HAJI MOEHAMAD BASIOENI IMRAN 1885 1976

1
HAJI MOEHAMAD BASIOENI IMRAN (1885-1976) ULAMA PEMBAHARU
DARI KERAJAAN SAMBAS KALIMANTAN BARAT:
BIOGRAFI SINGKAT DAN KARYANYA
Oleh: Zulkifli Abdillah
Abstrak
Studi tentang pembaharuan Islam di Indonesia hingga saat ini belum beranjak dari
kawasan Pulau Jawa dan Sumatera. Tentu ini tidak berarti bahwa di kawasan lain
di Indonesia tidak ada gerakan pembaharuan. Hal ini terbukti bahwa di Kerajaan
Sambas, Kalimantan Barat pernah melahirkan seorang sosok pembaharu, yaitu
Haji Moehammad Basioeni Imran. Ia adalah Maharaja Imam di Kerajaan Sambas
yang pernah berguru langsung ke dua ulama pembaharu terkemuka dunia Islam,
yaitu Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau dan Muhammad Rasyid Ridha. Dalam
skala lokal Kalimantan Barat, khususnya di Sambas, peran Haji Moehammad
Basioen Imran sangat penting dalam upaya melakukan pembaharuan. Sebagai
pejabat kerajaan, Basioeni Imran memiliki keleluasaan untuk melakukan berbagai
perubahan untuk memajukan umat Islam, khususnya di dunia pendidikan. Di
bidang ini beliau telah melakukan modernisasi Madrasah al-Sulthaniyah milik
Kerajaan Sambas. Ide-ide pembaharuan juga disebarluaskan melalui karya-karya
tulisnya yang bisa dikatakan cukup banyak. Tercatat ada 17 buah buku yang telah
ditulis oleh Basioeni Imran. Dari sejumlah karyanya, dapat disimpulkan bahwa

pemikiran pembaharuan yang diusung Basioeni Imran adalah meneruskan ide
pembaharuan Ibu Taimiyah dan dan Rasyid Ridha. Siapa dan apa saja karya-karya
Basioeni Imran akan dijelaskan dalam tulisan ini.

Kata-kata Kunci: Basioeni Imran, Maharaja Imam, Pembaharu.
A. Pendahuluan
“Mengapa kaum muslimin mundur dan mengapa kaum selain mereka
maju (Limaza taakhkharal muslimun wa limaza taqaddama ghairuhum)?”1 Inilah
1Secara ringkas pertanyaan Basioeni Imran adalah sebagai berikut: (1) Apa yang menjadi
sebab kaum muslimin dalam keadaan lemah dan mundur—terutama kaum Muslimin Indonesia
dan Malaysia--, baik tentang urusan keduniaannya maupun urusan keagamaannya; dan kita (kaum
Muslimin) menjadi golongan yang hina dina, tidak mempunyai daya dan kekuatan, padahal Allah
menyatakan dengan firman-Nya dalam kitab-Nya yang mulia: “ Dan kemuliaan itu bagi Allah,
bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang yang beriman” (al-Munafiqun: 8). Di manakah “kemuliaan”
orang-orang yang telah beriman (kaum Muslimin) sekarang ini? Adakah benar bagi seorang yang
mengaku ber-iman, bahwa ia menjadi seorang yang mulia-raya, walaupun keadaannya hina-dina;
tidak ada daripadanya sedikit pun daripada sebab-sebab yang mendatangkan kemuliaan; (2) Apa
yang menjadi sebab timbulnya kemajuan bagi bangsa-bangsa Eropa, Amerika dan Jepang, dengan
suatu kemajuan yang mengagumkan? Adakah mungkin bagi kaum Muslim memperoleh kemajuan
sebagai yang telah dicapai oleh mereka itu, jika sekiranya kaum Muslim telah mengikuti sebabsebab yang telah dikerjakan mereka, yang tidak dilanggar batas-batas agamanya (Islam) ataukah

tidak.(lihat lebih lanjut: Arsalan, al-Amir Syakib, Mengapa Kaum Muslimin Mundur, (terj.
Munawwar Chalil), Jakarta: Bulan Bintang, 1954, khususnya bagian Pengantar oleh penerjemah,

1

2
pokok pertanyaan sangat penting yang disampaikan oleh Haji Moehamad
Basioeni Imran (selanjutnya ditulis Basioeni Imran) melalui sebuah surat yang
dikirimkan kepada Syekh Muhammad Rasyid Ridha 2. Pertanyaan tersebut oleh
Rasyid Ridha dikirimkan kepada Al-Amir Syakib Arsalan di Lausanne, dengan
harapan agar diberikan jawaban yang memuaskan. Oleh Syakib Arsalan
pertanyaan penting tersebut dijawab dengan panjang lebar, berlandaskan ayat alQuran dan Hadis Nabi. Jawaban-jawaban ini diberikan kepada Rasyid Ridha.
Basioeni Imran minta agar jawaban atas pertanyaannya dimuat dalam majalah alManar, dengan tujuan agar dapat dibaca dan diketahui oleh para pembaca di
seluruh dunia Islam. Selanjutnya jawaban-jawaban Syakib Arsalan ini diterbitkan,
oleh Rasyid Ridha melalui percetakan al-Manar, dalam sebuah buku dengan kata
pengantar dan beberapa komentar dari Rasyid Ridha sendiri. Buku yang berjudul
Limazaa Taakkhar al-Muslimun wa Limaza Taqadama Ghairuhum ini selanjutnya
diterjemahkan oleh K.H. Munawar Khalil dengan judul Mengapa Kaum Muslim
Mundur.
Pertanyaan yang diajukan oleh Basioeni Imran jelas bukan pertanyaan

yang mudah untuk dijawab. Ini terbukti secara khusus Rasyid Ridha harus
meminta kepada Al-Amir Syakib Arsalan untuk menjawabnya. Jawaban yang
diberikan juga tidak singkat, bahkan harus dijawab dengan 19 seri artikel
jawaban3. Pertanyaan ini selain menunjukkan kegelisahan terhadap kondisi umat
Islam pada saat itu, juga sekaligus menunjukkan kualitas diri penanya sebagai
seorang ulama terkemuka saat itu di Kerajaan Sambas. Kualitas keulamaan
Basioeni Imran dapat dilihat baik dari sisi pendidikan yang dilaluinya, karyahal. viii-ix).
2Syeikh Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935) adalah salah seorang revivalis dan
reformis Islam dari Mesir. Ia dilahirkan di sebuah desa dekat Tripoli, yang waktu itu bagian
Suriah. Setelah menempuh pendidikan awal di sekolah agama tradisional, Ridha masuk ke sekolah
yang didirikan oleh ulama tercerahkan, Syaikh Husain Al-Jisr (w. 1909) yang percaya bahwa jalan
menuju kemajuan bangsa Muslim adalah melalui sintesis antara pendidikan agama dan ilmu
pengetahuan modern. Dengan demikian Ridha memperoleh pendidikan menyeluruh dalam doktrin
dan tradisi Islam serta pengetahuan yang cukup tentang ilmu alam dan bahasa (Turki dan Prancis).
Dia mempelajari karya-karya Al-Ghazali (w.1111) dan Ibn Taimiyah (w. 1328), yang
mengilhaminya dengan kebutuhan untuk mereformasi kondisi kaum Muslim yang merosot serta
memurnikan Islam dari praktik-praktik sufi yang merusak [John L. Esposito (ed.). Ensiklopedi
Oxford Dunia Islam Modern. Jilid 6. (terj. Eva Y.N., dkk.). (Bandung: Mizan.2002); lihat juga:
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, cet. ke-14, (Jakarta:
Bulan Bintang, 2011), hal. 60-67; Ris'an Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern dalam Islam,

(Jakarta: Rajawali Press), hal.113-129)].
3 Lihat jawaban-jawabannya dalam: Arsalan, Op.Cit.

