Critical Review Ekonomi Informal Perkota

KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, critical
review dari jurnal yang berjudul “Ekonomi Informal Perkotaan: Sebuah Kasus Tentang
Pedagang Kaki Lima di Kota Bandung” dalam penyelesaian tugas mata kuliah
Perancangan Kota ini telah diselesaikan dengan baik.
Ucapan terima kasih tidak lupa penulis ucapkan kepada dosen mata kuliah
Perancangan Kota.Terima kasih juga penulis tujukan kepada keluarga dan seluruh pihak
yang senanantiasa membantu dan mendukung dalam penyusunan makalah ini.
Critical review ini bertujuan untuk membantu pembaca supaya lebih memahami dan
mempelajari materi dalam kuliah Perancangan Kota.Makalah ini penulis persembahkan
khusus kepada para mahasiswa perencanaan wilayah dan kota ITS serta para dosen
perencanaan wilayah dan kota ITS, namun tidak menutup kemungkinan bagi para
pembaca umum lainnya.
Penulis juga menyadari atas segala kekurangan dalam critical review ini.sehingga
penulis berharap adanya kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki critical
review penulis selanjutnya. Akhir kata penulis berharap semoga critical review dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya, dan pembaca umumnya.
Surabaya, 18 Maret 2015

Penulis


CRITICAL REVIEW JURNAL EKONOMI INFORMAL PERKOTAAN: SEBUAH KASUS TENTANG PEDAGANG
KAKI LIMA DI KOTA BANDUNG

i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................................ i
DAFTAR ISI ...................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUHAN ............................................................................................................... 1
1.1

Latar Belakang ................................................................................................................. 1

1.2

Tujuan................................................................................................................................ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................ 2
2.1


Masyarakat Strata Bawah dan Sektor Informal .......................................................... 2

2.2

Sektor Informal Perkotaan ............................................................................................. 3

2.3

Organisasi atau Komuitas sebagai Basis Pemberdayaan ........................................ 3

BAB III REVIEW .............................................................................................................................. 5
BAB IV CRTICAL REVIEW ........................................................................................................... 7
BAB V PENUTUP ............................................................................................................................ 8
4.1

Kesimpulan ....................................................................................................................... 8

4.2


Lesson Learned ............................................................................................................... 8

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................ 9

CRITICAL REVIEW JURNAL EKONOMI INFORMAL PERKOTAAN: SEBUAH KASUS TENTANG PEDAGANG
KAKI LIMA DI KOTA BANDUNG

ii

BAB I
PENDAHULUHAN
1.1

Latar Belakang
Sebagian kota-kota besar sering tidak diimbangi oleh tersedianya kesempatan kerja

memadai, meskipun secara nyata menunjukkan perkembangan ekonomi yang cukup
pesat (McGee, 1977). Luapan angkatan kerja di pedesaan akibat tingkat pertumbuhan
penduduk yang tinggi sementara kesempatan kerja sangat terbatas telah mendorong
proses migrasi besar-besaran dari desa ke kota untuk mencari penghidupan yang lebih

baik. Hal ini dapat dilihat dengan munculnya permukiman kumuh, dengan pekerjaan
serabutan di sektor informal dengan produktivitas rendah dan subsisten, sekedar hanya
mempertahankan hidup (Dieter Ever, 1991). Proses formalisasi terjadi karena sifat
subsistensi, produktivitas rendah, pemupukan modal, dan investasi lemah, serta tekanan
kuat dari sistem makro yang formal dari luar (Rachbini, 1994).
Di Jawa Barat, jumlah pekerja informal terus menunjukkan peningkatan. Dalam tiga
tahun terakhir, jumlah pekerja informal di provinsi ini terus bertambah dari 63,8 persen
(2005), 64,3 persen (2006) dan 65,4 persen (2007). Perdagangan jalanan telah menjadi
sebuah alternatif pekerjaan yang cukup popular, terutama di kalangan kelompok
masyarakat berpenghasilan rendah di kota. Hal ini terkait dengan cirinya yang fleksibel,
modal kecil dan tidak memerlukan prosedur yang rumit. Saat krisis ekonomi 1997/1998,
kegiatan ekonomi informal dianggap sebagai penyelamat perekonomian Indonesia
(Priyono 2002).
Terlepas dari potensi ekonomi kegiatan informal, keberadaannya dianggap illegal
karena menempati ruang publik dan sebagian besar mempengaruhi aspek kebersihan
dan keindahan. Kebijakan penggusuran maupun relokasi dianggap kurang efektif karena
masih banyak pedagang informal yang beroperasi di jalanan, Hal ini menunjukkan
sulitnya fenomena ekonomi informal diselasaikan dengan kebijakan kota.
1.2


