Hukum Keluarga Menurut BW atau KHUPerdat

Hukum Keluarga Menurut BW atau KHUPerdata

BAB II
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Hukum keluarga sebagai keseluruhan ketentuan yang mengenai
hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan
kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua,
perwalian, pengampunan, keadaan tak hadir). Kekeluargaan sedarah
adalah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa orang yang
mempunyai keluhuran yang sama. Kekeluargaan karena perkawinan
adalah pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara
seorang dengan keluarga sedarah dari istri (suaminya). Hukum keluarga
diatur dalam KUH Perdata Buku I BAB 4-18. Selain itu juga diatur dalam
UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (sebagai hukum khusus dari
KUH Perdata.
1.2 Penelitian terdahulu
Hukum keluarga dimulai pada abad ke – 19. Sebelumnya hukum orang
dan hukum keluarga ada di berbagai buku fkih. Seorang ahli hukum Islam
di Mesir yaitu, Muhammad Qudri Pasya, memisahkan hukum keluarga

menjadi suatu kajian yaitu, al-ahwal al-syakhsiyah dalam buku yang
berjudul al-ahkam al-Syariyyahf al-ahwal al-Syakhsiyyah (hukum syari’at/
agama dalam hal keluarga). Hukum keluarga ini meliputi hukum

perkawinan, perceraian, wasiat, ahliyyah (kecakapan bertindak hukum),
harta warisan dan hibah. Buku ini telah dijadikan sebagai bahan rujukan
hakim untuk memutuskan berbagai masalah pribadi dan keluarga di
pengadilan.
Penerapan hukum keluarga di Kerajaan Turki Usmani dimulai sejak
al-ahwal al-syakhshiyyah dikodifkasikan pada tahun 1917, yang diberi
nama Qanun Huquq al-A’ilah al-Usmaniy (undang-undang hak keluarga di
Turki Usmani). Hukum tersebut berlaku untuk seluruh wilayah kerajaan
Turki Usmani, kecuali Mesir yang diberi otonomi penuh pada tahun 1805
dan

memerdekakan

diri

dari


kekuasaan

Turki

pada

tahun

1873.

Keistimewaan Qanun Huquq al-A’ilah al-Usmaniy ini adalah bahwa hukum
yang terkandung di dalamnya tidak lagi terikat pada Mazhab Hanaf
(mazhab resmi Negara), tetapi merupakan gabungan dari pendapatpendapat terkuat dari 4 mazhab (Hanaf, Maliki, Syaf’iy dan Hambali).
Selain itu, dalam beberapa hal ditemukan beberapa perubahan yang
disesuaikan dengan perkembangan dan dinamika masyarakat.
Dalam perkembangan lebih lanjut, uraian al-ahwal al-syakhshiyyah
telah

lebih


sistematis

dan

lebih

mudah

dipahami,

karena

telah

diklasifkasikan dalam tiga bagian besar, yaitu:


Ketentuan hukum mengenai kedudukan seseorang di depan hukum,
yaitu tentang ahliyyah serta wewenang yang bisa dipikulnya. Di samping

itu, juga diuraikan hal-hal yang dapat menghilangkan ahliyyah itu sendiri.



Ketentuan hukum yang menyangkut tata cara berkeluarga.



Ketentuan hukum yang menyangkut harta bersama dalam hubungan
dengan masalah warisan.
Di

Indonesia,

persoalan

al-ahwal

al-syakhshiyyah


telah

dikodifkasikan melalui Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang ditetapkan
berdasarkan Inpres No. 1/1991 dan Kep. Menteri agama No. 154/1991
tentang Kompilasi Hukum Islam. Secara garis besarnya, KHI dibagi
menjadi tiga bagian (disebut dengan istilah Buku) yang mengatur tiga
persoalan utama, yaitu Buku I tentang perkawinan dan berbagai
aspeknya, Buku II tentang pembagian harta warisan, dan Buku III tentang
hukum perwakafan.

