Media Literacy dan Pemilu 2004 Jurnal Pa
MEDIA LITERACY DAN PEMILU 2004:
TINJAUAN AKADEMIS
Prayudi1
Abstract
Changes in the political and economic realities at the end of 1990s shifted the
development of media industries in Indonesia. Issues of freedom of information and
expression resulted in the variety of texts presented in the media. The ability and
capacity of the media to shape the thoughts and expression of public about realities has
led to the understanding of the necessity of media literacy. Media literacy is the ability
to interpret symbols and meanings of the media texts received through communication
media. This paper examines the importance of media literacy and how to develop media
literacy skill. Attention is given to how to practice media literacy skill in relation to the
2004 General Election in Indonesia.
Keywords: media literacy, teks, konteks, Pemilu 2004
Pendahuluan
Dalam lima tahun terakhir perubahan politik yang terjadi di Indonesia membawa
pengaruh yang signifikan pada praktek kebebasan berekspresi dan kebebasan
memperoleh informasi. Menjamurnya industri media menawarkan beragam informasi
yang bisa diakses oleh publik. Media sering disebut sebagai ‘conciousness industries’
dikarenakan media membantu membangun cara berpikir, melihat, mendengar dan
berbicara mengenai relaitas sosial politik yang dihadapi publik. Teks media membentuk
beragam makna sosial. Sering kali publik secara langsung mengadopsi pesan ke dalam
kerangka berpikirnya yang mempengaruhi cara pandang publik atas realitas sosial,
tanpa berupaya untuk memahami konteks bagaimana sebuah pesan dibentuk. Lebih
lanjut, pola berpikir publik lebih sering ditentukan oleh media tanpa ada sikap kritis atau
upaya untuk memahami makna dibalik pesan yang disampaikan media. Hal ini bisa
dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan yang rendah dan kultur sosial masyarakat
sehingga partisipasi aktif atas pesan yang sampai ke publik tidak dipahami secara kritis
(aktif), namun cenderung menerima apa adanya (pasif).
Sementara itu, institusi media adalah sebuah lembaga yang tidak bisa lepas dari
berbagai pengaruh baik eksternal maupun internal. Kenyataan ini menjadikan institusi
media tidak bebas nilai, walau seharusnya media berpihak pada kepentingan pubik.
1
Staf Pengajar Jurusan Ilmu Komuniksai FISIP UPN ‘Veteran’ Yogyakarta.
Dalam pesan yang disampaikan ke publik, ada nilai atau kepentingan tertentu yang
sesungguhnya hendak disampaikan. Oleh karena itu, publik perlu untuk selektif dan
kritis dalam mengkonsumsi pesan media (teks). Upaya untuk membentuk sikap kritis ini
dikenal dengan terminologi media literacy atau ‘sadar media’. Pada prinsipnya media
literacy merupakan kemampuan untuk mengakses, menganalisis, menilai dan
memproduksi komunikasi dalam beragam bentuk (Aufderheide, http://www.kff.org).
Dalam konteks yang lebih luas, orang yang sudah ‘sadar media’ dapat berpikir kritis
atas apa yang dia lihat, dengar dan baca dari televisi, radio, suratkabar, buku, majalah,
internet, film dan segala bentuk teknologi media baru lainnya. Kritisisme atas teks akan
membuat publik lebih bijak dan objektif dalam melakukan penilaian atau memberikan
pendapat atas isu.
Keahlian media literacy menjadi penting bagi publik untuk dikembangkan
karena beberapa argumen berikut:
1. Media mendominasi kehidupan sosial, politik dan kultural.
2. Hampir semua pesan selain pengalaman langsung ‘dimediasikan’.
3. Media memberikan model prilaku dan nilai yang kuat.
4. Media mempengaruhi publik baik secara sadar maupun tidak sadar.
5. Media didorong oleh profit dalam konteks politik dan ekonomi.
6. Media litercay membantu pemahaman atas pesan yang disampaikan oleh media.
7. Media literacy membuat hubungan yang pasif menjadi aktif (media vs audience).
Melalui media literacy, publik diharapkan akan lebih bertanggung jawab dalam
mensikapi pesan yang diterima dan dapat mempengaruhi kehidupan sosial dan politik
mereka. Media literacy juga merupakan cara untuk mengurangi dampak potensial yang
beragam dari pengaruh media dan meningkatkan manfaatnya. Juga menjadikan publik
konsumen yang kritis sekaligus sebagai warga negara yang well-informed sehingga
dapat berpartisipasi aktif dalam masyarakat. Apalagi bila dihubungkan dengan
pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Presiden dan Wakil Presiden 2004 yang dilaksanakan
tanggal 5 april dan 5 Juli 2004. Pertarungan politik yang begitu kuat sangat terlihat baik
antar partai politik maupun antar capres-cawapres. Media massa pun menjadi arena
pertarungan ideologis dari berbagai kelompok kepentingan politik tersebut.
Pemilu 2004 merupakan salah satu agenda politik terpenting bangsa ini karena
menentukan figur-figur yang layak untuk duduk dalam badan legislatif (DPR dan
2
DPRD) dan presiden dan wakil presiden yang diharapkan mampu membawa bangsa ini
keluar dari krisis multidimensi yang berkepanjangan. Peran media massa pun menjadi
sangat signifikan dalam hubungannya dengan pelaksanaan pemilu karena partai-partai
politik dan para kandidat presiden dan wakil presiden berlomba-lomba mendapatkan
dukungan dan simpati dari publik; dan media massa merupakan instrumen yang tepat.
Media massa pun menjadi arena pertarungan ideologis dari berbagai kelompok
kepentingan politik tersebut. Hal ini sesungguhnya menjadi tantangan tersendiri bagi
institusi media apakah media bisa lepas dari berbagai kepentingan sehingga dapat
menyampaikan informasi atau pesan yang independen, obyektif dan bebas nilai.
Kalaupun media harus berpihak, maka media harus berorientasi pada kepentingan
publik.
Pada hari Kamis, tanggal 19 Februari 2004, Komisi Pemilihan Umum (KPU)
dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menandatangani Surat Kesepakatan Bersama
(SKB) tentang Siaran Kampanye Pemilu dan Kampanye Peserta Pemilu. SKB ini
menekankan semua lembaga penyiaran harus berlaku adil kepada peserta Pemilu 2004
selama masa kampanye. Keadilan meliputi pemberian kesempatan yang sama dalam
penyiaran berita dan pemasangan iklan. Bila melanggar, lembaga penyiaran tersebut
dapat diancam sanksi administratif sesuai UU No. 32/2002 tentang penyiaran
(Republika, 19 Februari 2004). Adanya kesepakatan ini sesungguhnya dapat dijadikan
kerangka berpikir – dalam konteks media literacy - bagi publik untuk bersikap kritis
atas beragam teks yang muncul melalui media televisi. Faktor lainnya yang dapat
dijadikan kerangka berpikir tentu saja Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 yang
mengatur tentang Pers.
Walaupun telah ada kesepakatan antara KPU dan KPI dalam bentuk SKB dan
adanya undang-undang yang mengatur tentang penyiaran dan pers, ini hanyalah tiga
dari sekian banyak faktor yang menjadi pertimbangan pihak institusi pers dan media
siaran dalam merepresentasikan isu Pemilu 2004. Artinya, masih ada faktor sosial,
politik, ekonomi, organisasi, misi dan yang lainnya yang mempengaruhi proses
rekonstruksi sebuah pesan atau berita. Oleh karena itu, dalam memahami pesan atau
berita seputar isu Pemilu 2004 publik perlu mencermati konteks pesan yang
bersangkutan.