3
karya yang dihasilkan, maupun peran sosial politik yang dilakoninya selama
hidup.
Dari aspek pendidikan, Basioeni Imran adalah salah seorang murid dari
dua tokoh ulama terkemuka yaitu Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau (di
Makkah, Arab Saudi) dan juga Syaikh Muhammad Rasyid Ridha (di Mesir).
Karya-karya yang dihasilkan oleh Basioeni Imran juga banyak, tercatat ada 12
kitab (karya sendiri, terjemahan, petikan kitab-kitab) yang mencakup bidang ilmu
tauhid, fikih, sejarah, dan ilmu hisab. Sementara di bidang sosial politik Basioni
Imran dipercayai oleh pihak Kerajaan Sambas sebagai Maharaja Iman 4 dan
melakukan modernisasi Madrasah Al-Sulthaniyah. Pada Pemilu tahun 1955
Basioni Imran juga terpilih sebagai anggota Konstituante dari Partai Masyumi.
Studi-studi tentang gerakan pembaharuan Islam5 di Indonesia hampir
semuanya mengarahkan pandangan ke daerah Sumatera dan Jawa6. Nyaris tidak
4 Maharaja Imam adalah nama jabatan tertinggi yang mengurusi masalah agama Islam di
masa Kerajaan Sambas. Pada awalnya nama jabatan ini adalah Imam. Imam Kerajaan Sambas
yang pertama bernama Haji Mushthafa Nuruddin yang dilantik oleh Sultan Muhammad Ali

Shafiyuddin (Pertama) pada tahun 1186 H/1772 M. Kira-kira 100 tahun kemudian, tepatnya pada
1289 H/1872 M barulah istilah ‘Maharaja Imam’ digunakan. Maharaja Imam Kerajaan Sambas
yang pertama ialah Maharaja Imam Muhammad Arif bin Nuruddin as-Sambasi yang dilantik oleh
Sultan Muhammad Ali Shafiyuddin (Kedua). Sebelum itu, pada 1238 H/1823 M, beliau hanya
digelar ‘Imam’. Disebabkan umurnya telah lanjut, beliau menyandang pangkat Maharaja Imam
hanya setahun. Pada tahun 1290 H/1873 M, dilantik anak beliau bernama Muhammad Imran bin
Muhammad Arif as-Sambasi menggantikannya menjadi Maharaja Imam. Terakhir sekali dilantik
pula cucu Maharaja Imam yang pertama pada 1331 H/1913 M yaitu Haji Moehammad Basioeni
Imran bin Maharaja Muhammad Imran. Secara hirarkis, jabatan dibawah Maharaja Imam adalah:
Imam muda atau Imam Maharaja; Maharaja Khatib; Khatib Maharaja; Sidana Khatib; Penghulu
(untuk beberapa tempat di luar ibukota Kerajaan); Lebai (di setiap Kampung); Bilal dan Modim
(untuk setiap masjid) (Lihat: Wan Mohd. Shaghir Abdullah, 2013, Muhammaad Basioeni Imran,
artikel dalam: http://mabmonline.org, akses 10 September 2013; Moh. Haitami Salim, dkk.
Sejarah Kerajaan Sambas, (Pontianak: STAIN Pontianak, 2010), (Laporan Penelitian), hal. 61.
5 Pembaharuan Islam yang dimaksud di sini adalah mengikuti pendapat Harun Nasution
yang menyatakan bahwa yang dimaksud adalah usaha mengubah paham-paham keagamaan Islam,
adat istiadat, institusi-institusi lama, dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang
ditumbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Sehingga yang tepat
menurut beliau adalah pembaharuan dalam Islam. Untuk mudahnya, dalam tulisan ini digunakan
istilah pembaharuan Islam (tanpa sisipan kata “dalam”. Lihat lebih lanjut: Harun Nasution,

Op.Cit., hal. 3-4.
6 Beberapa studi tersebut misalnya: (1) Harry J.Benda , The Crescent and The rising Sun,
(Den Haag: Van Hoee: 1958); terjemahannya Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia
pada Masa Pendudukan Jepang, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980); (2) Deliar Noer, The Modernist
Muslim Movement in Indonesia, 1900-1942, (New York: Oxford University Press, 1973), edisi
Indonesia: Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996); (3) Alfian,
Islamic Modernism in Indonesian Politics: The Muhammadijah Movement During the Dutch
Colonial Period (1912-1942). (The University of Wisconsin PH, 1969, tesis); (4) Taufik Abdullah,
Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927-1933), (Ithaca, New
York: Cornell University, 1971). Lihat penjelasan singkat tentang studi-studi tersebut dalam: Karel
A. Steembrink. Kajian Kritis Mengenai Agama di Indonesia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga

4
ada studi tentang gerakan pembaharuan Islam yang dilakukan di daerah lain,
misalnya di Kalimantan dan Sulawesi, khususnya lagi Kalimantan Barat. Hal ini
sedikit banyaknya akan berdampak pada pandangan bahwa di luar Sumatera dan
Jawa tidak ada ulama yang melakukan gerakan pembaharuan Islam, padahal tidak
demikian adanya. Oleh karena itu, studi tentang Basioeni Imran sebagai tokoh
pembaharu di Kerajaan Sambas layak untuk dilakukan khususnya untuk mengisi
kekosongan tersebut.

Terdapat beberapa tulisan dan hasil penelitian yang mengulas kehidupan
Basioeni Imran. Di antaranya adalah buku yang ditulis oleh Mahrus Efendi 7,
Muhammad Rahmatullah8 dan Erwin9. Hasil penelitian yang belum diterbitkan
adalah penelitian A. Muis Ismail10 dan Pabali Musa11. Sementara Gusti Mahyudin
Ardhi12 menulis sebuah makalah yang dipresentasikan di Brunei Darussalam.
Penulis juga menemukan dua artikel singkat yang ditulis oleh Wan Moh. Shaghir
Abdullah13 yang dimuat secara online.
Secara khusus ada beberapa alasan yang mendorong penulis untuk
melakukan studi dan menulis tentang Basioeni Imran. Pertama, sebagaimana
disebutkan di atas, Basioeni Imran berguru pada dua orang ulama yang relatif
berbeda corak pemikiran, yaitu Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau14 (ulama
Press, 1988), hal. 260-264.
7 Machrus Effendy. Riwayat Hidup dan Perjuangan Maharaja Imam Sambas. (Jakarta:
Dian Kemilau, 1995.)
8 Muhammad Rahmatullah. Pemikiran Fiqh Maharaja Imam Kerajaan Sambas Basioeni
Imran (1885-1976). (Pontianak: Bulan Sabit Press, 2003).
9 Erwin Mahrus. Falsafah dan Gerakan Pendidikan Islam Maharaja Imam Sambas
Muhammad Basioeni Imran (1885-1976). (Pontianak: STAIN Pontianak Press. 2007).
10 A. Muis Ismail. Mengenal Muhammad Basioeni Imran. (Pontianak: FISIP UNTAN,
1993) (Laporan Penelitian).

11 Pabali Musa. Muhammad Basioeni Imran (1883-1976); Rekonstruksi Pemikiran
Maharaja Imam Kesultanan Sambas Kalimantan Barat. (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1999).(Tesis, tidak diterbitkan).
12 Gusti Mahyudin Ardhi. Muhammad Basioeni Imran 1883-1976, Maharaja Imam
Kerajaan Sambas, Rekonstruksi Pemikiran Keagaman dan Politik Kenegaraan. (Makalah
Seminar Pusat Sejarah Brunei, 2001)
13 Wan Moh. Shaghir Abdullah, Basiyuni Imran Maharaja Imam Sambas, (artikel online:
http://ulama-nusantara.blogspot.com, 2006, akses: 25 Sepetember 2013; Wan Moh. Shaghir
Abdullah, 2013. Op.Cit.
14 Ahmad Khatib Lahir di Bukittinggi pada tahun 1855 (Deliar Noer, hal. 38) atau 1860
(menurut Hamka). Ia diangkat menjadi imam dari golongan Syafi'i di Masjidil Haram dan
kemudian ditambah menjadi khatib, merangkap guru besar, ulama yang diberi hak mengajar
agama di Masjidil Haram. Meskipun Ahmad Khatib menentang tarekat dan adat Minangkabau di
bidang hukum waris, tetapi ia tetap taqlid kepada mazhab Syafi'i di bidang fikih. Kepada muridmuridnya Ahmad Khatib menyuruh untuk membaca karangan Muhammad Abduh, meskipun
secara pribadi ia tidak setuju dengan Muhammad Abduh. Ahmad Khatib wafat pada tahun 1916.

