Analisis Kebijakan Luar Negeri Indonesia

Analisis Kebijakan Luar Negeri Indonesia: Kebijakan
Perubahan Iklim terkait Isu Kenaikan Muka Air Laut
Oleh Muhammad Ahalla Tsauro
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Airlangga
Abstrak
Sejak bergabung dengan UNFCCC (United Nations Framework Convention on
Climate Change) indonesia memiliki berbagai macam peran dalam rezim
perubahan iklim. Komitmen Indonesia terhadap pengurangan emisi karbon
sebelumnya ditunjukkan dengan mendesak negara-negara maju, terutama anggoa
G-8 (sekarang G-7) untuk segera merealisasikan komitmenya dalam pengurangan
e misi karbon dan tanggung jawabnya terhadap perubahan iklim seperti yang
diminta Protokol Kyoto. Adapun kepentingan utama Indonesia dalam menghadapi
sea level rising adalah menjaga eksistensi kedaulatan negara dari ancaman
tenggelamnya pulau-pulau yang ada diwilayah terluar dari Indonesia. Menjawab
fenomena ini, program ini akan meneliti lebih spesifik mengenai kebijakan luar
negeri Indonesia yang selama ini dilaksanakan baik dikancah nasional maupun
internasional yang banyak dipengaruhi oleh berbagai keputusan traktat maupun
perjanjian internasional dalam menghadapi rezim perubahan iklim. Pada intinya,
program ini lebih melihat kebijakan luar negeri Indonesia yang bermanfaat baik
dalam jangka waktu yang pendek maupun jangka waktu yang panjang.
Kata kunci: Kebijakan Luar Negeri Indonesia, Rezim Perubahan Iklim,

Lingkungan, Protokol Kyoto, UNFCCC, sea level rising.
Since joining the UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate
Change) Indonesia has a wide variety of roles in the climate change regime.
Indonesia's commitment to the reduction of carbon emissions is shown in earlier
urged the developed countries, especially the members of the G-8 (now G-7) to
immediately realize its commitment in the reduction of carbon and e mission
responsibilities on climate change Kyoto Protocol as required. As for Indonesia's
main interests in the face of rising sea level is to maintain the existence of the
sovereignty of the country from the threat of sinking Islands there is the outermost
region of Indonesia. Answering this phenomenon, this program will examine the
more specific regarding Indonesia's foreign policy that has been implemented both
at the national and international sectors that are heavily influenced by various
decisions of the Treaty or international agreement in the face of the climate change
regime. In essence, this program better to analyze Indonesia’s foreign policy which
is beneficial both in a short term or long term.
Keywords: Indonesia’s Foreign Policy, Climate Change, Environmental Regime,
Kyoto Protocol, UNFCCC, sea level rising.

1


Pendahuluan
Pembahasan

isu

perubahan

iklim di

tingkat

multilateral

dilakukan

di

bawah United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yang
disepakati tahun 1992 (Nainggolan, 2010). Saat ini UNFCCC merupakan kerangka
kerja sama multilateral satu-satunya di bawah PBB untuk mengatasi tantangan yang

ditimbulkan oleh perubahan iklim.Untuk melaksanakan ketentuan dalam Konvensi
terkait pengurangan emisi oleh negara majutelah diadopsi Kyoto Protocol (KP) pada
tahun 1997. KP disepakati pada Conference of Parties (COP) ke-3 UNFCCC tahun
1997 di Kyoto, Jepang dan mulai berlaku pada 16 Februari 2005. KP menetapkan
target untuk mengikat 37 negara industri untuk mengurangi gas rumah kaca. Pada
COP 18/CMP 9 UNFCCC di Doha 2012, telah disepakati amandemen KP berupa
pelaksanaan periode Komitmen kedua Protokol Kyoto tahun 2013 - 2020.
Namun Rusia, Jepang, Selandia Baru, serta Kanada memutuskan untuk tidak
menjalankan Periode Komitmen Kedua Protokol Kyoto tersebut.Sehubungan dengan
pembahasan rezim perubahan iklim baru setelah berakhirnya Protokol Kyoto tahun
2020, pada COP17 di Durban tahun 2011 dibentuk the Ad-hoc Working Group on the
Durban Platform for Enhanced Action (ADP) (www.kemlu.go.id (diakses pada 9
Oktober 2014)).

Gambar 1.1. Fenomena sea level rise di Asia Tenggara dan kepulauan pasifik dalam
http://cdn.phys.org/ (diakses pada 10 September 2015)

2

ADP difokuskan pada dua workstream pembahasan. Workstream 1 bertujuan

untuk menyepakati struktur, bentuk, dan isi kerangka hukum baru untuk
pengendalian perubahan iklim. Diharapkan rezim hukum baru ini dapat disepakati
pada COP ke-21 di Paris, Prancis tahun 2015 untuk dapat diimplementasikan mulai
tahun

2020. Sementara

itu workstream

2 membahas

bagaimana

mengatasi gap dalam aksi pengurangan emisi gas rumah kaca untuk periode 2014 2020 (pre-2020) yang salah satu isu yang ditimbulkan adalah kenaikan muka air
laut atau yang lebih dikenal dengan sea level rising.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan pulau-pulau sangat beragam
dan banyak jumlahnya. Tercatat dalam survey National Institute of Aeronautics and
Space (LAPAN) pulau yang dimiliki Indonesia berjumlah 18.306 dengan jumlah yang
tidak dinamai berjumlah 8.844 pulau. Sedangkan yang ditempati berjumlah 922
pulau. Pulau merupakan aspek penting dari perwujudan negara sebagai wilayah.

