HARMONISASI HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAY

HARMONISASI HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
Arditya Wicaksono
Abstrak
Pengelolaan tanah dan sumber daya alam di Indonesia terkendala regulasi yang
tidak sinkron dan konsisten. Administrasi pengelolaannya terkendala lembaga yang
beragam sehingga tidak efisien. Tulisan ini merupakan kajian hukum empiris
dimana banyak fakta lapangan yang saling berbenturan sehingga kedepan perlu
integrasi lembaga sebagaimana perbandingan di Negara lain dan kajian konflik
norma untuk mengurai persoalan sumber daya alam yang lebih tepat.
Kata Kunci : Tanah, Sumber Daya Alam, Inkonsisten Aturan
Abstract
Land Management and natural resources in Indonesia is burdened regulation that
is is not synchronized and consistency. administration of Its the management is
burdened by immeasurable institute so that inefficient. This article is empirical
law study where many field facts that is is each other impinges so that to the fore
need to integrate institute as comparison in other Negara and norm conflict study
to decompose problem of natural resources which more accurate.
Keyword : land, Natural resources, disharmony law
Latar Belakang
Tanah merupakan sumber daya alam (SDA) yang penting bagi negara dan menguasai hajat
orang banyak karena berkaitan dengan kemaslahatan umum (public utilities) dan pelayanan umum

(public services), harus dikuasai negara dan dijalankan oleh pemerintah. Sebab sumber daya alam
tersebut harus dapat dinikmati oleh rakyat secara berkeadilan, keterjangkauan, dalam suasana
kemakmuran dan kesejahteraan umum yang adil dan merata 1; oleh karena itu sudah sewajarnya
mengelola tanah untuk kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Selain itu, tanah merupakan sumber daya alam baik hayati maupun non hayati merupakan unsur
lingkungan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Pentingnya sumber
daya alam secara eksplisit disebutkan dalam Pasal di atas. Pasal ini mengamanatkan bahwa
pemanfaatan sumber daya alam harus ditujukan untuk kepentingan rakyat banyak. Politik hukum
pertanahan tidak lain adalah kewenangan atau kekuasaan untuk mengatur peruntukkan,
penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan unsur-unsur agraria yang meliputi: bumi, air dan
ruang angkasa (dalam batas-batas tertentu) yang dituangkan dalam kebijakan (policy) yang
dalam kenyataannya tertuang pada kaidah-kaidah hukum agraria2.
Amanat konstitusi di bidang pertanahan menuntut agar politik dan kebijakan pertanahan
dapat memberikan kontribusi nyata dalam proses mewujudkan “keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia” (sila kelima Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945) dan mewujudkan
“sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” (Pasal 33 ayat (3) UUD 1945). Nilai-nilai dasar ini
mensyaratkan dipenuhinya hak rakyat untuk dapat mengakses berbagai sumber kemakmuran,
terutama tanah. Tanah adalah sesuatu yang sangat vital bagi sebagian besar rakyat Indonesia
1 Pan Mohamad Faiz, Penafsiran Konsep Penguasaan Negara Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 dan
Putusan MK, (http://www.jurnalhukum.blogspot.com), tanggal 22 September 2012).

2 Muchsin, Imam Koeswahyono dan Soimin, Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah hal 12

yang susunan masyarakat dan perekonomiannya bercorak agraris. Tanah adalah kehidupan.
Dengan terbukanya akses rakyat kepada tanah dan dengan kuatnya hak rakyat atas tanah, maka
kesempatan rakyat untuk memperbaiki sendiri, kesejahteraan sosial-ekonominya akan semakin
besar, martabat sosialnya akan meningkat. Hak-hak dasarnya akan terpenuhi. Rasa keadilan
rakyat sebagai warga negara akan tercukupi. Harmoni sosial akan tercipta. Kesemuanya ini akan
menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Uraian
di atas menunjukkan bahwa Indonesia menggunakan konsep negara kesejahteraan karena tujuan
negara adalah untuk kesejahteraan umum; dan negara dipandang hanya merupakan alat untuk
mencapai tujuan bersama kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Pemerintah
dalam negara kesejahteraan diberi tugas membangun kesejahteraan umum dalam berbagai
lapangan (bestuurzorg) dengan konsekuensi pemberian kemerdekaan kepada administrasi negara
dalam perjalanannya. Tugas pemerintah bukan hanya lagi sebagai penjaga malam
(nachtwakkersstaat) dan tidak boleh berdiam diri secara pasif, tetapi harus turut serta secara aktif
dalam kegiatan masyarakat sehingga kesejahteraan bagi semua orang dapat lebih terjamin.
Joyowinoto menebutkan di BPN dan instansi pemerintah lainna terkait pertanahan
terdapat 538 produk hukum duabelas diantaranya berupa undang-undang dari semua itu tidak ada
ang taat asas keadilan sosial, kedua antara undang-undang yang terkait dengan pertanahan
tersebut saling overlap, dan tidak harmonis. Kondisi inilah ang disebut dengan Jungle of

