Makna Pesan Propaganda Komunikasi Politik Tentang Islam Dalam Film 3 (ALIF, LAM, MIM)

(1)

MAKNA PESAN PROPAGANDA KOMUNIKASI POLITIK TENTANG ISLAM DALAM FILM 3 (ALIF, LAM, MIM)

Skripsi

Diajakun Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Skom. I)

Disusun Oleh :

Wiwi Alawiyah

NIM 1112051000009

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1437 H/ 2016 M


(2)

(3)

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan sebagai salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata I di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli karya saya atau merupakan jiplakan dari hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 19 Agustus 2016

Wiwi Alawiyah Nim: 1112051000009


(5)

ABSTRAK Wiwi Alawiyah

NIM: 1112051000009

Makna Pesan Propaganda Komunikasi Politik Tentang Islam dalam Film 3 (Alif, Lam, Mim)

Berbagai film yang bermunculan saat ini dikalangan masyarakat. Bahkan, film bisa dijadikan salah satu alat propaganda untuk mempengaruhi pikiran seseorang. Melalui Film 3 (Alif, Lam, Mim) seorang pemimpin politik berusaha mempengaruhi pikiran masyarakat dengan menyebarkan berbagai fitnah tentang Islam, semata-mata hal itu untuk kepentingan pribadi.

Berdasarkan konteks di atas, maka peneliti menggunakan kajian semiotik Roland Barthes. Pada beberapa adegan Film 3 yang mengandung pesan propaganda politik tentang Islam dengan beberapa teknik yang digunakan. Peneliti merumuskan pertanyaan yakni: Bagaimana pesan propaganda politik tentang Islam dalam Film 3

(Alif, Lam, Mim)?

Teori yang digunakan adalah analisis semiotik Roland Barthes. Konsep analisis semiotik ini bertujuan untuk mengetahui makna denotasi, konotasi, dan mitos. Makna denotasi adalah makna awal utama dari sebuah tanda, teks, dan sebagainya. Sedangkan makna konotasi sebagai sesuatu yang hanya bisa dipahami dalam kaitannya dengan signifikasi tertentu seperti novel, puisi, dan musik. Kemudian mitos berfungsi untuk mengungkapkan nilai-nilai dominan yang berlaku biasanya berkaitan dengan kebudayaan yang ada di masyarakat.

Berdasarkan penilitian yang dilakukan, maka pesan propaganda politik yang digunakan dengan menyebarkan fitnah dan informasi yang bohong. Kemudian pemimpin politik menjadikan Islam sebagai dalang dari kejadian pengeboman yang terjadi saat itu. Selain itu juga, Islam sebagai teroris, elit-elit politik yang berkuasa pada negara saat itu yang berusaha mempengaruhi pikiran masyarakat dengan menganggap bahwa Islam sebagai pengacau di negara kita, masyarakat percaya dengan isu yang disebarluaskan oleh pemimpin politik tersebut.

Metode yang digunakan oleh penulis adalah metode penelitian deskriptif. Tujuan untuk memberikan gamabaran tentang suatu fenomena secara detail (untuk menggambarkan yang terjadi) sehingga mendapatkan fakta-fakta yang akurat yang terdapat dalam objek.

Ditemukan, pertama seorang Kyai yang dianggap sebagai pimpinan teroris, pakaian umat Muslim yang dicuriga menimbulkan citra buruk di mata masyarakat sehingga masyarakat beranggapan dengan memberikan persepsi bahwa pakaian itu adalah pakaian seorang teroris.

Kedua, mengandung pesan propaganda politik oleh seorang Kolonel terhadap umat Muslim dan agama Islam. Dengan menyebarkan isu-isu negatif tentang Islam kepada masyarakat. Teknik-teknik propaganda seperti, Name Calling, Card Stacking, Frustration or Spacegot,propaganda ratio (positif). Teknik-teknik itu dilakukan untuk melancarkan tujuannya mendapatkan kedudukan lebih tinggi dan membuat citra agama Islam buruk di mata masyarakat.


(6)

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas karunia dan rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa selalu tercurahkan kepada Rasulullah Saw, kaum keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya yang selalu senantiasa mengikuti sunnahnya sampai akhir zaman.

Penulisan skripsi ini dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Komunikasi Islam, Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Program Strata I, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Sebagai manusia biasa, peneliti menyadari dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan dan kelemahan. Dan saya sangat menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, dari awal masa perkuliahan hingga penulisan skripsi ini, segala upaya tidak akan berhasil tanpa adanya motivasi dan dukungan dari orang-orang yang telah memberikan motivasi kepada saya. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Dr. Arief Subhan. M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi beserta Dr. Suparto, M.Ed, MA selaku wakil Dekan I Bidang Akademik, Dr. Hj. Roudhonah, M.Ag selaku Wakil Dekan II Bidang Administrasi Umum, serta Dr. Suhaimi, M.Si selaku Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan.


(7)

iii

2. Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Drs. Masran, MA beserta Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fita Fathurokhmah, M. Si.

3. Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, selaku Dosen Penasihat Akademik. Terima kasih untuk saran dan masukan yang diberikan selama ini.

4. Dr. Suhaimi M. Si. Selaku dosen pembimbing yang telah membimbing saya dengan sabar. Terima kasih untuk waktu, tenaga, saran, dan ilmunya yang bapak berikan selama masa bimbingan.

5. Terima kasih untuk Orang tua saya, Bapak Acang dan Ibu Fatimah (Alm), yang telah mendidik dan mendoakan saya selama kuliah. Terima kasih untuk Ibu saya yang telah mengajarkan saya banyak hal meskipun beliau kini telah tiada.

6. Keluarga Besar Bapak Muhayar dan Bapak Januri, 7. Sahabat-sahabat saya getmerried: Erki, Rizal, Jaenudin.

8. Teman-teman kelas KPI A angkatan 2012 yang telah berjuang bersama dan selalu kompak dalam segala hal. Terima kasih untuk kesan dan kenangan yang telah kalian berikan selama empat tahun ini.

9. Kelompok KKN Reaktif Desa Karang Tengah, Sentul Bogor. Serta untuk teman Ciwi-ciwi KKN Reaktif: Tami, Aura, Kiki, Diana, Lisma, Suci, Siska, dan Friska.

10. Seluruh Dosen dan Staf Akademik Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi atas ilmu yang telah diajarkan kepada saya.


(8)

11. Segenaf Staf Perpustakaan Utama UIN Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi.

12. Terima kasih untuk Yusuf Rachman yang telah memberikan support kepada saya. Serta orang-orang yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Terima kasih untuk doa yang diberikan kepada saya. Semoga senantiasa Allah selalu memberikan kebaikan dan kesehatan untuk kalian semua, Amin.

Peneliti menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, peneliti meminta saran dan kritik untuk penelitian ini agar kedepannya lebih baik lagi. Peneliti berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat membantu untuk pengembangan penelitian selanjutnya.

Jakarta, 9 Agustus 2016


(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK....... i

KATA PENGANTAR………... ii

LEMBAR PERNYATAAN……… v

DAFTAR ISI………... vi

DAFTAR TABEL………... vii

DAFTAR GAMBAR………... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah……... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………... 5

D. Metodelogi Penelitian………... 6

E. Kerangka Konsep……….. 11

F. Tinjauan Pustaka... 13

G. Sistematika Penulisan……... 15

BAB II LANDASAN TEORI A. Propaganda 1. Pengertian Propaganda…………... 17

2. Teknik-teknik Propaganda……... 21

3. Jenis-jenis Propaganda……... 26

4. Film sebagai Media Propaganda……….…….. 27

5. Politik sebagai Struktur Kekuasaan……….. 30

B. Semiotika 1. Konsep Semiotika Roland Barthes…... 33

C. Konsep Teror dan Fanatisme 1. Teror dan Terorisme………... 41

2. Fanatik atau Fanatisme……... 42

3. Prasangka Terhadap Islam sebagai Agama Teroris…... 43

D. Film 1. Pengertian Film……... 45

2. Jenis-jenis Film………... 46

BAB III SINOPSIS dan PROFIL PEMAIN FILM 3 (ALIF LAM MIM) A. Sinopsi Film 3……... 49

B. Profil Sutradara Film 3... 52

C. Profil Pemain Film 3………... 53

D. Tim Produksi dan Nama-nama Pemain Film 3…... 61


(10)

BAB IV PROPAGANDA KOMUNIKASI POLITIK TENTANG ISLAM DALAM FILM 3

A. Makna Denotasi, Konotasi, dan Mitos Dalam Semiotik ... 69

B. Pesan Propaganda Politik Tentang Islam Dalam Film 3……. 98

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan………... 103

B. Saran.…... 105

DAFTAR PUSTAKA……….. 106


(11)

DAFTAR GAMBAR

Signifikasi Dua Tahap……… 31

Cover Film 3 (Alif Lam Mim)………. 45

Gambar Data 1……… 70

Gambar Data 2……… 77

Gambar Data 3……… 82


(12)

Tabel Peta Barthes……… 34

Tabel 1 Analisis Data 1………. 71

Tabel 2 Analisis Data 2………. 77

Tabel 3 Analisis Data 3………. 83


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Film sebagai media audio-visual komunikasi politik dan banyak dijadikan sebagai alat propaganda yang digunakan untuk mempengaruhi pikiran manusia dengan memanipulasi representasinya.1 Oleh karena itu, film sebagai medium yang paling ampuh dalam mempengaruhi pikiran khalayak. Seperti propaganda yang terdapat dalam Film 3 (Alif, Lam, Mim ) yang terdapat unsur propaganda politik tentang Islam yang dilakukan oleh seorang pemimpin politik semata-mata untuk tujuan tertentu.

John A. Broadwin dan V.R Berghahn (1996), dalam Bukunya The Triumphof Propaganda, mengutip pernyataan Fritz Hippler bahwa “Dibandingkan dengan seni lain, film menimbulkan dampak psikologis dan propagandistik yang abadi dan pengaruhnya sangat kuat dan efeknya tidak hanya melekat pada pikiran, tetapi juga emosi dan bersifat visual sehingga bertahan lebih lama daripada pengaruh yang dicapai oleh ajaran gereja atau sekolah.2

1

Toni, Ahmad. Jurnal: Mitologi Perempuan dalam Film Drama:Analisis Semiotik Roland

Barthes dalam Film “Jamila dan Sang Presiden” Karya Ratna Sarupaet. (Jakarta: UIN Jakarta, 2014), hal. 45.