5
Sunni) dan Syeikh Muhammad Rasyid Ridha (ulama Salafiyah, penerus ide-ide
pembaharuan Al-Afghani dan Muhammad Abduh). Dengan demikian, pemikiran
dan pola gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh Basioeni Imran memadukan

kedua corak pemikiran tersebut. Kedua, Basioeni Imran adalah ulama yang
produktif menulis sebagai media untuk menularkan ide pembaharuannya ke
tengah masyarakat. Tentu saja karya-karyanya sangat penting untuk dikaji.
Ketiga, dalam melakukan gerakan pembaharuan Basioeni Imran menggunakan
“kekuataan politik”, yaitu memanfaatkan kedudukannya sebagai Maharaja Imam
Kerajaan Sambas. Sebagai pemegang otoritas tertinggi di bidang keagamaan di
Kerajaan Sambas, Basioeni Imran dengan leluasa dapat mengalirkan ide
pembaharuannya melalui jalur resmi kerajaan. Keempat, pengaruh pembaharuan
yang dilakukan oleh Basioeni Imran menunjukkan signifikansi di masyarakat
Sambas hingga saat ini.
Tulisan ini membatasi diri hanya pada tiga hal yang menyangkut Basioeni
Imran yaitu: riwayat hidup, karya-karya yang dihasilkan dan usaha pembaharuan
yang dilakukannya di bidang pendidikan. Masih banyak hal yang seharusnya
diungkapkan, misalnya konteks sosial, politik, dan kehidupan keagamaan yang
melingkupi kehidupan Basioeni Imran. Namun karena keterbatasan ruang maka
dengan sangat terpaksa kajian tentang konteks tersebut tidak dibahas. Kajian
konteks ini penting untuk melihat latar belakang yang membentuk diri Basioeni
Imran. Hal penting lain yang juga tidak dimasukkan dalam tulisan ini adalah
kajian yang mendalam tentang benang merah pemikiran pembaharuan Basioeni
Imran. Tulisan ini dimaksudkan hanya sebagai pengenalan awal tentang sosok

seorang pemaharu Islam dari Sambas di kancah kajian ke-Islam-an di Indonesia
khususnya dan dunia Islam pada umumnya.
B. Riwayah Hidup Singkat Haji Mohammad Basioeni Imran
Haji Moehamad Basioeni Imran adalah putra pertama (dari empat
bersaudara) H. Imran Maharaja Imam bin H. Muhammad Arif Maharaja Imam
bin Imam H. Nuruddin bin Imam Mustafa. Lahir pada tanggal 25 Zulhijjah 1302
H bersamaan dengan tanggal 4 November 1883 di Sambas (Badran, tt: 8). Ibunya
[Deliar Noer, Op.Cit. hal. 38-40; Karel A. Steembrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di
Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal. 139-148].

6
bernama Sa’mi, wafat pada saat Basioeni Imran dan ketiga adiknya masih kecil.
Mereka kemudian diasuh oleh ibu tirinya bernama Badriyah (G.M. Ardhi, 2001:
4). Berdasarkan keterangan Badran (salah seorang anak Basioeni Imran), saat
berusia enam hingga tujuh tahun Basioeni Imran belajar al-Quran dengan ayahnya
sendiri dan kemudian disekolahkan pada Sekolah Rakyat (SR), dan sejak saat itu
beliau telah memahami ilmu Nahwu dan Sharaf (kaidah bahasa Arab). Hal yang
sama dikemukakan oleh Pijper15

bahwa Basioeni Imran dalam suratnya


menjelaskan: “Pada waktu saya berumur 6 atau 7 tahun, ayah saya mengajar saya
membaca al-Quran dan menyekolahkan saya di Sekolah Rakyat (volkschool).
Kemudian saya diajari dasar-dasar nahwu dan sharaf, yaitu kitab al-Jurumiyah
dan Kaylani”. Selain belajar dengan ayahnya, Basioeni Imran juga belajar agama
kepada Haji Muhammad Djabir16. Di SR beliau hanya sekolah selama dua tahun,
untuk selanjutnya masuk ke Madrasah al-Sulthaniah dan belajar di sana selama 10
tahun.17
Setelah tamat mengaji al-Quran dan sekolah di sekolah Melayu (Madrasah
al-Sulthaniah) di Sambas, pada tahun 1898 Basioeni Imran melanjutkan pelajaran
agama Islamnya ke Mekkah.18 Selain untuk menuntut ilmu agama Islam, di
Mekkah beliau juga melaksanakan ibadah rukun Islam yang kelima, yaitu ibadah
haji. Di Mekkah, selama lima tahun Basioeni Imran belajar kepada beberapa
orang guru yaitu Tuang Guru Umar Sumbawa, Tuan Guru Usman Serawak,
Syaikh Achmad Khatib Minangkabau dan Syaikh Ali Maliki (Arab). Dari Tuan
Guru Umar Sumbawa dan Tuang Guru Usman Serawak, Basioeni Imran belajar
ilmu Nahwu, Sharaf dan Fikih. Sementara dari Syaikh Ahmad Khatib
Minangkabau beliau belajar ilmu fikih. Selanjutnya ilmu bahasa Arab (Nahwu,
Sharaf, Ma'ani, Badi', Bayan), ilmu mantiq dan beberapa ilmu pengetahuan lain
seperti ushul fikih, tafsir serta ilmu tauhid beliau belajar dari Syaikh Ali Maliki

15 Pijper, G.F. Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950.
(diterjemahkan oleh Tudjimah). (Jakarta: UI Press, 1984), hal. 18.
16 Haji Muhammad Djabir adalah anak dari Maharaja Imam Haji Muhammad Arif atau
paman Basioeni Imran. Pernah berguru kepada Syekh Abu Bakri Syatha, Syekh Muhammad bin
Ismail Al-Fathani dan Syekh Ahmad Al-Fathani. Karyanya (yang baru ditemukan) adalah Risalah
al-Hajj (selesai ditulis 12 Rabiul Awwal 1331 H) (Moh. Haitami Salim, dkk. Op. Cit. hal. 103).
17 Gusti Mahyudin Ardhi. Op.Cit. hal. 4.
18 Moehammad Basioeni Imran. Daftar Sedjarah Perdjalanan Hidup dari Hadji
Mohamad Basioeni Imran Maharaja Imam Sambas. (1950). (Naskah Ketikan).

7
(seorang Arab).19
Pada tahun 1324 H beliau disuruh pulang ke Sambas oleh orang tuanya.
Sejak pulang dari Mekkah beliau secara rutin berlangganan majalah al-Manar.20
Selain itu beliau juga mempelajari berbagai kitab berbahasa Arab dari Mesir. 21
Mulai tahun 1905 (setelah pulang dari Mekkah), Basioeni Imran diangkat oleh
Sultan Muhammad Tsafiuddin menjadi Imam pembantu di Masjid Jami’ (masjid
Istana) Sambas dan memberikan pelajaran agama Islam di Istana Sultan Sambas
kepada putri-putri dan ahli istana.
Setelah tiga tahun mengabdi di Masjid Jami’ dan Istana Sultan Sambas,
pada tahun 1908 Basioeni Imran berangkant ke Cairo Mesir ditemani oleh
saudaranya H. Achmad Fauzi Imran dan temannya H. Achmad Sood. Tujuan
keberangkatannya adalah untuk melanjutkan pelajaran agama Islamnya pada
sekolah menengah al-Azhar di Cairo, Mesir. Setelah menamatkan pendidikan di
sekolah tersebut beliau melanjutkan pendidikannya di Madrasah Darudda’wah
wal Irsyad” yang didirikan oleh Muhammad Rasyid Ridha.22 Di samping belajar
secara formal di kedua lembaga pendidikan tersebut, Basioeni Imran dan
saudaranya bersama beberapa mahasiswa lainnya dari juga belajar secara privat
kepada seorang ulama terkemuka dari Al-Azhar Sayyid Ali Surur al-Zankaluni 23.
Dari Muhammad Rasyid Ridha, Basioeni Imran banyak belajar ilmu tasir dan
ilmu tauhid.

