Standar berkeadilan untuk Buruh Sawit

Buruh Sawit Membutuhkan Standar Sosial Berkeadilan
Oleh: Saurlin Siagian
Buruh di perkebunan sawit ibarat tiang utama penyangga keberlanjutan proses
industrialisasi komoditi unggulan Indonesia ini. Tetapi, dalam rantai industri ini,
buruh adalah pihak yang paling tidak mendapat tempat, baik di level domestik,
maupun di level para pemangku lintas negara. Satu setengah juta jiwa buruh di kebun
skala besar milik swasta dan pemerintah di Indonesia, tidak jelas hak-hak
normatifnya.
Buruh butuh perlakuan khusus
Perkebunan sawit berada puluhan kilometer dari jangkauan akses akses publik.
Kekhususan karakter pekerjaan diperkebunan sawit, seperti pekerjaan beresiko tinggi,
jauh dari pemantauan publik, sulitnya akses informasi, pendidikan, dan kesehatan ke
pedalaman-pedalaman dimana perkebunan perkebunan menempatkan pekerjanya,
membuat perlunya sistem khusus yang menjamin buruh memperoleh hak hak
dasarnya.
Belum ada pihak yang peduli dengan kebutuhan khusus yang dibutuhkan oleh buruh
perkebunan ini. Di level nasional, belum ada pembicaraan publik, apalagi kebijakan
khusus untuk mengakomodasi kepentingan khusus buruh perkebunan ini. Institusi
inisiatif swasta semacam BKS-PPS (Badan Kerjasama Perusahaan Perkebunan
Sumatera), juga belum berkeadilan dalam menetapkan upah, yang di beberapa
kabupaten, justru lebih rendah dari upah yang ditetapkan pemerintah.

Sementara inisiatif di level multi pihak lintas negara semacam RSPO (Roundtable on
Sustainable Palm Oil), tidak ada arah pembicaraan mengenai buruh perkebunan sawit,
hingga pertemuannya yang ke 9, yang telah berakhir kemarin, Nopember 2011, di
Sabah Malaysia. Sangat disayangkan, pertemuan multi pihak yang mengaku
mempertemukan semua stakeholder sawit ini, justri melupakan buruh, tiang utama
dari rantai industri itu sendiri.
Praktek Perburuhan
Akhir bulan Nopember 2011 diramaikan dengan berita diberbagai media tentang
praktek buruh anak di perkebunan sawit skala besar di Indonesia. Berita ini berawal
dari publikasi hasil riset beberapa lembaga non pemerintah di Indonesia, seperti
Kelompok Pelita Sejahtera, Lentera Rakyat, dan Sawit Watch, yang menunjukkan
berbagai temuan miris tentang system perburuhan di perkebunan sawit. Utamanya,
temuan itu menyampaikan bahwa ada upaya sistematis pengaburan status buruh, yang
berdampak buruh perkebunan tidak punya daya tawar dalam mengakses hak-hak
normatifnya sebagai buruh.
Pernyataan GAPKI (Jakarta Post,26 Nopember 2011), bahwa secara legal tidak ada
buruh anak di perkebunan sawit tidak keliru sama sekali. Penelitian yang berjudul
“Berjuta-juta dari Kebon Sawit” itu juga tidak menyebutkan ada legalitas buruh anak

1


di perkebunan sawit. Bahkan, penelitian yang sama menyebutkan, bukan hanya anakanak dan perempuan, tetapi buruh harian lepas, hingga karyawan tetap yang dikenal
sebagai SKU, ditemukan tidak memiliki administrasi yang jelas-legalitasnya- di
perkebunan PSB. Oleh karena itu, akar persoalannya adalah ketidak-jelasan hubungan
kerja yang diciptakan sedemikian rupa, sehingga buruh tidak bisa mengakses haknya.
Jika anda menanyakan kepada seorang karyawan tetap, apa yang membuktikan anda
sebagai karyawan tetap diperkebunan ini? Dia akan bingung, karena tidak memiliki
bukti apa-apa, kecuali slip gaji setiap bulan. Tetapi, faktual, dia bekerja sehari-hari di
perkebunan, dan disebut sebagai karyawan tetap. Selain itu, orang-orang sekitarnya,
termasuk mandor, menyebut dia-tentunya dengan lisan- bahwa dia seorang karyawan
tetap.
Akhirnya, bargaining posisi buruh menjadi sangat lemah. Sedikit protes, bisa berbuah
di mutasi, atau bahkan di PHK, seperti yang terjadi kepada 8 orang karyawan tetap
PTPN III di kebun Marbo Selatan, Labuhan Batu, pada bulan Februari –Maret 2011
yang lalu. Perjanjian kerja antara buruh dan pengusaha merupakan sebuah pra-syarat
utama bagi seorang buruh untuk bisa mengakses haknya.
Sekali lagi, persoalannya, adalah soal apa yang yang dimaksud dengan buruh atau
pekerja. Jika yang dimaksud dengan buruh adalah orang orang yang terdaftar
diperkebunan sawit , pernyataan GAPKI diatas benar, tetapi jika buruh adalah orang
orang yang bekerja (faktual) setiap hari kerja di perkebunan sawit, baik tercatat