2

Soelhi, Mohammad. Propaganda dalam Komunikasi Internasional. (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2012), h. 165


(14)

Film “3 (Alif, Lam, Mim)” yang ditulis oleh Anggy Umbara. Film ini diproduksi oleh MVP Pictures (Multivision Plus) dan FAM Productions. Film ini juga dibintangi oleh Abimana Aryasatya, Agus Kuncoro, Cornelio Sunny, Prisia Nasution, Tika Bravani, Donny Alamsyah, Piet Pagau, Cecep Arif Rahman, dan lainnya. Film ini bergenre film laga futuristik (futuristis)pertama di Indonesia. Film 3 (Alim, Lam, Mim) ini mengisahkan perbedaan pandangan tiga sahabat yang mempunyai kemampuan bela diri dan tumbuh besar bersama sejak kecil di sebuah pondok pesantren Al-Ikhlas.3

Keistimewaan yang terdapat dalam Film 3 (Alif, Lam, Mim) dibandingkan dengan film-film lainnya yaitu berhasil mendapatkan beberapa penghargaan seperti Best Feature Film Freethought International Film Festival di Florida – USA, 5 Nominasi di FFI (Festival Film Indonesia) 2015, 8 Nominasi di Piala Maya 2015, 4 Nominasi di Indonesian Movie Actor Awards (IMAA) 2016.4 Selain itu, Film 3 (Alif, Lam, Mim) sempat menjadi tayangan regular di Singapura.

Dibandingkan dengan film-film lainnya, seperti film The Raid dan film lainnya. Film ini mampu menceritakan keadaan kota Jakarta pada tahun 2036 begitu banyak terjadi perubahan. Film ini juga berawal berawal dari mimpi sang sutradara yang kemudian dikembangkan menjadi sebuah film. Meskipun film ini berani mengusung paham-paham Liberalis yang masih jarang sekali untuk perfilman di Indonesia.

3

www.wikipedia.com diakses tgl. 20 Feb 2016, pkl. 11:00.

4


(15)

3

Dalam film ini menggambarkan keadaan negara saat sudah kembali damai dan sejahtera sejak perang saudara dan pembantaian kaum radikal berakhir di Revolusi tahun 2026. Jakarta saat itu menjadi Negara yang Liberal, ketika agama sudah tidak menjadi nilai yang diutamakan dan tidak dianggap penting lagi kecuali bagi mereka golongan minoritas yang masih mengutamakan agama khsusnya bagi orang-orang Islam. Hak asasi manusia menjadi segalanya. Manusia diberi kebebasan untuk melakukan hal apa saja selama itu sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan oleh pemimpin negara termasuk dalam hal agama. Bahkan, tidak sampai 20 tahun, 232 tempat beribadah yang ada di Jakarta dihancurkan dan ditransformasi menjadi gudang. Pemikiran-pemikiran logis saat itu yang lebih mendasar dibandingkan dengan pemikiran-pemikiran yang mengandung nilai-nilai keagamaan.

Film 3 (Alif, Lam, Mim) ini juga, menggambarkan Islam di mata masyarakat karena pengaruh yang diberikan oleh seorang Kolonel. Agama yang saat itu dicap sebagai pemicu kekacauan. Sehingga orang-orang Islam yang mengenakan pakaian seperti jubbah, gamis, dan sorban dianggap sebagai seorang teroris. Orang-orang yang mengenakan pakaian seperti itu dianggap dapat melakukan tindakan kekerasan dan kekecauan bahkan sampai melakukan pengeboman. Hal yang ingin disampaikan dalam Film 3 ini agar masyarakat tidak mudah percaya terhadap ucapan atau pesan yang disampaikan oleh seseorang sebelum pesan yang disampaikan tersebut dapat dibuktikan. Masyarakat juga tidak menuduh orang lain hanya karena berpenampilan berbeda dengan dirinya sama saja masyarakat melakukan diskriminasi terhadap orang lain.


(16)

Pemimpin politik menyampaikan berbagai pesan propaganda tentang Islam kepada masyarakat, sehingga secara tidak langsung pesan tersebut dapat merubah pandangan masyarakat terhadap agama Islam. Bahkan masyarakat menganggap bahwa orang-orang Islam harus dihindari dan dihancurkan. Secara sengaja pemerintah telah melakukan propaganda kepada agama Islam terutama untuk orang-orang Islam dengan memberikan citra yang jelek kepada agama Islam di mata masyarakat.

Film pada umumnya dibangun dengan berbagai tanda-tanda yang ada kemudian dimaknai oleh masyarakat. untuk mengetahui hal tersebut, kita dapat melakukan penelitian melalui pendekatan semiotik. Karena tanda tidak pernah benar-benar mengatakan sesuatu kebenar-benaran secara keseluruhan.5

Dalam film “3 (Alif, Lam, Mim)” ini terdapat propaganda politik tentang Islam. Propaganda yang dilakukan oleh para pemimpin kekuasaan dengan menggambarkan Islam sebagai teroris. Pemimpin kekuasaan memberikan pengaruh negatif kepada pikiran masyarakat dengan pesan yang menganggap agama Islam sebagai agama yang sering membuat kekacauan, bom, kekerasan. Orang-orang Islam dianggap memiliki pemikiran kolot. Hal tersebut terdapat dalam alur cerita yang ada dalam film ini. Terutama mengenai agama Islam yang dianggap teroris oleh negara sendiri dalam film ini.

5

Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotik Media, (Yogyakarta: Jala Sutra, 2010), h. 21.


(17)

5

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti bermaksud menyusun skripsi dengan judul “Makna Pesan Propaganda Komunikasi Politik Tentang Islam dalam Film 3 (Alif, Lam, Mim)”.

B.Batasan dan Rumusan Masalah

Agar pembahasannya lebih terarah lagi dan lebih fokus lagi, maka penulis membatasi dan merumuskan masalah dalam penelitian ini. maka peneliti membatasi objek penelitian pada adegan atau tanda-tanda dan makna yang mengandung propaganda Islam.

Adapun rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apa makna denotasi, konotasi, dan mitos yang terdapat dalam Film 3 (Alif, Lam, Mim)?

2. Apa pesan propaganda politik tentang Islam yang terdapat dalam Film 3(Alif, Lam, Mim)?

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui makna denotasi, konotasi, dan mitos dalam Film 3(Alif, Lam, Mim).

2. Untuk mengetahui pesan atau dialog propaganda yang terdapat dalam Film 3 (Alif, Lam, Mim).


(18)

2. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan konstribusi positif bagi pengembangan dalam menambah wawasan pengetahuan mengenai model propaganda politik. Selain itu juga diharapkan dapat menambah refernsi bagi mahasiswa-mahasiswi yang berada di Universitas Islam Negeri Jakarta untuk mengetahui tentang media dan propaganda yang terdapat dalam sebuah film.

2. Manfaat Praktis

1. Mitos-mitos yang terdapat dalam Film 3 dapat bermanfaat bagi masyarakat umum atau khalayak.

2. Pesan komunikasi politik yang terdapat dalam Film 3 dapat bermanfaat bagi pemimpin dan komunikasi politik.

3. Model propaganda yang terdapat dalam Film 3 dapat bermanfaat bagi mahasiswa-mahasiswi yang ingin melakukan penelitian dengan memggunakan model propaganda.

D.Metodelogi Penelitian

1. Paradigma dan Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini menurut Lexy J. Moleong yang mengutip pernyataan Bogdan dan Bilken menyatakan bahwa paradigma adalah kumpulan proposisi


(19)

7

yang mengalahkan cara berpikir dalam penelitian.6 Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan paradigma konstruktivis. Paradigma konstrukvis berbasis pada pemikiran umum tentang teori-teori yang dihasilkan oleh peneliti dan teoritis aliran konstruktivis. Little John mengatakan bahwa teori-teori aliran ini berlandaskan pada ide bahwa realitas bukanlah bentukan yang objektif, tetapi dikonstruksi melalui proses interaksi dalam kelompok, masyarakat, dan budaya.7 Peneliti mencoba untuk mengungkapkan realitas yang tersembunyi dalam Film 3 (Alif. Lam, Mim).

Metode penelitian pada penelitian ini merupakan metode penelitian kualitatif dengan jenis penelitian bersifat deskriptif.8 Menurut Bosrowi Sadikin penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dicapai dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau dengan cara kuantifikasi lainnya.9 Melalui penelitian kualitatif dapat mengenali subjek dan merasakan apa yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari. Data yang dihasilkan adalah data deskriptif berupa gambaran mengenai makna dari tanda-tanda suatu teks secara detail.

Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang suatu fenomena secara detail (untuk menggambarkan yang terjadi).

6

Moleong, Lexy J, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), h. 49.

7

Stephen W. Little John, Theories of Human Communication, Wadsworth, Belmon, 2002, h.163

8

Wibowo, Indriawan Seto Wahyu, Semiotik Komunikasi, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2913), h. 162

9

Sudikin, Bosrowi, Metode Penelitian Kualitatif Prespektif Mikro, (Surabaya: Insancendikia, 2002), h.1


(20)

2. Metode Penelitian

Objek penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini mengenai sinematografi merupakan tanda-tanda verbal dan no-verbal yang terdiir dari berbagai macam tanda yang tergabung dalam sistem, maka metode analisis yang digunakan adalah analisis semiotika. Barthes mengungkapkan bahwa semiotika pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusian memaknai hal-hal.10 Dalam hal ini peneliti menggunakan analisis semiotik Roland Barthes.

3. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek yang digunakan dalam penelitian ini sendiri adalah tim produksi Film 3 (Alif, Lam, Mim). Sedangkan untuk objek penelitiannya adalah berbagai potongan adegan-adegan dan dialog yang mengandung unsur propaganda politik tentang Islam yang dilakukan pemerintah kepada rakyat dalam mempengaruhi rakyat untuk menganggap Islam itu agama yang buruk dalam film tersebut.

4. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan mulai dari tanggal 21 Januari 2016 oleh penulis setelah mendapatkan persetujuan dari proposal yang diajukan penelitian kepada dosen penasihat akademik. Tempat penelitian dilakukan di kampus UIN Jakarta dan sekitarnya yang akan membantu untuk referensi dalam

10


(21)

9

mengumpulkan data penelitian. Selain itu, peneliti juga melakukan penelitian di Senayan City saat mewawancarai narasumber pada tanggal 23 mei 2016.

5. Tahapan Penelitian

Prosedur penelitian terdiri dari mengumpulkan data, mengolah data, dan menganlisa data sebagaimana akan di bahas di bawah ini.

a. Pengumpulan Data

Teknik yang dilakukan oleh peneliti dalam mengumpulkan data adalah dengan instrument sebagai berikut:

1) Observasi

Observasi merupakan pengamatan langsung yang dilakukan peneliti dengan mengamati langsung setiap adeganyang terdapat dari hasil download Film 3 (Alif, Lam, Mim)melalui youtube. Dengan mengambil simbol-simbol dan tanda-tanda yang terdapat dalam film tersebut sesuai dengan model penelitian yang digunakan oleh peneliti.

2) Wawancara

Wawancara merupakan alat pengumpulan data yang sangat penting dalam penelitian komunikasi kualitatif yang melibatkan manusia sebagai subjek (sutradara dan penulis film) sehubungan dengan realitas atau gejala yang dipilih untuk diteliti.11 Wawancara yang dilakukan oleh peneliti baik itu secara langsung ataupun tidak langsung dengan narasumber. Peneliti

11

Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, (Yogyakarta: PT. LKS Pelangi Aksara Yogyakarta, 2007), h. 157.