Regulation3
Berkaca pada pandangan tersebut hendaknya sinergitas aturan mutlak diperlukan sebab
bagaimanapun pengelolaan Negara pasti memerlukan sumber daya yang melimpah dimana tanah
merupakan salah satu potensi sayang dalam pengelolaan tanah di Indonesia seluas 190 juta
hektar4 tidak lah mampu optimal apabila kita masih terkotak-kotak dan tanpa koordinasi. Sayang
sampai sekarang produk hukum yang ada tidak memasukkan UUPA sebagai pandangan untuk
sinergi justru investasi Negara ang ada sekarang justru membuat kita tidak bisa bergerak sejalan
dan padu serasi akibat undang-undang sektoral yang bertentangan satu sama lain.
Budi Mulyanto5 dalam orasinya pengukuhan guru besarnya mengurai bahwa posisi tanah
sebagai matrik dasar sistem penyangga kehidupan belum sepenuhnya dipahami khalayak,
termasuk para mahasiswa. Pemahaman yang diajarkan di ilmu tanah selama ini hanya aspek
teknis semata, tapi kurang dari sisi pembahasan aspek-aspek lainnya. Dimensi tanah itu bukan
hanya fisik, tetapi beragam dimensi kehidupan semuanya berhubungan dengan tanah. Untuk itu
menurutnya perlu pemahaman ilmu tanah.
Lebih lanjut Budi Mulyanto menyebutkan Peningkatan jumlah penduduk di bumi ini
menyebabkan peningkatan tekanan pada tanah. Kehidupan di permukaan bumi tidak saja
membutuhkan pangan dan energi, tetapi juga memerlukan tapak untuk bermukim serta
infrastruktur bagi kegiatannya. Peningkatan jumlah penduduk ini menyebabkan kelangkaan
tanah (land scarcity) yang makin hari semakin nyata oleh karena luas bumi ini relatif tetap.
Kondisi ini menyebabkan intensitas dan frekuensi permasalahan yang berhubungan dengan tanah

makin meningkat seperti masalah kemiskinan, pengangguran, ketimpangan penguasaan dan
penggunaan tanah, kerusakan lingkungan, kelangkaan pangan dan energi, serta sengketa dan
konflik pertanahan6.
3Joyowinoto, Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat, forum Dewan Guru Besar Universitas
Indonesia. 2010. Jakarta. Hal 20-21
4 Rencana Strategis BPN 2010-2014
5 Orasi Guru Besar Prof. Budi Mulanto Pengembangan Ilmu Tanah Untuk Mewujudkan Tanah Untuk
Keadilan Dan Kesejahteraan Rakyat’2010
6 Prof. Budi Mulanto, ibid.

Mengingat hubungan antara tanah dengan kehidupan adalah multi facet maka
pengembangan Lembaga Pertanahan perlu diarahkan pada pengembangan perspektif bersifat
multi-dimensi dan holistik sebagai matrik dasar sistem penyangga kehidupan. Pengembangan
lembaga pertanahan yang demikian sangat diperlukan untuk penataan kembali hubungan antara
tanah dengan kehidupan, terutama penataan penguasaan dan penggunaan tanah untuk
menguatkan Reforma Agraria dalam upaya mewujudkan tanah untuk keadilan dan kesejahteraan
rakyat.
Bertitik tolak pada persoalan diatas maka rumusan masalah pada tulisan ini adalah
1. Apakah undang-undang pengelolaan Sumber daya alam telah sesuai dengan prinsipprinsip Negara hukum?
Pembahasan

