DI MANA SARANG TERORIS

DI MANA SARANG TERORIS?
Kasus ditangkapnya tiga warga negara Indonesia di Philipina menyisakan misteri
mengenai kemungkinan pemojokan terhadap Indonesia sebagai sarang bagi berbagai hal yang
berbau terorisme. Sejumlah pejabat tinggi negara adidaya Amerika Serikat, beberapa waktu yang
lalu, mengisyaratkan tudingan adanya jaringan teroris di Indonesia. Demikian halnya dengan
tuduhan kontroversial dari mantan Perdana Menteri dan tokoh berpengaruh dari Singapura, Lee
Kwan Yew, yang menimbulkan reaksi keras tokoh Islam di mana-mana. Fokus dari semua
tudingan ialah Islam, lebih khusus lagi kelompok Islam di Indonesia.
Kita sebenarnya sangat menyesalkan berbagai tudingan yang tak berdasar itu. Dalam
tataran pergaulan dunia internasional, kita juga mempertanyakan begitukan tatakrama dunia yang
beradab dan terhormat? Sebab, mengisyaratkan apalagi memberikan tuduhan bahwa Indonesia
menjadi ajang atau sarang teroris, memiliki implikasi besar baik bagi negara maupun warga
negara. Akan meluas citra di dunia internasional bahwa Indonesia memang negerinya kekerasan,
yang dapat menimbulkan kecemasan dan ketakutan bagi orang lain. Para investor pun akan raguragu ke Indonesia, padahal secara ekonomi hal itu penting untuk keluar dari masalah krisis
ekonomi.
Bagi umat Islam lebih merugikan. Stereotipe atau pandangan negatif terhadap Islam dan
umat Islam akan mengental kembali di dunia internasional, seolah-olah segala yang berbau
kekerasan itulah Islam. Padahal, di sejumlah negara dan dalam tataran dunia, umat Islam sering
menjadi korban kekerasan, bahkan yang dilakukan oleh negara-negara yang mengaku beradab.
Tragedi rakyat Palestina, Irak, Libya, Afghanistan, dan lain-lain untuk sekadar menyebut contoh;
menunjukkan bagaimana kekerasan menimpa umat Islam. Teroris justru pelakunya negara

terhadap umat Islam.
Dari paparan di atas, Indonesia sebagai negara dan umat Islam sebagai warga negara
mayoritas, sangatlah dirugikan. Stereotif teroris membawa citra negatif yang mendalam bagi
masyarakat dunia. Siapa tahu, nanti akan muncul gambaran yang salah dan buruk, ketika
mendengar Indonesia dan umat Islam Indonesia, yang ada di benak orang asing ialah kekerasan
atau profil teroris. Citra negatif semacam itu akan menjadi beban sejarah, politik, dan budaya di
masa depan.
Maka sungguh disesalkan berbagai tudingan atau stereotipe yang sepihak dan merugikan
itu. Dalam era modern dan berkeadaban, ternyata hegemoni adidaya yang selalu sukses
membangun pengaruh terhadap tata pergaulan dunia, pada akhirnya sering membuahkan
kerugian bagi negara-negara pinggiran seperti Indonesia dan penduduk muslim dunia. Citra
benar dan baik selalu datang dari negara adidaya, sedangkan yang salah dan buruk dari negaranegara tak berdaya. Pasca perang dingin, ternyata kekuatan hegemoni yang tersentralistik pada
satu atau sekelompok negara maju, melahirkan diskriminasi dan neoimperalisme baru.
Jika ketimpangan tatanan pergaulan internasional dibiarkan berada dalam hegemoni
negara adidaya semacam itu, maka cap terorisme akan selalu diawetkan kepada siapapun yang
dianggap sebagai ancaman baik secara politik, ekonomi, bahkan ideologi. Sasaran yang selalu
berada di bawah tentunya negara-negara yang berada dalam pengaruh hegemoni adidaya, yang
tak berdaya. Jika sasaran dan cap teroris itu telah dibangun sedemikian rupa, maka ujungujungnya akan mengundang invasi atau tindakan represi dari negara adidaya terhadap negara
sasaran. Payung PBB (Perseirkatan Bangsa-Bangsa) yang memang didominasi oleh negara-


negara kuat dengan sistem hak vetonya yang sering tidak adil, tentu akan menjadi alat legitimasi
yang kuat bagi invasi bersenjata. Padahal, jika hal itu sampai terjadi, maka rakyat tak berdosa
pulalah yang akan menjadi korban seperti dalam kasus Afghanistan dan lain-lain.
Di sinilah kita masih harus bertanya. Di mana sebenarnya sarang teroris itu berada? Siapa
sebenarnya teroris dunia sekarang ini? (HNs)
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 08 2002