Menurut Badran24 di Mesir Basioeni Imran banyak menulis di

majalah al-Manar dan surat kabar al-Ittihad yang diterbitkan oleh para penuntut
ilmu di Mesir dengan pimpinan redaksi Muhammad Fadullah Suhaimi.
Pada bulan Sya’ban 1331 H/1913 Basioeni Imran kembali ke Sambas
karena ayahnya sakit keras. Pada tanggal 22 Ramadhan 1331 H/25 Agustus 1913
H. Maharaja Imam Haji Muhammad Imran, sang ayah meninggal dunia. Setelah
19 Pijper. op.cit.
20 Majalah ini pertama kali terbit tahun 1898 dalam bentuk majalah mingguan, dan
berikutnya menjadi majalah bulanan hingga berhenti terbit tahuan 1935. Azyumardi Azra
menyatakan bahwa majalah ini adalah karya pribadi Ridha dan memilki pengaruh yang tidak
dapat dipandang remeh sebagai perangkat instrumental dalam penyebaran ide-ide kaum
pembaharu atau modernis di dunia Melayu-Indonesia. Lihat lebih lanjut: Azyumardi Azra, Islam
Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, (Bandung: Mizan, 2002), hal. 183-186. Lihat Juga:
Harun Nasution, Op.Cit., hal 70.
21 Badran Basioeni Imran. Mengenal H.M. Basioeni Imran Maharaja Imam Sambas.
(naskah ketikan,tt, td.), hal. 8-9.
22Moehammad Basioeni Imran. op.cit. Lihat juga: Haitami Salim, Op.Cit., hal. 85.
23 Salah seorang murid Rasyid Ridha (Harun Nasution, Op.Cit. hal.68).
24Badran, op.cit., hal. 10-11.

8
pulang dari Mesir, Basioeni Imran tetap mendalami kitab-kitab fikih maupun
kitab lainnya terutama tafsir al-Manar dan majalah al-Manar. Untuk
meningkatkan kemampuannya, maka ia melatih diri dengan menulis beberapa
kitab dan/atau risalah dalam bahasa Arab. Di samping itu, ia juga sering
mengajukan pertanyaan tentang soal-soal agama melalui surat kepada redaksi
majalah al-Manar.25 Di antara pertanyaan yang diajukan adalah tentang
kemunduran umat Islam dan majunya kaum lain sebagaimana telah disebutkan
pada bagian pendahuluan. Semua itu telah memberikan arti dan pengaruh yang
sangat besar dalam pengembangan keilmuan dan kegiatan Basioeni Imran di
kemudian hari.
Setelah ayahnya wafat, maka jabatan Maharaja Imam mengalami
kekosongan. Selanjutnya dengan besluit Sultan Muhammad Tsafiuddin tertanggal
9 November 1913, Basioeni Imran diangkat menjadi Maharaja Imam, Qadli dan
Mufti di Kerajaan Sambas26 menggantikan ayahnya. Jabatan sebagai Maharaja
Imam ini diemban beliau hingga masa kemerdekaan Indoensia, saat kerajaan
Sambas secara otomatis tidak lagi berfungsi secara politis-administratif. Di
samping menjabat sebagai Maharaja Imam, Qadli dan Mufti di Kerajaan Sambas,
sejumlah jabatan lainya pernah diemban oleh Basioeni Imran, antara lain:27
1.

Anggota Plaatselijk Fonds Sambas dalam tahun 1920 (berdasarkan Besluit
Residen Borneo Barat).

2.

President Mahkamah Raad Agama di Kerajaan Sambas sejak tanggal 30
Januari 1927 (berdasarkan Besluit Besturcommissie Kerajaan Sambas).

3.

Pengawas bagi Sekolah Agama Islam di Sambas sejak 1918.

4.

Anggota Rubbercommissie di Pontianak pada tahun 1934-1939 (berdasarkan
Besluit Resident Borneo Barat).

5.

Ketua Perkumpulan Tarbiatul Islam Sambas tahun 1936-1950.

6.

Penghulu Landgerecht (berdasarkan Besluit nomor 3 Resident Borneo Barat
tgl. 5 Februari 1946).

7.

Adviseur dari Zelfbestuurscommissie Sambas (berdasarkan Besluit nomor 57
Resident Borneo Barat tgl. 20 Februari 1946.

25Pijper, op.cit. Hal 145.
26Moehammad Basioeni Imran. op.cit.
27 Point 1 s.d. 8 berdasarkan Daftar Perjalanan Hidup yang diketik sendiri oleh Basioeni
Imran tertanggal 13 Juni 1950.

9
8.

Ridder in de Orde van Oranje Nassau (berdasarkan Besluit nomor 99 Ratu
Wilhelmina tgl. 13 September 1946. .

9.

Anggota Konstituante RI wakil Partai Masyumi Kalimantan Barat hasil
Pemilu 1955 (berdasarkan Petikan Surat Keputusan Panitia Pemeriksaan No.
305/1956/K).

10. Penata Hukum Tk. I atau Ketua Pengadilan Agama Mahkamah Syariah
Kalimantan Barat tahun 1966-1975.(G.M. Ardhi, 2001:5).
Pada tahun 1974 beliau menderita penyakit darah tinggi selama dua tahun
dan sempat dirawat di Rumah Sakit Sungai Jawi Pontianak. Pada hari Senin
tanggal 26 Juli 1976 Haji Moehamad Basioeni Imran wafat di Pontianak dalam
usia 93 tahun. Pada hari yang sama jenazah beliau dibawa ke Sambas dan
dimakamkan di Kampung Dagang Timur Sambas.
C. Pembaharuan di Bidang Pendidikan
Salah satu langkah pembaharuan yang dilakukan oleh Basioeni Imran
adalah melakukan perubahan mendasar pada lembaga pendidikan bentukan
Kerajaan Sambas, Madrasah al-Sulthaniyah. Madrasah ini didirikan secara formal
pada tahun 1916 oleh Sulthan Muhammad Tsafiuddin II. Pada masa-masa awal
berdirinya, kurikulum madrasah al-Sulthaniyah terbatas pada muatan pelajaran
yang bersifat keagamaan. Beberapa perubahan mendasar dilakukan oleh Basioeni
Imran bersama Ahmad Fauzi dan Abdurrahman Hamid sepulang menuntut ilmu
dari Makkah dan Mesir.
Beberapa perubahan mendasar yang dilakukan oleh Basioeni Imran adalah
sebagai berikut. Pertama, perubahan di bidang kurikulum. Di samping
mempelajari kitab-kitab standar berbahasa Arab yang ditulis oleh pakar dari
Timur Tengah28 Basioeni Imran mulai memasukkan mata pelajaran umum seperti
berhitung, membaca dan menulis huruf Latin. Kedua, merubah madrasah yang
hanya untuk kelangan kerabat keraton selanjutnya menjadi lembaga pendidikan
yang bisa diakses oleh seluruh masyarakat, khususnya putra-putri di Sambas.
Oleh karena itu, peran Madrasah al-Sulthaniyah pun mulai berubah. Jika awalnya
28 seperti kitab al-Islam: Syari’ah wa ‘Aqidah (Mahmud Syaltut), Fath al-Qarib
(Muhammad Ibn Qasim), Jawahir al-Kalamiyah (Husein al-Jisr), Husn al-Hamidiyah (Husein
Affandy), Qawa’id al-Lugah al-‘Arabiyah (Hefni Beik), dan Kalimat al-Tawid (Husein Wali).

