat. Sebagai sebuah norma
masyarakat, hukum pasti akan menganggit kebiasaan-kebiasaan dan gejala yang berlaku dan
terjadi di masyarakat. Bahkan, gejala masyarakat menjadi objek kajian dari ilmu hukum. Bila
dipetakan, sesungguhnya gejala-gejala yang terjadi di masyarakat merupakan bagian tak
terpisahkan dari sosiologi masyarakat. Karena itu, kegiatan yang dilakukan untuk menyelidiki
11
12
Abdul Wahhab Khallaf, Ibid., hal. 350-351.
Ibid., hal. 351-353.
9
hubungan hukum dengan gejala-gejala yang terjadi di masyarakat, itulah yang disebut dengan
sosiologi hukum.
Sadjipto Rahardjo mendefinisikan sosiologi hukum sebagai ilmu yang mempelajari
fenomena hukum, dan memiliki beberapa karekteristik, yakni; Pertama, sosiologi hukum
bertujuan untuk memberikan penjelasan mengenai masyarakat. Kedua, sosiologi hukum
senantiasa menguji hukum. ketiga, berbeda dengan ilmu hukum, sosiologi hukum tidak
melakukan penilaian terhadap hukum, akan tetapi mendekati hukum dari segi obyektivitas
semata dan bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap fenomena hukum yang nyata.13
Secara sosiologis, hukum merupakan suatu lembaga kemasyarakatan (legal institution),
yang diartikan sebagai suatu himpunan dan nilai-nilai, kaidah-kaidah, dan pola perilaku yang
berkisar pada kebutuhan-kebutuhan pokok manusia. Hal tersebut dikuatkan oleh Soerjono
Soekanto dalam ungkapannya; Hukum sebagai suatu lembaga kemasyarakatan, hidup
berdampingan dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya dan saling pengaruhmempengaruhi dengan lembaga kemasyarakatan tadi”.14
Dengan demikian, seorang ahli sosiologi hukum harus menganalisa gejala-gelaja hukum
yang terjadi di masyarakat secara langsung. Hal ini sesuai dengan hakikat ilmu sosiologi itu
sendiri, yaitu merupakan suatu ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dan
kelompok-kelompok. Selain itu, sosiologi juga mempelajari struktur social dan proses social,
termasuk perubahan-perubahan social.15
Sosiologi hukum adalah ilmu yang memperlajari fenomen hukum dari sisinya yang
demikian itu. Berikut ini disampaikan beberapa karakteristik studi hukum secara sosiologis
itu.16
1. Sosiologi hukum bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap praktik-praktik
hukum. Apabila praktik dibeda-bedakan ke dalam pembuatan undang-undang,
penerapan dan pengadilan, maka ia juga mempelajari, bagaimana praktik yang terjadi
pada masing-masing bidang kegiatan hukum tersebut. Sosiologi hukum berusaha
untuk menjelaskan, mengapa praktik yang demikian itu terjadi, sebab-sebabnya,
factor-faktor apa yang berpengaruh, latar belakang dan sebagainya. Tujuan untuk
13
Leon Diguit, Trait de Droit Constitutional, dalam Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih,
Ibid., h. 125.
14
Struyken, Recht en Gezag, dalam Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, ibid., hal. 125.
15
Hans Keslen, Der Sosiologische und der Juristische Staatsbegegrif, dalam Moh.
Kusnardi dan Bintan R. Saragih, ibid., hal. 125-126.
16
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal 326.
10
memberikan penjelasan ini memang agak asing kedengarannya bagi hukum studi
“tradisional”, yaitu yang bersifat preskriptif, yang hanya berkisar pada ‘apa
hukumnya” dan “bagaimana menerapkannya”. Max Weber menamakan cara
pendekatan yang demikian itu sebagai suatu interpretative understanding, yaitu
dengan cara menjelaskan sebab, perkembangan serta efek dari tingkah laku social
(Weber, 1954 : 1). Dengan demikian, maka mempelajari hukum secara sosiologi
adalah menyelidiki tingkah laku orang dalam bidang hukum. Oleh Weber, tingkah
laku ini mempunyai dua segi, yaitu luar dan dalam. Dengan demikian, sosiologi
hukum tidak hanya menerima tingkah laku yang tampak dari luar saja, melainkan juga
memperoleh penjelasan yang bersifat internal, yaitu yang meluputi motif-motif
tingkah laku seseorang. Apabila disini disebut tingkah laku (hukum), maka sosiologi
hukum tidak membedakan antara tingkah laku yang sesuai dengan hukum dan yang
menyimpang. Kedua-duanya sama-sama merupakan objek pengamatan dan
penyelidikan ilmu ini.