TAP MPR No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam, 9 November 2001 Pasal 7 menetapkan: “Menugaskan kepada Presiden Republik
Indonesia untuk segera melaksanakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan melaporkan pelaksanaannya pada
Sidang Tahunan Majelis Permusyawara- tan Rakyat Republik Indonesia”.
Di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 diberi tafsiran yang longgar berkenaan dengan
konsep "hak menguasai negara" dan "sebesar-besamya kemakmuran rakyat", yang dalam
operasionalisasinya diwujudkan dalam berbagai undang-undang organik (UUPA, undang-undang
kehutanan, undang-undang pertambangan dan lain-lain)7. Ketidaksinkronan antara berbagai
undang-undang yang mengatur sumber daya agraria/sumber daya alam, walaupun sama-sama
berpijak pada pasal di atas, namun karena egoisme sektoral yang begitu tinggi, masing-masing
sektor merasa paling berkompeten mengatur tentang sumber daya alam. Walaupun disadari
bahwa segenap unsur sumber daya agraria/sumber daya alam merupakan satu ekosistem, tetapi
kesadaran masing-masing sektor hanya mengatur fungsi tertentu dari pengelolaan sumber daya
agraria/sumber daya alam sulit diwujudkan. Berbagai peraturan perundang-undangan di bidang
sumber agraria/sumber daya alam yang tidak konsisten antara satu dan lainnya makin diperparah
oleh inkonsistensi antara peraturan dan implementasinya. Unifikasi hukum yang diupayakan
melalui berbagai peraturan perundang-undangan ternyata tidak mampu mengakomodasi
keaneka- ragaman hukum yang masih berlaku di masyarakat.
Pertanahan merupakan subsistem dari sumber daya agraria dan sumber daya alam.

Diantara keduanya terdapat hubungan yang sangat erat, baik dalam kaitan hubungan
subsistemnya maupun dalam kaitan hubungannya dengan manusia/ masyarakat dan negara;
namun demikian, disisi lain peraturan perundang-undangan di bidang sumber daya agraria dan
sumber daya alam termasuk pertanahan belum terpadu bahkan dalam beberapa hal bertentangan.
Keadaan ini sering menimbulkan konflik penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah8. TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 Pasal 5 ayat (1) huruf a, menetapkan pengkajian ulang
terhadap semua peraturan yang berkenaan dengan pengelolaan sumber daya agraria dan sumber
daya alam termasuk pertanahan. Tujuannya agar terdapat sinkronisasi kebijakan antar sektor
pembangunan dalam rangka prinsip-prinsip tersebut di atas.

7 Maria S.W. Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Buku Kompas,
Jakarta, 2008. Hal 90
8 Murad, Rusmadi, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Alumni, Bandung, 1991. Hal 83

Pemenuhan pemberian perlindungan hukum dalam suatu peraturan perundang-undangan
merupakan sasaran yang akan dicapai dengan adanya kepastian hukum. Kepastian hukum akan
tercapai apabila sesuatu peraturan dirumuskan secara jelas dan dapat menjadi pedoman untuk
pelaksanaannya; dan peraturan yang ada dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten sehingga
tidak menimbulkan penafsiran yang beragam9. Disamping itu kepastian hukum akan tercapai
apabila peraturan yang diterbitkan memenuhi persyaratan formal berkenaan dengan bentuk

pengaturan sesuai tata urutan peraturan perundang-undangan, dan materi yang diatur secara
substansial tidak tumpang tindih atau bahkan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi
tingkatannya. (dis-sinkronisasi secara vertikal), ataupun bertentangan dengan peraturan lain yang
sejajar tingkatannya (disinkronisasi secara horisontal).
Menurut Fuller, ada 8 (delapan) nilai-nilai yang harus diwujudkan oleh hukum.
Kedelapan nilai-nilai tersebut dinamakan "delapan prinsip legalitas" yaitu:
a. Harus ada peraturan-peraturan terlebih dahulu; bahwa tidak ada tempat bagi keputusankeputusan secara ad-hoc, atau tindakan-tindakan yang bersifat arbitrer;
b. Peraturan-peraturan itu harus diumumkan secara layak;
c. Peraturan-peraturan itu tidak boleh berlaku surut;
d. Perumusan peraturan-peraturan itu harus jelas dan terperinci, ia harus dapat dimengerti
oleh rakyat;
e. Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin;
f. Sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain;
g. Peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubah-ubah,
h. Harus terdapat kesesuaian antara tindakan-tindakan para pejabat hukum dan peraturanperaturan yang telah dibuat10.
Ketidaksinkronan pengaturan menimbulkan konflik kewenangan maupun konflik
kepentingan. Seringkali hukum pertanahan kurang dapat diterapkan secara konsisten; keadaan ini
berpengaruh terhadap kualitas jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukumnya. Di
tengah-tengah era reformasi terlihat kurang adanya harmonisasi dalam rangka mewujudkan
tuntutan reformasi, yaitu: supremasi hukum, keterbukaan dan keberpihakan pada kepentingan

rakyat. Ketiga hal ini, tampaknya supremasi hukum kurang memperoleh perhatian yang
seimbang dari segenap elemen bangsa. Hal ini terlihat dari seringnya penyelesaian masalah yang
lebih menekankan pada power based baik melalui people-power, pengerahan masa dan
sebagainya dari pada menggunakan rights-based yang menekankan pada aspek legalitas yuridis.
Hukum dibentuk untuk kepentingan masyarakat.Eksistensi hukum dimaksudkan untuk
menciptakan keadilan, memberikan manfaat bagi masyarakat, serta memberi jaminan kepastian
hukum. Penegakan Hukum yang Belum Dapat Dilaksanakan Secara Konsekuen Penegakan
hukum menjadi bagian penting untuk memberikan jaminan kepastian hukum. Faktor-faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum, yaitu11:
a. hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada undang-undang saja;
b. penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum;
c. sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
d. masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;
e. kebudayaan, yakni hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di
dalam pergaulan hidup.
9 Irawan Soerodjo, , 2003 Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola, Surabaya. hlm. 40.
10 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1980, hlm. 78.
11 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Penerbit RajaGrafindo
Persada, Jakarta 1993, hlm. 5.


