Magister Pendidikan Bahasa Indonesia NOSI Volume 4, Nomor 3, Agustus 2016

INTERFERENSI BAHASA JAWA DALAM PENGGUNAAN BAHASA
INDONESIA PADA KARANGAN SISWA KELAS XI
SMK PGRI LUMAJANG TAHUN PELAJARAN 2015/2016
Sumartono
Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa Indonesia
Abstrak: Peristiwa interferensi terjadi pada tuturan
dwibahasawan sebagai akibat kemampuannya dalam berbahasa
lain.Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui
seberapa besar interferensi morfologi dan sintaksis dalam
penggunaan bahasa Indonesia pada karangan siswa kelas XI SMK
PGRI Lumajang Tahun Pelajaran 2015/2016. Tujuan khusus
untuk mengetahui seberapa besar interferensi bahasa Jawa dalam
penggunaan bahasa Indonesia pada karangan siswa kelas XI SMK
PGRI Lumajang Tahun Pelajaran 2015/2016. Pengumpulan data
dilakukan dengan teknik simak dan teknik catat. Sumber data
berjumlah 4 karangan siswa dari 25 karangan yang dipilih secara
acak (random) dan purposive sampling. Metode yang digunakan
dalam analisis data adalah metode deskriptif kualitatif dan metode
padan dengan teknik dasar (pilah) dan teknik lanjutan (banding).
Peneliti menggunakan desain yaitu: (1) menentukan fokus
penelitian; (2) menentukan kesesuaian paradigm pada fokus; (3)

menentukan kesesuaian paradigma penelitian pada teori substantif
yang dipilih untuk membimbing penelitian; (4) menentukan dari
mana dan kata siapa data itu akan dikumpulkan; (5) menentukan
tahapan-tahapan penelitian; (6) menentukan instrumen penelitian;
(7) merencanakan model-model pengumpulan dan perekaman
data; (8) merencanakan prosedur analisis data; (9) merencanakan
logistik; (10) merencanakan keterpercayaan. Lincoln dan Guba,
(1985:226)
Berdasarkan penelitian tersebut dapat disimpulkan beberapa
hal. Pertama, Interferensi sistem dan wujud morfologi bahasa
Jawa pada morfologi bahasa Indonesia karangan siswa kelas XI
SMK PGRI Lumajang adalah pembentukan konfiks {ke-/-an},
prefiks {ke-}, prefiks nasal {N-} beralomorf /ng/ dan /ny/, serta
pembentukan prefiks zero, dan sufiks {-an}. Kedua, Interferensi
sistem dan wujud sintaksis bahasa Jawa (termasuk frasa atau
kelompok kata) pada pengkalimatan bahasa Indonesia karangan
siswa kelas XI SMK PGRI Lumajang adalah penggunaan akhiran
{-nya}, penggunaan kata sapaan kekerabatan, dan pembentukan
frasa.
Kata-kata kunci: Interferensi morfologi, sintaksis, dan bahasa

Jawa

NOSI Volume 4, Nomor 3, Agustus 2016__________________________________Halaman | 303

PENDAHULUAN
Keraf (19:2000) bahasa dapat
diartikan alat komunikasi antar
anggota masyarakat berupa lambang
bunyi suara yang dilakukan oleh alat
ucap manusia. Bangsa Indonesia yang
terdiri dari berbagai jenis suku bangsa
tidak dapat lepas dari bahasa sebagai
alat komunikasi. Bahasa yang mereka
gunakan dapat berupa bahasa nasional
dan bahasa daerah. Bahasa nasional
yaitu bahasa Indonesia digunakan
sebagai alat komunikasi antar suku,
sedangkan bahasa daerah digunakan
sebagai alat komunikasi untuk warga
sesuku. Bahasa daerah sebagai bahasa

pertama dan bahasa Indonesia sebagai
bahasa kedua, maka kedua bahasa
tersebut mengalami kontak bahasa
sehingga pengaruh bahasa daerah
masuk ke dalam bahasa Indonesia.
Salah satu bahasa daerah yang
mengalami kontak bahasa tersebut
adalah bahasa yang dipakai oleh
sebagian besar masyarakat di provinsi
Jawa Tengah, Daerah Istimewa
Yogyakarta, dan Jawa Timur yaitu
bahasa Jawa.
Sebagai akibat adanya kontak
bahasa antara bahasa Indonesia dan
bahasa
Jawa,
tidak
menutup
kemungkinan secara tidak disadari
kata-kata dari bahasa Jawa masuk ke

dalam bahasa Indonesia, begitu pula
sebaliknya. Masuknya Bahasa Jawa
kedalam Bahasa Indonesia dapat
disebabkan karena penutur Bahasa
Indonesia adalah masyarakat dengan
Bahasa Jawa sebagai Bahasa ibu.
Bahasa Jawa sebagai bahasa ibu
masyarakat Jawa, biasa digunakan
pada lingkungan informal baik di
keluarga maupun di lingkungan
masyarakat secara luas. Tidak dapat
dihindari, apabila tanpa disadari
bahasa Jawa kemudian terbawa dalam

penggunaan bahasa Indonesia dalam
situasi formal seperti dalam proses
belajar mengajar.
Kedwibahasaan dapat terjadi
pada
setiap

masyarakat
yang
mengenal dua bahasa. Tidak dapat
dipungkiri apabila bahasa Indonesia
merupakan bahasa kedua yang
dikuasai dalam masyarakat Indonesia
setelah bahasa daerah. Hal ini terjadi
pula pada masyarakat Jawa Timur.
Sebagian besar masyarakat Jawa
Timur dapat menggunakan bahasa
Jawa dan bahasa Indonesia sebagai
alat
komunikasi.
Fenomena
kedwibahasaan dapat terjadi dalam
proses pembelajaran di sekolah, baik
sekolah yang berada di daerah
perkotaan, pinggiran kota, maupun
sekolah yang berada di daerah
pedesaan. Kedwibahasaan dapat