Tujuan
Beberapa tujuan dalam jurnal ini yaitu :
1. Mengetahui arahan penanganan PKL dan dampaknya terhadap kondisi dan
sosial PKL
2. Mengetahui karakteristik dan tipologi PKL berpengaruh terhadap kebijakan
penanganan PKL
3. Mengetahui peran organisasi PKL dalam menghadapi persoalan yang kerap
dihadapi PKL

CRITICAL REVIEW JURNAL EKONOMI INFORMAL PERKOTAAN: SEBUAH KASUS TENTANG PEDAGANG
KAKI LIMA DI KOTA BANDUNG

1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Masyarakat Strata Bawah dan Sektor Informal

Di hampir setiap negara dan dengan sistem pemerintahan apapun, golongan

masyarakat strata bawah perlu dan semestinya mendapatkan perhatian khusus. Karena
mereka merupakan bagian terbesar dari tatanan sosial yang ada, dan seringkali dijadikan
tolok ukur keberhasilan segala kebijakan pembangunan. Kokohnya perekonomian di
lapisan ini yang berarti tingkat kesejahteraan mereka tidak tertinggal dan cukup memadai
akan membuat fondasi perekonomian nasional menjadi lebih kuat, karena tidak ada
masalah-maslaah sosial yang mengganggu, sehingga segala lapisan masyarakat akan
bersinergi dalam membentuk satu tatatnan perekonomian yang lebih adil.
Perlunya perhatian khusus adalah sesuatu yang ideal, tetapi dalam kenyataan
konsepsi struktur sosial tidak sesederhana hanya menjadi dua kelas seperti teori karl
Marx ( Wirahadikusumah, 1991). Secara umum banyak pakar bahwa struktur sosial
masyarakat dapat dianologikan sebagai sebuah bangunan kerucut yang kontinum dan
dapat dibagi menjadi lapisan-lapisan yang selain menunjukkan strata / kelas juga
menunjukkan jumlah atau besaran populasi yang tergambar dalam lapisan tersebut
(Tamagola, 2000).
Secara umum masyarakat strata bawah adalah masyarakat dengan ciri-ciri
jumlahnya besar, secara ekonmi miskin atau mendekati miskin, peluang untuk menguasai
dan menggunakan aset dan sumber produksi relatif kecil, terbelakang dan stereotip
negatif lainnya. Sebagai kelompok miskin mereka selalu termarginalkan karena berbagai

keterbatasan yang melekat, seperti identik dengan keterbelakangan, pendidikan rendah,
tidak mempunyai ketrampilan, kemampuan dan daya saing rendah, yang secara
berkelanjutan akan semakin sulit untuk berkompetisi dalam dunia global. Penguasaan
asset dan infomasi yang terbatas, kendala pada akses pembiayaan dan keterbatasan
lainnya yang membuat mereka semakin terperangkap dalam kemiskina struktural.
Dilihat dari jenis dan ragam pekerjaannya masyarakat lapisan bawah terdiri dari
beberapa kelompok yaitu :


Masyarakat miskin di pedesaan. Mereka rata-rata tidak mempunyai kemampuan
untuk menggunakan aset dan sumber-sumber produksi di lingkungan. Termasuk
dalam jenis ini adalah petani gurem, buruh tani, nelayan dan mereka yang bekerja



di sekitar perkebunan ( Dasima, Milton & Freedman, 1980)
Para pekerja formal, seperti karyawan rendahan, buruh pabrik dan buruh kasar
yang rata-rata berpenghasilan rendah (Suparlan, 1993).