Dengan data yang dihadirkan diatas, mengadirkan kekhawatiran bagi Indonesia
yang rentan akan kehilangan pulau tersebut. fenomena yang terjadi sekarang
terdapat jaringan-jaringan tertentu yang mengakomodir penjualan pulau-pulau yang
khususnya tidak bernama dan tidak berpenghuni tersebut. Sebagai salah satu negara
kepulauan di dunia, perubahan iklim dianggap sebagai masalah keamanan
tradisional yaitu integritas territorial negara, entah melalui meningkatnya badai
siklun atau permukaan air laut, negara kepulauan menganggap perubahan iklim
sebagai ancaman eksistensi mereka.
Sebagai pihak yang mulai terancam melihat banyaknya pulau-pulau kecil di
Kepulauan Pasifik seperti Nauru, Samoa, Tonga dan lain-lain yang tenggelam dan
menyebabkan sebagian besar penduduk di pulau tersebut berpindah ke tempat lain
ataupun juga ke negara lain, maka haruslah diambil kebijakan yang tepat. Selain itu
juga, masalah teritori Indonesia juga ditentukan oleh batas pulau terluar yang
dimiliki Indonesia sesuai dengan ZEE sebagaimana ketentuan UNCLOS (Hegerl,
2007). Oleh karena itu, pulau terluar dalam jangka panjang apabila tidak dipelihara
maka akan tenggelam dan mempersempit wilayah teritori negara. Oleh karena itu,
Pemerintah Indonesia menyadari akan pentingnya menjaga kedaultan negara yang
memiliki puluhan ribu pulau dari ancaman kenaikan muka air laut dalam rezim
perubahan iklim tersebut. oleh karena itu, Kebijakan luar negeri Indonesia terhadap
isu ini haruslah ditelusuri dahulu mengenai kebijakan dalam negeri melalui badanbadan nasional yang menyinggung permasalahan ini yang nantinya menjadi bekal


3

Indonesia dalam aktif dan berperan dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan
internasional.

Gambar 1.2. penelitian tingkat sea level rise di Indonesia dalam http://www.histchron.com/ (diakses pada 10 september 2015).
Dinamika Rezim Perubahan Iklim
Keadaan bumi yang semakin panas dikarenakan naiknya suhu rata-rata panas
bumi mengakibatkan terjadinya perubahan pola-pola iklim seperti berubahnya pola
curah hujan, tekanan udara, meningkatkan penguapan di udara, berubahnya suhu di
laut yang dapat mencairkan es di kutub, berubahnya siklus hidrologi curah hujan,
hingga bertambahnya organisme organisme penyebab penyakit. Keadaan yang
semakin memburuk menyebabkan banyak kejadian-kejadian yang membuat negaranegara di seluruh dunia menjadi khawatir, terlebih negara-negara yang berbentuk
kepulauan seperti yang ada di kepulauan Pasifik dan tidak terkecuali Indonesia.
Bukan tidak mungkin apabila keadaan yang terus menerus seperti ini tanpa adanya
pencegahan bahkan perbaikan pola hidup dari negara-negara di dunia akan
menyebabkan masalah yang kompleks seperti kekurangan pangan, air bersih bahkan
sebagian negara-negara kecil dapat tenggelam akibat naiknya permukaan air laut.
Berkaitan dengan hal tersebut, United Nations Framework Convention on Climate

Change (UNFCCC) mendeklarasikan bahwa perubahan iklim merupakan perubahan
yang diakibatkan secara langsung maupun tidak langsung oleh aktifitas manusia

4

yang mengubah komposisi atmosfir global dan variabilitas iklim ilmiah alamiah yang
teramati pada periode waktu tertentu yang dapat diperbandingkan (Wangke, 2011).
Lantas mengapa UNFCCC mengungkapkan bahwa akifitas manusia lah penyebab
perubahan iklim? Hal tersebut didasarkan pada laporan dari International Panels on
Climate Change (IPCC) tahun 2007 bahwa telah terjadi peningkatan konsentrasi gas
karbondioksida di atmosfir dari zaman pra industri sebesar 280 ppm menjadi 379
ppm pada tahun 2005 (Stocker, 2001) Contoh nyata yang menjadi bukti kuat bahwa
pemanasan bumi (global warming) telah merubah iklim dan memperburuk keadaan
adalah keadaan yang terjadi di kutub utara. Pada akhir musim panas September
tahun 1980, kutub utara ditutupi oleh 3,01 juta mil persegi es, dan pada akhir musim
panas 2008, Kutub Utara hanya ditutupi oleh 1,81 juta mil persegi es atau dapat
dikatakan bahwa Kutub Utara telah kehilangan es sebesar 40%. Begitu juga halnya
yang terjadi di Greenland yang diperkirakan telah kehilangan es sebesar 273 miliar
ton es sejak tahun 1957 (Hegerl, 2007).
Peningkatan suhu bumi merupakan fenomena akibat penumpukan gas rumah