ditemukan dalam proses pembelajaran
berbagai mata pelajaran yang
diajarkan di sekolah, termasuk juga
pelajaran bahasa Indonesia.
Chaer (65:2003) menyatakan
bahwa
bilingualisme
dan
multilingualisme sebagai akibat dari
kontak bahasa, dapat tampak dalam
kasus yang muncul dalam pemakaian
bahasa seperti interferensi, integrasi,
alih kode, dan campur kode.
Interferensi adalah terbawa masuknya
unsur bahasa lain ke dalam bahasa
yang sedang digunakan, sehingga
tampak adanya penyimpangan kaidah
dari bahasa yang sedang digunakan
tersebut. Integrasi adalah masuknya
unsur bahasa lain ke dalam suatu

bahasa yang unsur-unsur dari bahasa
lain
tersebut,
telah
dianggap,
diperlakukan, dan dipakai sebagai
bagian dari bahasa yang menerimanya
atau yang dimasukinya.
Alih kode yaitu beralihnya
penggunaan suatu kode, berupa

NOSI Volume 4, Nomor 3, Agustus 2016__________________________________Halaman | 304

bahasa atau pun ragam bahasa
tertentu, ke dalam kode lain (bahasa
atau ragam lain). Sementara itu,
campur kode adalah peristiwa
beralihnya penggunaan suatu kode ke
dalam kode yang lain yang terjadi
tanpa alasan dan biasanya terjadi

dalam situasi santai
Suwito
(55:1983)
menjelaskan, bahwa interferensi dapat
terjadi dalam semua komponen
kebahasaan, yaitu bidang tata bunyi,
tata kalimat, tata kata, dan tata makna.
Disamping itu, Weinrich (14:1953)
juga
membagi
bentuk-bentuk
interferensi atas tiga bagian, yaitu
interferensi fonologi, interferensi
leksikal, dan interferensi gramatikal.
Interferensi fonologi adalah
pengaruh bunyi bahasa satu ke bunyi
bahasa lain. Interferensi gramatikal
adalah pengaruh tata bahasa yang satu
ke dalam tata bahasa atau struktur
bahasa yang lain. Interferensi

gramatikal dibedakan atas interferensi
morfologis dan interferensi sintaksis.
Interferensi morfologi terjadi pada
sistem pembentukan kata. Interferensi
sintaksis terjadi pada struktur frase,
klausa dan kalimat. Interferensi
leksikal adalah pengaruh kata dari
bahasa satu ke bahasa lain,
Interferensi leksikal bisa disebut
dengan intereferensi serpihan kata.
Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK PGRI Lumajang) tersebut
terletak di Kecamatan Lumajang
Kabupaten Lumajang. Masyarakat
Kecamatan Lumajang, dan sekitarnya
adalah penutur asli bahasa Jawa,
sehingga dalam komunikasi seharihari bahasa yang digunakan adalah
bahasa Jawa. Kontak bahasa yang
terjadi antara siswa dan masyarakat di
sekitar lingkungan sekolah juga


dilakukan dengan bahasa Jawa. Hal
ini sangat besar pengaruhnya terhadap
penguasaan bahasa Indonesia siswa.
Bentuk pengaruh tersebut dapat
diketahui dari adanya unsur-unsur
bahasa Jawa yang masuk dalam
bahasa Indonesia pada tulisan siswa.
Penggunaan bahasa Jawa
bertujuan agar peserta didik memiliki
kompetensi sebagai berikut: (1)
menjaga dan memelihara kelestarian
bahasa, sastra, dan aksara Jawa
sehingga menjadi faktor penting
untuk peneguhan jati diri daerah; (2)
menyelaraskan fungsi bahasa, sastra,
dan aksara Jawa dalam kehidupan
masyarakat sejalan dengan arah
pembinaan bahasa Indonesia; (3)
mengenali nilai-nilai estetika, etika,

moral dan spiritual yang terkandung
dalam
budaya
Jawa
untuk
didayagunakan
sebagai
upaya
pembinaan
dan
pengembangan
kebudayaan nasional; dan (4)
mendayagunakan bahasa, sastra, dan
aksara Jawa sebagai wahana untuk
pembangunan karakter dan budi
pekerti.
Semi (2003:12) menyatakan
bahwa untuk menghasilkan suatu
tulisan yang baik, penulis harus
memiliki tiga keterampilan dasar
dalam menulis, yaitu sebagai (1)
keterampilan
berbahasa,
(2)
keterampilan penyajian, dan (3)
keterampilan
perwajahan
.
Keterampilan
berbahasa
sangat
diperlukan sebab dalam keterampilan
ini penulis harus dapat menggunakan
ejaan, tanda baca, pemilihan kata,
pembentukan
kata,
penggunaan
kalimat
yang
efektif,
serta
penyusunan paragraf yang baik.
Penulis diharapkan mampu menyusun