CRITICAL REVIEW JURNAL EKONOMI INFORMAL PERKOTAAN: SEBUAH KASUS TENTANG PEDAGANG

KAKI LIMA DI KOTA BANDUNG

2



Mereka yang bekerja di sektor informal dan kegiatan produksi subsisten. Para
pekerja di sektor informal yang bekerja untuk diri sendiri dan tidak mempunyai Boss
(self-employment) mempunyai cir-ciri aktivitasnya bersandar pada sumberdaya
sekitar, ukuran usaha umumnya kecil, menggunakan teknologi tepat guna dan
padat karya, tenaga terdidik dan terlatih pada bidang yang digeluti, usaha berada
diluar jalur aturan pemerintah, dan aktivitas mereka bergerak dalam pasar yang
sangat bersaing (Subangun, 1986). Sedangkan kegiatan produksi Subsisten
menurut Hans Dieter Evers (1991) diartikan sebagai kegiatan produksi untuk
mencukupi kebutuhan dan konsumsi sendiri seperti pekerjaan rumah tangga yang
dilakukan oleh kaum perempuan dan anggota keluarga yang tidak dibayar.

2.2

Sektor Informal Perkotaan

Sektor informal atau ekonomi informal adalah kebalihan dari usaha formal yang

berusaha untuk memperoleh penghasilan (income) di luar aturan dan regulasi institusi
kemasyarakatan dalam tatanan sosial yang ada yaitu pemerintah sehingga dianggap
sebagai sesuatu yang ilegal. Han Dieter Evers (1991) seoang pakar yang telah banyak
melakukan penelitian di Indonesia, mendefinisikan sektor informal sebagai kegiatan
ekonomi bayangan atau ekonomi bawah tanah (underground economy) adalah ekgiatan
apa saja mulai dari kegiatan di dalam rumah tangga, jual beli yang tidak dilaporkan ke
dinas pajak, wanita bekerja yang tidak dibayar, sampai dengan penggelapan pajak serta
berbagai kegiatan perekonomian yang bertentangan dengan praktek ekonomi yang legal.
Sektor informal perkotaan adalah mereka para pekerja di sektor informal yang
berada di wilayah perkotaan. Mereka sebagian besar adlaah para pendatang yang tergiur
oleh gemerlap kehidupan di kota, terpengaruh oleh rekan sedesanya yang lebih dahulu
sukses, disamping karena semakin langkanya lapangan kerja dan kehidupan di pedesaan
sudah sangat sulit dan terbatas. Semakin sempitnya lahan pertanian di pedesaan,
suksesnya program pendidikan dasar, pesatnya pembangunan di kota-kota dengan
munculnya banyak industri telah mendorong terjadinya urbanisasi secara besar-besaran.
Tidak sebandingnya antara kesempatan kerja yang disediakan oleh industry
substitusi di perkotaan dengan membludaknya pekerja dari pedesaan. Bagi yang
beruntung dapat dietrima dan bekerja di pabrik / industri dan memperoleh status yang

lebih tinggi yaitu sebagai pekerja formal. Sebaliknya mereka yang tidak tertampung akan
bekerja serabutan sekedar untuk bertahan hidup di perkotaan, yang akhirnya disebut
sebagai pekerja informal.
2.3

Organisasi atau Komuitas sebagai Basis Pemberdayaan
Komunitas adalah satuan kelompok orang yang memiliki hubungan dan interaksi

yang relatif intensif dikarenakan adanya kesamaan ciri dan atau kepentingan bersama.
Jadi pada hakekatnya komunitas dapat diartikan sebagai kelompok penduduk dalam
CRITICAL REVIEW JURNAL EKONOMI INFORMAL PERKOTAAN: SEBUAH KASUS TENTANG PEDAGANG
KAKI LIMA DI KOTA BANDUNG

3

lokasi atau daerah tertentu yang dapat teridentifikasi dari masyarakat luas atau bagian
dari masyarakat melalui intensitas kesamaan perhatian ( a community of interest ) dan
atau peningkatan intensitas interaksi ( an attachment community) (Djayadi, 2001).
Paulus Wirutomo ( 2001) membedakan komunitas menjadi beberapa jenis yaitu :
1.