maupun tidak tercatat, maka GAPKI keliru. Buruh atau pekerja menurut Undang
Undang ketenagakerjaan, No 13 tahun 2003, pasal 1 ayat 3, dinyatakan bahwa buruh
adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk
lain.
Jumlah buruh di perkebunan BUMN dan Swasta Skala Besar, atau dalam riset itu
disebut sebagai PSB, sulit didapatkan secara persis. Jumlah pekerja di perkebunan
BUMN atau PTPN lebih banyak dari jumlah pekerja di perkebunan swasta.
Dari segi luas, di perkebunan skala besar, satu estate ( di beberapa tempat di sebut
“divisi”) terdiri dari 600 hektar hingga 1000 hektar, dengan pekerja SKU dan BHL
sebanyak 250 hingga 300 orang, belum termasuk kernet. Jika luas perkebunan PSB
(PTPN dan Swasta) secara nasional seluas 4 juta hektar, maka dapat diperkirakan
jumlah pekerja SKU dan BHL adalah sebanyak 1,2 juta orang, belum termasuk
kernet. Setiap buruh, diperkirakan memiliki setidaknya satu orang kernet, sehingga
jumlah total jumlah minimal buruh di PSB adalah sebanyak 2, 4 juta orang di seluruh
Indonesia.
Pekerja anak terdapat dalam klasifikasi BHL dan kernet yang tidak terdokumentasi di
perkebunan PSB. Jika hanya 50 persen saja dari kernet terdiri dari anak-anak, maka
jumlah buruh anak secara nasional minimal sebanyak 600.000 orang. Jika dihitung
seluruh perkebunan sawit baik PSB maupun non korporasi dan petani, maka pekerja
anak akan mencapai angka jutaan orang.

Buruh Tidak dilibatkan

2

General Assembly ke sembilan RSPO Borneo yang berlangsung akhir Nopember 2011
ini telah berakhir. Memprihatinkan, karena tidak ada pembicaraan mengenai nasib dan
situasi buruh perkebunan sawit, apalagi pelibatan mereka dalam membicarakan masa
depan dan keberlanjutan industri ini secara global. Buruh selayaknya terlibat dalam
membicarakan masa depan mereka sendiri, di organisasi RSPO yang mengklaim
representasi stakeholder rantai industri sawit.
Pertemuan menghabiskan waktu membicarakan penyerapan minyak sawit
bersertifikasi yang tidak maksimal di Eropah, serta melihat kemungkinan penjualan
sawit bersertifikasi di Cina dan India, dua negara konsumen terbesar sawit di dunia.
Industri sawit mengeluhkan, dari 1 juta ton sawit bersertifikasi, ternyata Eropah hanya
mampu menyerap setengahnya dengan harga premium. Sisanya, tetap dengan harga
normal.
Pasca rampungnya pembicaraan mengenai pemilik sawit skala kecil-non korporasi-,
seyogyanya pembicaraan mengarah pada pelibatan buruh, sebagai aktor dan tiang
penyangga keberlangsungan industri sawit. RSPO telah merampungkan capaian
penting mengenai petani skala kecil, seperti proses sertifikasi gratis.

Publik menunggu adanya arah baru wacana dan kebijakan kepada buruh perkebunan
sawit, baik di level domestic, maupun internasional. Para pengambil keputusan
penting memulai gagasan untuk dibangunnya sebuah guideline, kerangka kerja
tentang standard-standar buruh yang ideal dan berkeadilan di perkebunan sawit.
Saurlin Siagian/Peneliti, Sekretaris Lembaga Penelitian, Universitas Darma Agung,
tinggal di Medan. Penulis dapat dihubungi via [email protected]

3