10
hanya berfungsi sebagai institusi bagi transmisi ilmu, kemudian berkembang
sebagai wadah utama reproduksi ulama. Sampai tahun 1930-an, madrasah ini
menjadi lembaga pemberi otorisasi bagi seseorang untuk menjadi pejabat agama
di wilayah kerajaan Sambas.29
Perubahan ketiga, yang lebih mendasar adalah merubah Madrasah alSulthaniyah menjadi sekolah Tarbiatoel Islam sejak tangal 1 Juli 1936. Bahasa
pengantar dalam proses pembelajaran yang semula menggunakan bahasa Melayu
lama dan aksara Arab Jawi mulai diperbarui . Yaitu dengan memasukkan bahasa
Belanda sebagai bahasa pengantar pada kelas 4-7, sementara kelas 1-3 tetap
menggunakan bahasa Melayu. Perubahan berikutnya adalah rekruitmen tenaga
pendidik yang lebih profesional dengan mendatangkan para guru dari luar daerah
seperti dari Sumatera Barat terutama perguruan al-Tawalib dan Perguruan Syafi’i
di Kayu Tanam. Tenaga pendidik yang datang dari Sumatera dan Jawa ini
dimaksudkan agar dapat memberikan nuansa baru, karena dari dua daerah ini
perkembangan pendidikannya mendahului daerah lain.30
Melanjutkan perubahan kelembagaan, maka perubahan mendasar juga
dilakukan pada aspek kurikulum. Pada saat berbentuk Madrasah al-Sulthaniyah
telah dilakukan perubahan dengan memasukkan pelajaran berhitung dan baca
tulis Latin. Perubahan kurikulum kemudian berlanjut saat telah berubah menjadi
Sekolah Tarbiatoel Islam, yaitu dengan memasukkan mata pelajaran umum
seperti ilmu sejarah, berhitung, ilmu alam, ilmu tumbuhan, ilmu hewan, ilmu
manusia, Bahasa Belanda dan bahasa Indonesia, di samping ilmu-ilmu keislaman.
Menurut Basioeni Imran, ilmu pengetahuan umum adalah sarana penting untuk
mengejar kemajuan. Meskipun demikian, penguasaan ilmu-ilmu tersebut tidak
menyebabkan seseorang tercerabut dari akar keagamaannya.31

D. Karya-karya Haji Mohammad Basioeni Imran
Semasa hidupnya Basioeni Imran banyak menulis, baik yang telah dicetak
maupun yang masih hasil ketikan atau tulisan tangan di buku tulis. Berikut adalah
29 Moh. Haitami Salim, dkk. Op.Cit. hal. 70
30 Ibid. hal. 71-73.
31 Ibid. hal. 73.

11
beberapa karya Basioeni Imran.32
1. Tarjamah Durus al-Tarikh Syariat (Terjemah Pelajaran Sejarah Hukum Islam)
Kitab ini masih merupakan manuskrip terjemahan ringkas kitab Durus alTarikh karangan Syaikh Muhyiddin al-Khayyath, seorang ulama BeirutLebanon. Karya setebal 56 halaman ini tidak dicetak dan mungkin satusatunya buku utuh dan ditulisnya ketika masih berada di Mesir.
Dalam pendahuluan kitab Tarjamah Durus al-Tarikh al-Syari’ah misalnya,
Basioeni Imran menyebut latar belakang penulisan kitab ini. Ia menjelaskan:33
Kemudian daripada itu maka adalah daripada [sebesar-besar] sebaik-baik
amal yaitu amal yang kembali manfaatnya dan faedahnya kepada kaumnya
dan anak-anak, agamanya dan bahasanya. Oleh karena itu kepinginlah
saya akan amal yang seperti itu maka jika tiada dapat sekaliannya jangan
ditinggalkan sekaliannya padahal bukanlah saya daripada ahli yang
demikian dan bukanlah ini masa bagi yang demikian itu karena adalah
saya sekarang sedang menuntut ilmu akan tetapi oleh ka[re]na yang
tersebut itu tiadalah menegahkan oleh besar pekerjaan itu.
Apakala adalah ilmu tarikh itu daripada segala ilmu-ilmu yang besar
faedahnya bagi tiap manusia tetapi ialah ilmu yang wajib atasnya ia
ketahui akan dia istimewanya tarikh Nabi kita sallallahu alaihi wasallam
dan tiada saya dapat sebuah kitab dengan bahasa Melayu pada tarikh Nabi
kita (saw) yang patut bagi anak-anak bangsa kita Melayu memilihlah saya
akan menterjemahkan kitab Durus al-Tarikh bagi yang alim Syekh
Muhyiddin al-Khayyath, daripada ahli Beirut ke bahasa Melayu. Adapun
ini kitab empat bahagian yang pertama pada tarikh Nabi (saw). Yang
kedua pada tarikh al-Khulafaurrasyidin. Yang ketiga pada tarikh daulah
Amawiyah, dan yang keempat pada tarikh daulah Abbasiyah.
Dan kata pengarangnya itu dua bahagian lagi akan ia keluarkan. Maka
sesungguhnya pengarangnya itu telah izinkan kepada saya
menterjemahkan sekalian bahagian-bahagian kitab itu. Insya Allah akan
saya terjemahkan akan bahagian pertama itu melainkan di dalam waktu
yang picik dan menyambar daripada waktu bersenang.
2. Bidayah al-Tawhid fi al-Ilm al-Tawhid (Dasar-dasar ke-Esa-an Allah dalam
Ilmu Tawhid).
Kitab ini ditulis pada hari Rabu 13 Jumadil Awwal 1336 H (27 Maret 1918),
terdiri dari 59 halaman. Dicetak oleh penerbitan al-Ahmadiyah Singapura pada
tahun yang sama. Kitab berbahasa Melayu ini mungkin merupakan karya
pertama Basioeni Imran yang dicetak di suatu penerbitan. Kitab setebal 59
32Penjelasan mengenai karya-karya Basioeni Imran ini dikutip dari: Haitami Salim, dkk.
op.cit. Hal. 88-99.
33Lihat lebih lanjut: Moehammad Basioeni Imran.. Tarjamah Durus al-Tarikh Syariah.
(1916, manuskrip).

12
halaman ini memuat enam bab yang ditambah dengan daftar ralat, pengantar
penulis, pendahuluan, dan penutup.
Di dalam kata pengantarnya, Basioeni Imran menjelaskan bahwa kitab ini
merupakan saduran dari beberapa kitab, yaitu kitab al-Jawahir alKalamiyyah, karya al-‘Allamah Syaikh Tahir al-Jawazairi, kitab Kalimat alTawhid karya al-‘Allamah Syaikh Husein Waaly al-Mishry, dan kitab Kifayat
al-‘Awwam. Diakuinya kandungan kitab ini sepenuhnya mengikuti isi kitabkitab tersebut, sedangkan susunannya dan sistematika pembahasannya
disesuaikan dengan “perasaan” orang Melayu.
Dalam kitab Bidayat al-Tawhid fi ‘Ilm al-Tawhid ini Basioeni Imran
menegaskan bahwa mempelajari pokok-pokok agama (usuluddin) secara garis
besarnya adalah hukumnya wajib peorangan (fardhu ‘ain) bagi setiap ‘aqil
baligh (muslim dewasa) sedangkan mempelajarinya secara rinci hukumnya
wajib bagi orang banyak (fardhu kifayah). Kitab ini ditulis tidak saja
menjelaskan pokok-pokok akidah Islam akan tetapi juga untuk memurnikan
dan meluruskan keyakinan dan amal keagamaan yang menyimpang dari
ajaran-ajaran syariat berdasarkan kepada al-Quran serta sunnah yang sahih dan
qath’i (bersifat pasti) .
3. Risalah Cahaya Suluh
Risalah Cahaya Suluh, Pada Mendirikan Jumat Kurang Daripada Empat
Puluh selesai ditulis pada waktu Maghrib malam Jumat 22 Safar 1339 H (14
Oktober 1920 M). Dicetak pada tahun yang sama di percetakan al-Ikhwan,
Singapura.
Risalah Cahaya Suluh juga ditulis dalam edisi bahasa Arab dengan judul alNusus wa al-Baharin ‘ala Iqamat al-Jumu’ah bi mad al-‘Arba’in, (“Beberapa
Nash dan Argumentasi tentang Mendirikan Shalat Jumat yang Kurang dari 40
Orang”). Dicetak di percetakan al-Manar Kairo tahun 1344 H / 1925 M.
Tujuan penulisan risalah Cahaya Suluh

34

ini dapat dilihat dari penjelasannya

kepada Pijper pada tahun 1950. Basioeni Imran menjelaskan:
34 Lihat lebih lanjut: Muhammad Basioeni Imran. Cahaya Suluh, Pada Mendirikan
Jumat Kurang Daripada Empat Puluh. (Singapura: Matba’ah al-Ikhwan, 1920). Kitab ini
merupakan suplemen dari kitab terjemahan Basioeni Imran yang berjudul Khulasah Sirah
Muhammadiyah.