BAB II
RUMUSAN MASALAH
2.1 Rumusan Masalah
1. Bagaimana awal mula adanya hukum keluarga ?
2. Apa pengertian dari hukum keluarga ?
3. Darimana saja sumber hukum keluarga itu ?
4. Bagaimana ritual/ tradisi hukum keluarga yang berkembang dalam
hukum adat ?
2.2 Batasan Masalah
Karena cangkupan dari hukum keluarga ini cukup luas, kami

membatasi penulisan makalah kami ini pada pelaksanaan dan undang –
undang pada hukum keluarga modern dan hukum keluarga adat.
BAB III
LANDASAN TEORI DAN DATA
3.1 Kerangka Pemikiran
3.1.1 Pengertian Hukum Keluarga
Ali Afandi mengatakan bahwa hukum keluarga diartikan sebagai
“Keseluruhan

ketentuan

yang

mengatur

hubungan

hukum

yang


bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena
perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampuan,
keadaan tak hadir)”1[1]
Ada

dua

pokok

kajian

dalam

defnisi

hukum

keluarga


yang

dikemukakan oleh Ali Afandi, yaitu mengatur hubungan hukum yang
berkaitan (1) kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang
terdapat pada beberapa pada beberapa orang yang mempunyai leluhur
sama, dan (2) perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat karena
perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah dari istri (suami).

1

Tahir Mahmoud, sebagaimana yang dikutip oleh Harian Kompas,
tertanggal 12 Oktober 2000 mengartikan : “Hukum keluarga sebagai
prinsip-prinsip hukum yang diterapkan berdasarkan ketaatan beragama
berkaitan dengan hal-hal yang secara umum diyakini memiliki aspek
religius

menyangkut

peraturan


keluarga,

hubungan dalam keluarga, kewajiban

perkawinan,

perceraian,

dalam rumah tangga, warisan,

pemberian mas kawin, perwalian, dan lain-lain.”2[2]
Defnisi yang terakhir ini mengkaji dua hal, yaitu tentang prinsip hukum
dan ruang lingkupnya. Prinsip hukum berdasarkan ketaatan beragama.
Ruang lingkup kajian hukum keluarga meliputi peraturan keluarga,
kewajiban

dalam

rumah


tangga,

warisan,

pemberian

mas

kawin,

perwalian, dan lain – lain.
3.1.2

Sumber Hukum Keluarga

Sumber hukum keluarga dibedakan menjadi dua macam, yaitu
sumber hukum keluarga dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu : (1)
hukum keluarga tertulis, yaitu kaidah – kaidah hukum yang bersumber
dari UU, yurisprudensi, dan traktat. (2) hukum keluarga tidak tertulis,
yaitu kaidah – kaidah hukum keluarga yang timbul, tumbuh, dan

berkembang dalam kehidupan masyarakat (hukum adat). Sumber hukum
keluarga tertulis, dikemukakan berikut ini :
1. Kitab undang – undang hukum perdata (KUHPerdata)
2. Peraturan perkawinan campuran Stb. 1898 Nomor 158
3. Indonesia, Kristen, jawa, minahasa, dan Ambon, Stb. 1933 Nomor 74
4.

UU Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk
(beragama Islam)

5. UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
6.

PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan

7.

PP

Nomor 10 Tahun 1983, PP Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin

Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.

2

Dalam hukum keluarga tidak tertulis, hukum yang dianut adalah
hukum yang berada di kehidupan masyarakat sekitar daerah tempat
tinggalnya Menurut Soejono Soekanto mengatakan bahwa, hukum adat hakikatnya
merupakan hukum kebiasaan, namun kebiasaan yang mempunyai akhibat hukum (das sein
das sollen).3[3]
Syekh Jalaluddin4[4] menjelaskan bahwa hukum adat pertama-tama merupakan
persambungan tali antara dulu dengan kemudian, pada pihak adanya atau tiadanya yang
dilihat dari hal yang dilakukan berulang-ulang. Hukum adat tidak terletak pada peristiwa
tersebut melainkan pada apa yang tidak tertulis di belakang peristiwa tersebut, sedang yang
tidak tertulis itu adalah ketentuan keharusan yang berada di belakang fakta-fakta yang
menuntuk bertautnya suatu peristiwa dengan peristiwa lain.
Hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan warga masyarakat hukum
adat, terutama keputusan yang berwibawa dari kepala-kepala rakyat (kepala adat) yang
membantu

