Kajian spasial data respon balik penangk (1)

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012
KAJIAN SPASIAL DATA RESPON BALIK PENANGKAPAN IKAN PELAGIS
BESAR DARI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA TERNATE
MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS

PK-17

Hanggar P. Kadarisman* dan Eko Susilo
Balai Penelitian dan Observasi Kelautan – Kementerian Kelautan dan Perikanan,
Jalan Baru Perancak Negara – Jembrana – Bali
*Penulis untuk korespondensi, E-mail: hanggarprasetio@gmail.com
Abstrak
Analisis data respon balik dari Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Ternate pada tahun 2011
memberikan 19 Informasi wilayah penangkapan ikan pelagis besar. Persentase hasil tangkapan
terbesar berada pada perairan Bacan untuk ikan cakalang (Katsuwonus pelamis), Obi untuk
mandidihang (Thunnus albacares), Gane Barat untuk tongkol (Euthynnus sp.), dan Ternate untuk
tuna (Thunnus sp.). Kajian spasial yang dilakukan adalah memantau lingkungan perairan untuk
parameter Suhu Permukaan Laut (SPL) dan klorofil –a di lokasi penangkapan tersebut melalui data
satelit Aqua MODIS, dengan jangka waktu kajian berulang pada tahun 2002 hingga 2011. Hasil
O
pemantauan dari ke empat lokasi kajian, didapatkan bahwa fluktuasi SPL mencapai 1,5 C

dengan
O
nilai maksimal 2,88 C dari kondisi rata-rata. Pada semua lokasi perairan, suhu terendah dapat
dijumpai pada musim timur sekitar bulan Juli dan Agustus, yang diikuti dengan naiknya konsentrasi
klorofil -a pada masing-masing perairan. Anomali positif lebih dari 1 derajat untuk SPL mulai terlihat
tinggi pada tahun 2008 dan memiliki tren terus naik pada tahun berikutnya dengan hasil nilai
terbesar berada pada perairan Bacan. Hasil kajian ini memberikan informasi kondisi lingkungan
wilayah penangkapan ikan pelagis besar yang secara langsung dapat dipantau dengan
penginderaan jauh. Sehingga akan dihasilkan data time series yang secara berkelanjutan merujuk
kepada prediksi karakteristik wilayah penangkapan untuk jenis ikan yang spesifik.
Kata kunci: klorofil –a, pelagis besar, respon balik, SPL
Pengantar
Ikan pelagis merupakan kelompok ikan yang hidup dan mencari makanan pada daerah
pelagis (perairan terbuka dan bebas dari dasar laut) dengan kedalaman perairan mencapai 200 m
(Dahuri et al., 2008). Ikan pelagis besar memiliki kemampuan ruaya yang tinggi diantara laut lepas
dan wilayah pesisir (Beamish et al., 2005) dan menjadi primadona penangkapan ikan ekonomis
penting utama nelayan di wilayah perairan Indonesia, seperti cakalang (Abdulah, 2011), tuna
(Habibi et al., 2011), dan tenggiri (Sudariastuti, 2011). Menurut DJPT (2011) dalam publikasinya,
memperlihatkan selama kurun waktu 5 tahun (2005-2010) ikan ini masih merupakan salah satu
dari tiga hasil tangkapan terbesar di Indonesia dengan jumlah total tangkapan mencapai 1.156 juta

ton pada tahun 2010.
Produksi tangkapan ikan pelagis besar sebagian besar tersebar di seluruh perairan
Indonesia, namum secara keseluruhan dari sebelas Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik
Indonesia (WPP-RI) terdapat beberapa wilayah yang memiliki dominasi produksi tertinggi,
diataranya adalah WPP-RI 573 (Perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah
selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian barat), WPP-RI 711 (Perairan Selat
Karimata, Laut Natuna, dan Laut Cina Selatan), WPP-RI 715 (Perairan Teluk Tomini, Laut Maluku,
Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau), WPP-RI 716 (Perairan Laut Sulawesi dan sebelah
utara Pulau Halmahera), dan WPP-RI 717 (Perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik)
(DJPT, 2011).
Jenis-jenis ikan pelagis besar yang terdapat di perairan Indonesia antara lain: ikan tuna
besar meliputi: madidihang (Thunnus albacares), tuna mata besar (Thunnus obesus), albakora
(Thunnus alalunga), tuna sirip biru selatan (Thunnus maccoyii), tuna ekor panjang (Thunnus
tonggol), jenis ikan pedang/ setuhuk yang meliputi: ikan pedang (Xipian gladius), setuhuk biru
(Makaira mazara), setuhuk hitam (Makaira indica), setuhuk loreng (Teptapturus audax), ikan
layaran (Istiophorus platypterus), jenis tuna kecil meliputi: ikan cakalang (Katsuwonus pelamis),
dan jenis ikan tongkol yang terdiri dari Euthynnus affinis, Auxis thazard, dan Auxis rochei. Jenis