Komunitas Primordial adalah sebuah komunitss yang diikat oleh kesamaan cirri
primordial seperti kesamaan suku, ras, agama dan daerah asal;

2.

Komunitas Okupasional yaitu komunitas yang terbentuk dan diikat oleh kesamaan
pekerjaan / profesi, seperti komunitas pedagang pasar, pegawai pabrik dan lainlain; dan

3.

Komunitas Spatial adalah komunitas yang diikat oleh kesamaan tempat tinggal
seperti komunitas dalam satu RT/RW, komplek, dusun atau kampung tertentu,
komunitas penghuni rumah susum dan lain-lain.
Suatu komunitas yang pada dasarnya adalah sekelompok orang atau rumah tangga

akan mempunyai potensi lebih karena merupakan kumpulan dari potensi setiap
anggotanya. Sosial Capital, komitmen, partisipasi akan menjadi potensi komunitas selain
komunitas lebih mengenal dan mengetahui permasalahan yang dihadapi. Atas dasar
inilah

muncul

kebijakan

pembangunan

yang

berbasis

komunitas.

Kebijakan

pembangunan ini sebagai alternatif dan pelengkap kebijakan pembangunan yang
ditujukan pada perbaikan kondisi kemiskinan (poverty reduction) dan masalah-masalah
lingkungan yang lekat dengan kehidupan masyarakat strata bawah (Friedman, 1992).

CRITICAL REVIEW JURNAL EKONOMI INFORMAL PERKOTAAN: SEBUAH KASUS TENTANG PEDAGANG
KAKI LIMA DI KOTA BANDUNG

4

BAB III
REVIEW
Pemerintah kota bandung telah mngeluarkan berbagai kebijakan untuk menangani
PKL. Saat itu, pemerintah merelokasi di jalan Dalem Kaum ke Pasar Kota Kembang.
Namun tidak lama berselang, PKL baru bermunculan kembali di kawasan tersebut.
Kondisi tersebut terus terulang pada tahun-tahun berikutnya (Dirgahayani 2002 dalam
Solichin 2005). Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah Kota
Bandung yang didominasi oleh penggusuran dan relokasi masih kurang berhasil
menahan PKL untuk kembali ke jalan. Berdasarkan penjelasan dari salah satu staf
Bappeda Kota Bandung hanya sedikit dari sekian banyak kebijakan relokasi yang
berhasil, salah satu relokasi yang dianggap cukup berhasil adalah pemindahan PKL
produk fashion bekas di kawasan taman Tegalega ke pasar Gedebage, relokasi, PKL di 7
titik ke Gerbang Marema jalan Kepatihan dan relokasi PKL di jalan Supratman ke Taman
Cilaki. Aksi penertiban itu, merupakan implementasi dari disahkannya Peraturan Daerah
Nomor 11 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan.
Dalam pasal 37 ayat D dinyatakan larangan untuk “berusaha atau berdagang di trotoar,
jalan/badan jalan.

taman, jalur

hijau dan tempat-tempat

lainnya yang

bukan

peruntukannya tanpa mendapat ijin dari Walikota. Dalam ayat K juga dinyatakan larangan
mendirikan kios dan berjualan di trotoar, taman, jalur hijau atau dengan cara apapun yang
dapat mengakibatkan kerusakan kelengkapan taman, bunga atau tanaman lainnya. Para
pelanggar akan dikenakan denda sebesar 1 juta dan/atau sanksi administrasi berupa
penahanan untuk sementara waktu Kartu Tanda Penduduk atau kartu identitas lainnya
dan/atau pengumuman di media massa.
Beberapa karekteristik pedagang informal (PKL) diantaranya : berpendidikan
rendah, penduduk pendatang, berusia produktif, bermodal kecil dan memiliki jam kerja
dan penghasilkan tidak menentu (Firdausy 1995; Rachdbini dan Hamid 1994). Beberapa
karakteristik menjadi alasan yang mendasari keputusan seseorang untuk terlibat dalam
kegiatan perdaganagan kaki lima, terutama ketika lahan pekerjaanlain menetapkan
syarat-syarat yang sulit dipenuhi oleh mereka. Selain itu, PKL juga memiliki etos kerja
yang cukup tinggi, sehingga pandangan yang menyatakan bahwa PKL adalah pelaku
ekonomi yang pemalas dan konsumtif menjadi sangat dipertanyakan (lihat Firdausy
1995). Penjelasan di atas juga menegaskan pentingnya jaminan sosial, kesehatan, dan
kemudahan akses terhadap institusi keuangan bagi para pekerja informal, khususnya
PKL.
Tekanan terhadap keberadaan PKL ternyata mendorong berbagai upaya
pengorganisasian PKL. Meskipun organisasi yang ada sekarang, masih jarang dilibatkan
CRITICAL REVIEW JURNAL EKONOMI INFORMAL PERKOTAAN: SEBUAH KASUS TENTANG PEDAGANG
KAKI LIMA DI KOTA BANDUNG