13
“Di kerajaan Sambas orang jarang shalat Jumat, bahkan Masjid Agung di
ibu kota saja hanya dikunjungi oleh kurang lebih 500 orang; dan ini
sangat sedikit bagi suatu kota besar. Inilah yang menyebabkan hatinya
tergugah untuk memperkenalkan qawl qadim Syafi’i yang mengizinkan
shalat Jumat dengan jama’ah kurang dari empat puluh orang, namun
demikian shalatnya tetap sah. Pendapat ini dilaksanakan di Kerajaan
Sambas dan tentang ini tidak pernah timbul pertentangan.”35
Dalam pengantarnya Basioeni Imran menjelaskan bahwa naskah ini ditulis
sebagai jawaban atas berbagai pertanyaan dan permintaan fatwa kepadanya
tentang hukum sah atau tidak shalat Jumat yang jamaahnya kurang dari empat
puluh orang serta bagaimana kedudukan shalat mua’dah (mengulanginya
dengan shalat Zuhur) setelah Jumat. Di samping itu banyak pula fatwa-fatwa
liar tentang masalah ini yang simpang siur dan berkembang di tengah-tengah
masyarakat sehingga membingungkan mereka, bahkan kadang-kadang
menimbulkan perselisihan.
4. Zikr al-Maulid al-Nabawi (Mengingat Kelahiran Nabi)
Kitab Zikr al-Maulid al-Nabawi36 adalah karangan Muhammad Rasyid Ridha
yang cukup besar. Untuk itu lebih mudah memahaminya Basioeni Imran
menerjemahkannya secara ringkas.
Pada bagian pengantar kitab Zikr al-Maulid al-Nabawi ini Basioeni Imran
menjelaskan:
“Maka adalah di dalam beberapa tahun lalu saya menulis surat ke hadrat
al-‘allamah al-muslih al-sayyid Muhammad Rasyid Ridha Sahib alMannar di Mesir mohon akan ditunjukkan kepada saya satu kitab atau
risalah yang patut dan bagus untuk menunjuki orang-orang muslimin
kepada jalan kebenaran dan kebagusan agama Islam untuk memanggil
akan orang-orang asing kepada agama yang mulia itu, dan saya berjanji
dengan dia apabila ada itu kitab atau risalah maka saya terjemahkan
risalahnya (Zikr al-Maulid al-Nabawi) ringkasan perjalanan dan ceritera
Nabi kita Muhammad SAW, maka saya pun terjemahkan mukhtasar-nya di
dalam bulan Ramadan tahun 1374 [sekitar 1928] karena hendak
mengambil pendeknya.” Kandungan kitab ini memuat masalah acara
memperingati kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW, yaitu apakah
hukumnya sebagai suatu kegiatan mengada-ada yang baik (bid’ah
hasanah) atau yang tercela (bid’ah sayyi’ah).

35 Pijper, op.cit. hal. 147.
36 Naskah yang masih berupa ketikan huruf latin peneliti temukan di Museum Tamadun
Islam Nagri Sambas (rumah Basioeni Imran).

14
5. Tazkir (Peringatan)
Judul lengkap kitab ini adalah Tazkir, Sabil al-Najah fi Tarikh al-Salah (Jalan
Kelepasan pada Mengingati Orang yang Meninggalkan Sembahyang). Kitab
ini selesai ditulis di Sambas pada hari Rabu, 9 Rabiul Awwal 1349 H (3
September 1930 M). Kemudian dicetak oleh percetakan al-Ahmadiyah,
Singapura, pada 23 Sya’ban 1349 H (12 Januari 1931 M).
Pemikiran Basioeni Imran dalam kitab Tadzkir37 (Peringatan) ini menarik untuk
dilihat. Kata Tadzkir (memperingati, mengingatkan, atau peringatan) di awal
judul kitab ini merupakan tema pokok keseluruhan isi kitab. Sasaran kitab ini
adalah kepada tiga kelompok orang Islam. Pertama, mengingatkan orang yang
tidak mau shalat, dengan menunjukkan betapa besarnya dosa orang yang tidak
mau shalat. Kedua, mengingatkan orang yang tidak tahu shalat, dengan
mengemukakan syarat, rukun serta tata cara shalat. Ketiga, mengingatkan
orang yang belum sempurna shalatnya, dengan menjelaskan perlunya tertib,
khusyu’ dan mengerti serta memahami bacaan shalat.
Beberapa kitab yang dijadikan rujukan resmi Basioeni Imran dalam menulis
karya ini adalah: Kitab al-Zawajir karangan Syekh Ibnu Hajar al-Haitam, kitab
al-Azhar karangan Imam Nawawi, majalah al-Mannar edisi 31, dan kitab
Muhazzab.
6. Khulashah Sirah al-Muhammadiyyah (Ringkasan Sejarah Hidup Muhammad)
Kitab Khulashah Sirah al-Muhammadiyyah adalah kitab sejarah karangan
Muhammad Rasyid Ridha. Basioeni Imran menambahkan kata-kata Hakikat
Seruan Islam pada judul terjemahannya. Terjemahan setebal 89 halaman ini
selesai ditulis setelah shalat Isya pada malam Ahad, 29 Sya’ban 1349 H / 18
Januari 1931 M. Kemudian dicetak oleh percetakan al-Ahmadiyah, Singapura,
tahun 1351 H / 1931 M. Naskah ketikan juga ditemukan yang berbahasa
Melayu beraksara Latin, namun beberapa halaman hilang.
Dalam pengantar kitab Khulashah Sirah al-Muhammadiyyah38 (Ringkasan
37 Lihat lebih lanjut Muhammad Basioeni Imran. Tadzkir, Sabil al-Najah fi Tarik alSalah (Jalan Kelepasan pada Mengingati Orang yang Meninggalkan Sembahyang). (Singapura:
Matba’ah al-Ahmadiyah, 1931)
38 Lihat lebih lanjut Muhammad Basioeni Imran. Khulasah Sirat al-Muhammadiyah.
(Singapura: Matba’ah al-Ahmadiyah, 1931).

15
Sejarah Hidup Muhammad) ini, Basioeni Imran menyampaikan keterangan
tentang penulisan kitab ini:
“Kemudian datang surat beliau (Muhammad Rasyid Rida) itu bertarikh 20
Jumadil Akhir 1349 bersamaan 11 Nopember 1930 jawab surat saya di
dalam perkara hendak menterjemahkan kitab-kitab ke dalam bahasa
Melayu maka katanya: “Tuan mulailah dengan menterjemahkan risalah
kami (Khulasah Sirah Muhammadiyah) yang ia pungut dari Zikr alMaulid serta tuan sayyid itu kirim satu naskah kepada saya.”
Kandungan kitab ini memuat petunjuk bagi orang-orang Islam untuk tetap
berada pada jalan kebenaran dan kebaikan, mengajak orang lain untuk masuk
Islam. Di samping itu dimuat juga tafsir al-Quran. Kitab ini juga berbicara
masalah ushul (pokok-pokok akidah Islam). Di bagian akhir kitab, penulis
menambahkan keterangan tentang hukum maulid, apakah bid’ah yang baik
atau yang jelek.
7. Nur al-Siraj fi Qissat al-Isra’ wa al-Mi’raj (Cahaya Pelita pada Ceritera Isra’
dan Mi’raj)
Kitab ini ditulis oleh Basioeni Imran pada bulan Rajab 1334 H / 1916 M yang
selesai selama dua hari, kemudian direvisi pada hari Jumat, 23 Jumadil Akhir
1357 H / 19 Agustus 1938 M. ditulis dengan huruf “Jawi” (Arab Melayu),
seluruhnya berjumlah 26 halaman.
Meskipun terkesan sederhana, harus diakui terdapat beberapa pemikiran yang
disebutnya ”hikmah dari Allah”, yang patut dihargai, yaitu pertama,
menyodorkan konsep malaikat mimpi yang membedakan mimpi dengan isra’
dan mi’raj. Dalam mimpi ruh tidak pergi kemana-mana, akan tetapi malaikat
mimpi yang mendatangkan berbagai peristiwa yang dialami di dalam mimpi.
Kedua, keberanian Basioeni Imran dalam menetapkan bahwa shalat wajib
yang dikehendaki Allah sejak semula adalah lima kali.
8. Al-Janaiz (Kitab Jenazah)
Kitab al-Jana’iz ditulis oleh Basioeni Imran di Sambas pada masa
pemerintahan Jepang. Selesai ditulis di Sambas pada 15 Rabiul Awwal 1362
H/1943 M (kalender Jepang: 21 Sigitsu 2603).