(22)

mewawancarai Anggy Umbara sebagai sutradara sekaligus penulis Film 3 sebagai narasumber.

3) Dokumentasi

Dokumen merupakan data film yang dapat mendukung peneliti dalam melakukan penelitian, seperti bahan pustaka, referensi-referensi yang dapat menunjang penulis, studi berupa buku-buku, majalah (3 movie dan lain-lain), dan artikel-artikel yang berhubungan dengan objek permasalahan yang akan diteliti. Selain itu, data didapatkan melalui rekaman dan adegan yang terdapat dalam Film sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.

b. Pengolahan Data

Pada jenis penelitian kualitatif ini, pengolahan data tidak harus dilakukan setelah data terkumpul atau pengolahan data selesai. Dalam hal ini, data sementara yang dikumpulkan, data yang sudah ada dapat diolah dan dilakukan analisis data secara bersamaan. Dalam pengolahan data dapat dilakukan dengan yang pertama, reduksi data dalam pemilihan, pemusatan, dan penyerhadaan data yang telah didapatkan di lapangan. Kedua, penyajian data dilakukan setelah melakukan reduksi data, penyajian data dilakukan agar data hasil reduksi teroganisasikan, tersusun dalam pola hubungan sehingga lebih mudah dipahami. Ketiga, menarik kesimpulan setelah mendapatkan semua data yang diperolah dari lapangan kemudian data disimpulkan sebagai hasil penelitian dan mencari makna.

Data tersebut dimasukkan ke dalam gambar-gambar (21 gambar), bagan-bagan seperti kerangka konsep, kemudian daftar tabel yang terdapat di dalam


(23)

11

penelitian. Peneliti menggunakan pedoman penulisan dalam menulis skripsi ini yaitu pedoman akademik tahun 2012.

c. Teknik Analisis Data

Temuan ditafsirkan berdasarkan kerangka konsep setelah mendapatkan sumber dari data primer dan data sekunder yang sudah terkumpul, kemudian hal itu dikaitkan dengan rumusan masalah yang sudah dilakukan peneliti. Kemudian peneliti mengkaitkan dengan analisis semiotik model Roland Barthes dengan mencari gambaran mengenai tanda-tanda dan simbol-simbol yang terdapat dalam Film 3 (Alif, Lam, Mim) yang mengenai propaganda politik tentang Islam yang terdapat dalam film tersebut. Selain itu, juga peneliti mencari makna denotasi, konotasi, dan mitos yang ada dalam film tersebut sesuai dengan rumusan masalah.

E.Kerangka Konsep

Konsep merupakan abstraksi yang terbentuk oleh generalisasi dari hal-hal khusus.oleh karena konsep merupakan abstraksi maka konsep tidak dapat langsung diamati atau diukur.

Menurut Dan Nimmo, pengertian komunikasi politik sebagai kegiatan komunikasi yang berdasarkan konsekuensi-konsekuensinya (actual maupun potensial) yang mengatur perbuatan manusia di dalam kondisi-kondisi konflik.12 Sementara menurut Anwar Arifin, komunikasi politik sebagai suatu fungsi politik,

12


(24)

bersama-sama dengan fungsi artikulasi, agregasi, sosialiasasi, yang terdapat dalam suatu sistem politik.13

1.

Teknik-teknik propaganda yang terdapat seperti Name Calling adalah propaganda dengan memberikan sebuah ide atau label yang buruk. Card Stacking

meliputi seleksi dan kegunaan fakta atau kepalsuan, ilustrasi atau kebingungan dan masuk akal atau tidak masuk akal suatu pernyataan agar memberikan kemungkinan terburuk atau terbaik suatu gagasan, program, manusia dan barang. Teknik ini

13

Anwar Arifin, Komunikasi Politik: Paradigma-Teori-Aplikasi-Strategi dan Komunikasi Politik di Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 9

Komunikasi Politik dalam Pesan Dakwah Siyazah

Dan Nimmo (1989), Anwar Arifin (2003)

Tenik-teknik Propaganda terdiri 7 teknik yang terdapat dalam Film 3 antara lain:

1. Name Calling 2. Card Stacking

3. Frustration or Spacegot 4. Propaganda positif

Semiotika model 1. Denotasi 2. Konotasi

3. 3.mitos

Contoh Film Futuristik


(25)

13

digunakan untuk menyalurkan kebencian atau frustasi dengan cara menciptakan kambing hitam.14

Makna denotasi adalah makna awal utama dari sebuah tanda, teks, dan sebagainya. Sedangkan makna konotasi sebagai sesuatu yang hanya bisa dipahami dalam kaitannya dengan signifikasi tertentu seperti novel, puisi, dan musik. Kemudian mitos berfungsi untuk mengungkapkan nilai-nilai dominan yang berlaku biasanya berkaitan dengan kebudayaan yang ada di masyarakat.15

Beberapa contoh film futuristik yang ada seperti, A Trip to the Moon (1902),

Metropolis (1927), A Space Odyssey (1968), Film 3 (Alif, Lam, Mim) (2015).

F. Tinjauan Pustaka

Pada penelitian ini peneliti juga menggunakan skripsi yang memliki beberapa persamaan dengan skripsi yang dilakukan oleh peneliti. Hal ini dilakukan untuk menginspirasi peneliti dalam melakukan penelitiannya. Selain itu, untuk membantu peneliti dalam merumuskan masalah yang ada dalam penelitiannya, seperti

skripsi-skripsi berikut ini “Semiotik Taubat Dalam Film Mama Cake”16

, yang ditulis oleh Ika Kurnia Utami, menemukan makna taubat yang dilakukan oleh oleh Ananda Omes sebagai pemeran dalam film itu yang melakukan taubat setelah mendapatkan pesan dari neneknya. Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. Persamaan yang terdapat dalam Skripsi ini yaitu sama-sama

14

Mohammad Soelhi, Propaganda dalam Komunikasi Internasional, (Bandung: Simbiosa Reakatama Media, 2012), h. 67.

15

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h. 266.

16

Ika, Kurnia Utami, Semiotik Taubat Dalam Film Mama Cake, Skripsi, Fak. Fidkom, Jur. KPI.


(26)

menggunakan metode analisis yang digunakan adalah model Roland Barthes. Hasil dari penelitian yang didapatkan untuk mengetahui makna denotasi, konotasi, dan mitos. Serta untuk perbedaan yaitu mengenai makna yang ingin diteliti yaitu untuk mengetahui makna taubat dalam film tersebut.

Kemudian sebagai bahan untuk menginspirasi lainnya peneliti juga menggunakan skripsi-skripsi lain. seperti, Propaganda Media Dalam Bentuk Kekerasan Terbuka (Studi Semiotika Terhadap Film Pengkhianatan G 30 S PKI)”17

,

yang ditulis oleh Mamik Sarmiki, menyimpulkan tanda kekerasaan yang menggambarkan sifat kebrutalan dan kekejaman yang dilakukan oleh PKI, kekerasan terbuka, dimana banyaknya tindakan pemukulan, pengeroyokan, bahkan penganiayaan hingga pembunuhan secara terang-terangan yang dilakukan oleh gerakan PKI. Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. Dalam skripsi ini ingin mengetahui bagaimana teknik propaganda yang dilakukan dalam film tersebut. Persamaan yang terdapat yaitu ingin mengetahui teknik propaganda yang digunakan sedangkan perbedaan yang terdapat yaitu mengenai objek yang diteliti.

Skripsi lain yang digunakan sebagai bahan refensi untuk menyelesaikan penelitian ini yaitu, Analisis Semiotik Propaganda Perang Amerika-Irak Dalam Film Sniper18, yang ditulis oleh Nur Ajijah, menulis bahwa Amerika melakukan propaganda kepada Irak dengan menggunakan berbagai teknik propaganda sehingga

17

Mamik, Sarmiki, Propaganda Media Dalam Bentuk Kekerasan Terbuka (Studi Semiotika Terhadap Film Pengkhianatan G 30 S PKI, Skripsi, Fak. Fidkom, Jur. KPI.

18

Nur Ajijjah, Analisis Semiotik Propaganda Perang Amerika-Irak Dalam Film Sniper,


(27)

15

menimbulkan pengaruh buruk. Mahasiswi UIN Hidayatullah Jakarta, Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. Dalam film ini yang ingin disampaikan oleh penulis mengenai teknik propaganda perang dilakukan Amerika terhadap Islam yang ada di Irak dalam film tersebut. Persamaan dalam film ini dengan skripsi yang saya teliti yaitu sama-sama ingin mengetahui pesan propaganda dan teknik propaganda yang digunakan. Sedangkan perbedaan yang terdapat dalam penelitian ini yaitu objek atau film yang diteliti berbeda.

G.Sistematika Penulisan

Secara sistematis dalam penulisan skripsi ini dibagi kedalam lima bab. Dalam setiap bab terdiri oleh sub-sub bab yang saling memiliki keterkaitan pada tiap babnya. Untuk lebih jelasnya lagi penulis uraikan penulisan sistematis sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Berisi latar belakang masalah penelitian, batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodelogi penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan.

BAB II KAJIAN TEORI

Membahas tentang konsep dan teori mengenai propaganda, film dan teori semiotika oleh Roland Barthes.

BAB III GAMBARAN UMUM

Dalam bab ketiga ini akan diuraikan sinopsi mengenai Film 3 dan beberapa profil pemain Film 3, pemeran dan sutradara Film 3 serta tim produksi yang mensukseskan Film 3 (Alif, Lam, Mim) ini.


(28)

BAB IV DATA DAN ANALISIS DATA

Berisi analisis mengenai data semiotik pada makna denotasi, konotasi, dan mitos dari temuan data yang dilakukan peneliti berupa data-data dari film 3 (Alif, Lam, Mim)

serta propaganda yang dilakukan oleh para elit politik dalam Film 3 (Alif, Lam, Mim). BAB V PENUTUP

Yang berisi kesimpulan peneliti terhadap beberapa pertanyaan dari rumusan masalah penelitian, serta saran peneliti untuk memberi motivasi kepada peneliti lain jika ingin melakukan penelitian yang sama.


(29)

BAB II

KERANGKA TEORITIS

A.Teori Propaganda

1. Pengertian Propaganda

Propaganda merupakan sebuah usaha yang dilakukan oleh sekelompok orang atau sebuah organisasi untuk mempengaruhi manusia. Terkadang propaganda dilakukan untuk merubah pemikiran seseorang dengan tujuan untuk kepentingan sendiri karena propaganda dapat merubah kepercayaan dan opini.