2. Sosiologi hukum senantiasa menguji kesahihan empiris (empirical validity) dari suatu
peraturan atau pernyataan hukum, Pertanyaan yang bersifat khas di sini adalah
“Bagaimanakah dalam kenyataannya peraturan itu?” apakah kenyataan memang
seperti tertera pada bunyi peraturan?” Perbedaan yang besar antara pendekatan
tradisional yang normatif dan pendekatan sosiologis adalah, bahwa yang pertama
menerima saja apa yang tertera pada peraturan hukum, sedang yang kedua senantiasa
mengujinya dengan data (empiris).
3. Sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum. Tingkah laku yang
mentaati hukum dan yang menyimpang dari hukum sama-sama merupakan objek
pengamatan yang setaraf. Ia tidak menilai yang satu lebih dari yang lain. Perhatiannya
yang utama hanyalah pada memberikan penjelasan terhadap objek yang dipelajarinya.
Pendekatan yang demikian itu sering menimbulkan salah paham, seolah-olah
sosiologi hukum ingin membenarkan praktik-praktik yang menyimpang atau
melanggar hukum. Sekali lagi dikemukakan disini, bahwa sosiologi hukum tidak
memberikan penilaian, melainkan mendekati hukum dari segi objektivitas semata dan
bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap fenomen hukum yang nyata.
Ketiga karakteristik studi hukum secara sosiologis tersebut diatas sekaligus juga
merupakan kunci bagi orang yang berminat untuk melakukan penyelidikan dalam bidang
sosiologi hukum. Dengan cara-cara menyelidiki hukum yang demikian itu orang langsung
11
berada di tengah-tengah studi sosiologi hukum. Apapun juga objek yang dipelajarinya,
apabila ia menggunakan pendekatan seperti yang disebutkan pada butir-butir di muka, maka
ia sedang melakukan kegiatan di bidang sosiologi hukum.
Dalam konteks hukum Islam, sesungguhnya sosiologi hukum itu bukanlah sesuatu yang
baru, karena memang hukum Islam meskipun pada proses awalnya ia bersifat deduktif, akan
tetapi pada tahap perkembangan selanjutnya ia bersifat induktif. Karena bersifat induktif,
maka sudah barang tentu hukum Islam akan selalu berinteraksi dengan gejala-gejala social
yang terjadi di masyarakat. Bahkan, hampir dapat dipastikan bahwa, gejala social ini sangat
kuat pengaruhnya terhadap pembentukan hukum.
Dalam proses pembentukan hukum –fiqih- peran ulama fiqih (fuqaha) sangat penting,
terutama yang tergolong dan diakui sebagai ulama madzhab. Dengan kelebihan ilmu yang
ditekuninya, fuqaha berinteraksi dengan sesamanya dan unsur lain terutama murid dan
pengikut mereka, sehingga memiliki kedudukan, peranan dan posisi khusus dalam system
social. Berkenaan dengan ini, terdapat ciri-ciri fuqaha dalam konteks system social tertentu.