pelaksanaan-pelaksanaan

perbuatan-perbuatan

hukum,

atau

dalam

hal

pertentangan kepentingan keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa,
sepanjang keputusan-keputusan tersebut karena kesewenangan atau kurang pengertian tidak
bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan senafas dan seirama dengan
kesadaran tersebut, diterima, diakui atau setidaknya tidak-tidaknya ditoleransi.5[5]
Hukum adat yang berlaku tersebut hanya dapat diketahui dan dilihat dalam bentuk
keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (kekuasaan tidak terbatas pada dua kekuasaan
saja, eksekutif dan yudikatif) tersebut. Keputusan tersebut tidak hanya keputusan mengenai
suatu sengketa yang resmi tetapi juga diluar itu didasarkan pada musyawarah (kerukunan).
Keputusan ini diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam rohani dan
hidup kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan tersebut. Penegak hukum adat adalah
pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam
lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.
3.1.3 Bagian – Bagian dalam Hukum Keluarga
Hukum Keluarga juga dapat merujuk pada kontrak pernikahan dalam
iman Islam, yang meliputi penyisihan laki-laki untuk menikahi hingga
3
4
5

empat istri, dalam keadaan tertentu. Hukum kekeluargaan mengatur
tentang :
1. Keturunan
2. Kekuasaan orang tua
3. Perwalian
4. Pendewasaan
5. Pengampuan
6. Orang hilang
Hukum keluarga memuat rangkaian peraturan hukum yang timbul dari pergaulan
hidup kekeluargaan. Yang termasuk dalam hukum keluarga antara lain :
1. Keturunan (KUHPerdata 42 sampai 44). Anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Hal ini
menjelaskan bahwa anak yang dilahirkan diluar perkawinan tidak sah
adalah anak yang tidak sah. Pasal 55 dijelaskan bahwa asal usul seorang
anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang otentik yang
dikeluarkan oleh penjabat berwenang.
2.

Kekuasaan orang tua (KUHPerdata 45 dan seterusnya). Setiap anak wajib hormat dan
patuh kepada orang tuanya, sebaliknya orang tua wajib memelihara dan memberi bimbingan
anak-anaknya yang belum cukup umur (belum 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin)
sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Kekuasaan orang tua berhenti apabila:

a.

Anak tersebut telah dewasa (sudah 21 tahun).

b. Perkawinan orang tua putus.
c.

Kekuasaan orang tua dipecat oleh hakim, misalnya karena pendidikannya buruk sekali.

d. Kelakuan si anak luar biasa nakalnya hingga orang tuanya tidak berdaya lagi.
3. Perwalian. Anak yatim piatu atau anak yang belum cukup umur dan tidak dalam kekuasaan
orang tua memerlukan pemeliharaan dan bimbingan, karena itu harus ditunjuk wali yaitu
orang atau perkumpulan yang akan menyelenggarakan keperluan hidup anak tersebut. Pasal
51 menyatakan bahwa :
a.

Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua sebelum ia
meninggal dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan dua orang saksi.

b. Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak atau orang lain yang telah dewasa, berfikir
sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik.
c.

Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta bendanya sebaikbaiknya dengan menghormatinya agama dan kepercayaan anak itu.

d.

Wali wajib membuat daftar harta benda yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu
memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan harta benda anak itu.

e.

Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta
kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.

4.

Pengampuan. Orang yang sudah dewasa akan tetapi sakit ingatan, pemboros, lemah daya,
atau tidak sanggup mengurus kepentingan sendiri dengan semestinya, disebabkan kelakuan
burukdi luar batas atau mengganggu keamanan, memerlukan pengampunan. Oleh sebab itu,
dibutuhkan Kurator; biasanya suami jadi pengampun atas istrinya atau sebaliknya, akan tetapi
mungkin juga Hakim mengangkat orang lain atau perkumpulan sedangkan sebagai Pengampu
Pengawas ialah Balai Harta Peninggalan.
Satu bagian yang amat penting di dalam Hukum Kekeluargaan adalah Hukum
Perkawinan. Hukum Perkawinan ialah peraturan hukum yang mengatur perbuatan hukum
serta akibat-akibatnya antara dua pihak, yaitu seorang laki-laki dan seorang wanita
dengan maksud hidup bersama untuk waktu yang lama menurut peraturan yang ditetapkan
dalam undang-undang. Kebanyakan isi peraturan mengenai pergaulan hidup suami dan istri
diatur dalam norma keagamaan, kesusilaan atau kesopanan. Hukum Perkawinan di bagi
dalam dua bagian :

a.

Hukum perkawinan
Hukum perkawinan adalah keseluruhan peraturan – peraturan yang berhubungan
dengan suatu perkawinan. Ketentuan secara rinci terdapat pada Undang – undang Nomor 1
tahun 1974 yang dilaksankan oleh Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, yang mengatur
perkawinan, akibat perkawinan dan perkawinan campuran

b. Hukum kekayaan
Hukum Kekayaan dalam Perkawinan adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang
berhubungan dengan harta kekayaan suami dan istri di dalam perkawinan.
Didalam kita mempelajari Hukum Perkawinan ini ada beberapa asas yang harus
diperhatikan, yaitu:

I.