kaca yang dihasilkan dari pembakaran yang menggunakan bahan bakar fosil seperti
batubara, minyak dan gas alam. Adanya peningkatan suhu bumi ini, diperkirakan
merupakan akibat dari akumulasi proses industrialisasi sejak 157 tahun yang lalu.
(Wangke, 2011). Apabila tidak ada tindakan perbaikan alam, maka es yang ada di
Antartika dan Greenland akan terus mencair yang nantinya dapat menaikkan
permukaan air laut antara 6-7 meter. Selain itu, 85% es di yang menutupi
Kilimanjaro yang mencair sejak tahun 1912 dan akan habis seluruhnya pada masa
20-30 tahun mendatang. Dengan begitu, tidak dapat dielakkan lagi negara-negara
kepualauan di Pasifik akan tenggelam dan pulau-pulau kecil pun juga akan ikut
tenggelam.
Dari adanya akumulasi kegiatan antroposentris yang mengganggu stabilitas
alam, dunia kini dihadapkan pada masalah pemanasan global yang dampaknya
bukan main. Sejak laporan yang disampaikan oleh The Stern Review of Climate
Change, pada tahun 2006 tentang pemanasan global dan perubahan iklim yang
semakin memperburuk keadaan oleh, protokol kyoto yang mulai disepakati pada
tahun 1997 dan diimplementasikan pada 16 Februari 2005, upaya masyarakat
internasional dalam menangani masalah perubahan iklim terutama difokuskan pada
penggalangan kerangka kerjasama internasional untuk mengendalikan emisi gas

5


rumah kaca negara-negara industri yang secara historis menyumbang banyak emisi
karbondioksida. Negara-negara pun mulai memiliki dua prioritas

dalam upaya

merespon perubahan iklim yang terjadi (Wangke 2011). Priorotas pertama adalah
upaya mitigasi yang dilakukan negara-negara maju dalam mengurangi gas karbon.
Prioritas

kedua

adalah

upaya

negara-negara

berkembang


dalam

mengimplementasikan strategi yang efektif menghadapi perubahan iklim. Tentu saja
prioritas yang ada disesuaikan dengan perbandingan jumlah emisi gas karbon yang
dihasilkan negara-negara di dunia.
Sumber
Emisi
Energi

AS

Cina
5752

Indonesia
Brazil
Rusia India
3720
275
303

1572
1051

Pertanian

442

1171

141

598

118

442

Kehutanan

403

47

2563

1372

54

40

213
6005

174
5017

35
3014

43
2316

46
1754

124
1577

Sampah
Total

Sumber: PEACE, Indonesia and Climate Change: Current status and Policy 2007
Protokol Kyoto
Seperti yang telah disinggung di paragraf sebelumnya mengenai Protokol
Kyoto, bahwa sebenarnya Protokol Kyoto ini merupakan salah satu komitmen global
negara-negara di dunia untuk penurunan emisi gas rumah kaca apabila tingkat
pemanasan ingin tetap berada di bawah 2 derajat celcius pada tahun 2050. Secara
garis besar, upaya masyarakat internasional dalam memerangi perubahan iklim
dibagi menjadi tiga tahap (Wangke 2011). Tahap pertama yakni KTT Bumi di Rio de
Jeneiro pada tahun 1992, yang dalam KTT ini membawa kesepakatan untuk
menyetujui konvensi kerangkan perubahan iklim UNFCC untuk menyerukan
perlunya stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca yang ada di atmosfir, dan juga
mendukung prinsip “common but differentiated responsibilities” dimana negaranegara industri maju yang termasuk ke dalam Annex 1 akan mengurangi emisi gas
sementara negara-negara berkembang akan melakukan hal yang sama sesuai
kemampuannya. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang,
Kanada, Australia, Selandia Baru, dan Norwegia menyerukan kesediannya untuk
menurunkan emisi gas secara sukarela pada tingkat tahun 1990 pada tahun 2000.
Namun sayangnya komitmen ini tidak dilakukan sepenuhnya oleh negara-negara