5

secara

langsung

dalam

proses

pembuatan

kebijakan

dan

belum

mampu

memperjuangkan hak, pengakuan dan perlindungan terhadap keberadaan PKL, tapi
beberapa organisasi atau kelompok sudah mulai menunjukkan kemampuannya untuk
mengurangi beban yang dialami PKL. Peran organisasi atau kelompok PKL cukup krusial
dalam menegosiasikan berbagai kebutuhan dan persoalan yang dihadapi mereka. Oleh
karena itu, mereka perlu dilibatkan secara aktif dalam berbagai proses pembuatan
kebijakan penanganan PKL (Handayani 2006). Singkatnya, pemerintah dan pedagang
jalanan atau kelompok pedagang jalanan perlu menegosiasikan ruang-ruang aksinya
(Pena 1999). Selain pentingnya pelibatan organisasi atau kelompok PKL, pembuatan
kebijakan penanganan PKL juga perlu didasarkan atas pemahaman yang tepat akan
berbagai persoalan yang mendorong kemunculan PKL (persoalan struktural), keragaman
karakteristik dan tipologi PKL, keterlibatan berbagai aktor dalam perdagangan kaki lima,
dan kompleksitas persoalan yang dihadapi PKL. Dengan kata lain, kebijakan penanganan
PKL perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan persoalan spesifik yang dihadapi PKL di
sebuah wilayah.

CRITICAL REVIEW JURNAL EKONOMI INFORMAL PERKOTAAN: SEBUAH KASUS TENTANG PEDAGANG
KAKI LIMA DI KOTA BANDUNG

6

BAB IV
CRTICAL REVIEW
Dalam penanganan persoalanan ekonomi informal, keberadaan organisasi menjadi
penting, selain untuk mengatasi berbagai kerumitan persoalan yang dialami PKL, juga
untuk menghadapi berbagai kebijakan pemerintah yang dianggap dapat mengancam
kelangsungan berusaha PKL. Akan tetapi, jika hanya membuat suatu organisasi yang
tujuannya hanya ingin mempermudah koordinasi dengan pemerintah sangatlah kurang
tepat. Agar masalah pembiayaan untuk modal para PKL lebih mudah, harus diimbangi
dengan usaha lembaga keuangan mikro / microbanking Lembaga Keuangan Mikro atau
Microbanking adalah jenis usaha atau kegiatan penyediaan produk-produk perbankan
konvensional dalam skala kecil yang ditujukan bagi masyarakat strata bawah yang
berpenghasilan rendah dan usahawan mikro. Dari definisi Conroy (2002) disebutkan
bahwa microbanking bukanlah suatu institusi, tetapi adalah sebuah kegiatan atau bahkan
sebuah produk/jasa keuangan dengan target khsusu yaitu mereka yang berpenghasilan
rendah dan mereka para pengusaha mikro. Microbanking bukanlah sesuatu yang baru,
tetapi yang membedakan adalah adanya mekanisme, pendekatan dan paradigma yang
sangat relevan dengan kebijakan pembangunan. Negara anggota APEC dalam
pertemuan di Mexico tahun 2002 menyepakati akan besarnya peranan microbanking
dalam adalah :
a.

Mengurangi / mengentaskan kemiskinan dan penyediaan jaring pengaman sosial
( poverty reduction and social safety net ).

b.