Semnaskan _UGM / Penangkapan & Kelautan (PK-17) - 1


Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012
ikan cucut yang meliputi: Sphyrna sp., Carcharhinus longimanus, C. Brachyurus dan lain-lain
(Mallawa, 2006).
Penginderaan jauh (inderaja) memiliki peranan penting dalam pemantauan kondisi
lingkungan di Indonesia. Lillesand & Kiefer (1994) menunjukkan gambaran yang luas dalam
bukunya mengenai “Remote Sensing and Image Interpretation”, dan memberikan kontribusi yang
besar di bidang inderaja hingga perkembangannya saat ini. Pada bidang kelautan dan perikanan,
inderaja dapat memberikan solusi dalam banyak hal mengenai pengamatan lingkungan, mengingat
Indonesia merupakan negara maritim dengan potensi baharinya yang tinggi. Inderaja dapat
digunakan sebagai kajian spasial maupun temporal untuk beberapa pemantauan kondisi
lingkungan perairan, seperti; SPL, klorofil –a, mangrove, garis pantai, maupun sebaran terumbu
karang, dan merupakan suatu implementasi yang dapat membantu mengumpulkan informasi
secara geografis sehingga dapat dianalisis.
Salah satu satelit yang dapat melakukan pemantauan berkala dengan resolusi temporal
tinggi adalah satelit Aqua Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (Aqua-MODIS)/ EOS
PM1 yang diluncurkan oleh NASA (National Aeronautics and Space Administration) pada tanggal 4
Mei 2002 (Savtchenko et al., 2004). Satelit ini berfungsi untuk memberikan informasi global tentang
permukaan bumi, atmosfer, atau fenomena laut dengan orbit ketinggian adalah 705 km yang dapat
dimanfaatkan oleh berbagai pihak di seluruh dunia (free).
Penelitian terkait dengan kajian informasi inderaja dan penangkapan ikan di Indonesia;

Hendiarti et al., (2004) memberikan gambaran melalui pergerakan air di musim timur (Juni hingga
September) di Selat Sunda yang ditunjukkan dengan suhu yang lebih hangat (SPL lebih tinggi dari
29,5OC) dan konsentrasi klorofil –a lebih dari 0,5 mg/m , 3kondisi ini berpengaruh pada kelimpahan
ikan di perairan tersebut, dimana penangkapan ikan bertepatan dengan masuknya air dari Laut
Jawa yang mengantarkan ikan-ikan pelagis untuk beruaya menuju kesana. Selain itu, kajian yang
terkait dengan hal tersebut juga ditunjukkan oleh Sartimbul et al. (2010) mengenai pengaruh klorofil
–a terhadap hasil tangkapan (CpUE) ikan lemuru di Selat Bali.
Faktor sumber makanan dan kesesuaian lingkungan habitat untuk hidup di perairan
menjadikan hal utama dalam mempelajari sumberdaya hayati ikan. Merujuk pada ikan pelagis
besar dengan habitatnya, beberapa tulisan telah dibuat, diantaranya oleh Zainuddin (2011) untuk
ikan cakalang, tuna mata besar oleh Wibawa (2011); Brill et al. (2005), dan ikan pedang oleh
Boyce et al. (2008), dimana semuanya memiliki kesamaan yang terletak pada parameter
lingkungan seperti SPL dan klorofil -a (yang diteliti) dengan spesies ikan, sebagai kajian habitat
organisme.
Data respon balik merupakan informasi log book lokasi penangkapan dan informasi jumlah
hasil tangkapan ikan-ikan yang didaratkan ke pelabuhan perikanan. Analisis data respon balik bisa
menggambarkan pola penangkapan dan kecenderungan hasil tangkapan pada musim-musim
tertentu.
Pemanfaatan terhadap data respon balik ini, memberikan beberapa masukan dalam
melakukan kajian perikanan khususnya pada bidang observasi lingkungan perairan, diantaranya

adalah informasi mengenai kondisi fisik dan biologi lingkungannya melalui pemantauan satelit
inderaja.
Kajian data spasial yang diambil dari data respon balik dengan melihat lokasi tangkapan ikan
pelagis besar merupakan suatu studi awal untuk memperlihatkan kondisi lingkungan secara time
series terkait dengan pola habitat ikan menggunakan satelit inderaja. Hasil yang diharapkan
kedepannya adalah untuk mencapai suatu prediksi habitat suatu jenis ikan melalui pendekatan
informasi lingkungan dari penginderaan jauh yang dikaji dari validasi data insitu.
Bahan dan Metode
Data Respon Balik
Pengumpulan data respon balik difokuskan pada Pelabuhan Perikanan Nusantara Ternate
pada tahun 2011 dengan informasi data bulanan, mengambil potensi ikan pelagis besar sebagai
kajian spasial dominasi lokasi penangkapannya melalui informasi jumlah hasil tangkapan bulanan
(Januari hingga November).
Data Satelit
SPL sangat berperan penting dalam perubahan kondisi lingkungan dan merupakan faktor
pembatas dalam kehidupan organisme (Laivastu & Hela (1970); Rounsefell & Everhart (1962)).