3
Bagaimana Mengembangkan Keahlian Media Literacy?
Untuk membaca atau memahami teks yang muncul pada berita televisi,
suratkabar, radio dan iklan, paling tidak ada dua pendekatan yang dapat digunakan:
akademis dan praktis.
Pendekatan akademis misalnya dapat dipahami dalam relasi teks-konteks.
Pemahaman klasikal bahwa teks hanya identik dengan tulisan atau kata telah bergeser
ke pemahaman yang lebih luas. Teks bisa saja dalam bentuk tulisan, pidato, gambar,
musik atau segala bentuk simbol lainnya (Lehtonen, 2000:73). Intinya adalah simbolsimbol ini terorganisasikan dan ada kombinasi simbolik yang didefinisikan dengan
jelas. Pesan, informasi atau berita (teks) yang disampaikan oleh sebuah media tidak
akan lepas dari konteksnya. Artinya proses rekonstruksi pesan sebelum pesan
disebarluaskan akan dipengaruhi oleh berbagai aspek, seperti situasi sosial politik, latar
belakang pendidikan reporter, misi dan visi institusi media atau bahkan kepentingan
pemilik modal sekalipun.
Pada masa Orde Baru, media massa sangat berhati-hati dalam memberitakan isuisu politik yang berhubungan dengan pemerintah. Kritik pun harus disampaikan dengan
metode pelaporan tertutup, sopan dan melalui pujian. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan penulis terhadap pemberitaan Harian Kompas periode Orde Baru atas isu
kerusuhan etnis di Kalbar, Kompas cenderung menggunakan eufimisme dan pelaporan
tertutup dalam merepresentasikan isu kerusuhan (Prayudi 2003). Sehingga publik
dituntut untuk membaca makna tersirat atau apa yang tidak ditulis oleh media untuk
memahami konteks berita yang disampaikan oleh media massa. Pada era reformasi,
media massa kadangkala harus berhadapan dengan massa partai politik atau tokoh
politik tertentu jika mereka merasa pemberitaan oleh media massa dianggap tidak sesuai
dengan keinginan mereka. Hal ini mau tidak mau membuat media massa tidak bebas
nilai. Ada kepentingan lain yang akhirnya mempengaruhi proses pelaporan berita
kepada publik. Bisa jadi pemberitaan seorang calon presiden dari partai tertentu oleh
sebuah stasiun televisi cukup dominan dikarenakan calon presiden tersebut memiliki
saham yang dominan pada stasiun tevlevisi yang bersangkutan. Bisa juga pemberitaan
oleh sebuah stasiun televisi mengenai kampanye salah satu capres lebih dominan
dikarenakan capres tersebut sekaligus merupakan presiden yang sedang berkuasa dan
stasiun televisi yang bersangkutan merupakan badan usaha milik negara. Sehingga,
4
untuk memahami teks dari pesan yang disampaikan oleh media massa, publik harus
kritis dengan melihat konteksnya dari berbagai aspek. Melalui pemahaman ini, konsep
‘konteks’ dapat dipahami mengandung penekanan mendalam pada aktivitas publik.
Konteks mengacu pada fakta bahwa makna dalam teks berita diciptakan tidak hanya di
dalam aktivitas yang secara tradisional dianggap memproduksi makna – teks lisan,
tertulis, audiovisual – tapi juga dalam menerima teks. Jadi ada prinsip interaksi dengan
teks (Lehtonen, 2000:116).
Pendapat diatas didukung oleh Grossberg et al. yang menyatakan bahwa media
tidak dapat dipahami terpisah dari hubungan-hubungan aktif dimana mereka selalu
terlibat: kita tidak dapat memahami media terlepas dari konteks hubungan ekonomi,
politik, historis dan kultural (1998:7). Kita tidak bisa memahami media terlebih dahulu
baru memikirkan pengaruh media pada politik dan ekonomi. Pada waktu yang
bersamaan, kita tidak bisa memahami peristiwa politik atau ekonomi dan kemudian
berharap memahami peran media dalam merepresentasikan peristiwa-peristiwa tersebut.
Sehingga makna representasi sebuah teks berhubungan terbalik dengan konteksnya.
Pendekatan lain yang lebih sistematis adalah pendekatan studi media. Upaya
untuk memahami bagaimana teks media dikonstruksi, faktor-faktor apa yang
mempengaruhi konstruksi teks media, mengapa media merepresentasikan sebuah
peristiwa melalui perspektif tertentu dan kepentingan apa yang dibawanya dikenal
dengan istilah sosiologi media. Istilah ini seringkali digunakan untuk melihat pengaruh
sosial atau politik pada teks media. Studi ini berkembang dari studi awal David
Manning White mengenai ide gatekeeper pesan media pada tahun 1950 dan penjelasan
Warren Breed tentang bagaimana jurnalis menjadi tersosialisasi akan pekerjaan mereka
pada tahun 1955.
Dalam upaya mengembangkan keahlian media literacy, ada tiga kerangka
berpikir kritis dari beragam pendekatan mengenai pengaruh atas konstruksi teks media:
ekonomi politik, organisasi dan kultural. Penjelasan lebih detail mengenai beragam
faktor yang mempengaruhi rekonstruksi isi teks media lihat Shoemaker dan Reese
(1996). Pendekatan ekonomi politik menekankan bahwa proses rekonstruksi teks media
merupakan hasil interaksi kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik diluar media.
Pendekatan ini melihat sistem regulasi yang mengatur faktor-faktor seperti kepemilikan,
kepemilikan multi media, kompetisi dan monopli, siaran swasta, kontrol atas kuantitas
5
dan isi dari iklan (Newbold, 2002:34). Bisa jadi mereka yang memiliki modal atas
media dapat mempolitisir media yang bersangkutan untuk membentuk opini publik
positif atas si pemilik modal. Orientasi makna sebuah teks bisa diarahkan sesuai dengan
mereka yang memiliki kekuasaan dari segi ekonomi atau politik.
Pendekatan organisasi lebih melihat teks media sebagai hasil dari interaksi
beragam anggota institusi media. Pendekatan ini menolak adanya faktor-faktor ekonomi
politik dalam proses produksi teks media. Pendekatan ini memfokuskan teks media
sebagai hasil dari interaksi beragam anggota institusi media (kultur profesional) dan
struktur yang mempengaruhi proses konstruksi teks media, seperti etika objektivitas,
bentuk berita, tekanan deadline, dan elemen rutin lainnya dari praktek jurnalisme dalam
institusi media massa. Dengan demikian, mengapa isu tertentu direpresentasikan
sedemikian rupa harus dilihat dari sistem kerja yang ada di institusi media yang bisa
meliputi norma, nilai atau rutinitas yang berlaku.
Paul Rock menekankan bahwa ‘berita merupakan hasil dari respon yang
terorganisir dari masalah birokratis rutin’ seperti kebutuhan untuk menghasilkan materi
sesuai dengan ketentuan ruang dan waktu dalam industri media (dalam Mc Nair 1999).
Baik jurnalis koran maupun siaran harus mempresentasikan berita dalam batas tertentu
ruang dan tata letak (space dan layout) untuk koran dan masalah waktu siaran untuk
media televisi dan radio. Keterbatasan ini menentukan sistem prioritas yang akan
dialokasikan bagi deskripsi peristiwa, menentukan proporsi laporan dari keseluruhan
presentasi teks; dan membatasi keseluruhan isi peristiwa yang dapat memicu reaksi
jurnalistik. Ketersediaan ruang (space) menjadi faktor organisasional mendasar yang
dapat menjelaskan mengapa isu dengan nilai berita tertentu menghilang dari surat kabar
dan program siaran berita. Sedangkan waktu juga menjadi faktor organisasi yang
penting. Peristiwa akan cenderung dimasukkan dalam agenda berita jika bingkai
waktunya sesuai dengan pola terbit dan deadline dari media yang relevan.