Pertama, fuqaha merupakan kelompok social yang menekuni dan mengembangkan ilmu
yang menjadi keahliannya, yakni fiqih. Mereka merupakan pembawa misi kultural yang
merujuk pada norma yang dianut dan disepakati dalam kehidupan masyarakat. Atas dasar ini,
fuqaha dipandang sebagai agen kebudayaan. Kedua, dengan kelebihan dan keunggulan
ilmunya yang dikuasai dan disebarluaskan untuk memenuhi sebagian kebutuhan hidup
masyarakat, fuqaha menempati kedudukan sebagai bagian dari kelompok pimpinan dalam
struktur social.17
Berdasarkan uraian diatas, dapat dinyatakan bahwa, sejak perumusan sampai
penyusunannya yang dilakukan oleh fuqaha, hukum Islam –fiqih- selalu berinteraksi dengan
gejala social masyarakat. Bahkan bila ditelusuri, konteks social dan budaya local marupakan
latar belakang makro yang memiliki hubungan dengan penerapan metode ijtihad. Muhammad
bin Idris al-Syafi’i (204/820) sebagai pendiri madzhab Safi’iyyah, membuat rumusan hukum
–fiqih- yang berbeda ketika ia berada di Kufah (Iraq) dengan rumusan hukum ketika ia
berada di Hijaz (Madinah). Perbedaan rumusan hukum tersebut, factor utamanya adalah
karena perbedaan system social, gejala social, serta unsur social juga berpengaruh dalam
proses pembentukan dan penerapan hukum Islam.
17
Uraian lebih lengkap lihat. Cik Hasan Bisri, Model Penelitian Fiqh, Paradigma Penelitian
Fiqh dan Fiqh Penelitian, Jilid I, (Jakarta, Kencana, 2003), h. 143-144.
12
c. Sejarah Hukum
Yaitu menyelidiki hubungan hukum dalam masyarakat. Walaupun sejarah hukum lebih
tua usianya dari sosiologi hukum, namun cabang hukum ini masih merupakan cabang ilmu
pengetahuan yang agak muda, karena terjadinya disebabkan oleh aliran hukum historis. Apa
yang sejak lama disebut sejarah hukum, sebenarnya tak lain daripada pertalian sejumlah
peristiwa-peristiwa yuridik dari zaman dahulu yang disusun secara kronologis, lazim juga
disebut dengan kronik hukum. Kronik hukum merupakan cara yang sering dipergunakan
orang untuk menulis sejarah hukum.18
Sejarah adalah suatu proses, jadi bukan sesuatu yang berhenti, melainkan sesuatu yang
bergerak; bukan mati melainkan hidup. Karena itu, bila ditinjau dari sudut ilmu pengetahuan,
hukum adalah gejala sejarah; ia mempunyai sejarah. Sebagai gejala sejarah, maka hukum
tunduk pada pertumbuhan yang terus menerus, selalu bergerak dan tidak akan mati. Menurut
Apeldoorn, pertumbuhan mempunyai dua arti; unsur perubahan dan unsur stabilitas. Apa
yang tumbuh adalah stabil walaupun ia berubah.19
Dalam hukum Islam, dikenal juga dengan istilah sejarah hukum, yang sering disebut
dengan tarikh al-tasyri’ al-Islami (Sejarah pembinaan hukum Islam). Seperti halnya pada
hukum positif, dimana masa atau periode sejarah tertentu berpengaruh terhadap periode
berikutnya, dalam hukum Islam pun seperti ini adanya. Tarikh al-tasyri’ al-Islami, justru
lebih lengkap bila dibandingkan dengan sejarah hukum dalam tataran hukum positif.
Dalam buku-buku tarikh al-tasyri’ al-Islami diuraikan secara jelas tentang sejarah, masa,
dan periode-periode pembentukan hukum Islam dari masa ke masa. Dalam perspektif ini,
paling tidak ada 6 masa dalam sejarah hukum Islam, yakni; a). Sejarah hukum pada masa
Nabi Muhammad saw., b) sejarah hukum masa sahabat besar, masa ini berakhir dengan
berakhirnya Khulafaur Rasyidin, c) sejarah masa sahaba kecil dan tabi’in yang sejajar dengan
mereka, masa ini berakhir dengan berakhirnya abad pertama hijriah, d) sejarah pada masa
fiqih sudah menjadi cabang ilmu pengetahuan, masa ini berakhir dengan berakhirnya abad
ketiga hijriah, e) sejarah masa yang didalamnya telah dimasukkannya masalah-masalah yang
berasal dari para imam, masa ini berakhir dengan berakhirnya Daulah Abbasiyah di Baghdad,
f) sejarah masa taklid sampai sekarang.20
18
L.J. Van Apeeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradya Paramita, 1990), hal. 417.