2 - Semnaskan _UGM / Penangkapan & Kelautan (PK-17)

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012

Fitoplankton merupakan mata rantai dasar dari rantai kehidupan di perairan, terutama di laut
(Adnam, 1998). Pengambilan data fitoplankton melalui citra satelit dapat dilakukan dengan melihat
konsentrasi klorofil –a (Khalil, 2007).
Data SPL dan klorofil –a diambil melalui satelit Aqua MODIS daytime level 3 SMI (Standard
Mapped Image) bulanan dengan tahun perekaman Juli 2002 hingga Desember 2011, resolusi pixel
4,6 km (OBPG, 2007) dari oceancolor.gsfc.nasa. gov.
Proses
Pengolahan menitikberatkan pada analisis kondisi SPL dan klorofil –a melalui kajian
berulang (2002 – 2011) di lokasi penangkapan ikan dominan, dari informasi respon balik untuk
mengetahui garis waktu fluktuasi, rentan dan variasi nilai SPL dengan klorofil –a sehingga
memberikan gambaran umum tentang lingkungan penangkapan ikan di daerah tersebut.
Nilai rata-rata SPL dan klorofil –a digunakan sebagai analisis untuk mengetahui fenomena
yang terjadi di perairan tersebut, dengan menggunakan nilai anomali (Sartimbul et al., 2010)
sebagai indikator penyimpangannya. Nilai anomali diperoleh dengan membuat komposit bulanan
selama 2002 hingga 2011 per satuan bulan.
Hasil dan Pembahasan
Respon Balik
Pengumpulan data respon balik dari PPN Ternate tahun 2011 memberikan ulasan menarik
mengenai lokasi penangkapan ikan di WPP-RI 715 dan WPP-RI 716 (selanjutnya kita akan sebut
perairan Halmahera dan Ternate). Meskipun informasi yang didapatkan tidak secara keseluruhan

dari Tempat Pendaratan Ikan di wilayah itu, dan hanya terpantau setiap bulannnya mulai tahun
2011, bisa dikatakan informasi ini membantu menunjukkan gambaran penangkapan ikan di
Indonesia dalam skala wilayah kecil, yang memiliki kekuatan pada informasi lokasi dan hasil
tangkapan ikannya.
Hasil analisis yang didapat, lokasi penangkapan ikan (fishing ground) di sekitar perairan
Halmahera dan Ternate berjumlah 19, disebutkan dalam nama lokal, yaitu Bacan, Batang Dua,
Gane Barat, Haltim, Jailolo, Kayoa, Loloda, Makian, Morotai, Moti, Oba, Obi, Patani, Sanana, Sofifi,
Ternate, Tidore, Tobelo, dan Weda.
Hasil tangkapan khusus ikan pelagis besar, sebagian besar didominasi oleh ikan cakalang
(Katsuwonus pelamis) dengan total volume penangkapan 1.962,7 ton, yang merupakan
penyumbang nilai produksi terbesar di Ternate (Abdullah, 2011), kemudian ikan tongkol
(Euthynnus sp.) sebesar 1.068,9 ton, tuna (Thunnus sp.) 391,2 ton, dan satu persennya adalah
ikan madidihang (Thunnus albacares) atau Yellowfin Tuna. Lokasi penangkapan dari keempat ikan
tersebut ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 1. Persentase dominasi lokasi penangkapan untuk ikan cakalang, madidihang, tongkol dan
tuna (persentase tangkapan tertinggi ditunjukkan dengan tanda panah).

Semnaskan _UGM / Penangkapan & Kelautan (PK-17) - 3


Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012

Gambar 2. Lokasi Penangkapan ikan. Ikan cakalang dan madidihang sering tertangkap disebelah
tenggara Ternate dan cenderung menjauh dari pesisir dengan posisi pusat koordinat
O
O
adalah 0O 21’ 00” LS 126O7’ 30” BT dan 1 3’
00” LS 126 36’
00” BT sedangkan untuk
ikan tongkol dan tuna, penangkapan masih di wilayah perairan dekat pesisir dimana
ditunjukkan masih dekat dengan wilayah kepulauan Maluku dengan pusat koordinat
O
O
adalah 0O 48’ 00” LU 127O15’ 00” BT dan 0 18’
00” LS 127 18’
00“ BT.
Melihat dari dominasi lokasi penangkapan, rutinitas yang dilakukan oleh nelayan setiap
tripnya membentuk sebuah pola yang menunjukkan ikan-ikan ini dominan tertangkap pada lokasi
berbeda (Gambar 1). Merujuk pada hasil analisis, ikan cakalang ternyata sering tertangkap di
daerah Bacan dengan persentase 62,21% sebesar 1.221 ton, madidihang sebesar 55,55% (12,3

ton) di daerah Obi, kemudian tongkol 23,61% (252,4 ton) berada di Gane Barat, dan untuk ikan
tuna sering tertangkap di daerah Ternate dengan persentase 29,28% (154,2 ton). Hasil ini
menunjukkan bahwa kecenderungan dari perbedaan lokasi penangkapan ikan pelagis ini bisa saja
memiliki habitat toleransi berbeda antara satu dengan yang lain (Boyce et al., 2008; Brill et al.,
2005) sehingga jenis-jenis ikan ini lebih memilih lingkungan yang cocok untuk hidupnya.