NOSI Volume 4, Nomor 3, Agustus 2016__________________________________Halaman | 305

tulisan secara sistematis dalam
menyajikan sebuah keterampilan
menulis.
Adapun
keterampilan
perwajahan
yang
meliputi
penyusunan format, pemilihan ukuran
kertas,
tipe
huruf,
penjilidan,
penyusunan tabel, dan lain-lain ini
diperlukan
untuk
mendukung
kesempurnaan serta kerapian tulisan.
Penguasaan tiga ketrampilan dasar
dalam menulis tersebut diharapkan
akan lebih mudah mengungkapkan
apa yang ingin disampaikan. Hasil
tulisan yang baik akan memudahkan
orang lain untuk memperoleh
informasi yang disajikan.
Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui
seberapa
besar
interferensi morfologi dan sintaksis
dalam penggunaan bahasa Indonesia
pada karangan siswa kelas XI SMK
PGRI Lumajang Tahun Pelajaran
2015/2016 dan untuk mengetahui
seberapa besar interferensi bahasa
Jawa dalam penggunaan bahasa
Indonesia pada karangan siswa kelas
XI SMK PGRI Lumajang Tahun
Pelajaran 2015/2016.
Berdasarkan latar belakang
masalah tersebut, peneliti merasa
tertarik untuk meneliti interferensi
bahasa jawa dalam penggunaan
bahasa Indonesia pada karangan
siswa kelas XI SMK PGRI Lumajang
Tahun Pelajaran 2015/2016.

digunakan sebagai acuan model
penulisan bahan ajar Interferensi
bahasa Jawa dalam penggunaan
bahasa Indonesia pada karangan
siswa yang berbasis teks oleh para
penulis buku.
Secara praktis, hasil penelitian
dan
pengembangan
ini
dapat
dimanfaatkan untuk (1) memberi
informasi pada guru sejauh mana
siswa telah menguasai bahasa
Indonesia di kelas sehingga seorang
guru dapat mengambil simpulan halhal mana yang perlu diperbaiki dalam
pembelajaran,
(2)
memberi
pengetahuan
tentang
jenis-jenis
interferensi
dan
kemungkinan
timbulnya interferensi yang berguna
untuk
menetapkan
strategi
pengajaran, (3) mengetahui seberapa
jauh kemampuan dan pengetahuan
siswa tentang bahasa Indonesia
khususnya bahasa Jawa sehingga
dapat dibuat suatu perencanaan
menyeluruh mengenai pengajaran
bahasa Indonesia, (4) memperoleh
informasi
mengenai
jenis-jenis
interferensi serta untuk mengetahui
cara untuk mencegah terjadinya
interferensi tersebut, (5) mendorong
para guru untuk mengembangkan
lebih lanjut bahan ajar interferensi
bahasa Jawa dalam penggunaan
bahasa Indonesia pada karangan
siswa.

MANFAAT PENELITIAN
Secara teoritis hasil penelitian
ini menambah khasanah teori buku
teks dan pengembangan model bahan
ajar Interferensi bahasa Jawa dalam
penggunaan bahasa Indonesia pada
karangan siswa berikutnya. Selain itu
dalam
pembelajaran
bahasa
Indonesia, hasil penelitian dan
pengembangannya diharapkan dapat

METODE PENELITIAN
Metode
penelitian
yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
metode kualitatif yang bersifat
deskriptif.
Pendekatan
kualitatif
digunakan dalam penelitian ini karena
penelitian ini berkaitan dengan datadata yang tidak berupa angka-angka,
tetapi berupa bentuk-bentuk verbal

NOSI Volume 4, Nomor 3, Agustus 2016__________________________________Halaman | 306

yang berwujud tuturan (Muhadjir
1996:26).
Subroto (2007:9) berpendapat
bahwa penelitian kualitatif pada
umumnya berusaha membentuk atau
membangun teori melalui data yang
terkumpul. Ia juga berpendapat,
“secara umum dinyatakan bahwa
metode kualitatif adalah metode
pengkajian atau metode penelitian
suatu masalah yang tidak didesain
atau
dirancang
menggunakan
prosedur-prosedur statistik”.
Desain
penelitian
ini
menggunakan
desain
penelitian
kualitatif. Unsur-unsur dalam desain
penelitian kualitatif menurut Lincoln
dan Guba, (1985:226) sebagai
berikut. (1) menentukan fokus
penelitian; (2) menentukan kesesuaian
paradigm pada fokus; (3) menentukan
kesesuaian paradigma penelitian pada
teori substantif yang dipilih untuk
membimbing
penelitian;
(4)
menentukan dari mana dan kata siapa
data itu akan dikumpulkan; (5)
menentukan
tahapan-tahapan
penelitian; (6) menentukan instrumen
penelitian; (7) merencanakan modelmodel pengumpulan dan perekaman
data; (8) merencanakan prosedur
analisis data; (9) merencanakan
logistik;
(10)
merencanakan
keterpercayaan.
Dua hal pokok yang harus ada
dalam sumber penelitian adalah data
dan sumber data. Sudaryanto (1993:3)
menyatakan bahwa data adalah
informasi atau bahan yang disediakan
oleh alam yang harus dicari dan
disediakan dengan sengaja oleh
peneliti yang sesuai dengan masalah
yang diteliti.
Dalam penelitian ini, yang
menjadi sumber data penelitian
adalah karangan bahasa Indonesia