Kontribusi dalam pengembangan pengusaha kecil dan sektor informal contributing
to the development of micro and small enterprise ).

c.

Kontribusi dalam pembangunan pedesaan (contributing to rural development).

d.

Mengutamakan bantuan terhadap kaum perempuan ( gender considerations ).

e.

Pemberdayaan Komunitas ( Community Empowerment ).

CRITICAL REVIEW JURNAL EKONOMI INFORMAL PERKOTAAN: SEBUAH KASUS TENTANG PEDAGANG
KAKI LIMA DI KOTA BANDUNG

7

BAB V
PENUTUP
5.1

Kesimpulan
Ekonomi informal merupakan feomena yang hal yang sulit teratasi. Beberapa

kebijakan tentang penggusuran atau relokasi pedagang kaki lima sudah banyak
dilakukan, akan tetapi semua itu sia-sia. Selama persoalan struktural belum dapat
dipecahkan, maka kegiatan ekonomi informal, khususnya perdagangan jalanan akan
tetap menjadi sebuah fenomena perkotaan yang tidak dapat dihindarkan. Oleh karena itu,
PKL, baik local aupun pendatang, perlu diakui keberadaannya dan diperhitungkan dalam
perencanaan tata ruang kota. Apalagi perdagangan kaki lima memiliki peran ekonomi
penting bagi kelangsungan ekonomi masyarakat, tidak hanya terbatas pada masyarakat
perkotaan juga pedesaan. Sehingga berbagai kebijakan pemerintah yang cenderung
menghilangkan keberadaan mereka tidak hanya akan mengancam kelangsungan hidup
pedagang jalanan,
Kelompok, perkumpulan, asosiasi, paguyuban pedagang keliling adalah embrio
terjadinya suatu organisasi yang lebih baik. Potensi kelompok akan selalu mempunyai
nilai lebih dibanding dengan hanya mengandalkan kekuatan-kekuatan individu-individu.
Dengan organisasi yang baik maka hal ini akan mempunyai nilai lebih dalam
bernegosiasi, organisasi dapat mengontrol dan mengikat anggotanya dalam banyal hal
yang akan lebih menguntungkan para anggotanya. Potensi kelompok akan selalu
mempunyai nilai lebih dibanding dengan hanya mengandalkan kekuatan-kekuatan
individu-individu. Dengan organisasi yang baik maka hal ini akan mempunyai nilai lebih
dalam bernegosiasi, organisasi dapat mengontrol dan mengikat anggotanya dalam
banyal hal yang akan lebih menguntungkan para anggotanya.
5.2

Lesson Learned
Beberapa hal yang didapat pada jurnal ini yaitu dalam penanganan PKL harus

melihat karakteristik dan tipologi pedagang kaki lima. Hal ini karena berpengaruh
terhadap kebijakan yang ada. Implementasi kebijakan pemerintah yaitu penggusuran
atau relokasi yang tidak memperhatikan karakteristik dan tipologi PKL akan berjalan siasia. Melalui suatu pengorganisasian PKL dapat menyelesaikan persoalan struktural.
Pera organisasi atau kelompok PKL cukup krusial dalam menegosiasikan berbagai
kebutuhan dan persoalan yang dihadapi oleh pedagang kaki lima.

CRITICAL REVIEW JURNAL EKONOMI INFORMAL PERKOTAAN: SEBUAH KASUS TENTANG PEDAGANG
KAKI LIMA DI KOTA BANDUNG

8

DAFTAR PUSTAKA

Wauran, Patrick C. 2012. Strategi Pemberdayaan Sektor Informal Perkotaan di Kota
Manado. Kota Manado
Lamba, Arung. 2011. Kondisi sektor Informal Perkotaan dalam Perekonomian JayapuraPapua. Jayapura
Rolis, Moh. Ilyas. 2013. Sektor Informal Perkotaan dan Ikhtiar Pemberdayaannya.

CRITICAL REVIEW JURNAL EKONOMI INFORMAL PERKOTAAN: SEBUAH KASUS TENTANG PEDAGANG
KAKI LIMA DI KOTA BANDUNG

9