Oleh karena itu, jurnalis harus mengkonstruksi berita mereka agar sesuai dengan
tuntutan ruang dan waktu yang ditetapkan oleh institusi media. Kenyataan ini tidak
hanya menjelaskan mengapa karakteristik berita lebih mengenai peristiwa daripada
proses, dan pengaruh daripada sebab; tapi juga dapat menjadi alasan mengapa media
berita cenderung berorientasi pada pernyataan pihak yang berkuasa ketika
mengkonstruksi berita. Hal ini dapat dicermati dengan analisis isi.
6
Pendekatan kultural menerangkan bahwa teks media merupakan sebuah interaksi
yang kompleks antara faktor ekonomi politik dan organisasi. Pertanyaan utama dari
pendekatan ini adalah ‘Bagaimana teks dikonstruksi sehingga memiliki kekuatan
makna?’. Bisa jadi pada beberapa kasus pengaruh internal lebih besar daripada faktor
ekonomi politik atau kebalikannya. Menurut Mc Nair, pendekatan ini memfokuskan
bukan pada siapa yang memiliki media, tapi bagaimana media diposisikan berhubungan
dengan elit kekuasaan di dalam msayarakat. Jadi teks media tidak hanya merupakan
sebuah fungsi kepemilikan, atau praktek dan ritual jurnalistik, tapi juga merupakan
interaksi antara institusi media, sumber informasi dan institusi sosial lainnya (McNair ,
1999).
Pendekatan-pendekatan dalam mengembangkan keahlian media literacy diatas
cenderung dari sisi akademis dan bersifat teoritis sehingga bisa jadi agak menyulitkan
publik awam dalam menganalisis isi teks media. Dengan demikian, untuk pendekatan
praktis, publik perlu membangun sikap kritis terhadap isi teks media. Keahlian media
literacy yang mendasar adalah belajar mempertanyakan pesan media. Pertanyaanpertanyaan inti dibawah ini didasarkan pada pengembangan Center for Media Literacy
(http://www.medialit.org/reading_room/CMLskiilsandstrat.pdf):
1. Siapa yang menciptakan pesan (teks) dan mengapa mereka menyebarkan pesan
tersebut? Siapa yang memiliki media dan siapa yang mengambil keuntungan dari
pesan tersebut?
2. Tehnik apa yang digunakan untuk menarik dan mempertahankan perhatian?
3. Gaya hidup, nilai dan pandangan apa yang direpresentasikan dalam pesan (teks)?
4. Apa yang dihilangkan dalam pesan ( teks)? Mengapa bagian ini dihilangkan?
5. Bagaimana orang yang berbeda menginterpretasikan pesan ini?
Mempertanyakan teks berita yang ada di media massa merupakan kemampuan yang
mendasar dari membangun keahlian media literacy. Paling tidak, publik akan kritis atas
isu yang direpresentasikan oleh teks media, sehingga dalam membangun kerangka
berpikir politis, publik tidak hanya secara pasif menerima informasi dari media, tapi
juga terlibat interaksi aktif dengan teks media dengan mempertimbangkan secara kritis
analisis konteks yang membuat sebuah teks dimunculkan.
Dalam hubungannya dengan pemilu, media massa tentu akan merepresentasikan
beragam isu seputar pemilu dari beragam perspektif. Dengan bersikap kritis terhadap
7
teks media, publik seharusnya lebih bertanggung jawab dalam mengambil sikap politik
pada saat pelaksanaan pemilu tanggal 5 April dan 5 juli 2004 nanti. Media massa yang
cenderung memberikan sebagian besar porsi pemberitaannya pada suatu partai tertentu,
publik yang kritis akan melihat media tersebut tidak adil dan memiliki kepentingan
politik tertentu untuk memenangkan calon legislatif atau calon presiden dari partai
tersebut misalnya. Atau ketika tokoh partai tertentu muncul dalam bentuk iklan, publik
yang sadar media akan melihat simbol-simbol yang muncul pada iklan tersebut dalam
konteks politik yang lebih luas.
Pada prinsipnya, tiap bentuk media massa memiliki seperangkat aturan unik
tersendiri dalam mengkonstruksi pesan. Walaupun media massa dituntut untuk objektif
dan hanya mengorientasikan kepentingannya pada publik, institusi media juga didorong
oleh orientasi profit dalam konteks ekonomi dan politik.
Media Literacy: Analisis Kritis
Implementasi keahlian media literacy misalnya dapat dilihat pada kasus
dominannya pemberitaan mengenai Surya Paloh sebagai kandidat calon presiden dari
Partai Golkar di Stasiun Televisi Metro TV. Suryo Paloh merupakan pemilik modal
dominan dari stasiun televisi tersebut dan Harian Media Indonesia. Berdasarkan hasil
analisa, pemberitaan mengenai kampanye Suryo Paloh dilakukan berulang-ulang dan
melebihi ketentuan yang disepakati antara Komisi Penyiaran dan para pengelola stasiun
televisi yang tertuang dalam Surat Kesepakatan Bersama yang ditandatangani tanggal
19 Februari 2004. Pada kasus yang lain Metro TV juga menyiarkan acara Indonesia on
the Move yang secara jelas didesain guna mendongkrak popularitas pasangan dari PDIP.
Marisa Haque, si pembawa acara, merupakan kader PDIP sehingga secara eksplisit
acara didesain untuk menunjukkan sisi keberhasilan pembangunan yang dijalankan oleh
Megawati. Dampak lebih jauhnya diharapkan masyarakat memilih Megawati pada
Pemilihan Presiden 5 Juli 2004. Pihak redaksi siaran Metro TV terjebak pada
kepentingan pemilik modal dan akhirnya mengabaikan kepentingan publik dimana fair
and balance dalam pemberitaan harusnya ditaati. Hal ini bisa berdampak pada label
stasiun televisi Metro TV yang dianggap sebagai ‘stasiun berita’ akhirnya menjadi tidak
diminati.
8
Pada hari Minggu, tanggal 6 Juni 2004, Republika Online memberitakan
kampanye Megawati sebagai berikut:
Mega: Pilih Capres yang Punya Tahi Lalat
Medan-RoL -- Calon Presiden dari PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri
minta kepada masyarakat agar dapat memilih seorang capres yang memiliki tahi
lalat yang terletak di bagian bibir sebelah kanan.
"Ingat dan pilihlah capres yang ada tanda tahi lalat dan lagi pula orangnya
kelihatan cantik dan juga diharapkan mampu memberikan perobahan serta
membangun masyarakat yang lebih baik," ujar Megawati saat menyampaikan
orasi kampanyenya di Lapangan Merdeka Medan, Minggu sore...
Oleh karena itu, katanya, masyarakat jangan sampai tidak memilih Capres yang
punya tahi lalat pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 5 Juli 2004
mendatang...
Ia mengatakan, selama ini ia (Megawati-Red) sering mengurus kaum Ibu, namun
pada saat Pemilu yang dipilih adalah kaum Bapak.