6

tersebut sehingga tingkat emisi yang mereka hasilkan tetap berlanjut tanpa ada
perubahan dari sebelumnya. Pertemuan di Rio de Jeneiro ini pun dianggap tidak
menghasilkan suatu perubahan yang maksimal.
Peningkatan suhu bumi yang semakin menjadi, mendorong negara-negara
untuk terus berupaya mencari kesepakatan baru mengingat laju konsentrasi gas
rumah kaca di atmosfir harus segera diakhiri. Hingga pada tahun 1995 di Berlin
menjadi pertemuan kedua yang menyepakati adanya kesepakatan batasan yang
mengikat terhadap tingkat emisi yang mereka hasilkan. Kemudian kesepakatan
tersebut dibawa ke pertemuan selanjutnya pada tahun 1997 yang diungkit-ungkit
menjadi kesepakatan yang bersejarah yang melahirkan Protokol Kyoto. Protokol
Kyoto menjadi perjanjian internasional yang mengatur negara-negara maju
mengurangi tingkat gas emisinya yang menyebabkan terjadinya pemanasan global
(Wangke 2011). Di bawah Protokol Kyoto ini pula negara-negara maju dan indutri
harus patuh di bawah hukum yang mengikat tentang pengendalian enam gas emisi
gas rumah kaca yaitu karbondioksida, metanol, nitroksida, hidroflorkarbon,
perfloroucarbons, dan sulfurhexaflouride. Optimisme muncul ketika disebutkan
dengan tegas dalam protokol Kyoto bahwa negara-negara yang tergolong ke dalam
Annex 1 akan mengurangi tingkat emisi karbonnya hingga 5 persen dibawah tingkat
tahun 1990 antara tahun 2008 sampai tahun 2012.
Namun yang menjadi kekurangan dalam protokol ini adalah kompromi besar
mengenai tujuan pembatasan emisi yang melibatkan seluruh negara peserta yang
pada intinya mengizinkan negara-negara peserta menjadikan hutan sebagai
penyimpan karbon dan komitmen tersebut dilakukan melalui perdagangan karbon
atau REDD+, sehingga yang terjadi adalah perumusan kompromi yang makin sulit
dan mengakibatkan saling tuduh menuduh antar negara. Kejadian “mematikan”
masa depan Protokol Kyoto terjadi pada Maret 2001 ketika pemerintah AS dibawah
Presiden George Bush menarik dukungannya terhadap Protokol Kyoto dikarenakan
pemerintah AS yang tidak ingin mengorbankan kepentingan nasionalnya yakni
perekonomian AS yang bergantung pada penggunaan emisi gas karbon. Mengingat
AS merupakan penyumbang emisi gas terbesar di dunia yakni sebesar 21% dari
seluruh emisi gas karbon yang ada menyebabkan keefektifan Protokol Kyoto menjadi
dipertanyakan. (Wangke 2011).

7

Kendati demikian, negara-negara masih berusaha menyelamatkan Protokol
Kyoto dengan mengadakan pertemuan pada bulan November 2001 di Marakesh
yang menghasilkan kesepakatan dibawah dukungan Uni Eropa, Kanada, Rusia, dan
Jepang untuk segera menandatangani Protokol Kyoto tanpa partisipasi AS dan tanpa
partisipasi pembatasan emisi negara-negara berkembang. Pada Februari 2002,
Presiden George Bush menegaskan kembali bahwa AS tidak akan meratifikasi
Protokol Kyoto dan tidak akan berupaya mengurangi emisi gas karbon. Hingga pada
pertengahan tahun 2002, Protokol Kyoto telah ditandatangani oleh Uni Eropa dan
Jepang namun belum oleh Kanada, Rusia, Polandia, dan oleh negara-negara industri
yang sedang dalam transisi (Economies in transition).
Pertemuan di Bonn dan Marakesh masih gagal dalam mencapai kesepakatan
tentang pengurangan emisi gas karbon oleh negara-negara berkembang. AS
menganggap bahwa semua negara yang terlibat dalam menghasilkan emisi gas
karbon harus terlibat ke dalam perjanjian internasional agar penanganan perubahan
iklim dapat dilakukan secara efektif dan menghindari tanggung jawab pengurangan
gas dari negara partisipan kepada negara non partisipan. Dengan begitu, partisipasi
Cina dan negara-negara berkembang lainnya dalam mengurangi gas emisi
merupakan prasyarat bagi AS untuk terlibat dalam Protokol Kyoto. Melihat kondisi
tersebut maka secara implisit Protokol Kyoto telah gagal dalam menyepakati
kewajiban negara-negara berkembang untuk mengurangi gas karbon (Nainggolan,
2010).
Kegagalan Protokol Kyoto
Pertemuan di Bonn dan Marakesh nyatanya tidak dapat membuat
kesepakatan pengurangan gas oleh negara-negara berkembang. Dengan kondisi
demikian, berarti Protokol Kyoto akan berjalan tanpa keterlibatan AS dan Cina serta
negara-negara berkembang lainnya. Sehingga hal ini menyebabkan Protokol Kyoto
akan membiarkan lebih dari setengah emisi gas rumah kaca dunia terus
terkonsentrasi di atmosfir. Jika hal ini terjadi, berarti Protokol Kyoto telah gagal
merealisasikan tujuan awal pembentukannya.
Sampai dengan pertemuan COP-15 di Kopenhagen, Denmark pada Desember
2009, semua negara peserta kecuali AS telah meratifikasi Protokol Kyoto. Namun
pada pertemuan COP-17 di Cancun, Meksiko November 2010, Jepang dan Rusia