siswa kelas XI SMK PGRI Lumajang.
Sumber data yang diambil berjumlah
4 karangan murid dari 25 karangan
yang dipilih secara acak (random) dan
purposive sampling. Data pada
penelitian ini adalah kata, frasa dan
kalimat yang tidak sesuai
dengan sistem morfologi dan sintaksis
bahasa Indonesia baku.
Penetapan siswa kelas XI
dengan pertimbangan bahwa sebagian
besar siswa kelas XI menggunakan
bahasa Jawa dalam kesehariannya,
pengaruh mata pelajaran mulok
bahasa Jawa, dan kemanpuan menulis
siswa. Pertimbangan lain, jika diambil
siswa kelas X, mereka baru dalam
taraf penyesuaian memasuki
sekolah lanjutan dari sekolah
menengah pertama, sedangkan untuk
siswa kelas XII dipersiapkan untuk
memasuki ujian akhir sehingga bila
mereka
dipilih
sebagai
objek
penelitian akan menganggu proses
belajar mengajar mereka.
Pengumpulan data dalam
penelitian ini dilakukan dengan teknik
simak dengan membaca sumber data
tertulis,
kemudian
dilakukan
inventarisasi dengan teknik catat,
yaitu mencatat data-data yang
terkumpul. Data yang terkumpul dan
tercatat adalah data yang berupa kata,
frasa dan kalimat yang mengandung
interferensi. Data yang telah dicatat,
kemudian
diklasifikasikan
berdasarkan bentuknya morfologi dan
sintaksis.
Penelitian ini menggunakan
metode padan untuk menentukan
adanya interferensi morfologi dan
sintaksis.
Sudaryanto
(1993:13)
menyatakan bahwa objek sasaran
penelitian
ini
berdasarkan
keselarasan, kesesuaian, kecocokan,
atau kesamaan dengan penentu yang

NOSI Volume 4, Nomor 3, Agustus 2016__________________________________Halaman | 307

sekaligus menjadi standar atau
pembakunya. Sudaryanto (1993:21)
mengemukakan dua teknik yang
dapat digunakan dalam pengolahan
data ini, yaitu teknik dasar (pilah) dan
teknik lanjutan (banding). Sudaryanto
(1993:23) membedakan teknik dasar
(pilah) unsur penentu dibagi menjadi
lima, yaitu referen, organ wicara,
tulisan, mitra wicara, dan language
yang lain. Sedangkan teknik lanjutan
(banding) dibedakan menjadi tiga,
yaitu hubung banding menyamakan,
hubung banding memperbedakan, dan
hubung banding menyamakan hal
pokok. Dalam penelitian ini hanya
digunakan tiga teknik, yaitu teknik
pilah referen, teknik hubung banding
menyamakan, dan teknik hubung
banding memperbedakan.
Setelah analisis dilakukan
maka dilanjutkan dengan teknik
penyajian. Sudaryanto (1993:144)
menyatakan bahwa penulisan hasil
analisis tentu saja memprasyaratkan
kelayakan baca demi pemanfaatan
yang terikat pada tujuan tertentu.
Untuk itulah dimanfaatkan cara-cara
penyajian kaidah yang bersifat
informal dan formal.
Pada penelitian ini, digunakan
teknik penyajian informal dan formal.
Teknik penyajian informal dilakukan
dengan perumusan dengan kata-kata.
Sudaryanto (1993:145) menyatakan
bahwa teknik penyajian formal adalah
teknik penyajian dengan perumusan
dengan tanda dan lambang-lambang.
Tanda
yang
digunakan
pada
penelitian ini adalah tanda tambah (+)
yang menyatakan penambahan antara
bagian satu dengan lainya, tanda
panah (→) menyatakan perubahan
bentuk menjadi bentuk lain, tanda
kurung biasa (()) untuk memisahkan

morfem, frasa atau yang lain, tanda
kurung
kurawal
({})
untuk
menyatakan imbuhan yang dimaksud,
tanda kurung dengan garis miring (/ /)
untuk menyatakan pemisahan dalam
proses perubahan bentuk kata.
HASIL PENELITIAN
Proses morfologis ialah proses
pembentukan kata-kata dari satuan
lain yang merupakan bentuk dasarnya
(Ramlan, 1985). Lebih lanjut Ramlan
mengatakan bahwa dalam bahasa
Indonesia terdapat tiga proses
morfologis, yaitu (1) Afiksasi (proses
pembubuhan afiks), (2) proses
pengulangan,
dan
(3)
proses
pemajemukan,
Sedangkan
Kridalaksana (1996), mengatakan
bahwa proses morfologis meliputi (1)
afiksasi,
(2)
reduplikasi,
(3)
komposisi, (4) abreviasi, (5) derivasi
zero, dan (6) derevasi balik.
Kata yang dibentuk dari
satuan
lain
pada
umumnya
mengalami tambahan
bentuk pada kata dasarnya. Kata
seperti berjalan, bersepeda, bertiga,
ancaman, gerigi, berdatangan terdiri
atas enam bentuk dasar jalan, sepeda,
tiga, ancam, gigi, dan datang yang
masing-masing dilekati bentuk yang
berwujud ber-, ber-, ber-, -an, -er-,
ber-an. Bentuk (morfem) terikat yang
dipakai untuk menurunkan kata
dinamakan afiks atau imbuhan.
Ramlan (1985), mengatakan
bahwa afiks adalah suatu satuan
gramatik terikat yang di dalam suatu
kata merupakan unsur yang bukan
kata dan bukan pokok kata, yang
memiliki kesanggupan melekat pada
satuan-satuan lain untuk membentuk
kata baru. Afiks yang yang dilekatkan
di bagian muka suatu bentuk dasar
disebut prefiks, seperti ber- pada kata