W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum, Idealisme dan Problem Keadilan (Susunan II),
terjemahan Muhammad Arifn, (Jakartaa Rajawali, 1990), hal. 147.
20
Darji Darmodiharjo dan Shiradarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 1999), hal. 148.
19
13
d. Psikologi Hukum
Yaitu menyelidiki hubungan hukum dalam masyarakat. Pengertian psikologi hukum menurut
Soejono Soekanto adalah ilmu tentang kenyataan yang menyoroti hukum sebagai
perikelakuan atau sikap yang antara lain mencakup beberapa cabang metode studi, yang
berusaha mempelajari hukum secara lebih mendalam dari berbagai sudut pandang, yaitu
sosiologi hukum, antropologi hukum, psikologi hukum, perbandingan hukum dan sejarah
hukum. Menurut Drever J.A., Pengertian Psikologi Hukum merupakan cabang ilmu
pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan dari perkembangan jiwa
manusia.
Hukum positif –terutama modern- sebagai sebuah norma, disadari atau tidak, dalam
proses penggunaannya selalu dijadikan alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang dikehendaki
oleh pembuatnya.Karena selalu dijadikan alat untuk mencapai tujuan, maka sesungguhnya
hukum telah memasuki wilayah dan bidang yang menggarap tingkah laku manusia. Atau
dengan kata lain, sesungguhya hukum telah memasuki bidang psikologi, terutama psikologi
social. Hal ii tercermin dalam salah satu bidang hukum, yakni pidana. Dengan adanya hukum
pidana, diharapkan bahwa kejahatan bisa dicegah, ini menunjukkan hubungan yang jelas
antara hukum dan psikologi.
Leon Petrazyki (1867-1931), seorang ahli filsafat hukum, menganggap bahwa unsur
psikologis dalam hukum merupakan unsur utama yang amat penting. Bahkan ia medudukkan
psikologis sebagai acuan dalam proses pembentukan hukum. Ia berpendapat bahwa,
fenomena-fenomena hukum itu terdiri dari proses-proses psikis yang unik, yang dapat diliihat
dengan menggunakan metode intropeksi. Karena itu, hukum akan berlaku efektif jika ia dapat
merubah perilaku manusia, dari yang tidak baik menjadi baik.21
Psikologi Hukum menyoroti hukum sebagai salah satu perwujudan dari perkembangan
jiwa manusia. Cabang ilmu pengetahuan ini mempelajari perikelakuan atau sikap tindak
hukum yang mungkin merupakan perwujudan dari gejala kejiwaan tertentu dan juga landasan
kejiwaan dari perikelakuan atau sikap tindak tersebut.
Secara lebih spesifik, karakteristik pendekatan psikologi terhadap hukum, menurut
Lawrence Wrightsman menekankan faktor psikologis yang memengaruhi perilaku individu
atau kelompok pada setiap tindakan hukum. Contohnya, sikap atau perilaku polisi di dalam
menjalankan tugasnya untuk mencegah dan mengatasi terjadinya pelanggaran dan kejahatan,
21
Ibid.,
14
perilaku jaksa di dalam melakukan peyidikan, penahanan dan penuntutan terhadap tersangka,
perilaku atau sikap hakim di dalam memeriksa, mengadili dan dalam menjatuhkan
putusannya. Kondisi psikologi hakim dapat memberikan pengaruh kepada putusannya,
ataupun terhadap tindakan aktor-aktor atau penegak hukum lainnya.
Menurut Craig Haney, psikologi hukum mengkaji keterkaitan psikologi dengan UU.
Hubungan psikologi dan UU (psychology in the law) merupakan aplikasi psikologi yang
tampak pada sistem hukum. Dalam situasi seperti ini, para juris menggunakan psikolog untuk
kasus-kasus spesifik, seperti menyuruh memberikan kesaksian mengenai kondisi mental
seorang terdakwa atau berkonsultasi dengan para pengacara di dalam menyeleksi juri seperti
di dalam sistem peradilan di negara Anglo Saxon.