"Pada Pemilu 5 Juli 2004, kaum Ibu harus memilih nomor dua dan kalau diluar
negeri artinya 'viktory' yang maksudnya adalah kemenangan dan ini perlu
diingat," kata Megawati Soekarnoputri dalam orasi kampanyenya di Medan.
ant/aih
Walaupun Republika mengambil berita dari Kantor Berita Antara, namun
Republika melihat adanya nilai berita (news value) didalamnya. Inilah pertama kalinya
dalam sejarah kampanye presiden di Indonesia atau bahkan di dunia, seorang kandidat
presiden meminta masyarakat untuk menjadikan tahi lalat sebagai indikator dipilihnya
sang kandidat. Secara implisit dengan headline berita seperti diatas, Republika ingin
menunjukkan pada masyarakat bahwa mereka masih dianggap tidak berpendidikan
sehingga sang kandidat presiden tidak merasa perlu untuk menyodorkan program atau
kebijakan yang akan dilaksanakan seandainya dia menjadi presiden. Sang kandidat
mengandalkan kharisma dan nama besar sang bapak yang mantan presiden pertama
Republik Indonesia. Tidak ada upaya dari sang kandidat untuk mengedukasi masyarakat
melalui
kampanye
yang
dilakukannya.
Keluhan
yang
disampaikan
dapat
direpresentasikan sebagai bias gender dan tidak pantas. Analisis lebih jauh, sebagai
sebuah institusi media yang berbasis Islam dan dekat dengan Ikatan Cendikiawan
Muslim Indonesia yang didominasi oleh kader dari Organisasi Massa Muhammadiyah,
bukan tidak mungkin mempengaruhi kebijakan media online Republika, sehingga bisa
saja pemberitaan diatas bertendensi memojokkan satu calon kandidat dalam rangka
mendukung calon kandidat lain, Amien Rais, yang berlatar belakang Muhammadiyah.
Beberapa kasus diatas dan analisis yang mengikutinya merupakan contoh
9
bagaimana keahlian media literacy diterapkan terhadap teks media. Perlu dipahami
sekali lagi bahwa teks tidak hanya berujud tulisan, sehingga media literacy dapat juga
diterapkan pada teks media radio dan televisi.
Penutup
Berkembangnya industri media massa di Indonesia tentu merupakan hal yang
menggembirakan apalagi dilihat dari konteks kebebasan berbicara dan berekspresi yang
sesuai dengan pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Seiring dengan
maraknya insitusi media, profit yang diperebutkan oleh institusi media inipun,
khususnya stasiun televisi, menjadi berkurang karena rendahnya peningkatan belanja
iklan perusahaan. Konsekuensinya, institusi media akan berlomba-lomba menciptakan
program (teks media) yang bisa menarik lebih banyak publik untuk mengkonsumsinya.
Dalam konteks ini, oreintasi profit kadang lebih menonjol daripada upaya pihak institusi
media untuk mendidik publik. Bukan tidak mungkin sisi ini menjadikan institusi media
tidak bebas nilai dan akibatnya teks media sebagai representasi realitas sosial melekat
bersamanya nilai dan pandangan dari kepentingan pihak-pihak tertentu.
Institusi media massa seharusnya tidak hanya berorientasi pada profit semata,
tapi juga bertanggung jawab kepada publik untuk mengedukasi publik melalui teks
media yang disampaikan karena sesungguhnya institusi media, khususnya televisi dan
radio, menggunakan ‘ranah publik’ (public sphere). Menurut McKenna, public sphere
adalah forum komunikasi publik: sebuah forum dimana indidvidu sebagai warga negara
secara bersama-sama dapat datang sebagai publik dan secara bebas mengemukakan
berbagai persoalan yang menyangkut kepentingan umum (Dalam Newbold et al.,
2002:22). Sehingga dalam proses rekonstruksi pesan, perlu kiranya institusi media
untuk juga mempertimbangkan kepentingan publik dan berfungsi sebagai forum
komunikasi politik bagi semua pihak. Realitas media yang terbentuk pun akan
menciptakan kerangka berpikir yang kritis.
Tantangan yang lain adalah sebagai sebuah negara berkembang dengan
mayoritas penduduknya tinggal di pedesaan dan berpendidikan rendah, pengembangan
keahlian media literacy agak sulit dilakukan melalui jalur pendidikan. Oleh karenanya
pemanfaatan opinion leader yang secara kultural tradisional masih dominan bisa
dioptimalkan untuk mengajak masyarakat bersikap kritis analisis atas teks seputar isu
pemilu yang muncul di media massa. Fanatisme buta bisa dirubah ke pola berpikir logis
10
rasional tanpa mengedepankan sisi kekerasan, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Keberadaan lembaga pemantau media yang mencermati dan menganalisis teks media
dan pembentukan tim ombudsman sebagaimana dilakukan oleh Harian Kompas dan
Jawa Pos yang pada prinsipnya untuk
membela hak-hak sipil dan hak-hak
kewarganegaraan terhadap kesewenangan pemerintah atau bahkan kesewenangan pers
sendiri sesungguhnya merupakan upaya untuk memastikan bahwa kepentingan publik
tidak dipolitisir untuk kepentingan pihak tertentu melalui proses konstruksi teks media.
Sebagai sebuah wacana, perlu kiranya pendidikan media dimasukkan kedalam
kurikulum sebagai konsekuensi dari kebebasan pers dan kebebasan informasi. Di Hawai
misalnya, pihak legislatif telah memperkenalkan Media Litercay Bill sejak tahun 1994
yang dipengaruhi oleh penerapan yang sama oleh pemerintah Kanada. Intinya bahwa
program pendidikan media literacy diperlukan karena media memainkan peran yang
sangat signifikan dalam bagaimana publik memandang realitas yang ada di tengah
masyarakat
(http://interact.uoregon.edu/MediaLit/mlr/readings/articles/hawii04.html).
Melalui media literacy, selain memungkinkan publik bersikap kritis dan analisis
terhadap teks media, juga memungkinkan semua suara memiliki akses ke berbagai
bentuk media dengan tujuan menginformasikan ke publik massa. Media literacy juga
menawarkan seperangkat instrumen yang dapat membantu mengartikulasikan
kepedulian kultural atas gambaran media massa di Indonesia, dan memunculkan isu
kedaulatan kedalam wacana publik yang produktif dan menunjang pada penciptaan
sistem pemerintahan yang demokratis.
11
REFERENSI
Aufderheide, Patricia, ‘National Leadership Conference on Media literacy’, in the
Henry J. Kaiser Family Foundation, Media literacy, [Online]. Available at:
http://www.kff.org [2004, February 10]
Center for Media literacy, [Online]. Available at:
http://www.medialit.org/reading_room/CMLskiilsandstrat.pdf.
Grossberg, Lawrence, Ellen Wartella, dan D. Charles Whitney, 1998, Mediamaking:
Mass Media in A Popular Culture, Sage Publications: California.
Harian Republika, edisi Kamis/19 Februari 2004.
Harian Republika, edisi Jum’at/ 9 Juli 2004.
Lehtonen, Mikko, 2000, Cultural Analysis of Text, Sage Publications: London.
McNair, Brian, 1999, News and Journalism in the UK: A Textbook (3rd edition),
Routledge: London.
Newbold, Chris, 2002, The Media Book, Oxford University Press: New York.
Prayudi, 2003, Press Coverage of Ethnic Violence in Indonesia, RMIT University,
Melbourne, Australia, Unpublished Thesis.
Shoemaker, Pamela J. and Stephen D. Reese, 1996, Mediating The Message: Theories
of Influences on Mass Media Content, Longman: New York.