Gambar 3. Fluktuasi SPL di lokasi penangkapan ikan pelagis besar (kotak merah menunjukkan
suhu tertinggi dan kotak biru menunjukkan suhu terendah, selama periode 10 tahun
terakhir).

4 - Semnaskan _UGM / Penangkapan & Kelautan (PK-17)

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012

Gambar 4. Konsentrasi klorofil –a di lokasi penangkapan ikan pelagis besar (kotak merah
menunjukkan konsentrasi tertinggi dan kotak biru menunjukkan konsentrasi terendah,
selama periode 10 tahun terakhir).
Kondisi SPL dan Klorofil –a
Hasil analisis dari citra satelit, menunjukkan SPL pada empat lokasi penangkapan ikan
tersebut terlihat menurun drastis pada tahun 2004 (Gambar 3.) dengan suhu terendah terlihat pada

O
O
bulan Agustus di perairan Bacan (26,76 C)
dengan fluktuasi mencapai -1,07 C dari
nilai normal
O
rata-rata (27,83 C) sedangkan puncak suhu tertinggi juga terjadi di perairan Bacan pada bulan
O
Januari tahun 2009 sebesar 32,32 C
dengan fluktuasi sebesar 2,62 CO dari suhu rata-rata
O
(29,67 C). Kondisi ini berbalikan dengan klorofil –a pada lokasi kajian, yang menunjukkan
peningkatan fluktuasi positif pada peraian.
Gambar 4. Menunjukkan konsentrasi klorofil -a tertinggi muncul pada bulan-bulan Juli hingga
Agustus dengan fluktuasi bisa mencapai lebih dari 0,6 mg/m3 dan termasuk kedalam katagori
konsentrasi tinggi (Arsjad et al., 2004) sedangkan konsentrasi terendah terdapat pada bulan
3
Desember hingga Maret dengan tingkat konsentrasi bisa mencapai 0,06 mg/m . Nilai
konsentasi
3

tertinggi terlihat di perairan Gane Barat pada bulan Juli 2004 sebesar 1,46 mg/m
(kotak warna
merah) sedangkan konsentrasi klorofil -a terendah berada di perairan Obi pada bulan Desember
2010 (kotak warna biru). Fluktuasi klorofil -a tertinggi terjadi pada bulan Juli hingga Agustus disaat
angin muson timur datang dan mulai menurun setelah satu bulan kemudian, hingga Desember.
Karakteristik ini memperlihatkan suatu hubungan korelasi negatif (Sartimbul et al., 2010; Hendiarti
et al., 2004) yang dapat dideskripsikan dengan contoh penurunan SPL dapat berhubungan dengan
kenaikan konsentrasi klorofil –a (Gambar 5.).

Gambar 5. Fluktuasi Tahunan SPL (kiri) dan klorofil –a (kanan) pada tahun 2002 – 2011.
Pola fluktuasi musiman SPL (2002-2011) yang dimiliki keempat lokasi tangkapan
menunjukkan kemiripan antara satu dengan yang lain (Gambar 5. (kiri)). Puncak suhu tertinggi
terjadi pada bulan November disaat angin muson barat tiba, dengan suhu rata-rata di atas 30 C,O
kemudian melemah hingga bulan Januari dan mulai naik lagi secara bertahap hingga bulan April
sedangkan lembah suhu terendah didapati pada bulan Agustus saat musim timur, dengan rata-rata

Semnaskan _UGM / Penangkapan & Kelautan (PK-17) - 5

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012
O
suhu dapat mencapai di bawah 29 CO (didapati pula hingga di bawah 28 C pada
perairan Bacan
dan Obi). Penurunan suhu saat musim timur ini direspon positif oleh konsentrasi klorofil –a, terlihat
pada Gambar 5. (kanan) terjadi peningkatan yang diawali oleh perairan Gane Barat pada bulan
Juli, kemudian bulan Agustus diikuti lokasi lainnya.
Secara spasial kondisi tinggi rendahnya SPL dan konsentrasi klorofil –a tersebut
diperlihatkan pada Gambar 6 dan 7 yang merupakan hasil konposit bulanan pada bulan Januari
(mewakili musim barat) dan bulan Agustus (mewakili musim timur). Pada bulan Januari suhu
rendah masih nampak di perairan Ternate yang ditun-jukkan dengan warna hijau, dibandingkan
pada lokasi kajian lainnya. Penurunan suhu sangat jelas terlihat pada bulan Agustus, bersamaan
itu terjadi peningkatan konsentrasi klorofil –a yang cenderung berada pada wilayah barat laut
Halmahera dan Ternate, yaitu Obi, Bacan, dan Gane Barat. Peningkatan tertinggi terlihat di sekitar
perairan Obi.