Beranjak dari uraian di atas, terlihat bahwa dari faktor perangkat pemerintah terlihat
kurang tegas dalam mengurai benang kusut pengelolaan sumber daya alam baik itu tanah, hutan
dan tambang sehingga semakin larut dan justru semakin membuat kekayaan alam menjadi
sumber kesejahteraan masyarakat akan tetapi kekayaan milik sebagian kecil orang untuk di
eksploitasi
Disharmoni Arah Kebijakan Pemerintah
Anekdot ganti pemerintahan ganti kebijakan sebetulnya bukan masalah sebab era nya
memang terjadi seperti itu yang muncul kepermukaan adalah apabila Negara ini dijalankan
dengan melanggar konstitusi dimana prinsip-prinsip Negara hukum, dan inkonsistensi dalam
menjalankan peraturan perundang-undangan membuat persoalan SDA semakin terpuruk. alam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara mengenai aturan-aturan atau norma-norma tertentu yang
sejiwa dengan asas dan nilai yang menjadi sumber norma-norma tersebut. Norma-norma atau
aturan-aturan tersebut berkembang menjadi sistem hukum, meliputi hukum yang tertulis dan
hukum yang tidak tertulis. Sistem hukum nasional menganut asas, nilai-nilai yang bersumber
pada pandangan hidup bangsa Indonesia dan merasakannya sebagai sistem hukum,yang selaras
dan serasi dengan perasaan keadilan (sense of justice) dan cita hukum (rechtsidee), serta selaras
dan serasi dengan anggapan dan pandangan masyarakat mengenai keadilan 12. Harmonisasi atau
keselarasan dalam hukum di mulai dari konsep hukum sebagai sistem. Dalam hal ini, sistem di
definisikan sebagai seperangkat unsur yang menempati relasi yang ketat satu sama lain dan relasi
dengan lingkungannya. Sehingga, sebagai sistem, hukum seperti bagian dalam satu undangundang maupun keseluruhan peraturan perundang-undangan merupakan satu kesatuan yang

berhubungan satu sama lain. Dalam rangka menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan
terintegrasi, penting dilakukan harmonisasi hukum dengan maksud melakukan penataan dan
penyesuaian unsur-unsur tatanan hukum nasional dengan meletakkan pola pikir yang melandasi
penyusunan kerangka sistem hukum nasional yang dijiwai Pancasila dan bersumber pada UUD
1945. Dalam perspektif demikian, harmonisasi hukum dimaksud koheren dengan sasaran
program pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu "terciptanya harmonisasi peraturan
perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangunan".
Saat ini masih ditemukan disharmoni dalam kebijakan pertanahan, yaitu:
1. Perbedaan antara berbagai undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang
terkait.
2. Perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan kebijakan instansi Pemerintah
(petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis dan lain lain).
3. Perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan yurisprudensi.
4. Perbedaan Kebijakan instansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
5. Benturan antara wewenang instansi-instansi pemerintah karena pembagian wewenang yang
tidak sistematis dan jelas.
Merujuk uraian di atas, harmonisasi kebijakan Pengelolaan SDA agar tidak terjadi
tumpang tindih wewenang dan perbedaan mekanisme penyelesaian
Sebagai gambaran belum jelasnya pengelolaan sumber daya alam adalah data yang
diperoleh dari kementerian kehutanan menunjuk luas kawasan hutan adalah 136.94 juta herkat

atau 69 persen wilayah Indonesia. Tentunya UU Kehutanan ini merupakan yang sangat
merugikan masyarakat adat dan petani. Sementara proses lanjutan setelah penunjukan (penetapan
tata guna hutan kesepakatan atau TGHK) tidak pernah dijalankan secara serius oleh pemerintah.
12 Kusnu Goesniadhie S., Harmonisasi …., Op.cit., hlm. 108