Dalam propaganda mempunyai kajian pokok “How to Influence and to

control the mind’s of men”- Bagaimana mempengaruhi dan menguasai pikiran manusia.1 Istilah propaganda bisa jadi telah mengukirkan suatu gambaran negatif atau hal buruk di dalam pikiran seseorang.2 kegiatan seperti ini bagian dari upaya untuk membujuk orang lain agar mengikuti dan melakukan sesuai keinginan propagandis.

Propaganda berasal dari bahasa Latin propagare artinya cara tukang kebun menyemaikan tunas suatu tanaman ke sebuah lahan untuk memproduksi suatu tanaman baru yang kelak akan tumbuh sendiri. Dengan kata lain juga berarti mengembangkan atau memekarkan (untuk tunas).3 Dari sejarahnya sendiri, propaganda awalnya adalah mengembangkan dan memekarkan agama Khatolik Roma baik di Italia maupun di negara-negara lain. sejalan dengan tingkat

1

Ginting Munthe, Moeryanto, Propaganda dan Ilmu Komunikasi, Jurnal IISIP, Vol. IV, No. 1, Edisi Juni 2012, h. 49

2

Ginting Munthe, Moeryanto, Propaganda dan Ilmu Komunikasi, Jurnal IISIP, Vol. IV, No. 1, Edisi Juni 2012, h. 40

3


(30)

perkembangan manusia, propaganda tidak hanya digunakan dalam bidang keagamaan saja tetapi juga dalam bidang pembangunan, politik, komersial, pendidikan, dan lain-lain.

Menurut Jacques Ellul, seorang sosiolog dan filosof Perancis, pengertian propaganda sebagai komunikasi yang “digunakan oleh suatu kelompok terorganisasi

yang ingin menciptkan partisipasi aktif atau pasif dalam tindakan-tindakan suatu massa yang terdiri atas individu-individu, dipersatukan secara psikologis melalui manipulasi psikologis dan digabungan dalam suatu organisasi”. 4 Jacques Ellul (1965) propaganda politik adalah kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah, partai politik, dan kepentingan untuk mencapai tujuan politik (strategis dan taktis) dengan pesan-pesan yang lebih khas yang lebih berjangka pendek.5

Propaganda politik adalah sebuah bentuk kekerasan yang halus dan tak mampu, yang menyembunyikan pemaksaan interpretasi dan realitas, maka dia dapat dilihat sebagai sebauh bentuk kekerasan pada tingkat tanda atau simbol.6

Propaganda politik dapat merupakan kegiatan komunikasi politik yang dilakukan secara terencana dan sistematik, untuk menggunakan sugesti (mempermainkan emosi), untuk tujuan mempengaruhi seseorang atau kelompok orang, khalayak atau komunitas yang lebih besar (bangsa) agar melaksanakan atau menganut suatu ide (ideology, gagasan, sampai sikap), atau kegiatan tertentu dengan kesadarannya sendiri tanpa merasa dipaksa/terpaksa.

4

Dan Nimmo, Komunikasi Politik (Komunikator, Pesan, dan Media), (Bandung: Remadja Karya, 1989), h. 136

5

Anwar Arifin, Komunikasi Politik: Paradigma-Teori-Aplikasi-Strategi dan Komunikasi Politik di Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 74

6

Arief Adityawan S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2008), h. xix


(31)

19

Harold D. Lasswell dalam tulisannya Propaganda mengatakan propaganda adalah teknik untuk mempengaruhi kegiatan manusia dengan memanipulasi representasinya (Propaganda in broadest sense is the technique of influencing human action by the manipulation of representations)”. Definsi lainnya dari Laswell yang menyebutkan propaganda adalah semata-mata kontrol opini yang dilakukan melalui simbol-simbol yang mempunyai arti, atau menyampaikan pendapat yang kongkrit dan akurat (teliti), melalui sebuah cerita, rumor laporan gambar-gambar dan bentuk-bentuk lain yang bisa digunakan dalam komunikasi sosial (It refeers propaganda solely to the control of public opinion by significant symbols, or to speak more concretely and less accurately, by the stories, rumours, report, pictures and other form of social communication)”.7

Dalam negara demokrasi, propaganda menurut Leonard W. Dobb dipahami sebagai suatu usaha individu atau individu-individu yang berkepentingan untuk menggunakan sugesti. Sedang Harbert Blumer mengemukakan bahwa propaganda dapat dianggap sebagai suatu kampanye politik yang dengan sengaja mengajak dan membimbing untuk mempengaruhi/membujuk orang guna menerima suatu pandangan, sentiment, atau nilai.8

Dalam propaganda media memiliki peran yang penting dalam proses penyebaran pesan. Salah satu media yang biasanya digunakan dalam kegiatan propaganda adalah media massa karena keunggulan media massa adalah

7

Nurudin, Komunikasi Propaganda, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), h. 10

8

Anwar Arifin, Komunikasi Politik: Paradigma-Teori-Aplikasi-Strategi dan Komunikasi Politik di Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 74


(32)

jangkauannya yang sangat luas. Sehingga peran media massa untuk propaganda sangat efektif.9

Propaganda politik yang dilakukan melalui media massa sebenarnya upaya untuk mengemas isu, tujuan, pengaruh, dan kekuasaan politik untuk memanipulasi psikologi khalayak.10 Salah satu media yang digunakan untuk menyebarluaskan pesan yang bertujuan mempengaruhi pikiran manusia adalah film.

Dalam Film 3 ini, propaganda yang dilakukan yaitu dengan menyerbarluaskan isu-isu yang bohong kepada masyarakat untuk merubah kepercayaan masyarakat terhadap Islam. Berbagai pesan yang disampaikan oleh pemimpin politik untuk mempengaruhi pemikiran rakyat hal itu bertujuan agar masyarakat membenci agama Islam sehingga tujuan yang diinginkan oleh pemimpin politik tercapai.

Pesan-pesan yang disebarluaskan mengandung bujukan atau rayuan sehingga rakyat mengikuti apa yang diinginkan oleh seorang propagandis. Proapaganda yang disebarluaskan dalam Film 3 ini dengan mengungkapkan pesan yang belum tahu kebenarannya sehingga pesan yang disampaikan oleh kalangan pemimpin politik masih mengandung kenyataan yang semu atau kebohongan.

Dalam Film 3 ini, pemimpin negara yang memiliki kekuasaan tertinggi di negara yang melakukan propaganda kepada masyarakat. Bahakan, dia yang menyebarkan isu-isu yang bohong semata-mata hanya untuk memperoleh kekuasaan yang lebih tinggi lagi dan agara masyarakat percaya kepada pemerintah dan peraturan yang ada bukan kepada agama Islam.

9

Nurudin, Komunikasi Propaganda. (PT. Remaja Rosdakarya, Bandung: 2002), h. 35 10

Gungun, Heryanto, Propaganda Politik Melalui Media Massa: Analisa Dari Perspektif Teori Agenda Setting, Jurnal Dakwah UIN Jakarta, Volume IX No. 1, Edisi Juni 2007, h. 7


(33)

21

Jadi, propaganda politik merupakan cara yang dilakukan oleh kalangan elit-elit politik yang berkuasa di dalam sebuah pemerintahan. Para pemimpin politik biasanya mempengaruhi pemikiran rakyatnya dengan mengubah representasi yang ada sehingga secara tidak sadar rakyat terpengaruh dengan apa yang disampaikan oleh kalangan pemimpin politik tersebut. Biasanya mereka menyebarkan pesan-pesan yang tidak sesuai dengan kenyataannya sehingga secara tidak langsung para elit politik membohongi rakyat. Dengan seperti itu para pemimpin politik melakukan propaganda terutama jika itu dilakukan secara terus menerus.

2. Teknik-teknik Propaganda

Berbagai teknik propaganda yang digunakan oleh seorang propagandis untuk mempengaruhi masyarakat dalam merubah persepsi. Propaganda juga dapat dilakukan dalam beberapa teknik memanipulasi emosi bahkan bisa dilakukan dengan cara membahayakan bagi seorang propagandis karena tujuan dari teknik yang digunakan seorang propagandis untuk “memanipulasi” mulai dari perasaan suka menjadi perasaan tidak suka, dari perasaan cinta menjadi benci, dan lain sebagainya.

Memanipulasi emosi seorang masyarakat juga merupakan teknik yang digunakan oleh seorang propagandis untuk mencapai sasaran dan tujuannya, propaganda seperti halnya komunikasi, sangat membutuhkan teknik. Seperti halnya dengan menggunakan media film yang dijadikan sebagai propaganda dalam mempengaruhi seseorang.

Melalui berbagai teknik ini, propagandis memanipulasi kata, suara, simbol pesan non verbal, sehingga secara tidak langsung tingkat emosinal masyarakat jadi


(34)

berubah. Dengan cara seperti itu seorang propagandis mempengaruhi masyarakat karena melalui teknik seperti ini tingkat emosional masyarakat akan berubah ketika seorang propagandis menyebarkan pesan.

Seperti yang terdapat dalam Film 3 ini beberapa teknik yang digunakan seorang propagandis dalam merubah persepsi atau pandangan mansyarakat terhadap agama Islam sebagai berikut:

a. Name Calling

Name Calling adalah propaganda dengan memberikan sebuah ide atau label yang buruk. Tujuannya adalah agar orang menolak dan mengangsikan ide tertentu tanpa mengkoreksinya/memeriksa terlebih dahulu.

Salah satu yang paling melekat pada teknik ini adalah seorang propagandis menggunakan sebutan-sebutan yang buruk pada lawan yang dituju seperti halnya dalam film 3 (Alif, Lam, Mim) ini seorang Kolonel di Negara memberikan sebutan-sebutan buruk kepada Islam dengan menyebut Islam sebagai teroris.

Contoh lain adalah pernyataan Kolonol sebagai seorang pemimpin negara yang menyebut agama Islam sebagai teroris, pemimpin menganggap bahwa orang-orang yang mengenakan pakaian gamis dan sorban dapat menimbulkan tindakan-tindakan kekerasan seperti pengeboman sehingga disebut sebagai seorang teroris. Islam juga dianggap sebagai agama yang fanatik dengan seperti itu sama saja telah memberikan label yang buruk kepada Islam.


(35)

23

Glittering Generalities adalah mengasosiasikan sesuatu dengan suatu “kata bijak” yang digunakan untuk membuat kita menerima dan menyetujui hal itu tanpa memeriksanya terlebih dahulu. Teknik ini dimunculkan untuk mempengaruhi persepsi masyarakat agar mereka ikut serta mendukung gagasan propagandis.

Hal yang dapat kita lihat dalam Film 3 (Alif, Lam, Mim) ini ketika Kolonel menyuruh seorang propagandis untuk menyebarkan pesan yang buruk mengenai Islam kepada rakyat akan tetapi, seorang propagandis tersebut menyampaikannya dengan kata-kata bijak seolah-olah rakyat percaya dengan ucapan yang disampaikan oleh propagandis tersebut.

c. Transfer

Transfer meliputi kekuasaan, sanski dan pengaruh sesuatu yang lebih dihormati serta dipuja dari hal lain agar membuat “sesuatu” lebih bisa diterima. Teknik yang seperti ini biasanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan dalam sebuah negara.