NOSI Volume 4, Nomor 3, Agustus 2016__________________________________Halaman | 308

berjalan, bersepeda, dan bertiga.
Satuan atau morfem terikat, seperti
ber-, meng-, peng-, per- adalah
prefiks atau awalan. Apabila satuan
gramatik (morfem terikat), dilekatkan
di bagian belakang kata, maka
namanya sufiks atau akhiran, seperti an pada kata ancaman, -kan pada kata
dapatkan, -i pada kata dinamai.
Infiks atau sisipan adalah afiks
yang diselipkan di tengah bentuk
dasar. Satuan seperti -er- dan -elpada kata gerigi dan geletar adalah
infiks atau sisipan. Gabungan prefiks
dan sufiks yang membentuk suatu
satuan disebut konfiks.
Ramlan
(1789:21)
mengatakan bahwa sintaksis adalah
bagian atau cabang dari ilmu bahasa
yang membicarakan seluk beluk
wacana, kalimat klausa, dan frasa.
Selanjutnya
Muliono
(1988:101)
menegaskan
bahwa
sintaksis studi kaidah kombinasi kata
menjadi satuan yang lebih besar; frasa
dan
kalimat.
Batasan
ini
mengemukakan bahwa satuan yang
tercakup dalam sintaksis adalah frasa
dan kalimat dengan kata sebagai
satuan dasarnya.
Bergayut dari batasan-batasan
yang dikemukakan para ahli bahasa
tersebut dapat disimpulkan bahwa
sintaksis adalah bagian dari tata
bahasa yang membicarakan tentang
kaidah penggabungan kata menjadi
satuan gramatik yang lebih besar yang
disebut frasa, klausa, dan kalimat,
serta
penempatan
morfem
suprasegmental (intonasi) sesuai
dengan struktur semantik yang
diinginkan
pembicara
sebagai
dasarnya.
Pola
pembentukan
kata
dengan konfiks {ke-/-an} merupakan
peristiwa interferensi morfologi yang

menyatakan
makna
‘ketidaksengajaan’. Berikut ini wujud
interferensi morfologi BJ ke dalam BI
sebagai akibat penggunaan konfiks
{ke-/-an}.
1) ”Di perjalanan aku dan adikku
bernyanyi-nyanyi sampai-sampai
aku dan adikku ketiduran.” (DI 1)
(neng dalan aku karo adiku
nyanyi-nyanyi nganthi aku karo
adiku keturon)
2) ”Ayah ketiduran di sofa karena
ayah kecapekan.” (DI 2)
(bapak keturon ning sofa sebab
kekeselen)
Bentuk
ketiduran
pada
penggalan kalimat di atas merupakan
interferensi yang terjadi pada BI dari
KD + konfiks {ke-/-an}. Bentuk ini
memiliki kata asal adalah tidur,
kemudian interferensi yang terjadi
adalah ketiduran, namun dalam
bahasa Indonesia telah terdapat
bentukan
untuk
makna
‘ketidaksengajaan’ ini, yaitu tertidur.
Bentuk ini merupakan wujud
interferensi BJ yang terjadi pada BI
karena
pada
pembentukannya
dipengaruhi oleh sistem morfologi BJ
dari KD turu mendapat konfiks {ke-/an}. Sebagai berikut.
/tertidur/ (BI)
/ketiduran/ (BJ)
/turu/ + {ke-/-an}
/ke-turu-an/
/keturon/
Pola
pembentukan
kata
dengan prefiks {ke-} BJ ke dalam
pembentukan
kata
BI
baku
merupakan interferensi morfologi.
Hal ini disebabkan imbuhan yang
digunakan {ke-} berasal dari BJ.
Adapun
bentuk
baku
pada
pembentukan BI adalah {ter-} atau
{ber-}.

NOSI Volume 4, Nomor 3, Agustus 2016__________________________________Halaman | 309

Pada penelitian ini terdapat
data interferensi morfologi sebagai
akibat diterapkannya prefiks {ke-}
dari BJ ke dalam BI, sebagai berikut:
1) ”Dan akhirnya aku solat bersamasama di Masjid ketemu kawankawanku.” (DI 6)
(lan akhire aku solat barengbareng ning masjid kepethuk
kanca-kancaku)
2) ”Saya sangat senang bisa ketemu
nenek.” (DI 7)
(aku seneng banget isa kepethuk
simbah)
Bentuk
ketemu
pada
penggalan kalimat di atas merupakan
wujud interferensi yang berasal dari
prefiks {ke} + morfem dasar temu
atau prefiks {ke}+morfem dasar.
Bentuk interferensi dengan prefiks
{ke-} tidak mengalami perubahan
karena morfem dasar yang ditemui
diawali dengan konsonan, yaitu
morfem /t/.
Pembentukan ini dipengaruhi
oleh sistem morfologi pembentukan
BJ, yaitu kepethuk. Pembentukan ini
memiliki pola yang sama dengan
ketemu, yaitu
KD + {ke-} → /ke-KD/
Temu →{ke-} + /KD/ → {ke}
+ /temu/ → /ketemu/
pethuk → {ke-} + /KD/ →
{ke} + /pethuk/ → /kepethuk/
Pembentukan kata tersebut
berpengaruh terhadap BI yang
digunakan siswa, sehingga salah atau
tidak baku. Bentukan ketemu
sebenarnya telah ada padanannya
dalam BI baku. Menurut bahasa
Indonesia baku, kata temu + prefiks
{ber-} menjadi bertemu.
Jadi pembentukan kata yang
benar pada kalimat tersebut adalah :