Tyner, Kathleen, Media Literacy Bill Introduced in Hawai’i, [Online]. Available at:
http://interact.uoregon.edu/MediaLit/mlr/readings/articles/hawii04.html
[2004,
10
February]
12
TINJAUAN AKADEMIS
Prayudi1
Abstract
Changes in the political and economic realities at the end of 1990s shifted the
development of media industries in Indonesia. Issues of freedom of information and
expression resulted in the variety of texts presented in the media. The ability and
capacity of the media to shape the thoughts and expression of public about realities has
led to the understanding of the necessity of media literacy. Media literacy is the ability
to interpret symbols and meanings of the media texts received through communication
media. This paper examines the importance of media literacy and how to develop media
literacy skill. Attention is given to how to practice media literacy skill in relation to the
2004 General Election in Indonesia.
Keywords: media literacy, teks, konteks, Pemilu 2004
Pendahuluan
Dalam lima tahun terakhir perubahan politik yang terjadi di Indonesia membawa
pengaruh yang signifikan pada praktek kebebasan berekspresi dan kebebasan
memperoleh informasi. Menjamurnya industri media menawarkan beragam informasi
yang bisa diakses oleh publik. Media sering disebut sebagai ‘conciousness industries’
dikarenakan media membantu membangun cara berpikir, melihat, mendengar dan
berbicara mengenai relaitas sosial politik yang dihadapi publik. Teks media membentuk
beragam makna sosial. Sering kali publik secara langsung mengadopsi pesan ke dalam
kerangka berpikirnya yang mempengaruhi cara pandang publik atas realitas sosial,
tanpa berupaya untuk memahami konteks bagaimana sebuah pesan dibentuk. Lebih
lanjut, pola berpikir publik lebih sering ditentukan oleh media tanpa ada sikap kritis atau
upaya untuk memahami makna dibalik pesan yang disampaikan media. Hal ini bisa
dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan yang rendah dan kultur sosial masyarakat
sehingga partisipasi aktif atas pesan yang sampai ke publik tidak dipahami secara kritis
(aktif), namun cenderung menerima apa adanya (pasif).
Sementara itu, institusi media adalah sebuah lembaga yang tidak bisa lepas dari
berbagai pengaruh baik eksternal maupun internal. Kenyataan ini menjadikan institusi
media tidak bebas nilai, walau seharusnya media berpihak pada kepentingan pubik.
1
Staf Pengajar Jurusan Ilmu Komuniksai FISIP UPN ‘Veteran’ Yogyakarta.
Dalam pesan yang disampaikan ke publik, ada nilai atau kepentingan tertentu yang
sesungguhnya hendak disampaikan. Oleh karena itu, publik perlu untuk selektif dan
kritis dalam mengkonsumsi pesan media (teks). Upaya untuk membentuk sikap kritis ini
dikenal dengan terminologi media literacy atau ‘sadar media’. Pada prinsipnya media
literacy merupakan kemampuan untuk mengakses, menganalisis, menilai dan
memproduksi komunikasi dalam beragam bentuk (Aufderheide, http://www.kff.org).
Dalam konteks yang lebih luas, orang yang sudah ‘sadar media’ dapat berpikir kritis
atas apa yang dia lihat, dengar dan baca dari televisi, radio, suratkabar, buku, majalah,
internet, film dan segala bentuk teknologi media baru lainnya. Kritisisme atas teks akan
membuat publik lebih bijak dan objektif dalam melakukan penilaian atau memberikan
pendapat atas isu.
Keahlian media literacy menjadi penting bagi publik untuk dikembangkan
karena beberapa argumen berikut:
1. Media mendominasi kehidupan sosial, politik dan kultural.
2. Hampir semua pesan selain pengalaman langsung ‘dimediasikan’.
3. Media memberikan model prilaku dan nilai yang kuat.
4. Media mempengaruhi publik baik secara sadar maupun tidak sadar.
5. Media didorong oleh profit dalam konteks politik dan ekonomi.
6. Media litercay membantu pemahaman atas pesan yang disampaikan oleh media.
7. Media literacy membuat hubungan yang pasif menjadi aktif (media vs audience).
Melalui media literacy, publik diharapkan akan lebih bertanggung jawab dalam
mensikapi pesan yang diterima dan dapat mempengaruhi kehidupan sosial dan politik
mereka. Media literacy juga merupakan cara untuk mengurangi dampak potensial yang
beragam dari pengaruh media dan meningkatkan manfaatnya. Juga menjadikan publik
konsumen yang kritis sekaligus sebagai warga negara yang well-informed sehingga
dapat berpartisipasi aktif dalam masyarakat. Apalagi bila dihubungkan dengan
pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Presiden dan Wakil Presiden 2004 yang dilaksanakan
tanggal 5 april dan 5 Juli 2004. Pertarungan politik yang begitu kuat sangat terlihat baik
antar partai politik maupun antar capres-cawapres. Media massa pun menjadi arena
pertarungan ideologis dari berbagai kelompok kepentingan politik tersebut.
Pemilu 2004 merupakan salah satu agenda politik terpenting bangsa ini karena
menentukan figur-figur yang layak untuk duduk dalam badan legislatif (DPR dan
2
DPRD) dan presiden dan wakil presiden yang diharapkan mampu membawa bangsa ini
keluar dari krisis multidimensi yang berkepanjangan. Peran media massa pun menjadi
sangat signifikan dalam hubungannya dengan pelaksanaan pemilu karena partai-partai
politik dan para kandidat presiden dan wakil presiden berlomba-lomba mendapatkan
dukungan dan simpati dari publik; dan media massa merupakan instrumen yang tepat.
Media massa pun menjadi arena pertarungan ideologis dari berbagai kelompok
kepentingan politik tersebut. Hal ini sesungguhnya menjadi tantangan tersendiri bagi
institusi media apakah media bisa lepas dari berbagai kepentingan sehingga dapat
menyampaikan informasi atau pesan yang independen, obyektif dan bebas nilai.
Kalaupun media harus berpihak, maka media harus berorientasi pada kepentingan
publik.
Pada hari Kamis, tanggal 19 Februari 2004, Komisi Pemilihan Umum (KPU)
dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menandatangani Surat Kesepakatan Bersama
(SKB) tentang Siaran Kampanye Pemilu dan Kampanye Peserta Pemilu. SKB ini
menekankan semua lembaga penyiaran harus berlaku adil kepada peserta Pemilu 2004
selama masa kampanye. Keadilan meliputi pemberian kesempatan yang sama dalam
penyiaran berita dan pemasangan iklan. Bila melanggar, lembaga penyiaran tersebut
dapat diancam sanksi administratif sesuai UU No. 32/2002 tentang penyiaran
(Republika, 19 Februari 2004). Adanya kesepakatan ini sesungguhnya dapat dijadikan
kerangka berpikir – dalam konteks media literacy - bagi publik untuk bersikap kritis
atas beragam teks yang muncul melalui media televisi. Faktor lainnya yang dapat
dijadikan kerangka berpikir tentu saja Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 yang
mengatur tentang Pers.
Walaupun telah ada kesepakatan antara KPU dan KPI dalam bentuk SKB dan
adanya undang-undang yang mengatur tentang penyiaran dan pers, ini hanyalah tiga
dari sekian banyak faktor yang menjadi pertimbangan pihak institusi pers dan media
siaran dalam merepresentasikan isu Pemilu 2004. Artinya, masih ada faktor sosial,
politik, ekonomi, organisasi, misi dan yang lainnya yang mempengaruhi proses
rekonstruksi sebuah pesan atau berita. Oleh karena itu, dalam memahami pesan atau
berita seputar isu Pemilu 2004 publik perlu mencermati konteks pesan yang
bersangkutan.