Psikologi dapat digunakan untuk mengubah doktrin hukum dan mengganti sistem yang di
dalamnya hukum dikembangkan dan ditangani. Pada sisi lainnya, psikologi mengenai UU
menaruh perhatian pada hukum sbagai determinan perilaku, mengenai pengaruh UU (hukum)
terhadap masyarakat dan pengaruh masyarakat terhadap UU. Psikologi mengenai hukum
mengkaji ketidakadilan sosial dan berusaha memahami fiksi-fiksi atau dugaan-dugaan hukum
yang berkembang dan kebijakan-kebijakan yang dianggap berbahaya atau menimbulkan
bencana. Contohnya ketika Michael J Saks dan Reid Hastie, menjelaskan mengenai perilaku
hakim yang dapat memengaruhi tuntutan jaksa.
Secara sepintas, kajian psikologi hukum seolah-olah merupakan bagian dari kajian
sosiologi hukum, tetapi dilihat dari objek kajiannya, tampak adanya perbedaan antara
keduanya. Sekalipun demikian, sebagian pakar hukum menempatkan posisi psikologi hukum
sebagai bagian dari psikologi sosial. Terlepas dari perbedaan itu, karakteristik kajian
psikologi hukum berbeda dengan pendekatan atau kajian empiris lainya.
Hubungan psikologi dan hukum merupakan mitra yang sejajar di dalam melakukan
analisis terhadap sistem peradilan, terutama di dalam melakukan riset mengenai kebijakankebijakan hakim, penetapan hakim dan putusan hakim. Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa
pendekatan psikologi hukum perlu dipahami di dalam konteks perilaku bahwa hukum itu
terjabarkan di dalam perilaku anggota masyarakat, baik para penegak hukum maupun rakyat
biasa. Hal ini yang menyebabkan Oliver Wonder Holmes menyatakan bahwa hukum itu
bukan logika, melainkan pengalaman.
15
Menurut Michael J Saks dan Reid Hastie, perilaku yang berbeda dari para aktor yang
terlibat di dalam proses peradilan, tidak memungkinkan lahirnya putusan yang netral. Untuk
memahami perilaku setiap aktor hukum maka digunakan pendekatan psikologi hukum.22
22
http://tabirhukum.blogspot.co.id/2016/10/defnisi-psikologi-hukum-dan-pendapat.html.
Diakses tanggal 13 Maret 2017
16
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Hukum sebagai suatu aturan yang diderivasi (diturunkan) dari norma-norma yang
berkembang di masyarakat, pada dasarnya merupakan seperangkat kesepakatan-kesepakatan
yang telah dinegosiasikan antara anggota komunitas. Sebagaimana kehadirannya, hukum
dimaksudkan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia. Karena itu sifat hukum tidak
konstan, tidak tetap, dan tidak given.
ilmu hukum adalah karya manusia yang berusaha mencari kebenaran, tentang sesuatu
yang memiliki ciri-ciri, sistematis, logis, empiris, metodis, umum, dan akumulatif. Sebagai
ilmu pengetahuan ilmu hukum dengan ciri-cirinya berusaha mempelajari sistematika hukum
dan kaidah-kaidah, seperti rumusan kaidah, sebab terbentuknya dan sebagainya, sedemikian
rupa sehingga hukum dapat dipelajari dengan sebaik-baiknnya.
Disamping itu ada beberapa pembagian dari jenis ilmu hukum diantaranya jenis hukum
dogmatik dan jenis hukum empiris. Lalu juga ada jenis ilmu hukum lainnya yakni
perbandingan hukum, sosiologi hukum, sejarah hukum dan psikologi hukum.
B. Kritik dan Saran
Demikianlah Penyusunan makalah ini disusun, sebagai cacatan penutup bahwa kami
menyadari akan banyaknya kekurangan dan kelemahan pada makalah ini, karena itu kami
berharap agar ada kritik, saran atau masukan yang sifatnya membangun untuk perbaikan
makalah ini. Ucapan terimakasih kepada dosen pembimbing mata kuliah Logika dan
Penalaran Hukum serta teman-teman yang membantu dalam penyusunan makalah ini.
Terakhir adalah permohonan maaf jika sekiranya apa yang kami sajikan, terdapat
kekurangan dan kekeliruan didalamnya.
17