”Dan akhirnya aku bertemu kawankawanku saat solat bersama-sama di
Masjid.”,”Saya sangat senang bisa
bertemu nenek.”
Pembentukan kata dengan
prefiks {N} beralomorf dalam bahasa
Jawa
berpengaruh
terhadap
pembentukan kata dalam bahasa
Indonesia. Pada pola pembentukan
prefiks nasal {N-} juga terjadi proses
luluh. Menurut Soedjito, (1981:97),
peluluhan adalah proses hilangnya
fenomena hambat tak bersuara
/p,t,t,c,k/ fonem dasar tak bersuara
dan
semi
vocal
/w/
akibat
digabungkannya dengan awalan {N-}.
Fonem-fonem tersebut luluh menjadi
nasal yang sealat. Awalan {N-}
kemudian direalisasikan menjadi /m-,
n-, ň-, ŋ-/ dalam kondisi tertentu.
Pembentukan kata dengan
prefiks {N} beralomorf /ng/ dapat
diperhatikan pada data berikut ini:
1) ”Meskipun rasa ngantuk masih
meliputi diri saya, namun harus
lekas bangun dan pergi ke kamar
mandi.” (DI 12)
(Aku isih ngantuk, nanging aku
kudu cepet tangi lan lunga
menyang kolah)
2) ”Aku diundang untuk hadir di
ulang tahunnya aku ngasih kado.”
(DI 13)
(Aku diundang teka ning ulang
tahune aku ngekei kado)
Dalam morfologi BI tidak
terdapat pembentukan kata yang
menambahkan afiks nasal pada kata
dasar seperti itu. Oleh karena itu,
dapat dipastikan bahwa bentukan kata
ngantuk, ngasih merupakan bentuk
yang terinterferensi BJ. Kata ngantuk
dan
ngasih
merupakan
hasil
pembentukan dari KD berfonem /k/.
Berikut proses pembentukannya:

NOSI Volume 4, Nomor 3, Agustus 2016__________________________________Halaman | 310

KD (fonem k,h, dan vokal) +
{N} → luluh → /ŋ/
kantuk → /k/ + {N-} →
{N}+/kantuk/ → /ŋantuk/
kasih → /k/ + {N-} →
{N}+/kasih/ → /ŋasih/
Pembentukan kata dengan
prefiks zero merupakan salah satu
wujud interferensi morfologi BJ ke
dalam BI. Pembentukan kata dengan
pembubuhan
prefiks
{ber-}
berpengaruh terhadap pembentukan
yang berkaitan dengan perubahan
peristiwa pada suatu kalimat dalam
bahasa Indonesia. Tidak munculnya
prefiks {ber-} karena dalam bahasa
Jawa tidak memiliki prefiks {ber}.
”Prefiks {ber-} memiliki tiga
macam bentuk, yaitu {ber-}, {be-}
dan
{bel-}”
(Dendy
Sugono,
1994:38). Namun Prefiks {ber-} pada
data ini hanya dipisah menjadi dua
macam, yaitu {ber-} dan {be-}. {ber} digunakan secara umum, yaitu yang
tidak digunakan {be-} atau {bel-}.
{be-} digunakan pada kata-kata yang
dimulai dengan konsonan /r/, seperti
pada beramai-ramai.
Pembentukan kata dengan
prefiks zero dapat diperhatikan
sebagai berikut:
1) ”Acara yg dimulai dengan doa
bersama, yang mendoakan agar
aku tambah pintar, cantik, menurut
pada orang tua.” (DI 42)
(Acara sing diwiwiti donga
bereng-bareng
dongane
aku
tambah pinter, ayu, nurut wong
tua)
2) ”Semoga di hari ulang tahunku aku
di beri umur panjang, sehat selalu,
tambah pandai.” (DI 43)
(Moga-moga ing dina ulang
tahunku aku diparingi umur

panjang, waras terus, tambah
pinter)

Bentuk
kata
tambah
merupakan
bentuk
BJ
yang
berpengaruh terhadap BI yang
digunakan siswa, sehingga pemakaian
bentuk kata tersebut tidak benar atau
tidak
baku.
Tidak
adanya
pembubuhan prefiks {ber-} pada
morfem
tambah
menjadikan
perubahan peristiwa yang sebenarnya
ingin ditampilkan pada kalimat
tersebut tidak terbentuk.
Menurut bahasa Indonesia
baku, kata tambah seharusnya
ditambah prefiks {ber-} sehingga
berubah menjadi bertambah. Setelah
morfem dasar dibubuhkan prefiks
{ber-} maka perubahan situasi
bertambah pandai akan membuat
kalimat tersebut dapat dengan tepat
dipahami pembaca. Jadi, kalimat yang
benar adalah : ”Acara dimulai dengan
doa bersama, yang mendoakan agar
aku bertambah pintar, cantik,
menurut pada orang tua”. ”...aku
diberi umur panjang, sehat selalu,dan
bertambah pandai”.
Sufiks {-an} tidak memiliki
variasi bentuk. Jadi, untuk situasi dan
kondisi apapun bentuknya sama saja.
Bentuk
ini
berfungsi
untuk
membentuk kata benda yang dapat
menduduki fungsi subjek maupun
objek.
Bentukkan kata dengan sufiks
{an} merupakan bentukan yang
terpengaruh oleh BJ. Meskipun BJ
dan BI memiliki sufiks {-an} dengan
bentuk dan fungsi yang hampir sama
tetapi penerapannya tidak selamanya
sama. Salah satu fungsi bentuk sufiks
{-an} adalah menyatakan ’tempat’.
Misalnya pada kata benda dalam

NOSI Volume 4, Nomor 3, Agustus 2016__________________________________Halaman | 311

bahasa Indonesia tidak menggunakan
sufiks {-an}.
Berikut wujud interferensi
morfologi BJ ke dalam BI sebagai
akibat penggunaan sufiks {-an}.
1) ”Setelah di sekolahan, aku dan
teman-temanku main dihalaman.”
(DI54)
(sak wise tekan sekolahan, aku
karo kanca-kancaku main ning
latar)
2) ”Pada suatu hari di sekolahan
ku...” (DI 55)
(Sak
wijining
dina
ing
sekolahanku.)
Bentuk kata sekolahan pada
kalimat tersebut merupakan bentuk
kata BI dari KD sekolah dan
mengalami perubahan bentuk
untuk menyatakan kata benda yaitu
menyatakan tempat.
/sekolah/ + sufiks {-an} →
/sekolahan/
Namun pembentukan tersebut
dipengaruhi pola BJ. Penambahan {an} untuk menyatakan tempat
merupakan pola pembentukan BJ.
Penggunaan kata sekolahan pada
kalimat tersebut menjadi salah. Jadi,
kalimat yang benar adalah: ”Pada
suatu hari di sekolah ku...” dan
“Setelah di sekolah, aku dan temantemanku bermain di halaman”.
Interferensi sintaksis terjadi
apabila struktur bahasa lain (bahasa
daerah)
digunakan
dalam
pembentukan kalimat bahasa yang
digunakan.
Penyerapan
unsur
kalimatnya dapat berupa kata, frasa,
dan klausa. Suwito (1988:56)
mengemukakan bahwa interferensi
sintaksis terjadi karena di dalam diri
penutur terjadi kontak antara bahasa