Gambar 6. Sebaran klorofil –a (kiri) dan SPL (kanan) komposit bulan Januari.

Gambar 7. Sebaran klorofil –a (kiri) dan SPL (kanan) komposit bulan Agustus.

6 - Semnaskan _UGM / Penangkapan & Kelautan (PK-17)

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012
Anomali SPL dan Klorofil –a

Gambar 8. Anomali SPL (bar merah) dan klorofil –a (bar hitam) pada keempat lokasi kajian. Dari
kiri atas ke kanan; Ternate, Obi, Gane Barat, Bacan. Menunjukkan penyimpangan nilai
yang berbeda tiap tahunnya nampak jelas pada tahun 2010 terjadi penyimpangan nilai
rata - rata dari kondisi normal di semua lokasi kajian.
Gambar 8. Hasil anomali dari citra Aqua-MODIS menunjukkan informasi SPL (Bar merah)
memiliki korelasi negatif dengan klorofil –a (bar hitam). Nilai korelasi yang diperoleh pada masingmasing perairan adalah -0.45 untuk Bacan, -0.26 untuk Gane Barat, -0,65 Obi, dan -0.64 untuk
Ternate. Melihat pada Sartimbul et al., 2010; Yapa, 2009; dan Hendiarti et al., 2004, korelasi
negatif ini, terbentuk karena keterpengaruhan kondisi oseanografi salah satunya adalah upwelling,
diperlihatkan dengan suhu lebih rendah dari keadaan normal dan diindikasikan terjadi pengadukan
air laut sehingga perairan kaya akan nutrien dan dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh
fitoplankton untuk membantu proses metabolisme, yang diperlihatkan dengan tingginya
konsentrasi klorofil –a.
Tren yang ditunjukkan pada masing-masing perairan memiliki kecenderungan naik untuk
SPL dari tahun 2002 hingga 2011. Kenaikan ini bisa jadi disebabkan karena pengaruh fenomena
laut yang berada di sekitar perairan tersebut, salah satunya adalah ENSO. Merujuk pada Sukresno
(2010) perairan Halmahera memiliki korelasi yang tinggi dengan fenomena ENSO sehingga pada
musim-musim tertentu kondisi SPL bisa lebih tinggi dibandingkan dari suhu rata-ratanya. Untuk
tren nilai anomali konsentrasi klorofil –a terlihat berkebalikan dengan SPL, cenderung menurun dari
tahun 2002 hingga 2011. Penurunan konsentrasi klorofil -a ini apabila terjadi terus-menerus, bisa
dipastikan akan memberikan efek pada siklus rantai makanan, karena fitoplankton merupakan
mata rantai dasar di perairan sehingga apabila kondisi ini terganggu, maka tidak akan ada
makanan untuk konsumen tingkat pertama dan akan beruntut dengan dampak terburuk adalah
berkurangnya hasil tangkapan di lokasi penangkapan ikan tersebut.
Variasi musiman SPL dan Klorofil –a
Tingkat variasi SPL pada lokasi kajian memiliki pola keragaman yang berbeda setiap
bulannya. Standar deviasi yang ditunjukkan dari hasil analisis, tingkat tertinggi dicapai pada bulan
o
Juli hingga Agustus diatas 0,5 C, yang berarti bahwa sebaran suhu permukaan laut pada perairan
tersebut cenderung tidak mendekati kondisi rata-rata, hal ini juga diperlihatkan pada Gambar 8.
dimana pada bulan-bulan tersebut anomali SPL terlihat menurun di bawah rata-rata.
Peranan angin muson memberikan kontribusi terhadap variasi SPL di perairan ini. Pada saat
bertiup angin muson barat, angin basah yang dibawa dari Cina selatan memberikan pengaruh
terhadap kenaikan SPL di perairan Indonesia. Untuk perairan Halmahera dan Ternate, kondisi itu
nampak terlihat di bulan November hingga April. Sebaliknya, pada angin muson timur, udara yang
bertiup melewati perairan Indonesia bersifat kering, memberikan efek penurunan SPL yang ada di
perairan Indonesia (Kunarso et al., 2011; Simbolon dan Tadjuddah, 2008), pada wilayah kajian,
penurunan SPL ini dimulai bulan Mei, kemudian turun hingga Agustus. Pada musim dimana angin

Semnaskan _UGM / Penangkapan & Kelautan (PK-17) - 7

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012
muson timur bertiup. Beberapa tempat di Indonesia mengalami upwelling seperti di laut Arafura,
Maluku, dan Laut Banda (Surinati,2009).