8

mengumumkan penarikan diri dari kesepakatan Protokol Kyoto(Nainggolan, 2010).
Perlahan namun pasti, semua negara-negara yang termasuk ke dalam Annex 1
menarik diri dari kesepakatan Protokol Kyoto. Melihat realitas yang demikian,
kegagalan Protokol Kyoto ini dapat dilihat karena beberapa sebab. Pertama,
kegagalan Protokol Kyoto mengajak negara-negara peserta dalam mengurangi emisi
gas. Paling tidak dalam perjanjian untuk mengurangi emisi gas karbon harus
melibatkan negara-negara seperti AS, Uni Eropa, Jepang, Rusia, Cina, dan India.
Kedua, Protokol Kyoto tidak memiliki mekanisme kepatuhan yang efektif. Ketiga,
Negara-negara konvensi UNFCCC tidak semuanya mengimplementasikan isi
perjanjian, sehingga konvensi tersebut menjadi tidak efektif. Keempat, Rasionalitas
negara-negara yang lebih mengedepankan kepentingan ekonomi negara masingmasing. Kelima, tidak adanya penekanan yang sama terhadap negara-negara di
dunia yang juga menghasilkan tingkat emisi gas yang cukup besar. Prinsip “common
but differented responsibilities” menjadi kendala bagi implementasi Protokol Kyoto.
Contohnya adalah negara-negara seperti Cina, Korea Selatan, Brazil dan India
merupakan para pihak yang mendukung Protokol Kyoto karena mereka tidak
diharuskan untuk mengurangi emisi gas karbon mereka, padahal dalam era
perdagangan bebas saat ini perekonomian negara-negara tersebut khususnya Cina
yang menjadi pesaing utama AS menghasilkan emisi gas yang cukup signifikan di
dunia.
Kegagalan Protokol Kyoto ini layaknya mendapat perhatian lebih karena
negara-negara yang meskipun sadar bahwa mereka harus menyelematkan dunia
akibat perubahan iklim yang terjadi masih tetap mengedepankan kepentingan
perekonomian masing-masing. Karena itu masalah tentang lingkungan menjadi isu
krusial yang tidak mudah dalam pencapaian solusi bersama terlebih melibatkan
masyarakat internasional yang memiliki perbedaan kepentingan yang masingmasingnya ingin terpenuhi. Karena itu perlu adanya upaya sungguh-sungguh untuk
menyelesaikan. Keberhasilan akan sangat bergantung pada kekuatan dan kejujuuran
dari komitmen nasional masing-masing negara dan pada proses pengembangan
kerjasama pengaturan perubahan iklim skala global.
Isu Kenaikan Muka Air Laut (Sea Level Rise)
Fenomena global warming memberi banyak dampak negatif pada kehidupan
makhluk di Bumi, terlebih manusia. Perubahan iklim secara drastis yang

9

menyebabkan mencairnya es di kutub, misalnya, merupakan ancaman bagi ribuan bahkan jutaan - orang yang tinggal dan hidup di wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil karena naiknya permukaan air laut. Indonesia pun terancam kehilangan pulaupulau kecil karena perubahan iklim. Isu kenaikan air laut muncul sejak tahun 1880
yang mincapai ketinggian 8 inci, ketinggian isi mengalami peningkatan yang sangat
signifikan. Peneliti dari analis Climate Central (www.sealevel.climatecentral.org
(diakses pada 9 Oktober 2014)) menyebut dalam artikelnya:
A Climate Central analysis finds the odds of “century” or worse
floods occurring by 2030 are on track to double or more, over
widespread areas of the U.S. These increases threaten an
enormous amount of damage. Across the country, nearly 5 million
people live in 2.6 million homes at less than 4 feet above high tide
— a level lower than the century flood line for most locations
analyzed. And compounding this risk, scientists expect roughly 2
to 7 more feet of sea level rise this century — a lot depending upon
how much more heat-trapping pollution humanity puts into the
sky
Kenaikan muka air laut yang diiringi dengan kenaikan suhu memiliki dampakdampak tertentu antara lain: pertama, Kenaikan suhu permukaan laut dapat
merusak terumbu karang (coral bleaching) dan mengubah arah arus laut yang
berakibat pada pola migrasi ikan yang malah menyebabkan ikan-ikan menunggalkan
laut tersebut dan berpindah ke lautan lainya yang selanjutnya akan mempengaruhi
mata pencaharian nelayan. Kedua,