Sampai kini, 121, 74 juta (88%) hektar kawasan hutan belum ditata batas. Dengan demikian,
dapat diambil benang merahnya bahwa kawasan hutan yang ada selama ini dan dipakai oleh
pemerintah mengusir rakyat adalah ilegal dan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Padahal, ada masalah besar disana, sebab di dalam kawasan hutan yang ditunjuk secara sepihak,
terdapat sekitar 19,000 desa yang penduduknya setiap hari rawan mengalami kriminalisasi,
penggusuran dan pengusiran paksa dengan dalih kawasan hutan.
Luas HTI hingga kini mencapai 9,39 juta hektar dan dikelola oleh 262 unit perusahaan
dengan izin hingga 100 tahun. Bandingkan dengan izin hutan tanaman rakyat (HTR) yang
sampai sekarang hanya seluas 631.628 hektar. Sementar, luas HPH di Indonesia 214,9 juta hektar
dari 303 perusahaan HPH. Implikasinya adalah meluasnya konflik yang terjadi dikawasan hutan.
Sementara itu, orientasi ekonomi untuk memenuhi tuntutan pasar global pada komuditas tertentu
( dulu kopi, gula, lalu belakangan karet, dan terahir sawit) perkebunan menyebabkan pola
ekstraksi intensif perkebunan ini terus dilangengkan. Bahkan belakangan semakin masif sejak
dekade terahir ketika komuditas sawit menjadi primadona global. Ekstraksi intensif perkebunan
ini menyebabkan penyingkiran rakyat pada akses lahan mereka dan akibatnya menimbulkan
konflik agraria yang juga semakin masif.
Menurut data BPN hingga 2012 kasus agraria telah mencapai 8.000 kasus, sementara
laporan akhir tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada tahun 2011 mencatat 163
konflik yang menyebar seluruh Indonesia. Terjadi peningkatan drastis jika dibandingkan dengan
tahun 2010 (106 konflik). Dari sisi korban, terdapat 22 petani/warga yang meninggal di wilayahwilayah sengketa dan konflik agraria. Konflik yang terjadi melibatkan lebih dari 69.975 kepala
keluarga, sementara luas area konflik mencapai 472.948,44 hektar. Dari 163 kasus yang terjadi,
terdapat 97 kasus pada sektor perkebunan (960%), 36 kaus di sektor kehutanan (22%), dan 1
kasus pada wilayah tambak/pesisir (1%).
Banyak peraturan BPN tidak dapat berlaku di kawasan hutan dan beberapa bidang
kementerian lain. Kurang tunduknya UU pengelolaan sumber daya alam yang ada dengan
UUPA. Beberapa faktor yang menyebabkan peraturan pertanahan tidak bisa mengatur tanah
secara optimal dimana seyogyanya jika pengacu soal tanah seluruh peraturan hukum yang
berlaku mengacu pada UUPA bukan mengesampingkannya sehingga kepentingan masyarakat
kurang diperhatikan.13 Dis-harmoni hukum yang terjadi di provinsi Kalimantan Tengah dimana
13 Terbitnya UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan daerah semakin besar
ketentuan undang-undang tersebut di atas, antara pemerintah pusat dan daerah mempunyai kewenangan masingmasing. Khusus untuk wilayah hutan, jika akan dilakukan “kegiatan” diharuskan memperoleh ijin pinjam pakai dari
Menteri Kehutanan. Kalimantan Tengah provinsi yang sebagian besar wilayahnya adalah hutan, kementerian
kehutanan menetapkan provinsi ini masuk dalam kawasan kehutanan. Perbedaan dalam penentuan suatu kawasan
hutan, antara Pemerintah Pusat menentukan Kalimantan Tengah masuk Kawasan Tata Guna Hutan Kesepakatan
(TGHK) sesuai Keputusan Menteri Pertanian Nomor 759/KPTS/UM/10/1982, Pemerintah Provinsi Kalteng
membuat Perda Nomor 8 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) berdasarkan UU
Nomor 24 Tahun 1992 jo UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menetapkan tidak semua
wilayah Provinsi Kalimantan Tengah merupakan kawasan hutan, tetapi ada yang peruntukan sebagai KPPL dan
APL. Tumpang tindih penentuan suatu kawasan hutan dalam suatu wilayah khususnya di Kalimantan Tengah. Tata
Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) pada saat ini tidak bisa dijadikan acuan kepastian hukum untuk penentuan suatu
kawasan hutan, karena TGHK tidak mempunyai payung hukum. RTRWP Kalimantan Tengah dengan Perda Nomor
8 Tahun 2003 tentang RTRWP pembentukannya didasarkan pada UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang.
Ketetapan Pasal 14 ayat 2 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa pengukuhan kawasan
hutan harus memperhatikan rencana tata ruang wilayah melalui proses, diantaranya penunjukkan kawasan hutan,
penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan. Berdasarkan Pasal 15 ayat
(2) UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo. Pasal 18 ayat (2) PP Nomor 44 Tahun 2004 dijelaskan bahwa
pengukuhan hutan yang diawali dengan penunjukan kawasan hutan untuk wilayah provinsi yang dilakukan oleh