yang sedang diucapkan (BI) dengan
bahasa lain yang dikuasainya (bahasa
daerah atau bahasa asing).
Pola akhiran {-nya} tidak
memiliki variasi bentuk seperti sufiks
{-an}. Jadi, untuk situasi dan kondisi
apapun bentuknya sama saja.
Pengimbuhannya dilakukan dengan
cara merangkaikanya di belakang kata
yang
diimbuhinya.
Penggunaan
bentuk
{–nya}
merupakan
interferensi bahasa Jawa berasal dari
bentuk klitika {–e} yang menyatakan
hubungan
makna
pemilikan.
Hubungan makna pemilikan menurut
Sudaryanto
(1992:185)
ialah
hubungan makna sebagai yang
dimiliki dan yang memiliki antar ruas
yang satu dengan ruas yang
lain.dalam
bahasa
Indonesia,
hubungan pemilikan dinyatakan oleh
hubungan dua kata benda yang
dinyatakan sehingga tidak perlu
ditambah bentuk lain. Dengan adanya
perbedaan bentuk dan makna
pemilikan tersebut, maka penerapan
sistem BJ ke dalam BI menimbulkan
interferensi.
Wujud interferensi sintaksis
bahasa Jawa ke dalam bahasa
Indonesia dalam proses pembelajaran
bahasa Indonesia sesuai dengan tipe
pembentukan kata dengan bentuk nya sesuai deskripsi data penelitian
sebagai berikut:
1) ”Dan aku kerumahnya Lili untuk
mengerjakan PR Matematika”.
(DI58)
(Lan aku nang omahe Lili nggo
garap PR matematika)
2) ”Rumahnya Lili bagus sekali”
(DI59)
(Omahe Lili apik banget)
Kata kerumahnya berasal
dari bentukan kata BJ omahe. Bentuk
{–e}
menyatakan
makna

NOSI Volume 4, Nomor 3, Agustus 2016__________________________________Halaman | 312

’kepemilikan’
atau
’kontruksi
posesif’, yang dalam konteks kalimat
tersebut adalah milik Lili. Dalam
bahasa Indonesia baku hubungan
yang menyatakan milik dinyatakan
oleh hubungan dua kata benda,
namun tidak ditambah bentuk {–nya}
atau dipilih salah satu saja sebagai
petunjuk milik.
Kalimat yang benar adalah :
”Dan aku kerumah Lili untuk
mengerjakan PR Matematika.”; ”
Rumah Lili bagus sekali.”
”Dalam srtuktur klausa BI,
unsur yang diterangkan (D) lazimnya
ditempatkan sebelum unsur-unsur
yang menerangkan (M). Demikian
pula dengan struktur frasa” (Takdir
dalam Mustakim, 1994: 71).
Dalam BJ, makna kepemilikan
biasa
dinyatakan
dengan
menambahkan klitika {-e}, yang
dalam BI dapat dipadankan dengan {nya}. Namun pada kenyataannya
akan terjadi interferensi jika pola BJ
tersebut mempengaruhi pembentukan
BI.
Pola penggunaan kata sapaan
kekerabatan.
1) ”Setelah sampai di rumah nenek,
ternyata di situ ada pakde dan
bude.” (DI 68)
(Sak wise tekan omahe simbah,
jebule neng kana ana pakde karo
budhe)
2) “Setelah selesai memanen saya dan
pakde bude mencuci tangan dan
istirahat.” (DI 69)
(Sak wise rampung manen aku
karo pakde budhe ngumbah lan
leren)
Pola pakde, bude diatas
adalah
salah
satu
bentuk
interferensi
sintaksis
yang

menyatakan istilah kekerabatan.
Pada data yang ada merupakan
istilah kekerabatan yang dipakai
pada masyarakat Jawa. Padahal
istilah kekerabatan yang digunakan
telah ada padanannya dalam
bahasa Indonesia baku, yaitu
paman dan bibi.
1) ”Ulang tahunnya Siti Novia
Ningrum ditutup bersama-sama
dengan mas Ipan dan tantenya.”
(DI 73)
(Ulang tahune Siti Novia Ningrum
ditutup bareng-bareng karo mas
Ipan lan budhene)
2) ”...karena masku juga ulang
tahun.” (DI 74)
(…amargo masku ya ulang tahun)
Istilah kekerabatan mas pada
data di atas adalah salah satu bentuk
interferensi
sintaksis
yang
menyatakan
istilah
kekerabatan.
Namun pada data
yang
ada
merupakan
istilah
kekerabatan yang dipakai pada
kekerabatan
masyarakat
Jawa.
Padahal istilah kekerabatan yang
digunakan telah ada padanannya
dalam bahasa Indonesia baku, yaitu
kakak.
Pola
pembentukan
Frasa
sebagai berikut.
1) ”...andai aku bisa mendapat juara
aku akan dikasih hadiah sama ayah
dan ibundaku.” (DI 76)
(”...yen aku isa entuk juara aku
bakal diparingi hadiah karo bapak
lan ibuku.”) (BJ)
2) ”Di saat itu aku di beri hadiah
sama ayahku playstation dua.” (DI
77)
(“Wektu kuwi aku diparingi
hadiah karo bapakku playstation
loro.”) (BJ)