Kenaikan tinggi muka air laut yang

menyebabkan meluasnya genangan air laut dan abrasi di wilayah pesisir serta
peningkatan intrusi air laut ke daratan, hal inilah yang dapat mengancam kehidupan
di wilayah pesisirr. Ada beberapa faktor yang menyebabkan risiko penggenangan air
laut di pesisir akibat bahaya kenaikan muka air laut, variabilitas iklim El-Nino, dan
gelombang

badai

yang

disertai

dengan

kejadian

air

pasang

tertinggi

(www.menlh.go.id (diakses pada 9 Oktober 2014))
Selain itu terdapat pula faktor yang menyebabkan kenaikan muka air laut yang
disebabkan oleh banyak kasus yang berpengaruh pada daerah regional terlebih
dahulu. Yang pertama adalah thermal expansion, air laut dalam perkembanganya
selalu mengalai pemanasan yang menyebabkan air laut menguap dari lautan naik ke
udara hingga masuk ke dalam atmosfir. Bagaimanapun juga, panas yang
ditimbulkan saat ini membawa dampak yang berbeda. Akibatnya permukaan air laut

10

yang ada di kedua kutub tertarik dan mencair hingga mengikis gunung es yang ada
disana hal inilah yang menjadi akibat dari pemanasan global dan kenaikan suhu
temperatur lautan. Kedua. Kekuatan fisik - Subsidence dan rising berhubungan
dengan aktivitas tektonik dan ekstraksi air dan sumber daya seperti gas dan minyak.
Jenis kekuatan ini, benar-benar tidak mengubah volume laut, hanya permukaan laut
relatif. Namun, perubahan ini juga tidak mempengaruhi gerakan atas tanah, serta
perkiraan dari satelit altimetri. Misalnya, di Gulf Skandinavia Bothnia, keadaan
tanah yang tetekan akibat banyaknya gletser telah menyebabkan tanah di didaratan
tersebut semakin terkikis oleh air dan tenggelam. Sekarang gletser yang mencair dan
tekananya telah ditanggulangi, akan tetapi, wilayah ini justru malah meningkatkan
tingkat permukaan air laut sebanyak 11 mm per-tahun. Rebound ini membuatnya
tampak seperti permukaan laut menurun meskipun sebenarnya meningkat sebesar
2,1 mm per tahun (Milne et al., 2001).
Ketiga, keadaan laut dan samudera saat ini yang memiliki tekanan dan kekuatan
yang mampu membawa arus laut daerahserta memindahkan sejumlah besar air dari
satu lokasi ke lokasi juga mempengaruhi permukaan laut relatif lain tanpa
mengubah volume aktual laut. Misalnya, el Nino bergerak air dari satu sisi Pasifik
yang lain setiap tiga atau empat tahun. Variasi skala besar ini juga mempengaruhi
permukaan laut relatif daerah-daerah tertentu. Dalam kondisi normal, angin
perdagangan meniup melintasi Pasifik ke arah barat. Menurut NOAA, angin
perdagangan mendorong air permukaan yang hangat ke barat Pasifik, sehingga
permukaan laut kira-kira 1/2 meter yang tinggi di Indonesia daripada di Ekuador.
Selama El Nino tahun, air hangat ini didorong ke Pasifik timur.
Kebijakan Luar Negeri Indonesia
Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat keanekaragaman hayati
tertinggi di dunia. Hutan dan laut di negara ini, termasuk ekosistem terkaya di
dunia, memberikan lapangan kerja dan pendapatan kepada jutaan penduduk
Indonesia. Akan tetapi, lingkungan hidup negara ini mengalami tekanan hebat
akibat kegiatan-kegiatan manusia. Eksploitasi sumber daya alam merupakan bagian
yang penting dari

perekonomian negara akibatnya berbagai sektor yang

berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam seperti sektor kehutanan
berada dalam keadaan yang memprihatinkan karena sumber dayanya terus menipis.
Negara ini juga menghadapi berbagai tantangan lingkungan hidup lainnya seperti

11

polusi udara atau sulitnya akses terhadap sumber daya air. Karena berperan penting
bagi pembangunan jangka panjang Indonesia, penanganan masalah lingkungan
hidup menjadi semakin mendesak dalam kaitannya dengan isu perubahan iklim.
Indonesia merupakan penghasil emisi gas rumah kaca yang besar sekaligus
negara yang secara khusus, rentan terhadap dampak perubahan iklim seperti
misalnya, kenaikan muka air laut atau gangguan terhadap sektor pertanian dan
ketahanan pangan. Menanggapi masalah tersebut di atas, selama bertahun-tahun
Komisi Eropa telah menjalin kerja sama dengan Indonesia di bidang lingkungan
hidup. Sektor kehutanan dan sumber daya alam khususnya, telah menjadi sektor
prioritas dalam kerja sama Komisi Eropa dan Indonesia sejak tahun 1990-an.
Tinjauan