Gambar

9.

Volume tangkapan (ton) menunjukkan pada bulan Juli-Agustus-September
terkonsentrasi penangkapan tertinggi ikan madidihang, tongkol, dan cakalang yang
berlangsung pada saat musim timur sedangkan penangkapan ikan tuna banyak
terkonsentrasi pada bulan Maret.

Gambar 10. Variasi rata –rata kondisi (kiri) konsentrasi klorofil -a dalam mg/m 3, (kanan) SPL dalam
derajat celsius, dari tahun 2002-2011. Bar hitam pada setiap histogram menunjukkan
nilai disaat penangkapan tertinggi pada ikan tuna (Maret), madidihang (Juli), tongkol
(Agustus), cakalang (September).
Variasi SPL dan Klorofil –a terhadap volume tangkapan
Hasil tangkapan menunjukkan ikan cakalang, madidihang, dan tongkol tertangkap dengan
volume tangkapan tertinggi pada saat terjadi penurunan SPL (Gambar 9. dan 10.).
Kondisi SPL dan klorofil –a yang terekam saat penangkapan ikan cakalang tertinggi (200,3
O
3
ton) adalah pada bulan September dikisaran 28,50 C dan 0,23 mg/m . Terkait dengan Zainuddin
(2011), hasil SPL dan klorofil –a berada pada kisaran 28,5 hingga 32,5 OC dan 0,1 hingga 0,7
mg/m3 memang merupakan habitat ikan cakalang. Ikan ini senang berkumpul pada zona
konvergensi dengan batasan antara masa air hangat dan dingin seperti upwelling FAO (1983).
Penangkapan tertinggi ikan madidihang berada pada bulan Juli dengan volume tangkapan
5,9 ton. Perekaman citra satelit menunjukkan pada bulan tersebut rata-rata SPL dan klorofil –a
O
3
menunjukkan nilai 28,33 C dan 0,41 mg/m . Ikan ini pada keadaan tertentu dapat berenang
mendekati permukaan (0 – 20 m) dan cenderung menyukai tempat yang tidak memiliki gradien
suhu dan bersifat homogen (Cayré, 1991; FAO, 1983).
3
Pada jenis ikan tongkol didapatkan kisaran nilai SPL 28,67 C Odan klorofil –a 0,28 mg/m ,
volume tangkapan tertinggi sebesar 62,3 ton di bulan Agustus. Ikan yang termasuk dalam famili
O
O
Scombridae ini termasuk ikan yang menyukai habitat temperatur antara 18 -29 C dan bersifat
neritik. Ikan ini cenderung bertelur ketika suhu perairan menjadi hangat (FAO, 1983).
Berbeda dengan ikan tuna, dimana penangkapan ikan ini terlihat tinggi pada bulan Maret
O
3
(29,96 C dan 0,19 mg/m ) yang secara normal kondisi ini merupakan peralihan musim barat
menuju musim timur dan indikasi suhu di atas rata-rata (29,64 C)Omasih nampak pada bulan ini

8 - Semnaskan _UGM / Penangkapan & Kelautan (PK-17)