Teknik propaganda transfer bisa digunakan dengan memakai pengaruh seseorang atau tokoh yang paling dikagumi dan berwibawa dalam lingkungan tertentu. Seorang propagandis dalam Film 3 (Alif, Lam, Mim) ini menyebarkan pesan buruk tentang Islam dengan mengatas namakan Kolonel yang saat itu sebagai pemimpin negara, propagandis melakukan hal tersebut dengan maksud agar komunikan terpengaruh secara psikologis terhadap apa yang dipropagandakan oleh si propagandis.


(36)

Testimonial berisi perkataan manusia yang dihormati atau dibenci bahwa ide atau program/produk adalah baik atau buruk. Propaganda ini sering digunakan dalam kegiatan komersial, meskipun juga bisa digunakan untuk kegiatan politik.

Dalam Film 3 (Alif, Lam, Mim) ini aparat negara menggunakan teknik ini sebagai kegiatan politiknya untuk memanipulasi pikiran masyarakat dengan memberikan pemahaman-pemahaman negatif tentang Islam kepada masyarakat, selain itu, aparat negara memberikan pemahaman kepada masyarakat agar membenci Islam karena orang-orang Islam dianggap sebagai teroris.

e. Card Stacking

Card Stacking meliputi seleksi dan kegunaan fakta atau kepalsuan, ilustrasi atau kebingungan dan masuk akal atau tidak masuk akal suatu pernyataan agar memberikan kemungkinan terburuk atau terbaik suatu gagasan, program, manusia dan barang. Teknik propaganda yang hanya menonjolkan hal-hal atau segi baiknya saja, sehingga publik hanya melihat satu sisi saja.

Pada teknik Card Stacking yang terdapat dalam Film 3 (Alif, Lam, Mim)

ini adalah Aparat negara berusaha menonjolkan sesuatu usaha yang baik yang telah dilakukan oleh pemerintah kepada rakyat seolah-olah rakyat percaya dengan hal tersebut. Pemimpin negara menjelaskan kepada rakyat bahwa mereka berhasil menangkap teroris yang selama ini membuat kehancuran di negara kita.


(37)

25

f. Frustration or Spacegot

Teknik ini digunakan untuk menyalurkan kebencian atau frustasi dengan cara menciptakan kambing hitam.11

Sementara untuk teknik seperti ini dalam Film 3 (Alif, Lam, Mim),

Kolonel Mason yang menjadi pemimpin negara dengan sengaja menjadikan agama Islam sebagai kambing hitam dalam kasus pengeboman yang terjadi di Candi cafe. Hal tersebut bertujuan agar rakyat membenci Islam hingga masyarakat memushi orang-orang Islam.

Teknik yang lebih banyak digunakan dalam Film 3 ini, yaitu teknik Name Calling, Card Stacking, Frustration or Spacegot. Dalam teknik name calling

ini, pemerintah memberikan ide-ide dan pemahaman yang buruk kepada masyarakat dengan mengatakan bahwa agama Islam itu bukan agama yang membawa kebenaran dan kebaikan untuk manusia sehingga secara tidak sadar masyarakat terpengaruh dengan menganggap Islam sebagai teroris. Sedangkan dalam teknik card stacking, saat pemerintah memberikan bukti-bukti dan kesaksian palsu kepada masyarakat mengenai kasus pengeboman yang terjadi di candie café. Kemudian untuk teknik frustration or spacegot saat pemimpin negara menjadi orang-orang Islam sebagai kambing hitam yang melakukan pengeboman.

11

Mohammad Soelhi, Propaganda dalam Komunikasi Internasional, (Bandung: Simbiosa Reakatama Media, 2012), h. 67.


(38)

3. Jenis-jenis Propaganda

Jenis propaganda dibagi menjadi empat bagian, yaitu:

1. Propaganda Politik adalah propaganda yang dipraktikan melalui pesan-pesan dalam jangka pendek dan sementara. Propaganda jenis ini biasanya melibatkan usaha dari pemerintah, partai atau korporasi, dan golongan tertentu yang mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan sosialnya untuk mencapai suatu tujuannya.

2. Propaganda Sosial adalah propaganda yang sifatnya berangsur-angsur terserap ke dalam lembaga ekonomi, kehidupan sosial, dan politik dalam masyarakat. Dalam kehidupan sosial propaganda ini terserap ke dalam sendi-sendi kehidupan sehingga dapat memengaruhi cara hidup dan ideologi masyarakat.

3. Propaganda Agitasi adalah propaganda yang biasanya dilakukan oleh tokoh, aktivis partai politik dan ormas. Karena pada praktiknya kegiatan propaganda agitasi lebih cenderung menghasut atau memprovokasi dan membangkitkan emosional khalayak sehingga khalayak bersedia memberikan jiwa dan pengorbanan yang besar untuk mencapai cita-cita dan tujuan.

4. Propaganda Integratif adalah propaganda yang ditempuh melalui komunikasi interpersonal dengan target orang-orang tertentu dalam rangka penanaman doktrin, kemudian target yang sudah kuat mengikuti doktrin melancarkan propaganda pada target tertentu lainnya, dan seterusnya. Propaganda ini mengejar suatu tujuan dalam jangka panjang.


(39)

27

5. Propaganda Ratio adalah sejenis propaganda yang bersifat positif. Jenis ini lebih menjurus kea rah perpaduan dan mencipta nama baik.selain itu, ia mempromosikan ikatan persahabatan dan meningkatkan moral sesuatu yang disebarkan.

Tiga tambahan tipe propaganda yang dapat melengkapi jenis sebelumnya: 1. Propaganda putih yaitu propaganda yang menyebarkan informasi

ideologi dengan menyebutkan sumbernya.

2. Propaganda kelabu yaitu propaganda oleh kelompok yang tidak jelas. Biasanya ditunjukkan untuk mengacaukan pikiran orang lain seperti adu domba, intrik, dan gosip.

3. Propaganda hitam yaitu propaganda yang menyebarkan informasi palsu untuk menjatuhkan moral lawan, tidak mengenal etika dan cenderung berpikir sepihak. Misalnya CIA dan KGB saling menyebarkan berita palsu yaitu sekedar menggertak atau menakut-nakuti pihak lawan.

4. Film Sebagai Media Propaganda

Film sangat besar pengaruhnya dan paling banyak digunakan sebagai alat propaganda, baik secara terang-terangan maupun secara terselubung. Film merupakan refleksi dari masyarakat mulai dilakukan dalam beberapa penelitian tentang dampak film terhadap masyarakat, hubungan antara film dan masyarakat selalu dipahami


(40)

secara linear.12 Dalam hal ini film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan (message) dibaliknya tanpa pernah berlaku sebaliknya.

Dalam film secara tidak sadar seseorang akan mudah terpengaruh terhadap film yang ditontonnya. Sehingga film memiliki peran yang penting untuk dijadikan media propaganda oleh kalangan para elit politik dalam mempengaruhi masyarakat. Film selalu menjadi media yang memiliki daya tarik tersendiri terhadap audiensnya.

Film yang ditonton secara terus-menerus akan merubah pola pikir manusia karena film dan manusia memiliki hubungan yang erat. Sehingga banyak kalangan politik memilih film sebagai media propaganda untuk menyebarkan isu atau pesan yang berisi kepentingan para politik.

Pemimpin yang ingin mencapai kinerja kepemimpinan optimal dengan massa pengikut yang luas dan dikenang sepanjang zaman, akan memilih propaganda sebagai alat untuk menanamkan pengaruh yang kokoh ditengah massanya. Upaya yang ditempuh pun beragam, mulai dari kerapnya ia tampil dalam berbagai forum untuk berkomunikasi dengan massa pengikutnya, juga menyampaikan pesan melalui media massa, seperti surat kabar, radio, televisi, dan film, pertunjukan musik, atraksi, gerak tubuh, atraksi latar, pelantunan lirik lagu. Disitu ia menguatkan kesan

12

Budi Irawanto, Film, Ideologi, dan Militer, Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia,


(41)

29

kepemimpinannya melalui simbol tertentu, baik simbol gambar maupun simbol gerak.13

John A. Broadwin dan V.R. Berghahn (1996), dalam bukunya The Triumphof Propaganda, Mengutip pernyataan Fritz Hippler bahwa “Dibandingkan dengan seni lain, film mampu menimbulkan dampak psikologis dan propagandistik yang abadi dan pengaruhnya sangat kuat karena efeknya tidak melekat pada pikiran, tetapi pada emosi dan bersifat visual sehingga bertahan lebih lama daripada pengaruh yang dicapai oleh ajaran gereja atau sekolah, buku, surat kabar, atau radio.14

Tidak diragukan lagi media massa yang paling berpengaruh pada masa Reich Ketiga adalah film. Film yang bersifat seni merupakan sarana komunikasi yang digunakan Hilter untuk menanamkan pengaruh pada dunia politik dan menimbulkan efek terpenting pada massa. Selain film dengan daya persuasif emosional, radio dan surat kabar juga tidak kalah penting dalam membawa dan menyebarkan pesan ideologi baru. Dalam konteks strategi propaganda Goebbles, alat propaganda tersebut merupakan alat faktor yang sangat diperlukan dalam kampanye indoktrinisasi apa pun, khususnya ditinjau dari fakta bahwa efek film lebih bertahan lama karena tidak mengenal aktualitas seperti radio dan surat kabar.15

13

Mohammad Soelhi, Propaganda dalam Komunikasi Internasional, (Bandung: Simbiosa Reakatama Media, 2012), h. 157

14

Mohammad Soelhi. Propaganda dalam Komunikasi Internasional. (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2012), h. 165

15

Mohammad Soelhi. Propaganda dalam Komunikasi Internasional. (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2012), h. 166


(42)

Film merupakan alat yang paling ampuh untuk dijadikan media propaganda. Seperti disalah satu negara yang banyak melakukan propaganda dalam film-filmnya yaitu Amerika adalah negara yang sengaja atau tidak melakukan propaganda melalui film-film kepahlawanan tentara Amerika ditunjukkan dalam perang dengan setting perang “Perang Vietnam”. Untuk menyebut contoh antara lain Coming Home (Hal Ashby, 1978), The Deer Hunter (Michael Comino, 1978), Rambo Blood Part II

(Goerge F. Cosmatus, 1985), Platon (Oliver Stone, 1986), Full Metal Jacket (Stanley Kubrick, 1987), dan Apocalyspe Now (Franciz Ford Capollo, 1979).16

Dalam Film 3, film merupakan media yang digunakan untuk mempengaruhi pikiran manusia. Film menjadi media yang paling ampuh untuk memanipulasi pesan-pesan yang terdapat dalam sebuah film. Film yang bersifat audio-visual sehingga film berbeda dengan media lain yang digunakan sebagai media propaganda lainnya. Dalam film sutradara berusaha menjelaskan bagaimana kalangan pemimpin politik dalam mempengaruhi rakyat melalui pesan-pesan propaganda yang disebarluaskan melalui media massa yang ada di era globalisasi saat ini. Pesan propaganda tidak hanya disampaikan melalui media cetak dan elektronik saja akan tetapi, film juga mampu menjadi media propaganda yang digunakan untuk memanipulasi pesan.