Tengah Waktu (Mid-Term Review) yang

baru-baru ini

dimuat

dalam Country Strategy Paper tahun 2007-2013 menekankan pentingnya sektor
lingkungan hidup dan terutama isu perubahan iklim, sebagai bagian dari kerja sama
bilateral antara Komisi Eropa dan Pemerintah Indonesia. Masyarakat sipil juga
merupakan mitra penting dalam kerja sama bidang lingkungan hidup Komisi Eropa
di Indonesia dan oleh karena itu sejumlah proyek memperoleh dukungan yang
didanai melalui Program Tematik Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam.
Pada bulan Desember 2008, Maha Guru Ching Hai berbicara dengan rekanrekan inisiat kita tentang ancaman tenggelamnya pulau-pulau dan bencana-bencana
lain yang berhubungan dengan pemanasan global. Indonesia berisiko kehilangan
pulau-pulaunya karena perubahan iklim. Dengan percepatan global warming,
Peneliti Institut Ilmu Pengetahuan Indonesia Dewi Fortuna Anwar berpendapat
bahwa pulau-pulau di sebelah luar negara ini sedang berada dalam risiko tenggelam
sehubungan dengan naiknya permukaan air laut. Dengan total 17.504 pulau,
beberapa di antaranya diperkirakan telah menghilang di lautan, menurut antisipasi,
kenaikan satu meter air laut akan mengakibatkan 2.000 pulau menghilang
seutuhnya bersama dengan menghilangnya 405.000 hektar daerah pesisir pantai.
Adapun kebijakan setempat cenderung membiarkan hal ini terjadi dan kurang ada
penanganan yang lebih lanjut. Sehingga yang terjadi migrasi besar-besaran terjadi
yang menyebabkan ledakan penduduk.
Dalam memahami kebijakan luar negeri Indonesia, ada beberapa tahap yang
harus diteliti terlebih dahulu mengenai kebijakan dalam negeri Indonesia. Semua

12

sikap yang ditujukan oleh elemen-elemen negara dapat dijadikan sebagai acuan
kebijakan negara. ada tiga tahap yang mampu dianalisis dari kebijakan luar negeri
Indonesia; individual level of analysis, group level of analysis, dan sistem level of
analysis. Selain itu haruslah menganalisis dari salah satu kebijakan dari dua konsep
what’s happen? Dan Why things happen? (Breuning, 2007). Dari landasan ini
penulis akan memetakan satu persatu kebijakan indonesia.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai salah satu aktor dan Presiden
Republik Indonesia memiliki pandangan dan sikap tersendiri terhadap isu-isu
perubahan iklim. Dalam beberapa pertemuan internasional yang beliau hadiri,
banyak

statement

yang

dia

ajukan

dalam

forum

internasional

yang

merepresentasikan bahwa Indonesia memiliki konsentrasi penuh terhadap isu
lingkungan. Namun, dalam kaitanya dengan isu kenaikan muka air laut, peneliti
belum mendapatkan penemuan-penemuan mengenai sikap dan kebijakan aktor
tunggal ini dalam isu terkait yang disebabkan beberapa kebijakan yang lebih penting
lainya yang harus diutamakan.
Sebagai salah satu kepentingan nasional Indonesia, periode pre-2020 nanti,
Indonesia menekankan beberapa hal antara lain kejelasan mengenai komitmen dan
aksi negara maju, di bawah Protokol Kyoto Periode Komitmen Kedua maupun di
bawah Konvensi, untuk memastikan pencapaian target global. Selain itu Indonesia
menggarisbawahi pentingnya kepastian means of implementation dari negara maju,
yaitu pendanaan, dukungan teknologi serta capacity building. Sementara itu untuk
periode pasca-2020, Indonesia memandang penting tercapainya kesepakatan
2015 Legally Binding Agreement (LBA-2015) dengan tetap berlakunya prinsip dasar
UNFCCC yaitu Common but Differentiated Responsibilities (CBDR), Respective
Capability (RC), dan equity meskipun upaya global pasca-2020 menekankan
pada applicable to all Parties, tetapi harus berdasarkan kondisi nasional masingmasing negara (Feripasha, 2009).
Sementara itu untuk sistem dan badan negara yang berperan dalam isu ini
sebenarnya, telah melakukan beberapa aksi cinta lingkungan sebagai respon atas
rezim perubahan iklim. Sebagaimana diketahui, pada bulan oktober lalu, terdapat
Peringatan

hari

lingkungan

hidup

tahun

2014

ini

diharapkan

menjadi

momentum pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup secara lebih konsisten