NOSI Volume 4, Nomor 3, Agustus 2016__________________________________Halaman | 313

Kata sama pada kalimat BI
adalah salah. Untuk menyatakan
hubungan seperti itu sebaiknya
digunakan kata oleh. Bentuk sama
adalah pengaruh dari BJ, yaitu berasal
dari bentukan kata karo. Dalam
bahasa Indonesia baku, kata ini
berpadanan dengan kata oleh. Jadi
kalimat yang benar atau baku adalah :
1) ”...andai aku bisa mendapat juara
aku akan diberi hadiah oleh ayah
dan ibundaku.”
2) ” Saat itu aku diberi hadiah
playstation dua oleh ayahku.”

SIMPULAN
Berdasarkan dari analisis data
dan pembahasan masalah, maka
didapat simpulan sebagai berikut.
1. Interferensi
sistem
morfologi
bahasa Jawa pada morfologi
bahasa Indonesia karangan siswa
kelas XI di SMK PGRI Lumajang
adalah pembentukan konfiks {ke-/an} yang dalam BJ terdapat proses
persandian antara /u/ dan /a/
bersandingan →/o/, prefiks {ke-}
yang dalam BI berpadanan dengan
{ter-}, prefiks nasal {N-} menjadi
/ ň-, ŋ-/, pembentukan prefiks zero
karena dalam bahasa Jawa tidak
memiliki prefiks {ber-}, dan sufiks
{-an} untuk membentuk kata
benda dalam BI tidak perlu.
Wujud interferensi itu sebagai
berikut.
a) Pola pembentukan konfiks
{ke-/-an}
b) Pola pembentukan prefiks
{ke-}
Pembentukan dengan prefiks
{ke-}
pada
umumnya
menyatakan
makna
‘ketidaksengajaan’.

c) Pola pembentukan prefiks
nasal {N-} beralomorf /ng-/
dan /ny-/ atau /ŋ,ň/
d) Pola pembentukan prefiks
zero
Tidak munculnya prefiks {ber} pada BJ dikarenakan dalam
BJ tidak memiliki prefiks
{ber-}.
2. Interferensi sistem sintaksis bahasa
Jawa
(termasuk
frasa
atau
kelompok
kata)
pada
pengkalimatan bahasa Indonesia
karangan siswa kelas XI di SMK
PGRI
Lumajang
adalah
penggunaan
akhiran
{-nya},
penggunaan
kata
sapaan
kekerabatan, dan pembentukan
frasa. Penggunaan akhiran {-nya}
merupakan
interferensi
yang
terjadi akibat penerapan sistem BJ
bentuk klitika {–e} atau {–ne}
yang menyatakan hubungan makna
‘kepemilikan’.
Wujud interferensi itu.
a) Pola penggunaan akhiran {nya}
b) Pola penggunaan kata sapaan
kekerabatan
c) Pola pembentukan frasa

SARAN
Guru
pelajaran
bahasa
Indonesia
disarankan
untuk
menggunakan bahasa Indonesia yang
baik dan benar. Tanpa adanya
interferensi bahasa Jawa yang masuk
dalam penggunaan bahasa Indonesia.
Meskipun telah diketahui
wujud interferensi pada penelitian ini,
tetapi hal ini masih perlu diulas lebih
rinci lagi sehingga kesalahan ataupun
penyimpangan bahasa yang ada bisa
diminimalisasi lagi.

NOSI Volume 4, Nomor 3, Agustus 2016__________________________________Halaman | 314

Pembaca hasil penelitian ini
hendaknya lebih teliti memilih dan
menyesuaikan
kebutuhan
dalam
berbahasa.

Busri, Hasan. dkk. 2015. Linguistik
Indonesia.
Malang:
Worldwide Readers
Aslinda. dkk. 2007. Pengantar
Sosiolinguistik.
Bandung:
Refika Aditama

DAFTAR RUJUKAN
Ramlan, M. 2001. Ilmu Bahasa
Indonesia: Sintaksis.
Yogyakarta: UP Karyono
Atar, Semi. 2003. Menulis Efektif.
Padang: Angkasa Raya.
Atmazaki.
2006.
Kiat-kiat
Mengarang dan Menyunting.
Padang: Citra Budaya.
Oktavianus. 2006. Analisis Wacana
Lintas Bahasa. Padang:
Andalas University Press.
Chaer,Abdul. 2007. Linguistik Umum.
Jakarta: Rineka Cipta
Widyanto, Asul. 2007. Terampil
Menulis. Jakarta : Grasindo
Edi Subroto. 2007. Pengantar Metode
Penelitian Linguistik
Struktural. Surakarta:
UNS Press.
Syarif,
Elina.
dkk.
2009.
Pembelajaran
Menulis.
Jakarta: Pusat Pengembangan
dan Pemberdayaan Pendidik
dan Tenaga Kependidikan
Bahasa.
Sudarmanto. 2011. Kamus Lengkap
Bahasa jawa. Semarang:
Widya Karya
Kurikulum mata pelajaran muatan
lokal (bahasa Jawa) untuk
jenjang
SMA/SMALB/SMK/MA
Negeri dan Swasta Di Provinsi
Jawa
Tengah.
2011.
Semarang.
Sugiarto,Eko.2012.Master
EYD.
Yogyakarta: Khitah Publising

NOSI Volume 4, Nomor 3, Agustus 2016__________________________________Halaman | 315