Perkawinan didasarkan pada asas monogami (pasal 27 BW). Penegasan ini tercantum

pada dalam pasal 27 BW yang berbunyi : Dalam waktu yang sama seorang lelaki hanya boleh
mempunyai seorang istri, dan seorang perempuan hanya seorang suami.
II.

Undang–undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungannya perdata (pasal

26 BW). Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan di muka petugas Kantor
Pencatatan Sipil. Perkawinan adalah suatu persetujuan antara seorang lelaki dan seorang
perempuan di dalam bidang hukum keluarga.
III.

Menurut pasal 28 asas perkawinan menghendaki adanya kebebasan kata sepakat antara
kedua calon suami istri. Dengan demikian jelaslah kalau perkawinan itu adalah suatu
persetujuan. Tapi persetujuan ini berbeda dengan persetujuan sebagai yang termuat di dalam
Buku III.

IV.

Perkawinan supaya dianggap sah, harus memenuhi syarat-syarat yang dikehendaki oleh

undang-undang.
4.1 Perbandingan Teori
Dalam bab ini kami akan menguraikan perbandingan teori antara
aturan hukum keluarga tertulis, (seperti yang tertulis dalam KUHPerdata)
dan aturan hukum keluarga yang tidak tertulis (seperti hukum adat yang
ada pada masyarakat).

Perbandin

Hukum Keluarga Tertulis

gan

(KUHPerdata)

Hukum Keluarga Tidak
Tertulis

Kedudukan

(Hukum Adat)
UU No. 1 Tahun 1974 dalam Menurut hukum adat, anak

anak

pasal 42-43 bahwa anak yang kandung yang sah adalah
sah adalah anak yang dilahirkan anak yang dilahirkan dari
dalam

atau

sebagai

akibat perkawinan

perkawinan yang sah.
Pasal

55

seorang

bahwa
anak

dibuktikan
kelahiran

asal

dengan
otentik,

usul mungkin
dapat perkawinan

terjadi
itu

setelah

akte ibunya hamil lebih dulu.
yang

dikeluarkan oleh penjabat yang
berwenang.

dan

ibunya yang sah, walaupun

hanya

yang

ayah

UU No. 1 Tahun 1974 dalam Dalam

hukum

pasal 47 (1) bahwa anak yang lembaga
belum

pernah

pernikahan

adat

perwalian

itu

melangsungkan pada dasarnya tidak ada

ada

di

bawah dan

kekuasaan orang tuanya

semua

anak

yang

belum pernah menikah dan

Pasal 50 (1) yang tidak berada di dapat berdiri sendiri tetap
bawah

kekuasaan

orang

tua berada

berada di bawah kekuasaan wali

di

bawah

kekuasaan orang tua dan
kerabat

yang

struktur

kemasyarakatan

adatnya

masing – masing.
Pasal 49 bahwa salah satu atau Dalam hukum adat tidak
kedua orang tua dapat dicabut mengenal

hukum

kekuasaannya terhadap seorang pencabutan kekuasaan ini.
anak untuk waktu tertentu atas
permintaan
Kedudukan
orang tua

orang

saudara

kandung

dewasa

dengan

tua,

atau

yang

telah

keputusan

pengadilan dalam hal melalaikan
kewajibannya

terhadap

anak,

atau berkelakuan buruk.
Dalam pasal 47 ayat (2) orang Menurut hukum adat, yang
tua

mewakili

segala

anak

perbuatan

mengenai mewakili
hukum

adalah

di disesuaikan

dengan

dalam dan di luar pengadilan
susunan kekerabatannya.
Dalam bab XIV mengatur dasar Dalam hukum adat hanya
perkawinan, syarat, pencegahan, mengatur
batalnya,
Perkawinan

perjanjian,

kewajiban,
ketentuan
perkawinan.

harta
lain

hak

benda,

cara

dan peminangan,
dan upacara

perkawinan

dalam ketentuan
ruang

upacaralain

lingkup

perkawinan adat.