Pesan propaganda yang terdapat dalam film 3, saat pemimpin menyebarluaskan pesan yang mengandung kebohongan mengenai suatu peristiwa dimana saat itu pemimpin politik menjadikan Islam sebagai kambing hitam dalam kejadian tersebut. Dengan seperti itu, masyarakat terpengaruh dengan pesan

16


(43)

31

propaganda yang disebarluaskan oleh kalangan pemimpin politik. Saat seorang pemimpin politik ingin memperoleh kekuasaan tertinggi di negara mereka akan rela melakukan hal-hal yang negatif demi keinginan yang dituju.

B.Politik Dalam Struktur Kekuasaan

Istilah “politik” (politics) sering dikaitan dengan bermacam-macam kegiatan dalam sistem politik ataupun negara yang menyangkut proses penentuan tujuan maupun dalam melaksanakan tujuan tersebut. Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Biasanya menggunakan cara atau taktik untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

Politik dapat didefinisikan sebagai kegiatan dimana individu atau kelompok terlibat sedemikian rupa guna memperoleh dan menggunakan kekuasaan untuk mencapai kepentingannya sendiri. Kendati politik punya kans merusak, politik sesungguhnya tidaklah buruk. Faktanya, kendatipun para manajer dan pekerja kerap menolak bahwa politik mempengaruhi kegiatan organisasi, sebuah riset mengindikasikan bahwa politik kantor muncul dan ia punya dampak terukur dalam perilaku organisasi. Definisi lain politik diajukan oleh Richard L. Daft, yang menurutnya adalah “...penggunaan kekuasaan guna mempengaruhi keputusan dalam rangka memperoleh hasil yang diharapkan." Penggunaan kekuasaan dan pengaruh membawa pada 2 cara mendefinisikan politik. Pertama, selaku perilaku melayani diri sendiri. Kedua, sebagai proses pembuatan keputusan organisasi yang sifatnya alamiah.


(44)

Politik dapat dipahami melalui dua prespektif, yakni liberal dan seni. Dalam prespektif liberal, substansi politik adalah nilai otoritatif, yakni: bagaimana jabatan, kekayaan, dan pengaruh yang melekat pada diri seseorang atau sekelompok orang didistribusikan kepada yang lain. Sedangkan dalam prespektif seni, politik menyangkut kemampuan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan.

Kekuasaan memang selalu menjadi perhatian utama para elit politik. Untuk mendapat kekuasaan, tidak hanya harta benda yang dikorbankan bahkan kehormatan yang layak jualpun terkadang dijual untuk mendapatkan kekuasaan. Betapa besar pengaruh seseorang yang memiliki kekuasaan, contoh paling nyata yang bisa kita lihat adalah Soeharto. Soeharto mendapatkan kekuasaan melalui kudeta,dan ketika berada dan memiliki tahta kekuasaan tertinggi dia melakukan apa-apa yang dia inginkan, bersifat diktator tetapi hal itu adalah benar pada masanya karna dia yang memiliki kekuasaan tertinggi. Dia dapat mengubah dan membuat peraturan sesuai kebutuhannya.

Kekuasaan adalah gagasan politik yang berkisar pada sejumlah karakteristik. Karakteristik tersebut mengelaborasi kekuasaan selaku alat yang digunakan seseorang, yaitu pemimpin (juga pengikut) gunakan dalam hubungan interpersonalnya. Karakter kekuasaan, menurut Fairholm adalah:17

17

Gilbert W. Fairholm, Organizational Power Politics: Tactics in Organizational Leadership, 2nd Edition (Santa Barbara: Praeger, 2009) , p.5.


(45)

33

1. Kekuasaan bersifat sengaja, karena meliputi kehendak, bukan sekadar tindakan acak.

2. Kekuasaan adalah alat (instrumen), ia adalah alat guna mencapai tujuan. 3. Kekuasaan bersifat terbatas, ia diukur dan diperbandingkan di aneka situasi

atau dideteksi kemunculannya.

4. Kekuasaan melibatkan kebergantungan, terdapat kebebasan atau faktor kebergantungan-ketidakbergantungan yang melekat pada penggunaan kekuasaan.

5. Kekuasaan adalah gagasan bertindak, ia bersifat samar dan tidak selalu dimiliki.

6. Kekuasaan ditentukan dalam istilah hasil, hasil menentukan kekuasaan yang kita miliki.

7. Kekuasaan bersifat situasional, taktik kekuasaan tertentu efektif di suatu hubungan tertentu, bukan seluruh hubungan.

8. Kekuasaan didasarkan pada oposisi atau perbedaan, partai harus berbeda sebelum mereka bisa menggunakan kekuasaan-nya.

Esensi kekuasaan adalah kendali atas perilaku orang lain. Kekuasaan adalah kekuatan yang kita gunakan agar sesuatu hal terjadi dengan cara disengaja, di mana influence (pengaruh) adalah apa yang kita gunakan saat kita menggunakan kekuasaan.


(46)

1. Konsep Semiotika Roland Barthes

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengan manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi pada dasarnya hendak memperlajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memakai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukan dengan mengkomunikasikan (to communicate).

Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur tanda.18

Kata “semiotika” itu sendiri berasal dari Bahasa Yunani, semeion yang berarti “tanda” atau seme, yang berarti “penafsir tanda” Semiotika berakar dari studi klasik

dan skolastika atas seni logika, retorika, dan peotika. “Tanda” pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjukkan pada adanya hal lain. Contohnya, asap menandai adanya api.19

Semiotik berusaha menggali hakikat sistem tanda yang beranjak keluar kaidah tata bahasa dan sintaksis dan yang mengatur arti teks yang rumit, tersembunyi dan

18

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), h. 15.

19


(47)

35

bergantung pada kebudayaan. Hal ini kemudian menimbulkan perhatian pada makna tambahan (connotative) dan arti penunjukkan (denotative).20

Salah satu pakar semiotik yang memfokuskan permasalah semiotik pada dua makna tersebut adalah Roland Barthes. Ia adalah pakar semiotik Prancis yang pada tahun 1950-an menarik perhatian dengan telaahnya tentang media dan budaya pop menggunakan semiotik sebagai alat teoritisnya. Tesis tersebut mengatakan bahwa makna struktur yang terbangun di dalam produk dan genre diturunkan dari mitos-mitos kuno, dan berbagai peristiwa media ini mendapatkan jenis signifikansi yang sama dengan signifikansi yang secara tradisional hanya dipakai untuk ritual-ritual keagamaan.

Dalam terminologi Barthes, jenis budaya popular apapun dapat diurai kodenya dengan membaca tanda-tanda di dalam teks. Tanda-tanda tersebut adalah hak otonom pembacanya atau penonton.21 Sehingga, dalam semiotik Barthes, proses represntsi itu berpusat pada makna denotasi, konotasi, dan mitos. Ia mencontohkan, ketika mempertimbangkan sebuah berita atau laporan, akan menjadi jelas tanda lingustik, visual dan jenis tanda lain mengenai bagaimana berita itu direpsentasikan seperti tata letak atau lay out, rubrikasi dan sebagainnya, tidaklah sesederhana

20

Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: PT Remadja Rosdakarya, 2004), h. 126-127

21

Ade Irwansyah, Seandainya Saya Kritikus Film, (Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2009), h. 42


(48)

mendenotasikan sesuatu hal, tetapi juga menciptkan tingkat konotasi yang dilampirkan pada tanda. 22

Tatanan Pertama Tatanan Kedua

Realitas Tanda Kultur

bentuk

isi

Signifikasi Dua Tahap

Melalui gambar diatas, Barthes, seperti dikutip Friske, menjelaskan signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal.

Denotasi adalah hubungan yang digunakan didalam tingkat pertama pada sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting dalam ujaran. Makna denotasi bersifat langsung, yaitu makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda, dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah pertanda.23 Barthes menyebutnya sebagai denotasi.

Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan

22

Jonathan Bignell, Media Semiotic: An Introduction, (Manchester and New York: Menchester University Press, 1997), h. 16

23

Marcel Danesi, Semiotika Komunikasi, h. 125. Denotasi

Konotasi

Mitos Penanda


(49)

37

pasti. Denotasi juga merupakan makna yang objektif dan tetap. Makna denotasi adalah makna awal utama dari sebuah tanda, teks, dan sebagainya. 24 makna ini tidak bisa dipastikan dengan tepat, karena makna denotasi merupakan generalisasi. Dalam terminologi Barthes, denotasi adalah sistem signifikansi tahap pertama.

Sedangkan makna konotatif salah satu jenis makna di mana stimulus dan respon mengandung nilai-nilai emosional. Makna konotatif terjadi karena sebagian makna pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju-tidak setuju, senang-tidak senang, dan sebagainya pada pihak pendengar.25 Dalam makna konotatif, orang yang tersenyum bisa berarti sebagai kesenangan dan kebahagian atau sebaliknya bisa saja ekspresi senyum itu diartikan sebagai sindiran atau penghinaan terhadap orang lain.

Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebut dengan „mitos’, yang berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.26 Jadi, mitos memiliki tugasnya untuk memberikan justifikasi ilmiah kepada kehendak sejarah, dan membuat kemungkinan tampak abadi.27

Dapat dikatakan bahwa makna denotatif adalah makna yang digunakan untuk menunjukkan secara jelas tentang sesuatu yang memiliki arti sebenarnya dari sebuah tanda. Sedangkan makna konotatif adalah makna yang memiliki arti tambahan dari makna denotatif yang merupakan hasil dari pikiran yang mengacu pada tradisi,

24

Marcel Danesi, Semiotika Komunikasi, h. 274

25

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h. 266.

26

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi.,h. 71

27


(50)

emosional maupun nilai rasa pada seseorang terhadap sesuatu, baik berupa kata ataupun benda.

Mitos menurut Barthes, disebut sebagai tipe wicara. Ia juga menegaskan bahwa mitos merupakan sistem komunikasi, bahwa dia adalah sebuah pesan. Hal ini memungkinkan kita untuk berpandangan bahwa mitos tak bisa menjadi sebuah objek, konsep, atau ide; mitos adalah cara penandaan (signification), sebuah bentuk. Segala sesuatu bisa menjadi mitos asalkan disajikan oleh sebuah wacana.28 Dalam mitos sekali lagi kita mendapati tiga pola dimensi yang disebut Barthes sebagai: penanda, petanda, dan tanda. Ini bisa dilihat dari peta tanda Barthes yang dikutip dari buku Semiotika Komunikasi, karya Alex Sobur sebagai berikut;

Sumber: Paul Cobley & Litza Jansz. 1999. Introducing Semiotics. NY: Totem Books, hlm. 51.