13

dengan komitmen yang lebih tinggi. Sumber daya alam (SDA) yang kita miliki perlu
dikelola untuk masyarakat dengan tidak hanya mempertimbangkan generasi masa
kini tetapi juga generasi yang akan datang. Pengelolaan lingkungan hidup
mendorong pemanfaatan SDA secara arif. Badan Nasional yang bergerak dalam
urusan lingkungan, perbatasan, yang mengurus pulau terluar juga secara langsung
menjelaskan bahwa upaya yang mereka lakukan sudah terlaksana akan tetapi upaya
yang mereka lakukan tidaklah relevan dengan apa yang ada. Kebijakan yang mereka
terapkan disini baik sistem maupun lembaga pemerintahan dianggap kurang tepat
dan tidak professional. Seharusnya fokus yang lebih ditujukan pada usaha
pemerintah pada urusan ini, jika tidak maka terdapat permasalahan lainya yang
akan bermunculan. Oleh karena itulah tulisan ini memberikan penjelasan singkat
mengenai situasi yang terjadi di Indonesia yang mempengaruhi kebijakan luar negeri
Indonesia, selain itu kurangnya fokus akan isu ini yang sudah menjadi perhatian
dunia sejak lama akan tetapi implementasi dari masyarakat dan pihak elit negara
untuk berfikir keras dalam menjaga kedaulatan negara dari ancaman yang datang
khususnya hilangnya pulau yang ada akibat isu kenaikan muka air laut.
Kesimpulan
Rezim perubahan iklim telah memberikan dampak begitu luar biasa terhadap
lingkungan serta ekosistem yang ada di bumi. Dan merupakan tanggung jawab
setiap manusia untuk selalu menjaga dan melestarikan kekayaan alam yang ada di
negara-negara tertentu. Kerusakan alam yang terjadi di bumi ini tidak lepas dari
ulah tingkah laku manusia yang serakah dan tamak untuk terus mengeksploitasi
lingkungan dengan tidak memperhatikan dampak jangka panjang yang ditimbulkan
dari tindakan-tindakan mereka. Natural resources atau bencana alam juga tidak
lepas dari ulah manusia, tanah longsor banjir dan lain sebagainya merupakan
dampak dari pemanasan global yang bila ditarik akar permasalahanya maka manusia
lah yang bertanggung jawab. Isu lingkungan yang peneliti bahas dalam karya tulis
ilmiah ini memiliki hubungan dengan isu terkini yaitu kenaikan muka air laut atau
yang biasa dikenal sebagai sea level rising.salah satu dampak terbesar dari isu ini
ialah tenggelamnya pulau-pulau baik yang besar maupun kecil dari permukaan.
Salah satu upaya yang mampu menyelesaikan permasalahan ini adalah kebijakan
negara yang dalam hal ini mampu mengajak negara lain untuk sama-sama
menyelesaikan kepentingan bersama yakni menjaga alam dan lingkungan sekitar

14

kita. Indonesia merupakan salah satu negara yang dibahasa dalam penelitian ini
yang memiliki andil dalam forum internasional untuk menghimbau negara-negara
lain untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang menjadi masalah pokok dalam
rezim perubahan iklim ini.

Peneliti menyatakan bahwa usaha pemerintah dan

sistem yang diberlakukan merupakan suatu usaha yang terpuji, akan tetapi sangat
kurang sekali bentuk konsistensi terhadap isu ini. dalam penelitian ini, peneliti
memberikan rekomendasi agar badan negara yang memiliki fokus pada lingkungan
harus diberikan perhatian lebih, atau bisa jadi otonomi daerah yang masih berlaku
saat

ini

juga

mengembangkan

usaha

melestarikan

lingkungan

dan

juga

menanggulangi isu terkait dengan cara membangun Badan yang mampu mendata
pulau-pulau terjauh dan menamainya serta melakukan kontrol terhadap pulau
tersebut dengan menempati pulau tersebut dengan melakukan upaya pembangunan
pangkalan militer, destinasi wisata dan hal-hal lainya yang mampu menghidupi
pulau tersebut agar terurus oleh negara dan menjaganya dari ancaman tenggelam.
Referensi:
Nainggolan, Poltak Partogi. 2010. Bagian Keempat; Kendala-kendala Yang Dihadapi
Indonesoa Dalam Pembahasan Isu Kelautan Pada Pertemuan COP-15 di
Kopenhagen dalam ‘’Pemanasan Glonal dan Perubahan Iklim’’. Pusat
Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal
DPR Republik Indonesia
Wangke, Humprey, 2011. “Mencari Solusi Atas Perubahan Iklim, Jakarta Pusat:
Pusat Pengkajian dan pengelolaan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat
Jenderal DPR Republik Indonesia.
Feripasha, Erik. 2009. Kebijakan Luar Negeri Indonesia terhadap Isu Perubahan
Iklim Global Era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Jakarta:
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Stocker, Thomas F, 2001. "7.2.2 Cloud Processes and Feedbacks". Climate Change
2001: The Scientific Basis. Contribution of Working Group I to the Third
Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change.
Intergovernmental Panel on Climate Change.
Hegerl, Gabriele C, 2007.. "Understanding and Attributing Climate Change" Climate
Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group

15

I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on
Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change. pp. 690.
Breuning, Marijke. 2007. Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction. New
York: Palgrave MacMillan.
Milne, G. A. et al. 2001. "Space-Geodetic Constraints on Glacial Isostatic Adjustment
in Fennoscandia." Page: 2381–2385.
The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth
Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change.
Intergovernmental Panel on Climate Change. 5 Februari 2007.
Sea Level Central 2014. The Fact about Sea Level Rise in the world. Source
http://sealevel.climatecentral.org/#sthash.ia5Q1NF0.dpuf (diakses pada 9
Oktober 2014).
Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, 2014. Sambutan Daerah
Menteri Lingkungan Hidup Pada Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, 5 juni 2014. http://www.menlh.go.id/sambutan-daerah-menterilingkungan-hidup-pada-peringatan-hari-lingkungan-hidup-se-dunia-5juli-2014/ (diakses pada 9 Oktober 2014).

.

16

Dokumen yang terkait

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5