dan

dalam
hukum

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Hukum keluarga dimulai pada abad ke – 19. Sebelumnya hukum orang
dan hukum keluarga ada di berbagai buku fkih. Penerapan hukum
keluarga di Kerajaan Turki Usmani dimulai sejak al-ahwal al-syakhshiyyah
dikodifkasikan pada tahun 1917, yang diberi nama Qanun Huquq al-A’ilah
al-Usmaniy (undang-undang hak keluarga di Turki Usmani). Hukum
tersebut berlaku untuk seluruh wilayah kerajaan Turki Usmani, kecuali
Mesir yang diberi otonomi penuh pada tahun 1805 dan memerdekakan
diri dari kekuasaan Turki pada tahun 1873. Keistimewaan Qanun Huquq
al-A’ilah al-Usmaniy ini adalah bahwa hukum yang terkandung di
dalamnya tidak lagi terikat pada Mazhab Hanaf (mazhab resmi Negara),
tetapi merupakan gabungan dari pendapat-pendapat terkuat dari 4
mazhab (Hanaf, Maliki, Syaf’iy dan Hambali). Selain itu, dalam beberapa
hal

ditemukan

beberapa

perubahan

yang

disesuaikan

dengan

perkembangan dan dinamika masyarakat.
Di Indonesia, persoalan al-ahwal al-syakhshiyyah telah dikodifkasikan
melalui Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang ditetapkan berdasarkan Inpres
No. 1/1991 dan Kep. Menteri agama No. 154/1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam. Secara garis besarnya, KHI dibagi menjadi tiga bagian
(disebut dengan istilah Buku) yang mengatur tiga persoalan utama, yaitu
Buku I tentang perkawinan dan berbagai aspeknya, Buku II tentang
pembagian harta warisan, dan Buku III tentang hukum perwakafan.
2. Ali Afandi mengatakan bahwa hukum keluarga diartikan sebagai
“Keseluruhan

ketentuan

yang

mengatur

hubungan

hukum

yang

bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena
perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampuan,
keadaan tak hadir)” Ada dua pokok kajian dalam defnisi hukum keluarga
yang dikemukakan oleh Ali Afandi, yaitu mengatur hubungan hukum
yang berkaitan (1) kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang
terdapat pada beberapa pada beberapa orang yang mempunyai leluhur

sama, dan (2) perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat karena
perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah dari istri (suami).
3. Sumber hukum keluarga diperoleh dari : (1) hukum keluarga tertulis, yaitu
kaidah – kaidah hukum yang bersumber dari UU, yurisprudensi, dan
traktat. (2) hukum keluarga tidak tertulis, yaitu kaidah – kaidah hukum
keluarga yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan
masyarakat (hukum adat)
4. Hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan warga masyarakat hukum adat,
terutama keputusan yang berwibawa dari kepala-kepala rakyat (kepala adat) yang membantu
pelaksanaan-pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum, atau dalam hal pertentangan
kepentingan keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusankeputusan tersebut karena kesewenangan atau kurang pengertian tidak bertentangan dengan
keyakinan hukum rakyat, melainkan senafas dan seirama dengan kesadaran tersebut,
diterima, diakui atau setidaknya tidak-tidaknya ditoleransi.
Hukum adat yang berlaku tersebut hanya dapat diketahui dan dilihat dalam bentuk keputusankeputusan para fungsionaris hukum (kekuasaan tidak terbatas pada dua kekuasaan saja,
eksekutif dan yudikatif) tersebut. Keputusan tersebut tidak hanya keputusan mengenai suatu
sengketa yang resmi tetapi juga diluar itu didasarkan pada musyawarah (kerukunan).
Keputusan ini diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam rohani dan
hidup kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan tersebut. Penegak hukum adat adalah
pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam
lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.

DAFTAR PUSTAKA
Djamali, Abdoel R. 1984.

Pengantar hukum Indonesia.

Jakarta : PT Grafindo

Persada.
Djamali, Abdoel R. 1993.

Pengantar hukum Indonesia. Jakarta : PT Grafindo

Persada.
Djamali, Abdoel R. 2008. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT.
Grafndo Indonesia.

Halim, A Ridwan. 2007. Pengantar Hukum Indonesia dalam Tanya
Jawab jilid 1. Bogor: Ghalia Indonesia.
Hadikusuma, Hilman. 1992. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia.
Bandung: Mandar Maju
Sudiyat, Imam. 1981. Hukum Adat Sketsa Asas. Yogyakarta: Liberty
Suhardana, F.X. 2001. Hukum Perdata I. Jakarta: PT Grafndo
Pustaka.
Wulandari, Dewi. 2012. Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar.
Bandung : Refka Aditama
http://makalahpendidikandanhukum.blogspot.com/2010/11/hukumkeluarga.html