28


(51)

39

Dari peta Barthes di atas terlihat bahawa tanda denotative (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4).

Mitos menurut Barthes memaparkan fakta. Mitos adalah murni sistem ideografis. Mitos pun dapat sangat bervariasi dan lahir di lingkup kebudayaan massa. Mitos merupakan perkembangan dari konotasi. Konotasi yang menetap pada suatu komunitas berakhir menjadi mitos. Pemaknaan tersebut terbentuk oleh kekuatan mayoritas yang memberi konotasi tertentu kepada suatu hal secara tetap sehingga lama kelamaan menjadi mitos: makna yang membudaya. Mitos ini menyebabkan kita mempunyai prasangka tertentu terhadap suatu hal yang dinyatakan dalam mitos.29 Barthes membuktikannya dengan melakukan pembongkaran (demontage semiologique). Mitos juga merupakan suatu bentuk pesan atau tuturan yang diyakini kebenarannya tetapi tidak dapat dibuktikan.

Barthes juga mengupas 28 teks dari berbagai bidang dalam konteks kehidupan sehari-hari: pertunjukan, novel, buku petunjuk, iklan, keadaan, ma- kanan, boneka, foto, mobil, bahan baku -plastik-, film, dan otak manusia (Einstein) disebut

Mythologies.

Adapun ciri-ciri mitos menurut Roland Barthes,30 yaitu:

1. Detormatif. Barthes menerapkan unsur-unsur Saussure menjadi form (signifier), concept (signified). Ia menambahkan signification yang merupakan

29

Indriawan Seto Wahyu Wibowo, Semiotik: Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan Penulisan Skripsi Mahasiswa Ilmu Komunikasi, (Tangerang: Wisma Tiga Dara Perum Cimone Permai, 2009), h. 20.

30


(52)

hasil dari hubungan kedua unsur tadi. Signification inilah yang menjadi mitos yang mendistorsi makna sehingga tidak lagi mengacu pada realita yang sebenarnya.

2. International. Mitos merupakan salah satu jenis wacana yang dinyatakan secara internasional. Mitos berakar dari konsep historis. Pembacalah yang harus menemukan mitos tersebut.

3. Motivasi. Bahasa bersifat arbiter, tetapi kearibiteran itu mempunyai batas, misalnya melalui afikasi, terbentuklah kata-kata turunan: baca-membaca-dibaca-terbaca-pembaca. Sebaliknya, makna mitos tidak arbiter, selalu ada motivasi dan analogi. Mitos bermain atas analogi antara makna dan bentuk. Analogi ini bukan sesuatu yang Alami, tetapi bersifat historis.

Salah satu contoh mitosnya. Seperti; minuman anggur di Prancis: denotasi dari anggur adalah minuman beralkohol yang bisa memabukkan. Barthes mengamatinya lebih dalam. Orang sangat menikmati anggur yang diminumnya bukan sekadar untuk bermabuk-mabukan. Hal tersebut ditunjukkan pula oleh adanya pelabelan tahun bagi minuman tersebut. Anggur dengan merek tertentu dengan usia yang semakin tua semakin mahal harganya. Di dalam menu makan, anggur mengambil bagian sintagmatik, yaitu anggur putih menyertai makanan dengan ikan, anggur merah dengan daging, dsb. Dengan demikian, konotasi anggur, yaitu kenikmatan, tertanam di dalam praktik kehidupan sehari-hari, memegang peranan dalam menu dan pada akhirnya menjadi mitos.


(53)

41

Contoh yang terdapat dalam Film 3 (Alif, Lam, Mim) berusaha menjelaskan penanda, pertanda, dan mitos yang terdapat dalam beberapa adegan yang ada dalam Film 3 (Alif, Lam, Mim) yang menjelaskan mengenai penanda seorang teroris yang digambarkan oleh pemerintah terhadap agama Islam, sedangkan pertandanya agama Islam dikaitkan dengan kekerasan dan pengeboman. Kemudian adanya mitos yang mengidentikan agama Islam dengan teroris, mitos itu muncul karena pengaruh yang disebarkan oleh budaya Barat dalam menggambarkan agama Islam. Sehingga masyarakat percaya dengan mitos yang disebarluaskan oleh kalangan politik.

D.Konsep Teror dan fanatik a. Teror dan Terorisme

Teror dan terorisme adalah dua kata hamper sejenis yang dalam satu dekade ini sangat popular. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian Teror ialah rasa takut yang ditimbulkan oleh orang atau sekelompok orang.31

Teror secara harfiah berarti menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Teroris adalah orang yang menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan politik. Sedangkan terorisme adalah penggunaan kekerasan

31Pusat Bahasa Indonesia, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”,

(Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h. 654


(54)

untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik).

Kata teror pertama kali dikenal pada zaman Revolusi Perancis. Di akhir abad ke-19, di awal abad ke-20 dan menjelang PD II, terorisme menjadi teknik revolusi. Istilah “terorisme” pada tahun 1970-an dikenakan pada beragam fenomena: dari bom yang meletus di tempat-tempat publik sampai dengan kemiskinan dan kelaparan. Pemerintah bahkan menstigma musuh-musuhnya sebagai “teroris” dan aksi-aksi mereka disebut “terorisme”.

Pada dasarnya istilah terorisme merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi yang sensitif karena terorisme mengakibatkan timbulnya korban warga sipil yang tidak berdosa.32

Terorisme saat ini menjadi isu global bagi masyarakat dunia. Terkadang tindakan terorisme selalu diidentikan dengan agama tertentu sehingga menimbulkan prangka dan rasa takut terhadap seseorang.

Terorisme dapat dikatakan sebagai perbuatan atau tindakan dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai suatu tujuan termasuk cara kekerasan, jelas tindakan terorisme bertentang dengan ajaran agama Islam. Dalam ajaran agama Islam tidak ajarkan melakukan terorisme dengan berbuat kekerasan terhadap sesame umat manusia.

Teroris yang digambarkan dalam Film 3, seperti cara berpakaian orang-orang Muslim yang menggunakan baju gamis serta sorban di atas kepala. Selain itu juga,

32

Indriyanto Seno Adji, Terorisme dan HAM dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia,


(55)

43

teroris yang selalu diidentikan dengan kekerasan tidak hanya itu saja, tetapi dalam Film 3 masyarakata mengidentikan terorisme dengan kasus pengeboman yang terjadi di Candi Café. Masyarakat menuduh orang-orang Muslim yang melakukan pengeboman tersebut. Hingga menimbulkan prasangka terhadap umat Muslim.

b. Fanatik atau Fanatisme

Kata fanatisme berasal dari dua kata yaitu “fanatik” dan “isme”. Kata fanatik dapat diartikan sebagai sikap seseorang yang melakukan atau mencintai sesuatu secara serius dan sungguh-sungguh. Sedangkan “isme” dapat diartikan sebagai suatu bentuk keyakinan atau kepercayaan. Dapat disimpulkan dari dua defines tersebut bahwa fanatisme adalah keyakinan atau kepercayaan yang terlalu kuat terhadap suatu ajaran baik politik atau agama.

Fanatisme sesungguhnya adalah sebuah konsekuensi seseorang yang percaya dan meyakini suatu agama, bahwa apa yang dianutnya adalah benar. Seperti orang-orang muslim yang mempercayai bahwa agama Islam yang mereka anut adalah agama yang benar dan bukan agama yang mengajarkan kejahatan untuk sesamanya.

Fanatik juga dapat diartikan suatu istilah yang digunakan untuk menyebut suatu keyakinan atau suatu pandangan tentang sesuatu, yang positif atau yang negatif, tetapi dianut secara mendalam sehingga susah untuk diluruskan atau diubah.

Dalam Film 3, orang-orang Muslim dianggap sebagai orang-orang yang fanatik terhadap agama yang mereka anut. Hingga pemerintah membenci orang-orang Muslim karena sikap fanatik mereka kepada agama Islam.


(56)

Masyarakat Muslim tidak ingin budaya Barat mempengaruhi agama Islam dengan merubah jati diri agama Islam. Sehingga orang-orang Islam berusaha mempertahankan agama Islam dengan cara sikap fanatik yang mereka tunjukkan.

Seseorang yang memiliki sikap fanatik cenderung bersikeras terhadap ide-ide mereka yang menganggap diri sendiri atau kelompok mereka benar dan mengabaikan semua fakta atau argument yang bertentangan dengan keyakinan dan kepercayaan mereka. Sehingga seseorang yang memiliki sikap fanatik akan mengabaikan semua argument-argumen yang menjelekkan keyakinan yang mereka anut.

c. Prasangka terhadap Islam sebagai Agama Teroris

Konfrontasi dunia Barat dengan dunia Islam sudah bukan hal baru. Pandangan dunia Barat semakin negatif terhadap umat Islam pasca serangan teroris yang dilakukan oleh Al-Qaeda terhadap Amerika Serikat pada tanggal 11 september 2001. Serangan teroris yang dikenal dengan sebutan tragedy 9/11 tersebut menghancurkan gedung World Trade Center (WTC) dan juga gedung pertahanan Amerika Serikat Pentagon.

Tindakan terorisme yang dilakukan oleh gerakan Al Qaeda selalu dikaitkan dengan Islam, hal ini dikarenakan Al Qaeda mengaku bahwa tindakan yang dilakukan adalah jihad. Sementara jihad oleh dunia Barat selalu berkaitan dengan umat Islam.

Dunia Barat khususnya bagi negara-negara yang menganut paham Liberalis menganggap bahwa Islam adalah agama yang keras dan identik dengan jihad dalam bentuk terorisme seperti pengeboman atau bom bunuh diri. Agama Islam yang selalu


(57)

45

dipandang sebagai agama teroris disebabkan karena berbagai peristiwa yang selalu dikaitkan dengan orang-orang Muslim.

Agama Islam adalah agama yang menjunjung tinggi toleransi dan kehidupan yang damai dengan semua manusia. Agama Islam melihat bahwa semua manusia adalah makhluk yang mulia dan terhormat tanpa pandang bulu.33

Orang-orang Barat yang selalu mengidentikan orang-orang Islam dan agama Islam sebagai teroris adalah salah, karena tidak semua tindakan terorisme dilakukan oleh orang-orang Islam akan tetapi, bisa saja tindakan itu dilakukan oleh kalangan-kalangan politik yang mengatasnamakan agama Islam untuk mencapai tujuannya.34

Dalam Film 3, masyarakat menggambarkan orang-orang Islam sebagai pelaku terorisme. Sementara agama Islam sebagai agama yang mengajarkan manusia untuk menjadi seorang teroris. Prasangka yang digambarkan masyarakat yang menganggap agama Islam sebagai agama teroris adalah salah. Karena dalam agama Islam manusia diajarkan untuk membawa kedamaian bukan untuk melakukan kekerasan bahkan kehancuran di muka bumi.