BPN masih mengakui adanya alas hak yang dimiliki masyarakat sebelum berlakunya UUPA, dan
tanah ulayat, sementara itu Kementerian kehutanan membuat TGHK, dan pemerintah Provinsi
membuat peraturan daaerah tentang tata ruang membuat BPN tidak bisa melakukan layanan
kepada masyarakat dan kondisi ini berdampak pada tidak berlakunya hukum tanah nasional di
Provinsi Kalimantan Tengah.
Ruang lingkup pengaturan UUPA sejatinya meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Komposisi/struktur UUPA memuat 67 Pasal: 58
Pasal + 9 Pasal ketentuan konversi terdiri dari:
a. Pasal-Pasal yang memuat dasar dan ketentuan pokok: 10 Pasal.
b. Pasal-Pasal yang mengatur tentang tanah: 53 Pasal.
c. Pasal-Pasal yang mengatur di luar a dan b: 4 Pasal
Degradasi UUPA karena disejajarkan dengan UU Sektoral. Penerbitan berbagai peraturan
perundang-undangan sektoral didorong oleh semangat pragmatis, yakni untuk mengakomodasi
investasi dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi “pembangunanisme”. Falsafah, tujuan
dan prinsip-prinsip dari UUPA tidak di-akomodasi dalam UU Sektoral. Pada saat penerbitan
UUPA, masalah berkenaan dengan sumberdaya agraria
selain tanah belum merupakan hal
yang strategis; masalah berkenaan dengan penanaman modal dan konflik penguasaan serta
pemanfaatan sumberdaya agraria belum diantisipasi.14
Dis-Harmoni Atau Inkonsistensi Antar UU Sektoral15
Tabel 1.2 Gambaran Dis-Harmoni antar UU Sektoral
Orientasi
Eksploitasi atau konservasi
Kebepihakan

Pro-rakyat atau pro kapital

Pengelolaan dan implementasinya

Sentralistik/desentralistik,
sikap terhadap pluralisme
hukum.
Implementasinya: sektoral,
koordinasi, orientasi
produksi
Gender, pengakuan
Masyarakat Hukum Adat
[MHA], penyelesaian
sengketa
Partisipasi, transparansi, dan
akuntabilitas

Perlindungan Hak Asasi Manusia
(HAM)
Pengaturan good governance

Hubungan orang dengan sumber Hak atau izin
daya alam
Menteri dengan memperhatikan RTRWP dan/atau pemaduserasian antara TGHK dengan RTRWP. Sesuai dengan
penjelasan Pasal 18 ayat (2) PP Nomor 44 Tahun 2004 dijelaskan bahwa untuk penunjukan kawasan hutan provinsi
yang dilakukan sebelum ditetapkan RTRWP tetap mengacu pada penunjukan kawasan hutan provinsi sebelumnya.
Jelas bahwa Perda Nomor 8 Tahun 2003 dapat dijadikan acuan penentuan kawasan hutan. Tumpang tindih dan
ketidakharmonisan peraturan perundang-undangan kawasan hutan mempersulit masyarakat mengurus kepemilikan
tanah.
14 Maria S.W. Sumardjono, Penyempurnaan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria, presentasi untuk RDPU dengan KOMISI II DPR RI jakarta, 12 oktober 2011, hal 1-13
15 Ibid hal 8