3
Bagaimana Mengembangkan Keahlian Media Literacy?
Untuk membaca atau memahami teks yang muncul pada berita televisi,
suratkabar, radio dan iklan, paling tidak ada dua pendekatan yang dapat digunakan:
akademis dan praktis.
Pendekatan akademis misalnya dapat dipahami dalam relasi teks-konteks.
Pemahaman klasikal bahwa teks hanya identik dengan tulisan atau kata telah bergeser
ke pemahaman yang lebih luas. Teks bisa saja dalam bentuk tulisan, pidato, gambar,
musik atau segala bentuk simbol lainnya (Lehtonen, 2000:73). Intinya adalah simbolsimbol ini terorganisasikan dan ada kombinasi simbolik yang didefinisikan dengan
jelas. Pesan, informasi atau berita (teks) yang disampaikan oleh sebuah media tidak
akan lepas dari konteksnya. Artinya proses rekonstruksi pesan sebelum pesan
disebarluaskan akan dipengaruhi oleh berbagai aspek, seperti situasi sosial politik, latar
belakang pendidikan reporter, misi dan visi institusi media atau bahkan kepentingan
pemilik modal sekalipun.
Pada masa Orde Baru, media massa sangat berhati-hati dalam memberitakan isuisu politik yang berhubungan dengan pemerintah. Kritik pun harus disampaikan dengan
metode pelaporan tertutup, sopan dan melalui pujian. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan penulis terhadap pemberitaan Harian Kompas periode Orde Baru atas isu
kerusuhan etnis di Kalbar, Kompas cenderung menggunakan eufimisme dan pelaporan
tertutup dalam merepresentasikan isu kerusuhan (Prayudi 2003). Sehingga publik
dituntut untuk membaca makna tersirat atau apa yang tidak ditulis oleh media untuk
memahami konteks berita yang disampaikan oleh media massa. Pada era reformasi,
media massa kadangkala harus berhadapan dengan massa partai politik atau tokoh
politik tertentu jika mereka merasa pemberitaan oleh media massa dianggap tidak sesuai
dengan keinginan mereka. Hal ini mau tidak mau membuat media massa tidak bebas
nilai. Ada kepentingan lain yang akhirnya mempengaruhi proses pelaporan berita
kepada publik. Bisa jadi pemberitaan seorang calon presiden dari partai tertentu oleh
sebuah stasiun televisi cukup dominan dikarenakan calon presiden tersebut memiliki
saham yang dominan pada stasiun tevlevisi yang bersangkutan. Bisa juga pemberitaan
oleh sebuah stasiun televisi mengenai kampanye salah satu capres lebih dominan
dikarenakan capres tersebut sekaligus merupakan presiden yang sedang berkuasa dan
stasiun televisi yang bersangkutan merupakan badan usaha milik negara. Sehingga,
4
untuk memahami teks dari pesan yang disampaikan oleh media massa, publik harus
kritis dengan melihat konteksnya dari berbagai aspek. Melalui pemahaman ini, konsep
‘konteks’ dapat dipahami mengandung penekanan mendalam pada aktivitas publik.
Konteks mengacu pada fakta bahwa makna dalam teks berita diciptakan tidak hanya di
dalam aktivitas yang secara tradisional dianggap memproduksi makna – teks lisan,
tertulis, audiovisual – tapi juga dalam menerima teks. Jadi ada prinsip interaksi dengan
teks (Lehtonen, 2000:116).
Pendapat diatas didukung oleh Grossberg et al. yang menyatakan bahwa media
tidak dapat dipahami terpisah dari hubungan-hubungan aktif dimana mereka selalu
terlibat: kita tidak dapat memahami media terlepas dari konteks hubungan ekonomi,
politik, historis dan kultural (1998:7). Kita tidak bisa memahami media terlebih dahulu
baru memikirkan pengaruh media pada politik dan ekonomi. Pada waktu yang
bersamaan, kita tidak bisa memahami peristiwa politik atau ekonomi dan kemudian
berharap memahami peran media dalam merepresentasikan peristiwa-peristiwa tersebut.
Sehingga makna representasi sebuah teks berhubungan terbalik dengan konteksnya.
Pendekatan lain yang lebih sistematis adalah pendekatan studi media. Upaya
untuk memahami bagaimana teks media dikonstruksi, faktor-faktor apa yang
mempengaruhi konstruksi teks media, mengapa media merepresentasikan sebuah
peristiwa melalui perspektif tertentu dan kepentingan apa yang dibawanya dikenal
dengan istilah sosiologi media. Istilah ini seringkali digunakan untuk melihat pengaruh
sosial atau politik pada teks media. Studi ini berkembang dari studi awal David
Manning White mengenai ide gatekeeper pesan media pada tahun 1950 dan penjelasan
Warren Breed tentang bagaimana jurnalis menjadi tersosialisasi akan pekerjaan mereka
pada tahun 1955.
Dalam upaya mengembangkan keahlian media literacy, ada tiga kerangka
berpikir kritis dari beragam pendekatan mengenai pengaruh atas konstruksi teks media:
ekonomi politik, organisasi dan kultural. Penjelasan lebih detail mengenai beragam
faktor yang mempengaruhi rekonstruksi isi teks media lihat Shoemaker dan Reese
(1996). Pendekatan ekonomi politik menekankan bahwa proses rekonstruksi teks media
merupakan hasil interaksi kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik diluar media.
Pendekatan ini melihat sistem regulasi yang mengatur faktor-faktor seperti kepemilikan,
kepemilikan multi media, kompetisi dan monopli, siaran swasta, kontrol atas kuantitas
5
dan isi dari iklan (Newbold, 2002:34). Bisa jadi mereka yang memiliki modal atas
media dapat mempolitisir media yang bersangkutan untuk membentuk opini publik
positif atas si pemilik modal. Orientasi makna sebuah teks bisa diarahkan sesuai dengan
mereka yang memiliki kekuasaan dari segi ekonomi atau politik.
Pendekatan organisasi lebih melihat teks media sebagai hasil dari interaksi
beragam anggota institusi media. Pendekatan ini menolak adanya faktor-faktor ekonomi
politik dalam proses produksi teks media. Pendekatan ini memfokuskan teks media
sebagai hasil dari interaksi beragam anggota institusi media (kultur profesional) dan
struktur yang mempengaruhi proses konstruksi teks media, seperti etika objektivitas,
bentuk berita, tekanan deadline, dan elemen rutin lainnya dari praktek jurnalisme dalam
institusi media massa. Dengan demikian, mengapa isu tertentu direpresentasikan
sedemikian rupa harus dilihat dari sistem kerja yang ada di institusi media yang bisa
meliputi norma, nilai atau rutinitas yang berlaku.
Paul Rock menekankan bahwa ‘berita merupakan hasil dari respon yang
terorganisir dari masalah birokratis rutin’ seperti kebutuhan untuk menghasilkan materi
sesuai dengan ketentuan ruang dan waktu dalam industri media (dalam Mc Nair 1999).
Baik jurnalis koran maupun siaran harus mempresentasikan berita dalam batas tertentu
ruang dan tata letak (space dan layout) untuk koran dan masalah waktu siaran untuk
media televisi dan radio. Keterbatasan ini menentukan sistem prioritas yang akan
dialokasikan bagi deskripsi peristiwa, menentukan proporsi laporan dari keseluruhan
presentasi teks; dan membatasi keseluruhan isi peristiwa yang dapat memicu reaksi
jurnalistik. Ketersediaan ruang (space) menjadi faktor organisasional mendasar yang
dapat menjelaskan mengapa isu dengan nilai berita tertentu menghilang dari surat kabar
dan program siaran berita. Sedangkan waktu juga menjadi faktor organisasi yang
penting. Peristiwa akan cenderung dimasukkan dalam agenda berita jika bingkai
waktunya sesuai dengan pola terbit dan deadline dari media yang relevan.