Dalam Film 3 masyarakat selalu menjadi orang-orang Islam sebagai pelaku kejahatan yang terjadi di muka bumi. Masyarakat menganggap seperti itu karena mereka telah terkontruksi oleh pemikiran-pemikiran Barat yang selalu menghubungkan terorisme dengan agama Islam.

33

http://fokusislam.com/4378-paus-fransiskus-islam-bukan-agama-teroris.html diakses pada 9 Agustus 2016

34

Surya Sukti, Islam dan Terorisme di Asia Tenggara, Junal Studi Agama dan Masyarakat, Vol, 5, No. I, Thn. 2008, h. 96.


(58)

E.Film

1. Pengertian Film

Film atau motion picture ditemukan dari hasil pengembangan prinsip-prinsip fotografi dan proyektor. Seperti halnya televisi siaran, tujuan khalayak menonton film terutama untuk memperoleh hiburan. Akan tetapi, dalam film dapat terkandung fungsi informatif maupun edukatif, bukan persuasif. 35

Film memiliki kekuatan besar dari segi estetika karena menjajarkan dialog, musik, pemandangan dan tindakan secara bersama-sama secara visual dan naratif. Dalam bahasa semiotik, sebuah film dapat didefinisikan sebagai sebuah teks yang, pada tingkat penanda, terdiri atas serangkaian imaji yang mempresentasikan aktivitas dalam kehidupan nyata. Pada tingkat petanda, film adalah cermin metaforis kehidupan. Jelas bahwa topic tentang sinema adalah salah satu sentral dalam semiotika karena genre-genre dalam film merupakan sistem signifikasi yang mendapat respons sebagian besar orang saat ini dan yang dituju orang untuk memperoleh hiburan, ilham, dan wawasan pada level interpretan. 36

Media hiburan film juga dapat dijadikan sebagai media propaganda yang dilakukan oleh kalangan-kalangan penguasa dan partai politik. Melalui sebuah film kita dapat menyaksikan tindakan-tindakan yang diperankan tokoh utamanya yang hampir selalu berakhir dengan kisah sukses yang menggembirakan.

35

Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media, (Jogja: Jalasutra, 2010), h.134

36


(59)

47

Secara umum film memiliki empat fungsi yaitu film sebagai alat hiburan, film sebagai sumber informasi, film sebagai alat pendidikan, dan film sebagai pencerminan nilai-nilai sosial budaya suatu bangsa.37

Film Sebagai media komunikasi massa, dapat memainkan peran dirinya sebagai saluran menarik untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu dari dan untuk manusia, termasuk pesan-pesan keagamaan yang laizimnya disebut dakwah.38

2. Jenis-jenis film

Film terbagi ke dalam beberapa jenis diantarnya: a. Film Horor

Film ini biasanya berhubungan dengan hal-hal yang berkaitan dengan supranatural, yang sering berhungan dengan hal gaib atau yang diluar nalar kita. Sehingga film jenis terkesan menyeramkan.

b. Film Drama

Film drama biasanya bercerita tentang suatu konflik dalam sebuah kehidupan sehari-hari. Namun, film ini terkadang dibuat secara berlebihan sehingga penonton terbawa suasana ketika melihat film tersebut.

c. Film Komedi

Film ini biasanya berisi tentang kelucuan atau komedia sehingga membuat penonton tertawa ketika melihat film genre ini.

d. Film Musikal

37

Teguh Trianto, Film Sebagai Media Belajar, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h. 3

38

Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Dakwah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012), h.


(1)

Wawancara dengan Anggy Umbara (Sutradara dan Penulis) Film 3 (Alif Lam Mim) di Senayan City

Kamis, tanggal 26 Mei 2016 Pukul 12:15 WIB.

1. Peneliti : Bang Anggy, apa konsep yang diambil dari Film 3 (Alif Lam Mim) ini? Anggy : Konsep yang gua ambil tentang tentang fitnah akhir zaman

2. Peneliti : Kenapa lebih memilih menggambarkan sudut kota Jakarta, disbanding kota-kota lain?

Anggy Umbara : Karena gua paling deket sama Jakarta lebih personal karena ruang lingkupnya di Jakarta dan tingkat kepedulian gua terhadap kota Jakarta. 3. Peneliti : Terus, apa yang membedakan Film 3 ini sama film-film lainnya yang

udah lebih dulu bermunculan di bioskop-bioskop?

Anggy Umbara : Yang ngebedain Film 3 sama film lainnya, Semuanya sih berbeda mulai dari karakter, tokoh dan konsep dan sinematografi dan genre yang gua tampilkan dalam film ini, genre yang gua tampilkan dalam film ini juga genre pertama kali yang ada di Indonesia.

4. Peneliti : Untuk ide penulisan skenarionya itu pure dari abang, atau ada ikut campur dari yang lain juga?

Anggy Umbara : Kalo Idenya sih dari mimpi gua, tentang tiga karakter alif lam mim dan pengembangannya dari semua crew yang ikut campur buat ngembangin jadi film.

5. Peneliti : Kesulitan Apa yang bang Anggy temui selama proses syuting Film 3? Anggy Umbara : Kesulitannya sih pada waktu preparenya pendek banget dan serba buru-buru terlalu terbatas jadi engga bisa punya ruang lebih. Pas hari ke-11, gua mengalami kecelakaan dan selama proses syuting, gua lakuin itu sambil


(2)

tiduran di dalam ambulan. Dan menurut gua, ini syuting paling cepet karena Cuma 26 hari aja dalam proses syutingnya.

6. Peneliti : Denger-dengan kabar Film 3 ini, juga dapat beberapa penghargaan yang bang?

Anggy Umbara : Iya, dan film ini juga ditayangin regular itu di Jepang sama Malaysia. Dan kalau untuk ajang festival kita ikuti seperti, di Los Angels, Osaka Asian Festival. Film 3 juga diadakan nonton bareng di German. Film 3 juga menang di Vris Code di Florida dan menang di Best Editing. Film 3 juga ada di beberapa festival lainnya. Meskipun Film 3 ditayangin di Luar Negari tapi Film 3 tetap ada di jalur Indonesia.

7. Peneliti : bagaimana antusian penonton terhadap Film 3?

Anggy Umbara : Justru masyarakat antusias terhadap film ini dan masyarakat yang belum sempet nonton di bioskop malah mereka mengadakan nonton bareng. Bahkan sampai sekarang masih ada. Dan penonton malah engga suka karena banyak beberapa adegan yang di potong. Sebenernya tayangan yang sudah ada dibioskop sudah di potong dari beberapa adegan bahkan sampe 25 menit, sayang banget beberapa adegan itu di potong padahal itu adegan-adegan yang serunya. 8. Peneliti : Apa benar bang, ada beberapa kota yang menolak Film 3 ditayangkan di

Bioskop?

Anggy Umbara : Masa sih, mungkin ada beberapa kota-kota yang masih belum bisa menerima. Dan ketika lu nonton film ini harus full karena kalo lu engga sampe selesai itu bisa menimbulkan salah paham.

9. Peneliti : Sebenernya Film 3 ini tentang apa?

Anggy Umbara : Sebenernya Film 3 ini, tentang 3 karakter yaitu Alif Lam Mim, contohnya si Alif itu sebagai aparat negara yang taa sama peraturan yang ada, Alif lebih memiliki karakter yang berapi-api dan huruf Alif itu kan lurus. Sedangkan Lam itu sebagai jurnalis, Lam memiliki karakter melengkung dan fleksibel dan lebih mengikut arus yang ada. Kalau si Mim itu seperti air selalu mengikuti yang terendah dan setiap kali dia fighting selalu diadakan di dalam air.


(3)

Anggy Umbara : Sebenarnya sudah tiga kali ganti judul yang pertama Alif Lam Mim, namun karena kita kerja sama dengan Multivision sehingga mereka tidak setuju dengan judul itu karena terlalu ke arab-araban, sempat ganti lagi juga dengan 3 fighters namun terlalu ke Barat-baratan. sehingga diganti lagi dengan judul 3 ini akan tetapi judul 3 ini sempat ambigu karena banyak orang yang tidak mengetahui 3 ini. mungkin ini juga kesalahan tim marketing dan produser kami ketika menentukan judul. Sehingga banyak orang yang belum mengetahui Film 3 ini.

11. Peneliti : Kenapa lebih pilih menggambarkan tentang teroris dalam Film 3?

Anggy Umbara : Karena sekarang adanya kaya gitu dalam menggambarkan terorisme, engga cuma di Indonesia tetapi dimana-mana juga terutama di negara Barat sana kan Islam selalu di identikan dengan pakaian yang seperti itu mengenai islamphobia makanya kita tidak boleh langsung mengjudge seseorang contohnya saja seorang yang memakai baju gamis dan sorban itu seorang teroris dan contohnya juga di orang-orang Islam yang ada di LA mereka merasakan dampaknya karena judge yang dilakukan orang-orang Barat terhadap orang Islam. Pada dasarnya ini tentang Islamphobia yang diciptakan oleh orang-orang Barat kepada manusia.

12. Peneliti : Pesan apa yang bisa didapatkan oleh penonton?

Anggy Umbara : Pesan yang terkandung sih banyak, terutama mengenai sesuatu yang jangan mudah terprovokasi oleh seseorang karena jaman sekarang sulit untuk membedakan mana yang benar dan tidak benar dan tidak mudah menjugde seseorang sehingga manusia lebih paham lagi.

13. Peneliti : Apa harapan bang Anggy sebagai sutradara?

Anggy Umbara : Harapannya bisa lebih menerima dan paham lagi terhadap semuanya engga cuma tentang Islam saja akan tetapi sama Tuhan dan Rasul-Nya. Sehingga ketika mereka nonton film ini lebih paham dalam memahami agama mereka masing masing.


(4)

Anggy Umbara : Paham Liberalis saat ini memang lagi banyak banget dianut oleh kalangan-kalangan politik. Banyak orang yang bersembunyi dibalik-balik paham Liberal ini, engga cuma para politik akan tetapi juga agama apalagi sekarang isme-isme yang bermunculan dan dalam memahaminya pun berbeda beda, akan tetapi paham Liberal yang kami jelaskan disini terlalu berlebihan karena Indonesia sendiri bukan yang menganut paham Liberal tetapi pancasila. Sebenarnya dalam film ini terdapat lambang Garuda yang dijadikan catursila, namun dalam lambang Garuda tersebut tidak terdapat lambang bintang dalam lambang Garuda tersebut. Sehingga dalam adegan tersebut di cut oleh pihak Bioskop karena takut bersinggungan sama negara sebenarnya hal itu penting karena pada saat ini sudah terjadi, masyarakat bebas dalam menentukan agama mereka masing-masing dan memang hak asasi manusia penting tapi seolah-olah mereka tidak memperdulikan lagi tentang pancasila itu.


(5)

Dokumentasi Bersama Anggy Umbara


(6)