16
Dalam kitab berikutnya yaitu al-Jana’iz39 (Kitab Jenazah) dibahas hal-ihwal
kematian. Dalam pembahasannya, Basioeni Imran menggunakan tiga pola.
Pertama, bersandar kepada keterangan al-Quran, Sunnah Rasulullah SAW,
dan pendapat ulama terdahulu terutama ulama mazhab Syafi’i. Kedua,
merujuk kepada pemikiran-pemikiran kontemporer pada masa itu terutama
kepada pemikiran Muhammad Rasyid Ridha. Ketiga, berijtihad sendiri setelah
memperhatikan dan membandingkan berbagai pendapat yang ada.
9. Irsyad al-Gilman fi Adab Tilawat al-Qur’an (Petunjuk Praktis untuk Anak
tentang Adab Membaca al-Quran)
Kitab ini selesai ditulis Basioeni Imran pada tanggal 5 Syawal 1352 (21
Januari 1934). Kemudian diterbitkan dan dicetak pada percetakan alAhmadiyah Singapura.
Kemudian kitab Irsyad al-Gilman fi Adab Tilawat al-Qur’an40 (Petunjuk
Praktis tentang Adab Membaca al-Quran) Dalam kata pengantar bukunya ia
menjelaskan:
“Dan Quran itu untuk beribadah dengan lafadz-lafadznya yakni dibaca
akan dia baik pun di dalam sembahyang atau di luar sembahyang dan
paham akan maknanya atau tiada maka semuanya itu diberi pahala atasnya
asal dengan betul dan ikhlas akan tetapi Quran itu diturunkan ialah supaya
dibaca akan dia dengan betul dan dipahamkan maknanya dan maksudnya
karena di dalamnya hidayah (petunjuk) kepada jalan kebajikan dunia dan
akhirat dan cahaya yang sangat terang bagi segala hati dan akal maka
orang yang membaca Quran tiada paham akan maknanya dan maksudnya
sedikitlah bahagian daripadanya”.
Sistematika pembahasan kitab ini terdiri dari: Hukum menyentuh Mushaf;
Adab Membaca al-Quran antara lain meliputi: suci daripada najis dan hadats
(yakni tahir) dan suci batin dari sifat riya’ (keangkuhan) ‘ujub (rasa angkuh)
dan sum’ah namun sebaliknya harus ikhlas, khusyu’ (penuh konsentrasi)
tawaddu’ (rendah hati) dan khasyyah (takut kepada Allah ta’ala); Sunnahsunnah yang berkaitan dengan membaca al-Quran; dan perihal sujud tilawah.

39 Lihat lebih lanjut: Muhammad Basioeni Imran, Kitab al-Janaiz. (Tasikmalaya:
Percetakan Galunggung, 1949).
40 Lihat lebih lanjut: Muhammad Basioeni Imran. Irsyad al-Ghilman fi Adab Tilawat alQuran. (Singapura: al-Matba’ah al-Ahmadiyah,1934).

17
10. Durus al-Tawhid (Pelajaran-Pelajaran tentang Tawhid)
Kitab ini selesai ditulis Basioeni Imran pada tanggal 20 Rajab tahun 1354 (18
Oktober 1935). Kemudian diterbitkan dan dicetak pada percetakan alAhmadiyah Singapura. Menurut keterangan Basioeni Imran, karya ini
merupakan terjemahan dari kuliah-kuliah Muhammad Rasyid Rida.
Dalam pengantar kitab Durus al-Tawhid

41

ini Basioeni Imran menjelaskan

bahwa karya ini merupakan terjemahan dari kuliah-kuliah Muhammad Rasyid
Rida.
(‘Amma ba’du) adapun kemudian daripada itu, maka adalah kira-kira
dalam tahun 1329 atau 1330 (tahun Hijjrah) saya belajar di Madrasah Dar
al-Dakwah wa al-Irsyad di Mesir yang telah didirikan oleh Sayyid M.
Rasyid Rida Sahib al-Mannar. Dan adalah beliau itu mengajarkan alQuran dan pelajaran Tauhid (ushuluddin) daripada barang yang dituliskan
sendiri, maka setengah daripada murid-murid madrasah (sekolah itu) ada
menyalin pelajaran atau pengajian tauhid itu dan saya dapat satu naskah
daripadanya. Maka saya pandang bahwa pelajaran tauhid yang diajarkan
oleh tuan guru itu kepada kami sangat perlunya disiarkan di antara orang
muslimin sekalipun ia pendek karena ialah akidah atau i’tiqad yang
bersetuju dengan kitabullah (al-Quran) dan Sunnah Rasul-Nya
Muhammad SAW lagipun terlalu mudah memahamkannya.
Dan diadakan Madrasah Dar al-Dakwah wa al-Irsyad maksudnya ialah
akan mengeluarkan murid-murid yang cakap menunjukkan orang-orang
muslimin kepada agama Islam yang betul lagi bersih daripada khurafat
dan bid’ah-bid’ah maka sekalian pelajarannya demikian. Dari dan karena
itu saya terjemahkan akan dia dengan bahasa Melayu supaya dicapai
faedahnya oleh anak-anak negeri saya (Sambas Borneo Barat) dan
saudara-saudara Islam di mana-mana negeri yang mengerti Bahasa
Melayu. Bertambah-tambah kuat kehendak saya akan menterjemahkannya
ialah bahwa saya dapat kabar bahwa tuan guru kami itu Sayyid Muhammd
Rasyid Ridha telah wafat (kembali ke rahmat Allah Ta’ala) di Mesir hari
Kamis, 23 Jumadil Awwal tahun 1354 ia dapat sakit keras terus meninggal
di dalam otomobil. Ketika ia kembali dari Negeri Swiss mengantarkan
Amir Sa’ud bin Imam Abdul Aziz raja Hijaz dan Nejd hendak berlayar
pulang ke Makkah musyarrafah ialah tiada putus pahala amalnya itu
Dan pelajaran ini teratur atas soal dan jawab, maka saya tulis S artinya
soal – pertanyaan – dan saya tulis J artinya jawab. Dan saya namai akan
ini risalah “Durus al-Tawhid al-Sayyid Muhammad Rasyid” dan ada jua
saya tambah-tambah di hasyiyah itu supaya terang. Maka saya harap akan
Allah Ta’ala beri manfaat dengan dia akan orang-orang yang membacanya
dan mempelajarinya dengan ikhlas dan bersih hati “sesungguhnya Dia
maha mendengar doa”.
41 Lihat lebih lanjut: Muhammad Basioeni Imran, Durus al-Tawhid, (Singapura: alMatba’ah al-Ahmadiyah,1935).