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012
(Gambar 5.). Hal ini menunjukkan kemungkinan pada bulan dimana upwelling dan konsentrasi
klorofil -a tinggi tidak sepenuhnya direspon oleh ikan ini, akan tetapi kecenderungan memilih
habitat yang cocok karena karakteristik lingkungan ikan sendiri sebagai faktor pembatas itulah
yang sebenarnya mendukung keberadaan ikan itu baik secara horizontal maupun vertikal (Laivastu
& Hela, 1970; Rounsefell & Everhart,1962; Masrikat,2002).
Kesimpulan
Hasil analisis kajian pada lokasi dominan penangkapan ikan pelagis besar didapatkan
informasi SPL dan klorofil –a sebagai berikut:
 Perairan Bacan untuk penangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) Nilai rata-rata
O
SPL yang didapatkan dari lokasi penangkapannya adalah 29,44 C dengan rentan nilai
O
O
minimum mencapai 26,76 C dan nilai maksimumnya adalah 32,32 C
sedangkan untuk
3
konsentrasi nilai klorofil –a rata-rata didapatkan adalah 0,19 mg/m
dengan rentan nilai
minimum mencapai 0,08 mg/m 3 dan nilai maksimumnya sebesar 0,95 mg/m 3. Rata-rata
suhu dan klorofil –a 2002-2011 yang didapatkan bertepatan dengan tingginya hasil
O
3
tangkapan pada bulan September adalah 28,50 C dan 0,23 mg/m .
 Perairan Obi untuk penangkapan ikan madidihang (Thunnus albacares). Nilai rata-rata
SPL yang didapatkan dari lokasi penangkapan adalah 29,48 C O dengan nilai maksimum
O
31,54OC dan nilai minimum 26,82
C sedangkan konsentrasi klorofil –a rata-rata yang
3
3
didapatkan adalah 0,23 mg/m dengan nilai minimum maksimumnya adalah 0,06 mg/m
3
dan 0,77 mg/m . Nilai rata-rata suhu dan klorofil –a 2002 – 2011 yang didapatkan
O
bertepatan dengan tingginya penangkapan pada bulan Juli adalah 28,33 C
dan 0,41
3
mg/m .
 Perairan Gane Barat untuk penangkapan ikan tongkol (Euthynnus sp.) didapatkan nilai
O
O
suhu rata-rata sebesar 29,76 C dengan rentan nilai minimum 27,61 C dan maksimal
O
31,35 C. untuk nilai konsentrasi klorofil –a rata-rata sebesar 0,25 mg/m 3 dengan nilai
3
rentan minimal maksimal adalah 0,11 dan 1,46 mg/m sedangkan
rata-rata nilai klorofil –a
dan SPL 2002 – 20011 bertepatan dengan tingginya hasil tangkapan pada bulan Agustus
O
adalah 0,28 mg/m3dan 28,67 C.
 Perairan Ternate untuk penangkapan ikan tuna (Thunnus sp.). Nilai rata-rata SPL yang
didapatkan dari lokasi penangkapan ikan tuna adalah 29,63 C Odengan rentan nilai
O
O
minimum mencapai 27,34 C
dan nilai maksimumnya adalah 31,11 C
sedangkan untuk
3
konsentrasi nilai klorofil -a rata-rata didapatkan adalah 0,19 mg/m dengan rentan nilai
minimum mencapai 0,10 mg/m 3 dan nilai maksimumnya sebesar 0,47 mg/m 3. Rata-rata
suhu dan klorofil –a 2002-2011 yang didapatkan bertepatan dengan tingginya hasil
tangkapan pada bulan Maret adalah 29,96OC dan 0,19 mg/m 3.
Daftar Pustaka
Abdullah, R.M. 2011. Keberlanjutan perikanan pelagis di Ternate dan strategi pengembangannya.
Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Adnam, Q. 1998. Potensi aplikasi fitoplankton bagi bioteknologi kelautan: Studi kasus Teluk
Jakarta, Teluk Banten dan perairan Surabaya. Seminar Bioteknologi Kelautan Indonesia 329
– 227.
Arsjad, A.B.S.M., Y. Siswantoro & R.S. Dewi. 2004. Inventarisasi sumberdaya alam dan lingkungan
hidup: Sebaran chlorophyll – a di perairan Indonesia. Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut –
BAKOSURTANAL. Jakarta.
Beamish, R.J., G.A. McFarlane & J.R. King. 2005. Migratory patterns of pelagic fishes and possible
linkages between open ocean and coastal ecosystems off the Pacific Coast of North
America. Deep-Sea Res. II. 52: 739 – 755.
Boyce, D.G., D.P. Tittensor & B. Worm. 2008. Effects of temperature on global patterns of Tuna
and Billfish richness. Mar. Ecol. Prog. Ser. 355: 267-276.

Semnaskan _UGM / Penangkapan & Kelautan (PK-17) - 9

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012
Brill, R.W., K.A. Bigelow, M.K. Musyl, K.A. Fritsches & E.J. Warrant. 2005. Bigeye Tuna (Thunnus
obesus) behavior and physiology and their relevance to stock assessments and fishery
biology. Col. Vol. Sci. Pap. ICCAT, 57(2): 142-161.
Cayré. P. 1991. Behaviour of Yellowfin Tuna (Thunnus albacares) and Skipjack Tuna (Katsuwonus
pelamis) around Fish Aggregating Devices (FADs) in the Comoros Islands as determined by
ultrasonic tagging. Aquat. Lining Resour. 4, 1-12.
Dahuri, R., J. Rais, S. P. Ginting & M.J. Sitepu. 2008. Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan
lautan secara terpadu. PT Pradnya Paramitha. Jakarta. 328 hal.
Direktorat Jendral Perikanan Tangkap. 2011. Peta keragaan perikanan tangkap di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI). Direktorat Sumberdaya Ikan.
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
FAO. 1983. FAO species catalogue vol. 2 Scombrids of the world. FAO Fisheries Synopsis No.
125. FIR/S125 Vol. 2. Rome.
Habibi, A., D. Ariyogagautama & Sugiyanta. 2011. Seri panduan perikanan skala kecil: Perikanan
Tuna – panduan penangkapan dan penanganan Ver.1. WWF.Indonesia. ISBN 978-9791461-10-8.
Hendiarti, N., H. Siegel & T. Ohde. 2004. Investigation of different coastal processes in Indonesian
waters using SeaWiFS data. Deep-Sea Res. II. 51: 85-97.
Khalil, I.B. 2007. Seasonal and spatial variability of Sea Surface Temperature (SST) and
Chlorophyll -a concentration using MODIS data in East Kalimantan waters, Indonesia. Thesis
Master of Science. International Institute for Geo-Information Science and Earth
Observation, Enschede, The Netherlands. Netherland.
Kunarso, S. Hadi, N.S. Ningsih & M.S. Baskoro. 2011. Variabilitas suhu dan klorofil –a di daerah
upwelling pada variasi kejadian ENSO dan IOD di perairan Selatan Jawa sampai Timor. Ilmu
kelautan Vol. 16 (3): 171-180.
Laivastu, T & I. Hela. 1970. Fisheries oceanography: New ocean environmental services. Coward
and Gerrish Ltd. Inggris. 238 hal.
Lillesand, T.M. & R.W. Kiefer. 1994. Remote sensing and image interpretation - 3th. John Wiley &
Sons, Inc. United States of America.
Mallawa, A. 2006. Pengelolaan sumberdaya ikan berkelanjutan dan berbasis masyarakat.
Lokakarya Agenda Penelitian Program COREMAP II. Selayar.
Masrikat, J.A.N. 2002. Karakteristik oseanografi fisik dan distribus ikan di perairan Laut Cina
Selatan. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ocean Biology Processing Group.
www.oceancolor.gsfc.nasa.gov.