Oleh karena itu, jurnalis harus mengkonstruksi berita mereka agar sesuai dengan
tuntutan ruang dan waktu yang ditetapkan oleh institusi media. Kenyataan ini tidak
hanya menjelaskan mengapa karakteristik berita lebih mengenai peristiwa daripada
proses, dan pengaruh daripada sebab; tapi juga dapat menjadi alasan mengapa media
berita cenderung berorientasi pada pernyataan pihak yang berkuasa ketika
mengkonstruksi berita. Hal ini dapat dicermati dengan analisis isi.
6
Pendekatan kultural menerangkan bahwa teks media merupakan sebuah interaksi
yang kompleks antara faktor ekonomi politik dan organisasi. Pertanyaan utama dari
pendekatan ini adalah ‘Bagaimana teks dikonstruksi sehingga memiliki kekuatan
makna?’. Bisa jadi pada beberapa kasus pengaruh internal lebih besar daripada faktor
ekonomi politik atau kebalikannya. Menurut Mc Nair, pendekatan ini memfokuskan
bukan pada siapa yang memiliki media, tapi bagaimana media diposisikan berhubungan
dengan elit kekuasaan di dalam msayarakat. Jadi teks media tidak hanya merupakan
sebuah fungsi kepemilikan, atau praktek dan ritual jurnalistik, tapi juga merupakan
interaksi antara institusi media, sumber informasi dan institusi sosial lainnya (McNair ,
1999).
Pendekatan-pendekatan dalam mengembangkan keahlian media literacy diatas
cenderung dari sisi akademis dan bersifat teoritis sehingga bisa jadi agak menyulitkan
publik awam dalam menganalisis isi teks media. Dengan demikian, untuk pendekatan
praktis, publik perlu membangun sikap kritis terhadap isi teks media. Keahlian media
literacy yang mendasar adalah belajar mempertanyakan pesan media. Pertanyaanpertanyaan inti dibawah ini didasarkan pada pengembangan Center for Media Literacy
(http://www.medialit.org/reading_room/CMLskiilsandstrat.pdf):
1. Siapa yang menciptakan pesan (teks) dan mengapa mereka menyebarkan pesan
tersebut? Siapa yang memiliki media dan siapa yang mengambil keuntungan dari
pesan tersebut?
2. Tehnik apa yang digunakan untuk menarik dan mempertahankan perhatian?
3. Gaya hidup, nilai dan pandangan apa yang direpresentasikan dalam pesan (teks)?
4. Apa yang dihilangkan dalam pesan ( teks)? Mengapa bagian ini dihilangkan?
5. Bagaimana orang yang berbeda menginterpretasikan pesan ini?
Mempertanyakan teks berita yang ada di media massa merupakan kemampuan yang
mendasar dari membangun keahlian media literacy. Paling tidak, publik akan kritis atas
isu yang direpresentasikan oleh teks media, sehingga dalam membangun kerangka
berpikir politis, publik tidak hanya secara pasif menerima informasi dari media, tapi
juga terlibat interaksi aktif dengan teks media dengan mempertimbangkan secara kritis
analisis konteks yang membuat sebuah teks dimunculkan.
Dalam hubungannya dengan pemilu, media massa tentu akan merepresentasikan
beragam isu seputar pemilu dari beragam perspektif. Dengan bersikap kritis terhadap
7
teks media, publik seharusnya lebih bertanggung jawab dalam mengambil sikap politik
pada saat pelaksanaan pemilu tanggal 5 April dan 5 juli 2004 nanti. Media massa yang
cenderung memberikan sebagian besar porsi pemberitaannya pada suatu partai tertentu,
publik yang kritis akan melihat media tersebut tidak adil dan memiliki kepentingan
politik tertentu untuk memenangkan calon legislatif atau calon presiden dari partai
tersebut misalnya. Atau ketika tokoh partai tertentu muncul dalam bentuk iklan, publik
yang sadar media akan melihat simbol-simbol yang muncul pada iklan tersebut dalam
konteks politik yang lebih luas.
Pada prinsipnya, tiap bentuk media massa memiliki seperangkat aturan unik
tersendiri dalam mengkonstruksi pesan. Walaupun media massa dituntut untuk objektif
dan hanya mengorientasikan kepentingannya pada publik, institusi media juga didorong
oleh orientasi profit dalam konteks ekonomi dan politik.
Media Literacy: Analisis Kritis
Implementasi keahlian media literacy misalnya dapat dilihat pada kasus
dominannya pemberitaan mengenai Surya Paloh sebagai kandidat calon presiden dari
Partai Golkar di Stasiun Televisi Metro TV. Suryo Paloh merupakan pemilik modal
dominan dari stasiun televisi tersebut dan Harian Media Indonesia. Berdasarkan hasil
analisa, pemberitaan mengenai kampanye Suryo Paloh dilakukan berulang-ulang dan
melebihi ketentuan yang disepakati antara Komisi Penyiaran dan para pengelola stasiun
televisi yang tertuang dalam Surat Kesepakatan Bersama yang ditandatangani tanggal
19 Februari 2004. Pada kasus yang lain Metro TV juga menyiarkan acara Indonesia on
the Move yang secara jelas didesain guna mendongkrak popularitas pasangan dari PDIP.
Marisa Haque, si pembawa acara, merupakan kader PDIP sehingga secara eksplisit
acara didesain untuk menunjukkan sisi keberhasilan pembangunan yang dijalankan oleh
Megawati. Dampak lebih jauhnya diharapkan masyarakat memilih Megawati pada
Pemilihan Presiden 5 Juli 2004. Pihak redaksi siaran Metro TV terjebak pada
kepentingan pemilik modal dan akhirnya mengabaikan kepentingan publik dimana fair
and balance dalam pemberitaan harusnya ditaati. Hal ini bisa berdampak pada label
stasiun televisi Metro TV yang dianggap sebagai ‘stasiun berita’ akhirnya menjadi tidak
diminati.
8
Pada hari Minggu, tanggal 6 Juni 2004, Republika Online memberitakan
kampanye Megawati sebagai berikut:
Mega: Pilih Capres yang Punya Tahi Lalat
Medan-RoL -- Calon Presiden dari PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri
minta kepada masyarakat agar dapat memilih seorang capres yang memiliki tahi
lalat yang terletak di bagian bibir sebelah kanan.
"Ingat dan pilihlah capres yang ada tanda tahi lalat dan lagi pula orangnya
kelihatan cantik dan juga diharapkan mampu memberikan perobahan serta
membangun masyarakat yang lebih baik," ujar Megawati saat menyampaikan
orasi kampanyenya di Lapangan Merdeka Medan, Minggu sore...
Oleh karena itu, katanya, masyarakat jangan sampai tidak memilih Capres yang
punya tahi lalat pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 5 Juli 2004
mendatang...
Ia mengatakan, selama ini ia (Megawati-Red) sering mengurus kaum Ibu, namun
pada saat Pemilu yang dipilih adalah kaum Bapak.