Hubungan Negara dengan sumber
daya alam

Menguasai Mutlak

Undang-Undang Sektoral yang diterbitkan pada awal tahun 70-an tidak konsisten, bahkan saling
bertentangan menyangkut isu/substansi tertentu dampak ketidakkonsistenan UU sektoral adalah:
1. Kelangkaan dan kemunduran kualitas dan kuantitas SDA; 2. Ketimpangan struktur
penguasaan/pemilikan, peruntukan, penggunaan, dan pemanfaatan SDA; 3. Timbulnya berbagai
konflik dan sengketa dalam penguasaan/pemilikan, dan pemanfaatan SDA. (antar sektor, antara
sektor dengan Masyarakat Hukum Adat, antara investor dengan Masyarakat Hukum Adat, antar
investor terkait hak/izin pemanfaatan SDA.
Belajar Pengelolaan di Negara Lain
Republik Rakyat Cina
China mereformasi hukum-hukum tanah tergabung dalam Sumber Daya Alam memberikan
perubahan substantif pelajaran yang mungkin berguna bagi negara lain untuk mencoba
menanggapi dengan cara yang konstruktif terhadap tantangan yang ditimbulkan oleh perubahan
kondisi ekonomi dan sosial dan kelangkaan tanah. pendekatan yang dipilih oleh China
didasarkan pada pola bertahap dan agak pragmatis dalam pendekatannya, bersama dengan
pelaksanaan desentralisasi di tingkat lokal.
Penekanan pada eksperimentasi dan percontohan yang kemudian dapat dimodifikasi dan
ditingkatkan atau dibuang tergantung pada hasil yang dicapai. pemberian tanggung jawab kepada
pemerintah daerah dengan cara ini telah memberikan tidak hanya menggunakan fleksibilitas
yang diperlukan untuk mengatasi kebutuhan spesifik lokasi tetapi juga memberikan dasar untuk
bergerak maju dengan penerapan yang jauh lebih cepat daripada mencoba mengembangkan
sebuah "ideal" hukum yang tidak sinkron dengan realitas tanah. China pernah mencoba untuk
mendesentralisasikan administrasi tanah tanpa mekanisme yang memadai akuntabilitas dan
kontrol dapat meningkatkan daya diskresioner elit lokal, bukan penguatan hak atas tanah.
To be responsible for the planning ,administration, protection and rational
utilization of such natural resources as land , mineral and marine resources in the
People's Republic of China. Major functions and responsibilities assigned to the
Ministry of Land and Resources. To compile and implement the national
comprehensive planning for land and re-sources, overall plan for land use and
other specific plans; to participate in the examination and verification of urban
overall plans submitted to the State Council to organize the survey and evaluation
of mineral and marine resources16;
Bukti dari China, seperti dalam kasus pembatasan secara bertahap kekuatan-kekuatan
pemerintah lokal untuk sewenang-wenang mengambil tanah, menggambarkan bahwa
desentralisasi tidak sama dengan tidak adanya aturan pusat yang dikenakan, bahkan itu adalah
sebaliknya. Bukti menunjukkan bahwa memiliki aturan yang jelas, tegas dan menegakkannya
sangat diperlukan17
Pengelolaan Tanah di Amerika Serikat
16 Land Administration Law of the People's Republic of China (Adopted at the 16th Meeting of the
Standing Committee of the Sixth National People's Congress on June 25, 1986, amended in accordance with the
Decision on Revising the Land Administration Law of the People's Republic of China made by the Standing
Committee of the Seventh National People's Congress at its 5th Meeting held on December 29, 1998, and revised at
the 4th Meeting of the Standing Committee of the Ninth National People's Congress on August 29, 1998)