2007.

SeaDAS

training

manual.

Access

from

Rounseffel, G.A. & W.H. Everhart. 1962. Fishery science: Its methods and aplications. John Wiley
& Sons, Inc. United States of America.
Sartimbul, A., H. Nakata, E. Rohadi, B. Yusuf & H.P. Kadarisman. 2010. Variations in chlorophyll –
a concentration and the impact on Sardinella lemuru catches in Bali Strait, Indonesia.
Oceanography 87: 168-174.
Savtchenko, A., D. Ouzounov, S. Ahmad, J. Acker, G. Leptoukh, J. Koziana & D. Nickless. 2004.
Terra and Aqua MODIS product available from NASA GES DAAC. Adv. In Space Res. 34:
710-714.

10 - Semnaskan _UGM / Penangkapan & Kelautan (PK-17)

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012
Simbolon, D. & M. Tadjuddah. 2008. Pendugaan front dan upwelling melalui interpretasi citra suhu
permukaan laut dan clorofil –a di Perairan Wakatobi sulawesi Tenggara. Buletin PSP Vol.
XVII. No. 3.
Sudariastuti, E. 2011. Pengolahan hasil perikanan: Pengolahan ikan Tenggiri. Pusat Penyuluh
Perikanan. Badan Pengembangan SDM Kelautan dan Perikanan. Kementerian Kelautan dan
Perikanan. Jakarta. 49 hal.
Sukresno, B. 2010. Empirical Orthogonal Functions (EOF) analysis of sst variability in Indonesian
water concerning with ENSO and IOD. International Archives of the Photogrammetry,
Remote Sensing and Spatial Information Science, Volume XXXVIII, Part 8. Kyoto, Japan.
Surinati, D. 2009. Upwelling dan efeknya terhadap perairan laut. Oseana. Vol. XXXIV. No. 4: 3542.
Wibawa, T.A. 2011. Pemanfaatan data satelit oseanografi untuk prediksi daerah potensial
penangkapan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) di Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali.
Jurnal Segara. Vol. 7(1): 29-41.
Yapa, K.K.A.S. 2009. Upwelling phenomena in the southern coastal waters of Sri Lanka during
southwest monsoon period as seen from MODIS. Sri Lanka Journal of Physics, Vol. 10: 715.
Zainuddin, M. 2011. Skipjack Tuna in relation to sea surface temperature and chlorophyll -a
concentration of Bone Bay using remotely sensed satellite data. Jurnal Ilmu dan Teknologi
Kelautan Tropis, Vol. 3, No. 1, Hal. 82-90.
Tanya Jawab
Penanya

: Nita

Pertanyaan

: Apa kelebihan satelit ini? Apa keakuratannya bisa langsung dijadikan pedoman?

Jawaban

: Untuk saat ini salah satu yang digunakan adalah aqua modis yang diharapkan
bisa dijadikan sebagai informasi tentang perairan berdasarkan klorofil.

Penanya

: Diniah

Pertanyaan

: Apakah pada data (misal: ikan jenis A jumlahnya XX) logbook sudah bisa
dijadikan sebagai acuan untuk musim-musim penangakapan ikan?

Jawaban

: Untuk musim-musim ikan belum bisa dikatakan karena masih banyak perlu kajian
untuk beberapa tahun ke depan (missal 10 tahun) dan mengkombinasikan
kondisi dari oseanografis ikan, baru bisa dikatakan bagaimana pola penagkapan
ikan secara valid.

Semnaskan _UGM / Penangkapan & Kelautan (PK-17) - 11