"Pada Pemilu 5 Juli 2004, kaum Ibu harus memilih nomor dua dan kalau diluar
negeri artinya 'viktory' yang maksudnya adalah kemenangan dan ini perlu
diingat," kata Megawati Soekarnoputri dalam orasi kampanyenya di Medan.
ant/aih
Walaupun Republika mengambil berita dari Kantor Berita Antara, namun
Republika melihat adanya nilai berita (news value) didalamnya. Inilah pertama kalinya
dalam sejarah kampanye presiden di Indonesia atau bahkan di dunia, seorang kandidat
presiden meminta masyarakat untuk menjadikan tahi lalat sebagai indikator dipilihnya
sang kandidat. Secara implisit dengan headline berita seperti diatas, Republika ingin
menunjukkan pada masyarakat bahwa mereka masih dianggap tidak berpendidikan
sehingga sang kandidat presiden tidak merasa perlu untuk menyodorkan program atau
kebijakan yang akan dilaksanakan seandainya dia menjadi presiden. Sang kandidat
mengandalkan kharisma dan nama besar sang bapak yang mantan presiden pertama
Republik Indonesia. Tidak ada upaya dari sang kandidat untuk mengedukasi masyarakat
melalui
kampanye
yang
dilakukannya.
Keluhan
yang
disampaikan
dapat
direpresentasikan sebagai bias gender dan tidak pantas. Analisis lebih jauh, sebagai
sebuah institusi media yang berbasis Islam dan dekat dengan Ikatan Cendikiawan
Muslim Indonesia yang didominasi oleh kader dari Organisasi Massa Muhammadiyah,
bukan tidak mungkin mempengaruhi kebijakan media online Republika, sehingga bisa
saja pemberitaan diatas bertendensi memojokkan satu calon kandidat dalam rangka
mendukung calon kandidat lain, Amien Rais, yang berlatar belakang Muhammadiyah.
Beberapa kasus diatas dan analisis yang mengikutinya merupakan contoh
9
bagaimana keahlian media literacy diterapkan terhadap teks media. Perlu dipahami
sekali lagi bahwa teks tidak hanya berujud tulisan, sehingga media literacy dapat juga
diterapkan pada teks media radio dan televisi.
Penutup
Berkembangnya industri media massa di Indonesia tentu merupakan hal yang
menggembirakan apalagi dilihat dari konteks kebebasan berbicara dan berekspresi yang
sesuai dengan pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Seiring dengan
maraknya insitusi media, profit yang diperebutkan oleh institusi media inipun,
khususnya stasiun televisi, menjadi berkurang karena rendahnya peningkatan belanja
iklan perusahaan. Konsekuensinya, institusi media akan berlomba-lomba menciptakan
program (teks media) yang bisa menarik lebih banyak publik untuk mengkonsumsinya.
Dalam konteks ini, oreintasi profit kadang lebih menonjol daripada upaya pihak institusi
media untuk mendidik publik. Bukan tidak mungkin sisi ini menjadikan institusi media
tidak bebas nilai dan akibatnya teks media sebagai representasi realitas sosial melekat
bersamanya nilai dan pandangan dari kepentingan pihak-pihak tertentu.
Institusi media massa seharusnya tidak hanya berorientasi pada profit semata,
tapi juga bertanggung jawab kepada publik untuk mengedukasi publik melalui teks
media yang disampaikan karena sesungguhnya institusi media, khususnya televisi dan
radio, menggunakan ‘ranah publik’ (public sphere). Menurut McKenna, public sphere
adalah forum komunikasi publik: sebuah forum dimana indidvidu sebagai warga negara
secara bersama-sama dapat datang sebagai publik dan secara bebas mengemukakan
berbagai persoalan yang menyangkut kepentingan umum (Dalam Newbold et al.,
2002:22). Sehingga dalam proses rekonstruksi pesan, perlu kiranya institusi media
untuk juga mempertimbangkan kepentingan publik dan berfungsi sebagai forum
komunikasi politik bagi semua pihak. Realitas media yang terbentuk pun akan
menciptakan kerangka berpikir yang kritis.
Tantangan yang lain adalah sebagai sebuah negara berkembang dengan
mayoritas penduduknya tinggal di pedesaan dan berpendidikan rendah, pengembangan
keahlian media literacy agak sulit dilakukan melalui jalur pendidikan. Oleh karenanya
pemanfaatan opinion leader yang secara kultural tradisional masih dominan bisa
dioptimalkan untuk mengajak masyarakat bersikap kritis analisis atas teks seputar isu
pemilu yang muncul di media massa. Fanatisme buta bisa dirubah ke pola berpikir logis
10
rasional tanpa mengedepankan sisi kekerasan, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Keberadaan lembaga pemantau media yang mencermati dan menganalisis teks media
dan pembentukan tim ombudsman sebagaimana dilakukan oleh Harian Kompas dan
Jawa Pos yang pada prinsipnya untuk
membela hak-hak sipil dan hak-hak
kewarganegaraan terhadap kesewenangan pemerintah atau bahkan kesewenangan pers
sendiri sesungguhnya merupakan upaya untuk memastikan bahwa kepentingan publik
tidak dipolitisir untuk kepentingan pihak tertentu melalui proses konstruksi teks media.
Sebagai sebuah wacana, perlu kiranya pendidikan media dimasukkan kedalam
kurikulum sebagai konsekuensi dari kebebasan pers dan kebebasan informasi. Di Hawai
misalnya, pihak legislatif telah memperkenalkan Media Litercay Bill sejak tahun 1994
yang dipengaruhi oleh penerapan yang sama oleh pemerintah Kanada. Intinya bahwa
program pendidikan media literacy diperlukan karena media memainkan peran yang
sangat signifikan dalam bagaimana publik memandang realitas yang ada di tengah
masyarakat
(http://interact.uoregon.edu/MediaLit/mlr/readings/articles/hawii04.html).
Melalui media literacy, selain memungkinkan publik bersikap kritis dan analisis
terhadap teks media, juga memungkinkan semua suara memiliki akses ke berbagai
bentuk media dengan tujuan menginformasikan ke publik massa. Media literacy juga
menawarkan seperangkat instrumen yang dapat membantu mengartikulasikan
kepedulian kultural atas gambaran media massa di Indonesia, dan memunculkan isu
kedaulatan kedalam wacana publik yang produktif dan menunjang pada penciptaan
sistem pemerintahan yang demokratis.
11
REFERENSI
Aufderheide, Patricia, ‘National Leadership Conference on Media literacy’, in the
Henry J. Kaiser Family Foundation, Media literacy, [Online]. Available at:
http://www.kff.org [2004, February 10]
Center for Media literacy, [Online]. Available at:
http://www.medialit.org/reading_room/CMLskiilsandstrat.pdf.
Grossberg, Lawrence, Ellen Wartella, dan D. Charles Whitney, 1998, Mediamaking:
Mass Media in A Popular Culture, Sage Publications: California.
Harian Republika, edisi Kamis/19 Februari 2004.
Harian Republika, edisi Jum’at/ 9 Juli 2004.
Lehtonen, Mikko, 2000, Cultural Analysis of Text, Sage Publications: London.
McNair, Brian, 1999, News and Journalism in the UK: A Textbook (3rd edition),
Routledge: London.
Newbold, Chris, 2002, The Media Book, Oxford University Press: New York.
Prayudi, 2003, Press Coverage of Ethnic Violence in Indonesia, RMIT University,
Melbourne, Australia, Unpublished Thesis.
Shoemaker, Pamela J. and Stephen D. Reese, 1996, Mediating The Message: Theories
of Influences on Mass Media Content, Longman: New York.
Tyner, Kathleen, Media Literacy Bill Introduced in Hawai’i, [Online]. Available at:
http://interact.uoregon.edu/MediaLit/mlr/readings/articles/hawii04.html
[2004,
10
February]
12