Kewenangan pertanahan di Amerika Serikat berada pada sebuah lembaga bernama
The Bureau of Land Management (BLM). Lembaga ini merupakan bagian dari Departemen
Dalam Negeri Amerika Serikat yang mengelola tanah publik Amerika, dengan total nilai sekitar
253 juta hektar (1.020.000 km2), atau seperdelapan dari luas daratan Amerika Serikat. BLM juga
mengelola 700 juta hektar (2.800.000 km2) mineral bawah permukaan yang mendasari
pemerintah federal, negara bagian, dan tanah pribadi. Sebagian besar tanah publik yang terletak
di bagian barat negara bagian, termasuk Alaska dengan sekitar 10.000 karyawan tetap dan
hampir 2.000 karyawan musiman, ini berhasil menjadi lebih dari 21.000 hektar (85 km2) per
karyawan. anggaran badan tersebut adalah US $ 960.000.000 untuk tahun 2010 ($ 3,79 per
hektar permukaan, $ 9,38 per hektar).
Misi BLM adalah untuk mempertahankan kesehatan, keragaman dan produktivitas tanah
publik untuk penggunaan dan kenikmatan generasi sekarang dan mendatang. BLM menjalankan
aturan perundangan pertanahan Amerika Serikat yang termaktub dalam The Federal Land Policy
and Management (FLPMA), yang merupakan hukum federal yang mengatur cara di mana tanah
publik yang dikelola oleh BLM dikelola. Hukum disahkan pada tahun 1976
Kongres mengakui nilai dari tanah publik, menyatakan bahwa tanah ini akan tetap dalam
kepemilikan umum. National Forest Service, National Park Service, BLM, yang membatasi
penggunaan. " FLPMA membahas topik seperti perencanaan penggunaan lahan, pembebasan
lahan, biaya dan pembayaran, administrasi tanah federal, manajemen jangkauan, dan hak pakai
di atas tanah federal. FLPMA memiliki tujuan tertentu dan jangka waktu di mana untuk
mencapai tujuan tersebut, memberikan kewenangan yang lebih dan menghilangkan
ketidakpastian seputar peran BLM dalam penunjukan padang gurun dan manajemen. FLPMA
berkaitan khusus untuk hutan ditemukan di bawah pos manajemen yg telah ditunjuk. Di sini,
BLM juga diberikan kekuasaan untuk menunjuk hutan dan diberikan 15 tahun untuk
melakukannya. BLM adalah untuk melakukan studi, mengelompokkan daerah sebagai 'daerah
hutan studi. " Daerah ini bukan area hutan resmi tetapi, untuk semua maksud dan tujuan,
diperlakukan seperti itu sampai adopsi formal sebagai hutan oleh Kongres. Sekitar 8,8 juta hektar
padang gurun BLM saat ini termasuk dalam Sistem Pelestarian Hutan Nasional sebagai hasil dari
review padang gurun diamanatkan oleh FLPMA. Mereka diperintahkan untuk melaksanakan
kebijakan dari FLPMA adalah karyawan pemerintah yang terlatih menggunakan pedoman secara
tegas dinyatakan dalam tindakan itu sendiri. Selanjutnya FLPMA yang digunakan untuk
mengatasi masalah-masalah pertanahan sebagai kebutuhan orang-orang Amerika Serikat, telah
diperluas untuk mencakup sumber daya alam seperti minyak di Tanah Federal.18
Berdasarkan acuan pengelolaan tanah di negara maju sebagaimana uraian diatas dapat
diambil sebuah benang merah pengelolaan tanah sebaiknya:
1. kelembagaan yang ada hendaknya universal tidak spasial/ sektoral sebab urgensi dari
sebidang tanah dapat melahirkan kekayaan negara misalkan hutan, tambang, pengelolaan
ruang.
2. Dinegara maju pengelolaan tanah dilakukan oleh lembaga yang memiliki kekuatan
hukum dalam sebuah undang-undang yang meletakkan semua sumber daya alam dan
potensinya menjadi sebuah satu kesatuan yang holistik.
Simpulan
17 Dihimpun http://www.mlr.gov.cn/mlrenglish/laws/200710/t20071011_656321.htm yang menyatakan visi
misi Ministry of Land and Resources Republik Rakyat China diakses 12 Oktober 2012
18 http://www.blm.gov/wo/st/en.html diakses tanggal 12 Oktober 2012

Untuk mengelola Sumber Daya Alam di Indonesia yang peraturannya mengalami jungle of law
hendaknya pemerintah mengambil langkah
1. Pemerintah beserta pemerhati sumber daya alam mengkaji kembali undang- undang
sektoral yang berbenturan dan tidak sesuai dengan falsafah NKRI didahului dengan
mengkaji konflik norma yang ada
2. Makna Negara menguasai hendaknya benar-benar di kategorikan Negara kerakyatan
berdaulat untuk pengelolaan bukan segelintir perusahaan dengan mengatas namakan
investasi dengan dalih pembangunan yang merugikan masyarakat lokal
3. Perlu pengkajian kembali struktur kelembagaan pengelola SDA jika perlu unifikasi
hendaknya kita belajar ke cina dan amerika mereka mengelola bukan lagi sektoral tetapi
sudah satu lembaga yang terintegrasi.
Daftar Referensi
Irawan Soerodjo, 2003. Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola, Surabaya
Joyowinoto, 2010. Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat, forum Dewan Guru Besar
Universitas Indonesia. Jakarta
Koeswahyono, Muchsin Imam dan Soimin, 2007. Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif
Sejarah, Refika Aditama,
Maria S.W. Sumardjono, 2008. Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Buku
Kompas, Jakarta
Murad, Rusmadi, 1991 Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Alumni, Bandung
Satjipto Rahardjo, 1980, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung,
Soerjono Soekanto, 1993 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Penerbit
RajaGrafindo Persada, Jakarta
Makalah & Dokumen
Budi Mulanto. 2010 Pengembangan Ilmu Tanah Untuk Mewujudkan Tanah Untuk Keadilan Dan
Kesejahteraan Rakyat’ Orasi Guru Besar IPB
Maria S.W. Sumardjono, Penyempurnaan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, presentasi untuk RDPU dengan KOMISI II DPR RI jakarta, 12
oktober 2011, hal 1-13
Pan Mohamad Faiz, Penafsiran Konsep Penguasaan Negara Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945
dan Putusan MK, (http://www.jurnalhukum.blogspot.com), tanggal 22 September 2012).
Rencana Strategis Badan Pertanahan Nasional 2010-2014
Internet
http://www.blm.gov/wo/st/en.html diakses tanggal 12 Oktober 2012
http://www.mlr.gov.cn/mlrenglish/laws/200710/t20071011_656321.htm yang menyatakan visi
misi Ministry of Land and Resources Republik Rakyat China diakses 12 Oktober 2012