18

Dari penjelasannya tersebut dapat disimpulkan bahwa motivasi yang
mendorong Basioeni Imran menterjemahkan kitab ini adalah pertama,
menurutnya ilmu tauhid merupakan ilmu yang wajib dipelajari, karena
merupakan akidah yang bersumber dari al-Quran dan hadis. Kedua, kesadaran
akan kurangnya kitab-kitab tauhid yang ditulis dalam bahasa Melayu. Ketiga,
adanya keinginan untuk beramal jariyah di bidang ilmu, agar ilmu dari
gurunya tidak terputus.
Selain kitab tersebut, ada juga kitab Khutbah Jumat, Hari Raya Aidilfitri,
Hari Raya Aidiladha dan Gerhana, ditulis dalam bahasa Arab dan bahasa Melayu
(khusus khutbah gerhana) dicetak oleh Mathba'ah al-Ahmadiah, tanpa tahun. 42
Beberapa kitab berikut ini informasinya

diperoleh dari keterangan Pijper43

berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Basioeni Imran kepadanya:
1. Daw’ al-Misbah fi Faskh al-Nikah (Cahaya Lampu Untuk Membatalkan
Nikah)
Kitab ini dicetak di Penang pada tahun 1938 M. Kandungan kitab ini
membahas suatu persoalan yang timbul dalam kehidupan beragama yaitu faskh
nikah. Menurut Pijper, Basioeni Imran memberikan keterangan padanya bahwa
kebiasaan “taqliq”, yaitu talaq yang dikenakan persyaratan dan diucapkan
pada waktu upacara pernikahan dilangsungkan tidak dikenal di daerah Sambas.
Pembatalan

pernikahan

biasanya

dilaksanakan

dengan

jalan

fasakh

(menyatakan tidak berlaku lagi). Tentu saja harus ada alasan yang kuat untuk
mengajukan faskh dan ini harus diajukan kepada Maharaja Imam, beliaulah
yang menangani semua urusan yang berhubungan dengan faskh di seluruh
kerajaan Sambas.
2. Al-Nusus wa al-Barahin ‘ala Iqamat al-Jum’ah bimad al-Arba’in (Beberapa
Dalil dan Argumentasi dalam Melaksanakan Shalat Jumat yang Kurang dari
Empat Puluh Orang)
Karya ini merupakan edisi bahasa Arab dari risalah Cahaya Suluh. Dicetak
oleh percetakan al-Manar Kairo tahun 1344 H / 1925 M.
3. Husn al-Jawab ‘an Isbat al-Ahillah bi al-Hisab (Molek Jawaban tentang
42Wan Moh. Shaghir Abdullah. 2006. Op.Cit.
43Pijper, op.cit.

19
Menetapkan Awal Bulan Dengan Hitungan).44
4. Manhal al-Gharibin fi Iqamat al-Jumu’ah bi dun al-‘Arba’in (Pendapat Orang
yang Asing tentang Melaksanakan Shalat Jumat Kurang dari Empat Puluh
Orang)
Risalah ini ditulis pada 14 Ramadan 1332 H / 1914 M. Mungkin tidak
diterbitkan karena menurut Basioeni Imran risalah ini masih berlanjut.
5. Al-Tazkirat Badi’ah fi Ahkam al-Jum’ah (Peringatan Bagi yang Mengada-ada
dalam Hukum Shalat Jumat)
Risalah ini merupakan kelanjutan risalah Manhal, ditulis dalam bahasa Arab
dan selesai ditulis pada 17 Muharram 1339 H / 1920 M. Menurut keterangan
Basioeni Imran risalah ini juga bersambung dan mungkin kitab yang
menyempurnakannya adalah kitab al-Nusus.
Selain karya-karya Basioeni Imran yang dipublikasi seperti tersebut di
atas, masih terdapat beberapa manuskrip yang belum sempat diterbitkan antara
lain: Tafsir Surat-surat Pendek, Tafsir Ayat Puasa, Penetapan Awal Bulan,
terjemahan al-Umm al-Syafí, beberapa buku harian, dan sejumlah naskah
kullijatul muballighin (1967). Salah satu naskah yang penulis temukan di museum
di Sambas karya Basioeni Imran adalah naskah ketikan berjudul Al-Ibanatoe wal
inshafoe fil masaailiddiniah wa izalati attafarruqi fiha wal ichtilaaf (Menjatakan
dan Menengahi (mengadili) pada Masalah Agama dan Menghilangkan Berpetjah
Belah dan Bersalah-salahan padanya) berbahasa Melayu beraksara Latin.
Sepengetahuan penulis, naskah ini belum dipublikasikan dan naskahnya masih
utuh. Naskah ini sangat penting untuk dipahami, khususnya jika ingin memahami
pandangan-pandangan Basioeni Imaran sebagai seorang pembaharu. Oleh karena
itu, secara khusus naskah ini akan dijelaskan secara singkat sebagai berikut.45
Naskah al-Ibanah diketik dengan menggunakan aksara latin dan
berbahasa melayu; kecuali ayat Al-Quran dan Hadis Nabi ditulis dengan bahasa
dan aksara Arab. Naskah diketik pada kertas biasa tanpa cap kertas atau water
mark berukuran 22,2 cm X 16 cm diketik pada kedua sisi dengan jumlah halaman
44 Kitab ini diselesaikan pada 6 Ramadan 1352 H/23 Desember 1933 M. Membicarakan
hisab anak [awal] bulan untuk melakukan puasa dan hari raya. Dicetak oleh Maktabah azZainiyah, Penang, 1938. Diberi Kata Pengantar oleh Syeikh Tahir Jalaluddin al-Minangkabau.
(Wan Moh. Shaghir Abdullah, 2013.Op.Cit).
45 Penjelasan tentang pemikiran Basioeni Imran dalam naskah al-Ibanah ini dikutip dari:
Zulkifli Abdillah, Kepingan-kepingan Sejarah Umat Islam, (Pontianak: STAIN Press, 2010).

20
sebanyak 122 halaman. Secara umum naskah dalam kondisi baik, kecuali sisi
bawah naskah sudah dimakan rayap sehingga ada beberapa tulisan di beberapa
halaman yang hilang. Sebagaiana disebutkan di atas, naskah ini tersimpan di
Museum Tamadun Islam Nagri Sambas di kota Sambas.
Mengikuti pendapat gurunya, Muhammad Rasyid Ridha, Basioeni Imran
dalam naskah ini berupaya menjelaskan bahwa pintu ijtihad masih tetap terbuka
bagi siapa saja. Basieoni Imran terkesan berupaya agak memperlunak syaratsyarat untuk menjadi seorang mujtahid. Jelas terlihat bahwa Basioeni Imran tidak
setuju dengan sikap taqlid dan jumud yang menggejala di tubuh umat Islam.
Karena sikap tersebut mengarahkan umat untuk berselisih dan berpecah belah.
Oleh karenanya perlu diupayakan secara konseptual dan praktis untuk
mengeluarkan umat Islam dari perselisihan dan perpecahan. Dan naskah yang
ditulis Basioeni Imran ini mengambil posisi di sini.
Jika ditelaah apa yang ditulis dalam naskah ini, terkesan bahwa Basioeni
Imran cenderung pada mazhab Ahmad bin Hanbal dan mengikuti pendapat Ibnu
Taimiyah. Hal ini dapat dipahami mengingat ia adalah murid dari Muhammad
Rasyid Ridha. Seperti yang dikemukakan oleh Harun Nasution bahwa
Muhammad Rasyid Ridha masih terikat pada pendapat-pendapat Ibnu Hanbal dan
Ibnu Taimiyah. Gerakan Muhammad bin Abd al-Wahab karena semazhab ia
sokong dengan kuat.46 Apakah Basioeni Imran juga cenderung kepada aliran
Wahhabi, sebagaimana gurunya, tidak dapat kita nyatakan secara pasti. Yang
jelas, di dalam naskah ini Basioeni Imran tidak senang umat Islam saling
mengejek dengan memberi gelar-gelar yang tidak pantas kepada saudaranya
sesama muslim, termasuk menyebut atau menggelari seseorang sebagai Wahhabi.
C. Penutup
Demikianlah sekilas perjalanan hidup Basioeni Imran, seorang tokoh
ulama di Kerajaan Sambas. Dari sejarah singkat yang telah dipaparkan terungkap
bahwa Basioeni Imran adalah ulama yang telah mendapatkan didikan keagamaan
dari para tokoh pembaharu Islam. Ketika ia kembali ke kampung halamannya
Sambas, maka ia merealisasikan ide pembaharuannya dengan memperbaharui
46Harun Nasution, Op.Cit. Hal. 66-67. Lihat juga Harun Nasution, Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI-Press, 2002), hal. 99.

21
sistem pendidikan Madrasah al-Sulthaniyah yang kemudian berkonsekuensi
berubah menjadi Sekolah Tarbiatoel Islam. Untuk menularkan ide-ide
pembaharuannya, Basioeni Imran telah pula menghasilkan banyak karya tulis,
baik yang sudah diterb